Cerita ini menceritakan perjalanan hidup seorang gadis bernama Nes yang mengalami berbagai masalah akibat pengaruh teman bernama Rajman. Rajman membujuk Nes untuk balas dendam atas kematian ayahnya dengan membunuh ibu tirinya, yang menyebabkan Nes terjebak dalam kehidupan berdosa dan menderita penyakit menular.
IDMPO : SERVER SLOT LUAR NEGERI DI JAMIN GACOR TERPERCAYA
Rajman-WPS Office.docx
1. Rajman
Rajman namanya. Aku mengenalnya dengan baik. Bahkan, aku sangat membencinya. Perbuatan Rajman
selalu mengacaukan, meluluhlantakkan keluarga serta kepercayaan. Rajman bisa berbuat apa saja sesuai
keinginan. Ia bisa menyesatkan dan melenakan dalam waktu yang bersamaan.
Aku benci Rajman, tetapi Rajman tak pernah menyerah. Ia mengungkapkan rasa cintanya kepadaku.
Membujukku agar menerima cintanya. Dengan segala janji manis yang ia lontarkan, aku luluh.
Seperti saat ini, dia memintaku balas dendam atas kematian Ayah. Aku tak serta merta menurutinya.
"Tidak, Rajman. Aku tak mau balas dendam. Dendam hanya akan membuat hidupku berantakan,"
ucapku lembut.
"Kau bodoh, Nes. Dendam akan membuatmu puas. Kalau kau diam saja, hatimu akan sengsara.
Pembunuh ayahmu akan bebas bersenang-senang di luaran sana." Rajman memakiku habis-habisan.
"Tapi, Rajman ...."
"Nes, aku mencintaimu. Aku terluka melihatmu begini. Balaslah dendammu. Aku akan membantumu,"
bisiknya mesra.
Aku mematung. Hati dan pikiran bertarung. Kepergian Ayah membuatku terpasung. Terpasung nestapa
yang kian menggunung.
"Nes, aku tak bisa melihatmu murung. Sementara dia, pembunuh itu bebas berkeliaran layaknya
burung." Rajman terus saja membujukku.
"Tapi, Rajman ... Dia sangat mencintai ayahku. Mana mungkin dia adalah pelakunya?"
2. "Nes, dia masih muda. Sementara ayahmu sudah berkepala lima. Dia hanya ibu tiri. Dia hanya ingin
menguasai harta ayahmu saja."
"Tidak! Dia rajin ibadah. Tidak mungkin mencelakai ayahku. Ini semua kecelakaan," bantahku kepada
Rajman.
"Kalau saja ayahmu tidak menjemputnya ke pengajian itu, ayahmu masih hidup. Dia tidak akan tewas
dalam kecelakaan itu. Ini semua salah ibu tirimu, Anes!" teriaknya tepat di telingaku.
Rajman menghilang. Ia meninggalkanku sendirian. Namun, kata-katanya terngiang dalam ingatan.
Perlahan, imanku goyah. Bahkan, rasa sayangku pada ibu tiri selama ini lebur sudah. Berganti kebencian
yang membara. Ya, Rajman benar. Andai Ayah tidak menjemput ibu tiri ke pengajian, Ayah masih hidup
sekarang. Masih membersamaiku, mengajakku bercanda. Tapi, bagaimana caranya aku membalas
dendam? Sedangkan ibu tiri merupakan sosok penyayang. Sanggupkah aku?
Aku kalut. Ayah adalah cinta pertamaku yang kini telah pergi. Ayah yang selalu ada. Kini, aku harus
kehilangannya.
"Hai, Nes," sapa Rajman.
"Pergi, Rajman! Aku tak ingin diganggu!" Aku berteriak sembari menggebrak meja. Rajman malah
tertawa. "Kau bersenang-senang di atas penderitaanku, Rajman? Katanya kau mencintaiku, tapi mana?"
"Kau tak akan hidup senang bila kau tak balas dendam, Nes. Cepatlah balaskan dendammu. Kau akan
tenang."
Rajman kembali menghilang. Ya, yang dikatakan Rajman benar. Aku harus balas dendam agar hidupku
tenang. Tapi, aku tak akan tega jika membunuh ibu dengan tanganku sendiri.
3. Ah, aku ada ide. Bukankah hartaku melimpah? Aku akan membayar orang untuk membunuh ibu. Ya,
nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Jika dulu aku adalah anak yang baik, kini aku menjelma menjadi anak tak tahu aturan. Ah ... bodoh amat.
Bukankah niatku adalah balas dendam atas kematian Ayah. Berati aku anak berbakti, dong.
Setelah bergabung dengan kumpulan preman selama satu bulan, kini aku sudah mengantongi satu
nomor telepon ketua mafia terbesar di kota ini. Ya, aku akan menyuruh mafia itu untuk menghabisi ibu
tiriku. Ah, setidaknya mencelakai ibu.
***
Aku tersenyum puas saat melihat gambar di layar ponsel. Ya, ketua mafia itu berhasil merampok ibu tiri
yang dalam perjalanan pulang dari makam Ayah. Kaca mobil pecah. Serpihannya mengenai wajah cantik
ibu tiri. Rupanya, ibu tiri melakukan perlawanan, sehingga ia mengalami luka-luka parah. Bajunya robek.
Dan yang pasti, ketua mafia itu juga melecehkan kehormatannya. Aku puas. Sekarang pasti hidup ibu
hancur. Bahkan, dalam foto itu, ibu sudah kelihatan tak bernyawa. Dia mati mengenaskan.
Aku bersorak, berpesta dengan kawan-kawan preman. Vodka, Wine, dan segala macam jenis minuman
keras menjadi andalan.
Rajman datang. Dia tersenyum bahagia. "Aku bangga padamu, Nes."
Rajman ikut berpesta. Dan aku hilang ingatan. Melayang entah ke mana. Rasanya terbang begitu saja.
****
Aku terbangun. Betapa terkejutnya kala aku tak lagi memakai sehelai benang. Dan, di sampingku
terdapat sosok pria yang juga dalam keadaan tak berpakaian.
4. "Ahhhhh!" Aku menjerit kala sadar apa yang telah kulakukan.
"Ada apa, Sayang?"
"Kau tega! Kau bajingan!"
"Bukankah kita sama-sama menikmatinya tadi malam, Nes. Kau begitu menawan."
Aku tak ingat apa-apa. Yang kuingat hanyalah pesta minuman. Ah ... sial! Ini pasti pengaruh alkohol.
Pria itu memelukku. Aku risih.
"Pergi!" teriakku.
Pria itu pergi setelah menghadiahi kecupan singkat. Ah, jijik rasanya.
Dalam keadaan begini, Rajman datang.
"Bagaimana, Nes? Kamu puas, kan?"
"Puas, sih. Tapi, lihat aku, Rajman. Aku sudah tak suci lagi," ucapku murung.
Rajman malah tertawa terbahak-bahak. "Anes, Anes .... Sejak kau berpikiran membunuh ibu tirimu, kau
sudah tak suci. Kau sudah berdosa. Jadi jangan sedih hanya karena kehilangan keperawananmu. Kau tak
menikmatinya karena terpengaruh alkohol, bukan? Coba saja kau terjun tanpa alkohol."
"Rajman! Aku tak berdosa karena berencana membunuh ibu tiriku. Aku hanya membalas dendam.
Bukan membunuh!" Aku berkilah.
5. "Sama saja, Nes. Toh, usiamu masih sangat muda. Nikmatilah hidup. Kalau tua nanti tobat."
"Aku benci kamu, Rajman! Benar kata orang, aku harus membencimu!"
"Coba saja kalau kau bisa. Perlu kau tahu, Anes. Semakin kau membenciku, semakin kuat cintaku
padamu."
Rajman kembali menghilang. Aku kembali terpasung kesunyian. Saat hendak beranjak untuk
membersihkan badan, ponsel berdering kencang. Ternyata telepon dari pihak rumah sakit yang
mengabarkan bahwa ibu tiriku tewas dalam perampokan, dan yang mengejutkanku ternyata ibu tiriku
sedang hamil tiga bulan. Oh My God! Apa yang telah kulakukan? Membunuh calon adikku sendiri? Ah ...
bodoh sekali. Padahal, aku sudah lama memimpikan seorang adik.
Setelah pemakaman selesai, tak ada kepuasan yang dijanjikan Rajman. Yang ada, aku malah merasa
sendirian. Merasa bersalah karena membunuh calon adikku sendiri.
"Ah, mungkin ini hanya rasa kehilangan sesaat saja. Toh, aku sudah balas dendam atas kematian Ayah.
Aku pasti bahagia." Aku beralibi. Menepis semua rasa bersalah yang menumpuk dalam sanubari.
Kembali pulang ke rumah. Tak ada Ayah, ataupun suara lembut ibu tiri. Ah ... ada apa denganku? Kenapa
aku jadi rindu? Salahkah aku? Tidak, aku tidak salah. Aku tidak membunuh mereka. Ketua mafia itu yang
membunuh mereka.
Hatiku gundah. Dan, setiap kali gundah, aku selalu mengajak teman-temanku pesta. Minum tanpa ada
batasnya, hingga bablas ke hubungan terlarang. Tiap kali minum, hubungan terlarang itu pasti terjadi.
Aku menikmati. Tapi saat sadar nanti, aku merasa sunyi. Rasa bersalah itu kembali. Dan lagi-lagi pesta
tiada henti untuk menghibur diri.
***
6. Hampir satu tahun, aku hidup dengan gaya seperti itu. Tubuhku benar-benar kurus. Hartaku menipis,
dan jalan satu-satunya adalah menjadi kupu-kupu malam. Makin hari penghasilanku makin besar. Aku
menikmatinya. Tapi, tiba-tiba staminaku makin berkurang. Dan ternyata, setelah periksa, aku positif HIV.
Oh My God! Aku menyebut diriku berpendidikan, bermoral, tapi kelakuanku di luar batas kewajaran.
Rajman! Aku butuh kamu sekarang, bukankah kau mencintaiku?
Rajman datang. Ia tersenyum puas melihat keadaanku yang sekarang.
"Bagaimana, Anes. Sudah kubilang bukan, semakin kau membenciku, semakin kuat cintaku padamu.
Sekarang malah kau memanggilku."
"Tolong aku, Rajman!"
"Kau sakit? Maka, jika kau sakit, bunuhlah dirimu sendiri. Niscaya sakit itu akan hilang."
Rajman menghilang. Dan yang dikatakan Rajman benar. Aku mulai melukai nadiku. Dan kemudian gelap.
***
"Anes," sapa seorang lembut.
Apakah dia malaikat maut? Tapi kenapa baik sekali? Bukankah dosaku banyak sekali?
"Ini Tante Nur, Anes. Maafkan Tante yang baru pulang dan bisa menjengukmu hari ini."
"Apakah aku sudah mati, Tante?"
7. "Tidak, Anes. Kau masih hidup. Jangan lakukan hal konyol lagi, ya ...."
"Tapi, Tante ... aku hina. Aku kotor. Aku sakit!"
"Tante tahu, Nes. Tante akan mendampingimu."
****
Rajman! Kenapa aku makin terpuruk saat mengenalmu? Kenapa? Rajman, datanglah!
Rajman datang. Dia tertawa.
"Anes, sudah kubilang, makin kau membenciku makin kuat cintaku padamu. Jika kau ingin terbebas
dariku, setidaknya netralkan emosimu. Jangan tetlalu membenciku. Kau tahu, getaran kebencianmu,
menarikku untuk menggodamu lebih dari itu."
Rajman menghilang. Dan kali ini aku paham kenapa Rajman hadir dalam hidupku. Aku terlalu membenci
Rajman. Bahkan, tiap kali ada orang bertingkah macam Rajman aku selalu membenci dan mengatainya
dalam hati. Kebencianku membuat Rajman ingin tahu lebih tentangku, kemudian menarikku. Ya, kali ini
aku harus melepas benci itu. Menetralkan emosi agar tak tertarik lagi. Bukankah magnet pun kalau beda
kutub malah tarik menarik? Begitu juga benci dan cinta.