3. Kendatipun penanaman modal (investasi) tersebut mendatangkan hasil, tetapi
masih terdapat perbedaan pendapat para ulama:
1. Para ulama yang tidak mewajibkan zakat
Sebagian ulama memandang, bahwa investasi dalam bentuk
gedung-gedung, pabrik dan sebagainya yang telah disebutkan di atas tidak
dikenakan zakat, karena di masa Rasulullah, para sahabat tidak pernah
menetapkan ketentuan hukumnya. Kelompok ini, berpegang kepada lahiriah
nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Pendapat ini dianut oleh mazhab lahiriah
(Ibnu Hazm). Dalam zaman modern ini dianut pula oleh Syaukani dan
Shahik Hasan Khan.
Hukum Zakat Investasi
4. 2. Para ulama yang mewajibkan zakat
Sebagian ulama berpendapat, bahwa penanaman modal dalam berbagai
bentuk kegiatan dikenakan zakatnya, karena hal itu merupakan kekayaan
dan setiap kekayaan ada hak orang lain di dalamnya.
Pendapat ini dianut oleh ulama-ulama mazhab Maliki, Hambali, dan
mazhab Zaidiyah. Ulama-ulama mutaakhirin, seperti Abu Zahrah, Abd.
Wahab Khallaf dan Abd. Rahman Hasan sependapat pula dengan pendapat
yang kedua ini.
5. Menurut pendapat kelompok kami, pendapat yang kedua ini cukup logis bila
kita berpikir secara cermat sebab yang wajib dikeluarkan zakat adalah zakat
kekayaan yang dikembangkan, apapun jenis usahanya asal halal, tidak haram
seperti pabrik minuman keras, sebagai landasannya kita dapat melihat kembali
dalil-dalil yang telah dikemukakan terdahulu seperti surat at-Taubah ayat 103 :
6.
7. Cara Menetapkan Zakat Investasi
Ada dua cara dalam perhitungan zakat investasi:
1. menghitung modalnya (pabrik, hotel) dan keuntungannya
sekaligus. Kemudian baru diperhitungkan zakatnya.
2. hanya menghitung keuntungannya saja dan keuntungan
itulah yang diperhitungkan zakatnya.
8. Lanjutan..........
1. Sebagian ulama menghitung modal dan keuntungannya, dan zakatnya
dikeluarkan sebesar 2,5% sebagaimana zakat perdagangan. Dalam
perhitungan modalnya ada penyusutan tiap tahunnya, disamping biaya
pemeliharaan dan biaya lain-lain.
2. Sebagian ulama menghitung keuntungannya saja, tidak modalnya, seperti
rumah yang disewakan, hotel, dan sebagainya.Hal ini berarti sama dengan
zakat pertanian yang dihitung hanya hasilnya saja, tidak tanahnya. Dengan
demikian, zakatnya apakah 10% atau 5%, menurut kedua pendapat ini,
penyusutan tidak perlu dihitung, karena yang diperhitungkan hanya
keuntungannya saja,setelah dikeluarkan biaya pemeliharaan dan biaya-
biaya lainnya.
9. Menurut pendapat Syeikh Abdurrahman Isa
dalam kitabnya “Al-Muamalah al- Haditsah
wa Akhmuha” mengatakan bahwa yang
harus diperhatikan sebelum mengeluarkan
zakat adalah status perusahaannya.
10. • Sedangkan menurut Abu Zahrah, saham wajib untuk dizakatkan
tanpa harus melihat status perusahannya karena saham adalah
harta yang beredar dan dapat diperjual belikan. Dan pemiliknya
mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut. Ini
termasuk kategori komoditi perdangan dengan besaran zakat 2,5
persen dari harga pasarnya. Caranya adalah setiap akhir tahun, yang
bersangkutan melakukan penghitungan harga saham pada pasar,
lalu menggabungkannya dengan deviden (keuntungan) yang
diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntugannya tersebut
mencapai nishab maka saham tersebut wajib dizakatkan.