Dokumen ini membahas bagaimana limbah fermentasi biji kakao dapat diolah menjadi nata de cacao, sehingga dapat menghasilkan tiga manfaat yaitu lingkungan perkebunan bebas bau, nata de cacao sebagai penghasilan tambahan, dan lingkungan dapat dijual sebagai objek wisata. Proses pembuatan nata de cacao mengikuti proses pembuatan nata de coco dengan menambahkan bakteri Acetobacter xylinum ke dalam cair
Manajemen Pemeliharaan Tanaman Kakao Melalui Pemangkasan Pemupukan Panen Seri...
Menyelamatkan lingkungan dengan nata decacao
1. MENYELAMATKAN LINGKUNGAN DENGAN NATA DECACAO
Perkebunan kakao bisa menambah pendapatan dengan menyelenggarakan agrowisata, seperti
perkebunan teh yang menawarkan acara Tea Walk bagi masyarakat di luar perkebunan. Sudah sejak
lama, perkebunan teh yang menyelenggarakan agrowisata semacam itu meraih sukses besar. Udara
segar di kebun teh membuat para wisatawan benar-benar betah menikmati selingan hidup di
lingkungan hijau yang segar, setelah berhari- hari super sibuk di tempat kerja yang membosankan,
dengan segala kesemrawutan lalu lintas kota sumpek.
Apakah perkebunan kakao bisa menyelenggarakan agrowisata seperti itu, yang letaknya juga di
lereng-lereng gunung seperti kebun-kebun teh? Bisa, kalau dibenahi dulu!
Di Jawa ada sejumlah perkebunan kakao yang potensial menawarkan lingkungan kebunnya
sebagai objek agrowisata. Misalnya, perkebunan Jatironggo, Getas, dan Kedondong di Jawa
Tengah, dan perkebunan Pasirmuncang dan Siluwok-Sawangan di Jawa Barat.
Mengapa perlu dibenahi?
Soolnya, sering tercium bau kurang sedap di perkebunan itu. Bau berasal dari lendir biji kakao yang
sedang di fermentasikan. Lendir yang dihasilkan oleh biji kakao sebanyak satu ton bisa mencapai
101 dalam semalam dan baunya tidak ketolongan. Sialnya, oleh perkebunan yang tidak peduli
lingkungan, cairan ini dibiarkan begitu saja. Kalaupun ada yang membuangnya, cuma dibuang ke
selokan yang menuju ke saluran pembuangan dalam perkebunan itu juga.
Sejumlah peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan, beberapa waktu yang lalu berhasil
mencarikan jalan keluar. Cairan yang keluar dari peti fermentasi biji kakao itu ditampung dengan
lembaran plastik yang dibentangkan dan dibentuk menjadi semacam kolam di kolong deretan peti
fermentasi. Cairan yang tertampung bukannya dibuang ke selokan yang menuju ke saluran
pembuangan dalam perkebunan (kalau begitu caranya, pencemaran lingkungan cuma dipindah
tempat saja), tetapi diolah menjadi nata.
Mencontoh perlakuan serupa terhadap air kelapa dan limbah tahu yang diolah menjadi nata de
coco dan nata de tahu, maka nata de cacao hasil limbah perkebunan kakao bisa dicoba.
Cairan itu disaring dulu dengan kain bersih, lalu air saringannya diencerkan dengan air bersih,
sehingga warna yang semula kuning kecoklatan menjadi putih bersih. Air ini direbus sampai
mendidih dan dibiarkan selama lima menit.
Diperlukan gula 50 gil agar bakteri pembentuk nata bisa tumbuh. Lalu perlu ditambahkan urea 1.5
gil dan kaliumdihidrogenfosfat dan magnesiumsulfat. masing-masing 1 gil.
Setelah didinginkan, ke dalamnya dimasukkan cairan bibit bakteri Acetobacter xylinum seperti yang
dipakai untuk membuat nata de coco itu, sebanyak 150 cell air saringan lendir kakao. Sesudah 14
hari, hasilnya berupa nata bisa dipanen.
Dengan ini ada tiga hasil yang diperoleh. Lingkungan perkebunan bebas bau dan segar kembali,
nata de cacao bisa dijual sebagai penghasilan tambahan (dijual lewat toko koperasi dan pengusaha
kecil), dan lingkungan bisa dijual sebagai objek agro wisata (lewat biro-biro wisata) di kota-kota
nasional dan internasional. (Khairul Amri)
Sumber: Intisari Agustus 1998 – Halaman Hijau – hal.126-127.