SlideShare a Scribd company logo
TEKNIK LAHAN URUG SAMPAH
METODA PEMILIHAN LOKASI TPA
OLEH:
KELOMPOK II
ANGGOTA:
ICHSAN APRIS (1010942013)
ANGGI ALFIONITA (1110942012)
VIVIE JUNIKA DAMID (1110942019)
MAMIK SURYANI (1110942044)
NAILUL HUSNI (1210942010)
ELSHA KEMALA. T (1210942029)
ZAKY FARNAS (1210942036)
DOSEN:
SLAMET RAHARJO, Dr. Eng
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai
tahap akhir dalam pengelolaannya, dimana diawali dari sumber, pengumpulan,
pemindahan atau pengangkutan, serta pengolahan dan pembuangannya. TPA
merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak
menimbulkan kerusakan atau dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu diperlukan penyediaan fasilitas dan penanganan yang benar
agar pengelolaan sampah tersebut dapat terlaksanan dengan baik.
Pembuangan limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang sering
dilakukan dalam pengelolaan limbah, namun pengolahan limbah dengan cara ini
tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengelolaan limbah dengan
lahan urug akan tetap menjadi bagian yang sangat sulit untuk dihilangkan dalam
pengolahan limbah. Salah satu kendala pembatas dalam penerapan metoda
pengurugan limbah dalam tanah (landfilling atau lahan-urug) adalah bagaimana
memilih lokasi yang cocok baik dilihat dari sudut kelangsungan pengoperasian,
maupun dari sudut perlindungan terhadap lingkungan hidup. Aspek teknis
sebagai penentu utama untuk digunakan adalah aspek yang terkait dengan
hidrologi dan hidrogeologi site.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pemilihan lokasi TPA menurut SNI-T-11-1991-03
dan SNI 19-3241-1994?
2. Untuk mengetahui pemilihan lokasi TPA menurut metode Le Grand?
3. Untuk mengetahui pemilihan lokasi TPA menurut metode Hagerty?
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana pemilihan lokasi TPA menurut SNI-T-11-1991-03 dan 19-3241-
1994?
2. Bagaimana pemilihan lokasi TPA menurut metode Le Grand?
3. Bagaimana pemilihan lokasi TPA menurut metode Hagerty?
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
Pembuangan akhir sampah (TPA) merupakan proses terakhir dalam siklus
pengelolaan persampahan formal. Untuk fase ini dapat menggunakan berbagai
metode dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi.
Secara ideal, pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi sebuah landfill adalah
didasarkan atas berbagai aspek, terutama (Damanhuri, 2008):
− Kesehatan masyarakat;
− Lingkungan hidup;
− Biaya; dan
− Sosio-ekonomi
Pertimbangan utama yang harus selalu dimasukkan dalam penentuan lokasi site
adalah (EPA 530-R-95-023):
− Mempertimbangkan penerimaan masyarakat yang akan terkena dampak;
− Konsisten dengan land-use planning di daerah tersebut;
− Mudah dicapai dari jalan utama;
− Mempunyai tanah penutup yang mencukupi;
− Berada pada daerah yang tidak akan terganggu dengan dioperasikan landfill
tersebut;
− Mempunyai kapasitas tampung yang cukup besar, biasanya 10 sampai 30
tahun;
− Tidak memberatkan dalam pendanaan pada saat pengembangan,
pengoperasian;
− penutupan, pemeliharaan setelah ditutup, dan bahkan biaya yang terkait
dengan upaya remediasi;
− Rencana pengoperasian hendaknya terkait dengan upaya kegiatan lain yang
sangat dianjurkan, yaitu daur-ulang.
Di samping aspek-aspek lain yang sangat penting, seperti aspek politis dan legal
yang berlaku disuatu daerah atau negara. Aspek kesehatan masyarakat
berkaitan langsung dengan manusia, terutama kenaikan mortalitas (kematian),
morbiditas (penyakit), serta kecelakaan karena operasi sarana tersebut. Aspek
lingkungan hidup terutama berkaitan dengan pengaruhnya terhadap ekosistem
akibat pengoperasian sarana tersebut, termasuk akibat transportasi dan
sebagainya. Aspek biaya berhubungan dengan biaya spesifik antara satu lokasi
dengan lokasi yang lain, terutama dengan adanya biaya ekstra pembangunan,
pengoperasian dan pemeliharaan. Aspek sosio-ekonomi berhubungan dengan
dampak sosial dan ekonomi terhadap penduduk sekitar lahan yang dipilih.
Walaupun dua lokasi yang berbeda mempunyai pengaruh yang sama dilihat dari
aspek sebelumnya, namun reaksi masyarakat setempat dengan dibangunnya
sarana tersebut bisa berbeda (Damanhuri, 2008).
Proses pemilihan lokasi lahan-urug idealnya hendaknya melalui suatu tahapan
penyaringan. Dalam setiap tahap, lokasi-lokasi yang dipertimbangkan akan
dipilih dan disaring. Pada setiap tingkat, beberapa lokasi dinyatakan gugur,
berdasarkan kriteria yang digunakan di tingkat tersebut. Penyisihan tersebut
akan memberikan beberapa calon lokasi yang paling layak dan baik untuk
diputuskan pada tingkat final oleh pengambil keputusan. Di negara industri,
penyaringan tersebut paling tidak terdiri dari tiga tingkat tahapan, yaitu
(Damanhuri, 2008):
− penyaringan awal;
− penyaringan individu; dan
− penyaringan final.
Penyaringan awal biasanya bersifat regional biasanya dikaitkan dengan tata
guna dan peruntukan yang telah digariskan di daerah tersebut. Secara regional,
daerah tersebut diharapkan dapat mendefinisikan secara jelas lokasi-lokasi
mana saja yang dianggap tidak/kurang layak untuk lokasi pengurugan limbah.
Pada taraf ini parameter yang digunakan hanya sedikit.
Tahap kedua dari tahap penyisihan ini adalah penentuan lokasi secara individu,
kemudian dilakukan evaluasi dari tiap individu. Pada tahap ini tercakup kajian-
kajian yang lebih mendalam, sehingga lokasi yang tersisa akan menjadi sedikit.
Parameter beserta kriteria yang diterapkan akan menjadi lebih spesifik dan
lengkap. Lokasi-lokasi tersebut kemudian dibandingkan satu dengan yang lain,
misalnya melalui pembobotan. Ada 3 metode dalam pemilihan lokasi TPA, yaitu
(Damanhuri, 2008):
− SNI 19-3241-1994
− Metode Le Grand
− Metode Hagerty
Tahap terakhir adalah tahap penentuan. Penyaringan final ini diawali dengan
pematangan aspek-aspek teknis yang telah digunakan di atas, khususnya yang
terkait dengan aspek sosio-ekonomi masyarakat dimana lokasi calon berada.
Tahap ini kemudian diakhiri dengan aspek penentu, yaitu oleh pengambil
keputusan suatu daerah. Aspek ini bersifat politis, karena kebijakan pemerintah
daerah/pusat akan memegang peranan penting. Kadangkala pemilihan akhir ini
dapat mengalahkan aspek teknis yang telah disiapkan sebelumnya (Damanhuri,
2008).
2.2 Pemilihan Lokasi TPA Menurut SNI 19-3241-1994
Ketentuan Teknis
Ketentuan teknis mengatur ketentuan pola ruang pada masing-masing zona,
yakni zona penyangga dan zona budi daya terbatas. Penentuan jenis zona yang
akan diatur dalam kawasan sekitar TPA sesuai dengan kondisi TPA yang ada,
sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum. Pemanfaatan ruang yang diatur
dalam pedoman akan berbeda untuk tiap klasifikasi TPA. Ketentuannya adalah
sebagai berikut:
2.2.1 TPA Baru atau yang Direncanakan
2.2.1.1 Zona Penyangga
1) Zona penyangga sesuai dengan Pedoman Pengoperasian dan
Pemeliharaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan Sistem Controlled
Landfill dan Sanitary Landfill dengan jarak 0 – 500 meter. Pemanfaatan
lahannya ditentukan sebagai berikut:
a. 0 – 100 meter : diharuskan berupa sabuk hijau; dan
b. 101 – 500 meter : pertanian non pangan dan hutan.
2) Ketentuan pemanfaatan ruang:
a. Sabuk hijau dengan tanaman keras yang boleh dipadukan dengan
tanaman perdu terutama tanaman yang dapat menyerap racun dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi dengan tanaman
perdu yang mudah tumbuh dan rimbun terutama tanaman yang dapat
menyerap bau; dan
b) Kerapatan pohon adalah minimum 5 m.
b. Pemrosesan sampah utama on situ.
c. Instalasi pengolahan sampah menjadi energi, atau instalasi pembakaran
(incenerator) bersama unit pengelolaan limbahnya.
d. Kegiatan budi daya perumahan tidak diperbolehkan pada zona
penyangga.
3) Kriteria teknis:
a. Tidak menggunakan air tanah setempat dalam kegiatan pengolahan
sampah;
b. Ketersediaan sistem drainase yang baik; dan
c. Ketersediaan fasilitas parkir dan bongkar muat sampah terpilah yang
akan didaur ulang di lokasi lain.
4) Pengelolaan:
a. Jalan masuk ke TPA, sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Bina
Marga, dipersyaratkan:
a) Dapat dilalui truk sampah dua arah dengan lebar badan jalan
minimum 7 meter;
b) Jalan kelas I dengan kemampuan memikul beban 10 ton dan
kecepatan 30 km/jam.
b. Drainase permanen terpadu dengan jalan dan bila diperlukan didukung
oleh drainase lokal tak permanen.
c. Sabuk hijau yang dimaksudkan untuk zona penyangga adalah ruang
dengan kumpulan pohon dan bukan sekedar deretan pohon yang bila
dimungkinkan mempunyai nilai ekonomi.
d. Tanaman yang direkomendasikan adalah yang sesuai dengan kondisi
alam setempat, termasuk iklim, rona fisik, dan kondisi lapisan tanah.
Spesies yang direkomendasikan termasuk:
a) Callophyllum Inophyllum L. Nama lokal: Nyamplung, Bintangur laut.
Famili: Guttiferae. Tinggi sampai 20 meter.
b) Dalbergia Latifotia Roxb. Nama lokal: Sonokeling. Famili:
Leguminosae. Bentuk mahkota bulat dan letaknya kurang dari 5.00
meter.
c) Michelia Champaca L. Nama lokal: Cempaka kuning. Famili:
Magnoliaceae. Berbunga kuning dan wangi sehingga cocok untuk
TPA yang terletak pada lokasi padat atau pada bagian dari lokasi
pariwisata.
d) Mimusop Elengi L. Nama lokal: Tanjung. Famili: Sapotaceae. Tinggi
kira-kira 13-27 meter.
e) Schleichera Trijuga Willd. Nama lokal: Kesambi. Famili: Sapindaceae.
Tinggi kira-kira 25 meter. Mahkota berbentuk bulat dan letaknya
kurang dari 5 meter.
f) Swietenia Mahagoni Jacq. Nama lokal: Mahoni. Tinggi 10-30 meter.
2.2.1.2 Zona Budi Daya Terbatas
1) Zona budi daya terbatas untuk TPA baru dengan sistem pengurugan
berlapis bersih tidak diperlukan.
2) Zona budi daya terbatas untuk sistem pengurugan berlapis terkendali
ditentukan sejauh 0 – 300 meter dari batas terluar zona inti. Pemanfaatan
ruang adalah sebagai berikut:
a. Rekreasi dan RTH;Industri terkait pengolahan sampah;
b. pengolahan kompos, pendaurulangan sampah, dan lain-lain;
c. Pertanian non pangan;
d. Permukiman di arah hulu TPA bersangkutan diperbolehkan dengan
persyaratan tertentu untuk menghindari dampak pencemaran lindi
pada daerah hilir TPA. Persyaratan tersebut termasuk sistem drainase
yang baik, penyediaan air bersih yang tidak bersumber dari air tanah
setempat;
e. Fasilitas pemilahan, pengemasan, dan penyimpanan sementara.
3) Kriteria teknis:
a. Tersedia akses dan jaringan jalan yang baik;
b. Tersedia drainase yang memadai;
c. Tersedia sistem pembuangan limbah cair yang baik untuk fasilitas-
fasilitas pengolahan sampah yang menghasilkan limbah;
d. Tersedia pasokan air dan tidak menggunakan air tanah setempat
dalam proses produksi dan kegiatan penunjang lain di dalam kawasan;
e. Tersedia parkir dan bongkar muatan sampah dan muat sampah
terpilah yang akan didaur ulang di lokasi lain;
f. Lebar jalan dan ruang terbuka memungkinkan manuver kendaraan
pengangkut sampah dua arah, baik yang sedang bergerak, maupun
yang sedang membongkar muatan;
g. Penggunaan lahan pada zona budi daya terbatas.
2.2.1.3 Zona Budi Daya
Pola ruang dalam zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah yang berlaku, RDTR dan peraturan zonasi yang telah
ditetapkan untuk kawasan bersangkutan.
2.2.2 TPA Lama atau yang Sedang Dioperasikan
2.2.2.1 Zona Penyangga
1) Zona penyangga telah tersedia dalam TPA.
2) Pada TPA yang belum memiliki zona penyangga ditetapkan zona
penyangga pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA dengan pemanfaatan
sebagai berikut:
a. 0 – 100 meter diharuskan berupa sabuk hijau;
b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan.
2.2.2.2 Zona Budi Daya Terbatas
1) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan pada TPA lama yang
menggunakan sistem pengurugan berlapis bersih.
2) Zona budi daya terbatas ditentukan pada TPA lama yang menggunakan
sistem pengurugan berlapis terkendali pada jarak 501 – 800 meter dari
batas terluar tapak TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut:
a. Rekreasi dan RTH;
b. Industri terkait sampah;
c. Pertanian non pangan; dan
d. Permukiman di arah hilir bersyarat.
e. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan
persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khusus
untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah.
2.2.2.3 Zona Budi Daya
Zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah: RTRW,
RDTR dan peraturan zonasi dengan memperhatikan kembali kesesuaian
pemanfaatan ruang dan aktifitas pada zona budidaya terhadap potensi dampak
yang ditimbulkan dari kegiatan TPA sesuai dengan ketentuan khusus.
2.2.3 TPA Pascalayan
2.2.3.1 Penambangan Sampah untuk Diolah In Situ dan Gasnya
1) Zona penyangga ditentukan pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA,
dengan pola ruang sebagai berikut:
a. 0 – 100 m : sabuk hijau tanaman keras dan perluasan instalasi
pengolahan sampah; dan
b. 101 – 500 m : pertanian tanaman non pangan.
2) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan.
3) Zona budi daya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
2.2.3.2 Pemanfaatan Kembali sebagai TPA
1) Zona penyangga ditentukan pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA,
dengan pola ruang sebagai berikut:
a. 0 – 100 m : sabuk hijau tanaman keras dan perluasan instalasi
pengolahan sampah; dan
b. 101 – 500 m : pertanian tanaman non pangan.
2) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan baik pada TPA yang akan
digunakan kembali dengan sistem maupun pengurugan berlapis bersih.
3) Zona budi daya terbatas pada TPA yang akan digunakan kembali dengan
sistem pengurugan berlapis terkendali ditentukan pada jarak 501-800
meter. Pola ruang adalah sebagai berikut:
a. Rekreasi dan RTH;
b. Industri terkait sampah;
c. Pertanian non pangan; dan
d. Permukiman di arah hilir bersyarat.
4) Zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
5) Penentuan jarak dan zona bersifat fleksibel mengikuti hasil kajian dampak
TPA terhadap sekitarnya.
2.2.3.3 Penggunaan Lain
1) Di dalam TPA diatur menurut pedoman yang ada.
2) Industri konversi energi sampah dan penambangan sampah akan
mengikuti ketentuan pada kawasan industri.
3) TPA baru boleh dipakai untuk keperluan lain setelah berusia 20 tahun
tanpa persyaratan khusus.
Ketentuan Khusus
1) Untuk dapat menyelenggarakan penataan ruang yang sesuai pada zona
penyangga dan budi daya terbatas yang telah dihuni oleh masyarakat atau
telah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, maka kepada
masyarakat akan diberikan kompensasi.
2) Pada kawasan yang masuk ke dalam zona penyangga dilakukan relokasi.
3) Pada kawasan yang masuk ke dalam zona budi daya terbatas, apabila
memungkinkan untuk mengosongkan lahan tersebut, maka dilakukan
relokasi.
4) Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan relokasi, permukiman yang
berada pada kawasan tersebut harus mengikuti peraturan yang disesuaikan
dengan kebijakan lokal melalui:
a. Arahan pengenaan insentif dan disinsentif dalam meningkatkan upaya
pengendalian pemanfaatan ruang;
b. Memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rtrw, rdtr,
dan peraturan zonasi; dan
c. Meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
5) Insentif diberikan untuk mendorong dilakukannya relokasi pemanfaatan
budidaya di kawasan tersebut dan memberikan eksternalitas positif
keberadaan TPA di kawasan tersebut terhadap wilayah sekitarnya berupa:
a. Pemberian kompensasi;
b. Imbalan;
c. Sewa lahan dan urun saham;
d. Penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur;
e. Kemudahan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan
oleh pemerintah; dan/atau
f. Kemudahaan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan
oleh Pemerintah Daerah penerima manfaat kepada investor yang berasal
dari Daerah pemberi manfaat.
6) Disinsentif diberikan untuk menghambat dan membatasi kegiatan dalam
zona budidaya kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan memberikan dampak negatif kepada lingkungan dan
masyarakat, berupa:
a. Kewajiban pemberian kompensasi;
b. Pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang
yang diberikan oleh pemerintah;
c. Kewajiban membayar imbalan;
d. Pembatasan penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur; dan/atau
e. Pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang
yang diberikan oleh pemerintah daerah penerima manfaat kepada
investor yang berasal dari Daerah pemberi manfaat.
7) Dalam menjaga tertib dan tegaknya peraturan dalam mengatasi
pelanggaranan penyelenggaraan penataan ruang di kawasan sekitar TPA
diberlakukan pengenaan sanksi terhadap pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau izin pemanfaatan ruang khususnya
dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya. Tata cara pengenaan saksi
terhadap pelanggaraan penyelenggaraan penataan ruang berupa: peringatan
tertulis; penghentian kegiatan sementara; penghentian sementara pelayanan
umum; penutupan lokasi; pencabutan izin; penolakan izin; pembatalan izin;
pembongkaran bangunan; pemulihan fungsi ruang
8) Pemberian insentif disinsentif dan sanksi dilakukan dalam jangka waktu
tertentu selama kawasan tersebut mendapatkan efek negatif dari
keberadaan TPA, yang dibuktikan dengan kajian lingkungan yang
menunjukkan terdapatnya hal-hal berikut:
a. Kondisi air tanah yang buruk, tidak sesuai dengan standar baku mutu air
bersih;
b. Padatnya populasi vektor penyakit yang diduga kuat berasal dari TPA,
seperti lalat dan tikus;
c. Buruknya kualitas udara akibat dari proses pengelolaan sampah; dan
d. Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh TPA.
2.3 Pemilihan Lokasi TPA Menurut SNI-T-11-1991-03
Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: TPA
sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut.
Kriteria
Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak
atau zona tidak layak sebagai berikut:
a. Kondisi geologi: tidak boleh di zona bahaya geologi.
b. Kondisi hidrogeologi:
1). Tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter
2). Tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6
cm/det
3). Jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di
hilir aliran.
4). Dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di
atas, maka harus diadakan masukan teknologi.
c. Kemiringan zona harus kurang dari 20%.
d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk
penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis
lain.
e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan
perioda ulang 25 tahun.
2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik
yaitu terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut:
a. Iklim.
1). Hujan: intensitas hujan makin kecil dinilai makin banyak.
2). Angin: arah angin dominan tidak menuju ke pemukiman dinilai makin
baik.
b. Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik.
c. Lingkungan biologis.
1). Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik.
2). Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai
makin baik
d. Kondisi tanah.
1). Produktifitas tanah: tidak produktifitas dinilai lebih tinggi.
2). Kapasitas dan unsur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih
lama dinilai lebih baik.
3). Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup,
dinilai lebih baik.
4). Status tanah: makin bervariasi dinilai tidak baik.
e. Demografi: kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik.
f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik.
g. Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik.
h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik.
i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik.
j. Ekonomi: semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3
/ton)
dinilai semakin baik.
3. Kriteria penetapan yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang
berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan
kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang
berlaku.
2.4 Pemilihan Lokasi TPA Menurut Metoda Le Grand
Metode “numerical rating” menurut Le Grand yang telah dimodifikasi oleh Knight,
telah digunakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, guna evaluasi
pendahuluan dari lokasi pembuangan limbah di Indonesia.
Parameter utama yang digunakan dalam analisis ini adalah:
1. Jarak antara lokasi (sumber pencemaran) dengan sumber air minum;
2. Kedalaman muka air tanah terhadap dasar lahan-urug;
3. Kemiringan hidrolis air tanah dan arah alirannya dalam hubungan dengan
pusat sumber air minum atau aliran air sungai;
4. Permeabilitas tanah dan batuan;
5. Sifat-sifat tanah dan batuan dalam meredam pencemaran;
6. Jenis limbah yang akan diurug di sarana tersebut.
Metode Le Grand ini terdiri dari 4 tahap, yaitu:
Tahap 1: deskripsi hidrogeologis lokasi (Langkah ke 1 sampai ke 7);
Tahap 2: derajat keseriusan masalah (Langkah ke 8);
Tahap 3: gabungan tahap 1 dan tahap 2 (Langkah ke 9); dan
Tahap 4: penilaian setelah perbaikan (Langkah ke 10).
Untuk menentukan score masing-masing tahap tersebut digunakan tabulasi
seperti terlihat dalam langkah-langkah di bawah ini.
Contoh:
Suatu calon lokasi landfilling sampah kota memiliki data sebagai berikut:
• Batas lokasi landfill secara horizontal akan berjarak 20 m dari sumur
penduduk;
• Kedalaman muka air tanah dari data bor adalah 14 m;
• Gradien kemiringan 1,5% menuju searah aliran air yang menuju sumur;
• Dari analisa ayakan, campuran lempung dan pasir = 40% dan merupakan
tanah impermeable dengan ketebalan 10-12 m;
• Tingkat keakuratan data baik.
Kemampuan sorpsi dan permeabilitas: batuan dasar merupakan lapisan
impermeabel (I) dengan lempung dan pasir <50% dengan kedalaman 10-14 m,
sehingga nilai = 2.
Langkah 5:
Parameter 5, yaitu tingkat keakuratan/ketelitian data, yaitu:
A = kepercayaan terhadap nilai parameter: akurat
B = kepercayaan terhadap nilai parameter: cukup
C = kepercayaan terhadap nilai parameter: tidak akurat
Karena dalam contoh data yang diperoleh berasal dari data obeservasi dan
pengukuran langsung di lapangan, maka tingkat kepercayaan terhadap nilai
parameter dianggap akurat, sehingga nilai = A.
Langkah 6:
Parameter 6.1: sumber air sekitar lokasi
W = jika yang akan tercemar sumur (well)
S = jika yang akan tercemar mata air (spring) atau sungai (stream)
B = jika yang akan tercemar daerah lain (boundary)
Sumber air sekitar lokasi yang mungkin tercemar karena adanya sarana ini
adalah sumur. Dengan demikian Nilai = W.
Parameter 6.2: informasi tambahan tentang calon lokasi:
C : memerlukan kondisi khusus yang memerlukan komentar
D : terdapat kerucut depresi pemompaan
E : pengukuran jarak titik tercemar dilakukan dr pinggir calon lokasi
F : lokasi berada pada daerah banjir
K : batuan dasar calon lokasi adalah karst
M : terdapat tampungan air di bawah timbunan sampah
P : lokasi mempunyai angka perkolasi yang tinggi
Q : akuifer dibawah calon lokasi adalah penting dan sensitif
R : pola aliaran air tanah radial sampai sub radial
T : muka air tanah pada celah/retakan/rongga batuan dasae
Y : terdapat satu atau lebih akuifer tertekan
Informasi tambahan tentang calon lokasi adalah berada pada lokasi banjir (F),
sedang akuifer di bawah calon lokasi adalah penting dan sensitif (Q), dan
terdapat satu atau lebih akuifer tertekan di bawahnya (Y). Nilai menjadi = FQY.
Langkah 7:
Rekapitulasi deskriptif hidrogeologi dari langkah-langkah di atas adalah
menjumlah nilai yang diperoleh yaitu = 15.
Nilai penjumlahan tersebut kemudian dibandingkan dengan standar kondisi
hidrogeologi seperti tercantum dalam Tabel 2.2. Dengan demikian maka site
tersebut dari sisi hidrogeologi merupakan site yang “baik” dengan nilai = C.
Tabel 2.2 Penilaian Kondisi Hidrogeologi
Langkah 8: Derajat kepekaan akuifer dan jenis limbah
Gambar 2.1 Derajat Keseriusan dan Potensi Bahaya
Tahap ini menggambarkan derajat keseriusan yang disajikan dalam bentuk
matrik yang menggabungkan kepekaan akuifer dengan tingkat bahaya limbah
yang akan diurug/ditimbun. Jenis akuifer dipilih pada ordinat sumbu-Y, yaitu
mulai dari liat berpasir yang dianggap tidak sensitif sampai batu kapur yang
dianggap sangat sensitif. Sedangkan tingkat keseriusan pencemar, yang dipilih
pada absis sumbu-X, akan tergantung pada jenis limbah yang masuk, mulai dari
limbah inert yang tidak berbahaya sampai limbah B-3. Titik pertemuan garis yang
ditarik dari sumbu-X dan sumbu-Y tersebut menggambarkan derajat keseriusan
pencemaran, mulai dari relatif rendah (A) sampai sangat tinggi (I). Derajat
keseriusan tersebut dibagi dalam 9 katagori. Dari data contoh di atas, calon
lokasi mempunyai tingkat derajat keseriusan agak tinggi (E).
Langkah 9:
Tahap ini merupakan penggabungan langkah 1 sampai 4 dengan langkah 8.
Posisi grafis yang digunakan pada langkah 9 digunakan kembali. Dari posisi
lokasi tersebut dapat diketahui peringkat situasi standar yang dibutuhkan agar
akuifer tidak tercemar. Peringkat ini dinyatakan dalam PAR (protection of aquifer
rating). Hasil pengurangan PAR dari deskripsi numerik lokasi, digunakan untuk
menentukan tingkat kemungkinan pencemaran yang akan terjadi. Nilai-nilai
lempung pasir PAR dalam zone-zone isometrik diperoleh berdasarkan
pengalaman empiris yang menyatakan nilai permeabilitas serta sorpsi yang tidak
boleh terlampaui agar akuifer tidak tercemar:
• Dari langkah 1 sampai 4 diperoleh nilai berturut-turut : 7-3-3-2
• Dari langkah 9, diperoleh PAR = 14-4 maka penggabungannya adalah:
Nilai tersebut (= -1) dibandingkan dengan daftar dalam Tabel 2.3 di bawah ini.
Situasi peringkat menghasilkan nilai = C, artinya kemungkinan pencemaran sulit
terkatagorikan, dan derajat penerimaannya adalah “terima” atau “ditolak”.
Tabel 2.3 Situasi Peringkat Nilai
Langkah 10:
Langkah ini digunakan bila pada lokasi dilakukan tersebut dilakukan masukan
teknologi untuk mengurangi dampak pencemaran yang mungkin terjadi,
sehingga diharapkan terjadi pergeseran nilai PAR. Perubahan dilakukan dengan
memperbaiki kondisi pada langkah 8, sehingga PAR di langkah 9 juga akan
berubah. Masukan teknologi yang mungkin diterapkan pada lokasi ini untuk
mengurangi potensi bahaya pencemaran antara lain:
1. Desain saluran drainase di sekitar lokasi dengan baik dimana meminimalisasi
air hujan yang akan masuk ke area landfill seminimal mungkin pula;
2. Pembuatan lapisan dasar (liner) yang dapat dilakukan dengan beberapa
lapisan pelindung seperti geomembran dengan tujuan agar lindi yang timbul
tidak akan merembes ke dalam ailiran air tanah;
3. Desain pipa lindi yang memungkinkan air lindi dapat terkumpul;
4. Adanya instalasi pengolahan air lindi sebelum dibuang ke badan air penerima
2.4 Pemilihan Lokasi TPA Menurut Metoda Hagerty
Evaluasi dengan metode ini mengandalkan pada tiga karakteristik umum dari
sebuah lahan, yaitu (Damanhuri, 2008):
1. Potensi infiltrasi air eksternal ke dalam sub-permukaan,
2. Potensi transportasi cemaran menuju air tanah,
3. Mekanisme lain yang berkaitan dengan transportasi cemaran ke luar
Pertimbangan yang digunakan dalam sistem pembobotan ini adalah (Damanhuri,
2008):
1. Parameter-parameter yang langsung berpengaruh pada transmisi cemaran
dianggap sebagai parameter dengan prioritas pertama, misalnya potensi
infiltrasi, potensi bocornya dasar lahan-urug, dan kecepatan air tanah. Nilai
maksimum adalah 20 SRP (satuan rangking prioritas).
2. Parameter-parameter yang mempengaruhi transportasi cemaran setelah
terjadinya kontak dengan air dianggap sebagai prioritas kedua, seperti
kapasitas penyaringan dan kapasitas sorpsi. Nilai maksimum adalah 15 SRP.
3. Parameter-parameter yang mewakili kondisi awal dari air tanah dikenal
sebagai prioritas ketiga. Nilai maksimum adalah 10 SRP.
4. Parameter-parameter yang mewakili faktor-faktor lain, dikenal sebagai
prioritas keempat, seperti jarak potensi cemaran, arah angin dan populasi
penduduk. Nilai maksimum adalah 5 SRP.
Rangking suatu lokasi dihitung berdasarkan penjumlahan parameter yang dinilai
secara individual, yaitu (Damanhuri, 2008):
1. Infiltrasi
Ip + Lp + Fc + Ac + Oc + Bc + Td + Gv + Wp + Pf
dimana :
Ip = potensi infiltrasi Lp = potensi keretakan dasar
Fc = kapasitas filtrasi
Ac = kapasitas adsorpsi
Oc = potensi kandungan organik dalam air
Bc = kemampuan kapasitas penyangga
Td = potensi jarak tempuh cemaran
Gv = kecepatan air tanah
Wd = arah dominan angin
Pf = faktor penduduk
Potensi infiltrasi (Ip) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
dimana:
i = infiltrasi ( % dari rata-rata hujan tahunan)
FC = kapasitas penahan air bervariasi antara 0,05 (pasir) sampai 0,40 (liat)
H = ketebalan tanah penutup (inch)
2. Potensi keretakan dasar (Lp) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
dimana:
K = koefisien permeabilitas (cm/det)
T = ketebalan dasar (ft)
3. Kapasitas filtrasi (Fc) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
dimana: φ = diameter rata-rata butiran (inch)
4. Kapasitas adsorpsi (Ac) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
dimana:
Or = kandungan organik tanah (% berat kering)
KTK = kapasitas tukar kation (mev/100 gr)
5. Kapasitas organik dalam air tanah (Oc) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
Oc = 0,2 BOD
dimana:
BOD = kebutuhan oksigen secara biokimia (mg/L)
6. Kapasitas penyangga air tanah (Bc) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
Bc = 10 - Nme
dimana:
Nme = nilai terkecil kebutuhan asam atau basa untuk menurunkan pH air sampai
4,5 atau sampai 8,5 (mev)
7. Potensi jarak tempuh cemaran (Td) dihitung seperti Tabel 3.4 di bawah ini
(Damanhuri, 2008):
Tabel 2.4: Jarak tempuh cemaran
Jarak diukur dari dari lokasi lahan-urug ke muka air tanah di bawahnya, atau ke
air permukaan lainnya.
8. Potensi kecepatan air tanah (Gv) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
dimana :
S = kemiringan hidrolis (ft/mil)
K = permeabilitas (cm/det)
9. Potensi arah angin (Wp) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
dimana :
Ai = sudut arah angin potensial terhadap populasi
Pi = populasi di setiap kuadran (jiwa) dalam jarak 40 km
10. Faktor populasi (Pf) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
Pf = log p
dimana : p = populasi terbesar (jiwa) pada radius 40 km.
Kelebihan Metoda Hagerty dibandingkan metoda lain adalah :
1. Parameter-parameter yang dievaluasi cukup luas, meliputi aspek-aspek
penting diantaranya: potensi infiltrasi yang menunjukkan potensi air yang
masuk ke dalam tempat pembuangan limbah, kapasitas organik dalam air
tanah yang menggambarkan transmutasi cemaran yang berkontak dengan
air tanah serta arah dan kecepatan angin untuk mengantisipasi potensi
dampak dari TPA terhadap kualitas udara di sekitarnya.
2. Menggunakan sistem pembobotan dengan empat level prioritas yang
berbeda, disesuaikan dengan tingkat kepentingan dari parameter-parameter
yang ditinjau yaitu parameter-parameter yang langsung berpengaruh pada
transmisi cemaran, parameter-parameter yang mempengaruhi transportasi
cemaran setelah kontak dengan air, parameter-parameter yang mewakili
kondisi awal dari air tanah dan parameter yang mewakili faktor-faktor lain
seperti; jarak potensi cemaran, arah angin dan populasi penduduk
Kelemahan metoda ini dibandingkan metoda lain adalah :
1. Memerlukan biaya lebih mahal dari pada metoda SNI T-11-1991-03, karena
selain pengukuran di lapangan juga perlu dilakukan analisis laboratorium
untuk pengukuran contoh tanah dan air tanah masing-masing lokasi.
2. Lokasi yang dikaji merupakan lokasi hasil dari tahap regional dengan metoda
SNI T-11-1991-03, metoda ini tidak mempunyai kajian pendahuluan seperti
pada tahap regional yang terdapat dalam metoda SNI T-11-1991-03.
3. Dalam analisis terhadap arah angin, arah angin yang digunakan adalah arah
angin regional. Arah angin ini dirasakan tidak mewakili keadaan yang
sebenarnya di lokasi usulan karena terlalu global. Selain itu populasi yang
diperhitungkan adalah pada radius 40 km. Hal ini dianggap terlalu besar,
karena diperkirakan konsentrasi cemaran yang terbawa angin akan semakin
kecilsehingga tidak mengganggu. Tingkat keterganggguan yang paling besar
yang mungkin terjadi adalah pada populasi yang berada di sekitar lokasi
TPA.
4. Pada metoda Hagerty tidak terdapat kajian tentang batas administrasi dari
lokasi, kapasitas lahan dan jalan menuju lokasi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah dibuat, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah
mencapai tahap akhir dalam pengelolaannya, dimana diawali dari sumber,
pengumpulan, pemindahan atau pengangkutan, serta pengolahan dan
pembuangannya. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara
aman agar tidak menimbulkan kerusakan atau dampak negatif terhadap
lingkungan sekitarnya;
2. Metode-metode yang dapat digunakan dalam pemilihan lokasi TPA adalah:
a.SNI 19-3241-1994;
b.Metode Le Grand;
c. Metode Hagerty.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan makalah yang telah dibuat adalah
pemerintah dan masyarakat hendaknya berpartisipasi dan bekerja sama dalam
mengatasi masalah-masalah tersebut dan memahami metode pemilihan lokasi
TPA yang ada, sehingga dapat menentukan pembuatan lokasi TPA yang baik
dan benar sesuai dngan prosedur yang telah diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, Enri. 2008. Diktat Landfilling Limbah Versi 2008. ITB: Bandung
SNI 03-3241-1994 Tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah
SNI 03-3241-1994 Tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan
Akhir Sampah

More Related Content

What's hot

Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)Joy Irman
 
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...Joy Irman
 
Bangunan Pengolah Air Limbah secara Aerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AerobikBangunan Pengolah Air Limbah secara Aerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AerobikJoy Irman
 
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)Joy Irman
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...Joy Irman
 
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)Joy Irman
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Joy Irman
 
Pengolahan leachate
Pengolahan leachatePengolahan leachate
Pengolahan leachateinfosanitasi
 
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan LumpurPerencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan LumpurJoy Irman
 
Perencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan LumpurPerencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan LumpurJoy Irman
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...Joy Irman
 
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahPersyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahJoy Irman
 
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...Joy Irman
 
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan LumpurPerencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan LumpurJoy Irman
 
SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...
SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...
SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...Muhamad Imam Khairy
 
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara GabunganPerencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara GabunganJoy Irman
 
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Joy Irman
 
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Joy Irman
 

What's hot (20)

Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
 
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
 
Bangunan Pengolah Air Limbah secara Aerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AerobikBangunan Pengolah Air Limbah secara Aerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara Aerobik
 
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Cubluk Kembar - Perencanaan T...
 
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Tahapan Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)
 
Timbulan lindi
Timbulan lindiTimbulan lindi
Timbulan lindi
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
 
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand
Pemilihan Lokasi TPA Metode LegrandPemilihan Lokasi TPA Metode Legrand
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand
 
Pengolahan leachate
Pengolahan leachatePengolahan leachate
Pengolahan leachate
 
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan LumpurPerencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
 
Perencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan LumpurPerencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Teknologi Pengolahan Air Limbah dan Lumpur
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
 
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahPersyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
 
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Penampungan dan Penga...
 
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan LumpurPerencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan Lumpur
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengeringan Lumpur
 
SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...
SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...
SNI 19-7119.9-2005 tentang Udara Ambien - Bagian 9: Penentuan Lokasi Pengambi...
 
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara GabunganPerencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
 
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
 
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
 

Similar to Makalah tlus pemilihan lokasi tpa klp 2

Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)
Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)
Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)Oswar Mungkasa
 
Teknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPA
Teknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPATeknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPA
Teknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPAOswar Mungkasa
 
Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...
Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...
Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...Penataan Ruang
 
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  SampahSpesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir SampahOswar Mungkasa
 
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfillBab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfillSetiyo Pambudi
 
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfillBab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfillmerlin0808
 
11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdf
11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdf11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdf
11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdfFranitaLeonard1
 
LIMBAH PADAT
LIMBAH PADATLIMBAH PADAT
LIMBAH PADATMawar 99
 
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) SampahRehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampahinfosanitasi
 
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...Joy Irman
 
Pemrosesan akhir sampah
Pemrosesan akhir sampahPemrosesan akhir sampah
Pemrosesan akhir sampahinfosanitasi
 
Penutupan dan Rehabilitasi TPA
Penutupan dan Rehabilitasi TPAPenutupan dan Rehabilitasi TPA
Penutupan dan Rehabilitasi TPAJoy Irman
 
journal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasi
journal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasijournal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasi
journal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasiBaso Herwadi
 
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)Nyak Nisa Ul Khairani
 
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA SampahTata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA SampahJoy Irman
 
Teknologi pemanfaatan gas dari tpa
Teknologi pemanfaatan gas dari tpaTeknologi pemanfaatan gas dari tpa
Teknologi pemanfaatan gas dari tpaOswar Mungkasa
 

Similar to Makalah tlus pemilihan lokasi tpa klp 2 (20)

Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)
Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)
Pedoman perencanaan tpa ( metode sanitary landfill)
 
Teknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPA
Teknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPATeknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPA
Teknik operasional Secara Umum Pedoman Pengelolaan TPA
 
Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...
Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...
Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Per...
 
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  SampahSpesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir Sampah
 
Amin ipa
Amin ipaAmin ipa
Amin ipa
 
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfillBab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
 
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfillBab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
Bab4 disain danrekomendasitpa-sanitarylandfill
 
Rencana Tapak TPA.pptx
Rencana Tapak TPA.pptxRencana Tapak TPA.pptx
Rencana Tapak TPA.pptx
 
11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdf
11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdf11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdf
11-BAB 3 METODOLOGI pemilihan tpa metode le grand.pdf
 
LIMBAH PADAT
LIMBAH PADATLIMBAH PADAT
LIMBAH PADAT
 
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) SampahRehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
Rehabilitasi dan Penutupan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Sampah
 
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (...
 
Pemrosesan akhir sampah
Pemrosesan akhir sampahPemrosesan akhir sampah
Pemrosesan akhir sampah
 
Penutupan dan Rehabilitasi TPA
Penutupan dan Rehabilitasi TPAPenutupan dan Rehabilitasi TPA
Penutupan dan Rehabilitasi TPA
 
Rekling08 amdal
Rekling08 amdalRekling08 amdal
Rekling08 amdal
 
journal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasi
journal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasijournal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasi
journal studi reklamasi lahan pasca tambang dengan metode revegetasi
 
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)
Pemilihan Lokasi TPA Metode Legrand (versi PPT)
 
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA SampahTata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah
 
Reklamasi
ReklamasiReklamasi
Reklamasi
 
Teknologi pemanfaatan gas dari tpa
Teknologi pemanfaatan gas dari tpaTeknologi pemanfaatan gas dari tpa
Teknologi pemanfaatan gas dari tpa
 

Recently uploaded

Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.
Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.
Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.aldreyuda
 
medium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdf
medium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdfmedium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdf
medium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdfHeri Wiyono
 
Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...
Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...
Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...MichaelBluer
 
Daftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdf
Daftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdfDaftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdf
Daftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdfTsabitpattipeilohy
 
Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)
Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)
Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)hendriko8
 
Tugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdf
Tugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdfTugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdf
Tugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdfnimrodnapitu
 
SUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).ppt
SUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).pptSUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).ppt
SUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).pptwartonowartono11
 

Recently uploaded (7)

Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.
Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.
Panduan Logging Ringkas Nickel laterite.
 
medium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdf
medium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdfmedium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdf
medium.com-Mengenal Ikatan Supervisi Nasional ISPI Nasional.pdf
 
Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...
Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...
Metode Kerja Borepile utk Proyek Jembantan Hauling Blok III Utara PT AGM Kals...
 
Daftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdf
Daftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdfDaftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdf
Daftar Lembaga Penyedia Jasa Linkungan.pdf
 
Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)
Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)
Ukuran penyebaran data berkelompok (statistika)
 
Tugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdf
Tugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdfTugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdf
Tugas 01 Penjelasan Cara Melakukan Gasifikasi.pdf
 
SUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).ppt
SUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).pptSUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).ppt
SUPERVISOR K3 (MAULANA PANDU PERMANA).ppt
 

Makalah tlus pemilihan lokasi tpa klp 2

  • 1. TEKNIK LAHAN URUG SAMPAH METODA PEMILIHAN LOKASI TPA OLEH: KELOMPOK II ANGGOTA: ICHSAN APRIS (1010942013) ANGGI ALFIONITA (1110942012) VIVIE JUNIKA DAMID (1110942019) MAMIK SURYANI (1110942044) NAILUL HUSNI (1210942010) ELSHA KEMALA. T (1210942029) ZAKY FARNAS (1210942036) DOSEN: SLAMET RAHARJO, Dr. Eng JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2015
  • 2. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap akhir dalam pengelolaannya, dimana diawali dari sumber, pengumpulan, pemindahan atau pengangkutan, serta pengolahan dan pembuangannya. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan kerusakan atau dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan penyediaan fasilitas dan penanganan yang benar agar pengelolaan sampah tersebut dapat terlaksanan dengan baik. Pembuangan limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang sering dilakukan dalam pengelolaan limbah, namun pengolahan limbah dengan cara ini tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengelolaan limbah dengan lahan urug akan tetap menjadi bagian yang sangat sulit untuk dihilangkan dalam pengolahan limbah. Salah satu kendala pembatas dalam penerapan metoda pengurugan limbah dalam tanah (landfilling atau lahan-urug) adalah bagaimana memilih lokasi yang cocok baik dilihat dari sudut kelangsungan pengoperasian, maupun dari sudut perlindungan terhadap lingkungan hidup. Aspek teknis sebagai penentu utama untuk digunakan adalah aspek yang terkait dengan hidrologi dan hidrogeologi site. 1.2 Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui pemilihan lokasi TPA menurut SNI-T-11-1991-03 dan SNI 19-3241-1994? 2. Untuk mengetahui pemilihan lokasi TPA menurut metode Le Grand? 3. Untuk mengetahui pemilihan lokasi TPA menurut metode Hagerty? 1.3 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah: 1. Bagaimana pemilihan lokasi TPA menurut SNI-T-11-1991-03 dan 19-3241- 1994? 2. Bagaimana pemilihan lokasi TPA menurut metode Le Grand?
  • 3. 3. Bagaimana pemilihan lokasi TPA menurut metode Hagerty?
  • 4. BAB II ISI 2.1 Pengertian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Pembuangan akhir sampah (TPA) merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Untuk fase ini dapat menggunakan berbagai metode dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Secara ideal, pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi sebuah landfill adalah didasarkan atas berbagai aspek, terutama (Damanhuri, 2008): − Kesehatan masyarakat; − Lingkungan hidup; − Biaya; dan − Sosio-ekonomi Pertimbangan utama yang harus selalu dimasukkan dalam penentuan lokasi site adalah (EPA 530-R-95-023): − Mempertimbangkan penerimaan masyarakat yang akan terkena dampak; − Konsisten dengan land-use planning di daerah tersebut; − Mudah dicapai dari jalan utama; − Mempunyai tanah penutup yang mencukupi; − Berada pada daerah yang tidak akan terganggu dengan dioperasikan landfill tersebut; − Mempunyai kapasitas tampung yang cukup besar, biasanya 10 sampai 30 tahun; − Tidak memberatkan dalam pendanaan pada saat pengembangan, pengoperasian; − penutupan, pemeliharaan setelah ditutup, dan bahkan biaya yang terkait dengan upaya remediasi; − Rencana pengoperasian hendaknya terkait dengan upaya kegiatan lain yang sangat dianjurkan, yaitu daur-ulang. Di samping aspek-aspek lain yang sangat penting, seperti aspek politis dan legal yang berlaku disuatu daerah atau negara. Aspek kesehatan masyarakat berkaitan langsung dengan manusia, terutama kenaikan mortalitas (kematian), morbiditas (penyakit), serta kecelakaan karena operasi sarana tersebut. Aspek
  • 5. lingkungan hidup terutama berkaitan dengan pengaruhnya terhadap ekosistem akibat pengoperasian sarana tersebut, termasuk akibat transportasi dan sebagainya. Aspek biaya berhubungan dengan biaya spesifik antara satu lokasi dengan lokasi yang lain, terutama dengan adanya biaya ekstra pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan. Aspek sosio-ekonomi berhubungan dengan dampak sosial dan ekonomi terhadap penduduk sekitar lahan yang dipilih. Walaupun dua lokasi yang berbeda mempunyai pengaruh yang sama dilihat dari aspek sebelumnya, namun reaksi masyarakat setempat dengan dibangunnya sarana tersebut bisa berbeda (Damanhuri, 2008). Proses pemilihan lokasi lahan-urug idealnya hendaknya melalui suatu tahapan penyaringan. Dalam setiap tahap, lokasi-lokasi yang dipertimbangkan akan dipilih dan disaring. Pada setiap tingkat, beberapa lokasi dinyatakan gugur, berdasarkan kriteria yang digunakan di tingkat tersebut. Penyisihan tersebut akan memberikan beberapa calon lokasi yang paling layak dan baik untuk diputuskan pada tingkat final oleh pengambil keputusan. Di negara industri, penyaringan tersebut paling tidak terdiri dari tiga tingkat tahapan, yaitu (Damanhuri, 2008): − penyaringan awal; − penyaringan individu; dan − penyaringan final. Penyaringan awal biasanya bersifat regional biasanya dikaitkan dengan tata guna dan peruntukan yang telah digariskan di daerah tersebut. Secara regional, daerah tersebut diharapkan dapat mendefinisikan secara jelas lokasi-lokasi mana saja yang dianggap tidak/kurang layak untuk lokasi pengurugan limbah. Pada taraf ini parameter yang digunakan hanya sedikit. Tahap kedua dari tahap penyisihan ini adalah penentuan lokasi secara individu, kemudian dilakukan evaluasi dari tiap individu. Pada tahap ini tercakup kajian- kajian yang lebih mendalam, sehingga lokasi yang tersisa akan menjadi sedikit. Parameter beserta kriteria yang diterapkan akan menjadi lebih spesifik dan lengkap. Lokasi-lokasi tersebut kemudian dibandingkan satu dengan yang lain, misalnya melalui pembobotan. Ada 3 metode dalam pemilihan lokasi TPA, yaitu (Damanhuri, 2008): − SNI 19-3241-1994 − Metode Le Grand
  • 6. − Metode Hagerty Tahap terakhir adalah tahap penentuan. Penyaringan final ini diawali dengan pematangan aspek-aspek teknis yang telah digunakan di atas, khususnya yang terkait dengan aspek sosio-ekonomi masyarakat dimana lokasi calon berada. Tahap ini kemudian diakhiri dengan aspek penentu, yaitu oleh pengambil keputusan suatu daerah. Aspek ini bersifat politis, karena kebijakan pemerintah daerah/pusat akan memegang peranan penting. Kadangkala pemilihan akhir ini dapat mengalahkan aspek teknis yang telah disiapkan sebelumnya (Damanhuri, 2008). 2.2 Pemilihan Lokasi TPA Menurut SNI 19-3241-1994 Ketentuan Teknis Ketentuan teknis mengatur ketentuan pola ruang pada masing-masing zona, yakni zona penyangga dan zona budi daya terbatas. Penentuan jenis zona yang akan diatur dalam kawasan sekitar TPA sesuai dengan kondisi TPA yang ada, sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum. Pemanfaatan ruang yang diatur dalam pedoman akan berbeda untuk tiap klasifikasi TPA. Ketentuannya adalah sebagai berikut: 2.2.1 TPA Baru atau yang Direncanakan 2.2.1.1 Zona Penyangga 1) Zona penyangga sesuai dengan Pedoman Pengoperasian dan Pemeliharaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan Sistem Controlled Landfill dan Sanitary Landfill dengan jarak 0 – 500 meter. Pemanfaatan lahannya ditentukan sebagai berikut: a. 0 – 100 meter : diharuskan berupa sabuk hijau; dan b. 101 – 500 meter : pertanian non pangan dan hutan. 2) Ketentuan pemanfaatan ruang: a. Sabuk hijau dengan tanaman keras yang boleh dipadukan dengan tanaman perdu terutama tanaman yang dapat menyerap racun dengan ketentuan sebagai berikut: a) Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi dengan tanaman perdu yang mudah tumbuh dan rimbun terutama tanaman yang dapat menyerap bau; dan b) Kerapatan pohon adalah minimum 5 m.
  • 7. b. Pemrosesan sampah utama on situ. c. Instalasi pengolahan sampah menjadi energi, atau instalasi pembakaran (incenerator) bersama unit pengelolaan limbahnya. d. Kegiatan budi daya perumahan tidak diperbolehkan pada zona penyangga. 3) Kriteria teknis: a. Tidak menggunakan air tanah setempat dalam kegiatan pengolahan sampah; b. Ketersediaan sistem drainase yang baik; dan c. Ketersediaan fasilitas parkir dan bongkar muat sampah terpilah yang akan didaur ulang di lokasi lain. 4) Pengelolaan: a. Jalan masuk ke TPA, sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Bina Marga, dipersyaratkan: a) Dapat dilalui truk sampah dua arah dengan lebar badan jalan minimum 7 meter; b) Jalan kelas I dengan kemampuan memikul beban 10 ton dan kecepatan 30 km/jam. b. Drainase permanen terpadu dengan jalan dan bila diperlukan didukung oleh drainase lokal tak permanen. c. Sabuk hijau yang dimaksudkan untuk zona penyangga adalah ruang dengan kumpulan pohon dan bukan sekedar deretan pohon yang bila dimungkinkan mempunyai nilai ekonomi. d. Tanaman yang direkomendasikan adalah yang sesuai dengan kondisi alam setempat, termasuk iklim, rona fisik, dan kondisi lapisan tanah. Spesies yang direkomendasikan termasuk: a) Callophyllum Inophyllum L. Nama lokal: Nyamplung, Bintangur laut. Famili: Guttiferae. Tinggi sampai 20 meter. b) Dalbergia Latifotia Roxb. Nama lokal: Sonokeling. Famili: Leguminosae. Bentuk mahkota bulat dan letaknya kurang dari 5.00 meter. c) Michelia Champaca L. Nama lokal: Cempaka kuning. Famili: Magnoliaceae. Berbunga kuning dan wangi sehingga cocok untuk TPA yang terletak pada lokasi padat atau pada bagian dari lokasi pariwisata.
  • 8. d) Mimusop Elengi L. Nama lokal: Tanjung. Famili: Sapotaceae. Tinggi kira-kira 13-27 meter. e) Schleichera Trijuga Willd. Nama lokal: Kesambi. Famili: Sapindaceae. Tinggi kira-kira 25 meter. Mahkota berbentuk bulat dan letaknya kurang dari 5 meter. f) Swietenia Mahagoni Jacq. Nama lokal: Mahoni. Tinggi 10-30 meter. 2.2.1.2 Zona Budi Daya Terbatas 1) Zona budi daya terbatas untuk TPA baru dengan sistem pengurugan berlapis bersih tidak diperlukan. 2) Zona budi daya terbatas untuk sistem pengurugan berlapis terkendali ditentukan sejauh 0 – 300 meter dari batas terluar zona inti. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: a. Rekreasi dan RTH;Industri terkait pengolahan sampah; b. pengolahan kompos, pendaurulangan sampah, dan lain-lain; c. Pertanian non pangan; d. Permukiman di arah hulu TPA bersangkutan diperbolehkan dengan persyaratan tertentu untuk menghindari dampak pencemaran lindi pada daerah hilir TPA. Persyaratan tersebut termasuk sistem drainase yang baik, penyediaan air bersih yang tidak bersumber dari air tanah setempat; e. Fasilitas pemilahan, pengemasan, dan penyimpanan sementara. 3) Kriteria teknis: a. Tersedia akses dan jaringan jalan yang baik; b. Tersedia drainase yang memadai; c. Tersedia sistem pembuangan limbah cair yang baik untuk fasilitas- fasilitas pengolahan sampah yang menghasilkan limbah; d. Tersedia pasokan air dan tidak menggunakan air tanah setempat dalam proses produksi dan kegiatan penunjang lain di dalam kawasan; e. Tersedia parkir dan bongkar muatan sampah dan muat sampah terpilah yang akan didaur ulang di lokasi lain; f. Lebar jalan dan ruang terbuka memungkinkan manuver kendaraan pengangkut sampah dua arah, baik yang sedang bergerak, maupun yang sedang membongkar muatan; g. Penggunaan lahan pada zona budi daya terbatas.
  • 9. 2.2.1.3 Zona Budi Daya Pola ruang dalam zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang berlaku, RDTR dan peraturan zonasi yang telah ditetapkan untuk kawasan bersangkutan. 2.2.2 TPA Lama atau yang Sedang Dioperasikan 2.2.2.1 Zona Penyangga 1) Zona penyangga telah tersedia dalam TPA. 2) Pada TPA yang belum memiliki zona penyangga ditetapkan zona penyangga pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA dengan pemanfaatan sebagai berikut: a. 0 – 100 meter diharuskan berupa sabuk hijau; b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan. 2.2.2.2 Zona Budi Daya Terbatas 1) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan pada TPA lama yang menggunakan sistem pengurugan berlapis bersih. 2) Zona budi daya terbatas ditentukan pada TPA lama yang menggunakan sistem pengurugan berlapis terkendali pada jarak 501 – 800 meter dari batas terluar tapak TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: a. Rekreasi dan RTH; b. Industri terkait sampah; c. Pertanian non pangan; dan d. Permukiman di arah hilir bersyarat. e. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khusus untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah. 2.2.2.3 Zona Budi Daya Zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah: RTRW, RDTR dan peraturan zonasi dengan memperhatikan kembali kesesuaian pemanfaatan ruang dan aktifitas pada zona budidaya terhadap potensi dampak yang ditimbulkan dari kegiatan TPA sesuai dengan ketentuan khusus.
  • 10. 2.2.3 TPA Pascalayan 2.2.3.1 Penambangan Sampah untuk Diolah In Situ dan Gasnya 1) Zona penyangga ditentukan pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA, dengan pola ruang sebagai berikut: a. 0 – 100 m : sabuk hijau tanaman keras dan perluasan instalasi pengolahan sampah; dan b. 101 – 500 m : pertanian tanaman non pangan. 2) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan. 3) Zona budi daya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. 2.2.3.2 Pemanfaatan Kembali sebagai TPA 1) Zona penyangga ditentukan pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA, dengan pola ruang sebagai berikut: a. 0 – 100 m : sabuk hijau tanaman keras dan perluasan instalasi pengolahan sampah; dan b. 101 – 500 m : pertanian tanaman non pangan. 2) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan baik pada TPA yang akan digunakan kembali dengan sistem maupun pengurugan berlapis bersih. 3) Zona budi daya terbatas pada TPA yang akan digunakan kembali dengan sistem pengurugan berlapis terkendali ditentukan pada jarak 501-800 meter. Pola ruang adalah sebagai berikut: a. Rekreasi dan RTH; b. Industri terkait sampah; c. Pertanian non pangan; dan d. Permukiman di arah hilir bersyarat. 4) Zona budi daya ditentukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. 5) Penentuan jarak dan zona bersifat fleksibel mengikuti hasil kajian dampak TPA terhadap sekitarnya. 2.2.3.3 Penggunaan Lain 1) Di dalam TPA diatur menurut pedoman yang ada. 2) Industri konversi energi sampah dan penambangan sampah akan mengikuti ketentuan pada kawasan industri. 3) TPA baru boleh dipakai untuk keperluan lain setelah berusia 20 tahun tanpa persyaratan khusus.
  • 11. Ketentuan Khusus 1) Untuk dapat menyelenggarakan penataan ruang yang sesuai pada zona penyangga dan budi daya terbatas yang telah dihuni oleh masyarakat atau telah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, maka kepada masyarakat akan diberikan kompensasi. 2) Pada kawasan yang masuk ke dalam zona penyangga dilakukan relokasi. 3) Pada kawasan yang masuk ke dalam zona budi daya terbatas, apabila memungkinkan untuk mengosongkan lahan tersebut, maka dilakukan relokasi. 4) Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan relokasi, permukiman yang berada pada kawasan tersebut harus mengikuti peraturan yang disesuaikan dengan kebijakan lokal melalui: a. Arahan pengenaan insentif dan disinsentif dalam meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang; b. Memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rtrw, rdtr, dan peraturan zonasi; dan c. Meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penataan ruang. 5) Insentif diberikan untuk mendorong dilakukannya relokasi pemanfaatan budidaya di kawasan tersebut dan memberikan eksternalitas positif keberadaan TPA di kawasan tersebut terhadap wilayah sekitarnya berupa: a. Pemberian kompensasi; b. Imbalan; c. Sewa lahan dan urun saham; d. Penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur; e. Kemudahan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pemerintah; dan/atau f. Kemudahaan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh Pemerintah Daerah penerima manfaat kepada investor yang berasal dari Daerah pemberi manfaat. 6) Disinsentif diberikan untuk menghambat dan membatasi kegiatan dalam zona budidaya kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak negatif kepada lingkungan dan masyarakat, berupa:
  • 12. a. Kewajiban pemberian kompensasi; b. Pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pemerintah; c. Kewajiban membayar imbalan; d. Pembatasan penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur; dan/atau e. Pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pemerintah daerah penerima manfaat kepada investor yang berasal dari Daerah pemberi manfaat. 7) Dalam menjaga tertib dan tegaknya peraturan dalam mengatasi pelanggaranan penyelenggaraan penataan ruang di kawasan sekitar TPA diberlakukan pengenaan sanksi terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau izin pemanfaatan ruang khususnya dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya. Tata cara pengenaan saksi terhadap pelanggaraan penyelenggaraan penataan ruang berupa: peringatan tertulis; penghentian kegiatan sementara; penghentian sementara pelayanan umum; penutupan lokasi; pencabutan izin; penolakan izin; pembatalan izin; pembongkaran bangunan; pemulihan fungsi ruang 8) Pemberian insentif disinsentif dan sanksi dilakukan dalam jangka waktu tertentu selama kawasan tersebut mendapatkan efek negatif dari keberadaan TPA, yang dibuktikan dengan kajian lingkungan yang menunjukkan terdapatnya hal-hal berikut: a. Kondisi air tanah yang buruk, tidak sesuai dengan standar baku mutu air bersih; b. Padatnya populasi vektor penyakit yang diduga kuat berasal dari TPA, seperti lalat dan tikus; c. Buruknya kualitas udara akibat dari proses pengelolaan sampah; dan d. Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh TPA. 2.3 Pemilihan Lokasi TPA Menurut SNI-T-11-1991-03 Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut. Kriteria Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau zona tidak layak sebagai berikut:
  • 13. a. Kondisi geologi: tidak boleh di zona bahaya geologi. b. Kondisi hidrogeologi: 1). Tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter 2). Tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det 3). Jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran. 4). Dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka harus diadakan masukan teknologi. c. Kemiringan zona harus kurang dari 20%. d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain. e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan perioda ulang 25 tahun. 2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut: a. Iklim. 1). Hujan: intensitas hujan makin kecil dinilai makin banyak. 2). Angin: arah angin dominan tidak menuju ke pemukiman dinilai makin baik. b. Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik. c. Lingkungan biologis. 1). Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik. 2). Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik d. Kondisi tanah. 1). Produktifitas tanah: tidak produktifitas dinilai lebih tinggi. 2). Kapasitas dan unsur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih baik. 3). Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup, dinilai lebih baik. 4). Status tanah: makin bervariasi dinilai tidak baik. e. Demografi: kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik. f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik. g. Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik. h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik.
  • 14. i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik. j. Ekonomi: semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3 /ton) dinilai semakin baik. 3. Kriteria penetapan yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku. 2.4 Pemilihan Lokasi TPA Menurut Metoda Le Grand Metode “numerical rating” menurut Le Grand yang telah dimodifikasi oleh Knight, telah digunakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, guna evaluasi pendahuluan dari lokasi pembuangan limbah di Indonesia. Parameter utama yang digunakan dalam analisis ini adalah: 1. Jarak antara lokasi (sumber pencemaran) dengan sumber air minum; 2. Kedalaman muka air tanah terhadap dasar lahan-urug; 3. Kemiringan hidrolis air tanah dan arah alirannya dalam hubungan dengan pusat sumber air minum atau aliran air sungai; 4. Permeabilitas tanah dan batuan; 5. Sifat-sifat tanah dan batuan dalam meredam pencemaran; 6. Jenis limbah yang akan diurug di sarana tersebut. Metode Le Grand ini terdiri dari 4 tahap, yaitu: Tahap 1: deskripsi hidrogeologis lokasi (Langkah ke 1 sampai ke 7); Tahap 2: derajat keseriusan masalah (Langkah ke 8); Tahap 3: gabungan tahap 1 dan tahap 2 (Langkah ke 9); dan Tahap 4: penilaian setelah perbaikan (Langkah ke 10). Untuk menentukan score masing-masing tahap tersebut digunakan tabulasi seperti terlihat dalam langkah-langkah di bawah ini. Contoh: Suatu calon lokasi landfilling sampah kota memiliki data sebagai berikut: • Batas lokasi landfill secara horizontal akan berjarak 20 m dari sumur penduduk; • Kedalaman muka air tanah dari data bor adalah 14 m; • Gradien kemiringan 1,5% menuju searah aliran air yang menuju sumur;
  • 15. • Dari analisa ayakan, campuran lempung dan pasir = 40% dan merupakan tanah impermeable dengan ketebalan 10-12 m; • Tingkat keakuratan data baik. Kemampuan sorpsi dan permeabilitas: batuan dasar merupakan lapisan impermeabel (I) dengan lempung dan pasir <50% dengan kedalaman 10-14 m, sehingga nilai = 2. Langkah 5: Parameter 5, yaitu tingkat keakuratan/ketelitian data, yaitu: A = kepercayaan terhadap nilai parameter: akurat B = kepercayaan terhadap nilai parameter: cukup C = kepercayaan terhadap nilai parameter: tidak akurat Karena dalam contoh data yang diperoleh berasal dari data obeservasi dan pengukuran langsung di lapangan, maka tingkat kepercayaan terhadap nilai parameter dianggap akurat, sehingga nilai = A. Langkah 6: Parameter 6.1: sumber air sekitar lokasi
  • 16. W = jika yang akan tercemar sumur (well) S = jika yang akan tercemar mata air (spring) atau sungai (stream) B = jika yang akan tercemar daerah lain (boundary) Sumber air sekitar lokasi yang mungkin tercemar karena adanya sarana ini adalah sumur. Dengan demikian Nilai = W. Parameter 6.2: informasi tambahan tentang calon lokasi: C : memerlukan kondisi khusus yang memerlukan komentar D : terdapat kerucut depresi pemompaan E : pengukuran jarak titik tercemar dilakukan dr pinggir calon lokasi F : lokasi berada pada daerah banjir K : batuan dasar calon lokasi adalah karst M : terdapat tampungan air di bawah timbunan sampah P : lokasi mempunyai angka perkolasi yang tinggi Q : akuifer dibawah calon lokasi adalah penting dan sensitif R : pola aliaran air tanah radial sampai sub radial T : muka air tanah pada celah/retakan/rongga batuan dasae Y : terdapat satu atau lebih akuifer tertekan Informasi tambahan tentang calon lokasi adalah berada pada lokasi banjir (F), sedang akuifer di bawah calon lokasi adalah penting dan sensitif (Q), dan terdapat satu atau lebih akuifer tertekan di bawahnya (Y). Nilai menjadi = FQY. Langkah 7: Rekapitulasi deskriptif hidrogeologi dari langkah-langkah di atas adalah menjumlah nilai yang diperoleh yaitu = 15. Nilai penjumlahan tersebut kemudian dibandingkan dengan standar kondisi hidrogeologi seperti tercantum dalam Tabel 2.2. Dengan demikian maka site tersebut dari sisi hidrogeologi merupakan site yang “baik” dengan nilai = C.
  • 17. Tabel 2.2 Penilaian Kondisi Hidrogeologi Langkah 8: Derajat kepekaan akuifer dan jenis limbah Gambar 2.1 Derajat Keseriusan dan Potensi Bahaya Tahap ini menggambarkan derajat keseriusan yang disajikan dalam bentuk matrik yang menggabungkan kepekaan akuifer dengan tingkat bahaya limbah yang akan diurug/ditimbun. Jenis akuifer dipilih pada ordinat sumbu-Y, yaitu
  • 18. mulai dari liat berpasir yang dianggap tidak sensitif sampai batu kapur yang dianggap sangat sensitif. Sedangkan tingkat keseriusan pencemar, yang dipilih pada absis sumbu-X, akan tergantung pada jenis limbah yang masuk, mulai dari limbah inert yang tidak berbahaya sampai limbah B-3. Titik pertemuan garis yang ditarik dari sumbu-X dan sumbu-Y tersebut menggambarkan derajat keseriusan pencemaran, mulai dari relatif rendah (A) sampai sangat tinggi (I). Derajat keseriusan tersebut dibagi dalam 9 katagori. Dari data contoh di atas, calon lokasi mempunyai tingkat derajat keseriusan agak tinggi (E). Langkah 9: Tahap ini merupakan penggabungan langkah 1 sampai 4 dengan langkah 8. Posisi grafis yang digunakan pada langkah 9 digunakan kembali. Dari posisi lokasi tersebut dapat diketahui peringkat situasi standar yang dibutuhkan agar akuifer tidak tercemar. Peringkat ini dinyatakan dalam PAR (protection of aquifer rating). Hasil pengurangan PAR dari deskripsi numerik lokasi, digunakan untuk menentukan tingkat kemungkinan pencemaran yang akan terjadi. Nilai-nilai lempung pasir PAR dalam zone-zone isometrik diperoleh berdasarkan pengalaman empiris yang menyatakan nilai permeabilitas serta sorpsi yang tidak boleh terlampaui agar akuifer tidak tercemar: • Dari langkah 1 sampai 4 diperoleh nilai berturut-turut : 7-3-3-2 • Dari langkah 9, diperoleh PAR = 14-4 maka penggabungannya adalah: Nilai tersebut (= -1) dibandingkan dengan daftar dalam Tabel 2.3 di bawah ini. Situasi peringkat menghasilkan nilai = C, artinya kemungkinan pencemaran sulit terkatagorikan, dan derajat penerimaannya adalah “terima” atau “ditolak”. Tabel 2.3 Situasi Peringkat Nilai
  • 19. Langkah 10: Langkah ini digunakan bila pada lokasi dilakukan tersebut dilakukan masukan teknologi untuk mengurangi dampak pencemaran yang mungkin terjadi, sehingga diharapkan terjadi pergeseran nilai PAR. Perubahan dilakukan dengan memperbaiki kondisi pada langkah 8, sehingga PAR di langkah 9 juga akan berubah. Masukan teknologi yang mungkin diterapkan pada lokasi ini untuk mengurangi potensi bahaya pencemaran antara lain: 1. Desain saluran drainase di sekitar lokasi dengan baik dimana meminimalisasi air hujan yang akan masuk ke area landfill seminimal mungkin pula; 2. Pembuatan lapisan dasar (liner) yang dapat dilakukan dengan beberapa lapisan pelindung seperti geomembran dengan tujuan agar lindi yang timbul tidak akan merembes ke dalam ailiran air tanah; 3. Desain pipa lindi yang memungkinkan air lindi dapat terkumpul; 4. Adanya instalasi pengolahan air lindi sebelum dibuang ke badan air penerima 2.4 Pemilihan Lokasi TPA Menurut Metoda Hagerty Evaluasi dengan metode ini mengandalkan pada tiga karakteristik umum dari sebuah lahan, yaitu (Damanhuri, 2008): 1. Potensi infiltrasi air eksternal ke dalam sub-permukaan, 2. Potensi transportasi cemaran menuju air tanah, 3. Mekanisme lain yang berkaitan dengan transportasi cemaran ke luar Pertimbangan yang digunakan dalam sistem pembobotan ini adalah (Damanhuri, 2008): 1. Parameter-parameter yang langsung berpengaruh pada transmisi cemaran dianggap sebagai parameter dengan prioritas pertama, misalnya potensi infiltrasi, potensi bocornya dasar lahan-urug, dan kecepatan air tanah. Nilai maksimum adalah 20 SRP (satuan rangking prioritas). 2. Parameter-parameter yang mempengaruhi transportasi cemaran setelah terjadinya kontak dengan air dianggap sebagai prioritas kedua, seperti kapasitas penyaringan dan kapasitas sorpsi. Nilai maksimum adalah 15 SRP. 3. Parameter-parameter yang mewakili kondisi awal dari air tanah dikenal sebagai prioritas ketiga. Nilai maksimum adalah 10 SRP. 4. Parameter-parameter yang mewakili faktor-faktor lain, dikenal sebagai prioritas keempat, seperti jarak potensi cemaran, arah angin dan populasi penduduk. Nilai maksimum adalah 5 SRP.
  • 20. Rangking suatu lokasi dihitung berdasarkan penjumlahan parameter yang dinilai secara individual, yaitu (Damanhuri, 2008): 1. Infiltrasi Ip + Lp + Fc + Ac + Oc + Bc + Td + Gv + Wp + Pf dimana : Ip = potensi infiltrasi Lp = potensi keretakan dasar Fc = kapasitas filtrasi Ac = kapasitas adsorpsi Oc = potensi kandungan organik dalam air Bc = kemampuan kapasitas penyangga Td = potensi jarak tempuh cemaran Gv = kecepatan air tanah Wd = arah dominan angin Pf = faktor penduduk Potensi infiltrasi (Ip) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): dimana: i = infiltrasi ( % dari rata-rata hujan tahunan) FC = kapasitas penahan air bervariasi antara 0,05 (pasir) sampai 0,40 (liat) H = ketebalan tanah penutup (inch) 2. Potensi keretakan dasar (Lp) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): dimana: K = koefisien permeabilitas (cm/det) T = ketebalan dasar (ft) 3. Kapasitas filtrasi (Fc) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): dimana: φ = diameter rata-rata butiran (inch) 4. Kapasitas adsorpsi (Ac) dihitung dengan (Damanhuri, 2008):
  • 21. dimana: Or = kandungan organik tanah (% berat kering) KTK = kapasitas tukar kation (mev/100 gr) 5. Kapasitas organik dalam air tanah (Oc) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): Oc = 0,2 BOD dimana: BOD = kebutuhan oksigen secara biokimia (mg/L) 6. Kapasitas penyangga air tanah (Bc) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): Bc = 10 - Nme dimana: Nme = nilai terkecil kebutuhan asam atau basa untuk menurunkan pH air sampai 4,5 atau sampai 8,5 (mev) 7. Potensi jarak tempuh cemaran (Td) dihitung seperti Tabel 3.4 di bawah ini (Damanhuri, 2008): Tabel 2.4: Jarak tempuh cemaran Jarak diukur dari dari lokasi lahan-urug ke muka air tanah di bawahnya, atau ke air permukaan lainnya. 8. Potensi kecepatan air tanah (Gv) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): dimana : S = kemiringan hidrolis (ft/mil)
  • 22. K = permeabilitas (cm/det) 9. Potensi arah angin (Wp) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): dimana : Ai = sudut arah angin potensial terhadap populasi Pi = populasi di setiap kuadran (jiwa) dalam jarak 40 km 10. Faktor populasi (Pf) dihitung dengan (Damanhuri, 2008): Pf = log p dimana : p = populasi terbesar (jiwa) pada radius 40 km. Kelebihan Metoda Hagerty dibandingkan metoda lain adalah : 1. Parameter-parameter yang dievaluasi cukup luas, meliputi aspek-aspek penting diantaranya: potensi infiltrasi yang menunjukkan potensi air yang masuk ke dalam tempat pembuangan limbah, kapasitas organik dalam air tanah yang menggambarkan transmutasi cemaran yang berkontak dengan air tanah serta arah dan kecepatan angin untuk mengantisipasi potensi dampak dari TPA terhadap kualitas udara di sekitarnya. 2. Menggunakan sistem pembobotan dengan empat level prioritas yang berbeda, disesuaikan dengan tingkat kepentingan dari parameter-parameter yang ditinjau yaitu parameter-parameter yang langsung berpengaruh pada transmisi cemaran, parameter-parameter yang mempengaruhi transportasi cemaran setelah kontak dengan air, parameter-parameter yang mewakili kondisi awal dari air tanah dan parameter yang mewakili faktor-faktor lain seperti; jarak potensi cemaran, arah angin dan populasi penduduk Kelemahan metoda ini dibandingkan metoda lain adalah : 1. Memerlukan biaya lebih mahal dari pada metoda SNI T-11-1991-03, karena selain pengukuran di lapangan juga perlu dilakukan analisis laboratorium untuk pengukuran contoh tanah dan air tanah masing-masing lokasi. 2. Lokasi yang dikaji merupakan lokasi hasil dari tahap regional dengan metoda SNI T-11-1991-03, metoda ini tidak mempunyai kajian pendahuluan seperti pada tahap regional yang terdapat dalam metoda SNI T-11-1991-03. 3. Dalam analisis terhadap arah angin, arah angin yang digunakan adalah arah angin regional. Arah angin ini dirasakan tidak mewakili keadaan yang
  • 23. sebenarnya di lokasi usulan karena terlalu global. Selain itu populasi yang diperhitungkan adalah pada radius 40 km. Hal ini dianggap terlalu besar, karena diperkirakan konsentrasi cemaran yang terbawa angin akan semakin kecilsehingga tidak mengganggu. Tingkat keterganggguan yang paling besar yang mungkin terjadi adalah pada populasi yang berada di sekitar lokasi TPA. 4. Pada metoda Hagerty tidak terdapat kajian tentang batas administrasi dari lokasi, kapasitas lahan dan jalan menuju lokasi.
  • 24. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan Berdasarkan makalah yang telah dibuat, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap akhir dalam pengelolaannya, dimana diawali dari sumber, pengumpulan, pemindahan atau pengangkutan, serta pengolahan dan pembuangannya. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan kerusakan atau dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya; 2. Metode-metode yang dapat digunakan dalam pemilihan lokasi TPA adalah: a.SNI 19-3241-1994; b.Metode Le Grand; c. Metode Hagerty. 3.2 Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan makalah yang telah dibuat adalah pemerintah dan masyarakat hendaknya berpartisipasi dan bekerja sama dalam mengatasi masalah-masalah tersebut dan memahami metode pemilihan lokasi TPA yang ada, sehingga dapat menentukan pembuatan lokasi TPA yang baik dan benar sesuai dngan prosedur yang telah diterapkan.
  • 25. DAFTAR PUSTAKA Damanhuri, Enri. 2008. Diktat Landfilling Limbah Versi 2008. ITB: Bandung SNI 03-3241-1994 Tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah SNI 03-3241-1994 Tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah