Pengelolaan hutan bersama masyarakat merupakan orientasi pembangunan kehutanan dewasa ini. Konsep ini tidak lagi menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai buruh atau penonton praktek pengelolaan hutan, dan bersorak kegirangan ketika melihat logging trucks mengangkut ber-kubik-kubik kayu bulat dari hutan yang tidak jauh dari kebun-kebun mereka. Masyarakat sekitar hutan memang selama ini belum mendapatkan tempat yang adil dalam pengelolaan hutan sistem HPH. Mereka tetap dan semakin miskin karena hutan tidak lagi mampu mensuplai air untuk persawahan mereka. Mereka semakin sulit mendapatkan hewan buruan di hutan yang semakin termarginalkan. Pohon duren yang dulu subur dengan buah yang rimbun, kini semakin langka.
Kita harus mengakui bahwa sejak awal sejarah peradabannya manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan sumberdaya hutan. Masyarakat lokal telah sejak lama memahami prinsip bahwa hutan alam klimaks lebih merupakan puncak keseimbangan ekologis daripada mampu menjanjikan produktivitas tinggi bagi kepentingan hidup manusia. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat mampu menjawab persoalan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Dari waktu ke waktu praktik pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat meskipun di bawah tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam. Misalnya saja, sistem Lembo di Kalimantan Timur, kebun Kemenyan di Tapanuli Utara, Kebun Karet di Jambi, Kebun Damar di Krui, Kebun Hutan Durian di Benawai Agung, Tembawang di Sanggau, Kebun Rotan di Bentian, Hutan Adat di Tenganan, Sistem Dukuh dan Asyura di Kalimantan Selatan dan masih banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa rakyat yang hidup di sekitar hutan memiliki pengalaman panjang dan kemampuan yang memadai untuk mengelola hutan.
Pengelolaan hutan bersama masyarakat merupakan orientasi pembangunan kehutanan dewasa ini. Konsep ini tidak lagi menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai buruh atau penonton praktek pengelolaan hutan, dan bersorak kegirangan ketika melihat logging trucks mengangkut ber-kubik-kubik kayu bulat dari hutan yang tidak jauh dari kebun-kebun mereka. Masyarakat sekitar hutan memang selama ini belum mendapatkan tempat yang adil dalam pengelolaan hutan sistem HPH. Mereka tetap dan semakin miskin karena hutan tidak lagi mampu mensuplai air untuk persawahan mereka. Mereka semakin sulit mendapatkan hewan buruan di hutan yang semakin termarginalkan. Pohon duren yang dulu subur dengan buah yang rimbun, kini semakin langka.
Kita harus mengakui bahwa sejak awal sejarah peradabannya manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan sumberdaya hutan. Masyarakat lokal telah sejak lama memahami prinsip bahwa hutan alam klimaks lebih merupakan puncak keseimbangan ekologis daripada mampu menjanjikan produktivitas tinggi bagi kepentingan hidup manusia. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat mampu menjawab persoalan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Dari waktu ke waktu praktik pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat meskipun di bawah tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam. Misalnya saja, sistem Lembo di Kalimantan Timur, kebun Kemenyan di Tapanuli Utara, Kebun Karet di Jambi, Kebun Damar di Krui, Kebun Hutan Durian di Benawai Agung, Tembawang di Sanggau, Kebun Rotan di Bentian, Hutan Adat di Tenganan, Sistem Dukuh dan Asyura di Kalimantan Selatan dan masih banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa rakyat yang hidup di sekitar hutan memiliki pengalaman panjang dan kemampuan yang memadai untuk mengelola hutan.
Sesi tanya jawab webinar Human-Wildlife dengan topik "Konflik Manusia dan Satwa Liar, Kapan dan Bagaimana?".
Tayangan ulang webinar dapat disaksikan di
https://kukangku.id/v/webinar-human-wildlife-seri-2/
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunanSuhadi Rembang
Â
Terbukanya pintu gerbang krisis mutlidimensional dapat dilihat diantaranya ledakan penduduk tidak terkendali, pemukiman semakin padat, banyaknya polutan di muka bumi, krisis air, pemanasan global, hingga kehidupan banyak mengalami tekanan/stress merupakan pertanda problem sosial dari proses pembangunan. Untuk itu perlu dilakukan refleksi dari tujuan pembangunan dan nilai-nilai dalam wacana pembangunan, yang didalamnya termaktub etika pembangunan agar pembangunan ini tidak serta merta gagal. Diversitas etika masyarakat pedalaman dapat dijadikan instrumen dalam meracik mentalitas pembangunan di Indonesia. Etika masyarakat Baduy misalnya; memegang teguh karakter sosial yang diversitas ini guna mengembangkan pilar-pilar nilai budaya nasional, skenario pembangunan ekologi yang ketat, ketahanan pangan, kemandirian gaya hidup, mengedepankan kepentingan masyarakat, fokus dalam menjalankan proyek-proyek, dan menjauhi transaksi politik ekonomi dan kekuasaan dalam pembangunan. Namun disisi lain terdapat gejala penghancuran etika masyarakat pedalaman dengan dalih pembangunan ramah lingkungan yang datang dari dalam dan luar. Suatu persolan penting yang patut kita dahulukan.
Perspektif psikologi sosial dan ekonomi dalam konflik manusia - satwa liarKukangku
Â
Presentasi dari Puspita Insan Kamil ini dibawakan pada seri kedua webinar Human-Wildlife pada topik "Konflik manusia dan satwa liar, kapan dan bagaimana?".
Tayangan ulang webinar dapat disaksikan di
https://kukangku.id/v/webinar-human-wildlife-seri-2/
essay menjaga tabungan oksigen dengan nirkertasKaitoDExcel
Â
Menjaga bumi untuk generasi masa depan yang lebih baik dengan memberlakukan nirkertas sebagai langkah awal menuju penerapan budaya konservasi di Indonesia baik masa kini maupun masa mendatang
Sesi tanya jawab webinar Human-Wildlife dengan topik "Konflik Manusia dan Satwa Liar, Kapan dan Bagaimana?".
Tayangan ulang webinar dapat disaksikan di
https://kukangku.id/v/webinar-human-wildlife-seri-2/
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunanSuhadi Rembang
Â
Terbukanya pintu gerbang krisis mutlidimensional dapat dilihat diantaranya ledakan penduduk tidak terkendali, pemukiman semakin padat, banyaknya polutan di muka bumi, krisis air, pemanasan global, hingga kehidupan banyak mengalami tekanan/stress merupakan pertanda problem sosial dari proses pembangunan. Untuk itu perlu dilakukan refleksi dari tujuan pembangunan dan nilai-nilai dalam wacana pembangunan, yang didalamnya termaktub etika pembangunan agar pembangunan ini tidak serta merta gagal. Diversitas etika masyarakat pedalaman dapat dijadikan instrumen dalam meracik mentalitas pembangunan di Indonesia. Etika masyarakat Baduy misalnya; memegang teguh karakter sosial yang diversitas ini guna mengembangkan pilar-pilar nilai budaya nasional, skenario pembangunan ekologi yang ketat, ketahanan pangan, kemandirian gaya hidup, mengedepankan kepentingan masyarakat, fokus dalam menjalankan proyek-proyek, dan menjauhi transaksi politik ekonomi dan kekuasaan dalam pembangunan. Namun disisi lain terdapat gejala penghancuran etika masyarakat pedalaman dengan dalih pembangunan ramah lingkungan yang datang dari dalam dan luar. Suatu persolan penting yang patut kita dahulukan.
Perspektif psikologi sosial dan ekonomi dalam konflik manusia - satwa liarKukangku
Â
Presentasi dari Puspita Insan Kamil ini dibawakan pada seri kedua webinar Human-Wildlife pada topik "Konflik manusia dan satwa liar, kapan dan bagaimana?".
Tayangan ulang webinar dapat disaksikan di
https://kukangku.id/v/webinar-human-wildlife-seri-2/
essay menjaga tabungan oksigen dengan nirkertasKaitoDExcel
Â
Menjaga bumi untuk generasi masa depan yang lebih baik dengan memberlakukan nirkertas sebagai langkah awal menuju penerapan budaya konservasi di Indonesia baik masa kini maupun masa mendatang
Presentasi Studi Keruangan dan Sistem Sosial Sem 2 30092019.pptxSukirahSukirah1
Â
LATAR BELKANG:
Studi keruangan dan sistem sosial adalah ilmu yang memberi dasar kemampuan, pengertian, dan pemahaman tentang Ilmu Pengetahuan Sosial terutama mengenai ruang tempat dan sistem sosial
Studi keruangan dan sistem sosial akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman secara komprehensif dan integratif tentang materi IPS, terutama yang berkenaan dengan konsep ruang, tempat dan sistem sosial. Selain konsep ruang dan tempat, pengetahuan kita akan diperkaya lagi dengan materi tentang peta, penduduk, gejala alam, bentang alam dan budaya, region, dan sistem sosial.
PENGERTIAN KERUANGAN :
Cara pandang suatu ilmu dalam rangka menganalisa, memahami dan menjelaskan suatu fenomena yg tersebar di permukaan bumi.
2. Analisis keruangan adalah suatu pendekatan yang khas dalam geografi karena merupakan studi tentang keragaman ruang muka bumi dengan menelaah masing-masing aspek-aspek keruangannya.
3. Pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji kesamaan atau perbedaan suatu fenomena geosfer melalui cara pandang keruangan. Dalam hal ini fokus pengamatan adalah persebaran kegunaan ruang dan manfaat yang akan didapatkan dari ruang yang disediakan.
MASYARAKAT HUKUM ADAT ADALAH PENYANDANG HAK, SUBJEK HUKUM, DAN PEMILIK WILAYAH ADATNYA
Memahami secara Kontekstual Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Â
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
1. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
HUTAN DAN REALITAS SOSIAL MASYARAKAT KAWASAN HUTAN
Oleh: G o l a r
Sekretaris Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) Untad,
Dosen Fakultas Kehutanan Untad
Pendahuluan
Sesuai Tema yang diberikan: “Hutan, realitas sosial masyarakat kawasan hutan”,
maka tulisan ini akan memulai dari telaah teoritis tentang eksistensi masyarakat lokal
dan relasinya dengan sumberdaya hutan. Telah banyak tulisan yang medeskripsikan
tentang masyarakat lokal, di mana istilah masyarakat lokal (lokal communities),
penduduk asli (indigenous people), masyarakat setempat, dan masyarakat (hukum)
adat, mengacu pada satu pengertian yang sama, yaitu masyarakat yang tergantung
terhadap kawasan hutan, dan/atau merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang
tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta mengandalkan hasil hutan demi
kelangsungan hidupnya.
Pengertian masyarakat lokal dalam konteks kajian peraturan perundang-
undangan pengelolaan sumberdaya hutan diklasifikasi menjadi “masyarakat hukum
adat” dan “masyarakat di dalam dan di sekitar hutan”. Istilah masyarakat hukum adat
banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian belum ada
satu peraturanpun yang dapat memberi penjelasan utuh tentang apa makna sebenarnya
dari masyarakat hukum adat. Istilah masyarakat hukum adat diambil dari kepustakaan
ilmu hukum adat, khususnya setelah penemuan van Vollenhoven (1925) tentang hak
ulayat (beschikkingsrecht): “hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai
masyarakat hukum adat”. Sementara itu, pengertian masyarakat hukum adat menurut
Ter Haar (1960) adalah kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai
kekuasaan dan kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat.
Bila dicermati, hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif
terhadap segala sumberdaya di wilayahnya, yang lazim dikenal dengan hak ulayat
adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan, sekaligus pemanfaatan sumberdaya.
Hak pengelolaan terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat hukum adat didasarkan
atas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 4.
1
2. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
…Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah…
Hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak
yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai
negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan (pasal 2 ayat 4).
Sayangnya, undang-undang tersebut tidak didukung oleh peraturan untuk
operasionalisasinya, sehingga berakibat bahwa masyarakat hukum adat hanya
diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan.
Disadari atau tidak, peranan masyarakat lokal dalam pengurusan hutan masih
belum mendapatkan perhatian yang serius. Padahal, konsep pengelolaan hutan sudah
harus beralih ke paradigma baru, yang mampu mengakomodir partisipasi aktif
masyarakat lokal dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan kehutanannya.
Beberapa pertimbangan yang melatarinya (Darusman 2012): (a) masyarakat lokal
adalah bagian atau sub-sistem ekosistem hutan, di mana masyarakat tersebut berada;
(b) mereka adalah bagian terbesar dari subjek dan objek pembangunan Negara
Indonesia; (c) mereka memiliki hak untuk mendapat kesempatan yang sama dengan
masyarakat lainnya dalam pengelolaan sumberdaya lokal dan pembangunan sektor
apapun di wilayahnya, termasuk di dalam sector kehutanan; (d) mereka sesungguhnya
memiliki kekuatan yang secara potensial sangat besar, baik positif maupun negatif bagi
pembangunan.
Aspek penting terkait dengan eksistensi masyarakat lokal dalam berinteraksi
dengan sumberdaya hutan adalah fenomena pengetahuan indegenous (indigenous
knowledge). Pengetahuan indigenous dalam sudut pandang yang lebih luas dapat
dikategorikan sebagai kebudayaan, yang melibatkan aspek sosial, politik, ekonomi, dan
spiritual dalam tata-cara kehidupan masyarakat lokal. Sejak ratusan tahun yang lalu,
masyarakat lokal mengembangkan praktek-praktek pengelolaan dan perlindungan
sumberdaya hutan yang bervariasi, sebagai upaya dalam mempertahankan kelestarian
sumberdaya hutan (Atran et al. 1999; Berkers and Jolly 2001). Sistem-sistem
pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan tersebut tidak selamanya berasal dari
tradisi atau pengetahuan tradisional semata, namun dapat pula berasal dari respon-
respon adaptif yang dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2
3. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
Sebenarnya, ekosistem alami tidak dapat dimengerti, dikonservasi, dan dikelola
secara lestari tanpa memahami budaya manusia yang membentuknya.
Keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati saling tergantung dan
mempengaruhi. Inilah kunci untuk menjamin ketahanan sistem sosial dan ekologi
(Soedjito & Sukara 2006). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pandey (1993); Li
(2000) bahwa masyarakat lokal pada dasarnya memiliki harmonisasi dengan
sumberdaya alam, dan pada hakekatnya pengetahuan indigenous bersifat konservatif,
serta menunjukkan suatu struktur sosial dan ekonomi yang adil.
Hal tersebut membuktikan bahwa, masyarakat indigenous mampu dan telah
mengakumulasikan pengetahuan empirik yang berharga dari pengalaman mereka
berinteraksi dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Kearifan ini berdasarkan
pemahaman yang dalam, bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang tak
terpisahkan sehingga harus hidup selaras dengan alam. Pandangan ekologi-sentris ini
secara umum direfleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan
lingkungan alamnya (Adimihardja 1999; Legawa 1999; Purwanto 2004).
Di dalam perspektif pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dijelaskan bahwa
sumberdaya alam dapat dikelola secara lestari bila persepsi masyarakat lokal
diintegrasikan ke dalam strategi pengelolaan yang adaptif, tentunya dengan jaminan
adanya partisipasi aktif masyarakat di dalamnya (Ramakrishnan 2003; Campbel 2003;
Colfer 2005; Golar 2007; Golar dan Hasriani 2009). Terdapat sejumlah kisah sukses
yang menunjukkan bahwa maasyarakat desa hutan memiliki pengetahuan dan
pengalaman untuk mengelola sumberdaya hutan dengan baik, di antaranya:
tembawang di Kalimantan Barat, repong dammar di Lampung, lembo di Kalimantan
Timur, hutan jati rakyat di Sulawesi Tenggara (Suhardjito 1998), dan kita juga
memilikinya, “hutan adat” di Toro.
Namun demikian, pengetahuan indigenous juga memiliki sejumlah keterbatasan
dan kelemahan. Klaim pengetahuan tradisional sebagai satu-satunya jawaban atas
krisis lingkungan seringkali kurang didasari atas telaah ilmiah yang memadai (Ellen
1997). Ada cukup bukti yang sifatnya historis maupun hasil kajian yang menunjukkan
sisi lemah pengetahuan indigenous. Pada kasus di mana masyarakat indigenous
merupakan pendatang baru pada zona ekologi yang berbeda, di mana mereka belum
memiliki banyak pengetahuan yang relevan dengan lingkungan yang baru,
3
4. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
menyebabkan beberapa pengetahuan indegenous bawaan mereka menimbulkan
masalah terhadap lingkungan yang baru (Flint & Luloff 2005).
Pada kasus yang lain dijelaskan bahwa pengetahuan indigenous yang telah
beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mempertahankan kehidupan mereka, dalam
kondisi tertentu menjadi tidak sesuai lagi di bawah kondisi lingkungan yang telah
terdegradasi (Thrupp 1989). Meskipun pada dasarnya pengetahuan indigenous memiliki
kemampuan beradaptasi dengan perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut
drastis dan cepat, pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut
menjadi tidak sesuai lagi. Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak sesuai akan
memperparah kerusakan lingkungan (Grenier 1998).
Dalam kasus yang lain, Turnbull (2002);); Golar dan Hasriani (2009) menjelaskan
bahwa adanya pengaruh modernisasi terhadap pengetahuan indigenous menyebabkan
perubahan yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya
pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang, pengembangan
usaha, maupun kolonialisasi. Greiner (1998); Li (2000) menjelaskan bahwa
terancamnya pengetahuan indigenous dipengaruhi pula oleh globalisasi, yang mau tidak
mau akan memaksa masyarakat indigenous untuk menjadi bagian dari masyarakat
global dengan tatanan baru. Hal ini menyebabkan pengatahuan indigenous yang
dimiliki menjadi tidak relevan. Di samping itu, kekuatan ekonomi dan sosial secara
perlahan dan pasti seringkali menghancurkan struktur sosial, yang mampu menciptakan
pengetahuan dan praktek indigenous tersebut (Sunito 2004).
Terlepas dari sisi positif maupun negative dari pengetahuan indeginous, kembali
ke konteks awal makalah ini, bahwa paradigma baru pengelolaan hutan, yang
mengedepankan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam menentukan dan
melaksanakan kebijakan perlu mendapatkan dukungan semua pihak.
Realitas Pengelolaan Hutan dan Konflik Tenurial
Ketimpangan dan ketidakpastian terhadap penguasaan sumberdaya hutan selalu
mewarnai pengelolaan hutan di Indonesia. Efeknya adalah pencapaian efektifitas dan
keadilan dalam pengelolaannya menjadi terhambat. Meskipun masalah ini tidak hanya
menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal, yang bermukim dan
4
5. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi
bisnis kehutanan dan pemerintah, namun masyarakat adat dan lokal yang mendapatkan
dampak terbesarnya.
Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan terjadi di antaranya akibat tidak
jelasnya legislasi dan kebijakan, pemberian izin yang tidak terkoordinasi, dan
pengabaian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal
pengguna hutan lainnya. Ini memicu kemunculan konflik-konflik tenurial di kawasan
hutan (Nurrochmat, et al., 2011). Padahal, di Indonesia lebih dari 30 ribu desa berada di
sekitar dan di dalam kawasan hutan, yang sebagian besar masyarakatnya
menggantungkan hidup pada kawasan hutan (Saturi 2013).
Di Sulawesi Tengah, sekitar 700 desa berbatasan langsung dengan kawasan
hutan produksi, konservasi dan lindung, dan 55 Desa yang berada di dalam kawasan
hutan, termasuk di antaranya di Kawasan Taman Nasional Lore-Lindu (TNLL) (Data
masih perlu diverifikasi). Hal ini merupakan potensi dan sekaligus ancaman terhadap
konflik pengurusan dan pengelolaan hutan, terutama di wilayah yang terdapat klaim
masyarakat lokal atau adat.
Beberapa hal pemicu konflik terkait eksistensi hutan adat ditinjau dari aspek
kepastian kawasan, di antaranya (Kartodihardjo 2013):
1. Keberadaan hutan adat di dalam semua fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi)
tidak diadministrasikan, dan di lapangan keberadaan hutan adat tersebut belum
dipastikan batas-batasnya dengan alokasi hutan negara lainnya. Kondisi demikian
itu menjadi penyebab terjadinya konflik dengan posisi hutan adat lebih lemah
daripada posisi para pemegang ijin ( di hutan produksi) maupun pengelola hutan
(lindung dan konservasi) ;
2. Data 2011 kawasan hutan negara seluas 14,24 juta Ha (sudah ditetapkan) dan
126,44 juta Ha (belum ditetapkan). Skenario luas kawasan hutan pada 2030 menjadi
seluas 112,3 juta Ha, 5,6 juta Ha (5%) di antaranya dialokasikan untuk Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Desa. Dalam skenario 2030
ini tidak terdapat luas hutan adat yang diharapkan ada;
3. Pemanfaatan hutan berskala besar (pengusahaan hutan pada hutan alam, hutan
tanaman dan restorasi ekosistem), usaha besar perkebunan dan tambang, serta
5
6. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
untuk program transmigrasi seluas 41,01 juta Ha atau 99,49% sedangkan
pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal/adat (hutan tanaman rakyat, hutan desa
dan hutan kemasyarakatan) seluas 0,21 juta Ha atau 0,51% dari luas pemanfaatan
hutan seluruhnya. Ketidak-adilan alokasi pemanfaatan hutan ini berkontribusi
terhadap terjadinya konflik maupun pelemahan modal sosial.
Penutup
1. Pengabaian terhadap hak masyarakat desa hutan berdasarkan hukum adatnya
menjadi pemicu utama konflik agrarian, khususnya sumberdaya hutan.
2. Konflik agrarian tidak hanya persoalan perebutan hak (rights), melainkan juga
persoalan akses (access), yakni kemampuan masyarakat untuk mendapatkan
sesuatu dari sumberdaya hutan.
3. Pendekatan pemberdayaan masyarakat desa hutan diperlukan, dan dapat ditempuh
melalui penguatan kepastian hak mereka dalam memperoleh manfaat sumberdaya
hutan dan peningkatan kapasitasnya dalam beradaptasi terhadap perubahan sosial
ekonomi.
6
7. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
BAHAN BACAAN
Adimihardja L. 1999. Petani Merajut Tradisi di Era Globalisasi. Bandung: Humaniora
Utama Press.
Atran S. 1999. Folk Ecology and Commons management in the Maya Lowlands.
Proceeding of The National Academy of Science USA. Di dalam: Pandey DN.
1993. Wildlife, National Park, and People. Indian Forester 119: 521-529.
Berkers F, Jolly D. 2001. Adapting to climate change: social- ecological resilience di
dalam: a Canadian western Arctic community. Conservation Ecology 5 (2): 18.
[online]: http://www.consecol.org/vol5/iss2/art18. Diakses: 24 Pebruari 2007.
Colfer CJP. 2005. The Complex Forest: Comunities, Uncertainty, and Adavtife
Collaborative Management. Resource for he future, Bogor: Washington, SC and
CIFOR.
Ellen R. 1997. Indigenous knowledge of the rainforest: Perception, extraction, and
conservation. University of Kent, Canterbury.
Flint CG, Luloff AE. 2005 Natrural Resource-Based Communities, Risk, and Disater: An
Intersection of Theories. Di dalam: Society and Natural Resources, 18: hlm 399-
412.
Golar 2007. Adaptation Strategy On Maintaining Forest Sustainability: Jurnal Agrisains,
Tadulako University, Palu.
Golar dan Hasriani, 2009. Analisis Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Aktivitas
Perambahan di Taman Nasional Lore Lindu. Jurnal Foresains, Edisi XI. Univ.
Tadulako, Palu
Greiner L. 1998. Working with Indigenous Knowledge: A Guide for Researches. IDRC:
Ottawa Canada. Di dalam: Bahan Ajaran Agroforestry. Bogor: World Agroforestry
Centre (ICRAF): 5
Li T. 2000. Articulating indigenous identity in Indonesia: resource politics and the tribal
slot. Working Paper (WP-007). Berkeley Workshop On Environmental Politics.
Institute Of International Studies, University Of California, Berkeley.
Nurrochmat DR, Hasan F.M., Suharjito D., Ekayani M., Sudarmalik, Purwawangsa H,
Mustaghfirin., Ryandi E D., 2011. Ekonomi Politik Kehutanan ; Mengurai Mitos
dan Fakta Pengelolaan Hutan. INDEF, Jakarta.
Purwanto Y. 2004. Etnobotani Masyarakat Tanimbar-kei, Maluku Tenggara: Sistem
Pengetahuan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan.
Perhimpunan Masyarakat Etnobotani Indonesia- Bogor: Pusata Penelitian
Biologi LIPI.
Ramakrishnan PS. 2003. Biodiversity Conservation: Lesson from the Budhist Demajong
Landscape in Sikkim, India Di Dalam: Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional
dan Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005 Untuk Peneliti
7
8. Semiloka “Membangun Hutan Menata Masa Depan”
2013
Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Komite Nasional MAB-Indonesia-
LIPI; Bogor, 24-27 Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional Indonesia-LIPI
Press.
Soedjito H, Sukara E. 2006. Mengilmiahkan Pengetahuan Tradisional: Sumber Ilmu
Masa Depan Indonesia. Di Dalam Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional dan
Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005 untuk Peneliti Muda
dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Komite Nasional MAB-Indonesia-LIPI;
Bogor, 24-27 Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional Indonesia-LIPI
Press. hlm.57-118.
Suharjito D. 1998. Kelembagaan Lokal Pemanfaatan Sumberdaya Alam: Studi Kasus
pada Orang Mioko. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol IV no. 1-2, Fakultas
IPB.
Sunito S. 2004. Robo and the Water Buffalo: The Lost Souls of the Pekurehua of the
Napu Valley. In: Gerhard Gerold, Michael Fremerey, Edi Guhardja (eds.) (2004)
Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in
Southeast Asia. Springer.
Turnbull CM. 2002. The Mbuti Pygmies: Change and Adaptation. Wadworth/Thomson
Learning 10 Davis Drive Belmont, CA 94002-3098 USA.
Ter Haar Bzn B, 1960. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Van Vollenhoven C. 1972. (terjemahan M.Rasjad St. Suleman S.H.) Suatu Kitab Hukum
Adat untuk Seluruh Hindia Belanda. Jakarta: Penerbit Bharata.
.
8