1. Bab I Pendahuluan
Kebijakan pemerintah mengenai penanggulangan kemiskinan masih bersifat
terpusat, sehingga program yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
atau daerah tertentu. Sehingga banyak program penanggulangan kemiskinan yang
menempatkan masyarakat sebagai obyek, akibatnya masyarakat kurang berpartisipasi
secara aktif dalam menggali potensi dirinya dan lingkungannya untuk keluar dari
kemiskinan.
Selain itu program-program yang dilaksanakan cenderung bersifat sektoral
yang sering kali mengakibatan adanya semangat ego-sektoral dan saling tumpang
tindih. Keadaan ini lebih dipersulit karena umumnya tiap departemen atau instansi
mempunyai definisi dan kreteria sendiri tentang kemiskinan. Akibatnya kemiskinan
cenderung dipahami secara parsial, dan penanggulangannya cenderung bersifat
sektoral. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya menjaga kontinuitas program dan
cenderung membuat program baru, dimana program baru tersebut bukan merupakan
kelanjutan program lama.
Berangkat dari kegagalan dari program penanggulangan kemiskinan
sebelumnya, maka diperlukan strategi atau model program penanggulangan yang
kemiskinan yang pada prinsipnya menjadikan masyarakat miskin sebagai subyek. Untuk
itu diperlukan model yang bisa: pertama, mendidik masyarakat miskin untuk terus
menerus menemukenali potensi yang dimiliki baik individu, keluarga, maupun
lingkungan (keterampilan, material, dan sumberdaya alam) sebagai modal dasar untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sehingga dengan mengenali potensi tersebut,
akan mendorong tumbuhnya rasa percaya diri mereka akan kemampuannya untuk lepas
dari belenggu kemiskinan. Kedua, model tersebut juga harus mampu menyadarkan
bahwa tidak akan ada seseorang/lingkungan yang dapat keluar dari kemiskinan,
melainkan atas usaha orang/keluarga/lingkungan itu sendiri serta memberikan
pemahaman bahwa masalah penanggulangan kemiskinan merupakan tugas dan
tanggungjawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Perumusan masalah
1. Bagaimana pengembangan model penanggulangan kemiskinan
2. Bagaimana peta sebaran penduduk miskin serta identifikasi penyebab
masyarakat miskin di Kota Malang, Pasuruan dan Sidoarjo
1
2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana permasalahan kemiskinan berdasarkan pada kondisi geografi dan
topografi wilayah.
2. Bagaimana permasalahan kemiskinan berdasarkan persoalan sikap seseorang
atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya atau yang disebeut
dengan kemiskinan kultural
3. Bagaimana permasalahan kemiskinan berdasarkan pada aspek struktural atau
dampak dari kebijakan pembangunan perkotaan.
Bab II Studi Pustaka
2.1 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius. Langkah
awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah mengidentifikasi apa
sebenamya yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan dan bagaimana
mengukurnya. Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda
pula. Setelah itu, dicari faktor-faktor dominan (baik yang bersifat kultural maupun
struktural) yang menyebabkan kemiskinan. Langkah berikutnya adalah mencari solusi
yang relevan untuk memecahkan problem dengan cara merumuskan strategi
mengentaskan kelompok miskin atau masyarakat miskin.
Kemiskinan menurut Sharp (1996), dari sisi ekonomi penyebabnya dibagi
menjadi tiga yaitu: Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidak
samaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang
timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya alam jumlah terbatas dan
kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumberdaya
manusia. kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah,
yang pada gilirannya upahnya randah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini
karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau
karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam akses modal.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan telah
banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Sumarto (2002) dari
SMERU Research Institute. Penelitian ini melakukan studi pada 100 desa selama
2
3. periode Agustus 1998 hingga Oktober 1999. Berdasarkan hasil studi tersebut ada
beberapa hal yang menjadi temuan berkaitan dengan penanggulangan kemiskian antara
lain:
- Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara pertumbuhan dan kemiskinan.
Artinya ketika perekonomian tumbuh, kemiskinan berkurang; namun ketika
perekonomian mengalami kontraksi pertumbuhan, kemiskinan meningkat lagi.
- Pertumbuhan tidak mengurangi kemikinan secara permenen. Walaupun terjadi
pertumbuhan dalam jangka panjang selama periode sebelum krisis, banyak
masyarakat yang tetap rentan terhdap kemiskinan. Oleh arena itu, manajemen
kejutan (management of shocks) dan jaring pengaman harus diterapkan.
- Pertumbuhan secara kontemporer dapat mengurangi kemiskinan. Sehingga
pertumbuhan yang berkelanjutan penting untuk mengurangi kemiskinan.
- Pengurangan ketimpangan mengurangi kemiskinan secara signifikan. Sehingga
sangat untuk mencegah pertumbuhan yang meningkatkan ketimpangan.
- Memberikan hak atas properti dan memberikan akses terhadap kapital untuk
golongan masyarakat miskin dapat mengurangi kesenjangan, merangsang
pertumbuhan, dan mengurangi kemiskinan.
2.2 Pendekatan Ilmiah Masalah Kemiskinan
Tiga pendekatan ilmiah yang cukup popular di dalam memahami masalah
kemiskinan (Ancok, dalam Dewanta,1999( ialah pendekatan kultural pendekatan
situasional dan pendekatan interaksional
2.2.1 pendekatan kultural
Tokoh utama yang menggunakan pendekatan kultural ialah Oscar Lewis (1966).
Dengan konsep cultural poverty Lewis berpendapat bahwa keamiskinan adalah suatu
budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi (economic depretiation) yang
berlangsung lama. Berdasarkan penelitian pada beberapa kebudaya kelompok etnik
Lewis menemukan bahwa kemiskinan adalah salah satu sub-kultur masyarakat yang
mempunyai kesamaan ciri antar etnik satu dengan etnik yang lain. Akar dari timbulnya
budaya miskin tersebut menurut pendapat Lewis adalah keadaan masyarakat yang
mempunyai siri-siri berikut :
Sistem perekonomian yang terlalu berorientasi pada mencari keuntungan
Tingginya angka pengangguran dan angka under employment bagi golongan
yang tidak punya keahlian
Rendanya upah/gaji yang diperoleh pekerja
3
4. Tidak adanya organisasi sosial, politik dan ekonomi bagi kaum miskin baik yang
didirikan oleh pemerintah maupun oleh swadaya masyarakat
Hadirnya sistem kekeluargaan yang bilateral yang menggantikan sistem yang
unilateral
Hadirnya kelas masyarakat yang dominan yang menekankan pada penumpukan
harta dan kekayaan, kesempatan untuk terus meningkat dalam status . anggota
kelas masyarakat ini beranggapan bahwa kemiskinan disebabkan oleh karena
sifat pribadi yang lemah dan inferior
Menurut Lewis (1966) budaya keniskinan adalah suatu cara yang dipakai oleh orang
miskin untuk beradaptasi dan bereaksi terhadap posisi mereka yang marginal dalam
masyarakat yang memiliki kelas-kelas dan bersifat individualistic dan kapitalistik. Budaya
kemiskinan adalah desain kehidupan bagi orang-orang miskin yang bersisikan
pemecahan problem – problem hidup mereka, yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya
Dalam menggambarkan cara hidup orang yang berada dalam budaya kemiskinan
Lewis memformulasikan serangkaian sifat-sifat ekonomi, sosial dan psikologi yang
berkaitan satu dengan yang lainnya. Ciri pokok dari orang-orang yang idup dalam
budaya kemiskinan adalah kurangnya partisipasi yang efektif dalam ingrative dalam
institusi-institusi penting yang ada dalam masyarakat, karena sebagian besar yang buta
huruf dan berpendidikan rendah serta kekurangan uang. Kehidupan mereka yang serba
kekurangan, kondisi tempat tinggal yang sangat menyedihkan, kesumpekan tempat
tinggal, kekurangan makanan dan pakaian telah mempengaruhi aspek psikologis
mereka.
Kehidupan seksual yang agak bebas, penelantaran anakn, kurangnya fasilitas
pendidikan, tidak memungkinkan untuk mendidik anakanya ke arah pertumbuhan yang
baik. Orang-orang yang dibesarkan dalam budaya kemiskinan mempunyai ciri-ciri
kepribadian antara lain ; merasa diri mereka tidak berguna, penuh denga keputusasaan,
merasa inferior, sangat dependent terhadap orang lain. Orang miskin tersebut juga tidak
mempunyai kepribadian yang kuat, kurang bisa mengontrol diri, mudah impulsive, dan
sangat berorientasi pada masa kini tanpa memikirkan masa depan.
Untuk menghilangkan budaya kemiskinan tersebut Lewis menyarankan agar
orang-orang miskin bersatu dalam organisasi. Lewis (1966) menulis dalam buku The
Study of Slum Culture:Bacgrounds for la Vida, seperti berikut ; ”setiap gerakan, baik itu
4
5. gerakan yang bersifat religius, pasifis, ataupun revolusioner yang mengorganisasikan
dan memberikan harapan bagi si miskin dan secara efektif mempromosikan solidaritas
dan perasaan identitas yang sama dengan kelompok masyarakat yang lebih luas, akan
dapat menghancurkan sifat-sifat utama yang merupakan ciri orang-orang dari budaya
kemiskinan”
2.3 Model Solusi Kemiskinan
Pengalaman di negara-negara Asia menunjukkan berbagai model mobilisasi
perekonomian pedesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu: Pertama, mendasarkan
pada mobilitas tenaga kerja yang masih belum didaya gunakan (idle) dalam rumah
tangga petani gurem agar terjadi pembentukan modal di pedesaan (Nurkse, 1953).
Tenaga kerja yang masih belum didayagunakan pada rumah tangga petani kecil dan
gurem merupakan sumberdaya yang tersembunyi dan potensi tabungan. Alternatif cara
untuk memobilisasi tenaga kerja dan tabungan pedesaaan adalah: 1) menggunakan
pajak langsung atas tanah, seperti yang dilakukan di Jepang. 2) dilakukan dengan
menyusun kerangka kelembagaan di pedesaan yang memungkinkan tenaga kerja yang
belum didayagunakan untuk pemupukan modal tanpa perlu menambah upah. Ini persis
yang dilakukan Cina yang menerapkan sistem kerjasama kelompok dan brigades
ditingkat daerah yang paling rendah (communes). Dengan metode ini ternyat
memungkinkan adanya kenaikan yang substansial dalam itensitas tenaga kerja dan
produktivitas tenaga kerja.
Model kedua, menitik beratkan pada tranfer daya dari pertanian ke industri
melalui mekanisme pasar (Fei & Gustav, 1964). Ide bahwa penawaran tenaga kerja
yang tidak terbatas dari rumah tangga petani kecil dapat meningkatkan tabungan dan
formasi modal lewat proses pasar. Pengalaman Taiwan menyajikan contoh yang baik
atas mobilisasi sumber daya dari sektor pertanian mengandalkan mekanisme pasar,
tanpa menggunakan instrumen pajak seperti yang dilakukan oleh Jepang. Proporsi
output sektor pertanian sebagian besar tetap dijaga sebagai surplus lewat intermediasi
pemilik tanah dan melalui nilai tukar (terms of trade) sebelum Perang Dunia II.
Model ketiga, menyoroti pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang
dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor yang memimpin (Mellor,
1976), Model ini dikenal dengan nama Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi, atau
Rural-Led Development. Proses ini akan berhasil apabila dua syarat berikut terpenuhi:
1) kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi; 2) proses
5
6. ini juga menciptakan pola permintaan yang kondusif terhadap pertumbuhan. Pada
gilirannya ini tergantung dari dampak keterkaitan ekonomi pedesaan lewat pengeluaran
atas barang konsumsi yang dipasok dari dalam sektor itu sendiri, dan melalui invesatasi
yang didorong.
Model keempat, menyoroti dimensi spasial dalam menanggulangi kemiskinan.
Kemiskinan bisa diatasi dengan cara kemudahan dalam mengakses dua bidang, yaitu:
1) bidang ekonomi dan 2) bidang sosial (Kuncoro, 2004). Akses dalam bidang ekonomi
dibagi menjadi dua yaitu: akses terhadap lapangan kerja dan akses terhadap faktor
ekonomi. Akses terhadap faktor produksi terdiri dari: 1) Kemudahan masyarakat dalam
mengakses modal usaha, 2) kemudahan masyarakat dalam mengakses pasar, 3)
kemudahan masyarakat dalam kepemilikanmodal. Sedangkan akses dalam bidang
sosial dibagi menjadi dua yaitu: akses terhadap fasilitas pendidikan dan akses terhadap
fasilitas kesehatan.
2.3 Strategi Penanggulangan Kemiskikan Di Indonesia
Kemiskinan dapat bermakna kesenjangan ekonomi dan ketidak merataan
pendapatan. Kedua hal ini merupakan masalah yang hangat dibicarakan karena masih
besarnya penggangguran terselubung yang disebabkan masih adanya pekerjaan yang
dilakukan di bawah produktivitas kerja (underemployment) serta rendahnya kualitas
tenaga kerja Indonesia. Ada dua macam ukuran kemiskinan yaitu kemiskinan absolut
dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang disebabkan karena
ketidak mampuan seseorang melampaui garis kemiskinan (proverty line) yang
ditetapkan. Sedangkan kemiskinan relatif berkaitan dengan perbedaan tingkat
pendapatan suatu golongan dibandingkan dengan golongan lainnya (Rintuh: 2005).
Beberapa program pembangunan yang dilaksakan di Indonesia baik yang
dilakukan oleh pemerintah mapun bantuan donor antara lain telah dilaksanakan melalui
progam: Impres Desa Tertinggal (IDT) dan dimantapkan melalui program Pembangunan
Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Program dilanjutkan dengan Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan,
Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), dan
Program Pengembangan Kawasan Desa-Kota Terpadu atau Poverty Alleviation
Through Rural Urban Lingkage (PARUL). Dari berbagai program pengentasan
kemiskinan tersebut terdapat beberapa perbedaan dan kesamaan yang dapat dilihat
pada tabel berikut (Sumodiningrat, 1999):
6
7. Berikut ini beberpa penyempurnaan kebijakan program pemberdayaan
masyarakat dan pennanggulangan kemiskinan:
Tabel. 3
Perkembangan dan Penyempurnaan Kebijakan Program Pemberdayaan
Masyarakat dan Program Penanggulangan Kemiskinan Dalam Kurun Pelita VI
N
o
Progr
am
Bentuk Kebijakan
Pengemban
gan
Ekonomi
Pengemban
gan SDM
Pengembang
an Prasarana
Pengemban
gan
Kelembaga
an
Pengemban
gan Sistem
Informasi
Bantuan
Modal
Bantuan
Pendampin
gan
Bantuan
Prasarana/
Sarana
Bantuan
Pengemban
aganKelemb
agaan
Bantuan
Pemantaua
n dan
Pelaporan
1 IDT Diberikan
dalam
bentuk
uang tunai
seniali Rp
20 juta /
tahun
selama 3
tahun
Dana
bantuan
digunakan
untuk
modal
usaha dan
bersifat
hibah dan
bergulir
(revolving
block grant)
Pengemban
gan
kemampuan
masyarakat
dalam
pengelolaan
modal
bergulir
melalui
bantuan
tenaga
pendamping
Secara
khusus
belum ada,
namun
beberapa
bantuan
melalui
program
pembanguna
n sektoral
telah
memberikan
bantuan
teknologi
tepat guna
untuk
membantu
mengembang
kan kegiatan
sosial
ekonomi
produktif
pokmas
Pengemban
gan
kelembagaa
n dilakukan
dalam
wadah
pokmas
melalui
kegiatan
perguliran
dana.
Pembangun
an
kelembagaa
n aparat
dilakukan
pembinaan
berjenjang
secara
vertikal yang
dilakukan
oleh jajajrn
Depdagri
bersama
Depkeu dan
departeme
teknis terkait
lain melalui
program
pembanguna
n sektoral
masing-
masing.
7
8. 2 P3DT Dana
bantuan
digunakan
untuk
investasi
sosial dan
bersifat
hibah
(block
grant),
serta
mendukung
kegiatan
sosial
ekonomi
yang
didanai
oleh
bantuan
IDT
Pengemban
gan
kemampuan
masyarakat
dan aparat
dalam
pembangun
an dibina
oleh tenaga
pendamping
profesional
(antara lain
oleh tenaga
konsultan)
Bantuan
prasarana
mendapat
perhatian
melalui
pengembang
an prasarana
transportasi
yang
mendukung
kegiatan
ekonomi
(pembangun
an jalan,
jembatan,
tambatan
perahu, dll),
dan
pengembang
an prasarana
sosial yang
langsung
mendukung
kegiatan
ekonomi lokal
(pembangun
an prasarana
kesehatan
dasr, MCK,
sanitasi, dan
air bersih)
Masyarakat
melaksanak
an sendiri
manajemen
pembanguna
n lokal.
Pembinaan
aparat
dilakukan
secara
vertikal
melalui Tim
Koordinasi
Pembangun
an sebagai
wadah
musyawarah
dan mufakat.
Sehingga
komitmen
dan
perhatian
pembanguna
n untuk
rakyat tetap
dalam arah
yang benar.
Masyarakat
melakukan
sendiri
kegiatan
pemantauan
dan
pelaporan
pembangun
an ditingkat
lokal dibantu
oleh tenaga
pendamping
profesional
Aparat
melakukan
pemantauan
dan
pelaporan
secara
berjenjang
(vertikal)
yang
hasilnya
dipergunaka
n untuk
mendukung
pengambilan
keputusan
lebih lanjut
dalam
rangka
pengemban
gan
program.
3 PPK Bantuan
senilai Rp.
250 juta –
Rp 750 juta
per
kecamatan
bersifat
hibah
bergulir.
Namun
pemanfaata
n bantuan
semata
diarahkan
agar
Pengemban
gan SDM
dilakukan
melalui
diseminasi
dan
pelatihan
secara
berjenjang
baik melalui
jalur tenaga
pendamping
dan jajaran
aparat
pemerintah.
Pembanguna
n/ pengadaan
prasarasna/
sarana hanya
untuk
mendukung
kegiatan
ekonomi
yang sudah
mapan.
Pengemban
gan
kelembagaa
n
masyarakat
dilakukan
dalam
wadah
pokmas
melalui
kegiatan
perguliran
dana yang
dilembagaka
n dalam
Sistem
pemantauan
dan
pelaporan
dilakukan
untuk
menilai
perkembang
an
pelaksanaan
kegiatan
ekonomi
prioritas,
perguliran
dana, dan
8
9. pemanfaata
n program
dapat
berlatih
mengguana
kan dana
itu sebagai
stimulan
agar dalam
pengemban
gan lebih
lanjut dapat
memanfaat
kan fasilitas
microfinanc
e.
Dilakukan
memalui
bantuan
dana yang
dipergunak
an untuk
membiayai
investasi
sosial dan
investasi
ekonomi.
Bantuan
dana
digunakan
sepenuhny
a untuk
menciptaka
n kegiatan
ekonomi
produktif
yang
berlanjut.
Pengemban
gan
kemampuan
dan
keterampila
n
masyarakat
lokal
diarahkan
pada
pelaksanaa
n
administrasi
pembangun
an (UDKP)
dan
administrasi
keuangan
(UPK).
forum UPK
sebagai
bagian dari
pelaksanaan
forum
UDKP.
peningkatan
kapasitas
masyarakat
melalui
jumlah
akumulasi
modal.
4 P2KP
Secar
a
prinsi
p
sama
denga
n
yang
dilaku
kan
oleh
Dilakukan
melalui
bantuan
dana yang
dipergunak
an untuk
membiayai
investasi
sosial dan
investasi
ekonomi.
Bantuan
Pengemban
gan SDM
dilakukan
melalui
diseminasi
dan
pelatihan
secara
berjenjang
baik melalui
jalur tenaga
pendamping
Pembanguna
n/ pengadaan
prasarana/
sarana hanya
untuk
mendukung
kegiatan
ekonomi
yang sudah
mapan.
Pengemban
gan
kelembagaa
n
masyarakat
dilakukan
dalam
wadah
pokmas
melalui
kegiatan
perguliran
Sistem
pemantauan
dan
pelaporan
dilakukan
untuk
menilai
perkembang
an
pelaksanaan
kegiatan
ekonomi
9
10. PPK,
namu
n
sasar
an
lokasi
dititik
beratk
an
pada
keca
matan
di
kawa
san
perkot
aan
dana
digunakan
sepenuhny
a untuk
menciptaka
n kegiatan
ekonomi
produktif
yang
berlanjut.
dan jajaran
aparat
pemerintah.
Pengemban
gan
kemampuan
dan
keterampila
n
masyarakat
lokal
diarahkan
pada
pelaksanaa
n
administrasi
pembangun
an (UDKP)
dan
administrasi
keuangan
(UPK).
dana yang
dikembangk
an dalam
forum UPK
sebagai
bagian dari
pelaksanaan
forum
UDKP.
Pengemban
gan
kelembagaa
n aparat
dilakukan
bersama
masyarakat
melalui
mekanisme
forum
UDKP.
prioritas,
perguliran
dana, dan
peningkatan
kapasitas
masyarakat
melalui
jumlah
akumulasi
modal.
5 PDM
KE
Dilakukan
untuk
membiayai
kegiatan
yang
bersifat
padat karya.
Dilakukan
melalui
pembangunan
dan prasarana
& sarana
sesuai
permintaan
lokal.
6 PARU
L
Dilakukan
melalui
bantuan
dana yang
dipergunak
an untuk
kegiatan
sosial-
ekonomi
produksi
dan
distribusi/
jasa natar
kawasan.
Pengembang
an
kemampuan
masyarakat
diarahkan
pada
peningkatan
kemampuan
dan
keterampilan
untuk
memperoleh
akses dan
meningkatka
n keterkaitan
pada jalur
produksi,
distribusi,
dan
penyediaan
jasa yang
Pengembang
an prasarana
dilakukan
dalam wujud
pembanguna
n prasarana,
sarana, dan
penerapan
teknologi
yang
mendukung
secara
langsung
kegiatan
ekonomi
kawasan.
Peningkatan
kemampuan
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembanguna
n yang
menekankan
prakarsa
lokal pada
kawasan itu.
Sistem
pemantauan
dan
pelaporan
menekankan
peningkatan
kapasitas
masyarakat
dalam
kegiatan
produksi,
distribusi,
dan jasa
dalam suatu
kawasan
ekonomi
antara
pedesaan
dan
perkotaan.
10
11. sesuai
dengan
kapasitas
ekonomi
kawasan
Sumber: Kuncoro (2004)
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa program penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan di Indonesia masih bersifat parsial. Hal tersebut bisa dilihat
dari hampir semua program yang pernah dilakukan masih bermasalah dalam hal
mensinergikan antara masyarakat miskin dengan: masyarakat yang berdaya (non
miskin), pemerintah daerah, dan kelompok peduli setempat. Akibat dari kondisi tersebut,
penanggulangan kemiskinan tidak efektif, tidak mandiri dan tidak berkelanjutan.
2.4 Kelemahan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Salah satu penyebab kurang berhasilnya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia adalah sistem politik yang cenderung sentralistik. Sentralisasi yang sangat
kuat di masa lalu juga berimbas ke kebijakan penanggulangan kemiskinan, dimana
hampir semua program penanggulangan kemiskinan bersifat ”top-down” dengan
keterlibatan minimal dari pemerintah daerah dalam formulasi kebijakannya. Program
atau kebijakan yang sangat ”top-down” ternyata juga gagal dalam merefleksikan
pebedaan antar daerah yang kadang-kadang bisa menjadi sangat signifikan. Akibatnya,
timbul berbagai kegagalan berskala besar dalam program atau kebijakan yang pada
akhirnya berakibat pada dihentikannya program tersebut. Berikut ini bentuk atau ciri-ciri
dan kelemahan program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilakukan.
Tabel 4
Ciri-ciri dan Kelemahan Program Penanggulangan Kemiskinan
Kelemahan Program Upaya Penanggulangan
Kemiskinan
Prinsip-prinsip
Penanggulangan
Kemiskinan
Perencanaan,
penentuan sasaran,
dan kreteria miskin
serta pengaturan teknis
pelaksanaan yang
Mendidik masyarakat
miskin untuk terus
menerus menemukenali
potensi yang dimiliki baik
individu, keluarga,
Program penanggulangan
kemiskinan harus
mengarah pada
pendekatan yang
menyeluruh (multi-sektor)
11
12. dilakukan oleh
pemerintah/instansi
pusat (top-down)
seringkali tidak sesuai
dengan kebutuhan
masyarakat atau
daerah tertentu.
maupun lingkungan
(keterampilan, material,
dan sumberdaya alam)
sebagai modal dasar
untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup.
Program-program yang
dilaksanakan secara
sektoral sering kali
mengakibatan adanya
semangat ego-sektoral
dan saling tumpang
tindih.
Mendorong tumbuhnya
rasa percaya diri akan
kemampuannya untuk
lepas dari belenggu
kemiskinan.
Perencanaan dan
penentuan sasaran
dilakukan oleh
masyarakat bersama
aparat dilapangan
sehingga sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Banyak program
penanggulangan
kemiskinan yang
menempatkan
masyarakat sebagai
obyek, sehingga
masyarakat kurang
berpartisipasi secara
aktif.
Menyadarkan bahwa tidak
akan ada
seseorang/lingkungan
yang dapat keluar dari
genggaman kemiskinan,
melainkan atas usaha
orang/keluarga/lingkungan
itu sendiri.
Masyarakat ditempatkan
sebagai “pelaku utama
dalam perang melawan
kemiskinan” agar
masyarakat berpartisipasi
secara aktif.
Sulitnya menjaga
kontinuitas program
(program baru bukan
merupakan kelanjutan
program lama)
mengakibatkan banyak
program
penanggulangan
kemiskinan tidak
berkesinambungan
Memberikan pemahaman
bahwa masalah
penanggulangan
kemiskinan merupakan
tugas dan tanggungjawab
bersama pemerintah dan
masyarakat.
Pertanggungjawaban
kepada pemerintah dan
masyarakat untuk
membangun keterbukaan
dan akuntabilitas.
Pertanggungjawaban
hanya bersifat
administratif kepada
pemerintah, sehingga
tidak terbangun
keterbukaan dan
akuntabilitas publik,
akibat pendekatan
proyek maka
keberhasilan program
hanya diukur dengan
persentase bantuan
yang berhasil
Menciptakan lapangan
kerja dan peluang
berusaha untuk
menguatkan ekonomi
masyarakat setempat.
Penguatan
organisasi/kelompok
masyarakat yang ada;
memberikan bantuan
fasilitas (dana dan
keahlian) yang dibutuhkan
untuk mendayagunakan
potensi yang dimiliki.
Merupakan program yang
berkesinambungan.
Ukuran keberhasilan
ditentukan oleh
berdayanya masyarakat
untuk keluar dari
belenggu kemiskinan,
dan,menguatnya
kemampuan ekonomi
masyarakat melalui
terciptanya akses kepada
faktor produksi dan pasar.
12
13. disalurkan dan jumlah
sasaran penerima.
Sumber: Hamid (2003) Dalam Kuncoro (2004)
Sebenarnya perbedaan antara pendekatan “top-down” dan “bottom up” tidak
perlu terjadi terjadi apabila sistem politik nasional dan terutama lokal mampu
menciptakan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakatnya. Ketiadaan mekanisme
akuntabilitas selain membuat pihak eksekutif dan legislatif kurang tanggap terhadap
keluhan masyarakatnya, juga membuat masyarakat tersebut tidak terlalu peduli atas
kualitas layanan publik yang diterimanya ataupun terhadap kebijakan perekonmian
daerahnya. Dengan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah saat ini dimana
sebagian besar pajak masih dikuasai pemerintah pusat, sangat mudah bagi pemerintah
daerah menyalahkan pemerintah pusat apabila ada ketidakpuasan di kalangan
masyarakat lokal mengenai kualitas layanan publik.
Bab III METODE PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan utama membangun model penaggulangan
kemiskinan yang bersifat terpadu berdasarkan aspek spasial, ekonomi, dan
struktural di masing-masing desa/kelurahan yang ada di wilayah administrasi Kota
Malang.
Berdasarkan pada tujuan utama penelitian ini, maka kerangka pikir mengenai
Penyusunan Model Penanggulangan Kemiskinan di Kota Malang dijelaskan pada
Gambar berikut.
Gambar 1
Bagan Alir Penyusunan Model Kultural,Struktural, dan Spasial
Sebagai Penanggulangan Kemiskinan
13
ANALISA
PERMASALAHAN
KEMISKINAN
PERKOTAAAN
Aspek Struktural
Mengukur Efektifitas
program
penanggulangan
kemiskinan yang telah
dilakukan
Aspek Ekonomi
Mengukur kondisi
ekonomi
Aspek Spacial
Mengukur kondisi
geografi dan
topografi
(lingkungan fisik)
masyarakat miskin
Output
Kesenjangan
antara
program
dgn.
kebutuhan
Output
Proses generasi,
tingkat
pendidikan, jenis
pekerjaan
Output
Kondisi
Geografi/
topografi
Porses
Identifikasi
ermasalahan
kemiskian
perkotaan
OUTPUT
Database:
. Permasalahan
kemiskinan
. Profil
kemiskinan
. Isue Strategis
Output
Work Plan
Penanggulanga
n
Kemiskinan
Output
Master Plan
Penanggulanga
nKemiskinan
14. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, upaya penaggulangan kemiskinan
dilakukan dengan pendekatan spasial, ekonomi, dan struktural. Pendekatan tersebut
pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan model penanggulangan kemiskinan yang
bisa menghasilkan rencana strategis dan program kerja penanggunalangan kemiskinan
secara terpadu dan berkelanjutan di Kota Malang. Setidaknya ada 5 (lima)
komponen/kegiatan utama yang perlu dilakukan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi :
1. Identifikasi dan Analisis Kondisi Eksisting masing-masing kota
Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk memahami kondisi setiap desa/kelurahan
dan kecenderungan perkembangan dalam kurun waktu perencanaan. Adapun informasi
yang perlu dikumpulkan, dikaji dan dianalisis, meliputi : gambar mengenai kondisi fisik,
sosial ekonomi desa/kelurahan kebijakan dan program-program yang terkait dengan
pengembangan desa, perkembangan sektor-sektor ekonomi desa dan kondisi sistem
prasarana. Semua informasi ini diharapkan dapat menggambarkan eksisiting, yang
tengah berlangsung (on-going) maupun yang akan dikembangkan (commited).
2. Identifikasi Potensi dan Permasalahan Kemiskinan
Berdasarkan analisis terhadap kondisi wilayah dan kecenderungan
perkembangannya, diidentifikasi potensi ekonomi yang mampu mendukung
pembangunan wilayah masing-masing Kota. Identifikasi yang dimaksud, meliputi
antara lain :
• Potensi desa/kelurahan yang terkandung, baik yang sudah
dimanfaatkan, belum dimanfaatkan maupun potensial diperkirakan
ada di desa. Terkait dengan hal ini adalah identifikasi sektor unggulan
atau komoditi unggulan.
• Kendala-kendala dalam pengembangan potensi ekonomi, baik dalam
kaitannya dengan bidang prasarana, keuangan dan kebijakan,
sehingga menimbulkan kemiskinan pada masyarakat setempat.
3. Penyusunan Skenario Penanggulangan Kemiskinan
Skenario penanggulangan kemiskinan berisi antara lain: pemanfaatan ruang dan
struktur ruang (pengembangan sektor-sektor unggulan, kawasan dan sistem
14
15. prasarana) yang merupakan acuan pengembangan desa. Skenario ini disusun
berdasarkan potensi pengembangan Kota.
4. Perumusan Model Penaggulangan Kemiskian
Rumusan model penaggulangan kemiskinan yang dimaksud berisi program-
program pengembangan sektor, kota dan sistem prasarana dasar. Program-
program ini dirumuskan dalam rangka mendukung pencapaian skenario-skenario
yang telah dirumuskan.
5. Rekomendasi Pola Pelaksanaan Program-Program Pengentasan Kemiskinan
Program-program yang layak untuk diimplementasikan, selanjutnya dikaji pola
pelaksanaannya. Dalam hal ini pola pelaksanaan yang dimaksud
memperhitungkan seluruh pelaku pembangunan, yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penyusunan model penanggulangan masyarakat miskin di Kota Malang,
akan melakukan survei di seluruh wilayah yang termasuk dalam wilayah admisnistratif Kota
Malang, Pasuruan, Sidoarjo.
Analisis dan penyusunan model penaggulangan kemiskinan dilakukan secara
bertahap, tahapan tersebut didasarkan pada aspek kegiatan yang diukur dan dianalisis.
Penelitian ini akan dilakukan dua tahap, dinama setiap tahap penelitian diperkirakan
akan menghabiskan waktu ± 11 bulan, jadi secara keseluruhan penelitian akan
menghabiskan waktu ± 22 bulan.
3. Definisi Operasional Variabel
Aspek yang digunakan untuk membanguan model penanggulangan
kemiskinan di Kota Malang ada tiga aspek yaitu: 1) Struktural atau Kelembagaan, 2)
Aspek Kultural, dan 3) Aspek Spasial (wilayah).
1) Aspek Struktural
Dalam aspek ini akan dilihat sejauhmana keterpaduan program-program yang
telah dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan kapasitas
15
16. dan kebutuhan masyarakat miskin. Aspek struktural atau kelembagaan
mempunyai dua sub-indikator yaitu; 1) Sub-indikator kebijakan pemerintah dan
2) Sub-indikator kapasitas sosial masyarakat (social capacity). Masing-masing
sub-indikator mempunyai variabel, total variabel untuk mengukur indikator
aspek struktural atau kelembagaan sebanyak 8 variabel.
Variabel-variabel yang digunakan dalam aspek struktural atau kelembagaan
dalam melakukan pengukuran terhadap desa/kelurahan dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 5
Jumlah Sub Indikator dan Variabel Dari Aspek Struktural
No Sub
Indikator
Variabel Diskripsi
1 Kebijakan
Pemerintah
(3 variabel)
- Program
penanggulangan
kemiskinan yang
berasaldari pemerintah
pusat
- Program
penanggulangan
kemiskinan yang
berasaldari pemerintah
propinsi
- Program
penanggulangan
kemiskinan yang
berasaldari pemerintah
daerah kabupaten.
- Program
penanggulangan
kemiskinan yang
berasal dari perangkat
desa
Mengukur seberapa
besar keterlibatan
pemerintah baik
pusat maupun
daerah dalam upaya
penanggulangan
kemiskinan
2 Kapasitas
sosial
masyarakat
(6 variabel)
- Gengsi sosialorang
miskin
- Nilai adat/budaya dan
agama terhadap orang
miskin
- Rasionalitas penduduk
miskin (semangat
membebaskan diri dari
kemiskinan)
- Budaya dan etos kerja
- Semangat gotong
royong
- Keperdulian
masyarakat sekitar
Mengukur seberapa
besar social capital
masyarakat miskin
dalam keluar dari
kemiskinan
16
17. terhadap orang miskin
2) Aspek Kultural
cultural poverty adalah suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi
(economic depretiation) yang berlangsung lama. Berdasarkan penelitian pada
beberapa kebudaya kelompok etnik ditemukan bahwa kemiskinan adalah salah
satu sub-kultur masyarakat yang mempunyai kesamaan ciri antar etnik satu
dengan etnik yang lain. Dalam aspek ini akan dilihat seberapa besar potensi
kemiskinan yang tercipta akibat dari kultur atau kebudayaan yang sudah
berlangsung di suatu wilayah. Aspek kultural ini akan mencakup 1) tingginya
angka pengangguran, 2) tingkat upah/tinggi rendahnya gaji dan 3) sistem
ekonomi yang terlalu berorientasi pada mencari keuntungan.
Variabel-variabel yang digunakan dalam aspek ekonomi dalam melakukan
pengukuran terhadap desa/kelurahan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6
Jumlah Sub Indikator dan Variabel Dari Aspek Struktural
No Sub Indikator Variabel Diskripsi
1 Tingginya
angka
pengangguran
- Lama bekerja
- Banyaknya pekerja
dalam satu rumah
Mengukur seberapa
besar tingkat
pengangguran di
suatu wilayah
2 Tingkat Upah - Besarnya gaji
perbulan
- Ada tidaknya bonus
Mengukur seberapa
besar kenaikan upah
yang berhubungan
dengan
kesejahteraan
masyarakat
3 Sistem
Ekonomi
- Tujuan bekerja
- Langkah untuk
memenuhi
kebutuhan
Mengukur
sebesarapa penting
antara kebutuhan
dan penimbunan
kekayaan
3) Aspek Spasial
Dalam aspek ini akan dilihat seberapa besar konsisi wilayah (space) mampu
mendorong proses penanggulanagan kemiskinan. Aspek spasial atau wilayah
mempunyai dua sub-indikator yaitu; 1) Sub-indikator Kondisi geografis dan 2)
Sub-indikator Aksesibilitas sarana dan prasarana. Masing-masing sub-indikator
17
18. mempunyai variabel, total variabel untuk mengukur indikator aspek struktural
atau kelembagaan sebanyak 6 variabel.
Variabel-variabel yang digunakan dalam aspek spasial atau wilayah dalam
melakukan pengukuran terhadap desa/kelurahan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 7
Jumlah Sub Indikator dan Variabel Dari Aspek Spasial
No Sub
Indikator
Variabel Diskripsi
1 Kondisi
geografis
(4 variabel)
- Letak geografis
- Topografi
- Kondisi jalan
- Kondisi jembatan
Mengukur
sejauhmana kondisi
geografis mampu
bermanfaat untuk
pemberdayaan
masyarkat miskin
2 Aksesibilita
s terhadap
sarana dan
prasarana
(5 variabel)
- Akses terhadap pasar
- Akses terhadap sarana
pendidikan
- Akses terahadap
fasilitas kesehatan
- Akses terahadap
aktivitas produksi
Mengukur tingkat
kemudahan akses
terhadap sarana dan
prasarana pokok
untuk
penanggulangan
kemiskinan.
4. Jenis Data
Dilihat dari sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
jenis yaitu data sekunder dan data primer.
1. Data Sekunder
Data ini merupakan data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain. Adapun data
sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini diantaranya seperti; Jumlah
penduduk, luas desa, topografi desa, monografi desa, letak geografi desa dan
lain-lain.
2. Data Primer
Data ini merupakan data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian. Adapun
data primer yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya seperti; data yang
18
19. digunakan untuk mengukur indikator kelembagaan, indikator tipologi/penyebab
kemisikinan, indikator sumberdaya dan potensi ekonomi, dan lain-lain.
5. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan informasi dan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Participatory Rural Appraisal (PRA), meliputi:
1. Wawancara, yaitu metode pengumpulan data dengan wawancara secara
mendalam dengan key-person (formal dan informal leaders), untuk
mengidentifikasi kebutuhan (needs) masyarakat.
2. Dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data sekunder yang dimiliki oleh
responden, lembaga ekonomi dan sosial, maupun instansi teknis terkait.
3. Observasi ( pengamatan) dan survei lapang
Dalam hal meyakinkan data dan informasi yang diperoleh dari responden,
peneliti mengadakan pengamatan dan survei lapang secara langsung terhadap
obyek yang diamati, mendengar serta mencatat hasil temuan lapang.
4. Pengumpulan Data Sekunder
Selain dukungan data primer yang menjadi sumber data utama, penelitian ini juga
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari dokumen-dokumen serta catatan-
catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dokumen yang dimaksud
adalah jumlah keluarga miskin yang diperoleh dari Badan Perencanaan Kota
(Bapekot) Malang, Catatan Sipil Kota malang (data Penduduk Kota malang sampai
dengan bulan Februari 2006) dan statistik kecamatan dari tiga kecamatan yang
diterbitkan oleh Kantor Statistik Kota Malang 2006.
5. Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok)
Peneliti melaksanakan diskusi dengan obyek penelitian ketika peneltian lapang akan
dilakukan. Kegiatan ini pertama dilakukan adalah dimaksudkan untuk
mensosialisasikan pelaksanaan pengumpulan data (sebagai kegiatan penting
penelitian ini) kepada para sekretaris kecamatan dan seluruh sekretaris
desa/kelurahan yang diperkirakan menjadi sasaran dari kegiatan penelitian lapang.
Berbagai informasi yang disampaikan dalam kegiatan sosialisasi ini, antara lain
meliputi: pentingnya dilaksanakan kegiatan inventarisasi dan pemetaan kemiskinan
di Kabupaten Sumenep, proses pengumpulan data, dan hasil akhir yang dihasilkan
kegiatan ini. Melalui kegiatan ini dicapai jalinan suatu kebersamaan antara peneliti
19
20. dengan calon responden (subyek yang diteliti), sehingga dapat diperoleh data yang
optimal
Diskusi kelompok kedua dilakukan pada saat menjelang kegiatan ini berakhir.
Diskusi ini dilakukan dengan stakeholders tingkat kota, dimaksudkan untuk
mengoptimalkan hasil temuan lapangan. Dikusi kelompok ini diarahkan kepada
upaya-upaya mengklarifikasi hasil temuan lapangan, mendapatkan koreksi dan
masukan, serta kesepakatan tentang hasil akhir kegiatan ini.
6. Alat Analisis
Analisis dilakukan dengan memadukan pendekatan struktural (data
kuantitatif dan kualitatif) ekonomi (potensi sumberdaya pemabngunan), dan spasial
(pemetaan). Maksudnya, bahwa dari himpunan data yang telah dikompilasi,
dilakukan analisis statistik sederhana dengan lebih banyak menggunakan tabulasi
silang dan perhitungan-perhitungan statistik yang secara mudah dapat dipahami.
Himpunan data tersebut selanjutnya diinterpretasikan dan dirancang dengan
menempatkan hasil analisis tersebut ke dalam peta (pendekatan spasial).
Pemetaan tersebut dimaksudkan untuk menentukan tata letak potensi sarana
ekonomi yang dimaksud oleh penelitian ini, paling tidak untuk:
1) memahami keberadaan keluarga miskin baik melalui data struktural maupun
melalui tampilan peta setiap desa/kelurahan;
2) memahami secara terintegrasi keberadaan masyarakat miskin di Kota malang
dalam perspektif kepentingan ekonomi dan pembangunan Kota Malang ke
depan.
Selain menggunakan pendekatan di atas penelitian ini juga menggunakan
metode Performance-Importance Analysis dalam menjawab tujuan yang akan dicapai.
Analisis ini digunakan untuk melihat tingkat kesenjangan (gap) antara atribut kinerja
pelayanan publik (performance) yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui dinas-
dinas terkait penanggulangan kemiskinan di Kota Malang dengan persepsi tingkat
kepentingan (importance) akan atribut-atribut yang dibutuhkan.
Pengukuran tingkat kepentingan dan performance dilakukan dengan cara
menyebarkan kuesioner bagi masyarakat miskin yang menjadi obyek penelitian.
Responden akan diminta untuk memberikan penilian atau persepsi mereka terhadap
sejauh mana layanan yang telah diberikan pemerintah melalui dinas-dinas terkait di Kota
Malang (performance) terhadap penanggulangan kemiskinan. Dengan memberikan
20
21. penilaian atas atribut yang mereka anggap paling dibutuhkan saat ini (importance)
dengan asumsi bahwa obyek penelitian mengerti sejauh mana kinerja atribut pelayanan
publik yang telah dilakukan dinas-dinas terkait dan berkompeten dalam penanggulangan
kemiskinan.
Dari analisis Kuadran akan diketahui pada kuadran manakah suatu atribut
berada, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai instrumen untuk
merekomendasikan tindakan atau kebijakan yang seharusnya dilakukan bagi
keberhasilan penanggulangan kemiskinan di Kota Malang.
Bab 4 Hasil analisis
1. Gambaran geografis Jawa Timur
Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia.
Ibukotanya adalah Surabaya. Luas wilayahnya 47.922 km², dan jumlah penduduknya
37.070.731 jiwa (2005). Jawa Timur merupakan provinsi terluas diantara 6 provinsi di
Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa
Barat. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra
Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Wilayah Jawa Timur juga
meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa
dan Samudera Hindia.
Jawa Timur dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki
signifikansi perekonomian yang cukup tinggi, yakni berkontribusi 14,85% terhadap
Produk Domestik Bruto nasional. Pembagian wilayah administrasi Pemerintah Propinsi
Jawa Timur pada tahun 2003 s/d tahun 2007 terbagi dalam 4 (empat) Badan Koordinasi
Wilayah / Pembantu Gubernur, 29 Kabupaten dan 9 Kota serta jumlah kecamatan
berjumlah 642 kecamatan. Perwakilan kecamatan sejak tahun 2003 telah ditiadakan,
sebelumnya berjumlah 114, dan Kota Administratif Batu sejak tahun 2003 telah menjadi
Kota,sedang Kota Administratif Jember berdasarkan peraturan perundangan telah
21
22. dicabut dengan demikian Jember hanya sebagai Kabupaten. Jumlah kelurahan
sebanyak 785 Kelurahan dan Desa sebanyak 7.680 desa.
Table 8
Pembagian Wilayah Administrasi Provinsi Jawa Timur
Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Badan koordinasi wilayah 4 4 4 4 4 4
Jumlah Kabupaten 29 29 29 29 29 29
Jumlah kota 9 9 9 9 9 9
Jumlah Kecamatan 642 642 642 642 657 657
Jumlah Kelurahan 784 784 784 784 784 784
Jumlah Desa 7715 7715 7715 7715 8484 8484
Sumber : Biro Pemerintahan dan Otoda Setda Prop. Jatim & Jatim Dalam Angka
2006
2. Gambaran geografis
.a gambaran geografis kabupaten Pasuruan
Kota Pasuruan adalah ibu kota Pasuruan, Jawa Timur, terletak di persimpangan
jalur regional Surabaya-Probolinggo-Malang. Orientasi Wilayah Kota Pasuruan memiliki
wilayah seluas 35,29 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 158.864 jiwa (Sensus
Penduduk 2000). Wilayahnya terdiri dari 3 kecamatan, 19 kelurahan dan 15 desa.
Tiga kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Gading rejo, Purworejo, dan Bugulkidul.
Kecamatan Bugulkidul memiliki wilayah terbesar (16,24 km²), sedang untuk Gadingrejo
dan Purworejo masing-masing 10,46 km² dan 8,59 km².
.b Gambaran geografis kabupaten Sidoarjo
Kota Sidoarjo merupakan Ibukota Kecamatan Sidoarjo yang terletak di tepi Selat
Madura dan termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa
Timur Batas-batas administrasi dari kota Sidoarjo ini adalah:
22
23. � Sebelah utara : Kecamatan Waru
� Sebelah selatan : Kecamatan Porong
� Sebelah Timur : Selat Madura
� Sebelah Barat : Kecamatan Krian
Secara geografis wilayah Kota Sidoarjo memiliki luas wilayah 6.256 Ha. Ditinjau dari
Topografi keadaan medan Kota Sidoarjo berada pada ketinggian antara 23 - 32 diatas
permukaan laut,
.c Gambaran geografis kabupaten malang
3. Pemetaan Penduduk miskin di kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan Malang
Gambaran Rumah Tangga Miskin Di Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan Dan Malang
Hasil penelitian dengan menggunakan data skunder yang telah dilakukan mengenai
jumlah rumah tangga miskin yang ada di kabupaten sidoarjo, pasuruan dan malang
seperti tergambar pada table di bawah ini :
Table 9
Jumlah keluarga miskin di kabupaten sidoarjo, pasuruan dan malang
Kabupaten 2005 % 2006 %
Sidoarjo 239.100 14.02 223.300 12.97
Pasuruan 285.100 20.16 308.900 21.67
Malang 373.700 16.17 404.800 17.1
Jawa timur 7.139.900 19.95 7.678.100 21.09
sumber : BPS
Dari deskripsi data diatas mengenai jumlah keluarga miskin di 3 kabupaten
provinsi jawa timur antara tahun 2005 dan 2006 menunjukkan tingkat kemiskinan yang
bervariasi. Untuk kabupaten sidoarjo jumlah keluarga miskin sebesar 239.100 atau
mencapai 14,02% dari jumlah penduduk di tahun 2005. Tahun berikutnya jumlah
keluarga miskin berkurang menjadi 223.300 atau 12,97% dari total penduduk di
kabupaten sidoarjo. Penurunan jumlah keluarga di kabupaten sidoarjo ternyata tidak
diikuti di tetangga kabupatennya seperti pasuruan dan malang. Jumlah keluarga miskin
23
24. di kabupaten pasuruan sebanyak 285.100 atau 20,16% di tahun 2005 dan naik menjadi
308.900 atau 21,67% dari toatal keluarga di kabupaten pasuruan. Demikian juga dengan
kabupaten malang jumlah keluarga miskin di tahun 2006 juga mengalami kenaikan.
Tahun 2005 jumlah keluarga miskin sebanyak 373.700 atau 16,7% naik menjadi
404.800 atau 17,1% dari jumlah keluarga yang tinggal di kabupaten malang.
4. Gambaran rumah tangga miskin pada kabupaten pasuruan, sidoarjo dan
malang
Jika dilihat mengenai masalah kemiskinan di daerah provinsi jawa timur, maka dapat
diketahui bahwa peta penduduk miskin tidak hanya terkelompok pada kabupaten yang
mempunyai sumberdaya alam yang sedikit, namun juga terdapat ppotensi kemiskinan di
daerah yang mempunyai sumber daya alam yang banyak. Untuk lebih jelasnya berikut
peta potensi kemiskinan pada masing – masing kabupaten yang diikuti dengan jumlah
penduduknya.
Tabel
Jumlah Rumahtangga Miskin Masing-Masing Kabupaten
Di Wilayah Provinsi Jawa Timur
Kabupaten
Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Miskin
2005 2006 2005 2006
Kabupaten
kab. Pacitan 869,642 885,986 150100 162600
kab. Ponorogo 665,070 687,786 152500 165200
kab. Trenggalek 969,461 984,460 165800 189000
kab. Blitar 525,888 1,140,809 175800 190400
kab. Kediri 1,429,137 1,525,231 255900 277200
kab. Malang 2,336,363 2,419,822 373700 404800
kab. Lumajang 999,525 1,026,400 186100 201900
kab. Jember 2,261,477 2,278,718 408000 423300
kab. Banyuwangi 1,514,605 1,575,265 236100 251900
kab. Bondowoso 698,504 725,571 169500 183600
kab. Situbondo 605,208 636,200 113200 107200
kab. Probolinggo 1,021,279 1,070,137 267400 289700
kab. Pasuruan 1,398,122 1,485,342 285100 308900
kab. Sidoarjo 1,697,435 1,838,666 239100 223300
kab. Mojokerto 969,299 1,027,871 154300 165400
kab. Jombang 1,222,499 1,212,876 278600 289900
kab. Nganjuk 989,693 1,065,459 235800 255400
kab. Madiun 641,596 667,709 137500 144700
24
25. kab. Magetan 617,492 621,862 104600 113300
kab. Ngawi 827,728 857,449 193400 209100
kab. Bojonegoro 1,228,939 1,251,051 323900 350900
kab. Tuban 1,063,375 1,104,538 300700 325800
kab. Lamongan 1,187,065 1,274,194 280800 304200
kab. Gresik 1,118,841 1,120,541 242500 287500
kab. Bangkalan 889,590 945,863 286700 306700
kab. Sampang 835,122 894,046 325900 353100
kab. Pamekasan 762,876 782,076 237600 271500
kab. Sumenep 1,004,758 1,068,595 331200 351100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa di kabupaten malang mempunyai potensi
kemiskinan yang tinggi pada tahun 2005 dan 2006. Tingginya angka kemiskinan di
kabupaten tersebut mengindikasikan bahwa kurang adanya pemerataan pada
pembangunan perekonomian. Kabupaten pasuruan dan kabupaten sidoarjo memiliki
jumlah penduduk miskin relatif dibawah kabupaten malang. Hal tersebut bisa terjadi
karena kedua kabupaten berada pada lingkar urat nadi perekonomian jawa timur,
sehingga perekonomian di wilayah tersebut dapat terdongkrak akibat aktivitas
perekonomian jawa timur.
5. Karakteristik Perekonomian Rumah Tangga Miskin
5.1 Kabupaten Pasuruan
Tingkat Pendapatan dan Jenis Pekerjaan Responden
Salah satu penentuan sebuah masyarakat miskin adalah dengan melihat rata-
rata tingkat pendapatannya. Oscar Lewis (1966) akar dari timbulnya budaya miskin
salah satunya adalah rendahnya gaji/pendapatan.
Tabel
Tingkat Pendapatan dan Jenis Pekerjaan Responden kabupaten pasuruan
No < 200.000
200.000
s/d
400.000
410.000
s/d
500.000
> 500.000 Jumlah %
1
Tidak
Bekerja
2
2 2%9%
2
Buruh
Pasar
3 3
6 6%13% 10%
3 1 2 1 4 4%
25
26. 4% 7% 3%
4 Pemulung
1 1 8
10 10%4% 3% 22%
5 Pedagang
4 8 10
22 22%17% 28% 27%
6 Becak
3 7
10 10%10% 19%
7
Sopir
Angkutan
1 4 5
10 10%4% 14% 14%
8 Wiraswasta
1 2 1 1
5 5%4% 7% 3% 11%
9 Bengkel
2 3 1 1
7 7%9% 10% 3% 11%
10
Buruh
Pabrik
4 6
10 10%11% 67%
11 Lain-lain
8 3 1 12 12%
35% 10% 11% 100%
Jumlah 23 29 37 9 98
Table diatas menjelaskan mengenai tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan
pada kabupaten pasuruan. Dari 91 sampel yang di ambil ada beberapa karakteristik
pendapatan dari para pekerja. Secara umum masyarakat yang mempunyai pendapatan
lebih dari 500 ribu di domonasi oleh pekerja swasta, bengkel, buruh pabrik dan lain-lain.
Buruh pabrik memiliki tingkat pendapatan di atas 500 ribu disebabkan karena adanya
kebijakan UMR yang harus dipenuhi oleh perusahaan di wilayah tersebut.
Tabel
Keahlian Yang Dimiliki Masyarakat kabupaten pasuruan
No
Jenis Pekerjaan
Responden
Wiraswasta Bengkel/Montir Sopir
Tukang
Bangunan
Dagang
Lain-
lain
jumlah %
1 Tidak Bekerja 0 0%
2 Buruh Pasar
1 1
2 2%6% 0% 0% 0% 7% 0%
3 Kuli Bangunan
5 5 4
14 14%28% 0% 0% 25% 0% 22%
4 Pemulung 3 3 3%
26
27. 0% 0% 0% 0% 0% 17%
5 Pedagang
2 1 3 2
8 8%0% 0% 13% 5% 21% 11%
6 Becak
2 4 5 3
14 14%0% 17% 25% 25% 0% 17%
7 Sopir Angkutan
2 3
5 5%0% 17% 19% 0% 0% 0%
8 Wiraswasta
5 3 5
13 13%28% 0% 0% 15% 36% 0%
9 Bengkel
5 2 2
9 9%0% 42% 13% 0% 0% 11%
10 Buruh Pabrik
5 3 3
11 11%28% 0% 0% 15% 21% 0%
11 Lain-lain
2 3 5 3 2 4
19 19%11% 25% 31% 15% 14% 22%
Jumlah 18 12 16 20 14 18 98 100%
Keberagaman keahlian yang dimiliki oleh masyarakat kabupaten pasuruan tidak
berarti bahwa keahlian yang dimilikinya terspesifikasi pada satu jenis keahlian tertentu,
namun tidak sedikit masyarakat yang mempunyai keahlian lain diluar dari profesi yang
dimilikinya. Sebagai contoh adalah seorang pegawai bengkel tidak hanya ahli dalam
memperbaiki kendaraan bermotor, namun juga bisa berprofesi sebagai sopir. Hal
tersebut ditunjukkan oleh hasil observasi yang telah dilakukan untuk masyarakat daerah
pasuruan, dimana pegawai bengkel ternyata juga bisa berprofesi sebagai sopir atau
bidang usaha yang lain.
Bantuan yang diinginkan oleh masyarakat pasuruan
No
Jenis
Pekerjaan
Responden
Tempat
Usaha
Alat Modal Pemasaran Ketrampilan jumlah %
1 Tidak Bekerja
2 Buruh Pasar
3
Kuli
Bangunan
27
28. 4 Pemulung
5 5
10 10%23% 12%
5 Pedagang
8 5
13 13%50% 12%
6 Becak
4 8
12 12%18% 19%
7
Sopir
Angkutan
5
5 5%12%
8 Wiraswasta
8 6
14 14%36% 14%
9 Bengkel
5 6
11 11%23% 14%
10 Buruh Pabrik
7
7 7%41%
11 Lain-lain
8 8 10
26 27%50% 19% 59%
Jumlah 16 22 43 0 17 98 100%
Dengan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat pasuruan, dapat diindikasikan
bahwa keahlian yang dimiliki mempunyai kemerataan sampel. Dari seluruh responden
yang dijadikan sampel sebagian besar menginginkan bantuan modal, alat dan tempat
usaha. Untuk jenis pekerjaan bengkel sampel menyatakan bahwa responden
menginginkan bantuan modal dan alat untuk dapat mengembangkan usahanya. Hal
yang sama juga ditunjukkan untuk jenis pekerjaan wiraswasta, dimana 23% menyatakan
menginginkan bantuan alat dan 24% menginginkan bantuan modal.
5.2 Kabupaten Sidoarjo
Tingkat Pendapatan dan Jenis Pekerjaan Responden
No Gaji & Jenis
Pekerjaan
<
200.000
200.000
s/d
400.000
410.000
s/d
500.000
> 500.000 Jumlah %
1 Tidak Bekerja
2
2 2%11.1%
2 Buruh Pasar
6 4
10 11%33.3% 20.0%
3 Kuli Banguan
1 8 1
10 11%5.6% 40.0% 5.0%
28
29. 4 Pemulung
8 2
10 11%44.4% 10.0%
5 Pedagang
1 2 7
10 11%5.0% 10.0% 21.2%
6 Becak
1 2
3 3%5.6% 10.0%
7 Sopir Angkutan
2 6 1
9 10%10.0% 30.0% 3.0%
8 Wiraswasta
1 2 7
10 11%5.0% 10.0% 21.2%
9 Bengkel
4 5
9 10%20.0% 15.2%
10 Buruh Pabrik
5 5
10 11%25.0% 15.2%
11 Lain-lain
8
8 9%24.2%
Jumlah 18 20 20 33 91 100%
Karakteristik pendapatan masyarakat di daerah perkotaan kabupaten sidoarjo
menunjukkan kesamaan dari kabupaten pasuruan. Secara keseluruhan responden yang
berpenghasilan di atas 500 ribu di dominasi oleh masyarakat yang mempunyai
pekerjaan sebagai wiraswasta, bengkel, buruh pabrik, dll. Jika ditelaah lebih lanjut
memang untuk golongan buruh pabrik mereka berpenghasilan ditas 500 ribu karena ada
jaminan dari pemerintah mengenai pendapatan minimum melalui UMR. Sedangkan
masyarakat yang bekerja di bengkel mendapatkan pendapatan yang tinggi karena
sidoarjo merupakan daerah industry, sehingga tidak sedikit masyarakat yang
menggunakan kendaraan bermotor dalam aktifitasnya.
Tabel
Keahlian Yang Dimiliki Masyarakat kabupaten sidoarjo
N
o
Jenis
Pekerjaan
Responden
Wiraswasta
Bengkel/
Montir
Sopir
Tukang
Bangunan
Dagang
Lain-
lain
jumlah %
1
29
30. 2 Buruh Pasar
5 6 7
18 18%31% 43% 37%
3
Kuli
Bangunan
6 8
14 14%46%
4 Pemulung
6 7
13 13%23% 54%
5 Pedagang
8 3
11 11%50% 30%
6 Becak
8
8 8%57%
7
Sopir
Angkutan
5 4
9 9%19% 21%
8 Wiraswasta
3 5
8 8%30% 19%
9 Bengkel
4
4 4%15%
10
Buruh
Pabrik
11 Lain-lain
3 4 6
13 13%19% 40% 23%
Jumlah 16 10 26 13 14 19 98 100%
Menurut survey yang telah dilakukan ternyata tipikal masyarakat sidoarjo dan
pasuruan untuk kategori keahlian yang dimiliki adalah sama penyebarannya. Untuk
kabupaten sidoarjo jenis pekerjaan terbanyak adalah buruh pasar dengan keahlian yang
dimiliki berdagang serta ada yang memiliki keahlian sebagai tukang sepatu.
Keberagaman jumlah responden menunjukkan keberagaman pekerjaan masyarakat
yang dijadikan sebagai obyek penelitian. Menurut hasil penelitian digambarkan bahwa
seorang yang berprofesi sebagai pemulung ternyata juga memiliki keahlian di bidang
lainnya seperti tukang bangunan bahkan sopir Dari informasi yang dimiliki tersebut
diharapkan pemerintah dapat memberikan bantuan sesuai dengan bidang profesi
masyarakat atau keahlian masyarakat itu sendiri.
30
31. Bantuan yang diinginkan oleh masyarakat pasuruan
No
Jenis
Pekerjaan
Responden
Tempat
Usaha
Alat Modal Pemasaran jumlah %
1
Tidak
Bekerja 0 0
2
Buruh
Pasar
2 8
10 0.1020418% 15%
3
Kuli
Bangunan
1 3 6
10 0.1020414% 14% 12%
4 Pemulung
1 8
9 0.0918374% 15%
5 Pedagang
10 2 4
16 0.16326540% 10% 8%
6 Becak
2 4 6
12 0.1224498% 19% 12%
7
Sopir
Angkutan
2 6
8 0.0816338% 12%
8 Wiraswasta
3 7
10 0.10204114% 13%
9 Bengkel
5 6
11 0.11224524% 12%
10
Buruh
Pabrik 0 0
11 Lain-lain
7 4 1
12 0.12244928% 19% 2%
Jumlah 25 21 52 0 98
Masyarakat daerah sidoarjo untuk segala jenis pekerjaan yang dijadikan subyek
penelitian menyatakan bahwa masyarakat memilih diberikan bantuan modal, alat dan
tempat usaha. Sedangkan untuk aspek pemasaran masyarakat sidoarjo tidak begitu
memerlukan bantuan. Karena jika kita perhatikan kabupaten sidoarjo terletak di urat nadi
perekonomian jawa timur, sehingga diharapkan pemasaran tidak menjadi kendala. Dari
98 orang yang dijadikan responden sebanyak 52 orang dari berbagai macam profesi
menginginkan bantuan modal usaha.
31
32. Berdasarkan hasil data skunder yang telah dilakukan terhadap seluruh
rumahtangga miskin yang ada di Kota Malang, maka gambaran lokasi rumahtangga
misikin yang ada di Kota Malang seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel
Jumlah Keluarga Miskin Masing-Masing Kecamatan
Di Kota Malang
No. Kecamatan Jumlah Rumah
Tangga
Prosentase
1 Kedungkandang 6.635 27,30%
2 Sukun 6.255 25,74%
3 Klojen 3.432 14,12%
4 Blimbing 4.158 17,11%
5 Lowok Waru 3.821 15,72%
Sumber : Pemkot Malang 2006
Data di atas menunjukkan jumlah rumah tangga miskin yang ada di kota malang
di masing-masing Kecamatan. Dari 5 kecamatan yang ada dikota Malang jumlah
kemiskinannya adalah sebagai berikut; Kecamatan yang paling tinggi angka
kemiskinannya adalah kecamatan Kedungkandang yaitu sebesar 27,30%, kecamatan
Sukun sebesar 25,74%, kemudian Kecamatan Lowok Waru sebesar 15,72%,
Kecamatan Blimbing 17,11%, dan angka terendah Rumah tangga miskinnya adalah
kecamatan Klojen yairu sebesar 14,12%.
Gambar
Jumlah keluarga Miskin di Kota Malang
0 1 2 3 4 5 6 7
Kedungkandang
Sukun
Klojen
Blimbing
Lowok Waru
Jumlah Rumah Tangga
32
33. Berdasarkan gambaan di atas jumlah rumah tangga miskin di kota malang
berada pada daerah-daeah tertentu (Kedungkandang dan Sukun) wilayah ini merupakan
wilayah pinggiran kota yang padat dengan jumlah penduduknya. Kecamatan
Kedungkandang merupakan daerah yang umumnya pdat penduduk dan daerah tersebut
merupakan daerah pinggiran kota, serta rata-rata penduduknya memiliki mata
pencaharian pedagang. Daerah tersebut juga merupakan daerah pusat-pusat industri
kecil, dan yang lebih telihat bahwa kebanyakan rumah tangga miskin bertempat tinggal
di daerah aliran sungai brantas (DAS Brantas) serta di pinggiran jalur kereta api.
Berbeda halnya dengan kecamatan Sukun, daerah ini selain terdapatnya pusat
perdagangan juga merupakan daerah industri kecil (home industri). Keberadaan rumah
tangga miskin selain rata-rata kehidupannya berdagang juga bertempat tinggal pada
daerah-daerah perkampungan.
3.3 Aspek Kultural Pada Masyarakat Miskin.
Urbanisasi merupakan salah satu faktor pemicu perkembangan kota, terjadinya
perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor
pearik maupun pendorong perkembangan industri dan perdagangan di kota merupakan
faktor penarik yang menyebabkan orang untuk berdatangan dan tinggal di daerah
perkotaan. Keinginan untuk dapat mendapatkan penghasilan dan pekerjaan yang lebih
baik untuk mencukupi kebutuhan hidup merupakan penyebab utama terjadinya
urbanisasi. Namun kondisi tersebut tidak seiring dengan kualitas pendidikan dan
ketrampilan yang memadai, sehingga mereka tidak dapat ditampung di sektor formal
melainkan menggantungkan hidupnya pada sektor informal yang kurang menentu.
Selain itu yang menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi adalah kondisi fasilitas di
daerah asal (pedesaan) kurang memadai serta semakin menyempitnya lahan pertanian
dan peluang pekerjaan.
Pertambahan penduduk di kota yang sangat tinggi menyebabkan berbagai
permasalahan sosial, permasalahan yang muncul adalah adanya perkampungan kumuh
dan perumahan liar di pinggiran kota dan umumnya di daerah pinggiran aliran sungai
brantas (DAS). Masalah tersebut disebabkan oleh ketidak mampuan masyarakat miskin
perkotaan untuk memiliki rumah yang layak huni. Penyebab lainnya adalah ketidak
mampuan pemerintah kota untuk menyediakan sarana bagi masyarakat miskin
33
34. perkotaan. Pembangunan perkotaan senantiasa bukan memberikan solusi dalam
pengentasan kemiskinan perkotaan melainkan sebaliknya yaitu menjadikan proses
penggusuran dan semakin terdesaknya kehidupan masyarakat miskin tersebut.
Tabel
Daerah Asal Responden sidoarjo
No
Jenis
Pekerjaan
Responden
Jawa
Timur
Non
Madura
Madura
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
Luar
Jawa
jumlah %
1
Tidak
Bekerja
2
Buruh
Pasar
8 1 1
10 10%11% 7% 7%
3
Kuli
Bangunan
7 2 1
10 10%10% 14% 7%
4 Pemulung
9
9 9%13%
5 Pedagang
10
10 10%14%
6 Becak
8 1 2
11 11%11% 7% 14%
7
Sopir
Angkutan
10
10 10%14%
8 Wiraswasta
8 6
14 14%11% 43%
9 Bengkel
10
Buruh
Pabrik
8 2
10 10%11% 14%
11 Lain-lain
2 2 10
14 14%3% 14% 71%
Jumlah 70 14 0 14 0 98 100%
Dari data diatas sebagian besar kaum migrant untuk setiap profesi berasal dari
jawa timur. Di definisikan jawa timur karena seluruh masyarakat urban berasal dari jawa
timur kecuali Madura. Ada beberapa alasan dari responden mengapa mereka
melakukan urbanisasi, salah satunya adalah untuk memperbaiki taraf ekonomi, karena
kabupaten sidoarjo dianggap sebagai kabupaten yang memiliki potensi yang cukup
34
35. tinggi dalam bidang industry. Profesi terbanyak yang diminati oleh pendatang adalah
sebagai pedagang dan sebagai sopir.
Untuk menggambarkan bagaimana kondisi tempat tinggal masyarakat miskin
pada kabupaten sidoarjo dapat diperhatikan gambar di bawah ini:
Gambar
Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Miskin
35
36. Tabel
Daerah Asal Responden pasuruan
No
Jenis
Pekerjaan
Responden
Jawa
Timur
Non
Madura
Madura
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
Luar
Jawa
jumlah %
1 Tidak Bekerja
2 Buruh Pasar
4
4 2%4%
3 Kuli Bangunan
5
5 5%5%
4 Pemulung
10
10 10%11%
5 Pedagang
20
20 20%22%
6 Becak
8 2
10 10%9% 33%
7
Sopir
Angkutan
0 0%
8 Wiraswasta 0 0%
9 Bengkel
10 Buruh Pabrik
15 4
19 19%16% 67%
11 Lain-lain
30
30 31%33%
Jumlah 92 6 98 98 98%
Sama seperti pada kabupaten sidoarjo, sebagian besar pendatang adalah dari
wilayah jawa timur. Pendatang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang, karena
wilayah sidoarjo selain sebagai sentra industry provinsi jawa timur juga sebagai urat nadi
perekonomian jawa timur. Sehingga bagi para pedagang akan sangat menguntungkan
karena di lewati dari berbagai wilayah di jawa timur.
Untuk menggambarkan bagaimana kondisi tempat tinggal masyarakat miskin
pada kabupaten pasuruan dapat diperhatikan gambar di bawah ini:
36
37. Gambar
Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Miskin
Tabel. 5
Status Tinggal Respoden pada masing-masing Kecamatan di kota malang
Lama Tinggal
(Tahun)
pddk
Asli ≤ 2 3 - 6 7 - 9 ≥ 10
Jumlah
respondn
37
38. Kecamatan
Kedung kandang
10
(10,53
)
- 3
(3,16)
11
(11,58
)
71
(14,73
)
95
Sukun
18
(21,18
)
- - 15
(17,64
)
52
(61,18
)
85
Klojen
9
(12,00
)
5
(6,67
)
12
(16,00
)
9
(12,00
)
40
(53,33
)
75
Blimbing
8
(10,0)
2
(2,5)
- 8
(10,0)
62
(77,5) 80
Lowok Waru
15
(19,23
)
- - 7
(8,97)
56
(71,80
)
78
Sumber : Data Primer
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dari responden (keluarga miskin)
perkotaan, sebagian besar bukan penduduk asli daerah kota Malang melainkan
pendatang yang merupakan kaum migran dan menetap di kota Malang. kecamatan
kedung Kandang merupakan daerah yang padat penduduknya, dimana 14,73%
menunjukkan jumlah responden yang sudah lama tinggal di kota malang (di atas 10
tahun). bahkan beberapa responden sudah turun-menurun dari keluarga mereka.
Kecamatan Sukun yang merupakan kaum pendatang yang tinggal di kota Malang sudah
puluhan tahun sebanyak 61,18% dari responden yang ada. Kecamatan Klojen sebesar
53,33%, Kecamatan Blimbing sebanyak 77,5%, dan untuk kecamatan Lowok Waru
sebanyak 71,80% dari masing-masing responden di tingkat kecamatan. Kondisi ini
menjelaskan bahwa masyarakat miskin perkotaan adalah rata-rata kaum migran yang
sengaja datang ke kota Malang untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari daerah
asal mereka. Umumnya mereka datang sebagai migran tetap, dan keberadaan mereka
sudah terbiasa hidup dalam kondisi serba kekurangan. Beberapa responden yang
ditemui juga menjelaskan bahwa sebagai kaum pendatang sudah tidak asing lagi
dengan kehidupan masyarakat di kota Malang. Umumnya mereka membaur dengan
masyarakat pendatang lainnya dengan hidup di kepadatan penduduk kota Malang.
Salain dilihat dari lamanya masayarakat pendatang (migran tetap) tinggal di kota
Malang, dapat pula dijelaskan mengenai temapat asal (daerah asal) responden. untuk
melihat derah asal rumah tangga miskin perkotaan, dapat kita bagi dengan
menggunakan batasan daerah (wilayah). Dimana wilayah pembagiannya adalah;
mereka yang berasal dari daerah Jawa Timur (non-Madura), daerah Madura, daerah
38
39. Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Luar Jawa. Adapun gambaran daerah asal rumah
tangga miskin perkotaan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel
Daerah Asal Responden
Daerah
Asal
Kecamatan
Jawa
Timur
Non-
Madura
Madur
a
Jawa
Tengah
Jawa
Barat
Luar
Jawa
Jumlah
Respond
n
Kedung kandang
21
(24,70)
52
(61,18)
9
(10,59)
3
(3,53)
- 85
Sukun
19
(28,36)
28
(41,79)
12
(17,91)
8
(11,94)
- 67
Klojen
9
(13,64)
49
(74,24)
5
(7,58)
3
(4,54)
- 66
Blimbing
31
(43,06)
33
(45,63)
6
(8,33)
2
(2,78)
- 72
Lowok Waru
28
(44,44)
21
(33,33)
9
(14,29)
5
((7,94)
- 63
Sumber : Data Primer
Berdasarkan data pada tabel di atas, menunjukkan bahwa umumnya kaum
migran berasal dari daerah Jawa Timur dan daerah Madura. Untuk kecamatan Kedung
Kandang sebesar 61,18% berasal dari Madura, kemudian Kecamatan Sukun 41,79%
kaum Migran berasal juga dari Madura, Kecamatan Klojen 74,24%, Kecamatan Blimbing
sebesar 45,63% dan kecamatan Lowok Waru sebesar 33,33%. Dari kelima kecamatan
tersebut yang banyak di datangi oleh migran yang berasal dari daeah Madura adalah di
Kecamatan Kedung Kandang (61,18%) dan Kecamatan Klojen (74,24%), dan mereka
sengaja tinggal di dekat pusat perkotaan dengan tujuan memudahkan untuk aktifitas
kegiatan pekerjaannya yang rata-rata bergelut disektor informal (pedagang kaki lima)
3.3.1 Kondisi Tempat Tinggal Masyarakat Miskin Perkotaan.
Dilihat dari tempat tinggal masyarakat miskin perkotaan, rata-rata kondisi tempat
tinggalnya dengan model bangunan semi permanen dan permanen sederhanan dengan
39
40. memanfatkan kondisi tanah yang rawan bencana (longsor, kebisingan, kumuh, dan
sebagainya).
Tabel
Kondisi Fisik Bangunan Rumah RTM
Status Tinggal Respoden pada masing-masing Kecamatan
Kondisi Fisik
Rumah
Kecamatan
Sesek
(papan)
Semi
Permanen Permanen
Jumlah
respondn
Kedung
kandang
11
(11,58)
52
(54,74)
32
(33,68) 95
Sukun
20
(23,53)
33
(38,82)
32
(37,65) 85
Klojen
5
(6,67)
31
(17,33)
39
(52,00) 75
Blimbing
3
(3,75)
13
(16,25)
64
(80,00) 80
Lowok Waru
9
(11,54)
24
(30,77)
45
(57,69) 78
Sumber : Data Primer
dari data primer (tabel.) menunjukkan bahwa sebagian besar tempat tinggal
masyarakat miskin perkotaan adalah semi permanen dan permanen, akan tetapi dengan
ukuran ruang (luas bangunan) yang cukup minim. Dan umumnya yang mereka lakukan
adalah dengan menyewa tanah dan atau menempati tanah rawan musibah. adapun
kondisi perumahan masyarakat miskin perkotaan dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar
Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Miskin Perkotaan
40
41. Dari gambar di atas terlihat bahwa kondisi tempat tinggal mereka sangat rawan
dengan terjadinya bencana dan kekumuhan, kondisi ini selain rawan terhadap adanya
bahaya tersebut juga sangat rawan dengan permasalahan kesehatan.
3.4 Analisa Spasial
Informasi mengenai tipologi perekonomian masyarakat akan sangat membantu
pemerintah dalam menentukan kebijakan ekonomi di masa mendatang. Dari informasi
tersebut dibuatlah peta potensi ekonomi dengan maksud merelevansikan antara potensi
ekonomi daerah dan kebijakan ekonomi. Selain itu jika kebijakan ekonomi hanya
terfokus di suatu wilayah tertentu akan berdampak pada ketimpangan pertumbuhan
ekonomi. Seperti dijelaskan sebelumnya, inventarisasi sarana ekonomi sebuah wilayah
dilakukan dengan menggunakan pendekatan tipologi suatu wilayah. Melalui pendekatan
ini, selanjutnya dapat digambarkan wilayah majemuk dengan fenomena yang kompleks
dengan beberapa persamaan di dalamnya. Maksudnya, bahwa pada tipologi suatu
wilayah ada relevansinya dengan keberadaan potensi ekonomi maupun potensi sarana
ekonomi di wilayah tersebut. Ini menandakan bahwa kebijakan pengembangan ekonomi
suatu wilayah diperlukan pengadaan sarana ekonomi yang tepat, sedikitnya sesuai
dengan kondisi wilayah yang dibangun, termasuk karakteristik kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga keberadaan sarana tersebut mampu
mendorong aktivitas ekonomi masyarakat dan pada akhirnya mengentaskan dan
menanggulangi kemiskinan.
41
42. Di wilayah kabupaten pasuruan terdapat berbagai macam potensi ekonomi yang
belum tersentuh pengembangannya oleh pemerintah daerah. Potensi yang terdapat di
wilayah tersebut bukan hanya pada potensi sumber daya alam melainkan juga potensii
sumber daya manusianya. Untuk wilayah ssidoarjo perlu adanya perhatian mendalam
pada pengembangan sumber daya manusia, karena di wilayah tersebut banyak sekali
potensi industri yang dapat berkembang. Sedangkan untuk daerah malang hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa disinyalir masih terdapat kegiatan ekonomi maupun
sarana ekonomi yang menunjang kegiatan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal.
Keadaan ini menjadikan keduanya masih bersifat potensial, dan memerlukan
penanganan pengelolannya agar dapat diperoleh output yang optimal pula. Pengelolaan
optimal tersebut tentu masih memerlukan suatu pengkajian tersendiri untuk mengukur
sampai sejauh mana tingkat feasibilitasnya.
Potensi sarana ekonomi kabupaten ssidoarjo, kabupaten pasuruan dan Kota
Malang merujuk pada sarana ekonomi (dalam bentuk fisik) yang teridentifikasi di setiap
daerah maupun yang sudah terkompilasikan di tingkat kabupaten dan kota. Potensi
tersebut dapat di petakan pada masing-masing kabupaten di wilayah Jawa Timur
melalui Peta berikut;
Gambar Provinsi Jawa Timur
42
44. keterangan
daerah masyarakat miskin perkotaan
daerah potensi terjadinya kemiskinan
tidak ada potensi terjadnya kemiskinan
Sejalan dengan maksud di atas, Pemerintah Kota Malang masih perlu
melakukan kajian mendalam tentang pengembangan potensi wilayah sebagai salah satu
upaya untuk mendukung pemulihan ekonomi yang bersifat jangka menengah. Dukungan
kajian ini dilakukan dengan menggali lebih dalam potensi yang dimiliki setiap kawasan di
wilayah Kota Malang. Dengan demikian, Pemerintah Kota Malang dengan mudah dapat
44
Kec. Blimbing
Industri (kecil-
menengah)
Pariwisata
Pertanian
perumahan
perdagangan
Kec. Kedungkandang
Industri (kecil-
menengah)
Pertanian
perumahan
Kec. Sukun
Industri kecil
Pendidikan
perumahan
Kec. Kolojen
perdagangan
Pendidikan
Perhotelan
perkantoran
Kec. Lowokwaru
perumahan
Pendidikan
Industri (kecil-
menengah)
45. mengambil langkah-langkah menumbuh kembangkan potensi sarana ekonomi daerah,
khususnya yang berada di pusat-pusat kegiatan produksi masyarakat yang dianggap
cukup strategis di Kota Malang.
Sejalan dengan semakin meningkatnya peran serta dunia usaha dan
masyarakat di dalam pelaksanaan pembangunan, maka program-program
pembangunan Kota Malang perlu disusun dengan mempertimbangkan keterlibatan
mereka. Upaya ini dimaksudkan agar Pemerintah Kota Malang lebih mudah
mengefektifkan potensi sarana ekonomi dan mengarahkannya untuk kepentingan
pembangunan yang lebih konsisten, efektif dan efisien, serta berkelanjutan dalam
menanggulangi kemiskinan.
Secara keseluruhan penduduk miskin di wilayah kota malang masih tersebar
merata di seluruh kecamatan, Kecuali di kecamatan Lowokwaru sebagian besar di
kecamatan ini tidak ada potensi kemiskinan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya
industry pendidikan seperti UMM, UNISMA, UNIGA, Brawijaya, ITN, UM, dll. Dengan
banyaknya perguruan tinggi di wilayah tersebut, maka potensi perekonomian semakin
besar. Tidak sedikit masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang makanan karena
untuk memnuhi kebutuhan para mahasiswa.
Pada data dikatakan bahwa rata-rata pendapatan di kecamatan Lowokwaru
masih besar, padahal menurut analisis spasial potensi terjadinya kemiskinan sangat
kecil. Pada analisi ekonomi diindentifikasi bahwa banyak masyarakat yang
berpendapatan dibawah 400 ribu. Hal tersebut terjadi pada masyarakat yang tinggal di
daerah pesisir sungai. Masih banyak masyarakat yang tinggal di Daerah Aliran Sungai
tidak memiliki kesempatan, kemampuan untuk bersaing dengan masyarakat yang tidak
tiggal di Daerah Aliran Sungai. Di perkirakan masyarakat yang menempati DAS
merupakan masyarakat pendatang yang berurbanisasi dengan tidak membawa suatu
keahlian.
Potensi kemiskinan terbesar dapat terjadi di Kecamatan Sukun. Banyak
masyarakat di daerah ini yang memiliki pendapatan dibawah 400 ribu. Jika kita
bandingkan dengan kecamatan Lowokwaru potensi kemiskinan di daerah kecamatan
45
46. Sukun tidak hanya terjadi di DAS, namun juga pada masyarakat lainnya. Banyak faktor
yang mengindikasikan potensi kemiskinan salah satu faktor utama adalah sulitnya
pemasaran dan persaingan yang ketat. Meski kegiatan masyarakat di kecamatan
Lowokwaru dengan kecamatan Sukun relatif sama namun di kecamatan Lowokwaru
pemasaran barang dan jasa yang diproduksi tidak sesulit di kecamatan Sukun meski
ada persaingan.
Hampir memeratanya potensi masyarakat miskin di kecamatan Sukun
menimbulkan dampak di kecamatan Kedungkandang, terutama di perbatasan diantara
kedua kecamatan tersebut. Menurut survey yang dilakukan memang sebagian besar
masyarakat miskin berpotensi di DAS. Dapat dilihat di peta bahwa gambar merah
bersinggungan antara kedua kecamatan dan di kedua wilayah tersebut dialiri sungai
yang sama. namun jika kita lihat kebawahnya warna kecamatan Kedungkandang mulai
ada yang Hijau. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat diluar DAS mempunyai
usaha yang berhubungan positif dengan pendapatan seperti pertanian.
Berbeda halnya di kecamatan Klojen, kecamatan ini merupakan pusat
pemerintahan kota Malang. Banyak warga di kecamatan ini yang berprofesi sebagai
pegawai negeri sipil. Memang masih terindikasi adanya kemiskinan di daerah tersebut,
namun kemiskinan itu timbul karena mereka yang tidak mempunyai kesempatan dan
daya tawar diri mereka. Kebanyakan yang tidak memiliki daya tawar diri yang tinggi
adalah mereka para pendatang yang tidak membawa keahlian, kemudian mereka
tinggal di DAS dan berprofesi sebagai buruh tani, buruh pabrik ataupun yang lainnya
yang tidak membutuhkan keahlian lebih.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Setelah melalui beberapa tahapan analisis dalam mengidentifikasi kemiskinan
perkotaan di beberapa wiayah Jawa Timur terdapat beberapa kesimpulan yaitu :
1. Didapat bahwa sebaran penduduk miskin berkosentrasi pada daerah
sepanjang aliran sungai, dan ada beberapa kota yang mengindikasikan
bahwa penduduk miskin berasal dari pendatang dari luar kota.
2. Dalam penanggulangan kemiskinan pemerintah sudah banyak
mengeluarkan berbagai macam program pengentasan kemiskinan seperti
46
47. P2K, P2KP, BLT, dll namun dalam aplikasinya banyak program yang belum
tepat sasaran.
3. Ada beberapa karakteristik yang menarik dalam pengentasan kemiskinan
diantaranya bahwa dalam mengentaskan masyarakat miskin metode yang
diterapkan lebih kepada pembinaan keahlian dan mentalitas, karena
seperti yang terdapat di kota malang masyarakat miskin dipicu dari
kebiasaan atau mentalitas dari masyarakat tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Riset menemukan meskipun masyarakat miskin diberikan
bantuan uang seperti BLT namun bantuan tersebut tidak diperuntukkan
kepada pengembangan usaha namun habis untuk konsumsi, begitu pula
dengan program – program pengentasan kemiskinan yang lainnya.
Saran
Dalam pengentasan kemiskinan disarankan kepada pemerintah untuk mencari
data kemiskinan yang akurat, dengan tujuan pemberian bantuan dalam rangka
pengentasan kemiskinan dapat terserap tepat pada masyarakat yang dituju. Selain itu
untuk mengentaskan masyarakat yang bertipikal “kultur miskin” harus banyak diberikan
pelatihan dan pembinaan mental.
47
48. DAFTAR PUSTAKA
Blakely, Edward J. (1989), Planning Local Economic Development: Theory and
Practice, Sage Library of Social Research 168, Sage Publication.
BPS. (1999). Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial
Ekonominya 1996-1999. Jakarta: BPS
Budi Soeradji, Mubyarto. (1998), Gerakan Penanggulangan Kemiskinan: Laporan
Penelitian di Daerah-Daerah, Yogyakarta, Aditya Media
Faisal Basri, (2002), Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi
Kebangkitan Indonesia, Jakarta. Erlangga
Fei, J. C. H., & Gustav, R. (1964). Development Economics: What Next? In a. Ranis
G., P, Schulta (Ed.), The State of Development Economics.
Gunawan Sumodiningrat, (1999), Penanggulangan Krisis Harus Memihak Rakyat,
Disampaikan pada konferensi pers untuk launcing The Economic and Social
Survey of Asia and the Pacific 1999 (ESCAP) di UNIC, Jakarta.
Kuncoro, M. (2000). Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. (1st
ed.). Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Kuncoro, M. (2004). Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang. Jakarata. Erlangga
Mellor, J. W. (1976), The New Economies of Growth: A Strategy for India and the
Developing Countries. Cornell: Cornell University Press.
Nurkse, R. (1953). Problem of Capital Formation in Underdeveloped Countries. In
Meier, Gerald M., Leading Issues in Economic Development, edisi ke 6, Oxford
University Press, Oxford.
Rintuh Cornelis & Miar. (2005). Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat, BPFE-UGM.
Yogyakarta.
48
49. Sharp, Ansel M., Charles A. Register, and Paul W. Cerimes (1996) Economics of
Social Issues, edisi ke 12, Richard D., Chicago: Irwin
Sumarto, Sudarno (2002) “Growth, Inequality, and Poverty: Evidence from Micro
Data”, Makala dalam The Young Economics Seminar, Jakarta: World Bank
49