SlideShare a Scribd company logo
1
DAFTAR ISI
KERINDUAN PKB
Margarito Kamis 4
DINAMIKA HAM DI ASIA TENGGARA
Dinna Wisnu 7
KEKOSONGAN HUKUM PENANGANAN TERORISME
M Nasir Djamil 11
PICIKNYA “DEMOKRASI ALA MELAYU” VERSI EFFENDI
SIMBOLON
Effendi Syahputra 15
ALUTSISTA HARGA MATI
Connie Rahakundini Bakrie 17
OMBUDSMAN KE DEPAN
Amzulian Rifai 20
KPK HARUS TERBEBAS DARI RONGRONGAN
Bambang Soesatyo 23
TANTANGAN JOKOWI DALAM REVISI UU KPK
Laode Ida 26
MATINYA CHECKS AND BALANCES DI ERA NAWACITA?
W Riawan Tjandra 29
HARAMNYA REVISI UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK
Ahmad Yani 32
MENUJU REFORMASI DPD
Jazilul Fawaid 37
KORUPTOR HARUS DISADAP
Moh Mahfud MD 40
TENGGELAMNYA KAPAL KEADILAN HUKUM
Romli Atmasasmita 43
REVITALISASI DPD
Janedjri M Gaffar 47
KPK DALAM SPEKTRUM TATA NEGARA
Margarito Kamis 50
2
POLITIK ALA JOKOWI
Isran Noor 53
MENANGKAL PELEMAHAN KPK
Marwan Mas 56
ASEAN BUKAN LAGI UNTUK ASEAN
Connie Rahakundini Bakrie 59
INI LHO, KALAU MAU MENGUATKAN KPK
Moh Mahfud MD 62
ADU KUAT DI JAKARTA
Kurnia Danu Aji 65
“ZERO TOLERANCE” TERHADAP KEJAHATAN MUTILASI ANAK
Susanto 69
HAKIM PROGRESIF BERJIWA SOSIAL-KEBANGSAAN
Sudjito 72
HENTIKAN DRAMATISASI PENGUATAN KPK
Andreas Lako 75
GAGAL PAHAM MEMBENTUK UU
Ahmad Yani 78
SOP PENANGANAN PERKARA DAN URGENSI MENGAWASI MA
Bambang Soesatyo 82
MANA HALUAN NEGARA KITA?
Moh Mahfud MD 85
JUSTRU PUBLIK YANG MELAYANI
Amzulian Rifai 88
KTT OKI DAN TELADAN REKONSTRUKSI KAKBAH
M Bambang Pranowo 92
INDONESIA & KEMERDEKAAN PALESTINA
Abdul Mu’ti 95
OKI & KEMERDEKAAN PALESTINA
Dinna Wisnu 98
KABINET GADUH UNTUK SIAPA?
Gun Gun Heryanto 101
REVISI UU PILKADA & PEMDA YANG BERSIH
Laode Ida 104
3
MERESTORASI PASAL PELEMAHAN KPK
Emrus Sihombing 108
PENGUATAN BNN & PENGALAMAN MEKSIKO
Bambang Soesatyo 111
PILKADA DI TANAH BETAWI
Ramdansyah 114
GERAKAN ANTIKORUPSI DAN HAM
Dinna Wisnu 118
PUNGLI HIERARKIS
Amzulian Rifai 122
PILKADA DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN
Ferry Kurnia Rizkiyansyah 125
MENGAPA BUNG KARNO “TAKLUK” DI WISMA YASO?
Reza Indragiri Amriel 129
TAK PILIH AHOK, MEMILIH AHOK
Moh Mahfud MD 132
DPD DALAM PUSARAN
Baharuddin Aritonang 135
RELAWAN POLITIK JANGAN SOK SUCI
Uchok Sky Khadafi 138
GAIRAH POLITIK SBY DAN GELORA POLITIK JOKOWI
Hendri Satrio 141
PERAN & KEWENANGAN DPD
Aunur Rofiq 144
MOMENTUM KONSOLIDASI PARTAI POLITIK
W Riawan Tjandra 148
PERLUKAH UPGRADE STATUS BNN?
Sukardi 151
EFEKTIVITAS PENGAWASAN KPK
Bambang Soesatyo 154
GEGER ADVOKAT
Moh Mahfud MD 157
4
Kerinduan PKB
10-02-2016
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta
Convention Center berakhir sudah. Pada pembukaannya, Presiden Republik Indonesia Joko
Widodo—yang beberapa minggu lalu melakukan ground breaking pembangunan rel kereta
api cepat, yang hukumnya kacau-balau itu—turut hadir.
Manis, akhir mukernas itu. Bukan karena tidak ada dentuman perselisihan pendapat
antarsesama fungsionaris, tetapi karena dua gagasannya. Gagasannya adalah gubernur dipilih
oleh DPRD serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kalau tak dibubarkan, tampaknya tidak
bisa tak ditata.
Apa yang menyentak mereka sehingga mengakhiri mukernasnya dengan menelurkan dua
kerinduan yang cukup beralasan itu? DPD bukan tak penting dianalisis, tetapi pemilihan
gubernur, dengan rimba raya akibat yang menyertainya, menjadi indah untuk segera
dianalisis.
Angsa Bertingkah Buaya
Pemilihan langsung—entah diketahui oleh PKB atau tidak, betapa pun tak usah berlebihan
mencemaskannya—dalam sejarahnya mewakili cara pandang khas kaum berduit
mempertahankan duit, modal kekuasaannya. Duit-duit itu sampai ke tangan pemilih, dalam
kasus Romawi kuno, melalui sindikat jual-beli suara.
Inilah, yang dalam sejarah konstitusionalisme klasik, dialami oleh Marcus Tulius Cicero,
juris dan negarawan besar Romawi kuno dalam pemilihan konsul kala itu. Pemilihan konsul
yang diikuti Cicero—tulis jurnalis kawakan peraih British Press Award Robert Harris—harus
berhadapan dengan para cukong. Marcius Figulus, karena itu, dibujuk oleh beberapa calon
untuk mengajukan kepada senat satu hukum baru. Hukum ini, dalam permintaan mereka,
secara ketat menentang malapraktik pemilu, dan diharapkan menjadi lex vigula.
Masa Cicero, jelas bukan masanya Earl Grey, politisi kawakan Inggris abad ke-19. Tetapi,
terbatasnya hak pilih universal dalam kasus Romawi juga dialami Inggris pada 1832. Sadar
bahwa hak pilih itu harus diperluas, rakyat Inggris menuntut parlemen memperluasnya.
Manisnya, tuntutan itu direspons oleh parlemen dengan membentuk First Reform Act.
Menariknya, betapa pun tuntutan itu direspons, diikuti dengan pelembagaan sistem
pemungutan suara secara rahasia, tetapi pada 1865, tahun reformasi fase kedua, muncul lagi
gerakan rakyat mengganyang praktik curang dalam pemilu. Praktik itu, tulis Daron
5
Acemoglu dan James A Robinson, ditandai dengan pemilih ditraktir, sebuah modus transaksi
jual beli suara; pemilih diberi uang, makanan, atau minuman keras.
PKB mungkin tak akan mengatakan bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara
langsung hanya indah dalam nama dan esensinya. Kasus-kasus pemilihan kepala daerah
(pilkada) yang sedang diadili di Mahkamah Konstitusi saat ini serupa dengan yang lalu-lalu.
Misalnya manipulasi suara, penyelewengan dana bansos, serta keculasan parsial
penyelenggara pilkada.
Soal Bernegara
Hebatnya, pemikiran konstitusionalisme mutakhir menempatkan pemilihan langsung
presiden, gubernur, bupati, dan wali kota sebagai cara, satu-satunya, mengisi jabatan-jabatan
itu. Cara ini, entah apa epistemologisnya, secara serampangan dianggap sebagai satu-satunya
cara demokratis. Di luar cara itu, jelas jawabnya, tidak demokratis. Demokrasi dalam
langgam itu—tak mungkin tak dikenali oleh PKB—telah direduksi.
Pada aras hakikat, demokrasi sama sekali tidak sama dengan pemilihan, langsung atau tidak
langsung. Pada aras ini, hakikat, tentu diketahui oleh PKB, demokrasi berinduk pada
kerinduan, sedikit manipulatif, mengembalikan dan menempatkan setiap orang dalam sifat
kodratinya sebagai makhluk mulia. Kemuliaan itu ada dan dimiliki setiap orang karena kodrat
alamiahnya, bukan disematkan penguasa.
Dalam sejarahnya yang menyandang sifat itu, mulia, hanya segelintir orang, berkat belas
kasih monarki. Walau bukan satu-satunya sebab, kenyataan itu telah menjadi sebab terbesar,
sekaligus alasan tervalid eksistensi absolutisme, untuk tak mengatakan eksistensi para tiran.
Pengakuan atas eksistensi kodrati sebagai makhluk mulia, mengubah status mereka dari
naturalis ke civilis.
Inilah pangkal lahir dan terbentuknya, apa yang disebut Bung Hatta dengan, daulat rakyat.
Sifat tatanan kehidupan nasional, karena itu, adalah polity. Tatanan ini menyangkal Tuhan
yang berabad-abad ditunjuk, oleh monarki sebagai sumber kekuasaan, dan raja sebagai
bayangannya di muka bumi.
Setiap orang yang telah diakui haknya, berstatus merdeka (civilian). Dalam hakikatnya, setiap
orang memiliki hak, dalam arti kekuasaan dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Bukan
tak bisa diurusi, diperintah, tetapi untuk tujuan itu harus didahului dengan persetujuan
mereka, yang untuk sebagian besar negeri beradab di dunia, diwakilkan kepada wakil-
wakilnya di parlemen. Itulah akar demokrasi dan hakikat pemilihan.
Pemilihan langsung, dengan rimba raya akibatnya sedari dulu hingga kini, jujur, beralasan
didendangkan sebagai pesta ”sesat” demokrasi, dan ”demokrasi sesat.” Berpesta dalam
kesesatan demokrasi, sungguh tipikal bangsa berperadaban, dalam perspektif Profesor Salim
6
Said, rendah. Menyamakan demokrasi dengan pemilihan langsung sama nilainya dengan
mengecoh akal sehat bangsa itu.
PKB jelas tak menghendakinya. Pada titik itu, rindu PKB, pasti bukan sekadar kembalikan
pemilihan gubernur ke DPRD, melainkan lebih dari itu. PKB sedang mengajak parpol lain
untuk rindukanlah, sekali lagi, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara tidak langsung.
Demokrasi menempatkan keagungan otonomi individu dalam esensinya, dan menjadikan
pemerintah rakyat sebagai norma dasarnya, tetapi institusionalisasi pemilihan langsung
sebagai satu-satunya wujud pemerintahan rakyat, justru membelakangi dunia. Akankah rindu,
untuk tak menyifatkannya sebagai preferensi PKB, berbuah manis?
Konstitusionalisme mutakhir menunjukkan parpol, sesuatu yang sedari akhir abad 18 telah
menjengkelkan, mengharuskan PKB meniti ragam preferensi di belantara politik nasional
serasional mungkin. Deliberasi mungkin mesti dipilih PKB dalam titian penuh rimba
preferensi parpol kini.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara; Dosen FH Universitas Khairun Ternate
7
Dinamika HAM di Asia Tenggara
10-02-2016
Dalam lingkar pemerhati hak asasi manusia (HAM), analisis yang beredar mengenai
pemajuan dan perlindungan HAM di Asia Tenggara terbilang cukup dinamis.
Sulit untuk memukul rata apakah negara anggota ASEAN telah memajukan atau justru
merendahkan penghargaan terhadap HAM karena tiap negara berbeda kemajuan ekonomi,
budaya, sosial, dan sistem politiknya. Ada satu negara yang di satu isu lebih progresif
daripada negara lain, tetapi pada isu berbeda lebih buruk bila dibandingkan dengan negara
lain.
Tidak mengherankan apabila sejumlah pihak, terutama masyarakat Barat, menyebut praktik
penghormatan HAM di ASEAN lamban, rentan disalahgunakan, lemah, tercemar korupsi,
dan sebagainya. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti ditahannya atau bahkan
hilangnya tokoh-tokoh pejuang HAM di sejumlah negara menambah catatan merah upaya
pemajuan dan perlindungan HAM di Asia Tenggara.
Namun apa pun kondisinya, tidaklah pantas kita sekadar mengkritik atau menyerah. Pada
akhirnya kita perlu mencari jalan untuk melakukan pemajuan dan perlindungan HAM di
kawasan ini. Keprihatinan seperti disebut di atas sebenarnya juga bagian dari tantangan
penegakan HAM di negara-negara yang sudah maju sekalipun.
Ada jalur diplomasi di ASEAN yang patut kita cermati dan pergunakan dengan baik terkait
upaya tersebut, yaitu berdirinya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights
(AICHR) pada 2009. Komisi ini bergerak atas dasar mandat dan sejumlah aturan main yang
disetujui di level kepala negara. Sejumlah negara memutuskan untuk memilih komisioner
AICHR secara terbuka, termasuk dengan mengundang tokoh masyarakat sipil, contohnya
Indonesia.
Tugas utama komisi ini adalah membangun mekanisme regional untuk mendorong pemajuan
dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN. Selain itu, komisi tersebut juga bertugas
memberi masukan dan pendampingan bagi badan-badan ASEAN terkait pemenuhan
tanggung jawab HAM dan menjalin posisi bersama antarnegara ASEAN terkait HAM.
Sejak pendiriannya, AICHR melakukan ragam upaya mendorong penghormatan pada HAM
melalui rangkaian dialog regional dalam beragam topik yang mengarah pada penguatan
panduan regional dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Misalnya praktik penghormatan
HAM dalam CSR di dunia bisnis, pencegahan dan perlindungan masyarakat dari kejahatan
trafficking, fasilitasi bagi kelompok masyarakat berkebutuhan khusus, penghapusan
8
kekerasan terhadap perempuan, proses hukum yang adil dan berkemanusiaan bagi terpidana
hukuman mati, dll. Upaya ini masih muda usia.
Usaha itu ditopang dengan lahirnya Deklarasi HAM ASEAN pada 2012 yang dilengkapi
dengan pernyataan Phnom Penh tentang penerapan Deklarasi HAM ASEAN tersebut. Dalam
kedua dokumen itu dicanangkan pentingnya AICHR sebagai lembaga payung yang
mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Lewat deklarasi tersebut, semua
pilar komunitas ASEAN pada prinsipnya perlu memeriksa apakah kegiatan-kegiatan mereka
sejalan dengan penghormatan atas HAM. Arah yang dituju adalah pembangunan sosial yang
berkeadilan, menghormati martabat manusia dan pemenuhan kualitas hidup yang lebih baik
bagi para warga negara di kawasan ASEAN.
***
Kebetulan tahun ini saya dipercaya mengemban mandat sebagai wakil Indonesia alias
komisioner untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk HAM (AICHR) yang masa
baktinya 3 tahun. Dalam kapasitas tersebut, saya punya kesempatan untuk melakukan
sejumlah pengamatan dan interaksi.
Pertama, terkait strategi pemajuan HAM di kawasan ASEAN. Komentar-komentar yang
keras terdengar di luar lingkar ASEAN adalah bahwa cara-cara ASEAN terbilang terlalu
lamban dan kurang tegas. Sejumlah pihak menuding proses konsensus sebagai penghambat
pemajuan dan perlindungan HAM.
Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kelambanan itu sebuah kesengajaan atau demikian
keadaan yang ada? Observasi saya menyimpulkan bahwa konsensus yang kemudian banyak
dituding menghambat berbagai isu penting dalam penegakan HAM adalah bagian dari
ketidakmerataan yang hadir di dalam hubungan antarsesama negara anggota ASEAN.
Pada minggu lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Laos karena kebetulan tahun ini Laos
memegang posisi sebagai ketua ASEAN, jabatan yang secara rutin digilir oleh 10 negara
anggota ASEAN. Dalam lingkaran pengamat yang membandingkan Laos dengan negara-
negara anggota lain, keketuaan Laos cenderung dipandang skeptis karena Laos lebih sering
terkesan pasif dalam lingkar pergaulan ASEAN. Untuk urusan politik, termasuk juga isu-isu
yang menyinggung HAM, Laos kerap disebut menghindar atau bahkan bungkam.
Tanpa niat untuk merendahkan perjuangan HAM di negara ini dan kawasan, saya
mendapatkan sisi lain dari negara ini yang mendorong saya untuk berpikir bahwa para
pembela di Asia Tenggara harus bekerja lebih keras dibandingkan dengan rekan-rekan
mereka yang sudah maju di masyarakat Barat.
Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa pendekatan untuk mengangkat HAM sebagai
prinsip yang universal di Asia Tenggara tidak bisa dilakukan dengan pendekatan seperti yang
dilakukan masyarakat Barat yang cenderung rasional dan sekuler, tetapi harus dengan
9
pendekatan Asia yang lebih mengutamakan ”rasa”. Oleh sebab itu, kata lambat atau cepat
menjadi relatif dalam konteks ini.
Di negara-negara ASEAN, kita menemukan bahwa bila pemajuan HAM hanya diukur semata
dari pembentukan regulasi atau konvensi, penghargaan HAM belum sejati ditegakkan.
Bayangkan bahwa ragam regulasi, aturan, dan ketentuan bisa saja dibuat, tetapi
implementasinya bisa nol jika para penegak hukum dan masyarakatnya tidak menghayati
alasan dibuatnya regulasi, aturan, dan ketentuan tersebut.
Contohnya adalah Laos yang akan dianggap penuh anomali bila menggunakan kerangka
berpikir formal sistem politik Barat. Secara formal, sistem demokrasi di Laos menganut
sistem satu politik sosialis-komunis, tetapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sana
adalah umat Buddha yang taat.
Di satu sisi sebagian dari penduduk di sana memang menyadari pentingnya kebebasan
berpendapat, tetapi sebagian besar yang lain melihat kebebasan berpendapat sebagai belum
menjadi bagian kultural. Bagi rata-rata orang di sana, harmoni dengan siapa pun adalah hal
yang harus dijaga.
Bahkan ketika orang lain melanggar peraturan, mereka juga tidak ingin langsung menegur
karena harus ada saling pengertian akan kelemahan seseorang dan penegak hukum juga tidak
ingin menimbulkan trauma dari masyarakat karena suatu sanksi tertentu. Di sisi lain, penegak
hukum di Laos tidak segan memberikan teguran keras kepada mereka yang terkesan
memaksakan kehendaknya pada orang lain.
Tentu saja, kita bisa mengartikan cerita di atas sebagai tindakan represif kaum berkuasa,
tetapi jika melihat keseharian mereka, mustahil ada kepatuhan yang masif tanpa ada ”izin”
dari masyarakat setempat. Bukankah pada akhirnya suatu masyarakat juga membutuhkan
tatanan sosial meskipun HAM tetap dijunjung tinggi? Artinya bahwa penegakan HAM
berpulang pada pemahaman bersama di tataran pemerintah dan masyarakatnya. Pemahaman
ini harus organik; harus tumbuh dari dalam, tidak bisa sekadar dicangkok oleh pihak asing.
Jadi ketika bicara konsensus di ASEAN, saya lihat kita tidak bisa sekadar mendesak
terjadinya konsensus, tetapi perlu menggali cara-cara supaya konsensus itu secara alamiah
tumbuh di antara para komisioner di AICHR. Alamiah di sini bukan berarti membiarkan
tanpa usaha, tetapi justru mengusahakan sebuah kebijakan yang urgensinya dapat dipahami
oleh para pemegang kuasa politik di negara masing-masing tanpa mereka merasa terancam.
Kedua, terkait dengan upaya membangun komunitas ASEAN. Saat ini sudah ada konsensus
dari pemimpin di segala lapisan di semua negara ASEAN bahwa Komunitas ASEAN yang
tunggal, saling peduli, dan saling berbagi adalah impian bersama. Secara prinsip ini adalah
modalitas bagi pemajuan HAM di kawasan walaupun fakta internal, tiap negara anggota
memiliki perbedaan dan kontradiksi menyangkut beberapa isu seperti masalah HAM dan
kedaulatan.
10
Perbedaan ini yang bisa jadi menyulitkan ASEAN dalam menghadapi kompetitor dari
kawasan atau negara-negara lain yang membawa ideologi ekonomi dan politiknya masing-
masing. Sebagai contoh, ASEAN sebagai komunitas ekonomi berada dalam kompetisi
dengan masyarakat Eropa/Amerika dan Cina yang saat ini berperan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi dunia.
Masing-masing mendorong liberalisasi ekonomi sejauh-jauhnya, tetapi disertai perbedaan di
mana Eropa/Amerika mengaitkan ekonomi dengan masalah HAM dan demokrasi. Sementara
Cina memisahkannya dan lebih mendorong politik non-intervensi dalam pergaulan politik
internasional. Tiap kutub politik itu secara langsung dan tidak langsung juga memperuncing
perbedaan yang ada di antara negara-negara ASEAN.
Dalam konteks tersebut, tidak mudah untuk merumuskan strategi penguatan HAM di
ASEAN. Insentif apa yang harus dirumuskan agar negara-negara anggota ASEAN dapat
menikmati hasil dari penghargaan HAM dan disinsentif apa yang harus diberikan apabila ada
negara yang melanggar?
Eropa/Amerika memberikan contoh bagaimana pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan
penghormatan HAM dapat membuat penduduknya sejahtera. Namun di sisi lain kita juga
melihat Cina dengan sistem politik terpimpinnya ternyata saat ini pertumbuhan ekonominya
menjadi idola bagi banyak pemimpin negara yang relatif memiliki masalah sosial dan politik
yang sama. Tiap strategi akan memiliki implikasi secara langsung, terutama di wilayah
ekonomi.
Saya sendiri belum menemukan resep jitunya, tetapi saya yakin bahwa ini adalah pertanyaan
yang juga ada di benak para pemimpin negara dan para pembela HAM di setiap negara
anggota ASEAN.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
11
Kekosongan Hukum Penanganan
Terorisme
11-02-2016
Peristiwa terorisme di Jalan MH Thamrin Kamis (14/1) lalu seolah menjadi bukti bahwa
terorisme di Indonesia tidak pernah surut, sekalipun telah diberlakukan Undang-Undang
No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Penangkapan beberapa tokoh Bom Bali I dan II serta tewasnya Dr Azhari, Noordin M Top
dan beberapa pengikutnya, termasuk ringannya hukuman terdakwa jaringan simpatisan
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Afif Abdul Majid menunjukkan tidak mudahnya aparat
penegak hukum mengusut tuntas jaringan terorisme.
Kejadian ini telah menyadarkan kita betapa perkembangan gerakan kelompok ISIS di
Indonesia seolah kian masif. Ditambah lagi dengan klaim ISIS atas peristiwa kekalutan
terorisme yang terjadi di Jalan MH Thamrin tersebut. Kelompok ISIS pun diduga akan terus
menambah jaringan dan kekuatannya.
Perkembangan ISIS di Indonesia tentu tidak bisa dianggap remeh. Sebut saja soal baiat
kepada ISIS yang ditunjukkan pertama kalinya pada Februari 2014 di Jakarta. Dengan
semangat dan penuh euforia kemenangan, ratusan orang membacakan deklarasi dukungan
kepada ISIS dan berbaiat kepada amirul mukminin Syaikh Abu Bakar al-Baghdadi. Menyusul
kemudian pimpinan Jamaah Islamiah (JI) yang sangat disegani Abu Bakar Baasyir, yang juga
menyatakan dukungannya terhadap ISIS di hadapan para petinggi Jamaah Ansharut Tauhid
(JAT) di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Jawa Tengah. Praktis dukungan pun
kian mengalir, bahkan ribuan orang menyatakan kesiapannya untuk bergabung dengan
tentara ISIS di Suriah.
Dukungan Masyarakat
Dukungan dan ketertarikan sekelompok masyarakat terhadap ISIS pun bukan tanpa sebab.
Ada beberapa faktor ketertarikan sekelompok masyarakat Indonesia terhadap ISIS. Pertama,
faktor ideologi. Isu kekhalifahan dan doktrin mengenai perang akhir zaman kerap kali
menjadi wacana utama hadirnya kelompok ISIS. Akhirnya, bagi sekelompok orang yang
memiliki keyakinan dan pengetahuan agama yang sempit, hal ini menjadi daya pemikat
dalam membuktikan bentuk kesalihan seseorang.
Kedua, faktor kesejahteraan. Keberadaan basis kelompok ISIS di wilayah kaya akan minyak
dan gas bumi telah menjadikan ISIS diklaim sebagai kelompok teror terkaya di
12
dunia. Luasnya wilayah jajahan ISIS telah memberikan kesempatan pada mereka untuk
merebut beberapa ladang minyak. Bahkan akhir tahun 2014 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) memperkirakan ISIS telah mencetak USD1,6 juta atau setara Rp21,9 miliar per hari
dari penjualan minyak mentah dan olahan di pasar gelap. Tak mengherankan jika ISIS
menawarkan gaji besar dan mampu membiayai operasi militer teroris di beberapa negara.
Ketiga, faktor patron. Keberadaan tokoh-tokoh sentral muslim di luar negeri dan tokoh-tokoh
sentral yang saat ini menjadi narapidana teroris yang ikut serta berbaiat dan mendukung ISIS,
justru menjadi perekrut utama kelompok ISIS.
Klaim keterlibatan ISIS memang harus diselidiki kebenarannya. Jika benar, perkembangan
jaringan ini dapat menjadi ancaman nyata. Adanya kekhawatiran pola jaringan ini
menyerupai arus balik anggota Jamaah Islamiyah dari Afghanistan pun tak terelakkan. Praktis
aparat penegak hukum dituntut untuk segera meningkatkan kemampuannya dalam
menghadapi ancaman nyata ini.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban dan merupakan salah satu ancaman
serius terhadap kedaulatan setiap negara. Bagaimana pun terorisme sudah merupakan
kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan,
perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Ujungnya, perlu dilakukan
pencegahan dan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan agar hak asasi orang
banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Definisi Terorisme
Belum tercapainya kesepakatan internasional mengenai definisi terorisme, tidak menjadikan
terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas terorisme telah
dilakukan sejak menjelang pertengahan abad 20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan
dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of
Terrorism). Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai crimes against state.
Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa,
makna terorisme pun mengalami pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu
perbuatan yang semula dikategorikan sebagai crimes against state, termasuk pembunuhan
dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya. Selain itu menjadi
crimes against humanity di mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Sebanyak 21
crimes against humanity masuk kategori gross violation of human rights (pelanggaran HAM
berat) yang dilakukan sistematik di mana serangan ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil dan lebih diarahkan pada jiwa orang tak bersalah (public by innocent) seperti
yang terjadi di Bali.
Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana tertentu khususnya tindak pidana terorisme,
sangat mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang bercirikan kepastian
13
hukum dan keadilan. Namun pemberlakuan UU Nomor 15/2003 semakin menampakkan
berbagai kelemahan ketika diterapkan dalam praktek di lapangan.
Empat Kendala
Sedikitnya terdapat empat hal yang menjadi kendala penegakan hukum menjerat pelaku ISIS.
Pertama, kelemahan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Substansi UU tersebut dinilai belum mengakomodir kebutuhan aparat penegak hukum dalam
menjerat pelaku dan simpatisan ISIS di Indonesia.
Kedua, belum terintegrasikannya penanganan tindak pidana terorisme di kalangan aparat
penegak hukum. Sikap egosentris di kalangan aparat penegak hukum selama ini justru kerap
menjadikan pola penanganan tidak pidana terorisme tak pernah komprehensif.
Ketiga, minimnya ruang koordinasi dalam penanganan tindak pidana terorisme. Kehadiran
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
46/2010 sebagai desk koordinasi pemberantasan tindak pidana terorisme hanya dipandang
sebelah mata dan keberadaannya tak pernah berfungsi maksimal.
Keempat, minimnya kemampuan aparat penegak hukum terutama dalam melaksanakan beban
pembuktian sehingga kerap kali tidak bisa membuktikan tindak pidana yang dituduhkan
terhadap pelaku terorisme yang berakibat ringannya hukuman yang dijatuhkan.
Mengandalkan penggunaan UU Nomor 15/2003 tidak ubahnya sebagai langkah yang
konvensional dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Langkah ini terbukti tak mampu
menjerat modus dan tipologi baru pelaku tindak pidana terorisme, terutama dengan hadirnya
kelompok ISIS dan foreign terrorist fighter (FTF) yang menyerbu Indonesia. Praktis, pola
penanggulangan seperti ini hanya akan menguras habis energi dan akan membuat aparat
kecolongan. Di tengah kondisi substansi penggunaan UU yang belum dapat merespons
merebaknya gerakan radikalisme terorisme di Indonesia saat ini, tentu diperlukan suatu
strategi jitu dalam menghadapinya.
Faktor kelemahan undang-undang sejatinya tak menjadi satu-satunya alasan melemahkan
upaya pemberantasan tindak pidana terorisme. Diperlukan suatu pendekatan multidisiplin
penegakan hukum yang mengandalkan berbagai rezim hukum dalam penanganan suatu
tindak pidana luar biasa. Pendekatan multidisiplin ini diharapkan dapat menjawab beberapa
hal.
Di antaranya, pertama, menghindari pelaku kejahatan terorisme lolos karena terbatasnya
jangkauan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, mendorong pertanggung jawaban
yang lebih komprehensif termasuk pengembalian kerugian negara dan pemulihan lingkungan
sehingga dapat menimbulkan efek jera. Ketiga, memudahkan proses kerja sama internasional
khususnya dalam pengejaran aset, tersangka dan kerja sama pidana lainnya (seperti tindak
14
pidana pencucian uang). Keempat, memaksimalkan proses pemulihan terhadap korban
terorisme.
Semula berkembang pendapat bahwa terorisme dan tindakan teror cukup diatur oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di mana masih ada ketentuan yang mengatur
tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan terhadap nyawa, dan kejahatan
perusakan. Sebagai contoh, sampai saat ini negeri Belanda tidak memiliki satu undang-
undang tentang terorisme tetapi cukup menangani masalah terorisme dengan KUHP-nya.
Namun untuk mewujudkan suatu undang-undang nasional yang bertujuan mencegah dan
memberantas terorisme secara menyeluruh, baik yang bersifat domestik maupun yang
bersifat internasional, dan dengan mempertimbangkan praktik hukum internasional serta
perkembangan yang ada, maka perlu disepakati lebih dahulu paradigma yang akan digunakan
sehingga arah pencegahan dan pemberantasan tersebut dipahami oleh seluruh komponen
bangsa Indonesia Untuk itu diperlukan pendekatan multidisiplin dalam penegakan hukum
terorisme terutama dalam merespons kehadiran gerakan ISIS di Indonesia.
Mengingat sejumlah kelemahan penegakan hukum dan modus terorisme yang berkembang,
aparat penegak hukum perlu menggunakan pendekatan penegakan hukum multidisiplin yang
tidak an sich menggunakan UU Nomor 15/2003 sehingga diharapkan pemerintah serta aparat
penegak hukum segera menemukan formula baru dalam menghadapi perkembangan tindak
pidana terorisme.
Tidak berlebihan kiranya masyarakat menuntut pemerintah melakukan perubahan pola
penegakan hukum yang lebih komprehensif dan multidisiplin. Tentu saja hal ini harus
dibarengi dengan political will pemerintah untuk menyelesaikan persoalan terorisme dengan
cara yang extraordinary. Semoga!
M NASIR DJAMIL
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
15
Piciknya ”Demokrasi ala Melayu” versi
Effendi Simbolon
12-02-2016
Beberapa hari terakhir terdapat realita getir dalam dinamika komunikasi politik di Tanah Air.
Paling tidak untuk sebagian masyarakat dari etnis yang bahasa ibunya diadopsi menjadi
bahasa utama negara ini, yaitu etnis Melayu.
Pernyataan seorang politikus ternama dari partai yang sedang berkuasa, menyatakan
keluarnya tiga partai politik dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengarah ke Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) tak lebih seperti ”Demokrasi ala Melayu” yang tidak memiliki nilai-
nilai idealisme dalam berdemokrasi.
Effendi Muara Sakti Simbolon, sang politikus tenar ini mungkin lupa bahwa perpindahan
dukungan partai politik pada suatu kelompok koalisi tertentu adalah hal yang wajar dan
sah. Hal itu mengacu pada iklim politik yang masih berorientasi kekuasaan, kepuasan, dan
ekspansi-ekspansi tertentu untuk kepentingan sumber daya ekonomi semata. Dalam
mengidentifikasi suatu wilayah tertentu yang memunculkan istilah “demokrasi ala Barat” dan
“demokrasi ala Timur”, sangat tidak relevan menjadi dasar ukuran Effendi Simbolon untuk
mengambil potret dari polarisasi geopolitik.
Demokrasi ala Melayu yang ”dihina” Effendi Simbolon sesungguhnya sangat menyesakkan
masyarakat Melayu. Terlebih lagi bila diungkap bahwa pola-pola demokrasi ala Melayu ini
jauh dari nilai-nilai idealisme. Menjadi tidak jelas mengapa serangan ini diarahkan kepada
etnis Melayu. Apakah karena banyak etnis Melayu yang ogah memilihnya ketika tampil di
pemilihan gubernur Sumatera Utara pada 2013 lalu?
***
Effendi Simbolon dengan demokrasi ala Melayu-nya telah menciptakan suatu terminologi
baru dalam pendefinisian arti demokrasi yang berbasis kepada etno-democracy centric atau
demokrasi berdasarkan etnis tertentu, yang sebenarnya masih sulit untuk dipahami dengan
logika dan pendekatan teori politik.
Bahkan jika Effendi Simbolon memberikan dikotomi berdasarkan etnis, maka akan muncul
puluhan etnis di Indonesia dengan gaya dan cara demokrasi yang berbeda-beda. Bila pola
pendekatan ini yang digunakan maka akan muncul terminologi demokrasi ala Melayu, ala
Batak, ala Jawa, ala Padang, ala Papua, ala Jawa Timur, dan etnis-etnis
16
lainnya. Sesungguhnya terminologi ini dapat menjadi pemantik awal bagi disharmonisasi
bangsa seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa kita.
Menariknya lagi, Effendi Simbolon berkilah mengartikan demokrasi ala Melayu dan
mengidentikkan dengan Demokrasi Negara Malaysia—sistem pemerintahan demokrasi
Malaysia. Padahal, hingga kini oposisi Melayu Islam yang dikenal dengan Parti Islam Se-
Malaysia (PAS) masih tetap menjadi bagian oposisi dalam sistem politik di Malaysia—
walaupun sebelum 1970-an PAS pernah menjadi bagian dari partai pro-pemerintah.
Ini yang harus diklarifikasi oleh Effendi Simbolon agar tidak muncul kegelisahan golongan
Melayu di Tanah Air ini. Bila memang Effendi Simbolon bukan mengartikan demokrasi ala
Melayu ke gaya demokrasi Malaysia, lantas ke arah mana demokrasi ala Melayu— yang
dinilai tidak memiliki idealisme—yang dimaksudkannya?
Apakah kita akan mengedepankan berbagai stereotip negatif yang selama ini umum
dimengerti masyarakat kita dan menjadikannya pegangan dalam berpolitik seperti yang
lakukan Effendi Simbolon? Misalnya ketika ada suatu aktivitas negatif dalam masyarakat,
maka akan muncul; ”ah, suku itu memang begitu.” Tentunya bukan suasana pemikiran seperti
itu yang diharapkan para founding fathers kita dalam negara Bhinneka Tunggal Ika ini.
Kita sangat tidak mengharapkan pola pikir yang kerdil ini meramaikan politik Indonesia,
apalagi keluar dari mulut politisi partai berbasis nasionalis seperti Bung Effendi Simbolon.
Tulisan ini tentu bukan untuk menimbulkan perpecahan di antara kaum kita yang beragam
dan multietnik. Tulisan ini diharapkan menjadi pengingat bagi Effendi Simbolon dan politisi
mana pun yang memiliki pola pikir serupa.
Sebagai etnis Melayu, kami sangat menyesalkan cara berpikir Effendi Simbolon selaku
doktor lulusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Pernyataannya seakan
merendahkan kredibilitas cara berpikir dan kemampuannya dalam menganalisis fenomena
politik nasional. Yang bersangkutan juga telah melukai hati sebagian besar masyarakat etnis
Melayu, salah satu etnis pendiri bangsa ini.
EFFENDI SYAHPUTRA
Tokoh Muda Melayu
17
Alutsista Harga Mati
13-02-2016
Jatuhnya pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara (AU) Super Tucano TT-3108 di
Malang, Rabu (10/2) saat melakukan uji terbang menambah daftar panjang rentetan duka alat
utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna mengatakan, penyebab
kecelakaan akan terungkap setelah tim selesai mengidentifikasi bangkai pesawat. Identifikasi
dilakukan untuk mengetahui kondisi mesin, fuel control unit, dan video recorder. Perlu
dicatat, kecelakaan pesawat milik TNI AU dalam setahun terakhir melibatkan beberapa
pesawat baru.
Evaluasi mendalam perlu dilakukan agar ”kesalahan” tidak hanya ditujukan pada pilot atau
cuaca. Pertanyaannya, apakah selalu dari bangkai dan”blackbox” saja—pesawat militer
khususnya—sebuah kecelakaan dapat diidentifikasi ?
Dalam dunia penerbangan, maintenance perawatan mengandung makna yang sangat
luas. Baik sipil maupun militer, perawatan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan secara
berkala agar pesawat yang akan dioperasikan benar-benar laik terbang. Pesawat bahkan dapat
memberikan jaminan keamanan baik bagi pilot, kru, penumpang (jika ada), maupun pesawat
itu sendiri.
Jenis Perawatan Pesawat
Secara garis besar program perawatan pesawat dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
perawatan preventif dan korektif. Perawatan preventif adalah perawatan bagi pesawat untuk
mencegah kegagalan komponen sebelum komponen mengalami kerusakan. Sedangkan
perawatan korektif adalah perawatan untuk memperbaiki komponen yang rusak agar dapat
kembali ke kondisi awal.
Perawatan preventif dibagi menjadi dua jenis. Pertama, perawatan periodik atau hard time, di
mana perawatan dilakukan berdasarkan batas waktu maksimum suatu komponen pesawat.
Perawatan ini merupakan perawatan pencegahan dengan cara mengganti komponen pesawat
meski komponen tersebut belum mengalami kerusakan.
Kedua, perawatan on condition. Perawatan jenis ini memerlukan inspeksi untuk menentukan
kondisi komponen pesawat sehingga tindakan selanjutnya dibuat berdasarkan hasil inspeksi
tersebut. Bila ditemukan gejala kerusakan, komponen akan diganti dengan catatan, baik
alasan teknik maupun anggaran memenuhinya.
18
Di sisi lain perawatan korektif atau condition monitoring merupakan jenis perawatan yang
dilakukan saat ditemukan kerusakan pada komponen pesawat. Bila perbaikan tidak dapat
dilakukan, penggantian komponen bisa dilakukan.
Interval Perawatan Pesawat
Perawatan pesawat biasanya dikelompokkan berdasarkan interval dalam beberapa paket kerja
(clustering). Hal ini dilakukan agar perawatan lebih mudah, efektif, dan menjamin efisiensi
baik waktu, tenaga, maupun anggaran. Interval yang umumnya dijadikan pedoman untuk
melaksanakan paket-paket tersebut adalah; pertama, flight hours, merupakan interval inspeksi
yang didasarkan pada jumlah jam operasional pesawat.
Kedua, flight cycle, merupakan interval inspeksi yang didasarkan pada jumlah take off-
landing yang dilakukan pesawat, di mana setiap satu kali take off-landing dihitung sebagai
satu cycle. Ketiga, calendar time, merupakan interval inspeksi yang dilakukan sesuai dengan
jadwal tertentu. Tiap jarak interval ditentukan oleh tingkat peralatan/mesin dan kondisi beban
pesawat.
Pekerjaan perawatan preventif mampu menolong memperpanjang usia mesin (sampai 3-4
kali) dan mengurangi kerusakan yang tidak diharapkan. Waktu serta spek pengerjaan untuk
perawatan pesawat terbagi menjadi tiga kategori umum; ringan, sedang, dan berat. Kategori
ringan meliputi maintenance, yang mencakup pemeriksaan terhadap kondisi komponen dari
pesawat yang masih dalam keadaan baik, dan perbaikan dapat dilakukan secara
cepat. Aktivitas dalam perawatan ini biasanya berupa pemeriksaan struktur luar pesawat,
landing gear (roda pendarat), mesin, sayap, dan baling-baling. Jika diperlukan, akan
dilakukan penambahan oli, nitrogen, air, dan oksigen.
Kategori sedang meliputi perawatan bervariasi dan mempunyai jadwal yang ketat sekitar dua
minggu. Dengan catatan, semakin tua umur pesawat, penyelesaian perawatan akan semakin
lama. Dalam perawatan level sedang ini dilakukan pergantian komponen yang usia
pemakaiannya telah habis.
Terakhir, kategori berat (heavy maintenance) dengan ground time yang lama sekitar satu
bulan. Hal itu karena banyak jenis perawatan yang harus dilaksanakan dan direkomendasikan
langsung dari pabrik pesawat terkait pada sertifikasi kelayakan terbang dari pesawat. Dalam
perawatan ini hampir seluruh bagian dari air-frame pesawat diperiksa secara rinci. Anggaran
untuk jenis perawatan ini sangat tinggi, baik meliputi waktu, tenaga kerja, maupun material
yang digunakan.
Pengelolaan MRO
Dalam industri penerbangan sipil pengelolaan perawatan pesawat mulai pengadaan suku
cadang sampai perawatan tidak selalu ditangani oleh perusahaan penerbangan itu sendiri.
Garuda Indonesia misalnya menyerahkan penanganan suku cadang dan sistem kebijakannya
19
kepada perusahaan maintenance, repair, dan overhaul (MRO) yaitu PT Garuda Maintenance
Facility Aeroasia.
Peranan perusahaan sebagai penyedia jasa maintenance, repair, dan overhaul dalam industri
penerbangan adalah untuk menjamin bahwa pesawat selalu dalam kondisi siap beroperasi
sebelum mengudara. Dengan demikian, pesawat dapat mencapai misi serta jadwalnya tanpa
ada gangguan (Kilpi, 2008).
Bagaimanakah dengan MRO di TNI AU sendiri mengingat pesawat militer harus terjamin
lebih unggul baik dalam keamanan dan kerahasiaannya? Pesawat yang dinyatakan laik
terbang adalah pesawat yang secara teratur dan tepat waktu menjalani perawatan.
Maintenance pesawat terbang baik sipil—apalagi militer— sesungguhnya direncanakan
secara terperinci dan juga dibukukan untuk dilaporkan guna mendapatkan sertifikasi. Dengan
begitu, setiap penerbangan pasti memiliki rencana dan rekam jejak yang dapat menjadi tolok
ukur kesempurnaan dan ketepatan pelaksanaan maintenance.
Sudah waktunya insiden yang menimpa pesawat TNI AU dapat membuat perhatian kita
tertuju pada masalah ketersediaan anggaran, MRO, serta tanggung jawab manajemen
perawatan alutsista. Artinya, sudah saatnya diperlukan investigasi yang tidak saja mencakup
pilot, pesawat, dan cuaca semata, tetapi juga pada landasan udara (lanud) yang menjadi
tanggung jawab para Komandan Skuadron, Komandan Wing, maupun Komandan Lanud.
Dengan demikian, pembenahan keseluruhan manajemen sistem perawatan dan pemeliharaan
pesawat tempur dan non-tempur TNI AU dapat meningkat pesat.
Mari jadikan slogan ”NKRI Harga Mati” seperti tertulis di lanud ataupun di badan-badan
pesawat TNI AU dapat terwujud, dan bukan berganti menjadi ”Alutsista Harga Mati” bagi
para pahlawan dirgantara kita sendiri.
CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE
Analis Militer dan Pertahanan Negara – Indonesia Institute for Maritime Studies
20
Ombudsman ke Depan
15-02-2016
The Rule of Law Index 2015 menempatkan Indonesia di urutan nomor 52 dari 102 negara
yang disurvei. Posisi beberapa negara ASEAN lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Di
antaranya Filipina (51), Malaysia (39), bahkan Singapura berada pada urutan sembilan.
Hasil survei tertuang dalam the Rule of Law Index ini merefleksikan bagaimana publik
mengalami penerapan hukum dalam keseharian mereka. Tentu saja terkait erat bagaimana
negara melayani publiknya dalam berbagai aspek kehidupan.
Secara berurutan empat negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia, dan Finlandia)
menempati posisi terbaik dunia. Banyak yang meyakini posisi terbaik negara-negara
Skandinavia ini erat kaitannya dengan keberadaan ombudsman mereka yang telah ada sekitar
1800-an. Kondisi ini berhasil membentuk kultur hukum, jauh dari perilaku koruptif.
Indonesia juga sejak tahun 2000 telah mengenal adanya Komisi Ombudsman yang kemudian
tahun 2008 beralih menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Ombudsman Itu Apa
Ombudsman itu apa? Pertanyaan yang sering kali diajukan masyarakat kebanyakan. Tentu
bukan tanpa alasan mengapa pertanyaan mendasar ini diajukan. Padahal ORI sesungguhnya
tempat masyarakat mengadu terhadap pelayanan-pelayanan negara yang belum memenuhi
standar pelayanan yang baik.
Ide dasar pembentukan Ombudsman sebagai lembaga ditugasi mencegah terjadinya praktik-
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pelayanan publik. Pelayanan publik yang adil,
bebas dari diskriminasi atau pun perilaku koruptif akan melahirkan kultur melayani dari para
penyelenggara negara. Seharusnyalah penyelenggara negara itu aparatur yang melayani,
bukan minta dilayani. Aparatur negara yang melayani pasti terhindar dari perilaku koruptif
seperti melakukan pungutan liar (pungli) atas setiap “layanan” yang diberikan. Kondisi ini
melahirkan semua lembaga penyelenggara negara bekerja sesuai prosedur standar dan
prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance).
Ombudsman Indonesia dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman. Undang-undang memberikan kewenangan kepada lembaga negara ini untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk BUMN dan BUMD. Luas sekali lingkup
pengawasan Ombudsman.
21
Ekspektasi Terhadap ORI
Ombudsman Indonesia (ORI) periode 2016-2021 diseleksi dari 269 calon yang seleksinya
dilakukan oleh pansel independen. Pengujung dari seleksi itu, Presiden menyerahkan 18
nama kepada Komisi II DPR RI untuk dilakukan fit and proper test. Komisi II pula yang
menentukan komposisi seorang ketua, seorang wakil ketua dengan tujuh anggota
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
DPR RI memiliki harapan terhadap Ombudsman Indonesia. Harapan ini tecermin dari banyak
hal. Pertama, mereka sangat hati-hati dalam melakukan seleksi terhadap ke-18 nama yang
disampaikan oleh pemerintah. Malah sempat ke-18 nama tersebut dikembalikan dengan
alasan netralitas pansel. Walaupun pada akhirnya kembali diterima oleh Komisi II setelah ada
penjelasan yang argumentatif.
Harapan DPR RI tecermin baik melalui pernyataan langsung oleh para anggota Komisi II
kepada para calon maupun melalui media. Pertama, soal soliditas tim yang ditegaskan oleh
Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman. Beliau mengemukakan bahwa diharapkan sembilan
anggota ORI dapat bekerja secara solid, bahu-membahu membesarkan lembaga yang
memiliki tugas tidak ringan.
Wajar saja ada ekspektasi tinggi dari Komisi II. Di antara alasan karena mereka telah
memilih secara ketat. Secara formal, komposisinya keanggotaannya luar biasa. Ada nama-
nama yang sudah dikenal oleh publik. Ada pancaran harapan terang di wajah para anggota
Komisi II atas pilihan mereka setelah melalui proses cukup melelahkan dengan berbagai
dinamikanya.
Sebagai representasi publik, tentu ekspektasi Komisi II DPRRI adalah harapan masyarakat
luas. DPR menyerap berbagai aspirasi masyarakat baik terkait proses seleksi maupun apa
yang berkembang selama ini terkait dengan pelayanan publik dan sepak terjang Ombudsman
di masa lalu dan ke depan.
Tantangan dan Strategi ke Depan
Ada beberapa tantangan bagi Ombudsman ke depan. Pertama, lembaga ini belum dikenal
secara luas oleh publik. Padahal publik paling berkepentingan untuk menindaklanjuti keluhan
mereka terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan. Dikenal oleh publik itu penting dengan berbagai kerugian apabila Ombudsman
belum terlalu memasyarakat.
Kedua, Ombudsman dinilai sebagai lembaga negara yang “tidak ditakuti” karena sering kali
rekomendasinya tidak dipatuhi oleh para terlapor. Selain itu, malah ada yang menilai bahwa
laporan-laporan yang disampaikan tidak mendapat tanggapan yang patut dari Ombudsman.
Visi-misi dan strategi ORI secara institusi tentu dirumuskan oleh sembilan anggotanya.
22
Namun, ada beberapa alternatif strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi berbagai
tuduhan kelemahan yang ada pada Ombudsman. Pertama, harus dilakukan berbagai upaya
agar ORI lebih terpublikasi. Memanfaatkan berbagai forum dan media sudah pasti. Para
ombudsman harus tampil di berbagai arena dan terus menyosialisasikan eksistensi
lembaganya.
Sebagai ketua saya beruntung karena kini ORI diisi oleh sosok yang berkredibilitas dan
popularitas baik. Di antara mereka sudah sangat dikenal publik yang diharapkan “tampil
kembali” tetapi dengan baju berbeda sebagai anggota Ombudsman Republik Indonesia.
Saya juga ingin membangun budaya melapor oleh publik. Masyarakat tidak boleh sungkan
menyampaikan keluhan/laporan terhadap pelayanan publik yang tidak sesuai
standar. Memang konsekuensinya jumlah laporan akan meningkat dan itu berarti beban kerja
ORI semakin tinggi berhadapan dengan sumber daya terbatas. Tradisi melapor diharapkan
melahirkan sikap kehati-hatian dari penyelenggara negara dan pemerintahan. Tidak terlalu
soal apakah terlapor bersalah atau tidak karena keadaan “dilaporkan” itu sendiri sudah
merepotkan. Ke depan mestinya membuat para pelayan publik bekerja lebih cermat dan
profesional. Walaupun ORI harus pula memilah-milah laporan yang terkadang lemah
keabsahannya.
Terhadap rendahnya kepatuhan terlapor untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman,
ada beberapa strategi yang patut dilakukan. Dua di antaranya adalah dengan memublikasikan
pelapor yang membangkang melaksanakan rekomendasi. Membuka pula opsi untuk
menindaklanjutinya secara hukum atas sengketa yang ada. Opsi-opsi lain terbuka agar
kehadiran Ombudsman lebih terasa greget-nya.
Tantangan Ombudsman ke depan tidaklah ringan. Selama ini ekspektasi publik yang tinggi
terlanjur berbaur dengan realita yang kebalikannya. Harapan publik terhadap ORI ke depan
harus dijawab dengan kerja keras dan karya nyata sebagai jawaban atas berbagai tantangan.
Semua itu suatu keniscayaan karena kita tidak ingin menambah jumlah lembaga negara yang
telanjur dianugerahi ketidakpercayaan masyarakat dengan berbagai implikasinya.
PROF AMZULIAN RIFAI PhD
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
23
KPK Harus Terbebas dari Rongrongan
16-02-2016
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terbebas dari potensi rongrongan eksternal
maupun potensi rongrongan internal. Penguatan dan terjaganya independensi itulah yang
akan diwujudkan melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang KPK.
Semua elemen masyarakat hendaknya tidak lupa pada kasus dugaan penyalahgunaan fungsi
KPK yang terjadi sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kasus dugaan penyalahgunaan
fungsi KPK itulah yang menyebabkan KPK harus dipimpin oleh tiga pelaksana tugas (Plt)
pimpinan KPK sejak Februari hingga Desember 2015. Tiga Plt pimpinan KPK itu yakni
Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP harus ditampilkan karena
ketua KPK definitif saat itu harus menghadapi proses hukum untuk perkara yang disangkakan
kepadanya.
Keterpaksaan menghadirkan tiga Plt pimpinan KPK itu seharusnya dilihat sebagai bukan
persoalan sederhana. Sebaliknya, tampilnya Plt kepemimpinan itu mencerminkan ada
masalah internal yang luar biasa kompleks. Demikian kompleksnya sehingga institusi KPK
sendiri tak bisa mencegah terjadi dugaan penyalahgunaan fungsi, bahkan juga tak mampu
menyelesaikannya. Pimpinan KPK saat itu diduga menggunakan kekuatan lembaga
antirasuah tersebut untuk mengejar target politik pada periode Pilpres 2014.
Logika tentang urgensi penguatan KPK disederhanakan saja. Ajang pilpres itu sangat
transparan karena diawasi publik. Kalau di ajang yang begitu terbuka sang pemimpin bisa
mendapatkan status terduga pelaku pelanggaran etika, tentu akan sangat banyak peluang
untuk melakukan pelanggaran etika di ruang tertutup oleh oknum satuan kerja di lembaga
antirasuah itu.
Berangkat dari pengalaman tak menyenangkan seperti itu, semangat yang seharusnya lebih
dikedepankan adalah menutup peluang bagi terjadi kasus pelanggaran etika. Karena itu, KPK
pun harus diawasi agar tidak berevolusi menjadi superbodi yang untouchable. Itulah
semangat yang dibawa poin-poin dalam draf revisi UU No. 30/2002 tentang KPK.
Jangan lupa bahwa revisi UU KPK sudah dibahas bersama antara pemerintah, DPR, dan
KPK. Pembahasan itu menyepakati empat poin revisi meliputi pengangkatan penyidik
independen, pembentukan Dewan Pengawas KPK, mekanisme penyadapan yang harus
melalui izin Dewan Pengawas KPK, dan wewenang penerbitan SP3. Predictable bahwa draf
revisi itu akan menimbulkan pro dan kontra. Beberapa kalangan tidak setuju dengan
dihadirkannya Dewan Pengawas KPK.
24
Menurut Pasal 37 D draf revisi UU KPK, dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh Presiden
setelah melalui proses seleksi. Pasal yang sama juga menetapkan dua tugas utama dewan
pengawas yakni memberikan izin penyadapan dan penyitaan serta menyusun dan menetapkan
kode etik pimpinan KPK.
Kelompok masyarakat lainnya menolak wewenang penyadapan itu dibatasi. Ada juga yang
tidak sependapat dengan pemberian wewenang menerbitkan penerbitan surat perintah
penghentian penyidikan (SP3). Bahkan ada yang berpendapat bahwa draf revisi UU KPK itu
tidak sesuai dengan konteks kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu,
disarankan agar draf revisi itu dikaji lagi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Ragam aspirasi publik itu diterima sebagai masukan oleh Panitia Kerja (Panja) Revisi UU
KPK di Badan Legislasi DPR. Karena itulah, pengesahan draf revisi UU KPK menjadi RUU
inisiatif DPR yang rencananya dilakukan pada Rapat Paripurna DPR, Kamis (11/2) harus
ditunda. Pada rapat Badan Legislasi hari sebelumnya, sembilan fraksi (Fraksi PDI
Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi Hanura, Fraksi Nas-Dem, Fraksi
PKB, Fraksi PPP, Fraksi Golkar, dan Fraksi PAN) menyetujui draf revisi itu. Belakangan
Fraksi Partai Demokrat dan konon PKS berubah sikap.
Menguatkan dan Melindungi
Sesungguhnya fraksi-fraksi ini sudah bersepakat untuk memastikan bahwa revisi UU KPK
tidak akan melemahkan KPK. Fraksi-fraksi itu belajar dari pengalaman tak sedap yang
sempat dialami KPK. Karena itu, semangat fraksi-fraksi DPR yang pro-revisi itu adalah
memperkokoh kekuatan KPK agar mampu menghalau rongrongan eksternal maupun
rongrongan yang bersumber dari internal KPK sendiri. Tak satu pun kekuatan politik di DPR
ingin melemahkan KPK.
Pernyataan kepastian dari fraksi-fraksi DPR ini sekaligus merespons pernyataan sikap
Presiden Joko Widodo yang akan memilih opsi mundur dari pembahasan jika revisi UU itu
akan melemahkan KPK. Pernyataan sikap pemerintah itu terlalu dini karena draf revisinya
sendiri belum disahkan.
Dewan Pengawas KPK jelas sangat diperlukan karena para pimpinan KPK dan jajaran di
bawahnya adalah manusia-manusia biasa dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Berangkat dari persepsi ini, menolak kehadiran Dewan Pengawas KPK
terkesan kekanak-kanakan. Soalnya, penolakan itu lebih dilandasi oleh asumsi bahwa
pimpinan KPK dan jajaran di bawahnya adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa
atau kesalahan, baik disengaja atau tidak disengaja.
Pertanyaannya, adakah manusia biasa yang mampu memenuhi kriteria malaikat suci itu?
Komunitas hakim sebagai pengadil saja masih memerlukan pengawasan oleh Komisi
Yudisial (KY). Belakangan ini bahkan muncul dorongan agar peran KY sebagai pengawas
eksternal komunitas hakim segera diperkuat. Penguatan fungsi KY merupakan bagian dari
25
upaya memperbaiki citra lembaga peradilan di negara ini. Maka itu, mengapa harus
dimunculkan rasa takut berlebihan jika KPK pun harus diawasi oleh dewan pengawas.
Keberatan terhadap kehadiran Dewan Pengawas KPK bukan saja terkesan kekanak-kanakan,
melainkan juga sangat tidak masuk akal.
Hak menyadap tetap melekat pada KPK. Tetapi, penggunaan atas hak itu harus bisa
dikendalikan agar tidak lagi sewenang-wenang. Untuk itulah, kendali penggunaan hak itu
dipercayakan kepada Dewan Pengawas KPK. Mencurigai Dewan Pengawas KPK akan
melemahkan dan menurunkan agresivitas KPK pun terasa mengada-ada. Pertama karena
dewan pengawasnya saja belum pernah ada, dan belum ada gambaran siapa saja yang akan
menjadi anggota dewan itu. Apalagi, KPK belum memiliki pengalaman diperkuat dewan
pengawas. Orang-orang baik tak pernah takut diawasi. Hanya orang sok suci atau munafik
yang takut diawasi.
Memang Dewan Pengawas KPK pun akan diisi oleh manusia biasa yang mungkin saja coba
menyisipkan kepentingannya ketika menjalankan fungsi pengawasannya. Katakanlah ada
oknum anggota dewan pengawas yang justru merusak strategi penyidikan; gangguan-
gangguan seperti itu tentunya bukan tidak bisa diperbaiki. Bahkan, jika nanti Dewan
Pengawas KPK terbukti tidak efektif mendukung pemberantasan korupsi, harus ada
keberanian untuk mengeliminasi Dewan Pengawas KPK itu melalui revisi UU KPK
lagi. Terpenting saat ini, harus ada kemauan dan keberanian bersama untuk memfungsikan
Dewan Pengawas KPK karena tujuannya untuk memperkokoh kekuatan KPK, sekaligus
menjaga independensi KPK.
Draf revisi UU KPK yang akan dibahas nanti sebenarnya belum komprehensif. Dalam
banyak diskusi, para pakar dan praktisi hukum justru berpendapat bahwa masih ada beberapa
aspek yang perlu dibenahi jika ingin mewujudkan KPK yang benar-benar kuat, profesional,
dan transparan.
Misalnya soal penyadapan. Hak menyadap adalah keistimewaan yang luar biasa. Idealnya,
hak itu juga dipertanggungjawabkan kepada publik. Pada akhirnya, UU KPK pun harus
mengatur kewajiban KPK mempertanggungjawabkan penggunaan hak menyadap itu.
BAMBANG SOESATYO
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
26
Tantangan Jokowi dalam Revisi UU KPK
17-02-2016
Kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid 4 yang baru dilantik langsung
menghadapi tantangan serius. Utamanya terkait agenda dan keinginan politik DPR untuk
melakukan revisi UU No. 30/2002 yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas)
tahun ini. Pihak di DPR tampaknya berupaya percepat pembahasan revisi itu kendati masih
belum mendapatkan dukungan bulat dari Fraksi Gerindra, Demokrat, dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).
Upaya revisi ini sebenarnya bukan hal baru. Pada 2012 DPR pernah memunculkan usulan
revisi UU KPK, namun langkah itu terhenti karena mendapat penolakan masif dari berbagai
elemen masyarakat. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat itu
agaknya tidak mau berhadapan dengan publik yang menginginkan KPK tetap bergerak
”menghabisi para koruptor”.
Alasan penolakan revisi UU itu sudah secara luas diketahui publik. Dalam revisi pada intinya
terlalu banyak klausul yang akan menjadikan KPK teramputasi kewenangannya sehingga
lembaga anti-rasuah ini menjadi tak bermanfaat dan kemudian akhirnya ditiadakan. Maka tak
heran bila kemudian sejumlah tokoh agama berkumpul di Griya Gus Dur, Jumat (5/2) lalu,
seraya menyatakan sikap menolak rencana revisi UU tentang KPK itu.
Namun, pihak DPR tampaknya masih akan terus membahas revisi itu dan tak peduli dengan
penolakan publik yang sangat luas. Hal ini bisa disebabkan karena dua alasan. Pertama,
alasan klasik legalistik yakni dianggap sebagai suatu kewajiban untuk dilakukan karena ada
dalam Prolegnas 2016. Jika tak dibahas, barangkali dianggap suatu kesalahan besar sehingga
tak peduli bila mendapat penolakan dari masyarakat luas.
Kedua, tampaknya terkait dengan psiko-politik atau trauma dari politisi. Selama ini pihak
politisi menjadi korban ”keganasan” kewenangan KPK sehingga mereka merasa
dipermalukan dan citranya pun kian buruk. KPK tampak tidak mau berkompromi dengan
para koruptor politik. Singkatnya, UU No. 30/2002 KPK dianggap ”sangat mengerikan”
sehingga harus dilakukan perubahan dasar hukumnya melalui proses-proses politik yang
menjadi wilayah kewenangan DPR dan pemerintah.
Dengan kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Damayanti Wisnu Putranti dari
Fraksi PDIP pada 13 Januari lalu semakin memacu adrenalin sebagian politisi Senayan untuk
merevisi UU KPK. Tetapi, gairah politik melakukan revisi itu agaknya langsung terhentak
ketika pimpinan KPK jilid 4 saat ini langsung melakukan penolakan atau keberatan. Sikap itu
ditunjukkan dengan tidak menghadiri undangan rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR Selasa
27
(2/2).
Alasan penolakan pun intinya sama saja dengan alasan dari banyak pihak yang antara lain
sudah disebutkan di atas. Namun, tentu saja juga ada pertimbangan subjektif rasional dari
pihak KPK yakni tak mau mendegradasi posisinya sendiri jauh di bawah para pendahulunya.
Selain tak mau dituduh berjasa untuk turut ”menghabisi” lembaga yang mereka pimpin serta
memperparah praktik korupsi di negara ini.
***
Sikap tegas atau pembangkangan pimpinan KPK itu bukan mustahil akan menjadikan pihak
DPR marah dan semakin ngotot untuk melakukan revisi. Apalagi kalau Presiden Joko
Widodo (Jokowi) juga mengamininya alias tak peduli dengan penolakan publik terhadap
upaya amputasi KPK itu. Karena, pada umumnya partai politik pendukung Jokowi yang
menjadi inisiator revisi UU KPK.
Besar kemungkinan pada 2016 ini menjadi awal dari pesta poranya para koruptor di negeri
ini. Inilah pertarungan terberat dalam perjalanan negara pada Era Reformasi. Kita semua tahu
bahwa KPK dibentuk sebagai instrumen utama reformasi dalam rangka menciptakan
pemerintahan yang bersih dari warisan Orde Baru lantaran mandulnya kejaksaan dan
kepolisian yang sudah lebih awal memperoleh mandat pemberantasan korupsi.
Namun, semua pihak menilai bahwa hingga saat ini dua lembaga itu masih sangat
memprihatinkan. Bukan saja kejaksaan dan kepolisian belum menunjukkan taringnya,
melainkan justru pada tingkat tertentu masih terkesan menjadikan kasus-kasus korupsi
sebagai proyek yang ditransaksikan. Banyak kasus korupsi di daerah yang lalai disentuh
jajaran kepolisian dan kejaksaan.
Bahkan kemudian pihak KPK-lah yang menanganinya dan melakukan OTT. Cara OTT
menjadikan KPK sebagai lembaga yang efektif menangkap koruptor dibandingkan kepolisian
dan kejaksaan. Begitu pula terkait kasus rekening gendut sejumlah kepala daerah, di mana
pihak Kejaksaan Agung mengumumkan akan menanganinya. Namun, faktanya hingga saat
ini berbagai kasus itu bukannya diusut, namun justru didiamkan atau barangkali dideponir.
Maka banyak pihak kemudian mencurigai ada motif ”memproyekkan” kasus-kasus pencucian
uang itu.
Apa yang mau dikatakan di sini sebenarnya publik bangsa ini mengakui bahwa praktik
korupsi pada Era Reformasi jauh lebih dahsyat dan merajalela dibanding era Orde Baru.
Sampai saat ini seharusnya KPK-lah yang menjadi tumpuan utama untuk menjalankan misi
reformasi. Bukan sebaliknya yakni harus dilemahkan dan atau ditiadakan sebagaimana
substansi dari upaya revisi UU No. 30/2002 itu.
Pada saat yang sama, harus ada gerakan terkomando di bawah pimpinan Presiden Jokowi
untuk memastikan jajaran kejaksaan dan kepolisian bisa bertindak ”sama galaknya” dengan
28
KPK. Dengan demikian, berbagai kasus korupsi dapat ditangani hingga tuntas karena
memang dua lembaga itu memiliki kaki tangan atau instrumen sampai di seluruh pelosok
Tanah Air. Bila hal ini terjadi, KPK bukan saja tak perlu membentuk perwakilan di daerah-
daerah, melainkan juga secara perlahan perlu segera ditiadakan karena memang statusnya
sebagai lembaga yang bersifat ad hoc (tidak permanen).
Persoalannya sekali lagi, Presiden Jokowi tampaknya belum menjadi komandan bagi dua
lembaga itu untuk menjalankan mandat pemberantasan korupsi secara serius. Roadmap ke
arah itu pun rasa-rasanya belum dibuat sehingga publik bangsa ini pun semakin tidak yakin
terhadap peran kejaksaan dan kepolisian untuk menggantikan peran garang dari KPK.
Presiden Jokowi seharusnya menyadari kondisi objektif ini sehingga harus lebih bijak dalam
memastikan keterlibatan pihaknya untuk membahas revisi UU tentang KPK bersama
DPR. Jika kemudian Presiden Jokowi turut mendorong atau memerintahkan menterinya
untuk membahas revisi itu, jangan marah dan tersinggung bila publik menilai pemerintah
melakukan pembiaran praktik korupsi dan ”melawan misi utama reformasi”. Di sinilah
tantangan serius bagi Presiden Jokowi karena sesungguhnya bola panas politik itu tetap
berada dalam kendalinya.
Kendati begitu, bukan berarti kejaksaan dan kepolisian harus terus dibiarkan dengan kondisi
seperti sekarang. Agenda Revolusi Mental dari Presiden Jokowi harusnya terlebih dulu
dipaksa untuk dilakukan di dua lembaga yang berada di bawah komandonya itu dengan
memastikan ada gerakan nyata menyapu bersih korupsi sampai ke seluruh pelosok Tanah
Air. Apalagi hal itu merupakan bagian upaya mewujudkan salah satu butir Nawacita yang
pernah dijanjikannya. Jika kemudian kejaksaan dan kepolisian berdaya dan bertaring
memberantas korupsi, niscaya tak akan ada lagi resistensi dari masyarakat luas bila KPK
ditiadakan.
Ada desakan revisi UU No. 30/2002 harus dijadikan introspeksi mendasar bagi KPK terhadap
cara kerjanya selama ini, yang selain tidak memiliki standar akuntabilitas dan transparansi,
juga terkesan tebang pilih. Pada posisi ini, hemat saya, diperlukan pula badan pengawas
independen terhadap KPK.
LAODE IDA
Mantan Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
29
Matinya Checks and Balances di Era
Nawacita?
17-02-2016
Merapatnya sebagian partai-partai yang semula menjadi elemen dari Koalisi Merah Putih
(KMP) ke dalam pusaran kekuasaan pemerintahan, di satu sisi menimbulkan harapan akan
semakin kondusifnya situasi perpolitikan di negeri ini.
Namun, di sisi lain, harapan untuk lahirnya struktur kekuasaan negara yang berpola checks
and balances melalui hadirnya penyeimbang kritis yang berdiri di luar pusaran kekuasaan
pemerintahan kian memudar. Setelah (sebagian) pengurus PPP, khususnya dari kubu Romi,
memutuskan untuk berada di lingkaran koalisi partai pendukung pemerintah, disusul PAN
dan kini Partai Golkar memutuskan untuk bergabung dalam koalisi tambun partai pendukung
pemerintah.
Sikap Partai Gerindra dan (sebagian) elite PKS yang memutuskan untuk tetap berdiri di kubu
KMP masih memberikan harapan untuk tetap ada peranan partai-partai yang mampu bersuara
kritis sebagai penyeimbang meskipun secara de facto KMP kini berada di persimpangan
jalan. Sudah menjadi kelaziman dalam peta politik koalisi pada umumnya selalu diikuti
dengan bargaining power untuk berbagi kursi kabinet yang menjadi representasi dari partai-
partai pendukung koalisi.
Masih munculnya pola koalisi partai dalam struktur ketatanegaraan di negeri ini dibuka oleh
karakter hybrid dari UUD Negara RI 1945 yang menunjukkan sistem presidensial bercorak
parlementer. Ambillah contoh dalam pencalonan presiden dan wapres pada era pilpres,
gabungan parpol yang menjadi tiket masuk pencalonan presiden dan wapres sejatinya
menjadi benih bagi lahirnya sistem koalisi.
Hal inilah yang dapat menjadi benih tampilnya pemerintahan totaliter jika gabungan parpol
pengusung capres dan cawapres tersebut berkembang menjadi koalisi partai yang tambun dan
mengelilingi pusat kekuasaan dengan berbagai kepentingannya. Pola ini bisa menggeser
suara rakyat yang sempat dimasukkan dalam kotak-kotak suara untuk mendukung capres dan
cawapres menjadi suara kepentingan parpol maupun koalisi parpol.
Pola semacam itulah yang oleh para filosof masa lalu disebut sebagai suatu oklokrasi, yaitu
bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan sekelompok orang dengan tujuan
hanya untuk kepentingan kelompok itu sendiri tanpa memedulikan kepentingan orang
banyak. Oklokrasi berasal dari kata okhlos yang berarti kelompok orang, dan kratein atau
kratos yang berarti kekuasaan atau kekuatan.
30
Pola koalisi yang semakin tambun dan kini mengelilingi gerbong pemerintahan dengan
berbagai macam kepentingan eksplisit maupun implisitnya dapat menjurus menjadi
kekuasaan oklokrasi. Pemerintah pun karena dibutakan oleh kepentingan membangun
pemerintahan yang stabil tanpa oposisi yang berarti bisa jadi akan cenderung permisif
terhadap berbagai kepentingan yang ditawarkan para penumpang baru (baca: free rider)
dalam gerbong koalisi pendukung pemerintahan. Hal ini diperparah oleh masih belum
idealnya fungsi partai politik di negeri ini.
Dengan semakin mengecilnya kekuatan KMP pilihan yang bisa diambil oleh KMP adalah
merangkul rakyat untuk tetap mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah agar pemerintah tak
terlena dan gagal menjalankan fungsi kekuasaannya. Semakin merapatnya partai-partai oleh
magnet kekuasaan untuk menjadi koalisi pendukung pemerintahan ada bahaya absolutisme
kekuasaan.
Dalam kondisi tersebut, suara kritis parlemen juga bisa pudar karena fraksi-fraksi dalam
tubuh parlemen juga tak lebih merupakan kepanjangan tangan partai-partai politik yang kini
kecenderungan kian tersedot dalam kumparan magnet kekuasaan.
Implikasi politik yang juga tak terhindarkan adalah dilakukan perombakan Kabinet Kerja
yang menjadi kelanjutan dari bargaining politic dalam skema koalisi baru di kubu pendukung
pemerintahan. Bisa jadi, perombakan kabinet akan dilakukan secara gelap mata hanya
didasarkan atas pertimbangan untuk memuaskan syahwat koalisi, bukan didasarkan atas
evaluasi kinerja dengan parameter yang jelas berdasarkan indikator-indikator pelayanan
publik dan kapasitas kelembagaan sektoral dalam melaksanakan berbagai undang-undang
sektoral yang menjadi tanggung jawab setiap kementerian/lembaga.
Tanggung jawab kementerian/lembaga sebagai pelaksana kebijakan sektoral sejatinya
mencerminkan karakter Kabinet Kerja yang selama ini menggunakan rujukan visi dan misi
Presiden yang tertuang dalam Nawacita. Jika ternyata perombakan kabinet tak lagi
didasarkan atas indikator kualitas pencapaian visi dan misi tersebut, namun justru karena
tekanan koalisi, sejatinya hal inilah yang menjadi petunjuk terjadi kemerosotan demokrasi
menjadi oklokrasi.
Jika berkaca pada hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang baru saja dirilis,
sesungguhnya tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama setahun
terakhir semakin meningkat. Dari hasil survei terlihat bahwa 59,1% responden cukup puas
atas kinerja Jokowi dalam menjalankan pemerintahan, 7,4% sangat puas, 28,7% kurang puas,
2,3% tidak puas sama sekali. Sedangkan 2,5% responden tidak tahu atau tidak menjawab.
Soal kondisi ekonomi, 34% responden menilai keadaan ekonomi nasional dalam setahun
terakhir membaik, 28% menilai memburuk, dan 34% menilai keadaan ekonomi nasional
tidak berubah.
Terkait dengan revisi UU KPK, para responden menilai tidak diperlukan ada revisi tersebut.
Para responden yang menilai kinerja Jokowi memuaskan pun langsung menjawab tidak
31
setuju saat ditanya soal revisi UU KPK. Baik kelompok yang puas atau kurang puas polanya
kurang lebih sama, revisi UU KPK akan melemahkan KPK, tidak setuju dengan pembatasan
kewenangan penyadapan, dan juga tak setuju kewenangan dalam penuntutan dihapuskan.
Berkaca pada hasil survei tersebut, sejatinya membuktikan bahwa dalam setahun terakhir
kinerja Kabinet Kerja di bawah pemerintahan Jokowi masih dipercaya oleh rakyat dengan
tingkat kepuasan yang tinggi dengan catatan terkait rencana revisi UU KPK tersebut.
Jokowi harus tetap mencermati arah perkembangan struktur koalisi partai pendukung
pemerintah yang baru agar tidak justru menyebabkan kegaduhan politik baru dan matinya
checks and balances dalam struktur kekuasaan yang semakin intoleran terhadap suara kritis
dari luar kelompok pendukung pemerintah.
Demokrasi adalah sebuah sinergi dari perbedaan-perbedaan yang justru menjadi sebuah
harmoni dalam format kebangsaan yang plural.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHum
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
32
Haramnya Revisi UU No. 30 Tahun 2002
tentang KPK
18-02-2016
Rencana DPR untuk melakukan revisi terhadap UU KPK kembali memantik
perdebatan. Sengitnya perdebatan ini diwarnai aksi menolak revisi oleh beberapa kalangan
baik pakar hukum maupun kelompok masyarakat sipil yang concern dengan wacana
pemberantasan korupsi.
Perang argumentasi dan opini tidak hanya diarahkan untuk memengaruhi persepsi publik,
bahkan juga ditujukan kepada Presiden agar menolak usul revisi yang menjadi inisiatif
DPR. Presiden seakan hanya disuguhkan pilihan untuk ”menolak” dengan mengikuti basis
argumentasi dan kerangka pikir bahwa revisi ”haram” hukumnya dan hanya akan
melemahkan KPK.
Padahal, jika merujuk pada garis fungsi dan kewenangan yang diamanatkan dalam konstitusi,
DPR-lah pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang (Pasal 20 ayat 1 UUD
1945). Tentu, sebagai pengejawantahan fungsi legislasi, menjadi salah satu tugas DPR untuk
menyusun dan membahas sebuah rancangan undang-undang bersama Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat 2 UUD 1945).
Jika dibaca dalam konteks ini, idealnya semua pelaksanaan fungsi legislasi dititiktekankan
pada pemenuhan aspirasi publik berdasarkan skema kebutuhan hukum dalam
masyarakat. Bukan sebaliknya, berdasarkan aspirasi sebagian masyarakat yang kemudian
dijustifikasi telah mewakili kepentingan publik pada umumnya serta merasa berhak
memegang ”tafsir kebenaran” dalam setiap narasi pemberantasan korupsi. Terhadap sebagian
masyarakat yang tidak setuju (bahkan Presiden) akan mendapat label sebagai bagian yang
diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi bahkan cenderung dianggap
menyimpang baik secara sosial maupun politik.
Dalam konteks negara hukum yang demokratis, kondisi ini sangat tidak sehat mengingat
proses pembentukan perundang-undangan kerap kali dipengaruhi, bahkan cenderung
diintervensi, melalui cara pembentukan opini dengan tujuan agar respons publik terhadap
proses revisi mendapatkan kesan negatif, tanpa mau melihat secara objektif, urgensi dan
kebutuhan mendasar mengapa UU KPK harus segera direvisi.
Ironisnya, secara institusi KPK memosisikan diri sebagai salah satu yang menolak revisi
sehingga kebutuhan revisi diasosiasikan seakan hanya merupakan agenda legislatif semata,
padahal revisi merupakan amanat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan
33
Prolegnas Prioritas 2016 yang disusun DPR dan pemerintah sebagai kerangka acuan dalam
mewujudkan sistem hukum nasional.
Mesti digarisbawahi, dalam konteks prolegnas, kebutuhan penyusunan maupun revisi sebuah
peraturan perundang-undangan tidak hanya didasarkan pada agenda legislatif, tetapi juga
didasarkan atas sistem perencanaan pembangunan nasional, rencana jangka panjang nasional,
rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR, serta aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat (Pasal 18 UU Nomor 12/2011).
Artinya, dalam kerangka ini, telah terjadi sesat pikir ketika DPR dianggap memiliki agenda
tertentu guna melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Padahal, sah-sah saja ketika DPR
mengartikulasikan kewenangan konstitusionalnya dalam bentuk usulan revisi aturan
perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan konteks zaman. Lagipula usulan tersebut
bukanlah gagasan final, tetapi masih akan dilakukan pembahasan bersama pihak pemerintah.
Seharusnya proses revisi dapat menjadi pintu masuk guna dilakukannya perbaikan-perbaikan
yang diselaraskan dengan rencana pembangunan nasional mengingat UU KPK telah berusia
kurang lebih 12 tahun sehingga perubahan evaluatif merupakan sebuah keniscayaan. Justru
menjadi aneh ketika revisi dimaknai dan digaungkan sebagai upaya pelemahan, serta
dianggap sebagai ajang konsolidasi bagi mereka yang pro-status quo untuk membubarkan
KPK. Sebaliknya, bukankah dapat dikatakan bahwa mereka yang tidak setuju dengan revisi
adalah kelompok yang pro terhadap status quo.
Bahkan secara institusi sikap KPK yang menolak revisi dapat dimaknai sebagai upaya
melanggengkan dan mempertahankan kekuasaannya yang sedemikian luas, pun telah
dicitrakan selama ini sebagai lembaga yang tanpa kesalahan, sementara pada sisi lain proses
perjalanan institusi ini senantiasa dilingkupi dengan berbagai masalah baik yang bersifat
internal maupun eksternal.
Urgensi Revisi
Tarik-ulur soal revisi UU KPK dibarengi dengan basis argumentasi masing-masing. Jika
membaca kerangka pikir pengusul revisi UU KPK yang disampaikan dalam rapat Badan
Legislasi DPR tanggal 1 Februari 2016, terdapat beberapa poin yang menjadi latar belakang
untuk dilakukannya revisi terhadap UU KPK.
Di antaranya: (a) kinerja KPK dianggap masih belum optimal, intensif, efektif, profesional
serta berkesinambungan, (b) lemahnya koordinasi antar-lini penegak hukum, (c) terjadinya
pelanggaran kode etik, (d) adanya masalah dalam implementasi tugas dan wewenang yang
berpotensi terjadi abuse of power, (e) problematika penyadapan yang dianggap melanggar
hak asasi manusia, (f) problem yang terkait dengan pengelolaan penyelidik dan penyidik, (g)
tidak adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang
KPK. Berdasar pada beberapa hal inilah kemudian dalam materi muatan rancangan diusulkan
34
pengaturan yang terkait dengan penyadapan, dewan pengawas, penyelidik dan penyidik, serta
kewenangan yang terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan.
Selanjutnya, urgensi perubahan UU KPK sebenarnya juga disuarakan beberapa ahli hukum.
Adalah Romli Atmasasmita sebagai salah satu ahli hukum yang ikut membidangi lahirnya
UU KPK pada tahun 2002 silam, dalam salah satu opininya (2015) dia juga menyebutkan
beberapa poin yang menjadi masalah krusial dalam perkembangan situasi KPK baik internal
maupun eksternal.
Di antaranya: (a) mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik yang multitafsir termasuk
di dalamnya kekeliruan memahami pengertian lex specialis pada UU KPK khususnya yang
terkait dengan status penyelidik dan penyidik, (b) salah pengertian dalam memahami asas
kolektif kolegial, (c) masalah penyadapan yang diragukan akuntabilitasnya berdasarkan audit
BPK atas kinerja KPK, (d) tidak efektifnya sistem pengendalian internal, (e) tidak jelasnya
ketentuan mengenai kekosongan pimpinan.
Terlepas dari segala pro dan kontra yang terjadi, secara garis besar, penulis mengemukakan
beberapa alasan dalam konteks revisi ini. Pertama, keberadaan dewan pengawas merupakan
antitesis dari tidak optimalnya fungsi pengawasan yang dijalankan oleh sistem pengendalian
internal selama ini. Dalam beberapa kasus, adanya dugaan pelanggaran etika dan perilaku
yang dilakukan oleh pimpinan KPK tidak mendapatkan respons serius, termasuk proses
penanganan dugaan pelanggaran kode etika dilakukan secara tertutup dan tidak
transparan. Padahal dengan melekatnya kewenangan yang demikian luas, membuka peluang
terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK sebagaimana dalil Lord Acton,
”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”
Belum lagi pada persoalan pertanggungjawaban terhadap kebijakan dalam pelaksanaan
kewenangan dalam konteks pro justitia yang oleh sebagian kalangan dipandang cenderung
otoriter dan sewenang-wenang. Demikian pula kesalahan-kesalahan prosedural terjadi
berulang-ulang tanpa adanya mekanisme pengawasan yang berarti.
Tentunya kedudukan dewan pengawas harus diposisikan tidak dalam konteks melakukan
intervensi terhadap proses pemberantasan korupsi, tetapi pada posisi sebagai sistem
pencegahan terjadinya penyalahgunaan wewenang sekaligus sarana penegakan ketika terjadi
pelanggaran etika dan perilaku. Dalam konteks ini, dewan pengawas juga secara tidak
langsung meng-upgrade kedudukan tim penasihat yang selama ini berfungsi hanya
memberikan nasihat dan pertimbangan yang tidak mengikat kepada pimpinan KPK.
Kedua, sejak 2011, Mahkamah Konstitusi RI melalui putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010
dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan
kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu
ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan
perekaman dimaksud. Selanjutnya dikatakan, pembatasan melalui penyadapan harus diatur
35
dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak
asasi.
Tentu dengan dasar argumen ini, upaya pengaturan yang terkait dengan mekanisme
penyadapan maupun pengawasannya bukanlah sesuatu yang ”haram” untuk dilakukan.
Ditambah fakta yang terkait dengan tidak dilaksanakannya audit mengenai penyadapan sejak
adanya putusan MKRI tersebut. Hal ini terungkap melalui hasil audit BPK terhadap kinerja
KPK. Dalam laporan hasil pemeriksaan nomor 115/HP/ XIV/12/13 tanggal 23 Desember
2013 tercatat bahwa penelitian atas kegiatan lawfull interception oleh tim pengawas terakhir
dilaksanakan tahun 2009. Periode setelah tahun 2009 sampai tahun 2011, bahkan sampai
dengan dilakukannya audit kinerja oleh BPK, kegiatan lawfull interception minus
pengawasan.
Ketiga, terkait usulan pemberian kewenangan KPK untuk mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan dan penuntutan. Dalam konteks ini, pemberian kewenangan tersebut
seharusnya tidak dimaknai dalam persepsi negatif, dengan asumsi ketika kewenangan
penghentian penyidikan dan penuntutan diberikan maka berpotensi terjadi penyalahgunaan.
Alur pikir seperti ini justru berbanding terbalik dengan tesis KPK sebagai lembaga yang
menerapkan prinsip pengawasan secara ketat dan zero kesalahan yang selama ini dicitrakan
ke publik.
Pertanyaannya jika memang demikian, mengapa kewenangan penghentian penyidikan dan
penuntutan dianggap sesuatu yang ”haram”? Padahal, prinsip hukum menegaskan
kewenangan ini adalah kebijakan yang patut dilakukan apabila memenuhi syarat, misalnya
ketika tersangka meninggal dunia.
Keempat, tafsir mengenai keabsahan penyelidik dan penyidik KPK (Pasal 45 ayat 1 UU
30/2002) tidak hanya menuai kontroversi dan perdebatan yang mewarnai kinerja KPK selama
ini. Kontroversi ini bukan tanpa dasar, mengingat dalam salah satu putusan praperadilan telah
dinyatakan bahwa penyelidik dan penyidik KPK diangkat tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Kelima, kewenangan KPK dalam melakukan fungsi koordinasi dan supervisi tidak didukung
oleh dasar hukum yang kuat, khususnya yang terkait dengan struktur organisasi yang ada
dalam UU No. 30 Tahun 2002. UU ini hanya mengamanatkan 4 bidang, yaitu pencegahan,
penindakan, informasi dan data, serta bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat
(Pasal 26 ayat 2 UU Nomor 30/2002). Di sisi lain, koordinasi dan supervisi merupakan salah
satu peran vital KPK dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan dan pendorong institusi
penegak hukum lainnya (trigger mechanism).
Keenam, salah satu kendala yang dihadapi dalam konteks pelaporan dan pemeriksaan harta
kekayaan penyelenggara negara sebagai salah satu upaya pencegahan (Pasal 13 UU Nomor
30/2002) disebabkan tidak adanya sanksi yang dapat diberikan terhadap penyelenggara
36
negara yang enggan melaporkan harta kekayaannya. Karenanya proses ini seakan hanya
sebagai pemenuhan syarat formal dan tidak efektif dalam rangka pencegahan.
Beberapa hal tersebut hanyalah bagian kecil yang saling kait-mengait dan butuh perhatian
serius dalam konteks revisi UU KPK. Sangat tidak bijak jika kemudian revisi dimaknai
sebagai proses yang akan mereduksi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi.
Dalam konteks demokrasi, wajar saja jika kemudian usulan revisi ini melahirkan penolakan,
tetapi menjadi sangat tidak wajar jika kemudian penolakan tersebut seakan ”membajak”
kewenangan lembaga legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dengan demikian,
revisi UU KPK bukanlah sesuatu yang ”haram” untuk dilakukan.
AHMAD YANI, SH,MH
Anggota Lembaga Pengkajian MPR RI dan Ketua Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa
37
Menuju Reformasi DPD
19-02-2016
Akhir-akhir ini peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kembali dipertanyakan oleh publik.
Pemantiknya adalah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) pada Sabtu (6/2) yang merekomendasikan pembubaran lembaga tinggi itu.
Beberapa senator merasa sedih dan kecewa hingga kemudian merespons rekomendasi PKB
dengan berbagai argumentasi pertahanan. Ketua DPD Irman Gusman ikut angkat bicara.
Irman menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya adalah produk reformasi yang
menghendaki terwujudnya keseimbangan.
Semangat awal lahirnya DPD adalah untuk mendekonstruksi sistem pemerintahan sentralistik
gaya Orde Baru dengan harapan terjadi sinergi antara lembaga pemerintah pusat dandaerah.
Saat itu masyarakat di daerah menaruh harapan agar masalahnya dapat diangkat dan
diperjuangkan di tingkat nasional. DPD digadang-gadang mampu memainkan peran
sentralnya membawa aspirasi daerah. Namun, faktanya jauh panggang dari api.
Dalam amanat UUD 1945 Pasal 22 D ayat 1 disebutkan, DPD mempunyai tiga fungsi.
Pertama, legislasi, berwenang ikut membahas dan mengajukan rancangan undang-undang
(RUU) kepada DPR. Kedua, memberikan pertimbangan kepada DPR. Ketiga, pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang (UU) dan penyampaian hasil pengawasannya kepada DPR
sebagai bahan untuk ditindaklanjuti.
Amanat UUD tersebut sejatinya menempatkan DPD sebagai lembaga kuat yang berfungsi
memberikan pengawasan pelaksanaan UU. Namun, DPD hanya sebagai “penghias
demokrasi”. Hal itu terjadi lantaran pada 2000 terjadi perubahan pada konstitusi kita yang
memperkuat fungsi DPR. Salah satunya kewenangan sebagai badan legislatif pembentuk UU
yang awalnya hak Presiden kemudian dikembalikan ke DPR. Penguatan tersebut tidak serta-
merta diikuti oleh penguatan fungsi DPD sehingga kewenangannya masih sangat lemah.
Menurut saya, terdapat empat hal yang memosisikan rekomendasi Mukernas PKB tersebut
berada pada titik pijak yang kuat. Pertama, dengan era informasi seperti saat ini, tidak
diperlukan lagi DPD sebagai penyambung lidah antara kepentingan daerah dan pusat. Pada
masa Orde Baru memang terdapat jarak antara pemerintah pusat dan daerah sehingga setiap
kepentingan daerah selalu menemui rintangan saat diperjuangkan di tingkat nasional.
Saat ini kondisi sudah sangat berbeda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Nawacitanya
“membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
38
kerangka negara kesatuan”, membuka arus komunikasi dari berbagai penjuru. Artinya,
aspirasi daerah langsung bisa melesat di jantung pusat.
Kedua, pelaksanaan fungsi DPD sebagai penyeimbang dua kamar (bikameral) untuk
terwujudnya check and balance perlu dievaluasi karena sistem ini menuntut DPD berperan
sekuat gajah, namun faktanya tidak demikian. Sampai saat ini produk DPD tidak bisa diukur,
baik yang bersifat kebijakan maupun program yang langsung dirasakan masyarakat.
Ketiga, keberadaan DPD belum sepenuhnya menjadi “dewa penolong” bagi masyarakat
bawah. Anggaran operasional yang dibebankan kepada rakyat tidak seimbang dengan
manfaat yang dirasakan. Perlu saya ulas, pada 2009 jumlah anggaran DPD dalam APBN
sebesar Rp468,8 miliar. Kemudian pada 2010 sebesar Rp639,2 miliar, pada 2011 sebesar
Rp553 miliar, pada 2012 sebesar Rp589,8 miliar, pada 2013 sebesar Rp592,5 miliar, dan
pada 2014 sebesar Rp739 miliar.
Keempat, kondisi DPD saat ini tidak seirama dengan Nawacita Presiden Jokowi yang ingin
mewujudkan tata kelola pemerintahan efektif. Semangat mewujudkan sistem pemerintahan
efektif harus diikuti optimalisasi fungsi seluruh lembaga negara. Jika tidak, pembubaran
adalah opsi yang harus dipilih.
Saya mengapresiasi Presiden Jokowi atas komitmennya mewujudkan sistem pemerintahan
efektif dengan menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 176 tentang Pembubaran
10 Lembaga Nonstruktural. Ini pil pahit yang harus ditelan lembaga yang mengalami
“disfungsi”.
Jangan Berlarut
Dalam kasus ini kita mempunyai dua pilihan yaitu membubarkan atau memperkuat fungsi
lembaga yang dinakhodai oleh Irman Gusman. Pastinya, kondisinya tak boleh dibiarkan
seperti saat ini. Banyak makan biaya, namun tak berdaya. Pembiaran kasus ini sama halnya
dengan melakukan pemborosan yang melanggar prinsip pengelolaan keuangan negara.
Dengan demikian, reformasi DPD adalah kebutuhan mendesak. Dalam ihwal ini saya
mencatat ada empat hal yang dapat dilakukan. Pertama, DPR dan pemerintah harus duduk
bersama mengagendakan rapat koordinasi khusus persoalan ini. Kita paham bahwa sinergi
DPR dan pemerintah sangat diperlukan sebagai upaya melakukan reformasi sistem
kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan, termasuk DPD.
Kedua, segera membentuk tim reformasi DPD. Tim ini terdiri atas beberapa ahli independen
yang bertugas melakukan kajian dan riset untuk memberikan rekomendasi kepada DPR dan
pemerintah.
Ketiga, membuka komunikasi seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menjaring masukan-
masukan konstruktif. Penjaringan masukan melalui survei sangat direkomendasikan karena
39
hal ini akan mampu menjawab pertanyaan apakah DPD masih diperlukan oleh masyarakat.
Keempat, mendorong lembaga masyarakat dan media untuk memantau DPD lebih ekstra,
berprinsip pada efisiensi dan efektivitas dalam capaian kinerja dan layanan kepada
masyarakat. Keikutsertaan masyarakat yang berpotensi untuk melakukan pemantauan dan
pengawasan secara sukarela atas kinerja para penyelenggara negara sangat diperlukan untuk
mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Selain langkah di atas, terobosan individual anggota DPD untuk berperan lebih maksimal
juga sangat diperlukan. Harus ada kepekaan dan intuisi sosial untuk “mengendus”
permasalahan daerah serta kreativitas dalam meramu “racikan” kebijakan demi terwujud
pemerataan pembangunan. Sudah saatnya seluruh “urat nadi” bangsa tergerakkan untuk
mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien.
Sebab itu, saya mengajak kepada rekan-rekan anggota DPR RI dan pemerintah untuk lebih
ekstra menyikapi hal ini. Kita semua tak boleh melakukan pembiaran. Dalam sebuah
adagium, kita diwajibkan untuk mengubah kemungkaran, ketidakberdayaan, dan pemborosan
dengan tangan, mulut, atau hati kita.
JAZILUL FAWAID
Sekretaris Fraksi PKB dan Anggota Komisi III DPR RI
40
Koruptor Harus Disadap
20-02-2016
Tidak ada satu bukti pun bahwa penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) selama ini salah, apalagi sampai dikatakan melanggar HAM.
Semua koruptor yang ”dijejaki” oleh KPK melalui penyadapan selalu terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum oleh pengadilan. Coba
cari dan sebut satu contoh saja: adakah orang yang disadap dan kemudian menjadi tersangka
karena hasil sadapan itu, tidak terbukti korupsi? Tidak ada, kan?
Faktanya, para koruptor yang ditangkap oleh KPK melalui penyadapan dan kemudian
diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi selalu dihukum oleh pengadilan. Tidak ada
yang lolos. Penjatuhan hukuman karena terbukti korupsi bagi yang disadap itu bukan hanya
terjadi pada pengadilan tingkat pertama, tetapi selalu dikuatkan, bahkan diperberat, oleh
pengadilan tingkat banding dan kasasi, bahkan pada tingkat peninjauan kembali (PK).
Sebaliknya, apakah pernah ada orang yang diketahui oleh publik telah disadap oleh KPK
sebelum diumumkan sebagai tersangka? Tidak ada juga, kan? Sampai saat ini tak seorang
pun tahu, siapa saja yang disadap oleh KPK karena dugaan tindak pidana korupsi? Orang
baru diketahui disadap oleh KPK kalau sudah resmi dinyatakan sebagai tersangka. Itu pun
hasil sadapannya baru diungkap di pengadilan terbatas pada hal-hal yang berkaitan langsung
dengan korupsi yang bersangkutan.
Itu semua memberi arti bahwa kewenangan yang diberikan kepada KPK untuk menyadap
terduga korupsi selama ini adalah benar dan tidak bermasalah. Sebab yang sudah dinyatakan
tersangka, misalnya melalui operasi tangkap tangan karena penyadapan, selalu bisa
dibuktikan tindak pidana korupsinya. Adapun bagi yang belum dinyatakan sebagai tersangka
tidak pernah ada yang tahu siapa saja yang disadap.
Lalu di mana letak kesalahan pemberian kewenangan kepada KPK untuk menyadap? Tidak
ada, kan? Oleh sebab itu menjadi sangat janggal jika kewenangan yang diberikan kepada
KPK untuk menyadap dipersoalkan dan akan dibatasi melalui revisi UU KPK.
Menjadi wajar jika kemudian publik curiga bahwa revisi UU KPK dimaksudkan untuk
melemahkan, bukan menguatkan. Akal sehat publik (public common sense) melihat koruptor
itu kalau tidak disadap akan mudah lolos karena begitu banyak akal bulusnya. Mereka juga
mempunyai uang untuk secara koruptif menghilangkan jejak korupsinya. Maka kewenangan
menyadap tanpa diketahui orang lain menjadi penting sebagai instrumen KPK untuk
mencokok para koruptor.
41
Tidak masuk akal juga ide mengurangi kewenangan menyadap didasarkan pada keinginan
untuk mengantisipasi kecerobohan KPK. Nyatanya, terbukti selama ini dalam menyadap
KPK tidaklah ceroboh. Pun tak bisa diterima jika upaya mengurangi kewenangan menyadap
didasarkan pada alasan, penyadapan adalah melanggar HAM karena menurut konstitusi
HAM boleh dikurangi berdasarkan UU dengan alasan dan pertimbangan tertentu.
Penyadapan oleh KPK sudah diatur oleh UU dengan alasan dan pertimbangannya yang sah
secara konstitusional. Mengapa mau diutak-atik lagi? Maka itu publik berharap agar
kewenangan KPK untuk menyadap tidak dipreteli. Biarkan saja seperti keadaannya sekarang.
Kalau dipaksakan, penyadapan harus melalui izin, entah itu pengadilan ataupun dewan
pengawas, sama saja artinya dengan melemahkan KPK. Langkah perang terhadap korupsi
akan mengalami kemunduran di negara kita.
Pada saat ini proses legislasi atau pembentukan dan perubahan sebuah UU menghendaki
adanya naskah akademik (NA). Di dalam NA ini harus ada alasan-alasan mengapa dan ke
arah mana sebuah UU harus dibuat. Begitu pun jika sebuah UU yang sedang berlaku perlu
direvisi harus pula dijelaskan di dalam NA-nya, apa alasannya dan ke arah mana perubahan
revisinya.
Dalam konteks penyadapan, seharusnya ada NA yang memuat fakta bahwa yang selama ini
berlaku adalah salah sehingga perlu diperbaiki. Atau, kalau dianggap tidak salah, tetapi tetap
ingin diperbaiki juga maka harus jelas perinciannya bahwa itu memang bisa memperbaiki.
Terus terang, kalau ide perbaikannya adalah yang seperti sekarang, yakni mengatur bahwa
untuk melakukan penyadapan harus mendapat persetujuan lebih dulu dari sebuah Dewan
Pengawas, mudah disimpulkan bahwa revisi yang seperti itu hanya akan melemahkan. Selain
bisa menghambat gerak cepat dalam penindakan oleh KPK, keharusan ada izin untuk
menyadap juga membuka peluang terjadinya kebocoran yang menabrak kerahasiaan
penyadapan itu sendiri.
Bisa saja terduga koruptor yang (akan) disadap segera menghilangkan jejak sehingga tak bisa
ditindak. Kemungkinan seperti itu memang tidak mesti terjadi, tetapi juga tidak mesti tidak
terjadi. Jadi diantisipasi kemungkinan buruknya saja.
Adalah tak masuk akal juga usul bahwa penyadapan boleh dilakukan oleh KPK kalau
seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ide ini konyol karena kalau sudah ditetapkan
sebagai tersangka seseorang itu tak perlu disadap lagi, apalagi kalau sudah ditahan.
Kalaulah Dewan Pengawas dianggap perlu ada di KPK, hal itu bisa saja diwujudkan tetapi
tidak boleh diberi kewenangan untuk memberi izin dilakukannya penyadapan. Cukuplah
dewan tersebut mendapat laporan bahwa seseorang telah disadap dan ”telah ditetapkan
sebagai tersangka”. Sebelum itu Dewan Pengawas tak boleh ikut campur.
42
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
43
Tenggelamnya Kapal Keadilan Hukum
22-02-2016
Salah satu media nasional pada 12 Februari 2016 menampilkan berita “KPK Dukung Jaksa
Agung“; “Polisi Serahkan ke Jaksa”, dan dalam berita tersebut terselip berita Jaksa Agung
berkirim surat tertanggal 4 Februari 2016 kepada Ketua DPR RI untuk minta pendapat DPR
RI mengenai penghentian kasus AS dan BW.
Berita mengenai kasus mantan pimpinan KPK dan penyidik KPK mengisi kolom harian
nasional sungguh memprihatinkan sekaligus mengecewakan. Di samping tentunya sukacita
bagi mereka yang berhasil “menenggelamkan perahu keadilan hukum” baik bagi korban
maupun dari sudut pelaku tindak pidana, di negeri yang katanya berdasarkan Negara Hukum
(Bab I Pasal 1 ayat 3-UUD 1945).
Tenggelamnya kapal keadilan hukum mendekati kenyataan dengan berita KORAN SINDO
(17/2) yang memberitakan hampir pasti Jaksa Agung mengeluarkan SKPP terhadap terdakwa
NB, disusul berita media nasional lain pada 18 Februari dengan judul “JA akan pilih SKP2“.
Sejak awal perlu dicermati bahwa Pasal 144 KUHAP perihal penarikan kembali surat
dakwaan hanya bisa dilakukan jika pengadilan belum menetapkan tanggal/hari sidang,
sedangkan perkara NB sudah ditetapkan tanggal sidangnya dan telah ada penunjukan majelis
hakim.
***
Beberapa keberatan penulis terhadap langkah Kejaksaan Agung disebabkan beberapa
pertimbangan yaitu: Pertama, bahwa tuduhan kriminalisasi dan rekayasa terhadap Polri dalam
kasus NB dengan merujuk pada tempus delicti yang telah lama dan mengapa baru tahun 2015
diproses kembali, bukan alasan yang tepat secara hukum. Karena tenggat waktu kedaluwarsa
(Pasal 78 KUHAP) belum terlampaui.
Kedua, jika benar Polri di Bengkulu merekayasa atau mengkriminalisasi, tidak mungkin
kejaksaan telah menetapkan P-21 dan pelimpahan perkara ke PN Bengkulu tanggal 29
Januari 2016.
Ketiga, dugaan kriminalisasi dan rekayasa terhadap NB mengada-ada karena telah terbukti
ada korban mati dan cacat/luka berat akibat penganiayaan yang diduga telah dilakukan NB
ketika menjabat sebagai kasatserse Polres Bengkulu. Jumlah korban mati satu orang, dan luka
serta cacat fisik sebanyak lima orang—di ILC telah disampaikan oleh korban sendiri—dan
bahkan orang yang tidak tahu dan ikut serta dalam pencurian sarang walet pun dipaksa harus
mengakui melakukan pencurian.
44
Keempat, tudingan kriminalisasi atau rekayasa atas NB bukan hanya ditujukan terhadap Polri
Bengkulu, tetapi secara tidak langsung terhadap kejaksaan Bengkulu yang telah menyatakan
P-21 dan bahkan perkara NB telah dilimpahkan ke pengadilan.
Kelima, gerakan “perlawanan” LSM antikorupsi dan pimpinan KPK III dan IV terhadap
penegakan hukum dalam kasus NB merupakan “insubordinasi” masyarakat sipil dan lembaga
negara KPK terhadap kekuasaan negara. Aksi tersebut dapat digolongkan terhadap tindakan
menghalang-halangi proses peradilan dan melanggar ketentuan perundang-undangan, dan
sekaligus contoh buruk penegakan hukum di negeri ini. KPK dalam posisi sebagai lembaga
negara ad hoc dan didanai oleh APBN telah tidak menunjukkan integritas, akuntabilitas dan
profesionalitas sebagai pejabat negara/penegak hukum dengan cara “turut serta” melakukan
perlawanan penegakan hukum terhadap kasus penganiayaan yang telah dilakukan oleh NB.
Keenam, hasil penelitian Ombudsman—bukan penyelidikan dan penyidikan—tidak bersifat
pro justisia sehingga isi laporan patut diragukan secara hukum dan tidak memiliki kekuatan
hukum apa pun dan bukan alasan untuk penghentian proses peradilan atas perkara
NB. Ombudsman tidak transparan menjelaskan kepada publik secara terbuka, kecuali
terhadap kelompok masyarakat yang pro-NB.
Ketujuh, perlawanan sekelompok masyarakat atas nama koalisi LSM anti-korupsi dengan
“dukungan” KPK III dan IV mencerminkan “kekuasaan absolut kelompok tersebut dan KPK
dan telah mempertontonkan “imunitas” terhadap tuntutan pidana.
Kedelapan, absolutisme pemikiran/pandangan/pendapat sekelompok orang dalam Koalisi
LSM Anti Korupsi dan pimpinan KPK terhadap benar/tidaknya dugaan pelanggaran hukum
oleh anggota kelompok mereka dan pimpinan/pegawai KPK telah mencederai dan
menjungkirbalikkan tatanan sistem hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku
dalam Negara Hukum RI. Cara itu tidak bisa diambil; sekalipun telah diperoleh bukti
permulaan yang cukup berdasarkan UU yang berlaku.
Kesembilan, cara dan strategi “mencegah dan menghindarkan” NB dari jeratan hukum oleh
sekelompok masyarakat dan Pimpinan KPK III dan IV telah menciderai rasa keadilan dan
intervensi terhadap prinsip kekuasaan kehakiman: Kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan (termasuk proses penyidikan dan penuntutan) guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Pasal 1
angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009)
***
Kesepuluh, turut campurnya Presiden Joko Widodo memperumit jalannya penegakan hukum
terhadap tersangka NB. Kesebelas, dengan turut campurnya Presiden dalam perkara NB
maka perkara ini bukan lagi masalah penegakan hukum, melainkan masalah politik yang
45
mencerminkan ketidakadilan struktural yang sejak lama ditentang keras oleh tokoh-tokoh
pendiri YLBHI dan LBH se-Indonesia.
Ekses negatif yang muncul bukannya meredakan “kegaduhan” yang dirisaukan oleh Presiden
Joko Widodo akan tetapi kinerja penegakan hukum oleh Polri menjadi stagnan dan tidak
memiliki kewibawaan di hadapan rakyat jelata. Ekses yang sangat buruk di dalam pandangan
masyarakat bawah adalah hukum identik dengan kekuasaan. Hukum nyata sebagai alat
kekuasaan pemerintah dan pengadilan bukan lagi menjadi tempat mencari dan menemukan
keadilan, melainkan “tempat keadilan” berada dalam genggaman tangan kekuasaan yang
didukung oleh mereka yang mengatasnamakan masyarakat sipil.
Peristiwa “campur tangan kekuasaan” dalam kasus NB, BW dan AS, menyebabkan penulis
sendiri merasa diperlakukan sebagai “warga negara kelas dua” di republik ini jika menoleh ke
belakang tuduhan terhadap penulis dalam kasus Sisminbakum.
Membaca berita di majalah Tempo, Senin (15/2) di halaman 29-36 dengan judul
berita:“Buyar Rencana karena Istana“;“Berhenti Perkara di tangan Jaksa“, dan “Kebut-
kebutan Menggergaji Kuningan“; jelas sekali penulis dalam majalah tersebut telah
menyatakan keberpihakan 100% terhadap oknum-oknum KPK yang tengah didera masalah
hukum. Dengan sendirinya sang penulis menegasikan kinerja Bareskrim Polri dan penyidik
polda setempat dan dikesankan rekayasa terencana Polri seperti apa yang telah dikatakan
penasihat hukum Muji Kartika Rahayu; “tujuannya memang supaya mereka berhenti dari
pimpinan KPK”.
Semakin menyedihkan bagi kita termasuk saya, bahwa ada skenario penghentian penanganan
perkara NB diwarnai barter status posisinya di KPK dan yang tidak kalah mengecewakan, di
dalam berita majalah Tempo tersebut ditulis “dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Basaria
Panjaitan, justru berusaha meyakinkan Novel bahwa, dari informasi yang mereka peroleh,
perlawanan Novel di pengadilan akan sia-sia”.
Dalam pandangan saya—jika benar informasi ini—kedua pimpinan KPK bukan penegak
hukum sejati karena seharusnya mereka menganjurkan agar NB mematuhi hukum yang
berlaku apalagi dengan tawaran “barter” asalkan NB tidak bertugas di KPK lagi. Sungguh
cara-cara tidak etis dan memalukan bagi kalangan hukum jika informasi dalam majalah
Tempo ini benar adanya.
Preseden yang telah dibangun pada masa pemerintahan SBY dalam kasus Bibit-Chandra,
bukan preseden yang baik, namun jelas keliru karena sejatinya putusan pengadilan yang
menentukan seseorang bersalah dan tidak bersalah. Penghentian perkara NB. Jika terjadi pada
dua oknum mantan pimpinan KPK merupakan bentuk kesewenangan kekuasaan dengan
menegasikan kepentingan korban penganiayaan.
Ratifikasi konvensi internasional tentang HAM-ICCPR (1996) dengan UU RI Nomor 12
Tahun 2005, dan Konvensi Anti Penyiksaan (1984) dan Declaration Principles of Protection
46
of Crimes and Abuse of Power 1985 dan Pengakuan RI atas Declaration Principles of Use of
Firearms— semata-mata ditujukan untuk melindungi korban kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan oleh alat-alat negara, menjadi tidak bermakna, bahkan bertentangan secara
diametral dengan UUD 1945-Bab XA tentang Hak Asasi Manusia.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Unpad; Guru Besar Tetap Unpas
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016

More Related Content

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016

Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Sistem Pemilihan Kepala DaerahSistem Pemilihan Kepala Daerah
Sistem Pemilihan Kepala Daerah
sangdamar
 
Hukum Konstitusi
Hukum KonstitusiHukum Konstitusi
Hukum Konstitusi
Tri Widodo W. UTOMO
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
ekho109
 
Periodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesia
Periodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesiaPeriodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesia
Periodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesia
Yosua S L
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
ekho109
 
Numpang ta
Numpang taNumpang ta
Numpang ta
33335
 
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
terry_herianta_tarigan
 
Budaya demokrasi menuju masyarakat madani
Budaya demokrasi menuju masyarakat madaniBudaya demokrasi menuju masyarakat madani
Budaya demokrasi menuju masyarakat madaniFikri Novianto
 
Moh. hidayat muhtar ham
Moh. hidayat muhtar hamMoh. hidayat muhtar ham
Moh. hidayat muhtar ham
Ir. Soekarno
 
pro pemilu langsung
pro pemilu langsungpro pemilu langsung
pro pemilu langsung
mochammad johari
 
Wujud Demokrasi di Indonesia
Wujud Demokrasi di IndonesiaWujud Demokrasi di Indonesia
Wujud Demokrasi di Indonesia
Arief Kurniatama
 
15 permainan-simulasi-demokrasi
15 permainan-simulasi-demokrasi15 permainan-simulasi-demokrasi
15 permainan-simulasi-demokrasiDimas Arianto
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiadedyprasetyo01
 
Kelompok 3
Kelompok 3Kelompok 3
Tugas makalah (budaya demokrasi) harits
Tugas makalah (budaya demokrasi) haritsTugas makalah (budaya demokrasi) harits
Tugas makalah (budaya demokrasi) harits
Rietz Wiguna
 
Kebebasan Menyampaikan Perbedaan Pendapat
Kebebasan Menyampaikan Perbedaan PendapatKebebasan Menyampaikan Perbedaan Pendapat
Kebebasan Menyampaikan Perbedaan Pendapat
Universitas Trisakti
 
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp022 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
Operator Warnet Vast Raha
 
Urgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.ppt
Urgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.pptUrgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.ppt
Urgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.ppt
EsaGhanimFadhallah1
 

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016 (20)

Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Sistem Pemilihan Kepala DaerahSistem Pemilihan Kepala Daerah
Sistem Pemilihan Kepala Daerah
 
Hukum Konstitusi
Hukum KonstitusiHukum Konstitusi
Hukum Konstitusi
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
 
Periodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesia
Periodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesiaPeriodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesia
Periodisasi konstitusi yang pernah berlaku di indonesia
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
 
Numpang ta
Numpang taNumpang ta
Numpang ta
 
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
 
Budaya demokrasi menuju masyarakat madani
Budaya demokrasi menuju masyarakat madaniBudaya demokrasi menuju masyarakat madani
Budaya demokrasi menuju masyarakat madani
 
Moh. hidayat muhtar ham
Moh. hidayat muhtar hamMoh. hidayat muhtar ham
Moh. hidayat muhtar ham
 
Soal ukg p kn
Soal ukg p knSoal ukg p kn
Soal ukg p kn
 
pro pemilu langsung
pro pemilu langsungpro pemilu langsung
pro pemilu langsung
 
Wujud Demokrasi di Indonesia
Wujud Demokrasi di IndonesiaWujud Demokrasi di Indonesia
Wujud Demokrasi di Indonesia
 
15 permainan-simulasi-demokrasi
15 permainan-simulasi-demokrasi15 permainan-simulasi-demokrasi
15 permainan-simulasi-demokrasi
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesia
 
Kelompok 3
Kelompok 3Kelompok 3
Kelompok 3
 
File
FileFile
File
 
Tugas makalah (budaya demokrasi) harits
Tugas makalah (budaya demokrasi) haritsTugas makalah (budaya demokrasi) harits
Tugas makalah (budaya demokrasi) harits
 
Kebebasan Menyampaikan Perbedaan Pendapat
Kebebasan Menyampaikan Perbedaan PendapatKebebasan Menyampaikan Perbedaan Pendapat
Kebebasan Menyampaikan Perbedaan Pendapat
 
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp022 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
 
Urgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.ppt
Urgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.pptUrgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.ppt
Urgensi-pendidikan-anti-korupsi-bagi-generasi-milenial.ppt
 

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI KERINDUAN PKB Margarito Kamis 4 DINAMIKA HAM DI ASIA TENGGARA Dinna Wisnu 7 KEKOSONGAN HUKUM PENANGANAN TERORISME M Nasir Djamil 11 PICIKNYA “DEMOKRASI ALA MELAYU” VERSI EFFENDI SIMBOLON Effendi Syahputra 15 ALUTSISTA HARGA MATI Connie Rahakundini Bakrie 17 OMBUDSMAN KE DEPAN Amzulian Rifai 20 KPK HARUS TERBEBAS DARI RONGRONGAN Bambang Soesatyo 23 TANTANGAN JOKOWI DALAM REVISI UU KPK Laode Ida 26 MATINYA CHECKS AND BALANCES DI ERA NAWACITA? W Riawan Tjandra 29 HARAMNYA REVISI UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK Ahmad Yani 32 MENUJU REFORMASI DPD Jazilul Fawaid 37 KORUPTOR HARUS DISADAP Moh Mahfud MD 40 TENGGELAMNYA KAPAL KEADILAN HUKUM Romli Atmasasmita 43 REVITALISASI DPD Janedjri M Gaffar 47 KPK DALAM SPEKTRUM TATA NEGARA Margarito Kamis 50
  • 2. 2 POLITIK ALA JOKOWI Isran Noor 53 MENANGKAL PELEMAHAN KPK Marwan Mas 56 ASEAN BUKAN LAGI UNTUK ASEAN Connie Rahakundini Bakrie 59 INI LHO, KALAU MAU MENGUATKAN KPK Moh Mahfud MD 62 ADU KUAT DI JAKARTA Kurnia Danu Aji 65 “ZERO TOLERANCE” TERHADAP KEJAHATAN MUTILASI ANAK Susanto 69 HAKIM PROGRESIF BERJIWA SOSIAL-KEBANGSAAN Sudjito 72 HENTIKAN DRAMATISASI PENGUATAN KPK Andreas Lako 75 GAGAL PAHAM MEMBENTUK UU Ahmad Yani 78 SOP PENANGANAN PERKARA DAN URGENSI MENGAWASI MA Bambang Soesatyo 82 MANA HALUAN NEGARA KITA? Moh Mahfud MD 85 JUSTRU PUBLIK YANG MELAYANI Amzulian Rifai 88 KTT OKI DAN TELADAN REKONSTRUKSI KAKBAH M Bambang Pranowo 92 INDONESIA & KEMERDEKAAN PALESTINA Abdul Mu’ti 95 OKI & KEMERDEKAAN PALESTINA Dinna Wisnu 98 KABINET GADUH UNTUK SIAPA? Gun Gun Heryanto 101 REVISI UU PILKADA & PEMDA YANG BERSIH Laode Ida 104
  • 3. 3 MERESTORASI PASAL PELEMAHAN KPK Emrus Sihombing 108 PENGUATAN BNN & PENGALAMAN MEKSIKO Bambang Soesatyo 111 PILKADA DI TANAH BETAWI Ramdansyah 114 GERAKAN ANTIKORUPSI DAN HAM Dinna Wisnu 118 PUNGLI HIERARKIS Amzulian Rifai 122 PILKADA DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN Ferry Kurnia Rizkiyansyah 125 MENGAPA BUNG KARNO “TAKLUK” DI WISMA YASO? Reza Indragiri Amriel 129 TAK PILIH AHOK, MEMILIH AHOK Moh Mahfud MD 132 DPD DALAM PUSARAN Baharuddin Aritonang 135 RELAWAN POLITIK JANGAN SOK SUCI Uchok Sky Khadafi 138 GAIRAH POLITIK SBY DAN GELORA POLITIK JOKOWI Hendri Satrio 141 PERAN & KEWENANGAN DPD Aunur Rofiq 144 MOMENTUM KONSOLIDASI PARTAI POLITIK W Riawan Tjandra 148 PERLUKAH UPGRADE STATUS BNN? Sukardi 151 EFEKTIVITAS PENGAWASAN KPK Bambang Soesatyo 154 GEGER ADVOKAT Moh Mahfud MD 157
  • 4. 4 Kerinduan PKB 10-02-2016 Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center berakhir sudah. Pada pembukaannya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo—yang beberapa minggu lalu melakukan ground breaking pembangunan rel kereta api cepat, yang hukumnya kacau-balau itu—turut hadir. Manis, akhir mukernas itu. Bukan karena tidak ada dentuman perselisihan pendapat antarsesama fungsionaris, tetapi karena dua gagasannya. Gagasannya adalah gubernur dipilih oleh DPRD serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kalau tak dibubarkan, tampaknya tidak bisa tak ditata. Apa yang menyentak mereka sehingga mengakhiri mukernasnya dengan menelurkan dua kerinduan yang cukup beralasan itu? DPD bukan tak penting dianalisis, tetapi pemilihan gubernur, dengan rimba raya akibat yang menyertainya, menjadi indah untuk segera dianalisis. Angsa Bertingkah Buaya Pemilihan langsung—entah diketahui oleh PKB atau tidak, betapa pun tak usah berlebihan mencemaskannya—dalam sejarahnya mewakili cara pandang khas kaum berduit mempertahankan duit, modal kekuasaannya. Duit-duit itu sampai ke tangan pemilih, dalam kasus Romawi kuno, melalui sindikat jual-beli suara. Inilah, yang dalam sejarah konstitusionalisme klasik, dialami oleh Marcus Tulius Cicero, juris dan negarawan besar Romawi kuno dalam pemilihan konsul kala itu. Pemilihan konsul yang diikuti Cicero—tulis jurnalis kawakan peraih British Press Award Robert Harris—harus berhadapan dengan para cukong. Marcius Figulus, karena itu, dibujuk oleh beberapa calon untuk mengajukan kepada senat satu hukum baru. Hukum ini, dalam permintaan mereka, secara ketat menentang malapraktik pemilu, dan diharapkan menjadi lex vigula. Masa Cicero, jelas bukan masanya Earl Grey, politisi kawakan Inggris abad ke-19. Tetapi, terbatasnya hak pilih universal dalam kasus Romawi juga dialami Inggris pada 1832. Sadar bahwa hak pilih itu harus diperluas, rakyat Inggris menuntut parlemen memperluasnya. Manisnya, tuntutan itu direspons oleh parlemen dengan membentuk First Reform Act. Menariknya, betapa pun tuntutan itu direspons, diikuti dengan pelembagaan sistem pemungutan suara secara rahasia, tetapi pada 1865, tahun reformasi fase kedua, muncul lagi gerakan rakyat mengganyang praktik curang dalam pemilu. Praktik itu, tulis Daron
  • 5. 5 Acemoglu dan James A Robinson, ditandai dengan pemilih ditraktir, sebuah modus transaksi jual beli suara; pemilih diberi uang, makanan, atau minuman keras. PKB mungkin tak akan mengatakan bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung hanya indah dalam nama dan esensinya. Kasus-kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sedang diadili di Mahkamah Konstitusi saat ini serupa dengan yang lalu-lalu. Misalnya manipulasi suara, penyelewengan dana bansos, serta keculasan parsial penyelenggara pilkada. Soal Bernegara Hebatnya, pemikiran konstitusionalisme mutakhir menempatkan pemilihan langsung presiden, gubernur, bupati, dan wali kota sebagai cara, satu-satunya, mengisi jabatan-jabatan itu. Cara ini, entah apa epistemologisnya, secara serampangan dianggap sebagai satu-satunya cara demokratis. Di luar cara itu, jelas jawabnya, tidak demokratis. Demokrasi dalam langgam itu—tak mungkin tak dikenali oleh PKB—telah direduksi. Pada aras hakikat, demokrasi sama sekali tidak sama dengan pemilihan, langsung atau tidak langsung. Pada aras ini, hakikat, tentu diketahui oleh PKB, demokrasi berinduk pada kerinduan, sedikit manipulatif, mengembalikan dan menempatkan setiap orang dalam sifat kodratinya sebagai makhluk mulia. Kemuliaan itu ada dan dimiliki setiap orang karena kodrat alamiahnya, bukan disematkan penguasa. Dalam sejarahnya yang menyandang sifat itu, mulia, hanya segelintir orang, berkat belas kasih monarki. Walau bukan satu-satunya sebab, kenyataan itu telah menjadi sebab terbesar, sekaligus alasan tervalid eksistensi absolutisme, untuk tak mengatakan eksistensi para tiran. Pengakuan atas eksistensi kodrati sebagai makhluk mulia, mengubah status mereka dari naturalis ke civilis. Inilah pangkal lahir dan terbentuknya, apa yang disebut Bung Hatta dengan, daulat rakyat. Sifat tatanan kehidupan nasional, karena itu, adalah polity. Tatanan ini menyangkal Tuhan yang berabad-abad ditunjuk, oleh monarki sebagai sumber kekuasaan, dan raja sebagai bayangannya di muka bumi. Setiap orang yang telah diakui haknya, berstatus merdeka (civilian). Dalam hakikatnya, setiap orang memiliki hak, dalam arti kekuasaan dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Bukan tak bisa diurusi, diperintah, tetapi untuk tujuan itu harus didahului dengan persetujuan mereka, yang untuk sebagian besar negeri beradab di dunia, diwakilkan kepada wakil- wakilnya di parlemen. Itulah akar demokrasi dan hakikat pemilihan. Pemilihan langsung, dengan rimba raya akibatnya sedari dulu hingga kini, jujur, beralasan didendangkan sebagai pesta ”sesat” demokrasi, dan ”demokrasi sesat.” Berpesta dalam kesesatan demokrasi, sungguh tipikal bangsa berperadaban, dalam perspektif Profesor Salim
  • 6. 6 Said, rendah. Menyamakan demokrasi dengan pemilihan langsung sama nilainya dengan mengecoh akal sehat bangsa itu. PKB jelas tak menghendakinya. Pada titik itu, rindu PKB, pasti bukan sekadar kembalikan pemilihan gubernur ke DPRD, melainkan lebih dari itu. PKB sedang mengajak parpol lain untuk rindukanlah, sekali lagi, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara tidak langsung. Demokrasi menempatkan keagungan otonomi individu dalam esensinya, dan menjadikan pemerintah rakyat sebagai norma dasarnya, tetapi institusionalisasi pemilihan langsung sebagai satu-satunya wujud pemerintahan rakyat, justru membelakangi dunia. Akankah rindu, untuk tak menyifatkannya sebagai preferensi PKB, berbuah manis? Konstitusionalisme mutakhir menunjukkan parpol, sesuatu yang sedari akhir abad 18 telah menjengkelkan, mengharuskan PKB meniti ragam preferensi di belantara politik nasional serasional mungkin. Deliberasi mungkin mesti dipilih PKB dalam titian penuh rimba preferensi parpol kini. MARGARITO KAMIS Doktor Hukum Tata Negara; Dosen FH Universitas Khairun Ternate
  • 7. 7 Dinamika HAM di Asia Tenggara 10-02-2016 Dalam lingkar pemerhati hak asasi manusia (HAM), analisis yang beredar mengenai pemajuan dan perlindungan HAM di Asia Tenggara terbilang cukup dinamis. Sulit untuk memukul rata apakah negara anggota ASEAN telah memajukan atau justru merendahkan penghargaan terhadap HAM karena tiap negara berbeda kemajuan ekonomi, budaya, sosial, dan sistem politiknya. Ada satu negara yang di satu isu lebih progresif daripada negara lain, tetapi pada isu berbeda lebih buruk bila dibandingkan dengan negara lain. Tidak mengherankan apabila sejumlah pihak, terutama masyarakat Barat, menyebut praktik penghormatan HAM di ASEAN lamban, rentan disalahgunakan, lemah, tercemar korupsi, dan sebagainya. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti ditahannya atau bahkan hilangnya tokoh-tokoh pejuang HAM di sejumlah negara menambah catatan merah upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Asia Tenggara. Namun apa pun kondisinya, tidaklah pantas kita sekadar mengkritik atau menyerah. Pada akhirnya kita perlu mencari jalan untuk melakukan pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ini. Keprihatinan seperti disebut di atas sebenarnya juga bagian dari tantangan penegakan HAM di negara-negara yang sudah maju sekalipun. Ada jalur diplomasi di ASEAN yang patut kita cermati dan pergunakan dengan baik terkait upaya tersebut, yaitu berdirinya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada 2009. Komisi ini bergerak atas dasar mandat dan sejumlah aturan main yang disetujui di level kepala negara. Sejumlah negara memutuskan untuk memilih komisioner AICHR secara terbuka, termasuk dengan mengundang tokoh masyarakat sipil, contohnya Indonesia. Tugas utama komisi ini adalah membangun mekanisme regional untuk mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN. Selain itu, komisi tersebut juga bertugas memberi masukan dan pendampingan bagi badan-badan ASEAN terkait pemenuhan tanggung jawab HAM dan menjalin posisi bersama antarnegara ASEAN terkait HAM. Sejak pendiriannya, AICHR melakukan ragam upaya mendorong penghormatan pada HAM melalui rangkaian dialog regional dalam beragam topik yang mengarah pada penguatan panduan regional dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Misalnya praktik penghormatan HAM dalam CSR di dunia bisnis, pencegahan dan perlindungan masyarakat dari kejahatan trafficking, fasilitasi bagi kelompok masyarakat berkebutuhan khusus, penghapusan
  • 8. 8 kekerasan terhadap perempuan, proses hukum yang adil dan berkemanusiaan bagi terpidana hukuman mati, dll. Upaya ini masih muda usia. Usaha itu ditopang dengan lahirnya Deklarasi HAM ASEAN pada 2012 yang dilengkapi dengan pernyataan Phnom Penh tentang penerapan Deklarasi HAM ASEAN tersebut. Dalam kedua dokumen itu dicanangkan pentingnya AICHR sebagai lembaga payung yang mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Lewat deklarasi tersebut, semua pilar komunitas ASEAN pada prinsipnya perlu memeriksa apakah kegiatan-kegiatan mereka sejalan dengan penghormatan atas HAM. Arah yang dituju adalah pembangunan sosial yang berkeadilan, menghormati martabat manusia dan pemenuhan kualitas hidup yang lebih baik bagi para warga negara di kawasan ASEAN. *** Kebetulan tahun ini saya dipercaya mengemban mandat sebagai wakil Indonesia alias komisioner untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk HAM (AICHR) yang masa baktinya 3 tahun. Dalam kapasitas tersebut, saya punya kesempatan untuk melakukan sejumlah pengamatan dan interaksi. Pertama, terkait strategi pemajuan HAM di kawasan ASEAN. Komentar-komentar yang keras terdengar di luar lingkar ASEAN adalah bahwa cara-cara ASEAN terbilang terlalu lamban dan kurang tegas. Sejumlah pihak menuding proses konsensus sebagai penghambat pemajuan dan perlindungan HAM. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kelambanan itu sebuah kesengajaan atau demikian keadaan yang ada? Observasi saya menyimpulkan bahwa konsensus yang kemudian banyak dituding menghambat berbagai isu penting dalam penegakan HAM adalah bagian dari ketidakmerataan yang hadir di dalam hubungan antarsesama negara anggota ASEAN. Pada minggu lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Laos karena kebetulan tahun ini Laos memegang posisi sebagai ketua ASEAN, jabatan yang secara rutin digilir oleh 10 negara anggota ASEAN. Dalam lingkaran pengamat yang membandingkan Laos dengan negara- negara anggota lain, keketuaan Laos cenderung dipandang skeptis karena Laos lebih sering terkesan pasif dalam lingkar pergaulan ASEAN. Untuk urusan politik, termasuk juga isu-isu yang menyinggung HAM, Laos kerap disebut menghindar atau bahkan bungkam. Tanpa niat untuk merendahkan perjuangan HAM di negara ini dan kawasan, saya mendapatkan sisi lain dari negara ini yang mendorong saya untuk berpikir bahwa para pembela di Asia Tenggara harus bekerja lebih keras dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sudah maju di masyarakat Barat. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa pendekatan untuk mengangkat HAM sebagai prinsip yang universal di Asia Tenggara tidak bisa dilakukan dengan pendekatan seperti yang dilakukan masyarakat Barat yang cenderung rasional dan sekuler, tetapi harus dengan
  • 9. 9 pendekatan Asia yang lebih mengutamakan ”rasa”. Oleh sebab itu, kata lambat atau cepat menjadi relatif dalam konteks ini. Di negara-negara ASEAN, kita menemukan bahwa bila pemajuan HAM hanya diukur semata dari pembentukan regulasi atau konvensi, penghargaan HAM belum sejati ditegakkan. Bayangkan bahwa ragam regulasi, aturan, dan ketentuan bisa saja dibuat, tetapi implementasinya bisa nol jika para penegak hukum dan masyarakatnya tidak menghayati alasan dibuatnya regulasi, aturan, dan ketentuan tersebut. Contohnya adalah Laos yang akan dianggap penuh anomali bila menggunakan kerangka berpikir formal sistem politik Barat. Secara formal, sistem demokrasi di Laos menganut sistem satu politik sosialis-komunis, tetapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sana adalah umat Buddha yang taat. Di satu sisi sebagian dari penduduk di sana memang menyadari pentingnya kebebasan berpendapat, tetapi sebagian besar yang lain melihat kebebasan berpendapat sebagai belum menjadi bagian kultural. Bagi rata-rata orang di sana, harmoni dengan siapa pun adalah hal yang harus dijaga. Bahkan ketika orang lain melanggar peraturan, mereka juga tidak ingin langsung menegur karena harus ada saling pengertian akan kelemahan seseorang dan penegak hukum juga tidak ingin menimbulkan trauma dari masyarakat karena suatu sanksi tertentu. Di sisi lain, penegak hukum di Laos tidak segan memberikan teguran keras kepada mereka yang terkesan memaksakan kehendaknya pada orang lain. Tentu saja, kita bisa mengartikan cerita di atas sebagai tindakan represif kaum berkuasa, tetapi jika melihat keseharian mereka, mustahil ada kepatuhan yang masif tanpa ada ”izin” dari masyarakat setempat. Bukankah pada akhirnya suatu masyarakat juga membutuhkan tatanan sosial meskipun HAM tetap dijunjung tinggi? Artinya bahwa penegakan HAM berpulang pada pemahaman bersama di tataran pemerintah dan masyarakatnya. Pemahaman ini harus organik; harus tumbuh dari dalam, tidak bisa sekadar dicangkok oleh pihak asing. Jadi ketika bicara konsensus di ASEAN, saya lihat kita tidak bisa sekadar mendesak terjadinya konsensus, tetapi perlu menggali cara-cara supaya konsensus itu secara alamiah tumbuh di antara para komisioner di AICHR. Alamiah di sini bukan berarti membiarkan tanpa usaha, tetapi justru mengusahakan sebuah kebijakan yang urgensinya dapat dipahami oleh para pemegang kuasa politik di negara masing-masing tanpa mereka merasa terancam. Kedua, terkait dengan upaya membangun komunitas ASEAN. Saat ini sudah ada konsensus dari pemimpin di segala lapisan di semua negara ASEAN bahwa Komunitas ASEAN yang tunggal, saling peduli, dan saling berbagi adalah impian bersama. Secara prinsip ini adalah modalitas bagi pemajuan HAM di kawasan walaupun fakta internal, tiap negara anggota memiliki perbedaan dan kontradiksi menyangkut beberapa isu seperti masalah HAM dan kedaulatan.
  • 10. 10 Perbedaan ini yang bisa jadi menyulitkan ASEAN dalam menghadapi kompetitor dari kawasan atau negara-negara lain yang membawa ideologi ekonomi dan politiknya masing- masing. Sebagai contoh, ASEAN sebagai komunitas ekonomi berada dalam kompetisi dengan masyarakat Eropa/Amerika dan Cina yang saat ini berperan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dunia. Masing-masing mendorong liberalisasi ekonomi sejauh-jauhnya, tetapi disertai perbedaan di mana Eropa/Amerika mengaitkan ekonomi dengan masalah HAM dan demokrasi. Sementara Cina memisahkannya dan lebih mendorong politik non-intervensi dalam pergaulan politik internasional. Tiap kutub politik itu secara langsung dan tidak langsung juga memperuncing perbedaan yang ada di antara negara-negara ASEAN. Dalam konteks tersebut, tidak mudah untuk merumuskan strategi penguatan HAM di ASEAN. Insentif apa yang harus dirumuskan agar negara-negara anggota ASEAN dapat menikmati hasil dari penghargaan HAM dan disinsentif apa yang harus diberikan apabila ada negara yang melanggar? Eropa/Amerika memberikan contoh bagaimana pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan penghormatan HAM dapat membuat penduduknya sejahtera. Namun di sisi lain kita juga melihat Cina dengan sistem politik terpimpinnya ternyata saat ini pertumbuhan ekonominya menjadi idola bagi banyak pemimpin negara yang relatif memiliki masalah sosial dan politik yang sama. Tiap strategi akan memiliki implikasi secara langsung, terutama di wilayah ekonomi. Saya sendiri belum menemukan resep jitunya, tetapi saya yakin bahwa ini adalah pertanyaan yang juga ada di benak para pemimpin negara dan para pembela HAM di setiap negara anggota ASEAN. DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
  • 11. 11 Kekosongan Hukum Penanganan Terorisme 11-02-2016 Peristiwa terorisme di Jalan MH Thamrin Kamis (14/1) lalu seolah menjadi bukti bahwa terorisme di Indonesia tidak pernah surut, sekalipun telah diberlakukan Undang-Undang No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penangkapan beberapa tokoh Bom Bali I dan II serta tewasnya Dr Azhari, Noordin M Top dan beberapa pengikutnya, termasuk ringannya hukuman terdakwa jaringan simpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Afif Abdul Majid menunjukkan tidak mudahnya aparat penegak hukum mengusut tuntas jaringan terorisme. Kejadian ini telah menyadarkan kita betapa perkembangan gerakan kelompok ISIS di Indonesia seolah kian masif. Ditambah lagi dengan klaim ISIS atas peristiwa kekalutan terorisme yang terjadi di Jalan MH Thamrin tersebut. Kelompok ISIS pun diduga akan terus menambah jaringan dan kekuatannya. Perkembangan ISIS di Indonesia tentu tidak bisa dianggap remeh. Sebut saja soal baiat kepada ISIS yang ditunjukkan pertama kalinya pada Februari 2014 di Jakarta. Dengan semangat dan penuh euforia kemenangan, ratusan orang membacakan deklarasi dukungan kepada ISIS dan berbaiat kepada amirul mukminin Syaikh Abu Bakar al-Baghdadi. Menyusul kemudian pimpinan Jamaah Islamiah (JI) yang sangat disegani Abu Bakar Baasyir, yang juga menyatakan dukungannya terhadap ISIS di hadapan para petinggi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Jawa Tengah. Praktis dukungan pun kian mengalir, bahkan ribuan orang menyatakan kesiapannya untuk bergabung dengan tentara ISIS di Suriah. Dukungan Masyarakat Dukungan dan ketertarikan sekelompok masyarakat terhadap ISIS pun bukan tanpa sebab. Ada beberapa faktor ketertarikan sekelompok masyarakat Indonesia terhadap ISIS. Pertama, faktor ideologi. Isu kekhalifahan dan doktrin mengenai perang akhir zaman kerap kali menjadi wacana utama hadirnya kelompok ISIS. Akhirnya, bagi sekelompok orang yang memiliki keyakinan dan pengetahuan agama yang sempit, hal ini menjadi daya pemikat dalam membuktikan bentuk kesalihan seseorang. Kedua, faktor kesejahteraan. Keberadaan basis kelompok ISIS di wilayah kaya akan minyak dan gas bumi telah menjadikan ISIS diklaim sebagai kelompok teror terkaya di
  • 12. 12 dunia. Luasnya wilayah jajahan ISIS telah memberikan kesempatan pada mereka untuk merebut beberapa ladang minyak. Bahkan akhir tahun 2014 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan ISIS telah mencetak USD1,6 juta atau setara Rp21,9 miliar per hari dari penjualan minyak mentah dan olahan di pasar gelap. Tak mengherankan jika ISIS menawarkan gaji besar dan mampu membiayai operasi militer teroris di beberapa negara. Ketiga, faktor patron. Keberadaan tokoh-tokoh sentral muslim di luar negeri dan tokoh-tokoh sentral yang saat ini menjadi narapidana teroris yang ikut serta berbaiat dan mendukung ISIS, justru menjadi perekrut utama kelompok ISIS. Klaim keterlibatan ISIS memang harus diselidiki kebenarannya. Jika benar, perkembangan jaringan ini dapat menjadi ancaman nyata. Adanya kekhawatiran pola jaringan ini menyerupai arus balik anggota Jamaah Islamiyah dari Afghanistan pun tak terelakkan. Praktis aparat penegak hukum dituntut untuk segera meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi ancaman nyata ini. Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban dan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara. Bagaimana pun terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Ujungnya, perlu dilakukan pencegahan dan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan agar hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Definisi Terorisme Belum tercapainya kesepakatan internasional mengenai definisi terorisme, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas terorisme telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad 20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism). Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai crimes against state. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna terorisme pun mengalami pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai crimes against state, termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya. Selain itu menjadi crimes against humanity di mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Sebanyak 21 crimes against humanity masuk kategori gross violation of human rights (pelanggaran HAM berat) yang dilakukan sistematik di mana serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dan lebih diarahkan pada jiwa orang tak bersalah (public by innocent) seperti yang terjadi di Bali. Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana tertentu khususnya tindak pidana terorisme, sangat mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang bercirikan kepastian
  • 13. 13 hukum dan keadilan. Namun pemberlakuan UU Nomor 15/2003 semakin menampakkan berbagai kelemahan ketika diterapkan dalam praktek di lapangan. Empat Kendala Sedikitnya terdapat empat hal yang menjadi kendala penegakan hukum menjerat pelaku ISIS. Pertama, kelemahan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Substansi UU tersebut dinilai belum mengakomodir kebutuhan aparat penegak hukum dalam menjerat pelaku dan simpatisan ISIS di Indonesia. Kedua, belum terintegrasikannya penanganan tindak pidana terorisme di kalangan aparat penegak hukum. Sikap egosentris di kalangan aparat penegak hukum selama ini justru kerap menjadikan pola penanganan tidak pidana terorisme tak pernah komprehensif. Ketiga, minimnya ruang koordinasi dalam penanganan tindak pidana terorisme. Kehadiran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46/2010 sebagai desk koordinasi pemberantasan tindak pidana terorisme hanya dipandang sebelah mata dan keberadaannya tak pernah berfungsi maksimal. Keempat, minimnya kemampuan aparat penegak hukum terutama dalam melaksanakan beban pembuktian sehingga kerap kali tidak bisa membuktikan tindak pidana yang dituduhkan terhadap pelaku terorisme yang berakibat ringannya hukuman yang dijatuhkan. Mengandalkan penggunaan UU Nomor 15/2003 tidak ubahnya sebagai langkah yang konvensional dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Langkah ini terbukti tak mampu menjerat modus dan tipologi baru pelaku tindak pidana terorisme, terutama dengan hadirnya kelompok ISIS dan foreign terrorist fighter (FTF) yang menyerbu Indonesia. Praktis, pola penanggulangan seperti ini hanya akan menguras habis energi dan akan membuat aparat kecolongan. Di tengah kondisi substansi penggunaan UU yang belum dapat merespons merebaknya gerakan radikalisme terorisme di Indonesia saat ini, tentu diperlukan suatu strategi jitu dalam menghadapinya. Faktor kelemahan undang-undang sejatinya tak menjadi satu-satunya alasan melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana terorisme. Diperlukan suatu pendekatan multidisiplin penegakan hukum yang mengandalkan berbagai rezim hukum dalam penanganan suatu tindak pidana luar biasa. Pendekatan multidisiplin ini diharapkan dapat menjawab beberapa hal. Di antaranya, pertama, menghindari pelaku kejahatan terorisme lolos karena terbatasnya jangkauan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, mendorong pertanggung jawaban yang lebih komprehensif termasuk pengembalian kerugian negara dan pemulihan lingkungan sehingga dapat menimbulkan efek jera. Ketiga, memudahkan proses kerja sama internasional khususnya dalam pengejaran aset, tersangka dan kerja sama pidana lainnya (seperti tindak
  • 14. 14 pidana pencucian uang). Keempat, memaksimalkan proses pemulihan terhadap korban terorisme. Semula berkembang pendapat bahwa terorisme dan tindakan teror cukup diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di mana masih ada ketentuan yang mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan terhadap nyawa, dan kejahatan perusakan. Sebagai contoh, sampai saat ini negeri Belanda tidak memiliki satu undang- undang tentang terorisme tetapi cukup menangani masalah terorisme dengan KUHP-nya. Namun untuk mewujudkan suatu undang-undang nasional yang bertujuan mencegah dan memberantas terorisme secara menyeluruh, baik yang bersifat domestik maupun yang bersifat internasional, dan dengan mempertimbangkan praktik hukum internasional serta perkembangan yang ada, maka perlu disepakati lebih dahulu paradigma yang akan digunakan sehingga arah pencegahan dan pemberantasan tersebut dipahami oleh seluruh komponen bangsa Indonesia Untuk itu diperlukan pendekatan multidisiplin dalam penegakan hukum terorisme terutama dalam merespons kehadiran gerakan ISIS di Indonesia. Mengingat sejumlah kelemahan penegakan hukum dan modus terorisme yang berkembang, aparat penegak hukum perlu menggunakan pendekatan penegakan hukum multidisiplin yang tidak an sich menggunakan UU Nomor 15/2003 sehingga diharapkan pemerintah serta aparat penegak hukum segera menemukan formula baru dalam menghadapi perkembangan tindak pidana terorisme. Tidak berlebihan kiranya masyarakat menuntut pemerintah melakukan perubahan pola penegakan hukum yang lebih komprehensif dan multidisiplin. Tentu saja hal ini harus dibarengi dengan political will pemerintah untuk menyelesaikan persoalan terorisme dengan cara yang extraordinary. Semoga! M NASIR DJAMIL Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
  • 15. 15 Piciknya ”Demokrasi ala Melayu” versi Effendi Simbolon 12-02-2016 Beberapa hari terakhir terdapat realita getir dalam dinamika komunikasi politik di Tanah Air. Paling tidak untuk sebagian masyarakat dari etnis yang bahasa ibunya diadopsi menjadi bahasa utama negara ini, yaitu etnis Melayu. Pernyataan seorang politikus ternama dari partai yang sedang berkuasa, menyatakan keluarnya tiga partai politik dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengarah ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tak lebih seperti ”Demokrasi ala Melayu” yang tidak memiliki nilai- nilai idealisme dalam berdemokrasi. Effendi Muara Sakti Simbolon, sang politikus tenar ini mungkin lupa bahwa perpindahan dukungan partai politik pada suatu kelompok koalisi tertentu adalah hal yang wajar dan sah. Hal itu mengacu pada iklim politik yang masih berorientasi kekuasaan, kepuasan, dan ekspansi-ekspansi tertentu untuk kepentingan sumber daya ekonomi semata. Dalam mengidentifikasi suatu wilayah tertentu yang memunculkan istilah “demokrasi ala Barat” dan “demokrasi ala Timur”, sangat tidak relevan menjadi dasar ukuran Effendi Simbolon untuk mengambil potret dari polarisasi geopolitik. Demokrasi ala Melayu yang ”dihina” Effendi Simbolon sesungguhnya sangat menyesakkan masyarakat Melayu. Terlebih lagi bila diungkap bahwa pola-pola demokrasi ala Melayu ini jauh dari nilai-nilai idealisme. Menjadi tidak jelas mengapa serangan ini diarahkan kepada etnis Melayu. Apakah karena banyak etnis Melayu yang ogah memilihnya ketika tampil di pemilihan gubernur Sumatera Utara pada 2013 lalu? *** Effendi Simbolon dengan demokrasi ala Melayu-nya telah menciptakan suatu terminologi baru dalam pendefinisian arti demokrasi yang berbasis kepada etno-democracy centric atau demokrasi berdasarkan etnis tertentu, yang sebenarnya masih sulit untuk dipahami dengan logika dan pendekatan teori politik. Bahkan jika Effendi Simbolon memberikan dikotomi berdasarkan etnis, maka akan muncul puluhan etnis di Indonesia dengan gaya dan cara demokrasi yang berbeda-beda. Bila pola pendekatan ini yang digunakan maka akan muncul terminologi demokrasi ala Melayu, ala Batak, ala Jawa, ala Padang, ala Papua, ala Jawa Timur, dan etnis-etnis
  • 16. 16 lainnya. Sesungguhnya terminologi ini dapat menjadi pemantik awal bagi disharmonisasi bangsa seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa kita. Menariknya lagi, Effendi Simbolon berkilah mengartikan demokrasi ala Melayu dan mengidentikkan dengan Demokrasi Negara Malaysia—sistem pemerintahan demokrasi Malaysia. Padahal, hingga kini oposisi Melayu Islam yang dikenal dengan Parti Islam Se- Malaysia (PAS) masih tetap menjadi bagian oposisi dalam sistem politik di Malaysia— walaupun sebelum 1970-an PAS pernah menjadi bagian dari partai pro-pemerintah. Ini yang harus diklarifikasi oleh Effendi Simbolon agar tidak muncul kegelisahan golongan Melayu di Tanah Air ini. Bila memang Effendi Simbolon bukan mengartikan demokrasi ala Melayu ke gaya demokrasi Malaysia, lantas ke arah mana demokrasi ala Melayu— yang dinilai tidak memiliki idealisme—yang dimaksudkannya? Apakah kita akan mengedepankan berbagai stereotip negatif yang selama ini umum dimengerti masyarakat kita dan menjadikannya pegangan dalam berpolitik seperti yang lakukan Effendi Simbolon? Misalnya ketika ada suatu aktivitas negatif dalam masyarakat, maka akan muncul; ”ah, suku itu memang begitu.” Tentunya bukan suasana pemikiran seperti itu yang diharapkan para founding fathers kita dalam negara Bhinneka Tunggal Ika ini. Kita sangat tidak mengharapkan pola pikir yang kerdil ini meramaikan politik Indonesia, apalagi keluar dari mulut politisi partai berbasis nasionalis seperti Bung Effendi Simbolon. Tulisan ini tentu bukan untuk menimbulkan perpecahan di antara kaum kita yang beragam dan multietnik. Tulisan ini diharapkan menjadi pengingat bagi Effendi Simbolon dan politisi mana pun yang memiliki pola pikir serupa. Sebagai etnis Melayu, kami sangat menyesalkan cara berpikir Effendi Simbolon selaku doktor lulusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Pernyataannya seakan merendahkan kredibilitas cara berpikir dan kemampuannya dalam menganalisis fenomena politik nasional. Yang bersangkutan juga telah melukai hati sebagian besar masyarakat etnis Melayu, salah satu etnis pendiri bangsa ini. EFFENDI SYAHPUTRA Tokoh Muda Melayu
  • 17. 17 Alutsista Harga Mati 13-02-2016 Jatuhnya pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara (AU) Super Tucano TT-3108 di Malang, Rabu (10/2) saat melakukan uji terbang menambah daftar panjang rentetan duka alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna mengatakan, penyebab kecelakaan akan terungkap setelah tim selesai mengidentifikasi bangkai pesawat. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui kondisi mesin, fuel control unit, dan video recorder. Perlu dicatat, kecelakaan pesawat milik TNI AU dalam setahun terakhir melibatkan beberapa pesawat baru. Evaluasi mendalam perlu dilakukan agar ”kesalahan” tidak hanya ditujukan pada pilot atau cuaca. Pertanyaannya, apakah selalu dari bangkai dan”blackbox” saja—pesawat militer khususnya—sebuah kecelakaan dapat diidentifikasi ? Dalam dunia penerbangan, maintenance perawatan mengandung makna yang sangat luas. Baik sipil maupun militer, perawatan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan secara berkala agar pesawat yang akan dioperasikan benar-benar laik terbang. Pesawat bahkan dapat memberikan jaminan keamanan baik bagi pilot, kru, penumpang (jika ada), maupun pesawat itu sendiri. Jenis Perawatan Pesawat Secara garis besar program perawatan pesawat dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu perawatan preventif dan korektif. Perawatan preventif adalah perawatan bagi pesawat untuk mencegah kegagalan komponen sebelum komponen mengalami kerusakan. Sedangkan perawatan korektif adalah perawatan untuk memperbaiki komponen yang rusak agar dapat kembali ke kondisi awal. Perawatan preventif dibagi menjadi dua jenis. Pertama, perawatan periodik atau hard time, di mana perawatan dilakukan berdasarkan batas waktu maksimum suatu komponen pesawat. Perawatan ini merupakan perawatan pencegahan dengan cara mengganti komponen pesawat meski komponen tersebut belum mengalami kerusakan. Kedua, perawatan on condition. Perawatan jenis ini memerlukan inspeksi untuk menentukan kondisi komponen pesawat sehingga tindakan selanjutnya dibuat berdasarkan hasil inspeksi tersebut. Bila ditemukan gejala kerusakan, komponen akan diganti dengan catatan, baik alasan teknik maupun anggaran memenuhinya.
  • 18. 18 Di sisi lain perawatan korektif atau condition monitoring merupakan jenis perawatan yang dilakukan saat ditemukan kerusakan pada komponen pesawat. Bila perbaikan tidak dapat dilakukan, penggantian komponen bisa dilakukan. Interval Perawatan Pesawat Perawatan pesawat biasanya dikelompokkan berdasarkan interval dalam beberapa paket kerja (clustering). Hal ini dilakukan agar perawatan lebih mudah, efektif, dan menjamin efisiensi baik waktu, tenaga, maupun anggaran. Interval yang umumnya dijadikan pedoman untuk melaksanakan paket-paket tersebut adalah; pertama, flight hours, merupakan interval inspeksi yang didasarkan pada jumlah jam operasional pesawat. Kedua, flight cycle, merupakan interval inspeksi yang didasarkan pada jumlah take off- landing yang dilakukan pesawat, di mana setiap satu kali take off-landing dihitung sebagai satu cycle. Ketiga, calendar time, merupakan interval inspeksi yang dilakukan sesuai dengan jadwal tertentu. Tiap jarak interval ditentukan oleh tingkat peralatan/mesin dan kondisi beban pesawat. Pekerjaan perawatan preventif mampu menolong memperpanjang usia mesin (sampai 3-4 kali) dan mengurangi kerusakan yang tidak diharapkan. Waktu serta spek pengerjaan untuk perawatan pesawat terbagi menjadi tiga kategori umum; ringan, sedang, dan berat. Kategori ringan meliputi maintenance, yang mencakup pemeriksaan terhadap kondisi komponen dari pesawat yang masih dalam keadaan baik, dan perbaikan dapat dilakukan secara cepat. Aktivitas dalam perawatan ini biasanya berupa pemeriksaan struktur luar pesawat, landing gear (roda pendarat), mesin, sayap, dan baling-baling. Jika diperlukan, akan dilakukan penambahan oli, nitrogen, air, dan oksigen. Kategori sedang meliputi perawatan bervariasi dan mempunyai jadwal yang ketat sekitar dua minggu. Dengan catatan, semakin tua umur pesawat, penyelesaian perawatan akan semakin lama. Dalam perawatan level sedang ini dilakukan pergantian komponen yang usia pemakaiannya telah habis. Terakhir, kategori berat (heavy maintenance) dengan ground time yang lama sekitar satu bulan. Hal itu karena banyak jenis perawatan yang harus dilaksanakan dan direkomendasikan langsung dari pabrik pesawat terkait pada sertifikasi kelayakan terbang dari pesawat. Dalam perawatan ini hampir seluruh bagian dari air-frame pesawat diperiksa secara rinci. Anggaran untuk jenis perawatan ini sangat tinggi, baik meliputi waktu, tenaga kerja, maupun material yang digunakan. Pengelolaan MRO Dalam industri penerbangan sipil pengelolaan perawatan pesawat mulai pengadaan suku cadang sampai perawatan tidak selalu ditangani oleh perusahaan penerbangan itu sendiri. Garuda Indonesia misalnya menyerahkan penanganan suku cadang dan sistem kebijakannya
  • 19. 19 kepada perusahaan maintenance, repair, dan overhaul (MRO) yaitu PT Garuda Maintenance Facility Aeroasia. Peranan perusahaan sebagai penyedia jasa maintenance, repair, dan overhaul dalam industri penerbangan adalah untuk menjamin bahwa pesawat selalu dalam kondisi siap beroperasi sebelum mengudara. Dengan demikian, pesawat dapat mencapai misi serta jadwalnya tanpa ada gangguan (Kilpi, 2008). Bagaimanakah dengan MRO di TNI AU sendiri mengingat pesawat militer harus terjamin lebih unggul baik dalam keamanan dan kerahasiaannya? Pesawat yang dinyatakan laik terbang adalah pesawat yang secara teratur dan tepat waktu menjalani perawatan. Maintenance pesawat terbang baik sipil—apalagi militer— sesungguhnya direncanakan secara terperinci dan juga dibukukan untuk dilaporkan guna mendapatkan sertifikasi. Dengan begitu, setiap penerbangan pasti memiliki rencana dan rekam jejak yang dapat menjadi tolok ukur kesempurnaan dan ketepatan pelaksanaan maintenance. Sudah waktunya insiden yang menimpa pesawat TNI AU dapat membuat perhatian kita tertuju pada masalah ketersediaan anggaran, MRO, serta tanggung jawab manajemen perawatan alutsista. Artinya, sudah saatnya diperlukan investigasi yang tidak saja mencakup pilot, pesawat, dan cuaca semata, tetapi juga pada landasan udara (lanud) yang menjadi tanggung jawab para Komandan Skuadron, Komandan Wing, maupun Komandan Lanud. Dengan demikian, pembenahan keseluruhan manajemen sistem perawatan dan pemeliharaan pesawat tempur dan non-tempur TNI AU dapat meningkat pesat. Mari jadikan slogan ”NKRI Harga Mati” seperti tertulis di lanud ataupun di badan-badan pesawat TNI AU dapat terwujud, dan bukan berganti menjadi ”Alutsista Harga Mati” bagi para pahlawan dirgantara kita sendiri. CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE Analis Militer dan Pertahanan Negara – Indonesia Institute for Maritime Studies
  • 20. 20 Ombudsman ke Depan 15-02-2016 The Rule of Law Index 2015 menempatkan Indonesia di urutan nomor 52 dari 102 negara yang disurvei. Posisi beberapa negara ASEAN lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Di antaranya Filipina (51), Malaysia (39), bahkan Singapura berada pada urutan sembilan. Hasil survei tertuang dalam the Rule of Law Index ini merefleksikan bagaimana publik mengalami penerapan hukum dalam keseharian mereka. Tentu saja terkait erat bagaimana negara melayani publiknya dalam berbagai aspek kehidupan. Secara berurutan empat negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia, dan Finlandia) menempati posisi terbaik dunia. Banyak yang meyakini posisi terbaik negara-negara Skandinavia ini erat kaitannya dengan keberadaan ombudsman mereka yang telah ada sekitar 1800-an. Kondisi ini berhasil membentuk kultur hukum, jauh dari perilaku koruptif. Indonesia juga sejak tahun 2000 telah mengenal adanya Komisi Ombudsman yang kemudian tahun 2008 beralih menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Ombudsman Itu Apa Ombudsman itu apa? Pertanyaan yang sering kali diajukan masyarakat kebanyakan. Tentu bukan tanpa alasan mengapa pertanyaan mendasar ini diajukan. Padahal ORI sesungguhnya tempat masyarakat mengadu terhadap pelayanan-pelayanan negara yang belum memenuhi standar pelayanan yang baik. Ide dasar pembentukan Ombudsman sebagai lembaga ditugasi mencegah terjadinya praktik- praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pelayanan publik. Pelayanan publik yang adil, bebas dari diskriminasi atau pun perilaku koruptif akan melahirkan kultur melayani dari para penyelenggara negara. Seharusnyalah penyelenggara negara itu aparatur yang melayani, bukan minta dilayani. Aparatur negara yang melayani pasti terhindar dari perilaku koruptif seperti melakukan pungutan liar (pungli) atas setiap “layanan” yang diberikan. Kondisi ini melahirkan semua lembaga penyelenggara negara bekerja sesuai prosedur standar dan prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance). Ombudsman Indonesia dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Undang-undang memberikan kewenangan kepada lembaga negara ini untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk BUMN dan BUMD. Luas sekali lingkup pengawasan Ombudsman.
  • 21. 21 Ekspektasi Terhadap ORI Ombudsman Indonesia (ORI) periode 2016-2021 diseleksi dari 269 calon yang seleksinya dilakukan oleh pansel independen. Pengujung dari seleksi itu, Presiden menyerahkan 18 nama kepada Komisi II DPR RI untuk dilakukan fit and proper test. Komisi II pula yang menentukan komposisi seorang ketua, seorang wakil ketua dengan tujuh anggota sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. DPR RI memiliki harapan terhadap Ombudsman Indonesia. Harapan ini tecermin dari banyak hal. Pertama, mereka sangat hati-hati dalam melakukan seleksi terhadap ke-18 nama yang disampaikan oleh pemerintah. Malah sempat ke-18 nama tersebut dikembalikan dengan alasan netralitas pansel. Walaupun pada akhirnya kembali diterima oleh Komisi II setelah ada penjelasan yang argumentatif. Harapan DPR RI tecermin baik melalui pernyataan langsung oleh para anggota Komisi II kepada para calon maupun melalui media. Pertama, soal soliditas tim yang ditegaskan oleh Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman. Beliau mengemukakan bahwa diharapkan sembilan anggota ORI dapat bekerja secara solid, bahu-membahu membesarkan lembaga yang memiliki tugas tidak ringan. Wajar saja ada ekspektasi tinggi dari Komisi II. Di antara alasan karena mereka telah memilih secara ketat. Secara formal, komposisinya keanggotaannya luar biasa. Ada nama- nama yang sudah dikenal oleh publik. Ada pancaran harapan terang di wajah para anggota Komisi II atas pilihan mereka setelah melalui proses cukup melelahkan dengan berbagai dinamikanya. Sebagai representasi publik, tentu ekspektasi Komisi II DPRRI adalah harapan masyarakat luas. DPR menyerap berbagai aspirasi masyarakat baik terkait proses seleksi maupun apa yang berkembang selama ini terkait dengan pelayanan publik dan sepak terjang Ombudsman di masa lalu dan ke depan. Tantangan dan Strategi ke Depan Ada beberapa tantangan bagi Ombudsman ke depan. Pertama, lembaga ini belum dikenal secara luas oleh publik. Padahal publik paling berkepentingan untuk menindaklanjuti keluhan mereka terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan. Dikenal oleh publik itu penting dengan berbagai kerugian apabila Ombudsman belum terlalu memasyarakat. Kedua, Ombudsman dinilai sebagai lembaga negara yang “tidak ditakuti” karena sering kali rekomendasinya tidak dipatuhi oleh para terlapor. Selain itu, malah ada yang menilai bahwa laporan-laporan yang disampaikan tidak mendapat tanggapan yang patut dari Ombudsman. Visi-misi dan strategi ORI secara institusi tentu dirumuskan oleh sembilan anggotanya.
  • 22. 22 Namun, ada beberapa alternatif strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi berbagai tuduhan kelemahan yang ada pada Ombudsman. Pertama, harus dilakukan berbagai upaya agar ORI lebih terpublikasi. Memanfaatkan berbagai forum dan media sudah pasti. Para ombudsman harus tampil di berbagai arena dan terus menyosialisasikan eksistensi lembaganya. Sebagai ketua saya beruntung karena kini ORI diisi oleh sosok yang berkredibilitas dan popularitas baik. Di antara mereka sudah sangat dikenal publik yang diharapkan “tampil kembali” tetapi dengan baju berbeda sebagai anggota Ombudsman Republik Indonesia. Saya juga ingin membangun budaya melapor oleh publik. Masyarakat tidak boleh sungkan menyampaikan keluhan/laporan terhadap pelayanan publik yang tidak sesuai standar. Memang konsekuensinya jumlah laporan akan meningkat dan itu berarti beban kerja ORI semakin tinggi berhadapan dengan sumber daya terbatas. Tradisi melapor diharapkan melahirkan sikap kehati-hatian dari penyelenggara negara dan pemerintahan. Tidak terlalu soal apakah terlapor bersalah atau tidak karena keadaan “dilaporkan” itu sendiri sudah merepotkan. Ke depan mestinya membuat para pelayan publik bekerja lebih cermat dan profesional. Walaupun ORI harus pula memilah-milah laporan yang terkadang lemah keabsahannya. Terhadap rendahnya kepatuhan terlapor untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman, ada beberapa strategi yang patut dilakukan. Dua di antaranya adalah dengan memublikasikan pelapor yang membangkang melaksanakan rekomendasi. Membuka pula opsi untuk menindaklanjutinya secara hukum atas sengketa yang ada. Opsi-opsi lain terbuka agar kehadiran Ombudsman lebih terasa greget-nya. Tantangan Ombudsman ke depan tidaklah ringan. Selama ini ekspektasi publik yang tinggi terlanjur berbaur dengan realita yang kebalikannya. Harapan publik terhadap ORI ke depan harus dijawab dengan kerja keras dan karya nyata sebagai jawaban atas berbagai tantangan. Semua itu suatu keniscayaan karena kita tidak ingin menambah jumlah lembaga negara yang telanjur dianugerahi ketidakpercayaan masyarakat dengan berbagai implikasinya. PROF AMZULIAN RIFAI PhD Ketua Ombudsman Republik Indonesia
  • 23. 23 KPK Harus Terbebas dari Rongrongan 16-02-2016 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terbebas dari potensi rongrongan eksternal maupun potensi rongrongan internal. Penguatan dan terjaganya independensi itulah yang akan diwujudkan melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang KPK. Semua elemen masyarakat hendaknya tidak lupa pada kasus dugaan penyalahgunaan fungsi KPK yang terjadi sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kasus dugaan penyalahgunaan fungsi KPK itulah yang menyebabkan KPK harus dipimpin oleh tiga pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK sejak Februari hingga Desember 2015. Tiga Plt pimpinan KPK itu yakni Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP harus ditampilkan karena ketua KPK definitif saat itu harus menghadapi proses hukum untuk perkara yang disangkakan kepadanya. Keterpaksaan menghadirkan tiga Plt pimpinan KPK itu seharusnya dilihat sebagai bukan persoalan sederhana. Sebaliknya, tampilnya Plt kepemimpinan itu mencerminkan ada masalah internal yang luar biasa kompleks. Demikian kompleksnya sehingga institusi KPK sendiri tak bisa mencegah terjadi dugaan penyalahgunaan fungsi, bahkan juga tak mampu menyelesaikannya. Pimpinan KPK saat itu diduga menggunakan kekuatan lembaga antirasuah tersebut untuk mengejar target politik pada periode Pilpres 2014. Logika tentang urgensi penguatan KPK disederhanakan saja. Ajang pilpres itu sangat transparan karena diawasi publik. Kalau di ajang yang begitu terbuka sang pemimpin bisa mendapatkan status terduga pelaku pelanggaran etika, tentu akan sangat banyak peluang untuk melakukan pelanggaran etika di ruang tertutup oleh oknum satuan kerja di lembaga antirasuah itu. Berangkat dari pengalaman tak menyenangkan seperti itu, semangat yang seharusnya lebih dikedepankan adalah menutup peluang bagi terjadi kasus pelanggaran etika. Karena itu, KPK pun harus diawasi agar tidak berevolusi menjadi superbodi yang untouchable. Itulah semangat yang dibawa poin-poin dalam draf revisi UU No. 30/2002 tentang KPK. Jangan lupa bahwa revisi UU KPK sudah dibahas bersama antara pemerintah, DPR, dan KPK. Pembahasan itu menyepakati empat poin revisi meliputi pengangkatan penyidik independen, pembentukan Dewan Pengawas KPK, mekanisme penyadapan yang harus melalui izin Dewan Pengawas KPK, dan wewenang penerbitan SP3. Predictable bahwa draf revisi itu akan menimbulkan pro dan kontra. Beberapa kalangan tidak setuju dengan dihadirkannya Dewan Pengawas KPK.
  • 24. 24 Menurut Pasal 37 D draf revisi UU KPK, dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh Presiden setelah melalui proses seleksi. Pasal yang sama juga menetapkan dua tugas utama dewan pengawas yakni memberikan izin penyadapan dan penyitaan serta menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK. Kelompok masyarakat lainnya menolak wewenang penyadapan itu dibatasi. Ada juga yang tidak sependapat dengan pemberian wewenang menerbitkan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Bahkan ada yang berpendapat bahwa draf revisi UU KPK itu tidak sesuai dengan konteks kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, disarankan agar draf revisi itu dikaji lagi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ragam aspirasi publik itu diterima sebagai masukan oleh Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK di Badan Legislasi DPR. Karena itulah, pengesahan draf revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR yang rencananya dilakukan pada Rapat Paripurna DPR, Kamis (11/2) harus ditunda. Pada rapat Badan Legislasi hari sebelumnya, sembilan fraksi (Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi Hanura, Fraksi Nas-Dem, Fraksi PKB, Fraksi PPP, Fraksi Golkar, dan Fraksi PAN) menyetujui draf revisi itu. Belakangan Fraksi Partai Demokrat dan konon PKS berubah sikap. Menguatkan dan Melindungi Sesungguhnya fraksi-fraksi ini sudah bersepakat untuk memastikan bahwa revisi UU KPK tidak akan melemahkan KPK. Fraksi-fraksi itu belajar dari pengalaman tak sedap yang sempat dialami KPK. Karena itu, semangat fraksi-fraksi DPR yang pro-revisi itu adalah memperkokoh kekuatan KPK agar mampu menghalau rongrongan eksternal maupun rongrongan yang bersumber dari internal KPK sendiri. Tak satu pun kekuatan politik di DPR ingin melemahkan KPK. Pernyataan kepastian dari fraksi-fraksi DPR ini sekaligus merespons pernyataan sikap Presiden Joko Widodo yang akan memilih opsi mundur dari pembahasan jika revisi UU itu akan melemahkan KPK. Pernyataan sikap pemerintah itu terlalu dini karena draf revisinya sendiri belum disahkan. Dewan Pengawas KPK jelas sangat diperlukan karena para pimpinan KPK dan jajaran di bawahnya adalah manusia-manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Berangkat dari persepsi ini, menolak kehadiran Dewan Pengawas KPK terkesan kekanak-kanakan. Soalnya, penolakan itu lebih dilandasi oleh asumsi bahwa pimpinan KPK dan jajaran di bawahnya adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa atau kesalahan, baik disengaja atau tidak disengaja. Pertanyaannya, adakah manusia biasa yang mampu memenuhi kriteria malaikat suci itu? Komunitas hakim sebagai pengadil saja masih memerlukan pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY). Belakangan ini bahkan muncul dorongan agar peran KY sebagai pengawas eksternal komunitas hakim segera diperkuat. Penguatan fungsi KY merupakan bagian dari
  • 25. 25 upaya memperbaiki citra lembaga peradilan di negara ini. Maka itu, mengapa harus dimunculkan rasa takut berlebihan jika KPK pun harus diawasi oleh dewan pengawas. Keberatan terhadap kehadiran Dewan Pengawas KPK bukan saja terkesan kekanak-kanakan, melainkan juga sangat tidak masuk akal. Hak menyadap tetap melekat pada KPK. Tetapi, penggunaan atas hak itu harus bisa dikendalikan agar tidak lagi sewenang-wenang. Untuk itulah, kendali penggunaan hak itu dipercayakan kepada Dewan Pengawas KPK. Mencurigai Dewan Pengawas KPK akan melemahkan dan menurunkan agresivitas KPK pun terasa mengada-ada. Pertama karena dewan pengawasnya saja belum pernah ada, dan belum ada gambaran siapa saja yang akan menjadi anggota dewan itu. Apalagi, KPK belum memiliki pengalaman diperkuat dewan pengawas. Orang-orang baik tak pernah takut diawasi. Hanya orang sok suci atau munafik yang takut diawasi. Memang Dewan Pengawas KPK pun akan diisi oleh manusia biasa yang mungkin saja coba menyisipkan kepentingannya ketika menjalankan fungsi pengawasannya. Katakanlah ada oknum anggota dewan pengawas yang justru merusak strategi penyidikan; gangguan- gangguan seperti itu tentunya bukan tidak bisa diperbaiki. Bahkan, jika nanti Dewan Pengawas KPK terbukti tidak efektif mendukung pemberantasan korupsi, harus ada keberanian untuk mengeliminasi Dewan Pengawas KPK itu melalui revisi UU KPK lagi. Terpenting saat ini, harus ada kemauan dan keberanian bersama untuk memfungsikan Dewan Pengawas KPK karena tujuannya untuk memperkokoh kekuatan KPK, sekaligus menjaga independensi KPK. Draf revisi UU KPK yang akan dibahas nanti sebenarnya belum komprehensif. Dalam banyak diskusi, para pakar dan praktisi hukum justru berpendapat bahwa masih ada beberapa aspek yang perlu dibenahi jika ingin mewujudkan KPK yang benar-benar kuat, profesional, dan transparan. Misalnya soal penyadapan. Hak menyadap adalah keistimewaan yang luar biasa. Idealnya, hak itu juga dipertanggungjawabkan kepada publik. Pada akhirnya, UU KPK pun harus mengatur kewajiban KPK mempertanggungjawabkan penggunaan hak menyadap itu. BAMBANG SOESATYO Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
  • 26. 26 Tantangan Jokowi dalam Revisi UU KPK 17-02-2016 Kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid 4 yang baru dilantik langsung menghadapi tantangan serius. Utamanya terkait agenda dan keinginan politik DPR untuk melakukan revisi UU No. 30/2002 yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini. Pihak di DPR tampaknya berupaya percepat pembahasan revisi itu kendati masih belum mendapatkan dukungan bulat dari Fraksi Gerindra, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Upaya revisi ini sebenarnya bukan hal baru. Pada 2012 DPR pernah memunculkan usulan revisi UU KPK, namun langkah itu terhenti karena mendapat penolakan masif dari berbagai elemen masyarakat. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat itu agaknya tidak mau berhadapan dengan publik yang menginginkan KPK tetap bergerak ”menghabisi para koruptor”. Alasan penolakan revisi UU itu sudah secara luas diketahui publik. Dalam revisi pada intinya terlalu banyak klausul yang akan menjadikan KPK teramputasi kewenangannya sehingga lembaga anti-rasuah ini menjadi tak bermanfaat dan kemudian akhirnya ditiadakan. Maka tak heran bila kemudian sejumlah tokoh agama berkumpul di Griya Gus Dur, Jumat (5/2) lalu, seraya menyatakan sikap menolak rencana revisi UU tentang KPK itu. Namun, pihak DPR tampaknya masih akan terus membahas revisi itu dan tak peduli dengan penolakan publik yang sangat luas. Hal ini bisa disebabkan karena dua alasan. Pertama, alasan klasik legalistik yakni dianggap sebagai suatu kewajiban untuk dilakukan karena ada dalam Prolegnas 2016. Jika tak dibahas, barangkali dianggap suatu kesalahan besar sehingga tak peduli bila mendapat penolakan dari masyarakat luas. Kedua, tampaknya terkait dengan psiko-politik atau trauma dari politisi. Selama ini pihak politisi menjadi korban ”keganasan” kewenangan KPK sehingga mereka merasa dipermalukan dan citranya pun kian buruk. KPK tampak tidak mau berkompromi dengan para koruptor politik. Singkatnya, UU No. 30/2002 KPK dianggap ”sangat mengerikan” sehingga harus dilakukan perubahan dasar hukumnya melalui proses-proses politik yang menjadi wilayah kewenangan DPR dan pemerintah. Dengan kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Damayanti Wisnu Putranti dari Fraksi PDIP pada 13 Januari lalu semakin memacu adrenalin sebagian politisi Senayan untuk merevisi UU KPK. Tetapi, gairah politik melakukan revisi itu agaknya langsung terhentak ketika pimpinan KPK jilid 4 saat ini langsung melakukan penolakan atau keberatan. Sikap itu ditunjukkan dengan tidak menghadiri undangan rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR Selasa
  • 27. 27 (2/2). Alasan penolakan pun intinya sama saja dengan alasan dari banyak pihak yang antara lain sudah disebutkan di atas. Namun, tentu saja juga ada pertimbangan subjektif rasional dari pihak KPK yakni tak mau mendegradasi posisinya sendiri jauh di bawah para pendahulunya. Selain tak mau dituduh berjasa untuk turut ”menghabisi” lembaga yang mereka pimpin serta memperparah praktik korupsi di negara ini. *** Sikap tegas atau pembangkangan pimpinan KPK itu bukan mustahil akan menjadikan pihak DPR marah dan semakin ngotot untuk melakukan revisi. Apalagi kalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengamininya alias tak peduli dengan penolakan publik terhadap upaya amputasi KPK itu. Karena, pada umumnya partai politik pendukung Jokowi yang menjadi inisiator revisi UU KPK. Besar kemungkinan pada 2016 ini menjadi awal dari pesta poranya para koruptor di negeri ini. Inilah pertarungan terberat dalam perjalanan negara pada Era Reformasi. Kita semua tahu bahwa KPK dibentuk sebagai instrumen utama reformasi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dari warisan Orde Baru lantaran mandulnya kejaksaan dan kepolisian yang sudah lebih awal memperoleh mandat pemberantasan korupsi. Namun, semua pihak menilai bahwa hingga saat ini dua lembaga itu masih sangat memprihatinkan. Bukan saja kejaksaan dan kepolisian belum menunjukkan taringnya, melainkan justru pada tingkat tertentu masih terkesan menjadikan kasus-kasus korupsi sebagai proyek yang ditransaksikan. Banyak kasus korupsi di daerah yang lalai disentuh jajaran kepolisian dan kejaksaan. Bahkan kemudian pihak KPK-lah yang menanganinya dan melakukan OTT. Cara OTT menjadikan KPK sebagai lembaga yang efektif menangkap koruptor dibandingkan kepolisian dan kejaksaan. Begitu pula terkait kasus rekening gendut sejumlah kepala daerah, di mana pihak Kejaksaan Agung mengumumkan akan menanganinya. Namun, faktanya hingga saat ini berbagai kasus itu bukannya diusut, namun justru didiamkan atau barangkali dideponir. Maka banyak pihak kemudian mencurigai ada motif ”memproyekkan” kasus-kasus pencucian uang itu. Apa yang mau dikatakan di sini sebenarnya publik bangsa ini mengakui bahwa praktik korupsi pada Era Reformasi jauh lebih dahsyat dan merajalela dibanding era Orde Baru. Sampai saat ini seharusnya KPK-lah yang menjadi tumpuan utama untuk menjalankan misi reformasi. Bukan sebaliknya yakni harus dilemahkan dan atau ditiadakan sebagaimana substansi dari upaya revisi UU No. 30/2002 itu. Pada saat yang sama, harus ada gerakan terkomando di bawah pimpinan Presiden Jokowi untuk memastikan jajaran kejaksaan dan kepolisian bisa bertindak ”sama galaknya” dengan
  • 28. 28 KPK. Dengan demikian, berbagai kasus korupsi dapat ditangani hingga tuntas karena memang dua lembaga itu memiliki kaki tangan atau instrumen sampai di seluruh pelosok Tanah Air. Bila hal ini terjadi, KPK bukan saja tak perlu membentuk perwakilan di daerah- daerah, melainkan juga secara perlahan perlu segera ditiadakan karena memang statusnya sebagai lembaga yang bersifat ad hoc (tidak permanen). Persoalannya sekali lagi, Presiden Jokowi tampaknya belum menjadi komandan bagi dua lembaga itu untuk menjalankan mandat pemberantasan korupsi secara serius. Roadmap ke arah itu pun rasa-rasanya belum dibuat sehingga publik bangsa ini pun semakin tidak yakin terhadap peran kejaksaan dan kepolisian untuk menggantikan peran garang dari KPK. Presiden Jokowi seharusnya menyadari kondisi objektif ini sehingga harus lebih bijak dalam memastikan keterlibatan pihaknya untuk membahas revisi UU tentang KPK bersama DPR. Jika kemudian Presiden Jokowi turut mendorong atau memerintahkan menterinya untuk membahas revisi itu, jangan marah dan tersinggung bila publik menilai pemerintah melakukan pembiaran praktik korupsi dan ”melawan misi utama reformasi”. Di sinilah tantangan serius bagi Presiden Jokowi karena sesungguhnya bola panas politik itu tetap berada dalam kendalinya. Kendati begitu, bukan berarti kejaksaan dan kepolisian harus terus dibiarkan dengan kondisi seperti sekarang. Agenda Revolusi Mental dari Presiden Jokowi harusnya terlebih dulu dipaksa untuk dilakukan di dua lembaga yang berada di bawah komandonya itu dengan memastikan ada gerakan nyata menyapu bersih korupsi sampai ke seluruh pelosok Tanah Air. Apalagi hal itu merupakan bagian upaya mewujudkan salah satu butir Nawacita yang pernah dijanjikannya. Jika kemudian kejaksaan dan kepolisian berdaya dan bertaring memberantas korupsi, niscaya tak akan ada lagi resistensi dari masyarakat luas bila KPK ditiadakan. Ada desakan revisi UU No. 30/2002 harus dijadikan introspeksi mendasar bagi KPK terhadap cara kerjanya selama ini, yang selain tidak memiliki standar akuntabilitas dan transparansi, juga terkesan tebang pilih. Pada posisi ini, hemat saya, diperlukan pula badan pengawas independen terhadap KPK. LAODE IDA Mantan Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
  • 29. 29 Matinya Checks and Balances di Era Nawacita? 17-02-2016 Merapatnya sebagian partai-partai yang semula menjadi elemen dari Koalisi Merah Putih (KMP) ke dalam pusaran kekuasaan pemerintahan, di satu sisi menimbulkan harapan akan semakin kondusifnya situasi perpolitikan di negeri ini. Namun, di sisi lain, harapan untuk lahirnya struktur kekuasaan negara yang berpola checks and balances melalui hadirnya penyeimbang kritis yang berdiri di luar pusaran kekuasaan pemerintahan kian memudar. Setelah (sebagian) pengurus PPP, khususnya dari kubu Romi, memutuskan untuk berada di lingkaran koalisi partai pendukung pemerintah, disusul PAN dan kini Partai Golkar memutuskan untuk bergabung dalam koalisi tambun partai pendukung pemerintah. Sikap Partai Gerindra dan (sebagian) elite PKS yang memutuskan untuk tetap berdiri di kubu KMP masih memberikan harapan untuk tetap ada peranan partai-partai yang mampu bersuara kritis sebagai penyeimbang meskipun secara de facto KMP kini berada di persimpangan jalan. Sudah menjadi kelaziman dalam peta politik koalisi pada umumnya selalu diikuti dengan bargaining power untuk berbagi kursi kabinet yang menjadi representasi dari partai- partai pendukung koalisi. Masih munculnya pola koalisi partai dalam struktur ketatanegaraan di negeri ini dibuka oleh karakter hybrid dari UUD Negara RI 1945 yang menunjukkan sistem presidensial bercorak parlementer. Ambillah contoh dalam pencalonan presiden dan wapres pada era pilpres, gabungan parpol yang menjadi tiket masuk pencalonan presiden dan wapres sejatinya menjadi benih bagi lahirnya sistem koalisi. Hal inilah yang dapat menjadi benih tampilnya pemerintahan totaliter jika gabungan parpol pengusung capres dan cawapres tersebut berkembang menjadi koalisi partai yang tambun dan mengelilingi pusat kekuasaan dengan berbagai kepentingannya. Pola ini bisa menggeser suara rakyat yang sempat dimasukkan dalam kotak-kotak suara untuk mendukung capres dan cawapres menjadi suara kepentingan parpol maupun koalisi parpol. Pola semacam itulah yang oleh para filosof masa lalu disebut sebagai suatu oklokrasi, yaitu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan sekelompok orang dengan tujuan hanya untuk kepentingan kelompok itu sendiri tanpa memedulikan kepentingan orang banyak. Oklokrasi berasal dari kata okhlos yang berarti kelompok orang, dan kratein atau kratos yang berarti kekuasaan atau kekuatan.
  • 30. 30 Pola koalisi yang semakin tambun dan kini mengelilingi gerbong pemerintahan dengan berbagai macam kepentingan eksplisit maupun implisitnya dapat menjurus menjadi kekuasaan oklokrasi. Pemerintah pun karena dibutakan oleh kepentingan membangun pemerintahan yang stabil tanpa oposisi yang berarti bisa jadi akan cenderung permisif terhadap berbagai kepentingan yang ditawarkan para penumpang baru (baca: free rider) dalam gerbong koalisi pendukung pemerintahan. Hal ini diperparah oleh masih belum idealnya fungsi partai politik di negeri ini. Dengan semakin mengecilnya kekuatan KMP pilihan yang bisa diambil oleh KMP adalah merangkul rakyat untuk tetap mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah agar pemerintah tak terlena dan gagal menjalankan fungsi kekuasaannya. Semakin merapatnya partai-partai oleh magnet kekuasaan untuk menjadi koalisi pendukung pemerintahan ada bahaya absolutisme kekuasaan. Dalam kondisi tersebut, suara kritis parlemen juga bisa pudar karena fraksi-fraksi dalam tubuh parlemen juga tak lebih merupakan kepanjangan tangan partai-partai politik yang kini kecenderungan kian tersedot dalam kumparan magnet kekuasaan. Implikasi politik yang juga tak terhindarkan adalah dilakukan perombakan Kabinet Kerja yang menjadi kelanjutan dari bargaining politic dalam skema koalisi baru di kubu pendukung pemerintahan. Bisa jadi, perombakan kabinet akan dilakukan secara gelap mata hanya didasarkan atas pertimbangan untuk memuaskan syahwat koalisi, bukan didasarkan atas evaluasi kinerja dengan parameter yang jelas berdasarkan indikator-indikator pelayanan publik dan kapasitas kelembagaan sektoral dalam melaksanakan berbagai undang-undang sektoral yang menjadi tanggung jawab setiap kementerian/lembaga. Tanggung jawab kementerian/lembaga sebagai pelaksana kebijakan sektoral sejatinya mencerminkan karakter Kabinet Kerja yang selama ini menggunakan rujukan visi dan misi Presiden yang tertuang dalam Nawacita. Jika ternyata perombakan kabinet tak lagi didasarkan atas indikator kualitas pencapaian visi dan misi tersebut, namun justru karena tekanan koalisi, sejatinya hal inilah yang menjadi petunjuk terjadi kemerosotan demokrasi menjadi oklokrasi. Jika berkaca pada hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang baru saja dirilis, sesungguhnya tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama setahun terakhir semakin meningkat. Dari hasil survei terlihat bahwa 59,1% responden cukup puas atas kinerja Jokowi dalam menjalankan pemerintahan, 7,4% sangat puas, 28,7% kurang puas, 2,3% tidak puas sama sekali. Sedangkan 2,5% responden tidak tahu atau tidak menjawab. Soal kondisi ekonomi, 34% responden menilai keadaan ekonomi nasional dalam setahun terakhir membaik, 28% menilai memburuk, dan 34% menilai keadaan ekonomi nasional tidak berubah. Terkait dengan revisi UU KPK, para responden menilai tidak diperlukan ada revisi tersebut. Para responden yang menilai kinerja Jokowi memuaskan pun langsung menjawab tidak
  • 31. 31 setuju saat ditanya soal revisi UU KPK. Baik kelompok yang puas atau kurang puas polanya kurang lebih sama, revisi UU KPK akan melemahkan KPK, tidak setuju dengan pembatasan kewenangan penyadapan, dan juga tak setuju kewenangan dalam penuntutan dihapuskan. Berkaca pada hasil survei tersebut, sejatinya membuktikan bahwa dalam setahun terakhir kinerja Kabinet Kerja di bawah pemerintahan Jokowi masih dipercaya oleh rakyat dengan tingkat kepuasan yang tinggi dengan catatan terkait rencana revisi UU KPK tersebut. Jokowi harus tetap mencermati arah perkembangan struktur koalisi partai pendukung pemerintah yang baru agar tidak justru menyebabkan kegaduhan politik baru dan matinya checks and balances dalam struktur kekuasaan yang semakin intoleran terhadap suara kritis dari luar kelompok pendukung pemerintah. Demokrasi adalah sebuah sinergi dari perbedaan-perbedaan yang justru menjadi sebuah harmoni dalam format kebangsaan yang plural. DR W RIAWAN TJANDRA SH MHum Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
  • 32. 32 Haramnya Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK 18-02-2016 Rencana DPR untuk melakukan revisi terhadap UU KPK kembali memantik perdebatan. Sengitnya perdebatan ini diwarnai aksi menolak revisi oleh beberapa kalangan baik pakar hukum maupun kelompok masyarakat sipil yang concern dengan wacana pemberantasan korupsi. Perang argumentasi dan opini tidak hanya diarahkan untuk memengaruhi persepsi publik, bahkan juga ditujukan kepada Presiden agar menolak usul revisi yang menjadi inisiatif DPR. Presiden seakan hanya disuguhkan pilihan untuk ”menolak” dengan mengikuti basis argumentasi dan kerangka pikir bahwa revisi ”haram” hukumnya dan hanya akan melemahkan KPK. Padahal, jika merujuk pada garis fungsi dan kewenangan yang diamanatkan dalam konstitusi, DPR-lah pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang (Pasal 20 ayat 1 UUD 1945). Tentu, sebagai pengejawantahan fungsi legislasi, menjadi salah satu tugas DPR untuk menyusun dan membahas sebuah rancangan undang-undang bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat 2 UUD 1945). Jika dibaca dalam konteks ini, idealnya semua pelaksanaan fungsi legislasi dititiktekankan pada pemenuhan aspirasi publik berdasarkan skema kebutuhan hukum dalam masyarakat. Bukan sebaliknya, berdasarkan aspirasi sebagian masyarakat yang kemudian dijustifikasi telah mewakili kepentingan publik pada umumnya serta merasa berhak memegang ”tafsir kebenaran” dalam setiap narasi pemberantasan korupsi. Terhadap sebagian masyarakat yang tidak setuju (bahkan Presiden) akan mendapat label sebagai bagian yang diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi bahkan cenderung dianggap menyimpang baik secara sosial maupun politik. Dalam konteks negara hukum yang demokratis, kondisi ini sangat tidak sehat mengingat proses pembentukan perundang-undangan kerap kali dipengaruhi, bahkan cenderung diintervensi, melalui cara pembentukan opini dengan tujuan agar respons publik terhadap proses revisi mendapatkan kesan negatif, tanpa mau melihat secara objektif, urgensi dan kebutuhan mendasar mengapa UU KPK harus segera direvisi. Ironisnya, secara institusi KPK memosisikan diri sebagai salah satu yang menolak revisi sehingga kebutuhan revisi diasosiasikan seakan hanya merupakan agenda legislatif semata, padahal revisi merupakan amanat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan
  • 33. 33 Prolegnas Prioritas 2016 yang disusun DPR dan pemerintah sebagai kerangka acuan dalam mewujudkan sistem hukum nasional. Mesti digarisbawahi, dalam konteks prolegnas, kebutuhan penyusunan maupun revisi sebuah peraturan perundang-undangan tidak hanya didasarkan pada agenda legislatif, tetapi juga didasarkan atas sistem perencanaan pembangunan nasional, rencana jangka panjang nasional, rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR, serta aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat (Pasal 18 UU Nomor 12/2011). Artinya, dalam kerangka ini, telah terjadi sesat pikir ketika DPR dianggap memiliki agenda tertentu guna melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Padahal, sah-sah saja ketika DPR mengartikulasikan kewenangan konstitusionalnya dalam bentuk usulan revisi aturan perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan konteks zaman. Lagipula usulan tersebut bukanlah gagasan final, tetapi masih akan dilakukan pembahasan bersama pihak pemerintah. Seharusnya proses revisi dapat menjadi pintu masuk guna dilakukannya perbaikan-perbaikan yang diselaraskan dengan rencana pembangunan nasional mengingat UU KPK telah berusia kurang lebih 12 tahun sehingga perubahan evaluatif merupakan sebuah keniscayaan. Justru menjadi aneh ketika revisi dimaknai dan digaungkan sebagai upaya pelemahan, serta dianggap sebagai ajang konsolidasi bagi mereka yang pro-status quo untuk membubarkan KPK. Sebaliknya, bukankah dapat dikatakan bahwa mereka yang tidak setuju dengan revisi adalah kelompok yang pro terhadap status quo. Bahkan secara institusi sikap KPK yang menolak revisi dapat dimaknai sebagai upaya melanggengkan dan mempertahankan kekuasaannya yang sedemikian luas, pun telah dicitrakan selama ini sebagai lembaga yang tanpa kesalahan, sementara pada sisi lain proses perjalanan institusi ini senantiasa dilingkupi dengan berbagai masalah baik yang bersifat internal maupun eksternal. Urgensi Revisi Tarik-ulur soal revisi UU KPK dibarengi dengan basis argumentasi masing-masing. Jika membaca kerangka pikir pengusul revisi UU KPK yang disampaikan dalam rapat Badan Legislasi DPR tanggal 1 Februari 2016, terdapat beberapa poin yang menjadi latar belakang untuk dilakukannya revisi terhadap UU KPK. Di antaranya: (a) kinerja KPK dianggap masih belum optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan, (b) lemahnya koordinasi antar-lini penegak hukum, (c) terjadinya pelanggaran kode etik, (d) adanya masalah dalam implementasi tugas dan wewenang yang berpotensi terjadi abuse of power, (e) problematika penyadapan yang dianggap melanggar hak asasi manusia, (f) problem yang terkait dengan pengelolaan penyelidik dan penyidik, (g) tidak adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Berdasar pada beberapa hal inilah kemudian dalam materi muatan rancangan diusulkan
  • 34. 34 pengaturan yang terkait dengan penyadapan, dewan pengawas, penyelidik dan penyidik, serta kewenangan yang terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan. Selanjutnya, urgensi perubahan UU KPK sebenarnya juga disuarakan beberapa ahli hukum. Adalah Romli Atmasasmita sebagai salah satu ahli hukum yang ikut membidangi lahirnya UU KPK pada tahun 2002 silam, dalam salah satu opininya (2015) dia juga menyebutkan beberapa poin yang menjadi masalah krusial dalam perkembangan situasi KPK baik internal maupun eksternal. Di antaranya: (a) mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik yang multitafsir termasuk di dalamnya kekeliruan memahami pengertian lex specialis pada UU KPK khususnya yang terkait dengan status penyelidik dan penyidik, (b) salah pengertian dalam memahami asas kolektif kolegial, (c) masalah penyadapan yang diragukan akuntabilitasnya berdasarkan audit BPK atas kinerja KPK, (d) tidak efektifnya sistem pengendalian internal, (e) tidak jelasnya ketentuan mengenai kekosongan pimpinan. Terlepas dari segala pro dan kontra yang terjadi, secara garis besar, penulis mengemukakan beberapa alasan dalam konteks revisi ini. Pertama, keberadaan dewan pengawas merupakan antitesis dari tidak optimalnya fungsi pengawasan yang dijalankan oleh sistem pengendalian internal selama ini. Dalam beberapa kasus, adanya dugaan pelanggaran etika dan perilaku yang dilakukan oleh pimpinan KPK tidak mendapatkan respons serius, termasuk proses penanganan dugaan pelanggaran kode etika dilakukan secara tertutup dan tidak transparan. Padahal dengan melekatnya kewenangan yang demikian luas, membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK sebagaimana dalil Lord Acton, ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.” Belum lagi pada persoalan pertanggungjawaban terhadap kebijakan dalam pelaksanaan kewenangan dalam konteks pro justitia yang oleh sebagian kalangan dipandang cenderung otoriter dan sewenang-wenang. Demikian pula kesalahan-kesalahan prosedural terjadi berulang-ulang tanpa adanya mekanisme pengawasan yang berarti. Tentunya kedudukan dewan pengawas harus diposisikan tidak dalam konteks melakukan intervensi terhadap proses pemberantasan korupsi, tetapi pada posisi sebagai sistem pencegahan terjadinya penyalahgunaan wewenang sekaligus sarana penegakan ketika terjadi pelanggaran etika dan perilaku. Dalam konteks ini, dewan pengawas juga secara tidak langsung meng-upgrade kedudukan tim penasihat yang selama ini berfungsi hanya memberikan nasihat dan pertimbangan yang tidak mengikat kepada pimpinan KPK. Kedua, sejak 2011, Mahkamah Konstitusi RI melalui putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud. Selanjutnya dikatakan, pembatasan melalui penyadapan harus diatur
  • 35. 35 dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi. Tentu dengan dasar argumen ini, upaya pengaturan yang terkait dengan mekanisme penyadapan maupun pengawasannya bukanlah sesuatu yang ”haram” untuk dilakukan. Ditambah fakta yang terkait dengan tidak dilaksanakannya audit mengenai penyadapan sejak adanya putusan MKRI tersebut. Hal ini terungkap melalui hasil audit BPK terhadap kinerja KPK. Dalam laporan hasil pemeriksaan nomor 115/HP/ XIV/12/13 tanggal 23 Desember 2013 tercatat bahwa penelitian atas kegiatan lawfull interception oleh tim pengawas terakhir dilaksanakan tahun 2009. Periode setelah tahun 2009 sampai tahun 2011, bahkan sampai dengan dilakukannya audit kinerja oleh BPK, kegiatan lawfull interception minus pengawasan. Ketiga, terkait usulan pemberian kewenangan KPK untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Dalam konteks ini, pemberian kewenangan tersebut seharusnya tidak dimaknai dalam persepsi negatif, dengan asumsi ketika kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan diberikan maka berpotensi terjadi penyalahgunaan. Alur pikir seperti ini justru berbanding terbalik dengan tesis KPK sebagai lembaga yang menerapkan prinsip pengawasan secara ketat dan zero kesalahan yang selama ini dicitrakan ke publik. Pertanyaannya jika memang demikian, mengapa kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan dianggap sesuatu yang ”haram”? Padahal, prinsip hukum menegaskan kewenangan ini adalah kebijakan yang patut dilakukan apabila memenuhi syarat, misalnya ketika tersangka meninggal dunia. Keempat, tafsir mengenai keabsahan penyelidik dan penyidik KPK (Pasal 45 ayat 1 UU 30/2002) tidak hanya menuai kontroversi dan perdebatan yang mewarnai kinerja KPK selama ini. Kontroversi ini bukan tanpa dasar, mengingat dalam salah satu putusan praperadilan telah dinyatakan bahwa penyelidik dan penyidik KPK diangkat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kelima, kewenangan KPK dalam melakukan fungsi koordinasi dan supervisi tidak didukung oleh dasar hukum yang kuat, khususnya yang terkait dengan struktur organisasi yang ada dalam UU No. 30 Tahun 2002. UU ini hanya mengamanatkan 4 bidang, yaitu pencegahan, penindakan, informasi dan data, serta bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat (Pasal 26 ayat 2 UU Nomor 30/2002). Di sisi lain, koordinasi dan supervisi merupakan salah satu peran vital KPK dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan dan pendorong institusi penegak hukum lainnya (trigger mechanism). Keenam, salah satu kendala yang dihadapi dalam konteks pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara sebagai salah satu upaya pencegahan (Pasal 13 UU Nomor 30/2002) disebabkan tidak adanya sanksi yang dapat diberikan terhadap penyelenggara
  • 36. 36 negara yang enggan melaporkan harta kekayaannya. Karenanya proses ini seakan hanya sebagai pemenuhan syarat formal dan tidak efektif dalam rangka pencegahan. Beberapa hal tersebut hanyalah bagian kecil yang saling kait-mengait dan butuh perhatian serius dalam konteks revisi UU KPK. Sangat tidak bijak jika kemudian revisi dimaknai sebagai proses yang akan mereduksi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Dalam konteks demokrasi, wajar saja jika kemudian usulan revisi ini melahirkan penolakan, tetapi menjadi sangat tidak wajar jika kemudian penolakan tersebut seakan ”membajak” kewenangan lembaga legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dengan demikian, revisi UU KPK bukanlah sesuatu yang ”haram” untuk dilakukan. AHMAD YANI, SH,MH Anggota Lembaga Pengkajian MPR RI dan Ketua Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa
  • 37. 37 Menuju Reformasi DPD 19-02-2016 Akhir-akhir ini peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kembali dipertanyakan oleh publik. Pemantiknya adalah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Sabtu (6/2) yang merekomendasikan pembubaran lembaga tinggi itu. Beberapa senator merasa sedih dan kecewa hingga kemudian merespons rekomendasi PKB dengan berbagai argumentasi pertahanan. Ketua DPD Irman Gusman ikut angkat bicara. Irman menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya adalah produk reformasi yang menghendaki terwujudnya keseimbangan. Semangat awal lahirnya DPD adalah untuk mendekonstruksi sistem pemerintahan sentralistik gaya Orde Baru dengan harapan terjadi sinergi antara lembaga pemerintah pusat dandaerah. Saat itu masyarakat di daerah menaruh harapan agar masalahnya dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. DPD digadang-gadang mampu memainkan peran sentralnya membawa aspirasi daerah. Namun, faktanya jauh panggang dari api. Dalam amanat UUD 1945 Pasal 22 D ayat 1 disebutkan, DPD mempunyai tiga fungsi. Pertama, legislasi, berwenang ikut membahas dan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR. Kedua, memberikan pertimbangan kepada DPR. Ketiga, pengawasan atas pelaksanaan undang-undang (UU) dan penyampaian hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan untuk ditindaklanjuti. Amanat UUD tersebut sejatinya menempatkan DPD sebagai lembaga kuat yang berfungsi memberikan pengawasan pelaksanaan UU. Namun, DPD hanya sebagai “penghias demokrasi”. Hal itu terjadi lantaran pada 2000 terjadi perubahan pada konstitusi kita yang memperkuat fungsi DPR. Salah satunya kewenangan sebagai badan legislatif pembentuk UU yang awalnya hak Presiden kemudian dikembalikan ke DPR. Penguatan tersebut tidak serta- merta diikuti oleh penguatan fungsi DPD sehingga kewenangannya masih sangat lemah. Menurut saya, terdapat empat hal yang memosisikan rekomendasi Mukernas PKB tersebut berada pada titik pijak yang kuat. Pertama, dengan era informasi seperti saat ini, tidak diperlukan lagi DPD sebagai penyambung lidah antara kepentingan daerah dan pusat. Pada masa Orde Baru memang terdapat jarak antara pemerintah pusat dan daerah sehingga setiap kepentingan daerah selalu menemui rintangan saat diperjuangkan di tingkat nasional. Saat ini kondisi sudah sangat berbeda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Nawacitanya “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
  • 38. 38 kerangka negara kesatuan”, membuka arus komunikasi dari berbagai penjuru. Artinya, aspirasi daerah langsung bisa melesat di jantung pusat. Kedua, pelaksanaan fungsi DPD sebagai penyeimbang dua kamar (bikameral) untuk terwujudnya check and balance perlu dievaluasi karena sistem ini menuntut DPD berperan sekuat gajah, namun faktanya tidak demikian. Sampai saat ini produk DPD tidak bisa diukur, baik yang bersifat kebijakan maupun program yang langsung dirasakan masyarakat. Ketiga, keberadaan DPD belum sepenuhnya menjadi “dewa penolong” bagi masyarakat bawah. Anggaran operasional yang dibebankan kepada rakyat tidak seimbang dengan manfaat yang dirasakan. Perlu saya ulas, pada 2009 jumlah anggaran DPD dalam APBN sebesar Rp468,8 miliar. Kemudian pada 2010 sebesar Rp639,2 miliar, pada 2011 sebesar Rp553 miliar, pada 2012 sebesar Rp589,8 miliar, pada 2013 sebesar Rp592,5 miliar, dan pada 2014 sebesar Rp739 miliar. Keempat, kondisi DPD saat ini tidak seirama dengan Nawacita Presiden Jokowi yang ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan efektif. Semangat mewujudkan sistem pemerintahan efektif harus diikuti optimalisasi fungsi seluruh lembaga negara. Jika tidak, pembubaran adalah opsi yang harus dipilih. Saya mengapresiasi Presiden Jokowi atas komitmennya mewujudkan sistem pemerintahan efektif dengan menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 176 tentang Pembubaran 10 Lembaga Nonstruktural. Ini pil pahit yang harus ditelan lembaga yang mengalami “disfungsi”. Jangan Berlarut Dalam kasus ini kita mempunyai dua pilihan yaitu membubarkan atau memperkuat fungsi lembaga yang dinakhodai oleh Irman Gusman. Pastinya, kondisinya tak boleh dibiarkan seperti saat ini. Banyak makan biaya, namun tak berdaya. Pembiaran kasus ini sama halnya dengan melakukan pemborosan yang melanggar prinsip pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, reformasi DPD adalah kebutuhan mendesak. Dalam ihwal ini saya mencatat ada empat hal yang dapat dilakukan. Pertama, DPR dan pemerintah harus duduk bersama mengagendakan rapat koordinasi khusus persoalan ini. Kita paham bahwa sinergi DPR dan pemerintah sangat diperlukan sebagai upaya melakukan reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan, termasuk DPD. Kedua, segera membentuk tim reformasi DPD. Tim ini terdiri atas beberapa ahli independen yang bertugas melakukan kajian dan riset untuk memberikan rekomendasi kepada DPR dan pemerintah. Ketiga, membuka komunikasi seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menjaring masukan- masukan konstruktif. Penjaringan masukan melalui survei sangat direkomendasikan karena
  • 39. 39 hal ini akan mampu menjawab pertanyaan apakah DPD masih diperlukan oleh masyarakat. Keempat, mendorong lembaga masyarakat dan media untuk memantau DPD lebih ekstra, berprinsip pada efisiensi dan efektivitas dalam capaian kinerja dan layanan kepada masyarakat. Keikutsertaan masyarakat yang berpotensi untuk melakukan pemantauan dan pengawasan secara sukarela atas kinerja para penyelenggara negara sangat diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. Selain langkah di atas, terobosan individual anggota DPD untuk berperan lebih maksimal juga sangat diperlukan. Harus ada kepekaan dan intuisi sosial untuk “mengendus” permasalahan daerah serta kreativitas dalam meramu “racikan” kebijakan demi terwujud pemerataan pembangunan. Sudah saatnya seluruh “urat nadi” bangsa tergerakkan untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien. Sebab itu, saya mengajak kepada rekan-rekan anggota DPR RI dan pemerintah untuk lebih ekstra menyikapi hal ini. Kita semua tak boleh melakukan pembiaran. Dalam sebuah adagium, kita diwajibkan untuk mengubah kemungkaran, ketidakberdayaan, dan pemborosan dengan tangan, mulut, atau hati kita. JAZILUL FAWAID Sekretaris Fraksi PKB dan Anggota Komisi III DPR RI
  • 40. 40 Koruptor Harus Disadap 20-02-2016 Tidak ada satu bukti pun bahwa penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini salah, apalagi sampai dikatakan melanggar HAM. Semua koruptor yang ”dijejaki” oleh KPK melalui penyadapan selalu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum oleh pengadilan. Coba cari dan sebut satu contoh saja: adakah orang yang disadap dan kemudian menjadi tersangka karena hasil sadapan itu, tidak terbukti korupsi? Tidak ada, kan? Faktanya, para koruptor yang ditangkap oleh KPK melalui penyadapan dan kemudian diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi selalu dihukum oleh pengadilan. Tidak ada yang lolos. Penjatuhan hukuman karena terbukti korupsi bagi yang disadap itu bukan hanya terjadi pada pengadilan tingkat pertama, tetapi selalu dikuatkan, bahkan diperberat, oleh pengadilan tingkat banding dan kasasi, bahkan pada tingkat peninjauan kembali (PK). Sebaliknya, apakah pernah ada orang yang diketahui oleh publik telah disadap oleh KPK sebelum diumumkan sebagai tersangka? Tidak ada juga, kan? Sampai saat ini tak seorang pun tahu, siapa saja yang disadap oleh KPK karena dugaan tindak pidana korupsi? Orang baru diketahui disadap oleh KPK kalau sudah resmi dinyatakan sebagai tersangka. Itu pun hasil sadapannya baru diungkap di pengadilan terbatas pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan korupsi yang bersangkutan. Itu semua memberi arti bahwa kewenangan yang diberikan kepada KPK untuk menyadap terduga korupsi selama ini adalah benar dan tidak bermasalah. Sebab yang sudah dinyatakan tersangka, misalnya melalui operasi tangkap tangan karena penyadapan, selalu bisa dibuktikan tindak pidana korupsinya. Adapun bagi yang belum dinyatakan sebagai tersangka tidak pernah ada yang tahu siapa saja yang disadap. Lalu di mana letak kesalahan pemberian kewenangan kepada KPK untuk menyadap? Tidak ada, kan? Oleh sebab itu menjadi sangat janggal jika kewenangan yang diberikan kepada KPK untuk menyadap dipersoalkan dan akan dibatasi melalui revisi UU KPK. Menjadi wajar jika kemudian publik curiga bahwa revisi UU KPK dimaksudkan untuk melemahkan, bukan menguatkan. Akal sehat publik (public common sense) melihat koruptor itu kalau tidak disadap akan mudah lolos karena begitu banyak akal bulusnya. Mereka juga mempunyai uang untuk secara koruptif menghilangkan jejak korupsinya. Maka kewenangan menyadap tanpa diketahui orang lain menjadi penting sebagai instrumen KPK untuk mencokok para koruptor.
  • 41. 41 Tidak masuk akal juga ide mengurangi kewenangan menyadap didasarkan pada keinginan untuk mengantisipasi kecerobohan KPK. Nyatanya, terbukti selama ini dalam menyadap KPK tidaklah ceroboh. Pun tak bisa diterima jika upaya mengurangi kewenangan menyadap didasarkan pada alasan, penyadapan adalah melanggar HAM karena menurut konstitusi HAM boleh dikurangi berdasarkan UU dengan alasan dan pertimbangan tertentu. Penyadapan oleh KPK sudah diatur oleh UU dengan alasan dan pertimbangannya yang sah secara konstitusional. Mengapa mau diutak-atik lagi? Maka itu publik berharap agar kewenangan KPK untuk menyadap tidak dipreteli. Biarkan saja seperti keadaannya sekarang. Kalau dipaksakan, penyadapan harus melalui izin, entah itu pengadilan ataupun dewan pengawas, sama saja artinya dengan melemahkan KPK. Langkah perang terhadap korupsi akan mengalami kemunduran di negara kita. Pada saat ini proses legislasi atau pembentukan dan perubahan sebuah UU menghendaki adanya naskah akademik (NA). Di dalam NA ini harus ada alasan-alasan mengapa dan ke arah mana sebuah UU harus dibuat. Begitu pun jika sebuah UU yang sedang berlaku perlu direvisi harus pula dijelaskan di dalam NA-nya, apa alasannya dan ke arah mana perubahan revisinya. Dalam konteks penyadapan, seharusnya ada NA yang memuat fakta bahwa yang selama ini berlaku adalah salah sehingga perlu diperbaiki. Atau, kalau dianggap tidak salah, tetapi tetap ingin diperbaiki juga maka harus jelas perinciannya bahwa itu memang bisa memperbaiki. Terus terang, kalau ide perbaikannya adalah yang seperti sekarang, yakni mengatur bahwa untuk melakukan penyadapan harus mendapat persetujuan lebih dulu dari sebuah Dewan Pengawas, mudah disimpulkan bahwa revisi yang seperti itu hanya akan melemahkan. Selain bisa menghambat gerak cepat dalam penindakan oleh KPK, keharusan ada izin untuk menyadap juga membuka peluang terjadinya kebocoran yang menabrak kerahasiaan penyadapan itu sendiri. Bisa saja terduga koruptor yang (akan) disadap segera menghilangkan jejak sehingga tak bisa ditindak. Kemungkinan seperti itu memang tidak mesti terjadi, tetapi juga tidak mesti tidak terjadi. Jadi diantisipasi kemungkinan buruknya saja. Adalah tak masuk akal juga usul bahwa penyadapan boleh dilakukan oleh KPK kalau seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ide ini konyol karena kalau sudah ditetapkan sebagai tersangka seseorang itu tak perlu disadap lagi, apalagi kalau sudah ditahan. Kalaulah Dewan Pengawas dianggap perlu ada di KPK, hal itu bisa saja diwujudkan tetapi tidak boleh diberi kewenangan untuk memberi izin dilakukannya penyadapan. Cukuplah dewan tersebut mendapat laporan bahwa seseorang telah disadap dan ”telah ditetapkan sebagai tersangka”. Sebelum itu Dewan Pengawas tak boleh ikut campur.
  • 42. 42 MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 43. 43 Tenggelamnya Kapal Keadilan Hukum 22-02-2016 Salah satu media nasional pada 12 Februari 2016 menampilkan berita “KPK Dukung Jaksa Agung“; “Polisi Serahkan ke Jaksa”, dan dalam berita tersebut terselip berita Jaksa Agung berkirim surat tertanggal 4 Februari 2016 kepada Ketua DPR RI untuk minta pendapat DPR RI mengenai penghentian kasus AS dan BW. Berita mengenai kasus mantan pimpinan KPK dan penyidik KPK mengisi kolom harian nasional sungguh memprihatinkan sekaligus mengecewakan. Di samping tentunya sukacita bagi mereka yang berhasil “menenggelamkan perahu keadilan hukum” baik bagi korban maupun dari sudut pelaku tindak pidana, di negeri yang katanya berdasarkan Negara Hukum (Bab I Pasal 1 ayat 3-UUD 1945). Tenggelamnya kapal keadilan hukum mendekati kenyataan dengan berita KORAN SINDO (17/2) yang memberitakan hampir pasti Jaksa Agung mengeluarkan SKPP terhadap terdakwa NB, disusul berita media nasional lain pada 18 Februari dengan judul “JA akan pilih SKP2“. Sejak awal perlu dicermati bahwa Pasal 144 KUHAP perihal penarikan kembali surat dakwaan hanya bisa dilakukan jika pengadilan belum menetapkan tanggal/hari sidang, sedangkan perkara NB sudah ditetapkan tanggal sidangnya dan telah ada penunjukan majelis hakim. *** Beberapa keberatan penulis terhadap langkah Kejaksaan Agung disebabkan beberapa pertimbangan yaitu: Pertama, bahwa tuduhan kriminalisasi dan rekayasa terhadap Polri dalam kasus NB dengan merujuk pada tempus delicti yang telah lama dan mengapa baru tahun 2015 diproses kembali, bukan alasan yang tepat secara hukum. Karena tenggat waktu kedaluwarsa (Pasal 78 KUHAP) belum terlampaui. Kedua, jika benar Polri di Bengkulu merekayasa atau mengkriminalisasi, tidak mungkin kejaksaan telah menetapkan P-21 dan pelimpahan perkara ke PN Bengkulu tanggal 29 Januari 2016. Ketiga, dugaan kriminalisasi dan rekayasa terhadap NB mengada-ada karena telah terbukti ada korban mati dan cacat/luka berat akibat penganiayaan yang diduga telah dilakukan NB ketika menjabat sebagai kasatserse Polres Bengkulu. Jumlah korban mati satu orang, dan luka serta cacat fisik sebanyak lima orang—di ILC telah disampaikan oleh korban sendiri—dan bahkan orang yang tidak tahu dan ikut serta dalam pencurian sarang walet pun dipaksa harus mengakui melakukan pencurian.
  • 44. 44 Keempat, tudingan kriminalisasi atau rekayasa atas NB bukan hanya ditujukan terhadap Polri Bengkulu, tetapi secara tidak langsung terhadap kejaksaan Bengkulu yang telah menyatakan P-21 dan bahkan perkara NB telah dilimpahkan ke pengadilan. Kelima, gerakan “perlawanan” LSM antikorupsi dan pimpinan KPK III dan IV terhadap penegakan hukum dalam kasus NB merupakan “insubordinasi” masyarakat sipil dan lembaga negara KPK terhadap kekuasaan negara. Aksi tersebut dapat digolongkan terhadap tindakan menghalang-halangi proses peradilan dan melanggar ketentuan perundang-undangan, dan sekaligus contoh buruk penegakan hukum di negeri ini. KPK dalam posisi sebagai lembaga negara ad hoc dan didanai oleh APBN telah tidak menunjukkan integritas, akuntabilitas dan profesionalitas sebagai pejabat negara/penegak hukum dengan cara “turut serta” melakukan perlawanan penegakan hukum terhadap kasus penganiayaan yang telah dilakukan oleh NB. Keenam, hasil penelitian Ombudsman—bukan penyelidikan dan penyidikan—tidak bersifat pro justisia sehingga isi laporan patut diragukan secara hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum apa pun dan bukan alasan untuk penghentian proses peradilan atas perkara NB. Ombudsman tidak transparan menjelaskan kepada publik secara terbuka, kecuali terhadap kelompok masyarakat yang pro-NB. Ketujuh, perlawanan sekelompok masyarakat atas nama koalisi LSM anti-korupsi dengan “dukungan” KPK III dan IV mencerminkan “kekuasaan absolut kelompok tersebut dan KPK dan telah mempertontonkan “imunitas” terhadap tuntutan pidana. Kedelapan, absolutisme pemikiran/pandangan/pendapat sekelompok orang dalam Koalisi LSM Anti Korupsi dan pimpinan KPK terhadap benar/tidaknya dugaan pelanggaran hukum oleh anggota kelompok mereka dan pimpinan/pegawai KPK telah mencederai dan menjungkirbalikkan tatanan sistem hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku dalam Negara Hukum RI. Cara itu tidak bisa diambil; sekalipun telah diperoleh bukti permulaan yang cukup berdasarkan UU yang berlaku. Kesembilan, cara dan strategi “mencegah dan menghindarkan” NB dari jeratan hukum oleh sekelompok masyarakat dan Pimpinan KPK III dan IV telah menciderai rasa keadilan dan intervensi terhadap prinsip kekuasaan kehakiman: Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan (termasuk proses penyidikan dan penuntutan) guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009) *** Kesepuluh, turut campurnya Presiden Joko Widodo memperumit jalannya penegakan hukum terhadap tersangka NB. Kesebelas, dengan turut campurnya Presiden dalam perkara NB maka perkara ini bukan lagi masalah penegakan hukum, melainkan masalah politik yang
  • 45. 45 mencerminkan ketidakadilan struktural yang sejak lama ditentang keras oleh tokoh-tokoh pendiri YLBHI dan LBH se-Indonesia. Ekses negatif yang muncul bukannya meredakan “kegaduhan” yang dirisaukan oleh Presiden Joko Widodo akan tetapi kinerja penegakan hukum oleh Polri menjadi stagnan dan tidak memiliki kewibawaan di hadapan rakyat jelata. Ekses yang sangat buruk di dalam pandangan masyarakat bawah adalah hukum identik dengan kekuasaan. Hukum nyata sebagai alat kekuasaan pemerintah dan pengadilan bukan lagi menjadi tempat mencari dan menemukan keadilan, melainkan “tempat keadilan” berada dalam genggaman tangan kekuasaan yang didukung oleh mereka yang mengatasnamakan masyarakat sipil. Peristiwa “campur tangan kekuasaan” dalam kasus NB, BW dan AS, menyebabkan penulis sendiri merasa diperlakukan sebagai “warga negara kelas dua” di republik ini jika menoleh ke belakang tuduhan terhadap penulis dalam kasus Sisminbakum. Membaca berita di majalah Tempo, Senin (15/2) di halaman 29-36 dengan judul berita:“Buyar Rencana karena Istana“;“Berhenti Perkara di tangan Jaksa“, dan “Kebut- kebutan Menggergaji Kuningan“; jelas sekali penulis dalam majalah tersebut telah menyatakan keberpihakan 100% terhadap oknum-oknum KPK yang tengah didera masalah hukum. Dengan sendirinya sang penulis menegasikan kinerja Bareskrim Polri dan penyidik polda setempat dan dikesankan rekayasa terencana Polri seperti apa yang telah dikatakan penasihat hukum Muji Kartika Rahayu; “tujuannya memang supaya mereka berhenti dari pimpinan KPK”. Semakin menyedihkan bagi kita termasuk saya, bahwa ada skenario penghentian penanganan perkara NB diwarnai barter status posisinya di KPK dan yang tidak kalah mengecewakan, di dalam berita majalah Tempo tersebut ditulis “dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Basaria Panjaitan, justru berusaha meyakinkan Novel bahwa, dari informasi yang mereka peroleh, perlawanan Novel di pengadilan akan sia-sia”. Dalam pandangan saya—jika benar informasi ini—kedua pimpinan KPK bukan penegak hukum sejati karena seharusnya mereka menganjurkan agar NB mematuhi hukum yang berlaku apalagi dengan tawaran “barter” asalkan NB tidak bertugas di KPK lagi. Sungguh cara-cara tidak etis dan memalukan bagi kalangan hukum jika informasi dalam majalah Tempo ini benar adanya. Preseden yang telah dibangun pada masa pemerintahan SBY dalam kasus Bibit-Chandra, bukan preseden yang baik, namun jelas keliru karena sejatinya putusan pengadilan yang menentukan seseorang bersalah dan tidak bersalah. Penghentian perkara NB. Jika terjadi pada dua oknum mantan pimpinan KPK merupakan bentuk kesewenangan kekuasaan dengan menegasikan kepentingan korban penganiayaan. Ratifikasi konvensi internasional tentang HAM-ICCPR (1996) dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005, dan Konvensi Anti Penyiksaan (1984) dan Declaration Principles of Protection
  • 46. 46 of Crimes and Abuse of Power 1985 dan Pengakuan RI atas Declaration Principles of Use of Firearms— semata-mata ditujukan untuk melindungi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh alat-alat negara, menjadi tidak bermakna, bahkan bertentangan secara diametral dengan UUD 1945-Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Unpad; Guru Besar Tetap Unpas