Dokumen tersebut membahas perkembangan peta gempa dan penerapannya dalam perencanaan gedung tahan gempa di Indonesia. Beberapa poin utama yang dibahas antara lain perkembangan standar tahan gempa Indonesia sejak tahun 1966, identifikasi sumber gempa berdasarkan sesar aktif, dan perubahan-perubahan penting dalam SNI 1726 pada tahun 2002, 2012, dan 2019 untuk meningkatkan ketahanan gedung terhadap gempa.
Setelah terjadi gempa dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, beberapa wilayah di Sumatera Barat juga terkena dampaknya yaitu kepanikan dan trauma. Presentasi ditampilakn pada sat pembukaan Museum Purbakala di Bukittinggi
Setelah terjadi gempa dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, beberapa wilayah di Sumatera Barat juga terkena dampaknya yaitu kepanikan dan trauma. Presentasi ditampilakn pada sat pembukaan Museum Purbakala di Bukittinggi
Structure Evaluation of Multi-Story Building With Pushover Analysis due to Fu...RizqullahRafi1
Pushover analysis at some highrise building located in Yogyakarta Indonesia. This evaluation was carried out because Jogja is an earthquake-prone area, and the function of the building has been changed
TUGAS UJI KOMPETENSI-INDAH ROSANTI-AHLI UTAMA MANAJEMEN KONSTRUKSI.pptx
1905511071 petris pratama paratte rangkuman video
1. Nama : Petris Pratama Paratte
NIM : 1905511071
Mata Kuliah : Dinamika Struktur dan Teknik Gempa
LINK VIDEO : https://www.youtube.com/watch?v=XYM9K56DBuY
Perkembangan dan Penerapan Peraturan Desain
Bangunan Tahan Gempa
Oleh : Ir. Lutfi Faizal
I. Perkembangan dan Penerapan SNI Infrastruktur Tahan Gempa
Berdasarkan data informasi bencana Indonesia (DIBI)-BNPB 2009 - 2019, sebesar 75%
(14.761) bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi dan sebesar 25% (4.790)
bencana geologi. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bencana dari 2004-2016 mencapai
±Rp 234,13 Triliun. Tingginya angka ini dipengaruhi salah satunya oleh tingkat kerusakan
infrastruktur dan berpotensi mengganggu perekonomian secara lebih luas (regional dan
nasional).
Pada dasarnya alasan ketidakmampuan konstruksi bangunan menahan beban gempa
yang sudah didesain adalah karena kesalahan penerapan teknologi dan/atau industri oleh pelaku
konstruksi terkait aspek pengoperasian, desain, kelalaian, dan kesengajaan sehingga kaidah
teknis tidak diikuti. Kemajuan teknologi konstruksi yang harus diperhitungkan juga dalam
melakukan sebuah proyek konstruksi adalah ketentuan teknis terkait bahaya ikutan pembangun
pada zona rawan lukuifaksi, batas jalur patahan aktif, tsunami, dan kerusakan permukaan tanah.
Tuntutan perlunya penerapan SNI 1726:2019 :
Terjadi peningkatan sumber gempa
Frekuensi kejadian bahaya guncangan aktifitas gempa cukup tinggi disertai
bahaya ikutan : Tsunami, Likuifaksi, kerusakan permukaan tanah, dan
longsoran.
Sering terjadi resiko kegagalan bangunan yang rusak/runtuh dan korban jiwa
saat gempa terjadi
SNI 1726:2019 telah diadopsi menjadi regulasi SNI yang berlaku wajib oleh
Kementetrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Peraturan Menteri PU
No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
2. I.a Perkembangan Standar Tahan Gempa Indonesia
1. Peraturan Beton Indonesia (PBI) tahun 1966
Dikutip dari geophysical Notes No.2 Tahun 1962
Wilayah Indonesia diperhitungkan terhadap gempa (dibuat tahun 1962 dan Irian
Jaya belum masuk wilayah Repubik Indonesia)
Rawan gempa : Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian utara, Kepulauan
Maluku, Sumatera bagian Barat, Jawa bagian selatan, Kepulauan Nusa Tenggara
2. Peraturan Muatan Indonesia (PMI) tahun 1970
Sama Seperti PBI 1966
Seluruh wilayah Indonesia termasuk Irian Jaya
3. Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung 1981
Gempa Bali 1976 korban jiwa 559 orang, luka berat 850 orang & luka ringan
3200 orang serta 75% rumah rusak berat di Tabanan dan Jembrana.
Revisi setelah terjadinya gempa Bali 1976
Revisi PMI 1970
Kerjasama bilateral antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Selandia
Periode ulang 200 tahun (kemungkinan terjadi 10% dalam jangka waktu 20 tahun)
3. 4. SNI 03-1726-1989
Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung 1983
Tata Cara Perencanaan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983
Buku Pedoman Perencanaan Untuk Struktur Beton Bertulang Biasa Dan Struktur
Tembok Bertulang Untuk Gedung 1983
Pedoman perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan Gedung SKBI
1.3.53.1987
Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan Gedung, SNI-03-1726-
1989, Meneg PU, 3 Nop. 97
5. SNI 1726:2012
Revisi setelah terjadinya gempa Aceh, Nias dan Padang
Mengaku ASCE/SEI 7-2010 dan FEMAP 750 (Building Seismic safety Council,
2009)
Penentuan peta gempa berdasarkan analisis bahaya seismic probabilistic dan
analisis bahaya gempa deterministik
4. Bahaya seismik probabilistik didasarkan : 2% kemungkinan terlampaui dalam
kurun waktu 50 tahun atau perioda ulang sekitar 2500 tahun
Dua parameter yang penting ; parameter respons spectral percepatan gempa
tertimbang maksimum redaman 5% pada perioda pendek (Ss) dan parameter respons
spectral percepatan gempa tertimbang maksimum redaman 5% pada perioda 1detik
(S1)
6. Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017
Peta telah berumur lebih dari 5 tahun
Adanya identifikasi sumber kegempaan yang baru
Peningkatan keakuratan estimasi parameter penting dalam mengkonstruksi peta
gempa dan pedetailan sumber gempa background
Persamaan atenuasi gelombang gempa terkini
Peningkatan sesar aktif 8 : 1 sesar aktif (2010) menjadi 295 sesar aktif (2017)
7. SNI 03-1726-2019
Sumber gempa yang meningkat
Mengacu pada ASCE 7-16
Penataan Kembali kombinasi beban dengan perubahan kombinasi beban gempa
horizontal dan vertical
Penambahan peta perioda Panjang (long transition period/TL)
Analisis ragam respons spektrum
5. Analisis respons spektrum pada lokasi dekat sesar aktif
Memperhitungkan pengaruh likuifaksi
II. Beberapa Catatan Sosialisasi Pemutakhiran SNI 1726-2012 menjadi SNI 1726-
2019
Pemutakhiran SNI 1726-2012 menjadi SNI 1726-2019 dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas perencanaan bangunan tahan gempa di Indonesia, yang
didasarkan kepada hasil-hasil penelitian dan kajian terbaru, hasil investigasi pasca gempa, dan
pengalaman-pengalaman praktis yang telah terakumulasi selama ini.
Kinerja struktur bangunan pada tingkat-tingkat beban gempa tertentu dapat
digambarkan seperti di bawah ini :
1. Operational : Merupakan saat dimana beban geser masih rendah
sehingga operasional dalam Gedung masih bisa berjalan
seperti biasanya
2. Immediate Occupancy : Merupakan saat dimana beban geser akibat gempa
mulai meningkat dan mulai muncul retak sedikit namun
apabila gempa telah selesai maka bangunan masih bisa
ditempati seperti sedia kala
3. Life Safety : Merupakan saat dimana bangunan mulai menunjukan
retakan namun masih memiliki waktu yang cukup untuk
menyelamatkan diri dari Gedung
4. Collapse Prevention : Merupakan beban maksimum yang dapat ditahan
bangunan sebelum terjadi keruntuhan
5. Collapse : Merupakan saat dimana bangunan sudah tidak mampu
menahan beban geser/gempa yang diterima
(keruntuhan)
6. Standard Occupancies (Categories I and II)
Merupakan bangunan biasa (hunian rumah,apartemen,mall,dll) yang didesain untuk
menahan beban layan dengan fase immediate occupancy dan apabila terjadi gempa, beban
geser maksimum yang dapat ditahan bangunan adalah pada fase collapse prevention
High Occupancy (Category III)
Merupakan bangunan infrastruktur yang didesain untuk menahan beban layan
dengan fase operational dan apabila terjadi gempa, beban geser maksimum yang dapat
ditahan bangunan adalah pada fase life safety hingga collapse prevention
Essential and Hazardous Facilities (Category IV)
Merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat perlindungan dari bencana
dan bangunan yang digunakan untuk tempat operasional bahan-bahan berbahaya yang
didesain untuk menahan beban layan dengan fase operational dan apabila terjadi gempa,
beban geser maksimum yang dapat ditahan bangunan adalah pada fase life safety.
7. LINK VIDEO : https://www.youtube.com/watch?v=XYM9K56DBuY
Sumber Gempa, Perkembangan Peta Gempa Dan Penerapannya Dalam Perencanaan
Gedung Tahan Gempa Indonesia
Oleh : Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja
Sumber gempa adalah sesar yang aktif. Sesar disebut aktif apabila masih bergerak
dalam kurun 125.000 tahun terakhir/memotong Lapisan Holosen-Pleistosen Akhir
(McClymont, 2001). Sesar Aktif dapat diidentifikasi dari lanskap tektoniknya atau dari
pergerakan sesar ketika gempa (fault rupture).
Prediksi Gempa :
1. Deformasi Elastik Simple Siklus Gempa Ideal
Siklus gempa besar biasanya puluhan-ratusan-ribuan tahun tergantung dari laju
geraknya.
2. Deformasi Tidak Simple Siklus Gempa Masih Terprediksi
3. Deformasi Komplek Siklus Gempa Chaos Susah Diprediksi
Siklus gempa ini yang umumya terjadi di alam
Catatan : Terjadinya gempa sangat sulit untuk diprediksi
8. Monitoring Gempa :
Catatan Sejarah
Seismologi (seismometer)
Geodesi (GPS. Interferometri)
Paleoseismology (Trenching)
Paleogeodesi (e.g. microatolls)
Sinyal Listrik, medan magnet, dll
Prediksi Gempa :
JANGKA PANJANG SIKLUS GEMPA
( sekarang sudah diterapkan dalam mitigasi)
JANGKA PENDEK (Bulan, hari) PRECURSOR
( masih eksperimental, umumnya belum bisa diterapkan dalam mitigasi praktis)
Jenis dan Mitigasi Bahaya Gempa
Bahaya Pergerakan Sesar Mitigasi Sesar Aktif buat BUFFER ZONE
Bahaya Goncangan Gempa Mitigasi goncangan : SEISMIC HAZARD ANALYSIS
yaitu Deterministic dan Probabilistic
BAHAYA IKUTAN : likuifaksi gerakan tanah, dan tsunami.
Input sumber gempa untuk peta Seismic Hazard Indonesia :
Zona Gempa Antar Lempeng (Zona Subduksi, Zona Kolisi)
Data Sesar Aktif (Shallow Crustal Faults), Segementasi Sesar dan parameter seismik
untuk setiap segmen sesar (Mmax, slip rate, reccurent interval, paleoseismologi)
Katalog Gempa (Katalog Gempa PuSGen 2016) a & b values, area-source
earthquake (e.g. Benioff zone), (background) Gridded Seismicity (potensi gempa dari
sumber – sumber gempa yang tidak teridentifikasi)
Data Lainnya :
o Data GEODESI – GPS laju pergerakan sesar dan Analisa stress-strain
o Data Seismologi dan Geofisika Lokasi dan Geometri Sesar, Seismisitas
9. PETA SESAR AKTIF DI INDONESIA – PSHA 2017 – SNI 1726-2019
Perlu dipahami bahwa peta sesar aktif di Indonesia umumnya masih preliminary. Hanya
sedikit yang sudah di petakan dan diteliti detil.
Peta Sesar Aktif akan terus diperbahrui sejalan dengan perkembangan riset
Peta Sesar Aktif yang menjadi Input PSHA 2017 bukan Peta Asli (yang lebih detil) tapi
peta Model Sesar Aktif atau Seismotektonik yang disederhanakan dari Peta Asli setelah
dilakukan analisis segmentasi seismic-nya.
Peta Sesar Aktif dari PSHA ini dapat dijadikan patokan awal untuk mengetahui
kedekatan lokasi bangunan terhadap sesar tapi tidak bisa untuk mitigasi bahaya
pergerakan sesar atau analisis seismic hazard yang lebih detil.
Peta sesar aktif tidak sama dengan peta sesar dalam peta geologi umum. Sesar aktif
dipetakan dengan metode berbeda
Akurasi pemetaan sesar aktif tergantung dari resolusi topografi/bathimetri. Minimal
berskala 1:50.000. Sekarang sangat terbantukan dengan tersedianya DEMNAS 8.5 grid
dari BIG
10. Catatan : Data sesar aktif detil mungkin tidak terlalu dibutuhkan untuk infrastruktur yang
lokasinya jauh, tapi akan sangat penting untuk yang dibangun di dekat atau berada pada
zona sesar.
Perkembangan Peta Gempa Dan Penerapannya Dalam Perencanaan Gedung Tahan
Gempa Indonesia
Oleh : Prof. Dr. Masyhur Irsyam
Implementation of the Indonesian Hazard Maps 2010 in earthquake resistance building and
infrastructure design code :
Untuk Gedung digunakan periode ulangnya 2.500 tahun dengan risk of collapse 50
tahun
Untuk jembatan periode ulangnya 1.000 tahun
Untuk Metro Tunnels periode ulangnya 1.000 tahun
Untuk bendung, OBE periode ulangnya 145 tahun dan SEE periode ulangnya 2.500
sampai 10.000 tahun atau menggunakan DSHA
Untuk Offshore Platforms periode ulangnya 2.500 tahun
Untuk jembatan rel kereta api periode ulangnya 1.000 tahun
Likuifaksi pada runway bandara peridoe ulangnya 1.000 tahun
Significant changes of building code SNI-1726
1. Untuk SNI 2002
Mengadopsi UBC (Uniform Building Code) 1997
Hanya ada 1 Map yaitu PGA (Peak Ground Acceleration)
Develoment of Design Response Spectra :
2. Untuk SNI 2012
Mengadopsi ASCE 7-10
Ada 3 Maps yaitu :
o PGA
o Ss (Spectral Acceleration 0,2 sec)
11. o S1 (Spectral Acceleration 1,0 sec)
Development of Design Response Spectra :
3. Untuk SNI 2019
Mengadopsi ASCE 7-16
Ada 4 Maps yaitu :
o PGA
o Ss
o S1
o TL (Long Period Transition Periods)
Development of Design Response Spectra :
12. LINK VIDEO : https://www.youtube.com/watch?v=13ynEGlAYXY
Konsep Perancangan Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung Tahan Gempa
Oleh: Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc., Ph.D.
Lingkup SNI mencakup perancangan bangunan Gedung dan non Gedung. Elemen
struktur bangunan dapat direncanakan hanya untuk menahan beban vertikal saja atau beban
lateral saja atau keduanya. Pada pendekatan desain, bangunan gedung dan non-gedung
umumnya didesain secara linear elastic terhadap beban gravitasi (beban DL, SDL, dan LL) dan
angin. Pada kondisi ini, struktur tidak boleh mengalami kerusakan, akan tetapi beton boleh
mengalami keretakan. Sebaliknya, bangunan gedung dan non-gedung umumnya didesain
secara inelastic terhadap beban gempa rencana (DBE). Pada hal tersebut, struktur boleh
mengalami kerusakan yang terkontrol dan tidak mengalami keruntuhan. Level gempa sendiri
terbagi menjadi dua bagian, yaitu Design Basis Earthquake (DBE) dan Risk Targeted
Maximum Considered Earthquake (MCER).
Dalam perancangan parameter desain utama menurut SNI 1726 terdapat dua parameter
utama, meliputi spektrum respons atau gempa desain atau demand dari eksternal yang
diperoleh dari peta gempa dan kategori desain seismic atau demand dari struktur untuk
menentukan daktilitas, kinerja, dan lain sebagainya. Artinya SNI 1726 tidak dapat berdiri
sendiri, melainkan ada standardisasi lainnya yang diperlukan untuk melengkapi sebuah
pembangunan seperti SNI 2847 mengenai persyaratan beton structural untuk bangunan
gedung. Untuk persyaratan mengenai sambungan terprakualifikasi untuk rangka momen
khusus dan menengah baja pada aplikasi seismik, terdapat SNI 7872, serta mengenai ketentuan
seismik untuk bangunan gedung baja strukural, terdapat SNI 7860. Hal seperti ini tentu menjadi
pertimbangan untuk proses desain.
Demand beban lateral pada bangunan akibat respons spektra rencana di Indonesia pada
umumnya tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan pengaruh beban lateral lainnya. Bila dalam
hal merespons demand tersebut struktur didesain elastic, hal ini akan berakibat pada massif dan
besarnya elemen-elemen struktur bangunan pemikul beban gempa. Hal ini akan mempengaruhi
bagian budgeting karena tentu harga yang dibutuhkan cukup mahal, bahkan mungkin menjadi
tidak layak. Maka, pendekatan yang umumnya diambil untuk desain terhadap beban gempa
ialah mereduksi deman beban lateral tersebut dengan diakomodasi dalam SNI 1726,
diantaranya:
Mengizinkan perilaku inelastic struktur pada saat terkena gempa kuat, artinya
struktur diperbolehkan untuk mengalami kerusakan, namun tidak mengalami
keruntuhan. Salah satu upaya untuk mendapatkan perilaku inelastic tersebut
ialah dengan membagi gempa elastic dengan faktor R = 1,5 hingga 8. Artinya,
saat gempa terjadi, sudah pasti terjadi suatu kerusakam pada struktur namun
terbentuk perilaku inelastic.
Isolasi struktur dari goncangan gempa menggunakan base isolation sehingga
perilaku struktur berubah. Deformasi menjadi terpusat pada base isolation dan
diharapkan struktur atas bergerak secara kaku.
13. Meningkatkan damping dengan menambahkan “seismik dampers” sebagai
peredam energi gempa. Damping normal sekitar 5% dapat ditingkatkan hingga
mencapai 40% tergantung pada sistem yang diadopsi.
Pada kesempatan ini, penjelasan difokuskan pada poin yang pertama, yaitu perilaku
inelastic saat gempa. Pada perilaku ini, bangunan sengaja dibuat “lemah” terhadap gempa
sehingga titik-titik struktur yang megalami kerusakan dapat ditentukan sebelum gempa terjadi.
Kerusakan dapat direncanakan dari tempatnya, extend, dan mekanismenya sehingga lintasan
bebas terjaga. Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan faktor modifikasi respons struktur
(Faktor R). Fungsi dari faktor R yaitu untuk mengubah respons struktur dari elastic menjadi
inelastic yang diakomodasi dengan parameter Cd. Perilaku inelastic dapat tercermin dari
kerusakan terkontrol yang dialami struktur akibat gempa. Ada dua hal yang dapat diperoleh
dari kerusakan tersebut, yaitu damping mengalami peningkatan dan perioda struktur juga
meningkat karena struktur menjadi lebih fleksibel. Kedua hal tersebut dapat mengakibatkan
reduksi demand yang masuk akibat gempa.
Tingkatan yang direncakan jika terjadi gempa secara berurutan, yaitu level penampang
(rebar melawan beton), level elemen (lentur melawan geser), level joint (balok melawan
kolom), level struktur (struktur atas melawan struktur bawah). Untuk mencapai hal tersebut
diperlukan suatu parameter, yaitu faktor kuat lebih sehingga jika terjadi gempa, mekanisme
kerusakan terjadi secara global bukan lokal. Jika mekanisme kerusakan terjadi secara lokal,
maka kerusakan tersebut akan terjadi secara luar biasa sehingga sulit untuk menjaga struktur
tetap bertahan.
Overstrength pada elemen struktur akibat analisis linear dan enveloping dari berbagai
kombo beban. Maka saat suatu skenario terjadi, pelelehan juga akan terjadi secara bertahap.
Overstrength material (actual versus specified) misalnya baja tulangan yang telah
dispesifikasikan 420 saat dites di laboratorium ternyata mutuny dapat lebih tinggi dari
spesifikasi tersebut. Selain itu, baja juga memiliki strain hardening yang dapat memberikan
tambahan kekuatan lebih pada struktur. Pada proses desain, faktor reduksi kapasitas dan faktor
beban yang merupakan hasil dari tabungan menimbang pada saat pelaksanaan terjadi hal-hal
yang tidak sesuai. Namun pada saat pelaksanaan tersebut tabungan tidak terpakai, maka
tabungan tersebut dapat menjadi overstrength. Proses pembulatan pada desain juga menjadi
tabungan tersebut. Pembulatan pada elemen yang diinginkan menjadi sekring atau pembatas
beban di tempat yang diizinkinkan untuk rusak perlu diperhatikan supaya pembulatan jangan
dilakukan secara berlebihan karena dapat menyebabkan overstrength yang berlebihan. Hal
tersebut dapat berujung pada perpindahan tempat kerusakan yang sudah direncanakan. Selain
itu sumber overstrength lainnya, yaitu desain yang ditentukan oleh syarat drift.
Strategi untuk mencapai target kinerja, meliputi melindungi jiwa manusia (LS) dan
melindungi investasi (mengurangi kerugian). Untuk melindungi jiwa manusia membutuhkan
proporsi base shear strength versus massa, daktilitas atau toughness sistem struktur, dan hirarki
plastifikasi. Untuk melindungi investasi, dibutuhkan pembatasan drift dan proporsi massa
versus kekakuan atau pembatasan perioda struktur.
14. Cara meningkatkan kinerja bangunan tinggi terhadap gempa, meliputi perancangan
struktur bangunan dengan memperhatikan target kinerja yang baik, penerapan aturan detailing
seismic atau non-seismic yang konsisten, dan meminimalkan benturan. Selain itu, dapat
dilakukan dengan meningkatkan kinerja bangunan dengan menambahkan sistem isolasi dasar
(base isolation) dan sistem peredam eksternal.
Kombinasi non-seismic (gravity) resisting system versus seismic resisting system
terkait dengan elemen non struktural. Persyaratan yang harus dipenuhi utamanya adalah
kompatibilitas deformasi antara kedua sistem saat gempa. Deformasi yang dapat diaplikasikan
pada gravity system ialah deformasi yang diperbesar dengan faktor Cd, menimbang perilaku
inelastic pada seismic resisting system. Hal ini tentu tetap mengacu pada SNI 1726, 2019 pada
bagian 7.3 tentang pemodelan struktur dan 12.5 tentang kompatibilitas deformasi untuk
kategori desain seismik D sampai F juga diatur dalam SNI 2847, 2019 pada bagian 18.4 tentang
komponen struktur yang tidak ditetapkan sebagai bagian sistem pemikul gaya seismik.
Perubahan Penting Terhadap Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Bangunan Gedung Dalam SNI 1726
Oleh: Ir. Davy Sukamta
Pada pembahasan kali ini, difokuskan pada SNI 1726 yang ditetapkan pada tahun 2012-
2019. Butir yang mengalami perubahan seiring perkembangan dari SNI tahun 2002, 2012,
hingga 2019, diantaranya tentang situs sesar dekat, koefisien situs, seleksi sistem struktur,
pengaruh dan kombinasi beban gempa, prosedur gaya lateral ekivalen, torsi tak terduga,
analisis dinamik linier, diafragma, kord, kolektor, desain fundasi, analisis respons riwayat
waktu non linier, pengaruh beban gempa vertikal, gerak tanah, prosedur berbasis kinerja,
struktur dengan isolasi dasar, dan struktur dengan sistem peredam. Selain butir tersebut, SNI
tahun 2019 dikaitkan erat dengan oeta gempa 2017.
Situs dekat sesar memiliki sifat yang berbeda dengan gempa sesar jauh. Selain memiliki
akselerasi yang tinggi, gerak tanah juga menunjukan karakteristik impulsive. Dikarenakan
adanya fenomena forward directivity, komponen sesar memiliki pulsa dengan periode yang
lebih panjang dan jangkauan yang lebih luas daripada komponen paralel.
Pada seleksi sistem strukur, penggunaan sistem struktur yang tidak tercantum dalam
tabel preskriptif diizinkan, dengan syarat perencanaan struktur individu (prosedur alternatif
berbasis kinerja) dan pengembangan sistem struktur alternatif (conditional probability of
collapse MCER untuk struktur archetype dengan target max 10% untuk kategori risiko II). Pada
persyaratan perencaan struktur individu mengizinkan penggunaan prosedur alternatif untuk
desain struktur individual yang menunjukkan kinerja yang dapat diterima.
Pengaruh beban seismic vertikal (ps 7.4.2.2) ditetapkan sama seperti SNI 1726 2012.
Pada SNI 2019 tetap diizinkan untuk menggunakan persamaan yang sama, namun ada
penambahan rumus alternatif sebagai opsi lain. Hal ini dikarenakan pada suatu studi yang
menyatakan bahwa perbandingan akselerasi respons spektra vertikal terhadap horizontal peka
terhadap periode getar, side class, magnitude gempa, dan jaraknya ke sumber gempa.
15. Sementara, untuk pengaruh beban seismic horizontal, pada SNI 2019 diperkenalkan suatu
konsep baru yang menyatakan bahwa ambang atas kapasitas suatu komponen Ecl. Bila
menerapkan gempa horizontal berikut faktor kuat lebih tidak perlu lebih besar dari Ecl.
Syarat baru untuk menentukan prosedur gaya lateral ekivalen ditentukan pada pasal
7.8.1.3 di mana peraturan tersebut mengizinkan SDS = 1 tetapi harus lebih dari 70% SDS sesuai
ps 6.3 dengan syarat:
Tidak ada irregularitas ps 7.3.2
Tidak melampau 5 tingkat
T < 0,5 s
Bukan situs E dan F
Kategori risiko I dan II
Lokasi pusat massa dan kekakuan suatu lantai sulit ditentukan dengan akurasi tinggi
secara actual karena massa dan kekakuan memiliki ketidakpastian sehubungan dengan deviasi
saat perancangan maupun saat konstruksi. Untuk itu, SNI mengharuskan heksentrisitas 5% dari
lebar gedung. Torsi tak terduga hanya digunakan saat menentukan ketidakberaturan horizontal.
Tidak perlu dimasukkan saat perancangan dan perhitungan simpangan antar tingkat desain.
Kecuali, dua kasus yang berhubungan dengan torsi, yaitu tipe IA dan IB.
Pada desain sebuah gedung, umumnya sudah menggunakan analisis dinamik linier.
Dalam SNI baru, analisis dinamik linier ini dicantumkan pada pasal 7.9. Selain analisis
spektrum respons ragam, diperkenalkan juga analisis riwayat waktu linier. Untuk setiap arah
pembebanan, perpindahan setiap ragam ditentukan oleh spectral acceleration yang terkait oleh
partisipasi massa dan mode shape yang kemudian dilakukan kombinasi statistik. Hasil yang
didapatkan cukup akurat untuk desain, namun saat diinterpretasikan akan menyulitkan karena
equilibrium tidak tercapai. Hal ini akan berujung pada tanda aljabar dan waktu kejadian dari
akselerasi minimum akan terhapus permanen karena tidak dapat diurai balik. Oleh alasan
itulah, diperkenalkan konsep analisis linier riwayat waktu yang dapat mengatasi hal tersebut.
Gaya geser dasar jika didesain secara dinamik bisa saja lebih rendah dari gaya geser
metode static ekivalen (E) karena berbagai alasan. Maka, dalam SNI 2019 diwajibkan untuk
skala 100% gaya geser metode static ekivalen. Juga menggunakan ambang atas periode getar
CUTA. Dengan scaling tersebut, dimasukkan geser dasar minimum dalam perencanaan. Untuk
analisis riwayat waktu linier, terdapat beberapa syarat seperti modelnya harus tiga dimensi.
efek Vdelta harus dimasukkan, batasan mengenai koefisien stabilitas teta haruss dipenuhi, dan
diperlukan tiga pasang gerak panah yang dicocokan secara spectral dalam periode tertentu.
Diafragma bertujuan untuk menjaga kompibiltas deformasi antara dua komponen
sistem penahan lateral yang berbeda misalnya saat menyatukan dua sistem dalam momen frame
yang memiliki perilaku shear wall terhadap lateral sehingga mempunyai perilaku bending wall.
Sementara itu, untuk desain fundasi terdapat pasal-pasal baru yaitu peraturan yang mengatur
16. tentang kapasitas geoteknik fondasi, daya dukung tanah, parameter kekuatan tanah, kriteria
penerimaan, dan situs mudah likuifaksi.
Secara konsep, prosedur berbasis kinerja digunakan untuk menghitung collapse
probability, namun mengingat kompleksitas dan penggunaan praktikal perancangan, secara
implisit memasukkan pendekatan sederhana dalam menunjukkan kinerja lewat sederetan
aturan analisis dan kriteria penerimaan. Maka, dapat diacukan dalam Peer/TBI v 2.03 dengan
pembeda komputasi probabilitas keruntuhan yang tidak diperlukan oleh Peer/TBI v 2.03 karena
banyak ketidakpastian dalam memodelkan perilaku struktur. Sebagai penggantinya, terdapat
persyaratan dalam hal respons yang terhitung dan kriteria penerimaan. Dengan begitu, secara
implisit probabilitas keruntuhan sudah dipenuhi.
Penerapan gerak tanah pada model struktur difokuskan pada beberapa situs. Untuk situs
patahan-dekat, wajib diterapkan pasangan gerak tanah sesuai arah patahan-tegak lurus dan arah
patahan-paralel dari patahan-sumber. Sementara, untuk situs lain wajib diterapkan pasangan
gerak tanah secara acak sehingga rata-rata spektrum komponen “X” dan “Y” masih berada
dalam kurang lebih 10% dari median spektrum respons komponen.