SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
Download to read offline
1
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Neuroinflamasi Sel Saraf Akibat Nyeri Neuropatik
Dewa Ayu Mas Shintya Dewi
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah
Abstrak
Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenamgkan dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung
akan terjadi kerusakan jaringan. Nyeri neuropatik merupakan salah satu nyeri
kronik yang sulit untuk ditangani, dan belum ditemukannya terapi yang efektif
menyebabkan masih tingginya angka prevalensi nyeri tersebut. Proses inflamasi
jaringan saraf perifer maupun sentral memiliki peran penting terhadap nyeri
neuropatik, berikutnya berkontribusi terhadap timbulnya nyeri persisten.
Mengurangi respon inflamasi yang berlebihan dengan mengunakan biomarker
klinis ataupun molekuler merupakan konsep penanganan nyeri neuropatik.
Penggunaan kortikosteroid, obat anti TNF-α, agen proresolusi, inhibisi mikroglia
dengan minoksiklin dan terapi yang ditargetkan untuk ligan gate ion chanel
digunakan untuk menekan proses inflamasi yang berlebihan. Mengidentifikasi
pasien yang memiliki risiko mengalami nyeri persisten lebih penting karena
pengobatan akan lebih efektif apabila diberikan pada tahap awal nyeri
dibandingkan pasien yang telah mengalami nyeri.
Pendahuluan
Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan
terjadi kerusakan jaringan .1
Nyeri yang disertai dengan kerusakan jaringan yang
nyata(‘pain with nociception”) sering disebut sebagai nyeri akut sedangkan nyeri
yang terjadi tanpa disertai kerusakan jaringan yang nyata (“pain without
nociception”) disebut nyeri kronis.1
2
Nyeri berperan sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap ancaman kerusakan
jaringan, yang lebih ditunjukkan oleh nyeri akut sedangkan dibandingkan nyeri
kronis. Data yang dikeluarkan tahun 2011 menunjukkan bahwa satu dari tiga orang
Amerika menderita nyeri kronis, dan hampir semua juga menderita penyakit jantung,
kanker dan diabetes.2
Nyeri kronis menyerang 20% dari populasi Eropa dan lebih
banyak terjadi pada wanita dan orang tua.4
Sekitar seperlima dari pasien yang
mengalami nyeri kronis diperkirakan menderita nyeri neuropatik.2
Diantara beberapa jenis nyeri kronis, nyeri neuropatik merupakan salah satu
nyeri yang sulit untuk ditangani, dimana belum ditemukannya terapi yang efektif
untuk nyeri neuropatik menyebabkan masih tingginya angka prevalensi nyeri
tersebut.5
Nyeri neuropatik disebabkan oleh adanya suatu kerusakan pada jaringan
saraf.Kerusakan terjadi pada jaringan saraf, sepanjang alur nosiseptif dan alur
modulasi descenden pada sistem saraf pusat.6
Saat ini telah ditemukan bukti yang
menunjukkan adanya peran dari proses inflamasi yang terjadi pada jaringan saraf baik
perifer maupun sentral terhadap nyeri neuropatik, kemudian berkontribusi terhadap
timbulnya nyeri persisten.7
Pemahaman mengenai mekanisme neuroinflamasi pada
nyeri neuropatik dapat menuntun ditemukannya terapi yang potensial dalam
penanganan nyeri neuropatik. 7
Definisi dan Etiologi Nyeri Neuropatik
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang timbul akibat adanya suatu penyakit
atau kerusakan pada sistem saraf perifer maupun sentral, dan akibat disfungsi dari
sistem saraf.9
Beberapa contoh dari nyeri neuropatik perifer (disebabkan
kerusakan sistem saraf perifer) adalah neuropati diabetes, neuralgia pasca herpes,
neuralgia trigeminal, nyeri radikuler, nyeri neuropatik kronis pasca bedah, nyeri
neuropatik pada kanker. Penyebab sentral dari nyeri neuropatik meliputi stroke,
cedera pada medulla spinalis, dan multiple sklerosis.10
3
Patofisiologi Nyeri Neuropatik
Mekanisme terjadinya nyeri neuropatik memiliki perbedaan dengan
terjadinya nyeri nosiseptif. Pada nyeri nosiseptif diperlukan proses transduksi
untuk mengubah impuls yang bukan impuls elektrik menjadi impuls elektrokimia,
sedangkan pada nyeri neuropatik ditemukan adanya stimulasi langsung pada saraf
yang menimbulkan impuls elektrokimiawi yang selanjutnya dipersepsikan sebagai
nyeri.6
Beberapa mekanisme terjadinya nyeri neuropatik telah diketahui, secara
lebih sederhana mekanisme tersebut dibedakan menjadi 3 mekanisme utama
meliputi11
: (1) Peningkatan aktivitas pada nosiseptof aferen primer (misalnya
impuls ektopik sebagai akibat redistribusi abnormal kanal natrium pada serat saraf
yang rusak, (2 ) Perubakan pada proses sinyal sensoris di sentral (sensitisasi
sentral), (3) Penurunan aktivitas neuronal inhibisi di sentral (misalnya dapat
disebabkan oleh hilangnya neuron inhibisi)
a. Aktivitas saraf ektopik
Aktifitas saraf ektopik terjadi pada serat aferen nosiseptif (A dan C),
ganglion radiks dorsalis, dan radiks spinalis sehingga menimbulkan sensitisasi
perifer, yang berperan terhadap nyeri spontan, kontinyu, paroksismal dan
hiperalgesia serta alodinia primer.6,11
Kerusakan neuron menyebabkan proses
inflamasi diikuti oleh perbaikan jaringan yang mengakibatkan terjadinya fase
hipereksitabilitas disebut dengan sensitisasi perifer. Secara normal fase ini
dilanjutkan dengan penyembuhan serta berhentinya inflamasi, namun pada
kerusakan yang terus berlanjut perubahan pada neuron aferen primer dapat terus
berlangsung.6
Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap sensitisasi perifer.
Mediator inflamasi seperti kalsitonin, gene related peptide, dan substansia P yang
dilepaskan dari terminal nosiseptif , meningkatkan permeabilitas vaskuler ,
memicu terjadinya edema lokal dan pelepasan mediator selanjutnya seperti
prostaglandin, bradikinin, growth factor, dan sitokin. Bahan-bahan tersebut
dapat mensensitisasi dan mengeksitasi nosiseptor yang berlanjut pada penurunan
ambang stimulasi dan cetusan ektopik (ectopic discharge).6,9,11
4
Aktivasi saraf ektopik dapat menyebabkan nyeri spontan , dapat berasal
dari ganglion radiks dorsalis, titik lain sepanjang serat saraf yang mengalami
kerusakan, bahkan dari serat saraf berdekatan yang tidak mengalami kerusakan.
Proses eksitasi sel saraf yang berdekatan yang tidak mengalami kerusakan
merupakan akibat dari adanya nonsynaptic crosstalk yang disebut dengan
transmisi ephaptik.6
Setelah terjadinya kerusakan pada saraf sensoris, perubahan atropik
(degenerasi Wallerian) menyebabkan penurunan ukuran badan sel dan diameter
akson, dan selanjutnya memicu kematian neuron. Hal ini menyebabkan adanya
penurunan densitas nosiseptor intraepidermal sehingga berakibat pada hilangnya
sensasi, hiperalgesia, dan nyeri yang semakin berat (deafferentiation pain).6
b. Sensitisasi Sentral
Sensitisasi sentral dapat berkembang sebagai akibat dari aktivitas ektopik
pada serat nosiseptif aferen primer tanpa adanya kerusakan struktur dalam sistem
saraf pusat.11
Kerusakan pada sistem saraf perifer dapat meningkatkan
eksitabilitas medulla spinalis dengan mengaktifkan reseptor glutamate
eksitatorik. Kerusakan neuron juga menurunkan regulasi transporter glutamat
yang bertanggungjawab dalam mempertahankan homeostasis glutamate pada
sinaps. Peningkatan ketersediaan glutamate regional sebagai akibat dari
berkurangnya trasporter glutamate meningkatkan aktivasi reseptor glutamate
ionotropik (misalnya NMDA dan AMPA) dan metabotropik (misalnya
metabotropik glutamate receptor 2) secara persisten. Hal ini berdampak pada
penurunan ambang aktivasi neuron dan peningkatan eksitabilitas neuron dan
neurotoksisitas. Proses tersebut bermanifestasi sebagai adanya persepsi nyeri
sebagai respon terhadap stimulus taktil dan gesekan ringan yang seharusnya tidak
dipersepsikan sebagai nyeri.1,6
c. Disinhibisi
Setelah adanya lesi pada saraf, hilangnya inhibisi terjadi sebagai akibat dari
disfungsi produksi dan pelepasan GABA serta terganggunya homeostasis
intraseluler yang disebabkan aktivitas K+
Cl-
cotransporter atau peningkatan
5
aktivitas Na+
K-
Cl-
cotrasnporter menyebabkan menurunnya kadar Cl-
dan
apoptosis interneuron inhibitorik pada medulla spinalis. Menurunnya control
inhibisi telah diketahui dapat memprovokasi terjadinya alodinia taktil dan
hiperalgesia.6
Pencegahan kematian sel interneuron yang berefek pada
menurunnya derajat hiperalgesia termal maupun mekanis menunjukkan adanya
pengaruh disinhibisi terhadap nyeri neuropatik.11
Mekanisme Neuroinflamasi pada Nyeri Neuropatik
Bukti-bukti yang menunjukkan adanya peranan proses inflamasi pada nyeri
neuropatik semakin lama semakin banyak ditemukan. Patofisiologi nyeri
neuropatik yang telah dijelaskan sebelumnya mencakup adanya inflamasi yang
luas pada sistem saraf perifer maupun sentral yang dapat menyebabkan terjadinya
nyeri yang persisten. Inflamasi merupakan respons tubuh terhadap adanya
kerusakan jaringan dan melibatkan sistem imun seluler maupun pelepasan
mediator. Respons inflamasi terdiri dari fase proinflamasi dimana terjadi
pembersihan pathogen, sel yang rusak, dan debris seluler dan pengembalian
hemostasis lokal seperti sebelumnya. Dilanjutkan dengan fase resolusi, terjadi
perbaikan jaringan, dan hilangnya efek yang berpotensi merusak dari respons
inflamasi yang terus menerus.7
Apabila inflamasi menetap dalam waktu yang
lama akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan.5
Respons neuroinflamasi
bertujuan membersihkan agen yang berpotensi merusak jaringan saraf atau sisa
debris seluler.14
Respons ini dimediasi oleh mediator yang diproduksi oleh glia di
sistem saraf pusat yaitu oleh glia atau dapat direkrut dari dari sistem perifer oleh
karena adanya kerusakan pada sawar darah otak (BBB) yakni berupa limfosit,
monosit, dan makrofag dari sistem hematopoietik.8,14
6
Gambar 2.2 Mekanisme inflamasi setelah terjadinya kerusakan jaringan saraf 7
7
a. Respons inflamasi dalam sistem saraf perifer
Kerusakan pada saraf perifer memicu adanya respons inflamasi lokal yang
berkontribusi pada hipersensitivitas neuron, melibatkan sel schwan dan sel imun
seperti sel mast dan makrofag. Sinyal tidak spesifik yang berasal akson yang rusak
menghasilkan aktivasi jalur pensinyalan extracellular signal-related (ERK)
mitogenactivated protein (MAP) kinase pada sel Schwann. Hal ini merupakan
kejadian pertama yang memicu ekspresi mediator inflamasi dan perekrutan sel
imun ke saraf yang mengalami kerusakan. Sel Schwann yang bermielin
mengalami dediferensiasi dan terjadi degradasi selubung myelin pada lokasi
kerusakan, yang merupakan syarat untuk terjadinya regenerasi.7
Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi, meliputi histamine,
serotonin, nerve growth factor, dan leukotrin, yang dapat mensensitisasi nosiseptor
dan berkontribusi dalam rekrutmen neutrophil, yang merupakan sel pertama yang
menginfiltrasi jaringan yang rusak. Respons imun awal sangat penting terhadap
berkembangnya nyeri neuropatik. 5,7
Infiltrasi neutrophil pada lokasi kerusakan
jaringan terjadi secara akut, mencapai puncak pada beberapa jam pertama pasca
terjadinya kerusakan dan menurun setelah 3 hari namun tetap dalam kadar yang
tinggi. Neutrophil melepaskan mediator yang mampu mensensitisasi nosiseptor,
dan merekrut makrofag dan sel T ke lokasi kerusakan.5
Makrofag yang direkrut kemudian menginfiltrasi dan bergabung bersama
makrofag pada jaringan yang rusak, bersama-sama dengan sel Schwann berperan
dalam fagositosis, degenerasi akson dan selubung myelin. Sel-sel tersebut juga
mensekresi banyak sitokin/kemokin proinflamasi dan mediator lipid. Sel T
ditandai dengan adanya ekspresi molekul permukaan dan dikelompokkan menjadi
sel T-helper dan sel T-sitotoksis. Sel T-helper melepaskan sitokin proinflamasi
seperti IL-1ß, TNF-α, dan IL-17, dan juga sitokin anti inflamasi seperti IL-4 dan
IL-10.5,7
Selain pelepasan mediator oleh sel imun, terminal saraf sensoris juga
melepaskan neuropeptide seperti substansia P dan Calcitonin Gene Related
Peptide (CGRP). Peptida vasoaktif meningkatkan respon imun dengan
8
meningkatkan permeabilitas dan secara langsung berinteraksi dengan sel imun
seperti sel Langerhans dan makrofag. Selain itu sel tersebut juga dapat
memberikan feedback dan mensensitisasi neuron aferen perifer. 7
Mediator kimia yang dilepaskan oleh berbagai sel pada respons imun perifer
setelah terjadinya kerusakan pada jaringan saraf memberikan efek sensitisasi dan
stimulasi nosiseptor yang tidak diinginkan. Dalam jangka waktu yang singkat, hal
ini diperlukan untuk memperingati seseorang akan terjadinya kerusakan jaringan
dan mengistirahatkan jaringan yang rusak. Namun pada nyeri neuropatik hal ini
dapat membuat terjadinya perubahan plastis. Perubahan kimia yang disebabkan
oleh respons inflamasi tidak hanya berakibat mensensitisasi nosiseptor dengan
meningkatkan sintesis prostaglandin secara langsung mensensitisasi nosiseptor
melalui kerjanya pada transient reseptor potential vanilloid type 1 (TRPV1) dan
reseptor IL-1R itu sendiri.7
Respons inflamasi juga memiliki fungsi adaptif yang dapat membantu
perbaikan jaringan saraf. Fungsi perbaikan jaringan tergantung pada ekspresi IL-1
dan TNF-α dan ablasi sempurna dari makrofag yang berakibat pada gangguan
regenerasi akson yang berat. Oleh karena itu terapi analgesik yang bekerja pada
respons inflamasi, harus bertujuan untuk mengurangi inflamasi yang luas
bukannya meghilangkannya secara total.5
9
Gambar 2.3 Mekanisme inflamasi perifer sehingga menimbulkan sensitisasi perifer 7
b. Respons inflamasi system saraf sentral
Tidak seperti saraf perifer dan ganglion radiks dorsalis, medulla spinalis
dilindungi oleh sawar darah-medulla spinalis (blood-spinal cord barrier), yang
dianggap dapat mencegah masuknya sel imun dari sirkulasi ke medulla spinalis
setelah terjadinya kerusakan jaringan saraf. Namun laporan terbaru menyebutkan
bahwa kerusakan saraf perifer dapat berakibat pada gangguan pada sawar darah-
medulla spinalis dan megizinkan influks sel imun perifer, yang dimediasi oleh
monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1, juga disebut sebagai CCL2). .
Respon inflamasi sentral yang berat yang melibatkan sel –sel yang memang berada
di sistem saraf pusat (misalnya mikroglia dan astrosit). Sel glia menyusun 70%
dari total populasi sel di otak dan medulla spinalis. Fungsi dari sel glia
diperkirakan sebagai penyangga neurotropik dan proteksi imun pada awalnya,
tetapi setelah terjadinya kerusakan saraf perifer, fenotip dari mikroglia mengalami
perubahan menjadi proinflamasi atau ‘efektor’ fenotip yang apabila berproliferasi
menjadi sangat motil dan fagositik, mengekspresikan reseptor baru (misalnya
ligand-gated ion channel P2X4) dan melepaskan mediator-mediator proinflamasi.
Respons mikroglia telah dipelajari terhadap beberapa model kerusakan saraf .
10
Secara konsisten didapatkan peningkatan imunoreaktivitas CD11b
(OX42/complement receptor 3), yang merupakan penanda transformasi mikrogia
menjadi fenotip efektor. Hal ini terjadi dalam medulla spinalis 3 hari setelah
terjadi kerusakan saraf, memuncak setelah 7 hari dan mulai mengalami penurunan
setelah 14 hari setelah kerusakan. Peningkatan aktivasi mikroglia juga terlihat
pada sistem saraf yang lebih tinggi (hipotalamus dan korteks periakuaduktus)
setelah terjadinya kerusakan saraf perifer. 7,12
Mikroglia dan astrosit berkontribusi terhadap pelepasan berbagai mediator
inflamasi, neuromodulator, dan growth factor. Proses ini bukanlah sekedar proses
pasif yang dipicu oleh degenerasi terminal akson,namun merupakan proses aktif
yang diinisiasi oleh sinyal kerusakan yang dilepaskan oleh neuron yang rusak.
Mekanisme akhir akan menurunkan efek repolarisasi GABA yang menyebabkan
disinhibisi. 5,7
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemberian morfin dapat
meningkatkan ekspresi ligand-gated ion channel P2X4 di mikroglia, pelepasan
BDNF, dan perkembangan hiperalgesian. Oleh karena itu, mikroglia tidak hanya
penting dalam memulai berkembangnya nyeri neuropatik, namun juga
berkontribusi pada beberapa efek samping terapi opioid. Transmisi pada level
cornu posterior medulla spinalis dipengaruhi oleh control desenden yang kuat dari
batang otak (medulla rostral ventromedial (RVM) merupakan lokus penting dalam
modulasi ini). Hal ini juga memiliki komponen fasilitatif dan inhibitorik. Telah
ditemukan bahwa tejadi reaksi mikroglia dan astrosit pada RVM, yang
berkontribusi pada fasilitasi desenden dan meningkatnya derajat nyeri yang
berhubungan dengan hipersensitivitas setelah kerusakan neuron.6,7
11
Gambar 2.4 Mekanisme sensitisasi cornu posterior medulla spinalis7
Fase resolusi dalam respon inflamasi diakui sebaagai fase aktif respon
inflamasi yang dimediasi oleh molekul proresolusi. Lipoxin (berasal dari asam
arakidonat), serta resolvin dan protektin (berasal dari v-3 essential polyunsaturated
fatty acids) telah diidenfikasi sebagai molekul proresolusi. Aktivitas antiinflamasi
dari molekul ini meliputi mendorong makrofag untuk memfagositosis sel-sel yang
mati, penghentian produksi kemoatraktan dan perginya sel inflamasi dari lokasi
inflamasi melalui sistem limfatik. Pendekatan farmakologis yang bertujuan untuk
meningkatkan fase proresolusi pada inflamasi, dapat bermanfaat pada penanganan
nyeri neuropatik.
Penanganan Nyeri Neuropatik
Konsep penanganan nyeri neuropatik dengan mengurangi respon inflamasi
saraf yang berlebihan. Telah ditemukan bukti kuat bahwa kerusakan pada sistem
saraf dapat memicu terjadinya respons inflamasi maladaptif yang berkontribusi
terhadap munculnya nyeri persisten. Berbagai mekanisme patofisiologi dapat
berakibat pada timbulnya nyeri persisten setelah kerusakan neuron. Sehingga
penggunaan biomarker klinis atau molekuler akan bermanfaat untuk memberikan
12
penanganan secara individual (misalnya menyasar inflamasi yang eksesif hanya
pada pasien dengan bukti adanya respon inflamasi yang sedang terjadi).
Kortikostroid menekan ekspresi sitokin proinflamasi dan imunitas yang dimediasi
sel, dapat diberikan melalui berbagai rute (oral, perineural, epidural, intratekal)
untuk penanganan beberapa kondisi nyeri neuropatik, seperti neuralgia pasca
herpes, CRPS, dan nyeri punggung radikuler. Namun, bukti definitif untuk
efektivitasnya masih belum ditemukan karena jarangnya studi menggunakan
control placebo, beberapa percobaan juga mennjukkan efek yang merugikan.7
Pendekatan lain dilakukan dengan menargetkan pada sitokin tersendiri.
Walaupun beberapa penelitian menggunakan obat anti TNF-α menunjukkan hasil
yang menjanjikan, namun randomized controlled trials menggunakan terapi anti
TNF-α sistemik atau subkutan tidak menunjukkan efektivitas. Salah satu hal yang
menyulitkan adalah aktivitas sitokin yang berlebihan. Terlebih lagi seperti supresi
kortikosteroid terhadap sistem imun, agen ini dapat meningkatkan risiko infeksi
secara signifikan.5,7
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan efek anti
inflamasi yang luas adalah penggunaan agen proresolusi seperti resolving.
Harapan lain adalah inhibisi dari fungsi mikroglia. Uji klinis terhadap minosiklin
untuk pencegahan nyeri intercostal pasca operasi sedang berjalan.
Profepentofylline mengurangi produksi radikal bebas dan aktivasi mikroglia.
Sebuah randomized controlled trial terhadap agen ini tidak menemukan efektivitas
terapi pada pasien dengan neuralgia pasca herpes, diperkirakan karena adanya
perbedaan hasil adalah adanya perbedaan antara mikroglia pada tikus percobaan
dengan mikroglia pada manusia.7
Pendekatan selanjutnya akan menargetkan ligand-gated ion channels yang
diekspresikan oleh mikroglia (contohnya P2X4 dan P2X7) atau jalur pensinyalan
yang mengubah mikroglia ke dalam fase efektor (contohnya p38 MAP Kinase).
Sebuah uji double-blind crossover, menemukan bahwa p38 MAP kinase inhibitor
secara signifikan mengurangi skor harian pasien dengan nyeri neuropatik.13
13
Berdasarkan hal tersebut, ada tantangan yang lebih besar untuk
mengintervensi dan mengurangi neuroinflamasi berlebihan. Tantangan ini
selanjutnya berkembang untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko
mengalami nyeri persisten (karena pengobatan akan lebih efektif apabila diberikan
pada tahap awal nyeri) dan pasien yang telah mengalami nyeri, juga untuk
mengidentifikasi pasien yang mengalami inflamasi yang masih berlangsung dalam
upaya penatalaksanaan nyeri secara individual.7,14
Simpulan
Nyeri neuropatik memiliki mekanisme patofisiologi yang beragam, yang
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belum efektifnya penanganan nyeri
neuropatik. Nyeri neuropatik berhubungan dengan keadaan inflamasi yang berat,
dimana keadaan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya
nyeri neuropatik yang persisten.
Neuroinflamasi merpakan respons otak terhadap adanya kerusakan jaringan
saraf yang bertujuan untuk membersihkan agen yang yang memiliki potensial
memberikan bahaya pada nouron dan membersihkan sisa sel yang mati. Namun
apabila respons ini terjadi dalam waktu yang lama akan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan pada jaringan saraf. Mekanisme inflamasi pada nyeri neuropatik
melibatkan mediator inflamasi perifer yang dapat mensensitisasi sistem saraf di
perifer maupun sentral. Mekanisme mediator inflamasi seperti sitokin dan kemokin
menjadi nyeri adalah dengan meningkatkan eksitabilitas aferen primer atau dengan
memfasilitasi transmisi sinaptik dalam cornu posterior medulla spinalis. Sel glia yang
berada dalam sistem saraf pusat juga menyebabkan inflamasi yang semakin berat
sehingga dapat meningkatkan eksitabilitas sel saraf pada medulla spinalis dan
kemudian menghasilkan nyeri.
Pemahaman mengenai mekanisme inflamasi tersebut dapat membantu
ditemukannya sasaran terapi baru dalam penanganan nyeri neuropatik. Pada pasien
tertentu, ditemukan adanya harapan penanganan nyeri neuropatik dengan
14
menargetkan pada respons inflamasi, walaupun mash belum ada penelitian klinis
yang cukup untuk membuktikannya. Tantangan yang dihadapi saat ini meliputi risiko
terjadinya supresi imun akibat penghentian jalur inflamasi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G, Senapathi TA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anesthesia dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks
2. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The
American Journal of Managed Care. 2008.p256-61.
3. Cole BE. Pain Management: Classifying, Understanding, and Treating Pain.
Hospital Physician. 2002; 23-30
4. van Hecke O, Torrance N, Smith BH. Chronic pain epidemiology and its
clinical relevance. British Journal of Anaesthesia. 2013;111 (1): 13–18
5. Block L. 2014. Neuroinflammation and Pain. Gothenburg, Sweden: Ineko AP
6. Cohen SP, Mao J. Neuropathic Pain: Mechanism and their Clinical
Implications.BMJ 2014; 348: f7656
7. A. Ellis, D. L. H. Bennett. Neuroinflammation and the generation of
neuropathic pain. British Journal of Anaesthesia 2013;111 (1): 26–37
8. Shastri A , Bonifati DM, Kishore U. Innate Immunity and
Neuroinflammation. Hindawi Publishing Corporation Mediators of
Inflammation. 2013; 2013: 1-19
9. Scadding J. Neuropathic Pain. ACNR. 2003; 3 (2): 8-14
10. National Institute for Health and Care Excellence. Neuropathic pain –
pharmacological management: NICE clinical guideline 173. 2013; 5-138
11. Mindruta I, Cobzaru AM, Bajenaru OA. Overview of Neuropathic Pain
Diagnosis and Assesstement- an Approach Based Mechanism. University
Emergecy Hospial of Bucharest. 2014: 1-23
12. Hurley LL, Tizabi Y. Neuroinflammation, Neurodegeneration and
Depression. Neurotox Res. 2013; 23(2): 131–144
13. Tennant F. Glial Cell Activation and Neuroinflammation: How They Cause
Centralized Pain. Practical Pain Management. 2014; 14 (5): 1-15
16
14. Ramesh G. Novel Therapeutic Targets in Neuroinflammation and Neuropathic
Pain. Inflammation & Cell Signaling 2014;1: e111.

More Related Content

Similar to 18f330abd0f6e0117c7713910009d646 (1).pdf

Similar to 18f330abd0f6e0117c7713910009d646 (1).pdf (20)

ppt kelompok 4 kep kritis.pptx
ppt kelompok 4 kep kritis.pptxppt kelompok 4 kep kritis.pptx
ppt kelompok 4 kep kritis.pptx
 
neuropati diabetik ku.ppt
neuropati diabetik ku.pptneuropati diabetik ku.ppt
neuropati diabetik ku.ppt
 
presentasi refera peran interleukin6 dalam jalur nyeri
presentasi refera peran interleukin6 dalam jalur nyeripresentasi refera peran interleukin6 dalam jalur nyeri
presentasi refera peran interleukin6 dalam jalur nyeri
 
Askep low back pain
Askep low back painAskep low back pain
Askep low back pain
 
Tatalaksana nyeri.pptx
Tatalaksana nyeri.pptxTatalaksana nyeri.pptx
Tatalaksana nyeri.pptx
 
Penatalaksanaan nyeri akut postoperatif
Penatalaksanaan nyeri akut postoperatifPenatalaksanaan nyeri akut postoperatif
Penatalaksanaan nyeri akut postoperatif
 
Electroconvulsive therapy
Electroconvulsive therapyElectroconvulsive therapy
Electroconvulsive therapy
 
Klp 2 sistem neurologi
Klp 2 sistem neurologiKlp 2 sistem neurologi
Klp 2 sistem neurologi
 
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
 
Smbungan tth
Smbungan tthSmbungan tth
Smbungan tth
 
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
 
Neuro acupuncture
Neuro acupunctureNeuro acupuncture
Neuro acupuncture
 
PPT PATOLOGI SSP 3.pptx
PPT PATOLOGI SSP 3.pptxPPT PATOLOGI SSP 3.pptx
PPT PATOLOGI SSP 3.pptx
 
Makalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detalMakalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detal
 
Power point kegawatdaruratan
Power point kegawatdaruratanPower point kegawatdaruratan
Power point kegawatdaruratan
 
Cervical root syndrome
Cervical root syndromeCervical root syndrome
Cervical root syndrome
 
Hemiparesis
HemiparesisHemiparesis
Hemiparesis
 
Makalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detalMakalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detal
 
Apa itu nyeri, perinsip dasar nurs
Apa itu nyeri, perinsip dasar nursApa itu nyeri, perinsip dasar nurs
Apa itu nyeri, perinsip dasar nurs
 
Makalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detalMakalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detal
 

18f330abd0f6e0117c7713910009d646 (1).pdf

  • 1. 1 TINJAUAN PUSTAKA Penatalaksanaan Neuroinflamasi Sel Saraf Akibat Nyeri Neuropatik Dewa Ayu Mas Shintya Dewi Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah Abstrak Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenamgkan dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan. Nyeri neuropatik merupakan salah satu nyeri kronik yang sulit untuk ditangani, dan belum ditemukannya terapi yang efektif menyebabkan masih tingginya angka prevalensi nyeri tersebut. Proses inflamasi jaringan saraf perifer maupun sentral memiliki peran penting terhadap nyeri neuropatik, berikutnya berkontribusi terhadap timbulnya nyeri persisten. Mengurangi respon inflamasi yang berlebihan dengan mengunakan biomarker klinis ataupun molekuler merupakan konsep penanganan nyeri neuropatik. Penggunaan kortikosteroid, obat anti TNF-α, agen proresolusi, inhibisi mikroglia dengan minoksiklin dan terapi yang ditargetkan untuk ligan gate ion chanel digunakan untuk menekan proses inflamasi yang berlebihan. Mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko mengalami nyeri persisten lebih penting karena pengobatan akan lebih efektif apabila diberikan pada tahap awal nyeri dibandingkan pasien yang telah mengalami nyeri. Pendahuluan Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan .1 Nyeri yang disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata(‘pain with nociception”) sering disebut sebagai nyeri akut sedangkan nyeri yang terjadi tanpa disertai kerusakan jaringan yang nyata (“pain without nociception”) disebut nyeri kronis.1
  • 2. 2 Nyeri berperan sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap ancaman kerusakan jaringan, yang lebih ditunjukkan oleh nyeri akut sedangkan dibandingkan nyeri kronis. Data yang dikeluarkan tahun 2011 menunjukkan bahwa satu dari tiga orang Amerika menderita nyeri kronis, dan hampir semua juga menderita penyakit jantung, kanker dan diabetes.2 Nyeri kronis menyerang 20% dari populasi Eropa dan lebih banyak terjadi pada wanita dan orang tua.4 Sekitar seperlima dari pasien yang mengalami nyeri kronis diperkirakan menderita nyeri neuropatik.2 Diantara beberapa jenis nyeri kronis, nyeri neuropatik merupakan salah satu nyeri yang sulit untuk ditangani, dimana belum ditemukannya terapi yang efektif untuk nyeri neuropatik menyebabkan masih tingginya angka prevalensi nyeri tersebut.5 Nyeri neuropatik disebabkan oleh adanya suatu kerusakan pada jaringan saraf.Kerusakan terjadi pada jaringan saraf, sepanjang alur nosiseptif dan alur modulasi descenden pada sistem saraf pusat.6 Saat ini telah ditemukan bukti yang menunjukkan adanya peran dari proses inflamasi yang terjadi pada jaringan saraf baik perifer maupun sentral terhadap nyeri neuropatik, kemudian berkontribusi terhadap timbulnya nyeri persisten.7 Pemahaman mengenai mekanisme neuroinflamasi pada nyeri neuropatik dapat menuntun ditemukannya terapi yang potensial dalam penanganan nyeri neuropatik. 7 Definisi dan Etiologi Nyeri Neuropatik Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang timbul akibat adanya suatu penyakit atau kerusakan pada sistem saraf perifer maupun sentral, dan akibat disfungsi dari sistem saraf.9 Beberapa contoh dari nyeri neuropatik perifer (disebabkan kerusakan sistem saraf perifer) adalah neuropati diabetes, neuralgia pasca herpes, neuralgia trigeminal, nyeri radikuler, nyeri neuropatik kronis pasca bedah, nyeri neuropatik pada kanker. Penyebab sentral dari nyeri neuropatik meliputi stroke, cedera pada medulla spinalis, dan multiple sklerosis.10
  • 3. 3 Patofisiologi Nyeri Neuropatik Mekanisme terjadinya nyeri neuropatik memiliki perbedaan dengan terjadinya nyeri nosiseptif. Pada nyeri nosiseptif diperlukan proses transduksi untuk mengubah impuls yang bukan impuls elektrik menjadi impuls elektrokimia, sedangkan pada nyeri neuropatik ditemukan adanya stimulasi langsung pada saraf yang menimbulkan impuls elektrokimiawi yang selanjutnya dipersepsikan sebagai nyeri.6 Beberapa mekanisme terjadinya nyeri neuropatik telah diketahui, secara lebih sederhana mekanisme tersebut dibedakan menjadi 3 mekanisme utama meliputi11 : (1) Peningkatan aktivitas pada nosiseptof aferen primer (misalnya impuls ektopik sebagai akibat redistribusi abnormal kanal natrium pada serat saraf yang rusak, (2 ) Perubakan pada proses sinyal sensoris di sentral (sensitisasi sentral), (3) Penurunan aktivitas neuronal inhibisi di sentral (misalnya dapat disebabkan oleh hilangnya neuron inhibisi) a. Aktivitas saraf ektopik Aktifitas saraf ektopik terjadi pada serat aferen nosiseptif (A dan C), ganglion radiks dorsalis, dan radiks spinalis sehingga menimbulkan sensitisasi perifer, yang berperan terhadap nyeri spontan, kontinyu, paroksismal dan hiperalgesia serta alodinia primer.6,11 Kerusakan neuron menyebabkan proses inflamasi diikuti oleh perbaikan jaringan yang mengakibatkan terjadinya fase hipereksitabilitas disebut dengan sensitisasi perifer. Secara normal fase ini dilanjutkan dengan penyembuhan serta berhentinya inflamasi, namun pada kerusakan yang terus berlanjut perubahan pada neuron aferen primer dapat terus berlangsung.6 Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap sensitisasi perifer. Mediator inflamasi seperti kalsitonin, gene related peptide, dan substansia P yang dilepaskan dari terminal nosiseptif , meningkatkan permeabilitas vaskuler , memicu terjadinya edema lokal dan pelepasan mediator selanjutnya seperti prostaglandin, bradikinin, growth factor, dan sitokin. Bahan-bahan tersebut dapat mensensitisasi dan mengeksitasi nosiseptor yang berlanjut pada penurunan ambang stimulasi dan cetusan ektopik (ectopic discharge).6,9,11
  • 4. 4 Aktivasi saraf ektopik dapat menyebabkan nyeri spontan , dapat berasal dari ganglion radiks dorsalis, titik lain sepanjang serat saraf yang mengalami kerusakan, bahkan dari serat saraf berdekatan yang tidak mengalami kerusakan. Proses eksitasi sel saraf yang berdekatan yang tidak mengalami kerusakan merupakan akibat dari adanya nonsynaptic crosstalk yang disebut dengan transmisi ephaptik.6 Setelah terjadinya kerusakan pada saraf sensoris, perubahan atropik (degenerasi Wallerian) menyebabkan penurunan ukuran badan sel dan diameter akson, dan selanjutnya memicu kematian neuron. Hal ini menyebabkan adanya penurunan densitas nosiseptor intraepidermal sehingga berakibat pada hilangnya sensasi, hiperalgesia, dan nyeri yang semakin berat (deafferentiation pain).6 b. Sensitisasi Sentral Sensitisasi sentral dapat berkembang sebagai akibat dari aktivitas ektopik pada serat nosiseptif aferen primer tanpa adanya kerusakan struktur dalam sistem saraf pusat.11 Kerusakan pada sistem saraf perifer dapat meningkatkan eksitabilitas medulla spinalis dengan mengaktifkan reseptor glutamate eksitatorik. Kerusakan neuron juga menurunkan regulasi transporter glutamat yang bertanggungjawab dalam mempertahankan homeostasis glutamate pada sinaps. Peningkatan ketersediaan glutamate regional sebagai akibat dari berkurangnya trasporter glutamate meningkatkan aktivasi reseptor glutamate ionotropik (misalnya NMDA dan AMPA) dan metabotropik (misalnya metabotropik glutamate receptor 2) secara persisten. Hal ini berdampak pada penurunan ambang aktivasi neuron dan peningkatan eksitabilitas neuron dan neurotoksisitas. Proses tersebut bermanifestasi sebagai adanya persepsi nyeri sebagai respon terhadap stimulus taktil dan gesekan ringan yang seharusnya tidak dipersepsikan sebagai nyeri.1,6 c. Disinhibisi Setelah adanya lesi pada saraf, hilangnya inhibisi terjadi sebagai akibat dari disfungsi produksi dan pelepasan GABA serta terganggunya homeostasis intraseluler yang disebabkan aktivitas K+ Cl- cotransporter atau peningkatan
  • 5. 5 aktivitas Na+ K- Cl- cotrasnporter menyebabkan menurunnya kadar Cl- dan apoptosis interneuron inhibitorik pada medulla spinalis. Menurunnya control inhibisi telah diketahui dapat memprovokasi terjadinya alodinia taktil dan hiperalgesia.6 Pencegahan kematian sel interneuron yang berefek pada menurunnya derajat hiperalgesia termal maupun mekanis menunjukkan adanya pengaruh disinhibisi terhadap nyeri neuropatik.11 Mekanisme Neuroinflamasi pada Nyeri Neuropatik Bukti-bukti yang menunjukkan adanya peranan proses inflamasi pada nyeri neuropatik semakin lama semakin banyak ditemukan. Patofisiologi nyeri neuropatik yang telah dijelaskan sebelumnya mencakup adanya inflamasi yang luas pada sistem saraf perifer maupun sentral yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri yang persisten. Inflamasi merupakan respons tubuh terhadap adanya kerusakan jaringan dan melibatkan sistem imun seluler maupun pelepasan mediator. Respons inflamasi terdiri dari fase proinflamasi dimana terjadi pembersihan pathogen, sel yang rusak, dan debris seluler dan pengembalian hemostasis lokal seperti sebelumnya. Dilanjutkan dengan fase resolusi, terjadi perbaikan jaringan, dan hilangnya efek yang berpotensi merusak dari respons inflamasi yang terus menerus.7 Apabila inflamasi menetap dalam waktu yang lama akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan.5 Respons neuroinflamasi bertujuan membersihkan agen yang berpotensi merusak jaringan saraf atau sisa debris seluler.14 Respons ini dimediasi oleh mediator yang diproduksi oleh glia di sistem saraf pusat yaitu oleh glia atau dapat direkrut dari dari sistem perifer oleh karena adanya kerusakan pada sawar darah otak (BBB) yakni berupa limfosit, monosit, dan makrofag dari sistem hematopoietik.8,14
  • 6. 6 Gambar 2.2 Mekanisme inflamasi setelah terjadinya kerusakan jaringan saraf 7
  • 7. 7 a. Respons inflamasi dalam sistem saraf perifer Kerusakan pada saraf perifer memicu adanya respons inflamasi lokal yang berkontribusi pada hipersensitivitas neuron, melibatkan sel schwan dan sel imun seperti sel mast dan makrofag. Sinyal tidak spesifik yang berasal akson yang rusak menghasilkan aktivasi jalur pensinyalan extracellular signal-related (ERK) mitogenactivated protein (MAP) kinase pada sel Schwann. Hal ini merupakan kejadian pertama yang memicu ekspresi mediator inflamasi dan perekrutan sel imun ke saraf yang mengalami kerusakan. Sel Schwann yang bermielin mengalami dediferensiasi dan terjadi degradasi selubung myelin pada lokasi kerusakan, yang merupakan syarat untuk terjadinya regenerasi.7 Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi, meliputi histamine, serotonin, nerve growth factor, dan leukotrin, yang dapat mensensitisasi nosiseptor dan berkontribusi dalam rekrutmen neutrophil, yang merupakan sel pertama yang menginfiltrasi jaringan yang rusak. Respons imun awal sangat penting terhadap berkembangnya nyeri neuropatik. 5,7 Infiltrasi neutrophil pada lokasi kerusakan jaringan terjadi secara akut, mencapai puncak pada beberapa jam pertama pasca terjadinya kerusakan dan menurun setelah 3 hari namun tetap dalam kadar yang tinggi. Neutrophil melepaskan mediator yang mampu mensensitisasi nosiseptor, dan merekrut makrofag dan sel T ke lokasi kerusakan.5 Makrofag yang direkrut kemudian menginfiltrasi dan bergabung bersama makrofag pada jaringan yang rusak, bersama-sama dengan sel Schwann berperan dalam fagositosis, degenerasi akson dan selubung myelin. Sel-sel tersebut juga mensekresi banyak sitokin/kemokin proinflamasi dan mediator lipid. Sel T ditandai dengan adanya ekspresi molekul permukaan dan dikelompokkan menjadi sel T-helper dan sel T-sitotoksis. Sel T-helper melepaskan sitokin proinflamasi seperti IL-1ß, TNF-α, dan IL-17, dan juga sitokin anti inflamasi seperti IL-4 dan IL-10.5,7 Selain pelepasan mediator oleh sel imun, terminal saraf sensoris juga melepaskan neuropeptide seperti substansia P dan Calcitonin Gene Related Peptide (CGRP). Peptida vasoaktif meningkatkan respon imun dengan
  • 8. 8 meningkatkan permeabilitas dan secara langsung berinteraksi dengan sel imun seperti sel Langerhans dan makrofag. Selain itu sel tersebut juga dapat memberikan feedback dan mensensitisasi neuron aferen perifer. 7 Mediator kimia yang dilepaskan oleh berbagai sel pada respons imun perifer setelah terjadinya kerusakan pada jaringan saraf memberikan efek sensitisasi dan stimulasi nosiseptor yang tidak diinginkan. Dalam jangka waktu yang singkat, hal ini diperlukan untuk memperingati seseorang akan terjadinya kerusakan jaringan dan mengistirahatkan jaringan yang rusak. Namun pada nyeri neuropatik hal ini dapat membuat terjadinya perubahan plastis. Perubahan kimia yang disebabkan oleh respons inflamasi tidak hanya berakibat mensensitisasi nosiseptor dengan meningkatkan sintesis prostaglandin secara langsung mensensitisasi nosiseptor melalui kerjanya pada transient reseptor potential vanilloid type 1 (TRPV1) dan reseptor IL-1R itu sendiri.7 Respons inflamasi juga memiliki fungsi adaptif yang dapat membantu perbaikan jaringan saraf. Fungsi perbaikan jaringan tergantung pada ekspresi IL-1 dan TNF-α dan ablasi sempurna dari makrofag yang berakibat pada gangguan regenerasi akson yang berat. Oleh karena itu terapi analgesik yang bekerja pada respons inflamasi, harus bertujuan untuk mengurangi inflamasi yang luas bukannya meghilangkannya secara total.5
  • 9. 9 Gambar 2.3 Mekanisme inflamasi perifer sehingga menimbulkan sensitisasi perifer 7 b. Respons inflamasi system saraf sentral Tidak seperti saraf perifer dan ganglion radiks dorsalis, medulla spinalis dilindungi oleh sawar darah-medulla spinalis (blood-spinal cord barrier), yang dianggap dapat mencegah masuknya sel imun dari sirkulasi ke medulla spinalis setelah terjadinya kerusakan jaringan saraf. Namun laporan terbaru menyebutkan bahwa kerusakan saraf perifer dapat berakibat pada gangguan pada sawar darah- medulla spinalis dan megizinkan influks sel imun perifer, yang dimediasi oleh monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1, juga disebut sebagai CCL2). . Respon inflamasi sentral yang berat yang melibatkan sel –sel yang memang berada di sistem saraf pusat (misalnya mikroglia dan astrosit). Sel glia menyusun 70% dari total populasi sel di otak dan medulla spinalis. Fungsi dari sel glia diperkirakan sebagai penyangga neurotropik dan proteksi imun pada awalnya, tetapi setelah terjadinya kerusakan saraf perifer, fenotip dari mikroglia mengalami perubahan menjadi proinflamasi atau ‘efektor’ fenotip yang apabila berproliferasi menjadi sangat motil dan fagositik, mengekspresikan reseptor baru (misalnya ligand-gated ion channel P2X4) dan melepaskan mediator-mediator proinflamasi. Respons mikroglia telah dipelajari terhadap beberapa model kerusakan saraf .
  • 10. 10 Secara konsisten didapatkan peningkatan imunoreaktivitas CD11b (OX42/complement receptor 3), yang merupakan penanda transformasi mikrogia menjadi fenotip efektor. Hal ini terjadi dalam medulla spinalis 3 hari setelah terjadi kerusakan saraf, memuncak setelah 7 hari dan mulai mengalami penurunan setelah 14 hari setelah kerusakan. Peningkatan aktivasi mikroglia juga terlihat pada sistem saraf yang lebih tinggi (hipotalamus dan korteks periakuaduktus) setelah terjadinya kerusakan saraf perifer. 7,12 Mikroglia dan astrosit berkontribusi terhadap pelepasan berbagai mediator inflamasi, neuromodulator, dan growth factor. Proses ini bukanlah sekedar proses pasif yang dipicu oleh degenerasi terminal akson,namun merupakan proses aktif yang diinisiasi oleh sinyal kerusakan yang dilepaskan oleh neuron yang rusak. Mekanisme akhir akan menurunkan efek repolarisasi GABA yang menyebabkan disinhibisi. 5,7 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemberian morfin dapat meningkatkan ekspresi ligand-gated ion channel P2X4 di mikroglia, pelepasan BDNF, dan perkembangan hiperalgesian. Oleh karena itu, mikroglia tidak hanya penting dalam memulai berkembangnya nyeri neuropatik, namun juga berkontribusi pada beberapa efek samping terapi opioid. Transmisi pada level cornu posterior medulla spinalis dipengaruhi oleh control desenden yang kuat dari batang otak (medulla rostral ventromedial (RVM) merupakan lokus penting dalam modulasi ini). Hal ini juga memiliki komponen fasilitatif dan inhibitorik. Telah ditemukan bahwa tejadi reaksi mikroglia dan astrosit pada RVM, yang berkontribusi pada fasilitasi desenden dan meningkatnya derajat nyeri yang berhubungan dengan hipersensitivitas setelah kerusakan neuron.6,7
  • 11. 11 Gambar 2.4 Mekanisme sensitisasi cornu posterior medulla spinalis7 Fase resolusi dalam respon inflamasi diakui sebaagai fase aktif respon inflamasi yang dimediasi oleh molekul proresolusi. Lipoxin (berasal dari asam arakidonat), serta resolvin dan protektin (berasal dari v-3 essential polyunsaturated fatty acids) telah diidenfikasi sebagai molekul proresolusi. Aktivitas antiinflamasi dari molekul ini meliputi mendorong makrofag untuk memfagositosis sel-sel yang mati, penghentian produksi kemoatraktan dan perginya sel inflamasi dari lokasi inflamasi melalui sistem limfatik. Pendekatan farmakologis yang bertujuan untuk meningkatkan fase proresolusi pada inflamasi, dapat bermanfaat pada penanganan nyeri neuropatik. Penanganan Nyeri Neuropatik Konsep penanganan nyeri neuropatik dengan mengurangi respon inflamasi saraf yang berlebihan. Telah ditemukan bukti kuat bahwa kerusakan pada sistem saraf dapat memicu terjadinya respons inflamasi maladaptif yang berkontribusi terhadap munculnya nyeri persisten. Berbagai mekanisme patofisiologi dapat berakibat pada timbulnya nyeri persisten setelah kerusakan neuron. Sehingga penggunaan biomarker klinis atau molekuler akan bermanfaat untuk memberikan
  • 12. 12 penanganan secara individual (misalnya menyasar inflamasi yang eksesif hanya pada pasien dengan bukti adanya respon inflamasi yang sedang terjadi). Kortikostroid menekan ekspresi sitokin proinflamasi dan imunitas yang dimediasi sel, dapat diberikan melalui berbagai rute (oral, perineural, epidural, intratekal) untuk penanganan beberapa kondisi nyeri neuropatik, seperti neuralgia pasca herpes, CRPS, dan nyeri punggung radikuler. Namun, bukti definitif untuk efektivitasnya masih belum ditemukan karena jarangnya studi menggunakan control placebo, beberapa percobaan juga mennjukkan efek yang merugikan.7 Pendekatan lain dilakukan dengan menargetkan pada sitokin tersendiri. Walaupun beberapa penelitian menggunakan obat anti TNF-α menunjukkan hasil yang menjanjikan, namun randomized controlled trials menggunakan terapi anti TNF-α sistemik atau subkutan tidak menunjukkan efektivitas. Salah satu hal yang menyulitkan adalah aktivitas sitokin yang berlebihan. Terlebih lagi seperti supresi kortikosteroid terhadap sistem imun, agen ini dapat meningkatkan risiko infeksi secara signifikan.5,7 Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan efek anti inflamasi yang luas adalah penggunaan agen proresolusi seperti resolving. Harapan lain adalah inhibisi dari fungsi mikroglia. Uji klinis terhadap minosiklin untuk pencegahan nyeri intercostal pasca operasi sedang berjalan. Profepentofylline mengurangi produksi radikal bebas dan aktivasi mikroglia. Sebuah randomized controlled trial terhadap agen ini tidak menemukan efektivitas terapi pada pasien dengan neuralgia pasca herpes, diperkirakan karena adanya perbedaan hasil adalah adanya perbedaan antara mikroglia pada tikus percobaan dengan mikroglia pada manusia.7 Pendekatan selanjutnya akan menargetkan ligand-gated ion channels yang diekspresikan oleh mikroglia (contohnya P2X4 dan P2X7) atau jalur pensinyalan yang mengubah mikroglia ke dalam fase efektor (contohnya p38 MAP Kinase). Sebuah uji double-blind crossover, menemukan bahwa p38 MAP kinase inhibitor secara signifikan mengurangi skor harian pasien dengan nyeri neuropatik.13
  • 13. 13 Berdasarkan hal tersebut, ada tantangan yang lebih besar untuk mengintervensi dan mengurangi neuroinflamasi berlebihan. Tantangan ini selanjutnya berkembang untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko mengalami nyeri persisten (karena pengobatan akan lebih efektif apabila diberikan pada tahap awal nyeri) dan pasien yang telah mengalami nyeri, juga untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami inflamasi yang masih berlangsung dalam upaya penatalaksanaan nyeri secara individual.7,14 Simpulan Nyeri neuropatik memiliki mekanisme patofisiologi yang beragam, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belum efektifnya penanganan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik berhubungan dengan keadaan inflamasi yang berat, dimana keadaan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya nyeri neuropatik yang persisten. Neuroinflamasi merpakan respons otak terhadap adanya kerusakan jaringan saraf yang bertujuan untuk membersihkan agen yang yang memiliki potensial memberikan bahaya pada nouron dan membersihkan sisa sel yang mati. Namun apabila respons ini terjadi dalam waktu yang lama akan menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada jaringan saraf. Mekanisme inflamasi pada nyeri neuropatik melibatkan mediator inflamasi perifer yang dapat mensensitisasi sistem saraf di perifer maupun sentral. Mekanisme mediator inflamasi seperti sitokin dan kemokin menjadi nyeri adalah dengan meningkatkan eksitabilitas aferen primer atau dengan memfasilitasi transmisi sinaptik dalam cornu posterior medulla spinalis. Sel glia yang berada dalam sistem saraf pusat juga menyebabkan inflamasi yang semakin berat sehingga dapat meningkatkan eksitabilitas sel saraf pada medulla spinalis dan kemudian menghasilkan nyeri. Pemahaman mengenai mekanisme inflamasi tersebut dapat membantu ditemukannya sasaran terapi baru dalam penanganan nyeri neuropatik. Pada pasien tertentu, ditemukan adanya harapan penanganan nyeri neuropatik dengan
  • 14. 14 menargetkan pada respons inflamasi, walaupun mash belum ada penelitian klinis yang cukup untuk membuktikannya. Tantangan yang dihadapi saat ini meliputi risiko terjadinya supresi imun akibat penghentian jalur inflamasi.
  • 15. 15 DAFTAR PUSTAKA 1. Mangku G, Senapathi TA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anesthesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks 2. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The American Journal of Managed Care. 2008.p256-61. 3. Cole BE. Pain Management: Classifying, Understanding, and Treating Pain. Hospital Physician. 2002; 23-30 4. van Hecke O, Torrance N, Smith BH. Chronic pain epidemiology and its clinical relevance. British Journal of Anaesthesia. 2013;111 (1): 13–18 5. Block L. 2014. Neuroinflammation and Pain. Gothenburg, Sweden: Ineko AP 6. Cohen SP, Mao J. Neuropathic Pain: Mechanism and their Clinical Implications.BMJ 2014; 348: f7656 7. A. Ellis, D. L. H. Bennett. Neuroinflammation and the generation of neuropathic pain. British Journal of Anaesthesia 2013;111 (1): 26–37 8. Shastri A , Bonifati DM, Kishore U. Innate Immunity and Neuroinflammation. Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation. 2013; 2013: 1-19 9. Scadding J. Neuropathic Pain. ACNR. 2003; 3 (2): 8-14 10. National Institute for Health and Care Excellence. Neuropathic pain – pharmacological management: NICE clinical guideline 173. 2013; 5-138 11. Mindruta I, Cobzaru AM, Bajenaru OA. Overview of Neuropathic Pain Diagnosis and Assesstement- an Approach Based Mechanism. University Emergecy Hospial of Bucharest. 2014: 1-23 12. Hurley LL, Tizabi Y. Neuroinflammation, Neurodegeneration and Depression. Neurotox Res. 2013; 23(2): 131–144 13. Tennant F. Glial Cell Activation and Neuroinflammation: How They Cause Centralized Pain. Practical Pain Management. 2014; 14 (5): 1-15
  • 16. 16 14. Ramesh G. Novel Therapeutic Targets in Neuroinflammation and Neuropathic Pain. Inflammation & Cell Signaling 2014;1: e111.