1. MENGENAL LEBIH JAUH UPACARA RAMBU SOLO DI KABUPATEN
TANA TORAJA
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk mengikuti ujian semester genap
tahun 2011/2012 SMA Negeri 2 Barru
OLEH:
FIRNAWATI
NIS: 10037
SMAN 2 BARRU
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
i
2. PERSETUJUAN PEMBIMBING
Karya tulis dengan Judul : MENGENAL LEBIH JAUH UPACARA RAMBU
SOLO‘ DI KABUPATEN TANA TORAJA
Atas nama Saudara
Nama : Firnawati
NIS : 10037
Kelas/Jurusan : XI/IPA 1
Setelah diperiksa/diteliti ulang, telah memenuhi persyaratan untuk menjadi
laporan penelitian dan diprosentasikan di depan pengurus KIR.
Barru, 2012
Pembimbing :
Jamal P, S.Pd.,M.Pd. ..................................
i
3. LEMBAR PENGESAHAN
Judul :MENGENAL LEBIH JAUH UPACARA RAMBU SOLO‘
DI KABUPATEN TANA TORAJA
Nama : Firnawati
NIS : 10037
Kelas/jurusan : XI/IPA 1
Barru, April 2012
Disetujui
Pembimbing Karya Tulis Pembina KIR SMAN 2 Barru
Jamal P, S.Pd.,M.Pd. Jamal Passalowongi, S.Pd.,M.Pd.
NIP : 19750212 2006041006 NIP : 19750212 200604 1 006
Mengetahui
Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Barru
Drs. Muhammad Abidin, M.Pd.
NIP : 19601114 198411 1 002
ii
4. MOTTO DAN PERSEMBAHAN
HIDUP DENGAN ATURAN AKAN MEBENTUK
SEBUAH KETERATURAN, JIKA ITU
DILANDASKAN PADA SEBUAH KEIKHLASAN.
Karya tulis ini Kupersembahkan
Untuk ayah dan bundaku yang tercinta, saudara-
saudaraku, beserta sahabat, yang senantiasa
memberikan dukungan dan motivasi selama saya
menempuh pendidikan.
iii
5. ABSTRAK
Andi Ahmad Irfa, 2012.Karya Ilmiah. PENGARUH PRESTASI GURU
PENJASORKES TERHADAP PRESTASI OLAHRAGA SISWA DI SMA
NEGERI 2 BARRU pada SMA Negeri 2 Barru (dibimbing oleh Muhammad
Syathir)
Permasalahan pokok yang diangkat dalam laporan ini adalah Apakah guru
penjasorkes yang berprestasi mempengaruhi prestasi olahraga siswa di SMA
Negeri 2 barru?,dan Apakah ada faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi
olahraga siswa di SMA Negeri 2 barru. Adapun tujuannya adalah untuk
mengetahui guru penjasorkes yang berprestasi mempengaruhi prestasi olahraga
siswa di SMA Negeri 2 Barru dan untuk mengetahui faktor lain yang
mempengaruhi prestasi olahraga siswa di SMA Negeri 2 Barru.
Jenis penelitian dalam karya tulis ini adalah Kuantitatif dengan metode
metode Kuisioner (angket). metode kuantitatif adalah metode yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi objek ilmiah yang mana responden adalah intrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat
data angket, dan hasil penelitian kuantitatif lebih menekankan makna dari pada
spesialisasi.
Hasil pada penelitian ini adalah, pengaruh prestasi guru penjasorkes
terhadap prestasi olahraga siswa di SMAN 2 Barru memiliki pengaruh yang
sangat kuat sekali. Dalam hal ini seorang guru penjasorkes memiliki kontribusi
yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi olahraga siswa. Hal ini memang
sangat memungkinkan karena seorang guru penjasorkes yang berprestasi dapat
menggunakan metode-metode yang memungkinkan mereka memperoleh prestasi
tersebut terhadap anak didik sehingga anak didik memiliki kesempatan untuk
memperoleh pretasi yang sama bahkan lebih dari prestasi guru penjasorkes
Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu, Upacara adat Rambu Solo‘
merupakan upacara adat sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi seseorang
yang meninggal dunia. Rambu Solo‘ mempunyai tingkatan dalam memotong babi
dan kerbau berdasarkan tingkatan kasta dalam tatanan masyarakat. Upacara aluk
rambu solo’ bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang
meninggal dunia menuju alam roh, bersama para leluhur mereka yang bertempat
di puya. Upacara ini sebagai penyempurnaan, karena orang baru dianggap benar-
benar wafat setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Dalam upacara adat
Rambu Solo‘ lama rangkaian acara juga bergantung pada seberapa tinggi
tingkatan kasta daro orang yang meninggal dunia tersebut.
iv
6. KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Tuhan Yang Maha Esa.
Berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan
karya ilmiah ini.
Seiring dengan kemajuan jaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada
awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku,
kini sudah hampir punah. Pada umumnya masyarakat merasa gengsi dan malu
apabila masih mempertahankan dan menggunakan budaya lokal atau budaya
daerah. Kebanyakan masyarakat memilih untuk menampilkan dan menggunakan
kesenian dan budaya modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri
yang sesungguhnya justru budaya daerah atau budaya lokallah yang sangat sesuai
dengan kepribadian bangsanya.
Mereka lebih memilih dan berpindah ke budaya asing yang belum tentu
sesuai dengan keperibadian bangsa bahkan masyarakat lebih merasa bangga
terhadap budaya asing daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri.
Tanpa mereka sadari bahwa budaya daerah merupakan faktor utama
terbentuknya kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang mereka miliki
merupakan sebuah kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan perlu dijaga
kelestarian dan keberadaanya oleh setiap individu di masyarakat. Pada umumnya
mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya kebudayaan merupakan jati diri
bangsa yang mencerminkan segala aspek kehidupan yang berada didalamnya.
v
7. Terakhir, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada guru bahasa
Indonesia yaitu Bapak Jamal Passalowongi, S.Pd., M.Pd., sekaligus pembimbing
penulis dalam penulisan karya ilmiah ini, yang telah membimbing penulis agar
dapat mengerti tentang bagaimana cara menyusun karya tulis ilmiah Ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih untuk semua rekan serta semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat
dijadikan sebagai bahan rujukan dan dapat membantu pembaca dalam hal
pengetahuan tentang kebudayaan lokal khususnya kebudayaan Sulawesi Selatan.
Lajulo, Maret 2012
Penulis
vi
8. DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .....................................................................................v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ...........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ......................................................................3
C. TUJUAN PENELITIAN .......................................................................4
D. MANFAAT PENELITIAN ...................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI ..............................................................................5
BAB III
A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN .......................................7
B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA .....................................................8
C. ANALISIS DATA .................................................................................9
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. SEPERTI APA MASYARAKAT TANA TORAJA ? ........................11
1. Identitas etnis ..................................................................................11
2. Sejarah ............................................................................................12
3. Masyarakat......................................................................................14
a) Keluarga ..................................................................................14
vii
9. b) Kelas sosial ..............................................................................15
c) Agama......................................................................................17
4. Filosofi Tau .............................................................................18
5. Upacara pemakaman ...............................................................19
B. PENGERTIAN ....................................................................................21
C. ASAL USUL UPACARA RAMBU SOLO‘ ......................................22
D. PROSESI UPACARA RAMBU SOLO ..............................................25
a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ..................................................30
b. Peserta dan Pemimpin Upacara ....................................................31
c. Peralatan dan Bahan ....................................................................32
d. Proses Pelaksanaan .......................................................................32
e. Doa-doa ........................................................................................38
f. Pantangan dan Larangan ..............................................................39
E. NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG
DALAM RAMBU SOLO ...................................................................39
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN ........................................................................................42
B. SARAN ...............................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................44
viii
10. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia marupakan negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau
yang kaya akan tradisi masing-masing di setiap daerah. Keragaman
budaya ini menjadi salah satu keunikan mendasar bagi negara Indonesia.
Setiap suku di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing yang
berbeda satu sama lain. Setiap daerah punya tradisi menghormati
kematian. Jika di Bali dikenal dengan istilah Ngaben, di Sumatera Utara
dikenal Sarimatua, maka di Sulawesi Selatan tepatnya di Tana Toraja
dikenal dengan upacara Rambu Solo'. Persamaan dari ketiganya: ritual
upacara kematian dan penguburan jenazah. Di Tana Toraja sendiri
memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka.
Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka,
adalah upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja
selesai direnovasi. Namun dibeberapa daerah upacara-upacara adat untuk
menghormati kematian mulai terlupakan bahkan terhapuskan. Sikap masa
bodoh atau acuh akan kelestarian budaya mereka menjadi pemicu
utamanya.
Dewasa ini makin sulit mempertahankan tradisi yang dimiliki suatu
daerah. Dampak dari globalisasi yang menyebabkan masyarakat kita
cenderung terpengaruh oleh adanya westernisation. Globalisasi adalah
suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus
1
11. dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia
global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi
mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh
seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai
tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam
upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar
dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru
sekitar lima atau sepuluh tahun terakhir. Hal ini akan terjadi interaksi
antarmasyarakat dunia secara luas, yang akhirnya akan saling
memengaruhi satu sama lain, terutama pada kebudayaan daerah,seperti
kebudayaan gotong royong,menjenguk tetangga sakit dan lain-lain.
Globalisasi juga berpengaruh terhadap pemuda dalam kehidupan sehari-
hari, seperti budaya berpakaian, gaya rambut dan sebagainya. Terkait
dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa
Thiong‘o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika
seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia.
Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi
sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari
indentitas budaya nasionalnya. Budaya-budaya leluhur mulai terabaikan
oleh para masyrakatnya. Hanya ada sebagian saja yang masih
mempertahankan tradisi-tradisi leluhur mereka.
2
12. Salah satunya di daerah Tana Toraja, yang masih mempertahankan
tradisi upacara adat kematian, sebagai bentuk penghormatan mereka
kepada sang jenazah. Upacara adat tersebut dikenal dengan Rambu Solo‘.
Rambu Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja,
karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini
biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke
barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua
minggu untuk kalangan bangsawan.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mencoba melakukan pengkajian
tentang bentuk acara tradisi Rambu Solo‘ di Tana Toraja, dealam karya
tulis ilmiah yang berjudul ― Mengenal Lebih Jauh Tradisi Rambu Solo‘ di
Tana Toraja‖. Upacara adat ini juga dikenal sebagai upacara kematian
terumit di dunia. Dengan berbagai prosesi yang panjang mulai dari awal
sampai pada prosesi penguburan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Seperti apa masyarakat tana toraja ?
2. Bagaimana asal usul dari upacara Rambu solo‘ ?
3. Bagaimanakah bentuk dan prosesi pelaksanaan pesta adat Rambu
Solo‘ di Kabupaten Tana Toraja ?
4. Apa sajakah nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat Rambu
Solo‘ ?
3
13. C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui seperti apa masyarakat Tana Toraja itu sendiri
2. Untuk mengetahui asal usul, bentuk dan prosesi pelaksanaan pesta
adat Rambu Solo‘ di Kabupaten Tana Toraja.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat
Rambu Solo‘ di Kabupaten Tana Toraja.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari tujuan diadakannya penelitian tadi, maka adapun manfaat penelitian
yaitu penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang baik bagi :
1. Peneliti, untuk mengetahui bagaimana prosesi upacara adat Rambu
Solo‘ di Tana Toraja. Selain itu diharapkan dari penelitian ini,
peneliti dapat termotivasi untuk ikut mengambil peran dalam upaya
pelestarian budaya lokal.
2. Keilmuan, diharapkan mampu memberikan sumbangan pikiran,
khususnya tentang seperti apa prosesi dari upacara adat kematian
yang dikenal dengan nama Rambu Solo‘ di Kabupaten Tana
Toraja, yakni upacara adat kematian terumit di dunia.
3. Bagi Dinas Periwisata menjadi masukan dalam rangka
mengembangkan bidang pariwisata di Kabupaten Tana Toraja.
4
14. BAB II
LANDASAN TEORI
Suku bangsa Melayu di Toraja, Sulawesi Selatan, memiliki
banyak tradisi yang sakral dan unik. Salah satunya adalah aluk rambu
solo’, yakni upacara pemakaman adat orang Toraja. Kendati dalam
pelaksanaannya harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, namun
upacara ini masih tetap lestari hingga sekarang (Tino Saroenggalo, 2008).
Istilah aluk rambu solo’ terbangun dari tiga kata, yaitu aluk (keyakinan),
rambu (asap atau sinar), dan solo’ (turun). Dengan demikian, aluk rambu
solo’ dapat diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar
matahari mulai turun (terbenam). Sebutan lain untuk upacara ini adalah
aluk rampe matampu’. Aluk artinya keyakinan atau aturan, rampe artinya
sebelah atau bagian, dan matampu’ artinya barat. Jadi, makna aluk rampe
matampu ’adalah upacara yang dilaksanakan di sebelah barat dari rumah
atau tongkonan (L.T. Tandilintin, 1975; K. Kadang, 1960).
Menurut L.T.Tandilintin (1981:8) menyatakan bahwa Rambu Solo‘
merupakan ―upacara adat orang mati atau aluk rampe matampu‘ ialah
semua upacara keaagamaan yang mempersembahkan babi dan kerbau
pada arwah leluhur atau unutk orang yang meninggal dunia, seperti pada
pemakaman secara adat yang disebut ma’nene’ yaitu upacara memotong
babi dan kerbau untuk orang yang sudah dikuburkan dipekuburan liang
batu‖.
5
15. Selanjutnya beliau menyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan
aluk Rambu Solo‘ atau Aluk Rampe Matumpu adalah ―upacara
pemakaman dan kematian manusia sebagai upacara yang dilakukan pada
sebelah barat dari rumah pada waktu matahari hendak terbenam‖.
Disebut Aluk Rambu Solo‘ karena upacaranya dilakukan pada
waktu matahari mulai terbenam atau pada sore hari, dan dikatakan Auk
Rampe Matampu‘ karena upacaranya dilakukan di sebelah barat depan
dari rumah dimana mayat diupacarakan pemakamannya.
Rambu Solo juga merupakan upacara yang meriah karena
dilangsungkan selama berhari-hari. Waktu pelaksanaan Rambu Solo
adalah siang hari, yaitu saat matahari condong ke barat dan biasanya
memakan waktu dua sampai tiga hari, bahkan dua minggu bagi kalangan
bangsawan.
6
16. BAB III
A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITAN
Metode adalah aspek yang sangat penting dan besar pengaruhnya
terhadap berhasil tidaknya suatu penelitian, terutama untuk
mengumpulkan data. Sebab data yang diperoleh dalam suatu penelitian
merupakan gambaran dari obyek penelitian.
Menurut Hadi, penelitian adalah usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji suatu pengetahuan dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. Dengan upaya mendapatkan dan mengumpulkan
data dari kegiatan penelitian, digunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pendekatan dalam Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui
pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa
angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara,
catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi
lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini
adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara
mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan
kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara
realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakkan
metode diskriptif.
Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud
dengan penelitian kualitatif adalah ―tradisi tertentu dalam ilmu
7
17. pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan pada manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya‖.
Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti
adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan
secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut
Whitney dalam Moh. Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian
fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari
masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-
hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruh-pengaruh dari
suatu fenomena.
B. TEKNIK PEGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui :
1. Observasi Langsung
Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan
penelitian langsung terhadap objek penelitian. Observasi ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran awal dari
8
18. keadaan yang terjadi di lokasi, karena itu teknik observasi
dilakukan dengan mempermudah pengumpulan data
melalui teknik lainnya.
Tujuan menggunakan metode ini untuk mencatat hal-hal,
perilaku, perkembangan, dan sebagainya tentang prosesi
upacara adat Rambu Solo‘ di Tana Toraja. Observasi
langsung juga dapat memperoleh data dari subjek baik yang
tidak dapat berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau
berkomunikasi secara verbal.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, dengan
pemangku adat dan orang tua yang masih hidup yang
dipandang dapat memberikan keterangan atau informasi
yang lebih akurat. Tujuan penulis menggunakan metode ini,
untuk memperoleh data secara jelas dan kongkret tentang
prosesi upacara adat Rambu Solo‘ di Tana Toraja. Dalam
penelitian ini, peneliti mengadakan wawancara dengan
salah satu tokoh adat di Tana Toraja.
C. ANALISIS DATA
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
9
19. ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data.7
Dari rumusan di atas dapatlah kita tanarik garis besar bahwa
analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang
terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan, komentar
peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan
sebagainya.
Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan
metode pengumpulan data di atas, maka peneliti akan mengolah dan
menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptif-
kualitatif, tanpa menggunakan teknik kuantitatif.
Analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu tehnik yang
menggambarkan dan menginterpretasikan arti data-data yang telah
terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin
aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran
secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Menurut M.
Nazir bahwa tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
10
20. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. SEPERTI APA MASYRAKAT TANA TORAJA ?
1. Identitas etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri
mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum
penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di
daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam
dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran
tinggi Sulawesi.
Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki
hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku
Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—
daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di
wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan
bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan
memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas,
meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut),
suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).
11
21. 2. Sejarah
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara
Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja.
Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa
Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai
Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan
perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah
dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit
dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad
ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di
Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda
melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang
potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama
Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.[2]
Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan
menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah
Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan
subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada
tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan
Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
12
22. Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat
dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang
menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke
dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti
kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda
tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja
yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja
yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun
1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan
Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan
politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-
orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan
1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami
kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang
bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang
gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan
semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang
diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan
asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya
13
23. menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia
harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun
1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
3. Masyarakat
a. Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku
Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan
memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut
memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya)
adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku
Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu
ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian
bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam
ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.
Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya,
termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas
dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang
telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas
nama ibu, ayah dan saudara kandung.
14
24. Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten
Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri.
Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani
masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok;
kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain
Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan
berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun
hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan
masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak,
siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat
setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang
diperbolehkan untuk masing-masing orang.
b. Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat
dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang
biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh
pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak
diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah
tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
15
25. merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan
hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,
tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih
sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk
kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata
boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan
pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.
Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian.
Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga
beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti
pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung
berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik
keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat
utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa
saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa
membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status
budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan
dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual
dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu
hukuman mati.
16
26. c. Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan
animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan
sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari
surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku
Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.
Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia
manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah
dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya.
Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat
berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah
tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap
berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di
Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong
Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan
lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang
baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman,
disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian,
dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual
17
27. kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya.
Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi
diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih
sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai
jarang dilaksanakan.
4. Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh
dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau
dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau"
dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja.
Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap
masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani
(Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis,
bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas
karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara
bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia
telah memiliki dan hidup sebagai Tau. Toraja sendiri secara etimologi
berasl dari dua kata yaitu to atau tau yang artinya manusia, dan raja yang
artinya raja. Tana Toraja berarti tanah atau daerah asal para raja.
18
28. 5. Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual
yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa
seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan
pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang
hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat
pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik
suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi
duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku
untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak
kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang
ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang
datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap
menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu,
jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah
19
29. tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan
ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau.
Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang
disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya
bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan
puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman
yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang
pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua,
atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-
kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal
dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua
batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung
kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke
luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.
20
30. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.
B. PENGERTIAN
Rambu Solo adalah upacara pemakaman yang berada di Tana
Toraja. Upacara ini merupakan adat istiadat yang telah diwarisi oleh
masyarakat Toraja secara turun-temurun ini mewajibkan keluarga yang
ditinggal mati membuat pesta besar sebagai penghormatan terakhir kepada
mendiang yang telah pergi.
Upacara Rambu Solo‘ dalam masyarakat Toraja, dapat dipisahkan
dari tingkatan kasta (golongan) dalam masyarakat itu sendiri. Timgkatan
kasta dalam masyarakat Toraja dapat dibagi atas :
1. Tana‘ Bulaan (kasta bangsawan teratas)
2. Tana Bassi (kasta menengah)
3. Tana Karurung (kasta rakyat kebanyakan)
4. Tana Kua-Kua (kasta terendah/hamba)
Status sosial seperti tersebut diatas terikat dengan fungsi / jabatan
pada struktur sosial dan upacara-upacara adat, kerena itu jabatn pemangku
adat adalah berasal dari golongan-golongan menurut strata sosial diatas.
Dengan demikian corak dari pelaksanaan upacara Rambu Solo‘,
selalu didasarkan pada tingkatan sosial tersebut di atas. Dalam
melaksanakan suatu pesta adat terutama dalam upacara Rambu Solo‘,
makna pelaksanaan upacara itu harus disesuaikan dengan keadaan dari
21
31. yang meninggal dunia sesuai dengan kasta atau golongan yang sudah
turun-temurun disandangnya.
C. ASAL USUL UPACARA RAMBU SOLO’
Upacara aluk rambu solo’ bertujuan untuk menghormati dan
mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh,
bersama para leluhur mereka yang bertempat di puya. Upacara ini sebagai
penyempurnaan, karena orang baru dianggap benar-benar wafat setelah
seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang wafat
itu hanya dianggap sebagai orang yang ―sakit‖ atau ―lemah‖, sehingga ia
tetap diperlakukan seperti halnya ketika masih hidup, yaitu dibaringkan di
tempat tidur dan diberi makanan dan minuman, bahkan diajak berbicara.
Selain itu, orang Toraja arwahnya mencapai tingkatan dewa (to-membali
puang) untuk kemudian menjadi dewa pelindung (deata) (Mohammad
Natsir Sitonda, 2007).
Aluk rambu solo’ adalah warisan ajaran leluhur Toraja. Upacara ini
dilaksanakan berdasarkan keyakinan leluhur yang disebut aluk todolo,
berarti kepercayaan atau pemujaan terhadap roh leluhur. Di dalam aluk
todolo terdapat aluk pitung sabu pitu ratu pitungpulo atau 777 aturan,
salah satunya yang berhubungan dengan pemujaan roh leluhur pada saat
kematian (Sitonda, 2007). Berdasarkan status sosial orang atau tingkat
ekonomi keluarga yang diupacarakan, aluk rambu solo’ dapat dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu:
22
32. 1. Silli’, yakni upacara pemakaman untuk kasta paling rendah,
yaitu kasta kua-kua atau budak. Upacara jenis ini tidak ada
pemotongan hewan sebagai persembahan dan dibagi dalam
beberapa bentuk, seperti dedekan (upacara pemakaman
dengan memukulkan wadah tempat makan babi) dan
pasilamun tallo manuk (pemakaman bersama telur ayam).
2. Todibu’buk tedong diipissanni alukna yaitu pesta yang
dilakukan dengan memotong seekor kerbau dan beberapa
ekor babi yang dilakukan dalam upacara upacara anak kecil
keturunan bangsawan
3. Pasangbongi, yakni upacara yang hanya berlangsung satu
malam. Yang termasuk jenis ini antara lain bai a’pa’
(persembahan empat ekor babi), si tedong tungga
(persembahan satu ekor babi), di isi (pemakaman untuk
anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi dengan
persembahan seekor babi), dan ma’ tangke patomali
(persembahan dua ekor babi).
4. Di batang atau di doya tedong, yakni upacara untuk kasta
tana’ basi (bangsawan menengah) dan tana’ bulan
(bangsawan tinggi). Selain kerbau, upacara jenis ini juga
mempersembahkan babi dan ayam. Upacara biasanya
digelar selama 3-7 hari berturut-turut. Pada akhir acara,
23
33. dibuatkan sebuah simbuang (menhir) sebagai monumen
untuk menghormati orang yang wafat.
5. Dipalimang Bongi, Upacara pemakaman yang berlangsung
selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta
pemotongan hewan.
6. Dipapitung Bongi, Upacara pemakaman yang berlangsung
selama tujuh malam yang setiap harinya ada pemotongan
hewan.
7. To dipakasera bonginna (Toraja tomellao alang) yaitu pesta
yang dilakukan selama sembilan malam dengan memotong
dua belas sampai empat belas ekor kerbau dan puluhan
babi.
8. Rapasan, yakni upacara khusus bagi golongan tana’ bulan
(bangsawan tinggi) yang digelar selama 3 hari 3 malam.
Termasuk upacara jenis ini, antara lain rapasan diongan
(rapasan tingkat rendah hanya memenuhi syarat minimal
persembahan 9-12 kerbau), rapasan sundun (rapasan
lengkap persembahan 24 ekor kerbau dan babi tak terbatas),
dan rapasan sapu randanan (rapasan simbolik dengan
persembahan yang diandaikan 30 ekor kerbau) (Sitonda,
2007).
Pesta adat kematian ini adalah merupakan tradisi yang sudah turun-
temurun dan merupakan ciri khas orang Toraja, dimana peristiwa kematian
24
34. itu adalah merupakan suatu beban bagi semua anggita persekutuan adat.
Dalam pelaksanaan upacar pemakaman / pesta kematian tersebut, semua
anggota persekutuan baikl kerabat keluarga maupun pihak luar datang
untuk menolong dengan maksud meringankan beban keluarga dimana
turut juga merasakan perkabungan itu yang melanda para keluarga dari
pihak yang meninggal.
Saat ini, upacara adat aluk rambu solo’ di masyarakat Toraja sudah
mengalami perubahan yang cukup signifikan, khususnya dalam
kelengkapan persembahan. Faktor ekonomi menjadi salah satu akar
persoalannya karena hewan persembahan biasanya berharga cukup tinggi.
Misalnya, jenis kerbau yang digunakan bukan kerbau biasa, tetapi kerbau
bule (tedong bonga) yang harganya antara 10–50 juta/ekor (Saroenggalo,
2008).
D. PROSESI UPACARA RAMBU SOLO
Pesta Rambu Solo dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada
setiap saudara yang sudah meninggal. Penghormatan itu dianggap sebagai
persembahan yang terakhir sebelum bertemu dengan Tuhan. Masyarakat
Toraja percaya bahwa kematian akan sempurna jika prosesi itu dilakukan.
Tradisi Rambu Solo termasuk proses penyempurnaan kematian. Karena
sebelum dilakukan, orang yang meninggal akan dianggap sakit atau lemah.
Sehingga, jasadnya selama pesta belum dilakukan akan dibaringkan di
Tongkonan ( rumah adat Toraja). Kewajiban keluarga yang masih hidup
yakni membuat pesta pemakaman.
25
35. Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak
dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum
terjadinya upacara Rambu Solo‘ maka orang yang meninggal itu dianggap
sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‗sakit‘, maka orang yang
sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang
masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan
rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus
dijalankan seperti biasanya. Prosesi itu menghabiskan dana yang tak
sedikit. Semakin tinggi tingkat sosial dan derajat kebangsawanan, maka
pesta yang dilakukan juga semakin meriah. Biasanya pesta diadakan tujuh
hari lamanya. Hal ini dikenal dengan Dipapitung Bongi. Hewan yang
dipersembahkan juga jumlahnya cukup banyak. Jumlah kerbau 25 – 150
ekor, babi 50 – 350 ekor. Kerbau yang dikurbankan juga bukan kerbau
biasa. Melainkan kerbau pilihan khas Toraja (Tedong Bonga) dengan
harga yang lumayan besar. Satu ekor kerbau bisa seharga Rp 300 - 350
Juta. Makanya Rambu Solo yang besar menghabiskan anggaran milyaran
rupiah. Rambu Solo yang lengkap disebut sapu randanan sarrinna bone
bone (pesta terlengkap) karena semua jenis kerbau (Tedong Bonga) yang
dipersembahkan lengkap. Kemeriahan Rambu Solo bisa kita temukan di
Toraja atau Toraja Utara.
Jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara
Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja)
sampai pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk
26
36. melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu bisa memakan
waktu bertahun-tahun.
Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban
tersebut, barulah Rambu Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari
rumah duka ke tongkonan tammuon (tongkonan pertama tempat dia
berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban
atau dalam bahasa Torajanya Ma‘tinggoro Tedong, yaitu cara
penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan
satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada
sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi
dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Setiap akhir tahun (Desember) rangkaian prosesi upacara kematian
yang megah biasa digelar di daerah yang jaraknya 350 km dari Makassar
tersebut. Kemeriahan terlihat saat puncak acara Rambu Solo. Secara
umum prosesi Rambu Solo dimulai dengan Ma paroko paladan. Yaitu
meurunkan jenazah dari rumah ke teras Tongkonan. Selanjutnya semua
jenis kerbau yang akan dipersembahkan akan diberi nama oleh tujuh tokoh
adat. Setelah itu Ma pasa tedong. Kerbau pilihan akan diadu satu sama lain
di sebuah lapangan luas. Ribuan masyarakat berkumpul di lapangan
menanti adu kerbau tersebut.
Setelah mengadu kerbau pilihan, prosesi yang menarik bagi
masyarakat toraja yakni Ma pasisemba. Tradisi baku tendang antara
penduduk kampung dianggap sebagai tanda persahabatan. Masyarakat
27
37. akan berkumpul di lapangan, berhadap-hadapan dan melakukan aksi
―kungfu‖ secara bersama. Seorang tokoh adat berdiri di tengah lapangan
menjadi pemandu tanda si semba di mulai. Pada hari pemakaman jenazah
dipindahkan dari teras ke depan rumah, lalu kemudian jenazah diarak
keliling kota Toraja sebelum diantar ke tempat peristirahatan terakhir.
Dalam proses ini ribuan masyarakat akan mengiringi jenazah. Sambil
membentangkan kain berwarna merah yang cukup pajang.
Setelah prosesi pemakaman usai, keluarga menerima tamu
undangan, kerabat dan para pejabat yang berkunjung ke rumah duka.
Proses menerima tamu ini dilakukan bersamaan dengan mengurbankan
Tedong Bonga. Caranya pun sangaat unik yakni hanya dengan melakukan
satu kali tebasan pada leher kerbau itu. Daging kerbau tersebut kemudian
dibagi-bagikan pada warga dan dijadikan santapan selama menerima tamu.
Proses itu pun berakhir setelah pesta menerima tamu undangan usai.
Rambu Solo membuat kematian menjadi sempurna sebab dalam
kepercayaan masyarakat Toraja, Dewata akan menerima segala
pengorbanan anak cucu yang masih hidup .
Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja).
Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang,
biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan,
kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante
dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat
28
38. arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat
keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.
Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan,
pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang
sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal
dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan
tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah
duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus
tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah
sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor.
Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga
yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak
kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah
disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan
diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama
prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi
di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari
pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di
atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor
kerbau yang akan ditebas.
29
39. Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah
penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air.
Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan
hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan
mempertontonkan ma‘pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya
para penonton, karena selama upacara Rambu Solo‘, adu hewan pemamah
biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu. Namun terkadang acara
ini disalahgunakan oleh sebagian penonton, yakni seringkali acara
ma‘pasilaga tedong (adu kerbau) dijadikan ajang berjudi, yang bernilai
sampai pulihan juta rupiah.
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau
merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan
sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu
lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal
ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja
hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing
maupun yang di patane‘ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).
a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Upacara aluk rambu solo’ digelar sesuai dengan kesiapan
keluarga secara ekonomi karena membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Bagi kaum bangsawan yang mampu, biasanya akan
langsung menggelar upacara ini ketika ada anggota keluarga yang
meninggal. Namun, bagi kalangan biasa, mereka akan menunggu
30
40. hingga punya cukup dana. Sementara itu, tempat pelaksanaan
upacara dipusatkan di dua lokasi, yakni di rumah duka dan di
lapangan (rante).
b. Peserta dan Pemimpin Upacara
Peserta upacara aluk rambu solo’ adalah seluruh keluarga
orang yang wafat dan segenap warga masyarakat. Pelaksanaan
upacara ini dipimpin oleh beberapa orang khusus yang terdiri dari:
1. To mebalun atau to ma’kayo, bertugas memimpin
dan membina upacara pemakaman.
2. To ma’pemali, bertugas melayani, merawat, dan
memelihara jenazah selama upacara berlangsung.
3. To ma’kuasa, bertugas membantu secara umum
pelaksanaan pemakaman.
4. To ma’sanduk dalle, perempuan yang khusus
menyiapkan nasi bagi jenazah yang akan
dimakamkan.
5. To dibulle tangnga, perempuan yang bertugas
sebagai penghubung antarpetugas upacara yang lain,
khususnya yang berkaitan dengan sesaji.
6. To sipalakuan, orang yang bertugas memenuhi
semua kebutuhan perawatan jenazah dan upacara.
31
41. 7. To ma’toe bia’, seorang laki-laki yang bertugas
menyalakan api dan memegang obor selama
upacara berlangsung.
8. To masso’ boi rante, perempuan yang bertugas
membuka jalan ke rumah duka atau lapangan
tempat upacara.
9. To mangengnge baka tau-tau, seseorang yang
khusus membawa tempat pakaian dari patung.
c. Peralatan dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara aluk
rambu solo’ antara lain:
Tombi saratu, kain panjang seperti umbul-umbul.
Tuang-tuang atau tanda upacara.
Gendang.
Maa’, kain berukir sebagai tanda kemuliaan.
Sesaji.
Gong atau bombongan.
d. Proses Pelaksanaan
Proses pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ meliputi 3
tahap, yaitu: persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Berikut adalah
proses pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ yang digelar selama
4 hari.
32
42. 1. Persiapan
Untuk menyiapkan upacara aluk rambu solo’,
beberapa persiapan yang harus dilakukan meliputi:
pertemuan keluarga, pembuatan pondok upacara, dan
menyediakan peralatan upacara.
Pertemuan keluarga orang yang wafat, baik dari
pihak ibu maupun bapak, dilakukan untuk
membicarakan ahli waris, tingkat upacara yang akan
dilakukan, tempat pelaksanaan upacara, dan lain-
lain.
Pembuatan pondok upacara terdiri dari dua macam,
yaitu yang ada di halaman rumah orang yang wafat
dan di lapangan upacara. Pondok-pondok tersebut
nantinya selain untuk pelaksanaan upacara juga
sebagai tempat menginap para tamu. Pondok
dibangun sesuai kasta orang yang wafat.
Menyediakan peralatan upacara seperti peralatan
makan, tidur, sesaji dan lain-lain.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ terbagi
menjadi dua tahap, yaitu aluk pia atau aluk banua, yakni
upacara dilakukan di halaman rumah orang yang wafat
(upacara tahap pertama), dan aluk palao atau alok rante,
33
43. yakni upacara yang dilakukan di lapangan atau rante
(upacara tahap kedua).
1. Aluk Pia atau Aluk Banua
Pada upacara pemakaman di halaman rumah,
jenazah tetap di rumah duka. Upacara tahap pertama ini
digelar selama 4 hari berturut-turut. Pada hari pertama
dilakukan persembahan sesaji berupa kerbau dan babi,
dengan diiringi nyanyian semalam suntuk (ma’badong). Di
hari pertama ini, dilakukan juga perubahan letak jenazah
sekaligus status mayat berubah menjadi to makula, yaitu
orang yang dianggap benar-benar telah wafat.
Hari kedua, selain tetap melantunkan nyanyian
semalam suntuk, keluarga menerima masyarakat dan
kerabat yang biasanya datang dengan membawa
sumbangan berupa hewan atau uang. Sumbangan ini
sebagai tanda bahwa kelak jika sang penyumbang juga
menyelenggarakan upacara, maka yang disumbang harus
mengembalikannya, meskipun tidak dianggap sebagai
utang. Para tamu biasanya akan memperkenalkan kerabat
masing-masing sehingga dari sini mereka akhirnya saling
mengetahui jalinan kekerabatan mereka.
Pada hari ketiga diadakan dua ritual. Pertama yaitu
ma’bolong, penyembelihan babi di pagi hari oleh to
34
44. mebalun di mana semua orang berpakaian hitam sebagai
tanda berkabung. Kedua, ma’batang, penyembelihan
kerbau di lapangan dan dilanjutkan dengan pembacaan
mantra pujian pada leluhur dari atas menara daging
(bala‘kayan).
Di hari keempat dilakukan ritual memasukkan
jenazah ke dalam sebuah peti kayu. Kayu yang digunakan
harus kayu yang sudah mati (kayu mate) dan menjadi
simbol bahwa jenzah telah benar-benar mati.
2. Aluk Palao atau Aluk Rante
Tahap ini digelar di lapangan dengan 4 prosesi,
yaitu ma’ palao, allo katongkonan, allo katorroan, mantaa
padang, dan meaa.
Ma’ palao, jenazah dari lumbung dipindahkan di
lapangan dan dibawa dengan iringan arak-arakan.
Sesampai di lapangan, kerbau dipotong dengan ditebas
langsung lehernya. Daging kerbau lalu dibagikan
kepada yang hadir dengan sebelumnya didendangkan
syair-syair kedukaan yang diucapkan dalam bahasa adat
Toraja.
Allo katongkkonan, keluarga menerima tamu yang
datang dan mencatat pemberian sumbangan.
35
45. Allo katorroan, keluarga dan petugas istirahat sejenak
untuk membicarakan persiapan acara puncak pesta
pemakaman. Pada tahap ini, disepakati lagi berapa
kerbau yang akan dipotong.
Mantaa padang, acara puncak yaitu pemotongan kerbau
yang telah disepakati sebelumnya. Daging kerbau
kemudian dibagikan kepada keluarga dan kerabat sesuai
adat. Terkadang ada kerbau yang dibiarkan hidup tapi
sudah diniatkan untuk disembelih dan disumbangkan
untuk masyarakat.
Me aa, jenazah diturunkan dari lakian atau ke tempat
pemakaman, kemudian digelar ibadah pemakaman,
ungkapan belasungkawa, ucapan terima kasih dari
keluarga, dan prosesi pemakaman jenazah.
Adapun secara berurutan prosesi pesta kematian orang Toraja yang dipestakan
selama tiga hari ( dipatallung bongi ) yang dilaksanakan menurut adat Toraja
adalah sebagaai berikut :
1. Ma’dio yaitu upacara memandikan mayat
2. Ma’karu’dusan yaitu upacara memotong seekor kerbau.
3. Ma’batang yaitu memotong seekor kerbau
4. Ma’baliun yaitu upacara pembungkusan mayat dengan beberapa lembar
kain yang berbentuk bulat lonjong.
36
46. 5. Mantunu yaitu upacara adat yang pada saat itu merupakan puncak dari
pesta kematian tersebut.
6. Me aa, jenazah diturunkan dari lakian atau ke tempat pemakaman,
kemudian digelar ibadah pemakaman, ungkapan belasungkawa, ucapan
terima kasih dari keluarga, dan prosesi pemakaman jenazah.
7. Ma’bolong yaitu upacara memotong seekor babi, yang dalam upacara ini
diadakan suatu upacara adat dimana pakaian dari keluarga tersebut
berkembang.
8. Ma’bandalle yaitu upacara memotong seekor babi.
9. Untoe sero yaitu upacara memotong seekor babi, yang menandakan bahwa
bahwa keluarga telah melaksanakan semua cara aturan menurut upacara
adat orang mati.
10. Malolo yaitu upacara memotong seekor babi, yang menandakan bahwa
keluarga yang pada sebelumnya bertentangan untuk makan nasi sebagai
tanda berkabung ( ma’ro ), sudah dapat memakannya kembali.
11. Ma’karu’dusan yaitu upacara memotong seekor babi, pertanda bahwa
semua sanak keluarga sudah bebas dari acara yang dilakukan dalam
upacara kematian tersebut.
c. Penutup
Upacara aluk rambu solo’ dinyatakan berakhir jika
jenazah telah selesai dimakamkan. Saat ini, pelaksanaan
upacara aluk rambu solo’ telah banyak berubah. Salah satu
perubahannya adalah digelarnya upacara selama 12 hari
37
47. dengan urutan acara sebagai berikut: Ma’pasuluk
(pertemuan keluarga), mangriu’ batu (menarik batu
simbuang), ma’ pasa tedong (menghitung ulang hewan
korban), ma’ pengkalao (memindahkan jenazah ke
tongkonan), mangisi lantang (mengisi pondok), ma’
pasonglo (memindahkan jenazah dari lumbung), allo
katongkonan (keluarga menerima tamu), allo katorroan
(istirahat), mantaa padang (memotong hewan korban), dan
me aa (pemakaman jenazah).
Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu
menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah
(ma‗tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada
peti jenazah (ma‗roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan
(ma‗popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan
terakhir (ma‗palao).
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan
mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya
upacara pemakaman Rambu Solo'.
e. Doa-doa
Dalam upacara adat aluk rambu solo’, terdapat doa-doa yang
dilantunkan, antara lain:
1. Doa permohonan perlindungan.
2. Doa pengagungan kepada leluhur.
38
48. 3. Doa kepada orang yang wafat agar arwahnya diterima.
f. Pantangan dan Larangan
Terdapat pantangan dalam upacara adat aluk rambu solo’,
yakni selama upacara berlangsung, seluruh peserta upacara dilarang
membuat gaduh pada saat mantra dibacakan, dan untuk pihak keluarga
tidak boleh membatalkan sesaji yang telah disepakati.
E. NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM RAMBU SOLO
Upacara Rambu Solo memiliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan
masyarakat, di antaranya adalah gotong royong dan tolong-menolong.
Meskipun terlihat sebagai pemborosan karena mencari harta untuk
dihabiskan dalam suatu kematian, unsur gotong royong yang terlihat
sangatlah jelas, contohnya dalam hal penyediaan kerbau. Suatu keluarga
yang dirundung duka (yang ditinggal mati) mendapat sumbangan kerbau,
babi, atau uang dari sanak keluarganya untuk melangsungkan Rambu
Solo.
Unsur tolong-menolong pun juga berperan dalam pelaksanaan
Rambu Solo. Upacara ini dilakukan oleh siapa pun yang mampu.
Biasanya, ada juga pembagian daging kerbau kepada orang-orang yang
tidak mampu. Hal ini menyebabkan adanya pengurangan kesenjangan
sosial.
Selain dua nilai di atas, nilai religi juga tampak dari upacara
Rambu Solo. Masyarakat Toraja memaknai kematian sebagai suatu hal tak
ditakuti karena mereka percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian.
39
49. Bagi mereka, kematian adalah bagian dari ritme kehidupan yang wajib
dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi kegembiraan yang
membawa manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur. Dengan
kata lain, mereka percaya adanya kehidupan setelah kematian.
Dalam upacara kematian Rambu Solo, kesedihan tidak terlalu
tergambar di wajah-wajah keluarga yang berduka, sebab mereka punya
waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat jalan kepada si mati, sebab
jenazah yang telah mati biasanya disimpan dalam rumah adat (tongkonan),
disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan
ada beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai keluarga bisa atau
mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah
menunggu sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap
menghadiri pesta kematian ini. Karena mereka menganggap bahwa orang
yang telah mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini
dianggap belum mati dan dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih ―
sakit ―. Orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan
sebagai orang yang masih hidup.
Upacara adat aluk rambu solo’ memiliki nilai-nilai tertentu dalam
dalam kehidupan orang Toraja, antara lain:
Menghormati leluhur. Leluhur memiliki pengaruh yang kuat dalam
kehidupan orang Toraja, dan oleh karena itu, leluhur harus dihormati,
salah satunya dengan menggelar upacara aluk rambu solo’ ini.
40
50. Nilai kekerabatan. Nilai ini tercermin dari ungkapan simpati kerabat
yang datang dengan membawa beragam bantuan. Hal ini tentu saja
kian menguatkan kekerabatan mereka.
Pelestarian tradisi. Upacara aluk rambu solo’ merupakan warisan
leluhur, dan dengan menggelar upacara ini merupakan upaya
pelestarian tradisi.
Menjaga semangat suku. Pelaksanaan upacara adat aluk rambu solo’
juga merupakan salah satu upaya untuk menjaga semangat kesatuan
suku karena upacara ini menjadi perekat masyarakat Toraja.
Sakralitas dan spiritualitas. Nilai ini tercermin dari pelaksanaan
upacara yang kental dengan nuansa sakral karena arwah leluhur
diyakini hadir dalam acara ini.
41
51. BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Pesta adat Rambu Solo‘ merupakan pesta adat sebagai bentuk
penghormatan terakhir bagi seseorang yang meninggal dunia.
Rambu Solo‘ mempunyai tingkatan dalam memotong babi dan
kerbau berdasarkan tingkatan kasta dalam tatanan masyarakat.
Upacara aluk rambu solo’ bertujuan untuk menghormati dan
mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam
roh, bersama para leluhur mereka yang bertempat di puya.
Upacara ini sebagai penyempurnaan, karena orang baru dianggap
benar-benar wafat setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi.
2. Dalam pesta adat Rambu Solo‘ lama rangkaian acara juga
bergantung pada seberapa tinggi tingkatan kasta daro orang yang
meninggal dunia tersebut.
3. Rambu Solo‘ merupakan ―upacara adat orang mati atau aluk rampe
matampu‘ ialah semua upacara keaagamaan yang
mempersembahkan babi dan kerbau pada arwah leluhur atau untuk
orang yang meninggal dunia, seperti pada pemakaman secara adat
yang disebut ma’nene’ yaitu upacara memotong babi dan kerbau
untuk orang yang sudah dikuburkan dipekuburan liang batu‖.
4. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang
selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses
42
52. pembungkusan jenazah (ma‗tudan, mebalun), pembubuhan
ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‗roto),
penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan
(ma‗popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat
peristirahatan terakhir (ma‗palao).
B. SARAN
1. Disarankan untuk kita sebagai generasi muda untuk memahami,
melastarikan dan menggali budaya yang telah diwariskan nenek
moyang kita dan dikembangkan seiring dengan perkembangan
zaman untuk tetap memperkaya budaya bangsa Indonesia.
2. Menjaga kelestarian budaya lokal merupak suatu hal yang menajdi
kewajiban setiap masyarakat, agar nilai-nilai luhur yang telah ada
sejak dulu tetap menyatu dengan kepribadian setiap masyarakat.
3. Kewajiban melestarikan kebudayaan bukan hanya menjadi
kewajiban dari masyarakat, tapi seluruh pihak berkewajiban atas
hal tersebut, khususnya pemerintah untuk terus mendukung unsur-
unsur pengembangan kebudayaan lokal.
43
53. DAFTAR PUSTAKA
Puspitasari,Wati. 13 Mei 2011. Kebudayaan Suku Toraja. Online. 21 Febriari
2012. http://watipuspitasari.blogspot.com/2011/05/kebudayaan-suku-toraja.html
Rustan. 18 Februari 2011. Portal Bugis. Online. 21 Februari 2012.
http://portalbugis.wordpress.com/
K.D. Yohanis. 28 April 2011. Pemakaman Adat Tana Toraja. Online. 21 Febriari
2012. http://www.jalanjalanyuk.com/rambu-solo%E2%80%99-pemakaman-adat-
tana-toraja/
Aryadi, Wahyu. 22 Oktober 2010. Upacara Adat Rambu Solo‘ Tana Toraja.
Online. 10 Maret 2012. http://aviscena-ary.blogspot.com/2010/10/upacara-adat-
rambu-solo-tana-toraja.html
Tandi, Priska. 7 Januari 2012. Rambu Solo‘ di Tana Toraja. Online. 15 Maret
2012. http://priskatandi.wordpress.com/2011/01/22/rambu-solo-di-tana-toraja/
Tandipondan, Herlina Teda‘. 2005. Bentuk dan Beberepa Aspek Budaya Pesta
Adat Rambu Solo‘ dan Rambu Tuka‘ di Kecamatan Saluputti Kabupaten Tana
Toraja.Skripsi yang tidak diterbitkan. Makasar: UNM
44