Karya monumental islam dalam bidang IPTEKS (makalah)Echo Media
Assalamualaikum Selamat pagi
sudah lama ya nggak upload file...
Nah kali ini saya mau bagikan makalah tentang Karya monumental islam dalam bidang IPTEKS
nah makalah ini selain disusun oleh tim kelompok 1 juga mengutip dari beberapa sumber
Nah temen temen selamat membaca ya...
Semoga bermanfaat
Karya monumental islam dalam bidang IPTEKS (makalah)Echo Media
Assalamualaikum Selamat pagi
sudah lama ya nggak upload file...
Nah kali ini saya mau bagikan makalah tentang Karya monumental islam dalam bidang IPTEKS
nah makalah ini selain disusun oleh tim kelompok 1 juga mengutip dari beberapa sumber
Nah temen temen selamat membaca ya...
Semoga bermanfaat
BAB 10PEMBARUAN ISLAM
CREATED BY : MAR’ATUS SA’ADAH FITRIANI ( 21 )
01
MUNCULNYA PEMBARUAN ISLAM (1800 DAN SETERUSNYA)
Harun Nasution (1985) membagi periodisasi sejarah kebudayaan islam menjadi tiga garis besar. Tiga periode besar tersebut adalah :
Menggambarkan kondisi kejayaan dunia islam.
02.
02.
Periode abad klasik ( 650 – 1250 M )
01.
Menggambarkan kondisi kemunduran dunia islam.
Periode abad pertengahan ( 1250 – 1800 M )
Menggambarkan kondisi kebangkitan dunia islam.
Periode abad modern ( 1800 – sekarang )
Menurut Muhaimin ( 2011 ), Islam mencapai kemajuan di abad klasik, disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
Umat islam melaksanakan ajaran al-Qur'an yang memperintahkan supaya manusia banyak menggunakan akal.
Umat islam melaksanakan ajaran Rasulullah saw. Yang mendorong agar kaum Muslimin tidak hanya menuntut “ilmu agama”, tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang bermanfaat bagi kehidupan.
Umat Islam mengembangkan “ilmu agama” dengan berijtihad dan mengembangkan sains. Pada masa itu bukan hanya muncul ahli ilmu hadis,fiqih, dan tafsir. Akan tetapi juga ahli kedokteran, matematika, optik, kimia, fisika, astronomi, dan sebagainya.
Ulama yang berdiri sendiri. Para ulama pada periode ini menolak tawaran penguasa untuk menjadi pegawainya.
Pada periode abad pertengahan abad ke-16 sampai 18, laju keilmuan dari para ulama semakin melemah ditandai ciri-ciri berikut:
Pada periode abad pertengahan abad ke-16 sampai 18, laju keilmuan dari para ulama semakin melemah ditandai ciri-ciri berikut:
Pada abad modern (abad ke-19) muncul kesadaran umat Islam. Kesadaran tersebut muncul ketika orang Eropa berhasil menguasai dunia Islam. Contoh berhasilnya orang-orang Eropa yang menguasai dunia Islam di antaranya adalah:
TOKOH –TOKOH PEMBARU
02
Tokoh- Tokoh Pembaru Islam Pada Masa Modern
Pembaru dari India
Syah Waliyullah (1703-1762 M)
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M)
Muhammad Iqbal (1876-1938 M)
Pembaru dari Turki
Sultan Mahmud II (1785-1839 M)
Namik Kemal (1840-1888)
Pembaru dari Mesir
Muhammad Ali Pasya (1765-1849 M)
Rifa’ah Baidawi Rafi’ Al-Tahtawi (1801-1873 M)
Jamaludin Al-Afghani (1839-1897 M)
Muhammad Abduh (1849-1905 M)
Muhammad Rasyid Rida (1865-1935 M)
Pembaru dari India
Lahir di Delhi pada 21 Februari 1703. Ia memperoleh pendidikan dari orang tuanya yang dikenal “sufi” dan pengelola madrasah, yaitu Syah Abd. Rahim. Setelah dewasa, ia turut menjadi guru di madrasah itu.
Syah Waliyullah gemar menulis. Beliau banyak meninggalkan karya-karya tulis, di antaranya berjudul Hujjatullah Al-Balighah dan Fuyun Al-Haramain.
Beliau berpendapat bahwa penyebab kemunduran dunia Islam di antaranya adalah sebagai berikut:
Perubahan sistem pemerintahan dari kekhalifahan menjadi kerajaan.
Sistem demokrasi diganti dengan sistem monarki absolut.
Perpecahan di kalangan umat Islam akibat adanya perbedaan aliran. Tiap- tiap aliran mengaku dirinya yang paling benar.
Mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran lainnya, sehingga ajaran Islam murni
Perkembangan Ilmu dan 3 Tokoh Pelopor Pembaharuan Pada Periode ModernNindia Ayu P
Banyak hal yang didapat dari pembaharuan selama periode modern dalam beberapa bidang yang mencakup perkembangan akidah, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sastra dan juga kebudayaan. Begitupun dengan gagasan-gagasan para tokoh pembaharuan yang sangat berpengaruh pada saat itu menyebabkan lahirnya pemikiran-pemikiran baru. Perkembangan dan pembaharuan pemikiran agama yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab serta perkembangan sastra yang dipelopori oleh salah satunya adalah Muhammad Iqbal juga pelopor perkembangan ilmu pengetahuan yang tak kalah melahirkan pemikiran baru yaitu Muhammad Abduh. Ketiga nya membuat periode modern ini berkembang pesat dan mampu dinamis dengan keadaan dan zaman.
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdfIrfan Pathurahman
Pendidikan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan tuntutan akan pentingnya pendidikan semakin besar mengingat arus perkembangan dunia yang semakin cepat. Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif. Pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk membangun manusia seutuhnya. Sedangkan filsafat pendidikan islam adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan pada ajaran islam tentang kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh agama islam. Terdapat 2 jenis pendidikan islam yaitu yang klasik dan modern. Hal ini bisa terjadi karena adanya perkembangan dari pendidikan islam itu sendiri. Baik dari pendidikan islam klasik maupun modern memiliki banyak filsuf dengan pemikirannya masing-masing. Perbedaan yang mendasar adalah jika kaum klasik cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan kepribadian atau mengaktualisasikan potensi dan fakultas manusia, maka kaum kontemporer cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan umat Islam yang bisa eksis dalam masalah ummat maupun masalah kemanusiaan.
BAB 10PEMBARUAN ISLAM
CREATED BY : MAR’ATUS SA’ADAH FITRIANI ( 21 )
01
MUNCULNYA PEMBARUAN ISLAM (1800 DAN SETERUSNYA)
Harun Nasution (1985) membagi periodisasi sejarah kebudayaan islam menjadi tiga garis besar. Tiga periode besar tersebut adalah :
Menggambarkan kondisi kejayaan dunia islam.
02.
02.
Periode abad klasik ( 650 – 1250 M )
01.
Menggambarkan kondisi kemunduran dunia islam.
Periode abad pertengahan ( 1250 – 1800 M )
Menggambarkan kondisi kebangkitan dunia islam.
Periode abad modern ( 1800 – sekarang )
Menurut Muhaimin ( 2011 ), Islam mencapai kemajuan di abad klasik, disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
Umat islam melaksanakan ajaran al-Qur'an yang memperintahkan supaya manusia banyak menggunakan akal.
Umat islam melaksanakan ajaran Rasulullah saw. Yang mendorong agar kaum Muslimin tidak hanya menuntut “ilmu agama”, tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang bermanfaat bagi kehidupan.
Umat Islam mengembangkan “ilmu agama” dengan berijtihad dan mengembangkan sains. Pada masa itu bukan hanya muncul ahli ilmu hadis,fiqih, dan tafsir. Akan tetapi juga ahli kedokteran, matematika, optik, kimia, fisika, astronomi, dan sebagainya.
Ulama yang berdiri sendiri. Para ulama pada periode ini menolak tawaran penguasa untuk menjadi pegawainya.
Pada periode abad pertengahan abad ke-16 sampai 18, laju keilmuan dari para ulama semakin melemah ditandai ciri-ciri berikut:
Pada periode abad pertengahan abad ke-16 sampai 18, laju keilmuan dari para ulama semakin melemah ditandai ciri-ciri berikut:
Pada abad modern (abad ke-19) muncul kesadaran umat Islam. Kesadaran tersebut muncul ketika orang Eropa berhasil menguasai dunia Islam. Contoh berhasilnya orang-orang Eropa yang menguasai dunia Islam di antaranya adalah:
TOKOH –TOKOH PEMBARU
02
Tokoh- Tokoh Pembaru Islam Pada Masa Modern
Pembaru dari India
Syah Waliyullah (1703-1762 M)
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M)
Muhammad Iqbal (1876-1938 M)
Pembaru dari Turki
Sultan Mahmud II (1785-1839 M)
Namik Kemal (1840-1888)
Pembaru dari Mesir
Muhammad Ali Pasya (1765-1849 M)
Rifa’ah Baidawi Rafi’ Al-Tahtawi (1801-1873 M)
Jamaludin Al-Afghani (1839-1897 M)
Muhammad Abduh (1849-1905 M)
Muhammad Rasyid Rida (1865-1935 M)
Pembaru dari India
Lahir di Delhi pada 21 Februari 1703. Ia memperoleh pendidikan dari orang tuanya yang dikenal “sufi” dan pengelola madrasah, yaitu Syah Abd. Rahim. Setelah dewasa, ia turut menjadi guru di madrasah itu.
Syah Waliyullah gemar menulis. Beliau banyak meninggalkan karya-karya tulis, di antaranya berjudul Hujjatullah Al-Balighah dan Fuyun Al-Haramain.
Beliau berpendapat bahwa penyebab kemunduran dunia Islam di antaranya adalah sebagai berikut:
Perubahan sistem pemerintahan dari kekhalifahan menjadi kerajaan.
Sistem demokrasi diganti dengan sistem monarki absolut.
Perpecahan di kalangan umat Islam akibat adanya perbedaan aliran. Tiap- tiap aliran mengaku dirinya yang paling benar.
Mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran lainnya, sehingga ajaran Islam murni
Perkembangan Ilmu dan 3 Tokoh Pelopor Pembaharuan Pada Periode ModernNindia Ayu P
Banyak hal yang didapat dari pembaharuan selama periode modern dalam beberapa bidang yang mencakup perkembangan akidah, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sastra dan juga kebudayaan. Begitupun dengan gagasan-gagasan para tokoh pembaharuan yang sangat berpengaruh pada saat itu menyebabkan lahirnya pemikiran-pemikiran baru. Perkembangan dan pembaharuan pemikiran agama yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab serta perkembangan sastra yang dipelopori oleh salah satunya adalah Muhammad Iqbal juga pelopor perkembangan ilmu pengetahuan yang tak kalah melahirkan pemikiran baru yaitu Muhammad Abduh. Ketiga nya membuat periode modern ini berkembang pesat dan mampu dinamis dengan keadaan dan zaman.
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdfIrfan Pathurahman
Pendidikan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan tuntutan akan pentingnya pendidikan semakin besar mengingat arus perkembangan dunia yang semakin cepat. Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif. Pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk membangun manusia seutuhnya. Sedangkan filsafat pendidikan islam adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan pada ajaran islam tentang kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh agama islam. Terdapat 2 jenis pendidikan islam yaitu yang klasik dan modern. Hal ini bisa terjadi karena adanya perkembangan dari pendidikan islam itu sendiri. Baik dari pendidikan islam klasik maupun modern memiliki banyak filsuf dengan pemikirannya masing-masing. Perbedaan yang mendasar adalah jika kaum klasik cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan kepribadian atau mengaktualisasikan potensi dan fakultas manusia, maka kaum kontemporer cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan umat Islam yang bisa eksis dalam masalah ummat maupun masalah kemanusiaan.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik Dosen
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SYED MUHAMMAD NAQUIB AL.docx
1. PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SYED MUHAMMAD
NAQUIB AL-ATTAS
Makalah
Disusun oleh:
Muhammad Aldianto 2103805091049
Zumrotul auliyanti wulandari 1903805091051
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam catatan sejarah, perkembangan pemikiran kependidikan Islam diawali saat Dinasti
Abbasiyah mengalami renaisans (750 M). Periode ini merupakan zaman “keemasan Islam”,
terutama pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (766-809 M) dan Khalifah al-Makmun ar-Rasyid
(786-833 M). Saat itu para khalifah merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama sekaligus. Masyarakatnya mencapai kemakmuran tertinggi.
Peradaban Islam berada pada titik kulminasi sehingga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam, termasuk juga pemikiran
kependidikan Islam. Hal ini dikarenakan pada masa itu terdapat gerakan penerjemahan berbagai
karya ilmu pengetahuan secara besar-besaran dalam bidang astronomi, manthiq, kedokteran, dan
terutama filsafat. Di sisi lain, perkembangan ilmu agama, terutama ilmu tafsir juga berkembang
sangat pesat. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa ini lahir para pemuka ulama (imam)
seperti Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713- 795 M), Imam Syafi‟i (767-820 M),
dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M), yang dikenal sebagai empat imam madzhab fiqh.
Dan di era ini pula lahir para cendekiawan muslim yang saat itu berlomba-lomba menulis buku
tentang pendidikan dan pengajaran secara meluas dan mendalam.
Hal ini mengindikasikan adanya perhatian khusus dalam bidang pendidikan. Sebut saja
tokohnya misalnya, Ibnu Sina (980-1037 M), al-Ghazali (1058-1111 M), Ibnu Rusyd (1126-1198
M), al-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Taimiyah (1263-1328 M). Sedangkan titik baliknya terjadi
pada masa-masa ketika sebagian besar pemikiran-pemikiran ilmuwan Islam mengalami stagnasi
sampai abad ke-14 yang ditandai dengan munculnya Ibnu Khaldun (1332- 1406 M). Saat itu
dunia Islam jatuh ke tangan kolonial Eropa yang mengakibatkan ilmu Islam terbatas pada ilmu
agama.
Baru pada abad ke-19 atau abad kebangkitan Islam, mulai ada respons terhadap ilmu-ilmu
pengetahuan modern, termasuk filsafat dan pemikiran kependidikan Islam. Hal ini ditandai
dengan munculnya tokoh-tokoh kontemporer dalam dunia pemikiran kependidikan Islam. Sebut
saja misalnya, Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Iqbal (1877-1938 M), Hasan al-
Banna (1906-1949 M), KH. Ahmad Dahlan (1868-1923 M), KH. Hasyim Asy‟ari (1871-1947
M), dan HAMKA (1908-1981 M) sampai dengan yang paling mutakhir, yaitu Syed Muhammad
Naquib al-Attas (l. 1931 M) dan Seyyed Hossein Nasr (l. 1933 M). Perhatian besar para tokoh
pemikiran kependidikan Islam pada era ini adalah kepeduliannya yang sangat kuat terhadap
kemunduran umat Islam.
Sehingga bisa dikatakan bahwa tema umum pemikiran kependidikan Islam pada era ini
adalah bagaimana pendidikan Islam itu dapat menjadikan umat Islam kembali meraih
kejayaannya dengan mendidik individu menjadi baik secara universal (konsep Insan Kamil),
sekaligus berintelektual tinggi, dan berpikiran kritis. Tujuannya, secara umum agar individu
tersebut bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan secara khusus agar umat Islam akan
bangkit dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju
3. kebudayaannya. Topik studi ini, secara substansif difokuskan pada konsep pendidikan Islam
yang telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan relevansinya bagi
pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Tokoh Syed Muhammad Naquib alAttas ini
dipilih bukan saja karena ia sebagai salah seorang di antara intelektual muslim dunia
kontemporer saat ini, akan tetapi juga karena ia telah memberikan tawaran baru dalam
membenahi ketertinggalan pendidikan Islam. Ia memberikan analisis bahwa yang menjadi
penyebab kemunduran ini adalah bersumber dari kelalaian kaum muslimin dalam merumuskan
dan mengembangkan rencana pendidikan yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip Islam
secara terkoordinasikan dan terpadu.
Karena itu sangat wajar bila gagasan-gagasannya telah menjadi perbincangan hangat oleh
berbagai pihak, terutama di kalangan akademisi pendidikan Islam. Tujuan dari studi kepustakaan
ini adalah untuk:
(1) mengetahui latar belakang pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas;
(2) mengetahui konsep pendidikan Islam dalam perspektif Syed Muhammad Naquib al-
Attas; dan
(3) mengetahui relevansi konsep pendidikan Islam dalam perspektif Syed Muhammad
Naquib alAttas bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi dan syehk muhammad naquib al-attas ?
2. Bagaimana Pendidikan syehk muhammad naquib al-attas ?
3. Bagaimana Pemikiran pendidikan muhammad naquib al-attas ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Biografi dan syehk muhammad naquib al-attas
2. Untuk mengetahui Pendidikan syehk muhammad naquib al-attas
3. Guna mengetahui Pemikiran pendidikan muhammad naquib al-attas ?
4. BAB II
KAJIAN TEORI
A. BIOGRAFI DAN PENDIDIKAN SYEHK MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Syehk Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september 1931 M. Nama
lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas silsilah
keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’lawi sampai kepada Imam Husein cucu
Nabi Muhammad SAW.
Beliau Adik kandung dari Syehk Hussein al-Atas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi
pada Universitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syehk Ali bin Abdullah
Al-Atas dan ibunya bernama Syarifah Raguan al-Idrus. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas
yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37
dari Nabi Muhammad SAW dan dari keturunan kaum ningrat berdarah biru.
Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi
ulama’ besar, yaitu Syehk Muhammad ‘Alaydrus (dari silsilah Ibu), guru dan pembimbing ruhani
syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan Nur al-Din al-Raniri, seorang
Ulama terkemuka di dunia melayu ke tarekat Rifa’iyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-
Attas, yaitu Syarifah Raguan A, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-
keturunan dari raja-raja Sunda Sukaparna.
Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang bernama
Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah Hanum, adalah wanita Turki
berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar Johor (
W. 1895) yang menikah dengan adik Ruqoyah Hanum, Khodijah. yang kemudian menjadi ratu
Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah
untuk kedua kalinya dengan Syehk Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syehk Ali al-
Attas, yaitu bapak dari Syehk Muhammad Naquib al-Attas.
Syehk Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas
Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang Insinyur kimia dan mantan Dosen
Institut Teknologi MARA.
Sepupu Neneknya dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz anak dari Ungku Abdul
Madjid berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar, ayah dari
Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia dan tokoh pendiri
sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National Organisation), yaitu sebuah Partai
Politik yang menjadi tumpuan kerajaan Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan
Inggris.
5. Melihat latar belakang keluarga al-Attas, Syehk Muhammad Naquib al-Attas adalah
sosok yang dapat dikategorikan tergolong berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa
secara sosio kultural, akan tetapi dari golongan Ningrat. Di dalam dirinya mengalir tidak hanya
darah biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam hirarki
spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam ajaran
tasawuf.
Sejarah pendidikannya dimulai sejak Ia masih berumur 5 tahun di Johor Baru sampai
akhirnya Ia menjadi seorang ilmuwan yang berbagai karya-karyanya yang terkenal dalam
berbagai bidang keilmuan, yang jumlahnya mencapai sekitar 22 buku dengan 30 makalah. Yang
secara global dapat diklasifikasikan kepada 2 klasifikasi, yaitu karya-karya kesarjanaan
(scholarly writing), dan karya-karya pemikiran lainnya. Ia juga aktif dalam berbagai organisasi
dan menjadi dosen tetap di Univesitas Malaya serta berbagai jabatan sudah dialaminya. Salah
satunya pada tahun 1968-1970, Ia menjabat sebagai ketua Departemen Kesusasteraan dalam
pengkajian Melayu dan pada tahun 1970-1973, Ia menjabat dekan fakultas sastra dan lain
sebagainya.
Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas
bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai
Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
Pendidikannya dijalani dari Sekolah Dasar Johor Malaysia, setelah itu pada masa pendudukan
Jepang ia kembali ke Jawa dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Al Urwat al Wustha,
Sukabumi.
Kegiatan intelektual Al-Attas di mulai di universitas Malaya pada pertengahan 1960-an
dan telah dapat membangkitkan kesadaran baru akan pentingnya peranan Islam dalam sejarah,
nasionalisme dan kebudayaan Melayu. Ia telah berhasil menumbuhkan kesadaran baru tentang
peranan Islam kepada mahasiswa dan masyarakat umum. Disamping itu ia mengkritisi berbagai
disiplin ilmu filsafat, kebudayaan dan politik yang telah terbaratkan.
Ide-ide itu terlukiskan dalam karya-karyanya yang antara lain The origin of the Malaya
Syair (1968), Prelimenary Statement on the Islamization of the malay-Indonesian Archepelago
(1969) dalam hal ini Al-Attas bukan berarti antipati terhadap pemikiran Barat. Dalam
pengembangan disiplin-disiplin keilmuan tidak hanya didasarkan kepada ajaran- ajaran Islam,
tetapi harus di analisis dengan filsafat Yunani dan Yahudi-Kristen serta tradisi-tradisi klasik abad
pertengahan. Syehk Naquib al-Attas memberikan pengertian Islamisasi pengetahuan sebagai
pembebasan manusia dari magic, mitos, animism dan tradisi kebudayaan kebangsaan dan
selanjutnya dominannya sekulerisme atas pikiran dan bahasanya.
Al-Attas memandang bahwa umat Islam menghadapi tantangan terbesar saat ini yaitu
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan keluar
dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
peradaban barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran kepada manusia, namun ilmu
pengetahuan itu juga telah menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi.
6. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan di atas pandangan hidup, budaya dan peradaban Barat,
menurut Al-Attas dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu :
1. Mengendalikan akal
2. Bersikap dualistic
3. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan kehidupan sekuler
4. Membela doktrin humanisme, dan menjadikan drama dan sebagai unsur-unsur yang
dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia.
Dengan kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan di atas, Al-Attas meyakini pentingnya
digagas suatu gerakan Islamisasi pengetahuan, karena ilmu pengetahuan modern tidak netral dan
masuk budaya dan filosofis yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman
manusia Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan modern bukan memberikan label Islam pada ilmu
pengetahuan dan menolak semua yang berasal dari Barat, karena terdapat beberapa persamaan
antara Islam dengan filsafat Barat.
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas dapat dilakukan dengan melalui dua proses yang
berkaitan yaitu :
1. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk peradaban Barat yang
dimiliki oleh pengetahuan modern saat ini terutama ilmu pengetahuan Humaniora. Dengan
demikian ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus ditundukkan dengan ajaran-ajaran
Islam, khususnya dalam fakta-fakta dan formulasi teori-teori lainnya. Fakta dianggap tidak
benar jika itu bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Unsur-unsur dan konsep-
konsep Asing yang merusak ajaran Islam tersebut adalah: konsep dualisme yang meliputi
hakikat dan kebenaran, doktrin humanisme, ideologi sekuler, konsep tragedi khususnya
dalam kesusastraan. Keempat unsur asing tersebut telah menjangkiti ilmu khususnya
dalam bidang sains kemanusiaan dan kemasyarakatan, sains fisik, terapan yang melibatkan
perumusan fakta dan teori. Konsep-konsep inilah yang membentuk pemikiran dan
peradaban Barat dan telah menular dikalangan umat Islam.
2. Memasukan unsur-unsur, konsep-konsep Islam dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan
modern yang relevan.
Konsep-konsep Islam yang harus menggantikan konsep-konsep Barat tersebut adalah: manusia,
din, ‘ilm dan ma’rifah, hikmah, al-‘adl, amal-adab dan konsep kulliyat-jam’iyah (universitas).
Jika kedua proses Islamisasi tersebut dilakukan, maka manusia akan terbebas dari magic,
mitologi, animisme, dan tradisi budaya yang bertentangan dengan Islam. Islamisasi ilmu
pengetahuan akan membebaskan manusia dari keraguan (syakk), dugaan (dzann) dan
argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual dan materi.
Dan akhirnya Islamisasi akan membebaskan ilmu pengetahuan modern dan ideologi, makna dan
pernyataan-pernyataan sekuler.
Al-Attas menolak bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sekedar memberikan labelisasi
ilmu dengan prinsip-prinsip Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan agar umat Islam
7. terlindungi dari pengaruh ilmu pengetahuan yang telah terjangkit unsur-unsur dan konsep Barat
yang akan menimbulkan kesesatan dan kekeliruan, serta bertujuan mengembangkan ilmu yang
hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan kepribadian umat Islam dan dapat
menambahkan keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan
akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, keselamatan dan keimanan kepada Allah SWT.
Al-Attas menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling
otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat
dicapai oleh sains__yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan
pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan
kesadaran epistemologis ini, program Islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar
pemecahan “masalah ilmu.”
Memang dilema yang dihadapi oleh umat muslim pada saat sekarang ini adalah
kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu sehingga menyebabkan kehilangan adab di tengah-tengah
umat. Dari sini juga timbul permasalahan yang sangat pelik di tengah umat Islam yaitu
kemunculan pemimpin-pemimpin yang tak layak untuk memimpin umat Islam. Pemimpin yang
tidak memiliki moral, intelektual dan spiritual yang tinggi untuk bisa memperbaiki dan
memimpin umat Islam.
Al-Attas berpendapat bahwa Islamisasi harus menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga
proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik keilmuan Islam. Proses
pembelajarannya mengamini dan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para intelektual
Muslim pada masa lalu. Dominasi intelektual Muslim pada periode keemasan Islam
merefleksikan keunggulan sistem pendidikan atau pembelajaran ilmu pengetahuan.
B. PEMIKIRAN PENDIDIKAN MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
1. Konsep Pendidikan Islam
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" yang
pengistilahan itu diambil dari lafad bahasa Arab (al-Qur'an) maupun al-sunnah. Misalnya
dijumpai kata tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun dalam
pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib al-Attas.
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan Naquib al-Attas lebih cenderung
menggunakan istilah (lafad) ta‟dib, daripada istilah-istilah lainnya.
Pemilihan istilah ta‟dib, merupakan hasil analisa tersendiri bagi al-Attas dengan
menganalisis dari sisi semantik dan kandungan yang disesuaikan dengan pesanpesan moralnya.
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta‟lim telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta‟dib
sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam.
Dalam penjelasan Mahmud Yunus dalam kamusnya, kata ta‟dib sebagaimana yang menjadi pilihan
al-Attas, merupakan kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik. Dalam pandangan Naquib
8. al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses
internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam
kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab.
Seperti yang diungkapkan Naquib al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan
betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan
„sesuatu‟.9 Naquib al-Attas melihat bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa
Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya. Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti
menghidupkan Sunnah Rasul. Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar
utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini
maupun di akhirat kemudian.
Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu
pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut
Naquib al-Attas, antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan
memilih term ini, bagi Naquib al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan
memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal
harus berjalan seiring dan seirama.
Naquib al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar
pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada
hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi Naquib al-Attas konsep itu masih bersifat generik, yang berarti
semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah
mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material. Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa
perbedaan antara ta‟dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih
menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta‟dib, selain dimensi rahmah juga bertitik
tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta‟dib,
pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang
baik.
Karena itu, di luar istilah ta‟dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai. Sebuah pemaknaan dari konsep
ta‟dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik, disadarkan sesuai
dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang
diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu,
sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang
mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Naquib Al-Attas beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam
“diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah
menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spiritualnya. Di samping, tujuan
pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan
pembentukan masyarakat yang idel tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya, ”...karena masyarakat
9. terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya
menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.”
Secara ideal, Naquib al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik
secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni,
sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu,
sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah shallallahu
‟alaihi wa sallam, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan
Nabi shallallahu ‟alaihi wa sallam.
Dengan harapan yang tinggi, Naquib al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak
manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan
bercermin kepada ketauladanan Nabi shallallahu ‟alaihi wa sallam. Pandangan al-Attas tentang
masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu
upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian
masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu.
3. Sistem Pendidikan Islam
Sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan Islam di atas, bahwa Naquib al-Attas
mendeskripsikan tujuan tersebut adalah mewujudkan manusia sempurna secara universal. Dengan begitu,
berarti sistem pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait satu sama lain
dalam sistem pendidikan. Naquib al-Attas berpandangan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani
dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan
ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia) Al-Attas
membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya
ilmu pengetahuan menurut dia, adalah berian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra
ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah
Menurut Naquib al-Attas, bahwa akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang
jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan
manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa
ilmuilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia. Bagi Al-Attas,
sistem pendidikan dibagi dalam tiga tahapan, yaitu rendah, menengah dan tinggi. Dan ilmu dikategorikan
menjadi dua, yaitu Ilmu fardlu „ain dan Ilmu fardlu kifayah. Ilmu fardlu „ain diajarkan tidak hanya pada
tingkat primer (rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder (menengah) pra-universitas dan juga
tingkat universitas.16 Pengetahuan inti pada tingkat universitas, di dasarkan pada beberapa konsep unsur
esensial yaitu Manusia (insan), sifat agama (din) dan keterlibatan manusia di dalamnya, pengetahuan
(„ilmu dan ma‟rifah), kearifan (hikmah) dan keadilan („adl) mengenai manusia dan agamanya, sifat
perbuatan yang benar („amal-adab). Dan Konsep Universitas (kuliiyah-jami‟ah).
4. Kurikulum Pendidikan Islam
Bangunan kurikulum pendidikan Islam, menurut al-Attas, berangkat dari pandangan bahwa karena
manusia itu bersifat dualistik, kandungan kurikulum pendidikan harus memenuhi dua aspek dasar
10. manusia tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual atau fardhu
„ain; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material-emosional atau fardhu kifayah.
Pemahaman dan pelaksanaan yang tepat terhadap kategori ilmu pengetahuan fardhu 'ain (kewajiban
bagi diri) dan fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat) ini akan memastikan realisasi kesejahteraan
individu dan sosial. Walaupun kategori pengetahuan yang kedua (fardhu kifayah) berkaitan langsung
dengan masyarakat, peranan pengetahuan pertama (fardhu 'ain) akan mempunyai pengaruh signifikan
secara tidak langsung. Dimensi pertama di atas dijadikan nilai-nilai dasar (core values) bagi
pengembangan dimensi selanjutnya, yang meliputi aspek keilmuan, aspek life skill dan aspek-aspek
lainnya.
Jika aspek keilmuan dikembangkan dengan berlandaskan pada aspek keilmuan pertama, maka ilmu
pengetahuan di sini menjadi media memahami dan menghayati Tuhan dalam bentuk kelakuan empirik
ketundukan kepada segala peraturan Allah. Nilai-nilai dasar (core values) akan memberikan makna
terhadap suatu proses sebagai pengabdian kepada Tuhan.
Sebab dalam Islam sendiri tidak mengena dikotomi ilmu pengetahuan, karena itu, semua disiplin
ilmu bisa didekati dengan nuansa “ilahiyah” dalam mengantarkan manusia dan peradabannya menuju
kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam merumuskan konsep kurikulum, norma agama perlu dijadikan
dasar dalam menafsirkan semua pengetahuan modern dari sudut pandang Islam. Kandungan terperinci
dari dua kategori ilmu pengetahuan yang telah disebutkan, yaitu ilmu fardhu 'ain (kewajiban bagi diri)
dan ilmu fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat) adalah sebagai berikut:
1. Fardu Ain (Ilmu-ilmu agama)
a. Kitab Suci Al-Qur‟an: pembacaan dan interpretasinya (tafsir dan ta‟wil).
b. Sunnah: kehidupan Nabi; sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis dan perawinya.
c. Syari‟at: fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam, Iman, Ihsan).
d. Teologi (ilmu Kalam); Tuhan, Zat-Nya, Sifat-Sifat, Nama-Nama, dan perbuatan-Nya (al-tauhid).
e. Metafisika Islam (at-Tasawwuf-irfan); psikologi, kosmologi dan ontologi; elemen-elemen dalam
filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan-
tingkatan wujud).
f. Ilmu-ilmu bahasa (linguistik); bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan sastra.
2. Fardu Kifayah
Pengetahuan fardu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap muslim untuk mempelajarinya, tetapi
seluruh masyarakat muslim harus bertanggung jawab kalau tidak ada seorang pun yang mempelajarinya.
Bagaimanapun juga ilmu ini penting untuk memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan kepada
umat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu pengetahuan ataupun Teknologi yang
diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Dalam hal ini Al-Attas membagi pengetahuan fardu kifayah
menjadi delapan disiplin ilmu, yaitu:
1. Ilmu-ilmu Kemanusiaan.
2. Ilmu-ilmu Alam.
3. Ilmu-ilmu Terapan.
11. 4. Ilmu-ilmu Teknologi.
5. Perbandingan Agama.
6. Kebudayaan dan peradaban Barat.
7. Ilmu-ilmu Linguistik: bahasa-bahasa Islam, dan
8. Sejarah Islam.
Walaupun begitu Al Attas tidak membatasi pengetahuan fardu kifayah hanya delapan disiplin
ilmu saja, tetapi tidak terbatas. Karena pada prinsipnya pengetahuan (ilm) itu sendiri adalah sifat Tuhan.
Menurut Al Attas, Struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum Pendidikan Islam itu harus mampu
menggambarkan manusia dan hakekatnya. Adanya pembedaan keilmuan ini bukan untuk
mendikotomikan Ilmu Pengetahuan tetapi itu menjadi satu kesatuan yang dinamis untuk membebaskan
manusia dan menumbuhkan potensi manusia. Kebebasan dalam akademik menurut Al Attas bukanlah
kebebasan tanpa batas tapi kebebasan akademik dimaknai sebagai dasar pencapaian dan penyebarluasan
adab setinggi-tingginya sesuai kemampuan.
12. BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Muhammad Naquib al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada 5 September 1931.
Ibunya yang asli Bogor masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan ayahnya masih tergolong
bangsawan di Johor, Malaysia. Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor, Indonesia. Ia
menempuh pendidikan dasar pada usia 5 tahun di Johor, Malaysia, namun saat pendudukan
Jepang ia pergi belajar ke Jawa untuk belajar Bahasa Arab di Madrasah Al-`Urwatu’l-wuthqa di
Sukabumi.
Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan
pendidikan menengahnya. Ia tertarik dan mempelajari sastra Melayu, sejarah, dan kebudayaan
Barat. Saat kuliah di Universitas Malaya, al-Attas menulis Rangkaian Ruba`iyat, sebuah karya
literatur, dan Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Dari sini
ia melanjutkan studi ke the Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada.
Tahun 1962 Al-Attas menyelesaikan studi pasca sarjana di sini dengan thesis Raniri and the
Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental
and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari
Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia
mistik Hamzah Fansuri.
In 1987, Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-
Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai
Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
B. Daftar pustaka
Aziz, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarya: Teras.
Baharuddin, dkk, 2011. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Iswati. 2017. Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Islam. At-Tajdid, Volume. 1, No. 1 Januari-Juni.