1. A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian HIV/AIDS ?
2. Bagaimana Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA ?
3. Apa sajakah bentuk-bentuk Stigma dan Diskriminasi ODHA ?
4. Apa sajakah Faktor-faktor Stigma dan Diskriminasi ODHA ?
5. Bagaimana mengatasi masalah Stigma dan Diskriminasi ODHA ?
6. Apakah Pengertian VCT/Voluntary counseling and Testing ?
7. Apa Sajakah Peran VCT ?
8. Bagaimana Tahapan VCT ?
9. Bagaimana Evaluasi VCT ?
C. Tujuan
2. 1. Pengertian HIV/AIDS
WHO (Word Health Organization) mendefinisikan kasus AIDS adalah keadaan dimana terdapat hasil
tes positif untuk antibodi HIV, dengan disertai munculnya satu atau lebih tanda- tanda atau gejala-
gejala seperti yang disampaikan Cock et al (2002) yaitu : berat badan menurun lebih dari 10%
disertai dengan diare kronis atau demam terus menerus lebih dari 1 bulan, cryptococcal
meningitis, pulmonary atau extra pulmonary tuberculosis, sarkoma kaposi, kerusakan syaraf,
candidiasis pada oesophagus, pneumonia dengan episode sedang dan kanker serviks invasif.
Penularan AIDS dibedakan menurut rute paparannya sebagai berikut : 1) Melalui
Hubungan Seksual, 2) Masuknya cairan yang terinfeksi ke dalam tubuh dan 3) Transmisi Ibu ke
Anak. Penanganan pengobatan yang selama ini dilakukan terhadap penderita HIV/AIDS adalah
pemberian ARV (Anti Retroviral) yang berfungsi untuk menekan perkembangan virus HIV
sehingga penderita AIDS diharapkan dapat tetap survive. Tindakan pengendalian dilakukan
dengan mempertahankan gaya hidup yang dapat mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor
risiko tinggi. Tindakan edukasi yang sangat penting dilakukan untuk
mengendalikan meningkatnya penularan HIV/AIDS adalah dengan memberikan edukasi
kepada orang yang sudah dinyatakan positif menderita HIV/AIDS harus menjaga perilakunya
sehingga tidak menularkan HIV/AIDS secara lebih luas (Silvianti, 2009).
2. Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA
Stigma adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari suatu persepsi yang telah ada
sebelumnya yang menimbulkan suatu pelanggaran terhadap sikap, kepercayaan dan
nilai. Menurut Castro dan Farmer (2005), stigma ini dapat mendorong seseorang untuk
mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak pemerintah,
masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan kesehatan, teman sekerja, para teman, dan
keluarga-keluarga.
Goffman (1963) membuat konsep tentang stigma yaitu suatu atribut yang mendeskridetkan
secara signifikan. Goffman juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan suatu
kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan sifat
fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam
3. komunitas tersebut (Goffman,1963).
Maman et al (2009) mengartikan diskriminasi sebagai aksi-aksi spesifik yang didasarkan
pada berbagai stereotip negatif ini yakni aksi-aksi yang dimaksudkan untuk mendiskredit dan
merugikan orang. Pengertian lain tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza (1999) bahwa
diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan stigma dan ditujukan kepada pihak
yang terstigmatisasi (Busza, 1999). Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV
digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap
individu karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja
(UNAIDS, 2012).
3. Bentuk-bentuk Stima dan Diskriminasi ODHA
Beberapa bentuk stigma eksternal dan diskriminasi antara lain :
1) Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan yang sama.
2) Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA.
3) Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya
dan menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
4) Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya keluarga dan teman
dekatnya.
5) Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi.
6) Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperit ditolak
bekerja,
penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda pada ODHA oleh
petugas kesehatan.
7) Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik.
8) Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak yang orang tuanya
meninggal karena AIDS.
9) Pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembukaan status HIV seseorang pada orang lain
tanpa seijin penderita, dan melakukan tes HIV tanpa adanya informed consent (Diaz et al,
2011).
4. 4. Faktor-faktor Stigma dan Diskriminasi ODHA
Terjadinya stigma dan diskriminasi kepada ODHA oleh petugas kesehatan, dipengaruhi
oleh beberapa hal, antara lain :
1) Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana individu tersebut akan
bersikap terhadap penderita HIV/AIDS (Bradley, 2009). Stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA muncul berkaitan dengan ketidaktahuan tentang mekanisme penularan HIV, perkiraan
risiko tertular yang berlebihan melalui kontak biasa dan sikap negatif terhadap kelompok
sosial yang tidak proporsional yang dipengaruhi oleh epidemi HIV/AIDS ini (Herek, 2002).
Chase dan Aggleton (2001) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya stigma adalah
misinformasi mengenai bagaimana HIV ditransmimisikan (Chase and Aggleton, 2001).
2) Persepsi tentang ODHA
Herek, dkk pada tahun 2002 mengungkapkan hasil penelitiannya di Amerika Serikat
bahwa sekitar 40 sampai 50% masyarakat percaya bahwa HIV dapat ditularkan melalui
percikan bersin atau batuk, minum dari gelas yang sama, dan pemakaian toilet umum,
sedangkan 20% percaya bahwa ciuman pipi bisa menularkan HIV (Herek et al, 2002).
Persepsi terhadap pengidap HIV atau penderita AIDS akan sangat mempengaruhi
bagaimana orang tersebut akan bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. Persepsi terhadap
ODHA berkaitan dengan nilai-nilai seperti rasa malu, sikap menyalahkan dan menghakimi
yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut. Cock, dkk tahun 2002 menyatakan bahwa
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berhubungan dengan persepsi tentang rasa malu
(shame) dan menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut (Cock,
2002).
3) Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA. Mahendra pada tahun 2006 menyatakan bahwa jenis tenaga
kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA (Mahendra et al, 2006).
5. 4) Lama Bekerja
Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk melakukan jenis pekerjaan tertentu
dinyatakan dalam lamanya waktu dalam melaksanakan tugas tersebut. Pengembangan
perilaku dan sikap tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan perilaku pelayanan
kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri yang
tinggi (Suganda, 1997).
5) Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku seseorang.
Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses terbentuknya motivasi sehingga faktor
umur diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang (Suganda, 1997).
6) Pelatihan
Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi menghasilkan peningkatan
pengetahuan tentang HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas untuk memberikan
pelayanan kesehatan (Gerbert, 1988). Pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang HIV/AIDS
menghasilkan tidak hanya peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS tetapi juga
peningkatan sikap yang lebih baik terhadap ODHA (Wu Z et al, 2002).
7) Jenis Kelamin
Gibson menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu variabel individu yang
dapat mempengaruhi kinerja (Gibson, 1996). Penelitian tentang kinerja di rumah sakit dan
klinik di Amerika Serikat menemukan bahwa dokter wanita kurang melakukan
konsultasi dan menghabiskan waktu lebih sedikit dalam melakukan praktek dan kontak
langsung dengan pasien daripada dokter pria. Dokter wanita diketahui bekerja lebih sedikit per
minggu dibandingkan dokter pria, namun demikian produktifitas total dalam melakukan
pelayanan pasien secara langsung tidak lebih sedikit dari dokter pria. Dokter wanita
menghabiskan total waktu bekerja mereka dalam melakukan pelayanan pasien secara langsung
dan melakukan pemeriksaan lebih banyak pasien dibandingkan dari dokter pria (Herek et al,
2002).
8) Dukungan Institusi
Faktor kelembagaan atau institusi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan
klinik mempengaruhi adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, antara lain hal-hal
yang terkait penetapan kebijakan, SOP (Standart Operational Procedure), penyediaan sarana,
6. fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan diri dalam penanganan pasien HIV/AIDS. Studi
tentang pengaruh faktor lembaga atau institusi memang masih jarang dilakukan padahal
sebenarnya hal ini sangat penting untuk mengintervensi secara legal terhadap adanya stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA oleh petugas kesehatan (Li li et al, 2007).
Sesuai dengan protokol UNAIDS untuk Identification of Discrimination against People Living
with HIV dan hasil beberapa studi di Asia Pasifik mengungkapkan bahwa masalah stigma dan
diskriminasi lebih banyak nampak dalam praktek-praktek yang tidak mempunyai kebijakan atau
peraturan tertulis dalam penangan pasien HIV/AIDS (UNAIDS, 2000).
9) Kepatuhan terhadap agama
Agama mempunyai peran dalam membentuk konsep seseorang tentang sehat dan sakit.
Konsep ini sangat dipengaruhi oleh keyakinannya tentang peran Tuhan dalam menentukan
nasib seseorang, termasuk didalamnya adalah dalam hal sehat dan sakit (Chin, 2005).
Peran agama dalam semua aspek kehidupan manusia sudah ada sejak berabad-abad
yang lalu. Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para pemimpin
agama mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan penularan HIV. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Diaz di Puerto Rico tahun 2011 menyatakan adanya peran agama dalam
membentuk konsep tentang sehat dan sakit serta terkait dengan adanya stigma terhadap
penderita HIV/AIDS (Diazet al, 2011). Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang sama
yang dilakukan oleh Aisha Andrewin tahun 2008 bahwa kepatuhan petugas kesehatan
berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS (Andrewin et al,
2008).
5. mengatasi masalah Stigma dan Diskriminasi ODHA
1. Jadilah contoh yang baik. Terapkan apa yang sudah kita ketahui . pikirkanlah kata-kata
yang kita gunakan dan bagaimana memperlakukan ODHA, lalu cobalah untuk mengubah
pikiran dan tindakanmu.
2. Berbagilah pada orang lain mengenai hal-hal yang sudah kita ketahui dan ajaklah
mereka untuk membicarakan tentang stigma dan bagaimana mengubahnya.
3. Atasilah masalah stigma ketika anda melihatnya di rumah, tempat kerja dan
masyarakat. Bicaralah, katakana masalahnya dan buatlah orang paham bahwa stigma itu
melukai
4. Lawanlah stigma melalui kelompok. Setiap kelompok dapat menemukan stigma dalam
situasi mereka sendiri dan setuju untuk melakukan satu atau dua tindakan praktis agar
terjadi perubahan.
7. 5. Mengatakan stigma sebagai sesuatu yang “salah” dan “buruk” tidaklah cukup.
Bantulah orang yang bertindak melakukan perubahan. Setuju pada tindakan yang harus
dilakukan, mengembangkan rencana dan lakukan.
6. Berpikir besar, Mulai dari yang kecil dan bertindak sekarang.
Hal-hal yang dapat dilakukan secara individual :
1. Waspada pada bahasa yang kita gunakan dan hindari kata-kata yang menstigma.
2. Sediakan perhatian untuk mendengarkan dan mendukung anggota keluarga ODHA di
rumah.
3. Kunjungi dan dukung ODHA beserta keluarganya di lingkungan tempat tinggal kita.
4. Doronglah ODHA untuk menggunakan layanan yang tersedia, seperti konseling, tes HIV,
pengobatan medis, ART, dan merujuk mereka pada siapapun yang dapat menolong.
6. Pengertian VCT/Voluntary counseling and Testing
VCT singkatan dari Voluntary Counselling and Testing,yang dalam bahasa Indonesia kurang
lebih artinya konseling dan tes sukarela, dalam hal ini adalah untuk tes HIV. Bagaimanapun,
VCT adalah pintu masuk untuk membantu seseorang yang beresiko ataupun tidak beresiko
terkena HIV untuk mendapat akses semua layanan baik informasi, edukasi, terapi, atau dukungan
psikososial.
Jadi di dalam VCT tidak ada pemaksaan,karena konteksnya kerelaan dari seseorang untuk
melakukan tes HIV. Di dalam proses VCT yang ada adalah hubungan antara klien dan konselor,
bukan hubungan antara pasien dan dokter. Dalam hubungan antara klien dan konselor semua
keputusan ada di tangan klien, tentu setelah klien mendapat informasi yang cukup tentang HIV
dan memahaminya. Dalam VCT terjadi saling percaya antara klien dengan konselor, kerelaan
untuk tes HIV, rahasia terjamin, pelayanan nyaman, dan empati.
7. Peran VCT
1. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien
mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini
dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan
ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi
oportunistik, dan ART.
2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh
intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor
terlatih,menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan
informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung
jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi
kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
8. 3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah
klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko. Konseling dan tes
HIV sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counseling and Testing (VCT)
merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV dan AIDS berkelanjutan.
8. Tahapan VCT
1. Konseling Pra Tes HIV.
2. Tes HIV (Pengambilan dan Pemeriksaan darah).
3. Konseling Pasca Tes HIV. Ada tiga tahapan dalam pelaksanaan konseling dan tes HIV, yaitu :
1. Konseling pra tes HIV: Membantu kien menyiapkan diri untuk melakukan pemeriksaan darah
atau tes HIV. Materi konseling yang diberikan:
Proses konseling dan tes HIV sukarela.
Manfaat tes HIV.
Pengetahuan tentang HIV/AIDS.
Meluruskan pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS dan mitosnya.
Membantu klien mengetahui faktor resiko penuaran HIV/AIDS.
Menyiapkan kien untuk pemeriksaan darah.
Mendiskusikan kemungkinan hasi tes HIV positif dan negatif.
Persetujuan untuk tes HIV sukarela.
Mengembangkan rencana perubahan perilaku yang sehat dan aman.
2. Tes HIV: pemeriksaan darah laboratorium untuk memastikan status HIV.
3. Konseling Pasca Tes HIV: Membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil
tes. Materi konseling yang diberikan adalah mengenai penjelasan tentang hasil tes HIV.
Jika hasil tes positif, petugas konseling akan menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat
diterima klien, secara halus dan manusiawi. Petugas konseling akan merujuk kien ke ayanan
medis dan sosial.
Penanganan reaksi emosi yag ada.
Jika hasil tes negatif, isu seks aman dan tes ulang tetap disarankan.
Informasi dan layanan rujukan untuk pengobatan.
Diskusi untuk mencegah penularan HIV.
9. Diskusi untuk tetap sehat dan positif bagi ODHA.
Dukungan moral yang dapat diberikan.
Pada tahap pre konseling, yang dilakukan adalah pemberian informasi tentang HIV dan AIDS,
cara penularan, cara pencegahan, dan periode jendela. Kemudian konselor dilaksanakan
penilaian risiko klinis. Pada saat ini, klien harus jujur tentang hal-hal berikut: kapan terakhir kali
melakukan aktivitas seksual, apakah menggunakan narkoba suntik, pernahkah melakukan hal-hal
yang berisiko pada pekerjaan; misalnya dokter, dan apakah pernah menerima produk darah,
organ atau sperma. Konselor VCT terikat sumpah untuk merahasiakan status klien. Pada saat
melakukan VCT pastikan konseling dilakukan di tempat tertutup dan menjamin privasi. Konselor
akan menawarkan kepada klien apakah bersedia untuk melakukan tes HIV berupa informed
consent atau izin dari klien untuk melakukan tes HIV. Pada saat melakukan tes HIV, darah kita
akan diambil secukupnya. Dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara setengah jam
sampai satu minggu, tergantung jenis tes HIV yang dipakai.
9. Evaluasi CVT
Evaluasi
Tim tim pengawas bertanggung jawab memastikan:
1. Konselor menggunakan alat pengumpulan data standarat yang telah dikembangkan oleh
KEMENKES untuk mencatat jumlah orang yang di tes di lokasi dan data klien tambahan
termasuk informasi demografi, hasil tes dan status rujukan.
2. Pada semua tempat yang menyediakan tes VCT memiliki persediaan yang diperlukan dan
jika diperlukan mencari dan mengatur pasokan tambahan termasuk transportasi untuk
pendistribusian alat yang dibutuhkan.
3. Pelaksanaan layanan mengacu pada pedoman yang berlaku dan berada di bawah
pengendalian Direktorat, tidak ada paksaan dalam pelaksanaan test dan sangat terjaga
kerahasiaanya setelah dilakukan tes VCT tersebut.
4. Memastikan bahwa hasil tes VCT akurat dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
sehingga tidak menjadi masalah bagi peserta test VCT tersebut.
Tim konseling terpadu yang terdiri dari dokter umum, psikolog, psikiater, penyuluhan lapangan,
dan pembina mental dengan tujuan, antara lain:
ü Memberikan pengertian dan informasi yang benar tentang HIV-AIDS.
ü Mengidentifikasi masalah dan memberikan jalan keluarnya.
ü Memberikan kesadaran berperilaku sehat dan bertanggungjawab dalam kehidupan
bermasyarakat.
ü Memberikan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah dan memberikan rasa aman