1. AL-WAHHAB (ASMAUL HUSNA)
MAHA PEMBERI KARUNIA
Oleh: Dr. JM. Muslimin, M.A
Dosen Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
2. PENGERTIAN AL-WAHHAB
Al-Wahhab adalah salah satu sifat Allah yang memiliki
Arti Maha Pemberi Karunia. Karunia merupakan
hadiah yang bebas dari imbalan dan kepentingan.
Makna lafazh 'Al Wahhab' menekankan bahwa pada
hakikatnya tidak mungkin tergambar dalam benak,
mengenai adanya yang memberi, tanpa
mengharapkan imbalan kecuali Allah SWT.
Catatan: Materi ceramah Asmaul Husna ini diolah dari sumber internet
3. Karena siapa yang memberi disertai dengan
tujuan duniawi atau ukhrawi, baik tujuan itu
berupa pujian, meraih persahabatan,
menghindari celaan atau mendapatkan
kehormatan, dia bukanlah 'Wahhab'.
Dia Allah, memberikan rahmat kepada makhluk-
Nya tanpa pamrih, karena Dia tak membutuhkan
apapun kepada makhlukNya.
4. Keagungan dan kebesaranNya tak berkurang
sedikitpun juga jika sekiranya semua manusia
ingkar kepadaNya. Demikian juga sebaliknya,
kewibawaan dan kemuliaanNya tak bertambah
sedikitpun juga jika sekirinya semua manusia
tunduk patuh kepadaNya. Dia tak membutuhkan
ucapan terima kasih, tak juga tepuk tangan atas
semua kebaikanNya.
5. Hanya Dia yang pantas menyandang nama Al-
Wahhab, sebab semua manusia senantiasa
mengharapkan imbalan ketika bekerja, apalagi ketika
memberi sesuatu kepada sesamanya.
Arinya: Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan
anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh
seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Pemberi“.
6. Itulah sebabnya, ketika Imam al-Ghazali
menjelaskan tentang Al-Wahhab, ia berkomentar
bahwa hanya Allah saja yang patut menyandang
sifat itu.
Ia berkata, pada hakekatnya tidak ada pemberian
tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah Subhanahu
Wata'ala, Setiap manusia pasti berpengharapan
atas semua perbuatannya, baik dalam bentuk
pujian, meraih persahabatan, mendapatkan
kehormatan, atau paling tidak menghindari celaan.
7. Seseorang ‘abid yang senantiasa melazimkan ibadah
juga tak lepas dari pamrih untuk mendapatkan surga
atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang
beribadah demi meraih cinta dan syukur kepadaNya
belum sepenuhnya terhindar dari tujuan-tujuan atau
harapan meraih imbalan.
Karenanya, Allah tetap memberi toleransi kepada
manusia, Dia Allah, membolehkan manusia beribadah
karena mengharapkan surgaNya atau terhindar dari
neraka-Nya, karena memang hanya sampai di situ
batas kemampuan manusia.
8. Walaupun demikian, kita bisa meneladani sifat
mulia itu sebatas kemampuan kita sebagai
makhlukNya. Dalam hal ini kita bisa
meminimalkan harapan atau pamrih kita, paling
tidak, ketika kita memberikan sesuatu, janganlah
kita berharap mendapatkan imbalan yang ber-
lebihan, yang demikian itu disebut riba,
sebagaimana firman-Nya :
9. Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
10. Sejak awal, ketika Rasulullah menerima wahyu
yang ketiga, Allah sudah mengingatkan: “Jangan
memberi dengan mengharap imbalan yang lebih
banyak”. (QS. Al-Muddatstsir: 6)
Artinya: dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
11. Dalam prakteknya, kita boleh saja menanti ucapan
terimakasih dari orang yang kita beri, tapi
mengabaikannya jauh lebih mulia dan derajatnya
lebih tinggi, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan
Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
12. Nilai-nilai yang tercermin dari Al-Wahhab itu sangat
penting diterapkan oleh para pemimpin. Setiap
pemimpin haruslah memiliki sifat pemurah, suka
memberi kepada bawahannya.
Seorang pemimpin yang pelit pasti tidak disukai
anak buahnya. Sebaliknya, pemimpin yang murah
hati dan suka memberi pasti mendapatkan simpati,
disukai, dan dicintai rakyatnya.
……………