Teks tersebut membahas tentang kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang masih jauh dari keadilan dan idealisme para pendiri bangsa. Hanya segelintir elite dan kaum kaya saja yang mampu menikmati layanan kesehatan yang memadai, sementara mayoritas rakyat tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan yang memadai karena faktor biaya. Teks tersebut juga menyerukan generasi muda untuk berkontribusi dalam memajukan bidang
1. Bismillahirrahmanirahim
Keadilan Kesehatan Rakyat Indonesia, Riwayatmu Kini
Setelah enam puluh enam tahun Indonesia merdeka dan bebas dari belenggu penjajahan, kini
dirasa upaya penegakan keadilan dan amanat para pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan
UUD 1945 masih jauh panggang dari api. Mulai dari penegakan keadilan hukum, keadilan
pemerataan kesempatan mengenyam bangku pendidikan, keadilan pemerataan kesejahteraan
hidup, dan juga tidak kalah urgentnya adalah masalah penegakan keadilan kesehatan bagi seluruh
rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.
Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 28H dan UU kesehatan pasal 4
yang menyatakan setiap warga negara Indonesia berhak atas kesehatan dirinya. Kesehatan
juga merupakan Hak asasi manusia seperti yang tercantum pada deklarasi universal HAM
(1948) BAB 25, (Pasal 25 1), standar hidup yang layak dan jaminan perlindungan kesehatan.
Hal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hidup yang memadai dalam kesehatan,
kesejahteraan diri, dan keluarganya. Kini nikmatnya hidup sehat dan hidup sejahtera di
negeri 1001 Gayus ini, sepertinya hanya milik kaum elite dan kaum berpunya saja. Setiap
hari atau bahkan setiap saat makin sering kita dengar berita busung lapar, berita mutilasi,
berita orang sakit yang terpaksa mati di pinggir-pinggir jalan atau di lorong-lorong gang,
karena tak mampunya menjangkau biaya kesehatan atau biaya berobat. Sepertinya kian
layak terminologi “kesehatan itu memang nikmat, dan kenikmatan itu tidak layak dimiliki
oleh rakyat kecil dan miskin (baca:rakyat proletar)”, atau mungkin “orang miskin dilarang
sakit!”
Menurut Yusanto (1995), di Indonesia diperkirakan setiap saat terdapat 15% - 20%
penduduk yang sakit dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian banyaknya, apabila
semua daya dan sarana pelayanan medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20 – 30% saja yang
2. dapat dilayani, sementara penduduk lain lebih banyak sekitar 85% yang tidak sakit dan tidak
sedang mencari obat, malah tidak mendapat perhatian. Artinya dana yang dianggarkan oleh
pemerintah untuk sektor kesehatan tersedot sebagian besar hanya untuk 1 - 2% penduduk,
sedang sisanya yang tidak sakit terabaikan, tidak ikut menikmati anggaran yang
diperuntukkan bagi kesehatan seluruh penduduk. Sebuah keadaan yang timpang dan jauh
dari nilai keadilan.
Sedikit rasanya kini marhaen-marhaen yang hidup di pelosok nusantara, yang hidup di
daerah perbatasan dan terpencil tidak dapat tertolong kehidupannya ketika sedang
menderita penyakit, kemudian kini sepertinya lebih banyak kasus-kasus prita lainnya di
seluruh penjuru tanah air yang tak dapat terkuak pada media massa. Dan kasus bayi-bayi
yang tak berdosa tapi sudah harus turut pula menanggung sempitnya himpitan beban hidup
karena sang ibu tak mampu memberinya asupan makanan yang bergizi. Ironis rasanya,
Indonesia yang terkenal akan terminologi negeri gemah ripah loh jinawi namun bayi-bayinya
kini semakin banyak yang terkapar membuncit perutnya dan kerempeng tubuhnya karena
menderita gizi buruk. Apa yang salah dengan negeri ini..?
Mungkin Tuhan yang MahaEsa sedang mengutuk negeri gemah ripah loh jinawi dan
negeri permai ini, akibat ulah para elitenya yang sibuk bergelimangan harta, sibuk berebut
tahta dan kekuasaan, dan sibuk memuaskan nafsu pribadi atau golongannya kemudian
melalaikan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mengurus hajat hidup rakyatnya serta
melalaikan amanahnya untuk mengurus (baca:memajukan, dan mensejahterakan) negeri ini
yang telah dipercayakan kepada mereka. Atau mungkin memang kita sebagai rakyat negeri
ini yang masih saja tetap bodoh dan inlander sehingga masih terus-menerus berada dalam
cengkraman asing dan tetap saja dalam belenggu penjajahan secara mental kemudian tetap
3. miskin, budak, sakit, dan tertindas. Sepertinya dua imajinasi di atas tepat untuk menjawab
akan realita kondisi kesejahteraan kesehatan rakyat Indonesia. Indonesia kini tak ada
bedanya dengan negeri Ethiopia yang di sana merintih jutaan kepala kala lapar menggila,
jutaan manusia menunggu mati dan nyawa tiada lagi berarti.
Kembali menjadi refleksi kita pemuda-pemudi bangsa yang masa depan negeri ini
berada pada pundak kita sebagai generasi muda penerus bangsa, akan kondisi kebangsaan
yang masih jauh dari ekspektasi dan utopi-utopi para pendiri bangsa serta nilai-nilai ideal
dan keadilan, terlebih dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan hajat hidup rakyat
Indonesia. Memaknai enam puluh enam tahun kemerdekaan Indonesia, sebagai mahasiswa
dan pemuda bangsa tentunya kita menaruh harapan yang besar akan perhatian pemerintah
yang seharusnya lebih memprioritaskan bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan
hidup karena ketiga hal ini merupakan hak dasar dan indikator keberhasilan suatu
kepemerintahan pada suatu negara, selain itu kini marilah sekarang kita azzamkan yang kuat
pada diri masing-masing untuk dapat terus bergerak, berkontribusi, dan menjadi
bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara.
Berkontribusilah sesukamu, sebisamu, dan semampumu dimana pun kita berada.
Lakukanlah apa yang kita bisa lakukan untuk kembali menata taman Indonesia, menuju
Indonesia sehat, Indonesia cerdas, dan Indonesia sejahtera.
Bravo keadilan kesehatan rakyat Indonesia
Bangkit Mahasiswa Indonesia
Bangkit Indonesiaku...
Harman
(pemberontak intelektual)