Konsultasi Nasional "Gereja dan Komunikasi" yang diselenggarakan oleh YAKOMA-PGI membahas tantangan yang dihadapi komunikasi dan media gereja di tengah perkembangan teknologi informasi dan masyarakat yang plural. Partisipan merumuskan strategi baru dan merekomendasikan pengembangan pelayanan gereja yang lebih responsif terhadap konteks sosial demokratis dan pluralistik.
1. YAKOMA-PGI
KOMUNIKASI DAN MEDIA GEREJA
DI TENGAH BANGSA YANG PLURAL
Hasil-hasil Konsultasi Nasional “Gereja dan Komunikasi”
Jakarta, 25-27 Mei 2010
Penyunting
Rainy MP Hutabarat
Irma Riana Simanjuntak
EBook
2. Kata Pengantar
K
onsultasi Nasional
“Gereja dan Komunikasi”
yang diselenggarakan
pada 25-27 Mei 2010 lalu
merupakan yang kelima kali
diselenggarakan oleh YAKOMAPGI sejak tahun 1970-an.
Konsultasi ini diselenggarakan
sebagai wadah bersama
gereja-gereja di tanah air untuk
memahami betapa pentingnya
komunikasi dan media dalam
kehidupan gereja; memetakan
persoalan-persoalan di seputar
perkembangan terakhir
komunikasi dan media serta
refleksi teologis atasnya;
merumuskan strategi-strategi
komunikasi dan media di tengahtengah konteks masyarakat
Indonesia; membangun dan
mengembangkan jejaring serta
merumuskan rekomendasi
bagi gereja-gereja maupun
YAKOMA-PGI. Karena itu,
penyelenggaraan konsultasi
nasional terkait gereja dan
komunikasi, walaupun waktunya
tak teratur, bukan sekadar
menjalankan tradisi. Ia lebih
merupakan wadah strategis
gereja-gereja di Indonesia untuk
bersama-sama saling berbagi
pengalaman, pengetahuan
dan pergumulan di seputar
komunikasi dan media.
naratif, beberapa disampaikan
melalui power-point, termasuk
juga hasil-hasil diskusi kelompok
pendalaman. Bertolak dari hasil
rekaman kaset, topik-topik yang
disajikan dalam bentuk powerpoint kemudian dilengkapi
dengan ringkasan percakapan
yang disampaikan oleh
narasumbernya.
Buku “Komunikasi dan Media
Gereja di Tengah Masyarakat
yang Plural dan Demokratis”
ini memuat seluruh materi dan
proses Konsultasi Nasional
tersebut. Tentu saja, tak seluruh
materi disampaikan secara
Materi-materi yang dibahas
terentang dari refleksi teologis
tentang “Allah Itu Baik Kepada
Semua Orang: Komunikasi
dan Media Gereja di Tengah
Masyarakat yang Plural dan
Demokratis” Pdt. Dr. Andreas
YAKOMA-PGI
Buku ini dibagi dalam tiga
bagian. Bagian I adalah
kerangka acuan dan laporan
singkat Konsultasi Nasional
tersebut. Bagian II meliputi alur
dan hasil-hasil diskusi empat
kelompok pendalaman. Keempat
kelompok pendalaman tersebut
masing-masing bertugas a)
Pemetaan masalah Komunikasi
dan Media Gereja dan Refleksi
Teologis (Kelompok 1); b)
Peluang dan Dampak Positif dan
Negatif terhadap Jemaat dan
Masyarakat (Kelompok 2); c)
Strategi Komunikasi dan Media
Gereja di Tengah Masyarakat
yang majemuk dan Demokratis
(Kelompok 3); Merumuskan
Rekomendasi bagi Gereja-gereja
dan YAKOMA-PGI (Kelompok
IV). Yang terakhir, Bagian III
memuat Lampiran-lampiran yang
terdiri dari: a) Materi-materi dan
b) Daftar Peserta.
A. Yewangoe); “Perkembangan
Teknologi Informasi dan
Komunikasi: Tantangan dan
Dampaknya bagi Masyarakat
dan Jemaat Gereja (Dr.
Magdalena Daluas); Persepsi
Umat non Kristen terhadap Umat
Kristen, Sebuah Studi Kasus
(Haryati Kristanto); Panel yang
menghadirkan 4 pengelola
berbagai jenis media (majalah
cetak, buku, radio, milis)
bertajuk: STT Jakarta di Radio
Penyiaran Kristen (Stephen
Suleeman); “Kiat Survive BPK
Gunung Mulia: Memadukan
Idealisme Rasionalitas
Pasar” (Otniel Sintoro);
“Mengelola Media Kristiani di
Tengah Kehidupan Bernegara
- Berbangsa yang Sedang
Berubah” (Dr. Victor Silaen).
Buku ini disajikan dengan
harapan para pembaca,
khususnya warga gereja
yang tidak terlibat dalam
Konsultasi Nasional Gereja
dan Komunikasi IV, bisa ikut
memperoleh manfaat informasi,
berbagi pengalaman dan
moga-moga terdorong untuk
membarui pemahaman dan
strategi komunikasi dan media
pelayanannya masing-masing.
Semoga.
Penyunting
Rainy MP Hutabarat
Irma Riana Simanjuntak
3. Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................................
2
Laporan
4
.....................................................................................................................................
Alur Proses Konsultasi Nasional
.............................................................................................
10
...............................................................................................................
11
..........................................................................................................
16
1. “Komunikasi dan Media Gereja:
Allah Itu Baik Kepada Semua Orang”
oleh Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe ..........................................................................................
16
2. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi:
Tantangan dan Dampaknya Bagi Masyarakat dan Jemaat
oleh Magdalena Daluas
...........................................................................................................
19
3. Mengelola Media Kristiani di Tengah Kehidupan
Bernegara-berbangsa yang Sedang Berubah (Strategi dan Pengalaman Reformata)
oleh Victor Silaen
....................................................................................................................
23
4. Kiat Survive BPK Gunung Mulia: “Memadukan Idealisme Rasionalitas Pasar”
oleh Otniel Sintoro
..................................................................................................................
29
Hasil-hasil Workshop
Materi-materi Workshop
5. STT Jakarta di RPK
oleh Stephen Suleeman
..................................................................................................................
36
6. Konsultasi Nasional “Gereja dan Komunikasi”
“Komunikasi dan Media Gereja di Tengah Bangsa yang Plural”
oleh Agus Hamonangan .........................................................................................................
38
7. Persepsi Umat Non Kristen Terhadap Umat Kristen (Studi Kasus)
oleh Haryati Kristanti (World Vision Indonesia)
......................................................................
40
Daftar Peserta
42
........................................................................................................................
EBook
4. LAP O RAN
Konsultasi Nasional “Gereja dan Komunikasi”
“Komunikasi dan Media Gereja di Tengah Bangsa yang Plural”
Jakarta. 25-27 Mei 2010
A. Latar-belakang
Perkembangan pesat di
bidang teknologi informasi dan
komunikasi tengah berlangsung.
Sebelum internet muncul,
saingan terbesar media cetak
seperti suratkabar, majalah
berita, dan buku adalah televisi
dan radio. Walaupun tak bisa
dibilang ringan, media cetak
masih mendapat tempat sangat
terhormat karena liputannya
yang lebih komprehensif dan
mendalam. Namun, seiring
munculnya situs-situs berita
online yang bersifat multimedia dan partisipatif serta
dapat diperbarui segera, media
cetak kini mengalami masamasa sukar dalam perjalanan
hidupnya. Media online tak
hanya dapat membarui
kontennya setiap saat, tetapi
juga bersifat multi-media dan
partisipatif. Para pengguna dapat
memberi tanggapan langsung
terhadap konten yang disiarkan
setelah lebih dulu mendaftar
(login).
Dengan merebaknya blogger
yang mengembangkan
jurnalisme warga (citizen
journalism), dan media jejaring
sosial seperti Facebook dan
Twitter, media massa surat
kabar kini dituntut untuk kembali
mereposisikan dirinya di tengah-
YAKOMA-PGI
tengah berbagai pilihan media.
Jurnalisme warga merupakan
respons terhadap perkembangan
pesat dunia internet dan
juga terhadap media massa
yang berorientasi industri dan
bisnis, monopoli dan rentan
terhadap kooptasi kekuasaan.
Jurnalisme warga merupakan
bentuk jurnalisme partisipatif,
non komersial, dan karenanya
bercorak media komunitas maya.
Sebuah sumber mengatakan,
pengguna media maya seperti
blogger, serta pengakses
situs-situs berita online, terus
meningkat. Juga jumlah
penggguna media jejaring sosial
seperti Facebook dan Twitter di
Indonesia terus bertambah.
Dari aspek komunikasi, TV telah
menawarkan komunikasi yang
jauh lebih bisa menjangkau dan
mempengaruhi orang banyak
dan interaktif. Sifatnya yang
audio-visual dan kini interaktif,
membuat TV tak hanya bersifat
informative, segera (live) tetapi
sekaligus juga menghibur.
Dengan infrastruktur yang kian
membaik, jemaat kini semakin
mudah mengakses berbagai
informasi yang bersifat cetak,
musik, audio-visual melalui
berbagai media online. Yang
perlu semakin disadari adalah,
internet kini telah berkembang
sebagai institusi pendidikan dan
jejaring sosial. Melalui media
jejaring sosial interaksi umat
beragama kini juga semakin
intens. Berbagai informasi mulai
dari berita sosial, politik, agama
hingga makalah/buku teologi
dan filsafat kini dapat diperoleh
melalui penjelajahan di internet,
termasuk lagu-lagu dan film. Ini
berarti, di samping radio, televisi
dan surat kabar, jemaat dapat
belajar hal-ihwal iman Kristen
melalui internet, termasuk diskusi
terfokus melalui Facebook.
Tentu saja, di samping
berbagai dampak positif dari
perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi,
juga ada dampak negatif
yang merongrong warga
jemaat maupun generasi
muda. Pornografi, penipuan
melalui media jejaring sosial,
berinternet secara tak sehat,
adalah beberapa contoh
kasus. Etika berinternet belum
diketahui oleh kebanyakan
warga jemaat. Masalah lain
adalah, pengelolaan waktu
untuk belajar dan gaul dalam
komunitas maya (Facebook,
Twitter) oleh para pelajar dan
mahasiswa; juga pemanfaatan
uang untuk keperluan studi dan
gaul dalam komunitas maya.
Ada kecenderungan anak muda
sekarang lebih memilih membeli
5. gadget mutakhir ketimbang
melengkapi koleksi bukubukunya.
Dalam situasi demikian,
komunikasi dan media gereja kini
semakin menghadapi tantangan
berat. Di Indonesia, gereja-gereja
yang coba mengembangkan
bentuk-bentuk komunikasi dan
medianya secara maksimal
masih terbatas jumlahnya. Dari
hasil pengamatan YAKOMAPGI, media gereja (cetak dan
situs web/blog) tidak dikelola dan
dikembangkan secara maksimal
dari segi isi maupun tampilan.
Dari segi isi dan bahasa,
misalnya, bila dikaitkan dengan
konteks pluralisme agama di
Indonesia, masih terdapat
kekerasan simbolik, misalnya
menyebut non Kristen sebagai
“kafir” serta konversi agama
yang mencitrakan agama-agama
secara hitam putih. Liturgi gereja
cenderung monoton, kurang
menggali kekayaan budaya
local dan merespons situasi
sosial yang berkembang serta
memanfaatkan multi-media.
Cara berkomunikasi di depan
publik oleh para pekerja gereja,
termasuk guru Sekolah Minggu,
juga cenderung dipelajari secara
otodidak.
Satu pertanyaan menggelitik,
pernahkah umat Kristen
bertanya, bagaimanakah agamaagama lain memandang kita?
Sebuah studi yang dilakukan
oleh ornop berbasis Kristen
menyatakan, di mata umat
beragama lain “orang Kristen
itu kapitalis, kaya, kebaratbaratan, kafir, hampir semua
bernada negatif.” Riset yang
dilakukan oleh YAKOMA-PGI,
Persetia dan Litkom-PGI (2007)
juga mendapati bahwa melalui
medianya gereja melakukan
kekerasan simbolik antara lain
berbentuk stigmatisasi terhadap
umat non Kristen, serta pelukisan
secara hitam-putih. Pandangan
seperti ini mengajak kita
melakukan instrospeksi terhadap
komunikasi dan media gereja
atau organisasi berbasis Kristen
selama ini, baik melalui media
gereja di tingkat lokal maupun
sinodal, TV swasta nasional dan
lokal, dan komunikasi publik
lainnya.
Merespons situasi di atas dalam
terang tema kerja PGI (20092014) bahwa “Tuhan Itu Baik
Kepada Semua Orang” dan
tema kerja YAKOMA-PGI yakni
“Komunikasi dan Media Gereja
di Tengah Masyarakat yang
Demokratis dan Plural”, maka
gereja-gereja diajak untuk coba
melakukan evaluasi terhadap
pelayanan komunikasi dan
medianya. “Tuhan Itu Baik
Kepada Semua Orang” dalam
konteks komunikasi dan media
gereja di tengah masyarakat
yang plural berarti bahwa
komunikasi dan media gereja
itu sendiri harus mencerminkan
kebaikan Allah bagi semua orang
apa pun agamanya.
Untuk itu, gereja-gereja
perlu duduk bersama-sama
memetakan persoalan
komunikasi dan media; berbagi
informasi dan pengalaman;
merumuskan strategi dan prinsip
komunikasi dan media untuk
pengembangan pelayanannya,
dan merekomendasikan
apa yang dapat dilakukan di
tingkat sinodal maupun PGI.
Karena itulah, YAKOMA-PGI
bermaksud menyelenggarakan
Konsultasi Nasional “Gereja
dan Komunikasi” dengan tema
“Komunikasi dan Media Gereja di
Tengah Masyarakat Plural” pada
25-27 Mei 2010.
B. Tujuan
- Memetakan masalah-masalah
komunikasi dan media sebagai
dampak perkembangan pesat di
bidang teknologi informasi dan
komunikasi.
- Mengevalusi pelayanan
komunikasi dan media gereja
di tengah masyarakat yang
demokratis dan plural
- Merumuskan strategi-strategi
bersama di bidang komunikasi
dan media untuk pengembangan
pelayanan gereja bagi jemaat
dan masyarakatnya yang
demokratis dan plural.
- Merumuskan rekomendasi
untuk dilakukan oleh gereja
masing-masing serta YAKOMAPGI.
C. Waktu dan Tempat:
Balai Latihan YAKOMA-PGI,
25-27 Mei 2010
Jalan Cempaka Putih Timur
XI/26, Jakarta 10510
Telp. 4205623; Fax/Tel. 4253379;
email: yakoma@cbn.net.id
D. Penyelenggara:
YAKOMA-PGI
E. Peserta:
25 peserta (pengambil keputusan
di tingkat sinodal, pengelola
media Kristen, dan lembagalembaga Kristen terkait)
F. Topik Bahasan dan
Narasumber:
1. Keynote Speech:
EBook
6. “Komunikasi dan Media
Gereja: Tuhan Itu Baik Kepada
Semua Orang” oleh Pdt. Dr.
Andreas A. Yewangoe dan
moderator Dr. Victor Silaen
(materi terlampir).
2. Ceramah dan Curah
Pendapat Perkembangan
Teknologi Informasi dan
Komunikasi dan Dampaknya
bagi Masyarakat dan Jemaat
Gereja
oleh Dr. Magdalena Daluas
(TVRI).dengan moderator
Eliakim Sitorus (materi terlampir).
3. Persepsi Umat Non Kristen
Terhadap Umat Kristen (Studi
Kasus)
Narasumber: Ibu Haryati Kristanti
dengan moderator Eliakim
Sitorus (materi terlampir)
4. Panel Sharing
Pengalaman:
Komunikasi dan Media Gereja
di Tengah Masyarakat yang
Demokratis dan Plural (materi
terlampir):
a) Pengalaman Majalah
REFORMATA: Dr. Victor Silaen
b) BPK Gunung Mulia:
Kiat Survive BPK Gunung
Mulia: Memadukan Idealisme
Rasionalitas Pasar.
c) Agus Hamonangan:
Mengenal Internet, Cyberethic,
UU Informasi dan Transaksi
Elektronik.
d) Stephen Suleeman:
Pengalaman RPK STT Jakarta
e) Haryati Kristanti: Pengalaman
World Vision Indonesia:
Moderator: Vesto Proklamanto
Magany
YAKOMA-PGI
5. Pendalaman materi (4
kelompok)
G. Jadwal Konsultasi
Selasa, 25 Mei 2010
13.00 – 16.00
Pendaftaran
17.00 – 18.30
- Ibadah Pembukaan
oleh Rainy Hutabarat
- Sambutan dari Pengurus
YAKOMA-PGI
oleh Mula Harahap
- Sambutan dari Direktur
YAKOMA-PGI
oleh Irma Simanjuntak
- Perkenalan dan Penjelasan
Acara oleh Irma Simanjuntak
18.30 – 19.30
Makan Malam
19.30 – 21.00
Keynote Speech
Komunikasi dan Media Gereja:
Tuhan Itu Baik Kepada Semua
Orang Narasumber:
Pdt. DR. Andreas A. Yewangoe;
Moderator: DR. Victor Silaen
Rabu, 26 Mei 2010
07.00 – 08.30 Sarapan Pagi
08.30 – 09.00 Ibadah Pagi
09.00 – 10.30 Sesi I:
Perkembangan Teknologi
Informasi dan Komunikasi:
Tantangan dan Dampaknya
bagi Masyarakat dan Jemaat
Gereja
Narasumber: Magdalena Daluas
Moderator: Eliakim Sitorus
10.30 – 11.00 Snack
11.00 – 12.30 Sesi II:
Persepsi Umat Non Kristen
Terhadap Umat Kristen (Studi
Kasus)
Narasumber: Haryati Kristanti
dari World Vision Indonesia
(WVI).
Moderator: Eliakim Sitorus
12.30 – 13.30 Makan Siang
13.30 – 15.30 Sesi III: Panel dan
Sharing
Komunikasi dan Media
Gereja di tengah Masyarakat
yang Demokratis dan Plural:
Sharing Pengalaman dan
Strategi RPK STT-J, Majalah
Kristen Reformata, BPK
Gunung Mulia, WVI, Pengelola
TIK
Panelis: Stephen Suleeman,
Victor Silaen, Haryati Christati,
BPK Gunung Mulia, Agus
Hamonangan.
Moderator: Mula Harahap
15.30 – 16.00 Snack
16.00 – 18.00 Sesi IV:
Lanjutan Panel dan Sharing
18.00 – 19.00 Makan Malam/
Malam Budaya
Kamis, 27 Mei 2010
07.00 – 08.30 Sarapan Pagi
08.30 – 09.00 Ibadah Pagi
09.00 – 10.30 Pendalaman
Kelompok (4 kelompok)
10.30 – 11.00 Snack
11.00 – 12.30 Penutupan
12.30 – Makan Siang/Pulang
H. Proses dan Kegiatan
Konsultasi Nasional diawali
dengan Ibadah, dipimpin oleh
Rainy Hutabarat. Selanjutnya
Mula Harahap menyampaikan
Kata Sambutan mewakili Badan
Pengurus YAKOMA-PGI,
juga Irma Simanjuntak selaku
Direktur. Penjelasan Acara dan
Perkenalan juga dipandu oleh
Irma Simanjuntak.
Peserta Konsultasi sebanyak
25 orang mewakili SAG
Sulutteng, GKPB, GBKP, GKPB,
GKPS, GKPI-Siantar, HKBP,
GKJ, GKO, GKII, PGIW Banten,
PGIW Kalimantan, Gereja Toraja,
GMIM, GTM, (daftar peserta dan
narasumber terlampir).
7. Sesi I (hari 1) bertajuk
“Komunikasi dan Media
Gereja: Allah Itu Baik Kepada
Semua Orang”
oleh Pdt. Dr. Andreas A.
Yewangoe dengan moderator Dr.
Victor Silaen.
Pokok-pokok material yang
disampaikan adalah:
1. Komunikasi dan media tidak
boleh disalahgunakan oleh
siapapun termasuk orang Kristen
atau gereja.
2. Tema SR PGI XV dalam
kaitannya dengan media dan
komunikasi perlu menekankan
bagaimana menjabarkan
kebaikan Tuhan dalam
pergumulan bangsa kita.
3. Subtema SR “Bersama-sama
Seluruh Komponen Bangsa
Mewujudkan Masyarakat
Majemuk Indonesia Yang
Berkeadaban, Inklusif, Adil,
Damai dan Demokratis”
mengisyaratkan bahwa kita
hidup di dalam masyarakat
majemuk dan karena itu media
dan komunikasi gereja harus
lintas-agama, lintas-suku,
lintas-sektor, lintas-kepentingan
dan seterusnya. Hal tersebut
makin memperkuat masyarakat
majemuk, di mana salah
pengertian bisa dieliminasi, dan
ada keterbukaan.
4. Gereja perlu menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti
dan tidak asing (familiar)
didengar atau dibaca oleh
masyarakat. Bahasa yang
dimengerti secara tepat dalam
menjawab persoalan dan
pergumulan bangsa kita ini
memperlihatkan bahwa gereja
benar-benar menyampaikan
Kabar Baik yang dapat difahami
dan masyarakat merasakan
advokasi yang tulus dan
sungguh-sungguh.
5. Media dan komunikasi harus
menjadi berkat, sehingga setiap
orang merasakan kebaikan
Tuhan.
Sesi II (hari 2) bertajuk
“Perkembangan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK):
Tantangan dan Dampaknya bagi
Masyarakat dan Jemaat Gereja”
oleh Dr. Magdalena J. DaluasMolenaar dengan moderator
Bapak Eliakim Sitorus. Pokok
pikiran dalam sesi ini sebagai
berikut:
1. TIK memungkinkan
penyampaikan Kabar Baik terlalu
luas dan tidak terukur, artinya
hampir tidak ada lagi batas-batas
ruang dan waktu.
2. Gereja perlu memberdayakan
secara maksimal TIK tersebut
karena TIK telah menjadi alat
komunikasi utama dunia.
3. Gereja juga perlu mewaspadai
dampak negatif dari pemakaian
TIK, antara lain: pelanggaran
hak cipta, kejahatan dunia maya
(cybercrime), penyebaran virus
komputer, pornografi, perjudian,
dan penipuan.
Sesi III (hari 3) bertajuk
“Persepsi Umat Non Kristen
Terhadap Umat Kristen (Studi
Kasus)” disampaikan oleh
Haryati Kristanto (WVI) dengan
moderator Eliakim Sitorus, M.Sc.
Pada sesi ini para peserta dibagi
dalam kelompok diskusi, diajak
mengeksplorasi apa presepsi
(pandangan) non Kristen
terhadap umat Kristen. Dari
ekplorasi kelompok diperoleh
temuan:
1. Kelompok 1: Kekristenan
dipersepsikan oleh umat
beragama lain
• Kasih: jujur, kemurahan,
kepedulian
• Barat: Belanda, Jerman, Inggris
• Kristenisasi
• Yahudi
• Ancaman
• Kafir/haram
• Terpecah-pecah
2. Kelompok 2: Kekristenan
dipersepsikan oleh umat
beragama lain
• Dari Barat: bebas, bahasa
Inggris, pakai jas, gaya, modern
• Sahabat: Kerja sama,
menolong, memberi pinjaman
• Kasih: suka memberi, toleransi
• Agama penjajah: dari Belanda/
Eropa
• Kafir: harus dibunuh, haram
• Saudara: rukun, menolong,
peduli
• Kapitaslis: egois, monopoli,
materialistis, kaya
• Lawan/musuh
3. Kelompok 3: Kekristenan
dipersepsikan oleh umat
beragama lain
• Momok/musuh: ancaman,
kristenisasi
• Baik-baik saja: menyenangkan,
enak diajak ngobrol, enak diajak
bernyanyi, terbuka
• Kasih: menolong, lingkungan
dan sesame
• Rekan dialog: memahami
kekeristenan, mengubah
persepsi, hubungan harmoni
• Kafir: musuh, berseberangan,
obyek dakwah
4. Kelompok 4: Kekristenan
dipersepsikan oleh umat
beragama lain
• Identik makanan haram
• Dermawan
• Agamanya orang Barat
• Orang kafir: konsep 3 Allah,
prinsip tidak seiman/kafir
• Sangat toleran: keterlibatan
dalam acara-acara
EBook
8. kemasyarakatan, menerima
ibadah orang lain
Bagaimana menghadapi
pandangan seperti itu?
Kita perlu mengkomunikasi
Kristus melalui sikap hidup,
perbuatan, perkataan, memberi
teladan, menggunakan media
secara bertanggung jawab,
dan membangun kemitraan
(partnering).
Sesi IV (hari 2) Panel Diskusi
menampilkan lima panelis, Pdt.
Stephen Suleeman, Th.M (Dosen
STT Jakarta), Otniel Sintoro
(BPK Gunung Mulia), Dr. Victor
Silaen (Reformata), dan Agus
Hamonangan (Pengamat TIK,
moderator milis Forum Pembaca
Kompas). Keempat panelis ini
menyampaikan materinya yang
telah diringkas sebagai berikut:
1. Pdt. Stephen Suleeman,
Th.M
Di Radio Pelita Kasih (RPK)
96.3 FM Jakarta, Pdt. Stephen
Suleeman mengelola acara radio
Obrolan Santai Teologi (OST)
sejak 5 Oktober 2009 sampai
sekarang. OST yang mengudara
setiap hari Rabu pukul 00.3002.00 mewacanakan kehidupan
mahasiswa STT Jakarta
di kampus, apa saja yang
dipelajari di STTJ, bagaimana
seharusnya orang membaca
Alkitab, apa saja programprogram pendidikan yang ada di
STT-J, bagaimana pengalaman
mahasiswa STT-J berpraktik di
lapangan dan jemaat, dll. Selain
lebih banyak membicarakan
(“mempromosikan”) STTJ,
ada juga topik-topik menarik
yang dibahas, misalnya:
persoalan orientasi seks (waria),
YAKOMA-PGI
homoseksual, dll. Semuanya
ini disampaikan sebagai
pembelajaran masyarakat.
2. Otniel Sintoro
BPK Gunung Mulia sebagai
lembaga kristiani yang
bergerak di bidang literatur
Kristen memiliki dua tantangan
besar. Pertama, bagaimana
berkomunikasi untuk mewartakan
Kabar Baik di tengah konteks
pluralitas Indonesia. Kedua,
bagaimana gereja pada
umumnya, dan media cetak,
pada khususnya, sanggup
bertahan menghadapi gempuran
era komunikasi teknologi
informasi. Hal ini menyangkut
apa pesan yang hendak
disampaikan dan bagaimana
cara menyampaikannya. Di
satu sisi, Kabar Baik harus
diwartakan, apa pun harganya.
Di sisi lain, BPK sebagai
sebuah lembaga juga harus
survive secara finansial.
Dalam hal inilah idealisme
BPK ditantang. Bagaimana
BPK harus tetap menerbitkan
literatur kristiani yang memenuhi
kebutuhan gereja, bermutu,
terjaga teologinya, namun juga
harus bertahan sebagai suatu
perusahaan.
3. Dr. Victor Silaen
Reformata juga memiliki
tantangan persaingan dengan
media-media cetak lainnya,
terutama media-media cetak
bernuansa kristiani, seperti
Bahana, Narwastu Pembaruan,
Gaharu, Mitra Bangsa,
Pantekosta Pos, Panggilan, Mitra
Indonesia, Inspirasi, Narwastu,
Pelita Kasih, dll. Media cetak
kristiani mempunyai pergumulan
yang berat di mana pembaca
riil (yang setia atau rutin
membaca) media ini memang
sedikit jumlahnya. Ada beberapa
kemungkinan penyebabnya.
Pertama, media Kristiani belum
dirasakan sebagai kebutuhan
bacaan yang utama di gerejagereja, lembaga-lembaga ekstra
gerejawi maupun di rumahrumah. Karena, kebutuhan
mereka akan informasi yang
utama adalah informasi-informasi
yang bersifat umum. Kalaupun
mereka membutuhkan informasiinformasi seputar Kristen,
radio-radio “Kristiani” dianggap
lebih murah dan mudah untuk
dijadikan sumber. Kedua, bisa
jadi media-media Kristiani yang
diterbitkan secara terbatas oleh
gereja-gereja (media organik
gereja) tertentu dianggap telah
mencukupi kebutuhan mereka
akan informasi seputar Kristen.
Artinya, mereka merasa tidak
terlalu membutuhkan informasiinformasi seputar Kristen dari
media-media Kristiani yang
kebanyakan dikelola di Jakarta –
sehingga informasi-informasinya
lebih berkisar pada hal-hal
maupun persoalan-persoalan
di dan/atau dari Jakarta.
Apalagi pesatnya kemajuan
teknologi modern dewasa ini
memungkinkan mereka dapat
mengakses informasi-informasi
aktual dari manapun hanya lewat
internet atau bahkan SMS (short
messages service).
4. Agus Hamonangan
Agus Hamonangan berbicara
tentang pengelolaan TIK.
Pengelolaan TIK sangat terkait
erat dengan internet karena
internet adalah media yang
memanfaatkan kemajuan
9. teknologi komputer dan teknologi
komunikasi. Internet merupakan
media interaktif (dua arah) dan
real-time (sesegera mungkin).
Internet ini yang dirasakan
lebih unggul ketimbang media
konvensional.
Namun demikian internet pun
tidak lepas dari beberapa
persoalan, misalnya cybercrime.
Karena itu, dunia maya
membutuhkan cyberethics,
yaitu cara beretika di internet.
Pemerintah Indonesia sudah
mengatur cyberethics tersebut
dalam sebuah UU, yaitu UU
No. 11 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Kita
perlu memperhatikan pasal 27
dari UU ITE tersebut:
(1) Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau
mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
(2) Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/
atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/
atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama
baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/
atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/
atau pengancaman.
Seusai presentasi keempat
panelis tersebut, moderator
juga mempresentasikan sebuah
program kerjasama antara
Departemen Pemuda dan
Remaja PGI dan YAKOMA-PGI.
Program besar tersebut adalah
Pekan TIK Pemuda Gereja
2010 dalam rangka Sumpah
Pemuda. Pelaksanaan Pekan
TIK ini pada 28-31 Oktober 2010.
Mengenai Kerangka Acuan
(TOR) Pekan TIK tersebut sudah
dipublikasikan melalui Facebook
DEPERA PGI dan YAKOMAPGI-PGI.
Sesi V (hari 3)
Pendalaman Kelompok
f. Agus Priantoko
g. Pdt. Susana Lumingkewas
Pendamping: Vesto Magany
Pokok-pokok bahasan:
1. Memetakan masalah
komunikasi dan media gereja
(pengelolaan, konen mencakup
pilihan kata/bahasa, narasi,
teologi dalam kaitannya dengan
non Kristen; struktur yang
mungkin menghambat, dll.
2. Sejauh mana gereja telah
merespons perkembangan TIK
dalam pelayanan komunikasi
dan medianya;
3. Sejauh mana gereja juga
telah sadar dan waspada akan
dampak TIK bagi warganya?
Apakah yang dilakukan oleh
gereja untuk ini?
4. Landasan teologis dengan
mengacu teks-teks Alkitab terkait
fungsi komunikasi dan media
dalam konteks masyarakat
Indonesia (majemuk, korup,
miskin, dll.).
Pada hari ketiga Konas ini, para
peserta dibagi menjadi empat
kelompok untuk merumuskan
pemetaan masalah, dan
menetapkan rencana tindak
lanjut yang akan diterapkan
pada gereja-gereja dalam
memanfaatkan media dan
komunikasi. Berikut ini hasil
pembahasan kelompok diskusi
tersebut:
1. Kelompok I:
PEMETAAN MASALAH
KOMUNIKASI DAN MEDIA
GEREJA DAN REFLEKSI
TEOLOGIS
a. Pdt. Enny Purba
b. Pdt. Depatola Pawa
c. Pdt. Gunawan Irianto
d. Pdt. Altje Runtu-Lumi, M.Th.
e. Pdt. Selvi Oflagi
EBook
10. ALUR PROSES KONSULTASI NASIONAL
“GEREJA DAN KOMUNIKASI”
LANDASAN TEOLOGIS:
1. Media dan Komunikasi Gereja:
ALLAH ITU BAIK KEPADA SEMUA ORANG
2. Orang Kristen di Mata Umat Beragama Lain
TEKNOLOGI INFORMASI KOMUNIKASI:
PEMETAAN DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF
STRATEGI KOMUNIKASI MEDIA KRISTEN
DI TENGAH MASYARAKAT PLURAL
DEMOKRATIS
PEMETAAN MASALAH, PELUANG DAN
DAMPAK, STRATEGI REKOMENDASI
10 YAKOMA-PGI
11. HASIL WORKSHOP
Kelompok I
HASIL DISKUSI
Kelompok I: PEMETAAN
MASALAH KOMUNIKASI
DAN MEDIA GEREJA DAN
REFLEKSI TEOLOGIS
a. Pdt. Enny Purba
b. Pdt. Depatola Pawa
c. Pdt. Gunawan Irianto
d. Pdt. Altje Runtu-Lumi
e. Pdt. Selvi Oflagi
f. Agus Priantoko
g. Pdt. Susana Lumingkewas
Pendamping: Vesto Magany.
1. Kurangnya minat baca dan
menulis
2. Secara institusi: gereja belum
belum siap membayar ahli IT
(profesional) untuk bisa bekerja
di infokom gereja (kemiskinan
dana gereja) (solusi untuk no
2: memberdayakan pendeta
‘fulltimer’ untuk infokom)
3. Gereja belum sepenuh hati
memikirkan infokom terlihat dari
belum adanya juru bicara gereja
untuk memberitakan informasi
khusus yang dibutuhkan.
4. Humas dirangkap pendeta
(fulltimer).
5. Data gereja yang tidak akurat
= file yang berserakan (contoh:
catatan sejarah gereja).
6. Pejabat gereja terjebak
dengan rutinitas.
7. Perlu ada kebersamaan antar
gereja untuk memikirkan infokom
sebagai berbagi informasi.
8. (Khusus GMIM) Majalah
(media gereja) masih sedang
diproses, memang sudahlah
selayaknya gereja mempunyai
media cetak.
9. Perlu ada SDM yang mengerti
IT bila perlu ada pelatihan SDM
khusus IT.
10. Perlu ada rekrutmen
SDM jemaat (pemberdayaan)
warga dengan keahlian yang
dibutuhkan untuk pelayanan
sekaligus membuka lapangan
pekerjaan.
11. Perlu adanya perpustakaan.
12. Teks yang menguatkan untuk
infokom:
a) Matius 5:13-16 : Garam
dan terang dunia. Gereja
andaikan garam yg walau tak
terlihat (kecil) tapi dirasakan
kehadirannya, sebagai
penyedap, pengawet, dan fungsi
lainnya dan gereja tdak boleh
tawar alias hambar alias tak
berasa sehingga kehadirannya
tidak berpengaruh. Sebagai
terang gereja harus mampu
menerangi semua bentuk
kegelapan dunia, dan sekecil
apapun terang itu akan mampu
menerangi kegelapan yang
membuat orang bisa melihat
dengan kacamata iman.
b) Ulangan 6:4-9 : mengajarkan
firman dalam semua situasi.
Firman Tuhan adalah kebenaran
Tuhan yang harus disampaikan
dalam semua keadaan,
terhadap semua orang dalam
semua situasi, sebagai teguran,
sebagai nasehat, sebagai
arahan, sebagai pengajaran,
sebagai penguatan, sebagai
penghiburan, dll sebagainya.
c) Matius 10:16 : tulus seperti
merpati, cerdik seperti ular.
Ketulusan adalah sifat yang
dituntut dalam setiap pengabdian
dan pelayanan baik di gereja
maupun di masyarakat. Tuhan
membenci kemunafikan seperti
kebiasaan para ahli taurat dan
farisi, Tuhan ingin ketulusan
hati kita kepadanya dan kepada
sesama kita. Kecerdikan dalam
arti positif adalah kelincahan
dan kemampuan bertindak dan
berlaku secara benar di segala
tempat dan keadaan.
d) Roma 12:17-18: lakukan apa
yang baik bagi semua orang.
Allah tidak membeda-bedakan
manusia, Dia mengasihi dunia dn
segala isinya. Dia baik kepada
semua orang, berpusat dalam
diri Yesus kristus sbg wujud kasih
Allah akan dunia ini. Karenanya,
sebagai pengikut-Nya, tidak
boleh tidak gereja harus
melanjutkan dan menyatakan
kebaikan Allah itu kepada semua
orang. Pembeda-bedaan adalah
perlawanan terhadap Allah dan
kehendak-Nya. Dosa adalah
EBook 11
12. gereja hanya asyik dgn dirinya
sendiri, dan lupa sesama di luar
dirinya.
2. Kelompok II: PELUANG
DAN DAMPAK POSITIF DAN
NEGATIF TIK TERHADAP
JEMAAT DAN MASYARAKAT
a. Pdt. Parsaroan Sinaga
b. Pdt. Julien K. Rotty
c. Fajar S. Roekamto
d. A.A. Nyoman Oka Wisnawa
e. Javalera Ungking
f. Romida Siburian
Pendamping: Mula Harahap
Pokok-pokok bahasan:
1. Memetakan peluang-peluang
terbuka dari kemajuan TIK bagi
pelayanan gereja (misal: open
source sebagai perpustakaan
digital gratis untuk diunduh, dll).
2. Memetakan dampak positif
TIK bagi masyarakat dan warga
jemaat.
3. Memetakan dampak negatif
TIK terhadap masyarakat dan
jemaat, termasuk cybercrime, dll.
Hasil Diskusi Kelompok II:
-- Peluang TIK:
1. Teknologi internet semakin
murah
2. Perangkat keras (hardware)
semakin murah
3. Penguasaan teknologi
semakin mudah dan murah
4. Memperoleh informasi
semakin mudah didapat
5. Mudah melakukan komunikasi
melalui TIK
6. Ada peluang bisnis dalam
bidang TIK untuk gereja
7. Lebih mudah mengakses
banyak orang
8. Lebih mudah dan menarik bagi
Pelayan untuk menyampaikan
Firman
12 YAKOMA-PGI
Pemetaan Dampak Positif TIK
bagi Masyarakat dan Warga
Jemaat
1. Masyarakat dan Jemaat
memperoleh banyak informasi
mengenai kekristenan dan
secara umum
2. Pengarsipan data lebih mudah
3. TIK yang cepat, efisien, hemat
dan akurat
-- Pemetaan Dampak Negatif
TIK bagi Masyarakat dan
Warga Jemaat
1. Tingkat kriminal meningkat
(penipuan)
2. Orang menjadi individualistis
3. Konsumtif
4. Kecanduan
5. Penyebaran pornografi
6. Fitnah
7. Provokatif
9. Kelompok III: STRATEGI
KOMUNIKASI MEDIA
GEREJA DI TENGAH
MASYARAKAT YANG
MAJEMUK DAN DEMOKRATIS
a. Pdt. Makjen Simanjuntak
b. Pdt. Yohanes Simanjuntak
c. Pdt. Marthin Oppier
d. Dr. George Marson Daniel
e. Pdt. Esrom Tampubolon
f. Pdt. Eddyson SWN
g. Daud Adoe
Pendamping: Rainy dan Debbie
Pokok-pokok Bahasan:
1. Mengidentifikasi kondisi
masyarakat Indonesia terkait
pluralisme, kemiskinan,
pendidikan, dll.
2. Mengidentifikasikan
peluang-peluang dari proses
demokratisasi yang sedang
berlangsung termasuk UU yang
ada.
3. Mengidentifikasikan strategi-
strategi komunikasi dan media
gereja terkait hasil identifikasi
kondisi masyarakatnya dengan
memperhatikan aspek fungsi
media gereja (cetak seperri
buletin, majalah; online seperti
situs web, blog, dan kalau ada
video dan radio komunitas).
Hasil Dikusi Kelompok III:
Identifikasi Kondisi
Masyarakat Indonesia
Pluralisme agama, Etnis
dan Budaya mengakibatkan
benturan
1. Antara Kristen dan non
Kristen (Bagaimana Pandangan
non Kristen Terhadap
Kekristenan)
2. Antara Katolik dan Protestan
3. Antara sesama Protestan
-- Masalah Kemiskinan
• Sistem (pemerataan yang tidak
jelas)
• Budaya
• Pendidikan
• Korupsi
• Masalah kemiskinan membuat
komunikasi berjalan baik .
Pendidikan
• Kurangnya Pendidikan
membuat sebagian orang tidak
dapat mengenali Kekristenan
dengan baik
• System/kebijakan yang salah
baik dari pihak pemerintah atau
lembaga pendidikkan.
• Sistem Pendidikan yang
berlatar belakang agama.
(jangan menjadi “jebakan” atau
mengkristenkan.
• Sistem pendidikkan yang
kurang sinergis dgn pekerjaan
(sarjana menganggur).
10. Kelompok
IV MERUMUSKAN
REKOMENDASI (GEREJA
YAKOMA- PGI)
13. a. Pnt. Ananta Purba
b. Pdt. Deiske Wuisan
c. Pdt. Liesje Sumampouw
d. Dr. Arnold Singarimbun
e. Pdt. Ephraim Diamanis
f. Pdt. Yuliati Longgo
g. Ir. Tandi Ramba
Pendamping: Irma dan Karji.
GEREJA-GEREJA
• Rekomendasi ini didasarkan
dari pemahaman teologis
berdasarkan tema yaitu: TUHAN
ITU BAIK KEPADA SEMUA
ORANG.
• Dialog harus dibangun
berdasarkan pemahaman
konteks Indonesia yang plural.
• TIK merupakan sarana yang
dapat dipakai oleh gereja untuk
mengabarkan bahwa Tuhan Itu
Baik Kepada Semua Orang.
• Pemahaman bahwa penginjilan
itu harus BERTATAP MUKA
harus diubah bahwa di samping
BERTATAP MUKA juga tidak
kalah pentingnya dengan
penggunaan Media.
• Gereja dalam rangka
menggunakan TIK bagi
masyarakat yang majemuk
mengacu kepada Mzm. 145:9a.
• Dengan penjelasan ini maka
kami merekomendasikan kepada
Gereja-Gereja anggota PGI:
PROGRAM-PROGRAM
STRATEGIS
Gereja-gereja:
• Segera setiap Sinode
mempunyai website sebagai
alat mengomunikasikan visi
dan misi gereja, karena website
dapat diakses setiap saat dan
di setiap tempat oleh banyak
orang, terutama dalam rangka
pencitraan Allah itu baik kepada
semua orang. Karena itu,
Gereja juga harus baik kepada
semua orang. Komunikasi ini
bermanfaat untuk membuka
isolasi-isolasi yang ada.
• Gereja-Gereja
memberdayakan/
mengoptimalkan media cetak,
media radio, dan media
komunikasi lainya.
• Membuka dialog lintas agama,
suku, sektor, kepentingan.
• Gereja harus membangkitkan
minat membaca, menulis, dalam
bidang teologi, karenanya perlu
dibuat pelatihan dan lokakarya
menyangkut hal ini.
• Gereja-gereja memfasilitasi
dengan mengadakan
perpustakaan jemaat dan taman
bacaan.
• Memfasilitasi minat menulis
jemaat melalui pelatihanpelatihan
• Konten yang komunikatif dan
kontrol atas media
Memasukkan dan
mempersiapkan org yang akan
duduk di media pemerintahan
Rencana Tindak Lanjut:
• Melaksanakan Konas setahun
sekali.
• Konas berikutnya di Batam.
• Peserta sebaiknya yang ikut
pada Konas sebelumnya.
• Deklarasi Jaringan Kerja media
Kristen dan pengerja media
Kristen Indonesia.
• Program-program siaran gereja
yang dikelola PGI dikembalikan
ke Yakoma-PGI.
• Berita oikumene dikembalikan
pengelolaanya ke Yakoma-PGI.
• Membangun Production House,
untuk memproduksi sinetron,
film anak-anak yang bernuansa
kristiani, dll.
Konsultasi Nasional “Gereja dan
Komunikasi” ditutup dengan
ibadah yang dibawakan oleh
Pdt. Rudy Sembiring-Meliala dari
GBKP Batam dan Kata Penutup
oleh Bpk. Mula Harahap mewakili
Badan Pengurus YAKOMA-PGI.
YAKOMA-PGI:
• Memperbanyak pelatihan/
lokakarya yang bersifat teknis
dalam hubungan pengembangan
TIK.
• Membentuk tim TOT yang
dapat bekerja sama dengan
sinode-sinode atau Gerejagereja.
• Yakoma-PGI membuat mailing
list gereja-gereja.
• Memfasilitasi pembentukan
jaringan kerja media Kristen.
• Memfasilitasi pembentukan
jaringan kerja pengerja TIK.
• Menjadikan website YakomaPGI menjadi alat komunikasi
sebagi sumber informasi gerejagereja yang up-to-date.
• Yakoma-PGI bersinergis
dengan gereja-gereja dalam
membngun media dan
komunikasi.
EBook 13
14. HASIL WORKSHOP
Kelompok II
Peluang dan Dampak Positif dan
Negatif TIK terhadap Jemaat dan Masyarakat
Peluang kemajuan TIK yang
terbuka bagi gereja
1. Teknologi informasi dan
komunikasi semakin murah
harganya, berbasis komputer
dan internet, seluler maupun
perangkat kerasnya. Infrastruktur
seperti listrik dan seluler
semakin menjangkau pelosokpelosok tanah air .
2. Penguasaan teknologi
informasi dan komunikasi
semakin mudah dan murah
disamping kemajuan TIK juga
semakin menyedehanakan dan
mempermudah penggunaannya.
Informasi teknis pemanfaatan
TIK dapat diakses di internet
maupun melalui buku atau
majalah cetak.
3. Internet kini telah berkembang
menjadi “open source” bagi
informasi dan pengetahuan
yang bebas diakses para
penggunanya. Bisa dikatakan,
internet kini telah berkembang
menjadi “perpustakaan” yang
maha kaya, yang terbuka bagi
siapa pun, kaya atau miskin,
asalkan mampu mengoperasikan
internet. Mulai dari ilmupengetahuan, bahkan hingga
yang bersifat negatif seperti
pornografi, kini bebas diakses.
3. Komunikasi dan diseminasi
informasi ke segala penjuru kini
14 YAKOMA-PGI
lebih mudah dilakukan. Selain
hemat waktu, ongkos dan
tenaga, juga daya jangkaunya
mendunia. Informasi dan
pesan-pesan gerejawi menjadi
lebih mudah disnarluaskan. Di
samping itu, bisnis juga dapat
dilakukan melalui internet.
4. Kamera audio-visual kini
semakin mudah dan murah
sehingga memungkinkan gereja
untuk memproduksi sendiri
bahan-bahan audio-visual
untuk keperluan pelayanannya
termasuk dokumentasi.
5. Kemajuan TIK juga
memudahkan gereja untuk
mengelola media komunitas
(video, radio dan situs web).
Pemetaan dampak positif TIK
bagi masyarakat dan warga
jemaat
1. Masyarakat luas dan jemaat
kini lebih mudah memperoleh
informasi yang dibutuhkannya,
baik tentang Kekristenan
maupun bersifat umum.
2. Teknologi komputer maupun
internet membuat pengarsipan
data lebih mudah dan ringkas.
3. Informasi dan pesan gerejawi
kini dapat diracik secara edukatif,
menghibur dan menarik,
misalnya edutainment, dan
disebarluaskan dengan mudah.
4. Dengan tersedianya media
internet, semakin mudah
membangun jejaring untuk
menggalang gerakan oikoumenis
serta melakukan pertukaran
informasi.
5. Gereja-gereja juga semakin
mudah menggalang dukungan
moral baik di kalangan sendiri
amupun masyarakat luas melalui
media jejaring sosial seperti
fesbuk dan twitter.
Pemetaan dampak negatif TIK
bagi masyarakat dan warga
jemaat
1. Internet dapat dimanfaatkan
untuk penipuan, fitnah, provokasi
dan penyebaran pornografi.
2. Penyebarluasan pornografi
kini semakin sulit dikontrol.
2. Orang menjadi individualistis.
Misalnya, cenderung asyik
dengan media jejaring sosial
atau ponsel saat sedang rapat
atau seminar, kurang peduli
dengan orang-orang di kirikanan.
3. Media jejaring sosial seperti
fesbuk, twitter dan blog mampu
membius penggunanya hingga
kecanduan; mengabaikan
realitas sehari-hari dan
mengembangkan hubunganhubungan sosial.
15. HASIL WORKSHOP
Kelompok III
Strategi Komunikasi Media Gereja di Tengah
Masyarakat yang Majemuk dan Demokratis
I. Identifikasi Tantangan dan
Peluang yang ada
perumahan dan pendidikan
sangat terbatas.
mereka yang kurang siap untuk
memasuki dunia kerja.
1. Sebagai negara yang kaya
akan keberagaman baik
keragaman agama, etnis dan
golongan mengakibatkan
Indonesia juga menjadi
negara yang rentan terhadap
perpecahan. Perpecahan itu bisa
terjadi atar agama, antar suku
dan antar golongan bahkan antar
kelompok-kelompok dalam suatu
komunitas tertentu. Bagi agama
Kristen, benturan-benturan bisa
terjadi antara Kristen dengan
non Kristen, antara Katolik dan
Protestan maupun sesama
Protestan.
3. Rendahnya akses masyarakat
untuk memperoleh pendidikan
mengakibatkan sebagian
orang tidak dapat mengenal
Kekristenan secara baik.
Citra orang Kristen sebagai
orang kaya, kebarat-baratan,
kapitalis, murah hati dan lain
sebagainya diterima begitu saja
oleh sebagian orang karena
kurangnya informasi tentang
Kekristenan yang sesungguhnya.
6. Perkembangan media dan
komunikasi menjadi salah satu
peluang sekaligus tantangan
untuk mengkomunikasikan
permasahan di atas. Kebijakan
yang ada telah memberi
peluang bagi masyarakat untuk
menyampaikan permasalahan
yang dihadapi sekaligus untuk
memperoleh informasi terkait
permasalahan yang dihadapi.
2. Sementara itu, kemiskinan
juga menjadi salah satu
permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat yang berada
di daerah pelayanan gereja.
Penyebabnya bisa dari aspek
struktural maupun budaya.
Pembangunan yang tidak
berpihak kepada masyarakat
miskin mengakibatkan
pembangunan kurang merata
dan hanya dinikmati oleh
sekelompok orang saja. Korupsi
kian merajalela sementara
itu hukum dan kebijakan
negara seakan-akan belum
mampu untuk mengatasinya.
Akibatnya akses masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti pangan, sandang,
4. Sistem pendidikan saat ini
dianggap kurang menanamkan
nilai-nilai yang membentuk
moral bangsa yang akan
menjadi landasan berperilaku.
Akibatnya penghargaan
terhadap keberagaman yang
dimiliki oleh bangsa ini masih
rendah. Sementara itu adanya
sistem pendidikan yang berlatar
belakang agama tertentu jangan
sampai dianggap sebagai
proses untuk menarik siswa
untuk menganut agama tertentu
termasuk Kristenisasi.
5. Sistem pendidikan yang ada
kurang menyiapkan lulusan yang
bemutu yang siap kerja dan
bersaing untuk memperebutkan
pasar kerja. Akibanya banyak
lulusan perguruan tinggi yang
menganggur dan karena dunia
kerja tidak siap menampung atau
II. Strategi Komunikasi dan
Media Gereja :
1. Gereja perlu membangun
dialog lintas agama, suku,
gereja, budaya dan golongan
agar saling mengenal satu
dengan yang lain. Dialog
harus dibangun berdasarkan
pemahaman konteks Indonesia
yang plural.
2. Website sinode
merupakan salah satu alat
mengkomunikasikan visi dan
misi gereja terutama dalam
rangka pencitraan Allah itu baik
bagi semua orang. Website
dapat diakses setiap saat dan
oleh setiap orang oleh karena
itu content website diharapkan
dapat bermanfaat untuk
membuka isolasi-isolasi yang
ada.
EBook 15
16. 3. Gereja perlu memberdayakan/
mengoptimalkan media
cetak, media radio dan
media komunikasi lainya
untuk mengkomunikasikan
permasalahan yang dihadapi
masyarakat (kemiskinan,
pendidikan, ekonomi dan lainlain).
orang. Oleh karena itu dilakukan
pengembangan kapasitas
sumberdaya manusia untuk
menulis dan mengelola konten
media.
4. Pengelolaan konten media
gereja hendaknya lebih
komunikatif dan mencitrakan
Tuhan itu baik kepada semua
6. Membangun dan menguatkan
jejaring penulis, lembaga
komunikasi dan media Kristini di
seluruh Indonesia agar memiliki
16 YAKOMA-PGI
5. Pengawasan terhadap media
yang berkembang agar menjadi
berkat bagi semua orang.
persepsi yang sama tentang
pengelolaan konten media.
7. Memanfaatkan media-media
yang ada di daerah baik media
pemerintah maupun swasta
(televisi dan radio) untuk
mengabarkan bahwa Tuhan itu
baik bagi semua orang.
17. MATERI WORKSHOP
KOMUNIKASI DAN MEDIA GEREJA:
TUHAN ITU BAIK KEPADA SEMUA ORANG?
Andreas A. Yewangoe
1. Dalam suatu wawancara
berhubung dengan perlombaan
menggambar karikatur Nabi
Muhammad di jaringan
Facebook, saya ditanya
pendapat PGI mengenai
hal itu. Tentu saja saya tidak
mampu menjawab dengan
persis karena saya belum
pernah melihat karikatur itu.
Ini disebabkan karena saya
masih “gaptek” untuk hal-hal
tertentu. Setelah dijelaskan
baru saya memberitahu kirakira pandangan kita mengenai
karikatur seperti itu. Kita
menolak pelukisan-pelukisan
yang melecehkan apa saja yang
oleh agama dan kepercayaan
lain dihormati. Jadi kalau
Islam melarang melukis nabi
Muhammad, kita pun mesti
menghormati hal itu.
2. Dengan pernyataan ini
saya ingin mengatakan,
bahwa komunikasi dan media,
apalagi di era ini bisa sangat
disalahgunakan, di samping
tentu saja membawa berkat juga.
Saya kira telah banyak korbankorban bagi penyalahgunaan
media seperti itu. Beberapa
waktu lalu kita membaca di
surat-surat kabar, anak-anak
perempuan (yang masih berumur
muda) tiba-tiba menghilang.
Belakangan ketahuan, mereka
dibawa oleh teman chatting
mereka di Facebook. Ini juga
mengisyaratkan betapa media
seperti itu mempunyai daya
pukau yang luar biasa. Berbagai
situs pornografi juga menguasai
media kita dewasa ini. Yang kita
harapkan adalah, masyarakat
kita makin dewasa mencermati
situs-situs seperti itu, yang dalam
banyak hal hampir-hampir tidak
bisa diperangi lagi.
3. Tema SR ke-15 PGI di
Mamasa berbunyi: “Tuhan
Itu Baik Kepada Semua
Orang...” (Mz. 145:9a). Subtema: “Bersama-sama Seluruh
Komponen Bangsa Mewujudkan
Masyarakat Majemuk Indonesia
Yang Berkeadaban, Inklusif,
Adil, Damai dan Demokratis.”
Dari tema dan sub-tema ini
dirumuskan Visi: “Menjadi
Gereja yang Merefleksikan
Kebaikan Allah di Tengah-tengah
Masyarakat Majemuk Indonesia.”
Misi: “Gereja-gereja di
Indonesia, a. makin menguatkan
persekutuan di antara gerejagereja di Indonesia sebagai basis
bagi pelayanan dan kesaksian;
b, makin lebih terbuka kepada
lingkungan yang di dalamnya
mereka hidup; c. dstnya.
4. Bahwa Tuhan itu baik kepada
semua orang dalam kaitan
dengan media dan komunikasi,
perlu ditekankan. Bagaimana
menjabarkan kebaikan Allah
di dunia mass-media perlu
menjadi pergumulan serius kita.
Itu berarti bahwa tidak boleh
ada seorang pun dirugikan
dan merasa dilecehkan hanya
oleh pemberitaan gereja yang
bersifat melecehkan orang lain.
Memang terlampau mudah
melakukan pelecehan itu kalau
kita mengklaim Allah hanya
sebagai allah kita. Hal serupa
dilakukan Israel, apalagi dengan
penamaan sebagai “Umat
Pilihan”. Jadi kalau mereka
umat pilihan (segulla), maka
umat-umat lain bukan pilihan.
PL menegaskan bahwa kendati
Israel menganggap dirinya
sebagai umat pilihan, itu tidak
berarti bahwa umat-umat lain
dikesampingkan. Kita Rut
dan kitab Yunus sangat jelas
menegaskan hal itu. Firman Allah
di dalam kitab Ulangan misalnya,
menegaskan agar orang-orang
asing di dalam negeri tidak
dihinakan dan dilecehkan,
sebab kamu (yaitu Israel) pun
dulu asing di Mesir, dstnya
EBook 17
18. adalah frman yang sangat jelas
melarang perbuatan-perbuatan
yang mengecilkan orang-orang
lain. Gereja pun dapat terjatuh
ke dalam kesalahan yang sama
apabila gereja sebagai Israel
baru ditafsirkan secara tidak
cermat.
5. Sub-tema SR
mengisyaratakan bahwa
masyarakat yang di dalamnya
kita hidup adalah sebuah
masyarakat majemuk. Ini
sesuatu yang given, yang tidak
perlu meminta pengesahan dari
siapa pun. Sebagai masyarakat
majemuk, ia bersifat terbuka.
Artinya, komunikasi akan
berjalan lintas-agama, lintassuku, lintas-sektor, lintaskepentingan, dan seterusnya.
Komunikasi seperti ini
bermanfaat, sebab ia membuka
isolasi-isolasi yang ada. Sebagai
demikian, ia makin memperkuat
masyarakat majemuk, di mana
salah pengertian bisa dieliminasi.
Ini juga berarti mengakui
perbedaan-perbedaan. Kita
pun mesti mencamkan, bahwa
masyarakat majemuk yang
kita perjuangkan wujudnya itu
adalah sebuah masyarakat
berkeadaban. Artinya keadaban
publik harus diketengahkan
terus-menerus. Tetapi pada
saat yang sama, ia juga bisa
merusak, kalau pemberitaanpemberitaan, seperti misalnya
perlombaan karikatur nabi
Muhammad itu dilakukan.
Dalam misi gereja (SR ke15) ditegaskan, agar kita
menjadi makin terbuka kepada
lingkungan yang di dalamnya
kita hidup Ini baik, sebab itu
berarti kita pun diminta terbuka
kepada berbagai alat-alat
komunikasi yang tersedia. Tetapi
pada saat yang sama, apabila
18 YAKOMA-PGI
keterbukaan itu disalahgunakan,
ia akan menjadi kutuk bagi kita.
Dalam kasus film Fitna di Negeri
Belanda yang diluncurkan oleh
Geert Wilders beberapa waktu
lalu, dijunjung tinggi kebebasan.
Tetapi kebebasan tanpa
tanggung-jawab akan bermuara
kepada kekacauan.
6. Sampai di manakah media
dan komunikasi gereja
membawa berkat dan kesejukan
bagi sebuah masyarakat?
Jawabannya saya kira sudah
jelas dari uraian-uraian di atas.
Hanyalah kalau media dan
komunikasi itu dipakai dengan
baik. “Bahasa” yang dipakai
gereja mestilah bahasa yang
dapat dipahami dan yang
familiar dengan masyarakat.
Saya masih menemukan
sebuah stasion TV di negeri ini
yang menyampaikan khotbah
dalam bahasa Inggris, lalu
diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Bahasa Inggris
adalah bahasa internasional.
Karena itu cukup penting. Tetapi
menyampaikannya di dalam
masyarakat Indonesia yang
berbahasa Indonesia akan
makin memperkuat stigma
bahwa kekristenan memang
asing, berasal dari Barat, asing
dengan masyarakat Indonesia,
dan seterusnya. Mengapa tidak
memakai bahasa Indonesia
saja?
Yang saya maksudkan dengan
bahasa di sini, tentu saja lebih
luas. Bahasa yang dapat
difahami, artinya memahami
secara tepat persoalan bangsa
ini sekarang, sehingga gereja
benar-benar menyampaikan
Kabar Baik yang dapat difahami.
Sebagai contoh, ada sekian
banyak persoalan ketidakadilan
yang dialami bangsa kita
sekarang. Bagaimana
persoalan itu dikemas begitu
rupa sehingga masyarakat
merasakan advokasi yang tulus
dan sungguh-sungguh. Bukan
dengan menggurui atau bahkan
mengajak “bertobat”. Mengajak
bertobat bagi yang berbuat
korupsi tentu tepat, walaupun
cara menyampaikannya masih
harus ditata dengan baik,
tetapi bagi masyarajat yang
diperlakukan tidak adil, tentu
tidak tepat. Bagi seorang nonKristen yang diajak bertobat,
pasti akan menimbulkan iritasi.
Ini lalu dianggap sebagai upaya
kristenisasi, yang di dalam
konteks Indonesia masa kini
memang sangat sensitif.
Alhasil, pandai-pandailah
memakai media komunikasi yang
ada. Ia adalah berkat selama ia
dipakai baik. Tetapi akan menjadi
laknat apabila disalahgunakan.
Mudah-mudahan melalui media
komunikasi kebaikan Allah bisa
direfleksikan.
19. MATERI WORKSHOP
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi:
Tantangan dan Dampaknya
bagi Masyarakat dan Jemaat Gereja
Magdalena J. Daluas
Pendahuluan
Teknologi Informasi (TI)
adalah suatu teknologi yang
digunakan untuk mengolah
data, termasuk memroses,
mendapatkan, menyusun,
menyimpan, memanipulasi
data dalam berbagai cara untuk
menghasilkan informasi yang
berkualitas, yaitu informasi yang
relevan, akurat dan tepat waktu,
yang digunakan untuk keperluan
pribadi, pendidikan, bisnis, dan
pemerintahan, dan merupakan
informasi yang strategis untuk
pengambilan keputusan.
Penggunaan TI dan TK dapat
meningkatkan kinerja dan
memungkinkan berbagai
kegiatan dapat dilaksanakan
dengan cepat, tepat dan
akurat, termasuk dalam
dunia penginjilan. Dengan
perkembangan TI dan TK yang
sangat pesat ini, mau tidak mau,
siap ataupun tidak siap, akan
semakin deras mengalirkan
informasi dengan segala
dampak positif dan negatifnya
ke masyarakat Indonesia pada
umumnya, dan gereja pada
khususnya.
Teknologi informasi merupakan
salah satu alat yang efektif
untuk penyebarluasan Injil ke
seluruh bumi. Perubahan dalam
ranah ini terjadi sangat cepat
dan menyeluruh, bahkan kita
saat ini berada pada perbatasan
perubahan besar keberadaan
manusia. Kekuasaan meningkat
sangat luas dan mendorong
kita masuk ke dalam dunia
intelgensia artifisial di mana
manusia menjadi manusia
cyber yang otaknya mendapat
masukan langsung dari
komputer. Tingkat perubahan
terjadi sangat pesat dan meluas
sehingga diperkirakan dalam
tahun 2013 akan muncul
komputer super yang dapat
melebihi tingkat kecerdasan
manusia, tahun 2023 komputer
jenis ini bisa diperoleh hanya
dengan harga US $ 1000 atau
Rp. 9,000,000.-, dan di tahun
2049 akan diciptakan pula
komputer dengan kemampuan
prosesing seluruh ras manusia
yang harganya juga hanya US $
1000.
Menurut Moore’s Law, yang
ditemukan oleh Gordon
Moore, seorang ahli komputer,
kemampuan komputer/
processing akan berlipat ganda
setiap 18 bulan. Dalil Moore
ini telah terbukti kebenarannya
dalam 50 tahun terakhir
perubahan teknologi, mulai dari
era penggunaan katup ke era
transistor, ke panel sirkit cetak,
dan dewasa ini menjadi prosesor
dual core dan multi core. Bahkan
dalil Moore ini diperkirakan
belum akan berakhir karena
perkembangan kecepatan
prosesor yang luar biasa,
bahkan lebih cepat dari yang
diperkirakan Moore.
Dalam bidang pelayanan
misionaris, akan terjadi pula
perubahan menyeluruh mengikuti
perubahan teknologi ini. Internet
sudah menjadi salah satu tempat
bertanya tentang masalah
kerohanian dan menjadi sarana
mencari informasi pribadi seperti
kesehatan, seks, keuangan dan
informasi spiritual. Penggunaan
peralatan teknologi yang bisa
dibawa kemana-mana, seperti
PDA, telepon selular, IPod
memungkinkan penyebaran
injil menjadi terlalu luas dan
tidak terukur. Pada tahun 2007
tercatat 3 milyar pengguna
telepon selular di dunia,
sedangkan pengguna internet
tahun ini tercatat sebanyak 1,7
milyar orang, dan hanya dalam
waktu 3 tahun, akan berlipat
EBook 19
20. ganda menjadi 3,3 milyar orang
di tahun 2013. Tahun 2010, satu
orang Kristen yang memiliki situs
(web) akan mampu menjangkau
separuh penduduk dunia.
Penginjilan dengan sepeda
berubah menjadi penginjilan
melalui komputer.
Penggunaan software sudah
menyebar-luas ke seluruh
pelosok dunia dengan
diterjemahkannya software
tersebut ke dalam berbagai
bahasa, berarti tidak ada lagi
kendala dalam penyebaran injil
melalui internet.
Mengapa para misionari perlu
mengadopsi teknologi?
Alasan utamanya adalah
karena orang-orang yang akan
dijangkau setidaknya sudah
menggunakan teknologi, dan
pastinya teknologi komunikasi
dan informasi akan menjadi alat
komunikasi utama mereka.
Orang yang lahir sesudah tahun
1985 adalah mereka yang kini
menjadi pemakai utama sistem
digital. Mereka berkomunikasi
dengan telepon selular,
menonton film melalui Youtube,
mengirim pesan teks melalui
email dan lain-lain. Semua
bentuk komunikasi mereka
adalah “technology-mediated
communication” dan semuanya
serba komputer.
Alasan-alasan lain:
1. Biaya rendah – software juga
bisa diperoleh dengan harga
murah bahkan gratis.
2. Resiko kecil – bila harus
menjangkau umat non Kristen
yang menolak Injil, pelayanan
20 YAKOMA-PGI
melalui internet (online) akan
lebih aman dan efektif daripada
cara lainnya.
3. Jangkauan geografis yang
luas.
4. Penginjilan one to many dan
one to one – penginjilan melalui
internet dipandang lebih efektif,
karena pembaca tidak merasa
sedang digurui, informasinya
bisa dibaca berulang kali, dan
bisa diunduh/dicetak. Respons
bisa segera ditanggapi secara
pribadi.
5. Multiple formats – Melalui
internet para misionari dapat
menggunakan semua tipe media
yaitu suara, gambar, tulisan,
grafik, animasi, permainan,
interaktif, imajinasi dan lain-lain.
Internet juga bisa dihubungkan
dengan alat komunikasi yang lain
seperti telepon, SMS dan faks.
6. Menjangkau semua bangsa
dan bahasa - sudah ada
program penerjemahan langsung
melalui internet.
7. Komunikasi terarsipkan
(archived communication)
– tulisan atau informasi yang
sudah dipublikasikan melalui
internet tetap dapat diakses
(dibuka) setiap saat karena
terarsipkan dengan baik.
8. Kekuatan jaringan kolaborasi
para relawan (volunteers) –
Wikipedia, contohnya, dijalankan
oleh suatu jaringan kolaborasi
kontributor relawan, yang bisa
juga dimanfaatkan oleh umat
Kristen untuk membagi informasi
tentang Kristus, Injil dan ajaranajaran Kristus, bahkan doa
syafaat.
9. Kemampuan menjangkau
kelompok tertentu – sejak
internet berkembang semakin
canggih memungkinkan Injil
menjangkau kelompok tertentu
atau komunitas tertentu di
wilayah tertentu pula.
10. Informasi dan pengajaran
tentang injil yang dipublikasikan
melalui internet dengan mudah
dapat diunduh dan dicetak,
kemudian dibagikan kepada
teman, kerabat, sahabat,
sehingga mereka dapat
membentuk “bible college” di
gereja, di penjara dan berbagai
pelayanan masyarakat lainnya.
Materi ini bisa diperoleh hampir
tanpa biaya, dan tidak dapat
dibandingkan dengan radio
ataupun TV.
11. Internet adalah bentuk
komunikasi massa yang bebaslarangan. Tidak membutuhkan
ijin atau lisensi untuk membentuk
situs web atau blog dan lain-lain.
Tidak seperti mendirikan stasiun
radio atau televisi.
12. Pelayanan misinya tidak
perlu berada di lokasi tertentu.
Misionarisnya bisa melayani
melalui internet, apabila ia
sedang dalam keadaan sakit
atau tidak mendapatkan visa
untuk masuk suatu tempat
tertentu.
13. Bermanfaat untuk melakukan
persiapan sebelum kunjungan.
Sebelum melakukan suatu
kegiatan di lokasi tertentu
panitia tidak perlu bolak-balik
mengunjungi lokasi itu untuk
membuat rapat persiapan, cukup
menggunakan internet, sehingga
kegiatan menjadi efisien dan
efektif, baik waktu maupun
pembiayaan.
21. Dampak pemanfaatan
teknologi informasi dan
telekomunikasi
Di atas telah diuraikan
keuntungan atau dampak positif
penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi bagi penyebarluasan injil ke seluruh bumi.
Namun, tidak dapat dipungkiri
banyak pula dampak negatif
yang mau tidak mau muncul
dengan penggunaan teknologi ini
secara meluas.
1. Pelanggaran hak cipta
Hak cipta adalah hak yang
diberikan kepada seseorang
atau kelompok atas hasil karya
atau sebuah ciptaan untuk
mengumumkan, memperbanyak,
dan menggunakan karya
ciptanya. Di Indonesia telah
diterbitkan dan diberlakukan
Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta
yang tujuannya adalah untuk
memberikan perlindungan
terhadap pencipta atas hasil
karya ciptanya, mendorong
orang untuk berinovasi
menghasilkan karya cipta, dan
menciptakan rasa aman bagi
setiap orang untuk menghasilkan
sebuah karya cipta yang
bermanfaat
Beberapa bentuk ciptaan yang
dilindungi undang-undang,
antara lain:
Buku, program komputer
(software), tata –letak dan
perwajahan (lay-out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua
hasil karya tulis lain; ceramah,
kuliah, pidato, dan ciptaan yang
sejenis; Lagu atau musik dengan
atau tanpa teks; Drama atau
drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan, dan pantomim;
Seni rupa dan segala bentuk
seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat,
seni patung, kolase, dan seni
terapan; fotografi; sinematografi;
Terjemahan, tafsir, saduran,
data-base, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
2. Cybercrime
Adalah kejahatan atau tindakan
melawan hukum yang dilakukan
oleh seseorang dengan
menggunakan sarana komputer
terutama internet. Karakteristik
kejahatan internet adalah
sebagai berikut:
a. Kejahatan melintasi batas
negara
b. Sulit menentukan hukum yang
berlaku karena melintasi batas
negara.
c. Tidak dapat dipastikan hukum
negara mana yang berlaku.
d. Menggunakan peralatanperalatan yang berhubungan
dengan komputer dan internet.
e. Mengakibatkan kerugian yang
lebih besar dibanding kejahatan
konvensional
f. Pelaku memahami dengan
baik internet, komputer, dan
aplikasinya.
Bentuk-bentuk cybercrime antara
lain:
a) Unauthorized access adalah
kejahatan memasuki jaringan
komputer dengan cara yang
tidak sah untuk mencuri
informasi, sabotase dan lainlain, pelakunya disebut cracker.
Sedangkan penyusupan untuk
menguji keandalan suatu sistem
pelakunya disebut hacker.
b) Illegal contents adalah
memasukkan data atau informasi
ke internet tentang sesuatu
yang tidak benar dengan tujuan
merugikan orang lain maupun
menimbulkan kekacauan.
c) Data forgery (pemalsuan data)
adalah memasukkan data yang
tidak benar ke dalam internet.
d) Cyber espiongase and
extortion (cyber terrorism)
adalah kejahatan dengan cara
memasukkan virus/program
untuk menghancurkan data pada
komputer pihak lain.
e) Offense against intellectual
property adalah kejahatan
yang dilakukan dengan cara
menggunakan hak kekayaan
intelektual yang dimiliki pihak lain
di internet.
f) Infringements of privacy
adalah kejahatan yang dilakukan
dengan cara mendapatkan
informasi yang bersifat pribadi
dan rahasia..
3. Penyebaran virus komputer
Virus komputer adalah
program kecil yang mampu
menggandakan diri dan bersifat
merusak komputer yang
terinfeksi.
Sifat dan karakter virus antara
lain:
a. Berukuran sangat kecil
b. Mampu menggandakan diri
c. Membutuhkan korban agar
tetap hidup
d. Membutuhkan medium
tertentu untuk menyebar.
4. Pornografi, perjudian dan
penipuan
• Internet biasanya digunakan
oleh orang-orang yang tidak
bertanggung-jawab untuk
menyebarkan gambar-gambar
porno untuk merusak mental
sebuah bangsa terutama
generasi muda.
• Perjudian juga marak dilakukan
melalui internet, misalnya kasino.
EBook 21
22. • Penipuan sering terjadi
dilakukan melalui internet
dengan cara menawarkan
barang yang sangat menarik,
namun tidak sesuai dengan
kenyataan.
Kesimpulan
Gereja tidak dapat menolak
perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, justru
Gereja perlu memanfaatkannya
secara positif untuk penyebar-
22 YAKOMA-PGI
luasan injil sebagai aplikasi
Amanat Agung (Matius 28 : 1920):
”karena itu pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka dalam nama
Bapa, Anak dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir
zaman.”
Setiap orang percaya mendapat
mandat dari Tuhan Yesus
Kristus untuk menjadi alatnya
meneruskan berita Injil Kerajaan
Allah ke seluruh bangsa di
bumi. Tanggung-jawab gereja
adalah membekali keluarga
untuk menyikapi secara positif
perkembangan teknologi ini
agar setiap anggota keluarga
memanfaatkannya dengan
benar, bahkan mampu menjadi
agen misi Kristus bagi sahabat
dan rekan netters-nya.
23. MATERI WORKSHOP
Mengelola Media Kristiani di Tengah Kehidupan
Bernegara-berbangsa yang Sedang Berubah
(Strategi dan Pengalaman Reformata)
Oleh Victor Silaen1
Pers Semakin Bergairah
Dinamika proses politik
Indonesia yang telah berjalan
selama puluhan tahun sejak era
Soekarno, era Soeharto, kini
telah mengantar kita pada suatu
era baru yang membuka ruang
cukup luas bagi demokrasi.
Dari perspektif politik, kini
terjadi perubahan signifikan
dalam hal partisipasi politik
masyarakat. Dulu, manajemen
politik dilandasi oleh teori
Korporatisme Negara, yang
pertama kali dicetuskan oleh
Philip C. Schmitter. Secara
umum korporatisme diartikan
sebagai suatu upaya melakukan
reorganisasi institusional yang
dirancang untuk membangun
suatu mekanisme yang dapat
menjamin proses pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan
secara efektif, cepat, dan efisien
2. Negara, menurut teori ini, tidak
membuka peluang berpolitik
kepada masyarakat luas dengan
cara menunggalkan pelbagai
wadah/organisasi, sehingga
mudah dikendalikan oleh
negara.3
Di bidang pers, misalnya,
korporatisme ini diwujudkan
dengan menunggalkan
organisasi wartawan, yaitu PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia),
dan organisasi penerbit
pers Indonesia, yaitu SPS
(Serikat Penerbit Suratkabar).
Berdasarkan SK Menpen No.
47/1975, pemerintah hanya
mengakui PWI dan SPS
sebagai satu-satunya organisasi
wartawan dan organisasi pers.
Dengan cara inilah pemerintah
melakukan kontrol terhadap
pers. Dengan menunggalkan
kedua organisasi ini tentu
lebih mudah bagi pemerintah
untuk mengendalikan pers dan
isi pemberitaannya. Apalagi
orang-orang yang berada dalam
struktur organisasi PWI dan
SPS itu sendiri cukup banyak
yang mendapat posisi penting di
pemerintahan.
Setelah Orde Baru berlalu,
pengelolaan negara berjalan
bagaikan tanpa arah yang jelas.
Namun yang pasti, kebebasan
terbuka lebar-lebar. Karena
perubahan itulah maka sistem
pers pun turut berubah sebagai
dampaknya. Jika di kedua
era sebelum ini telah terjadi
banyak pembredelan maupun
pembungkaman terhadap
pers oleh pemerintah, demi
alasan “stabilitas nasional”,
kini situasinya jauh berbeda.
Pers Indonesia kini semakin
bergairah. Bahkan, karena
“lembaga perizinan” 4 sudah
ditiadakan dan pemerintah
dilarang untuk mengintervensi
pers (sesuai UU Pers No. 40
Tahun 1999), pers baru pun
bermunculan satu demi satu,
cepat dan pesat, bagaikan
jamur di musim hujan 5. Para
penerbit pers baru itu seakan tak
hirau bahwa krisis moneter dan
ekonomi belum betul-betul pulih,
sehingga harga kertas melonjak
dan daya beli masyarakat
menurun. Tak heran jika dalam
waktu yang tak terlalu lama pula,
satu demi satu pers baru itu pun
berguguran.
Namun, kemauan
para pemodal untuk turut
berpartisipasi dalam penerbitan
1 Ketua Pengurus YAKOMA- PGI, Dewan Redaksi Tabloid Reformata, Dosen FISIP UPH.
2 Guillermo O’Donnel, dikutip oleh Arief Budiman dalam Victor Silaen, “Kekuatan-kekuatan Politik Nonpartai Sebagai
Penggerak Demokratisasi di Indonesia”, Jurnal Sociae Polites No. 14, Jakarta: Fisipol UKI, 2000, hal. 493-494.
3 Ibid.
4 Yang dimaksud “lembaga perizinan” itu, di era Orde Baru, adalah Departemen Penerangan melalui keharusan setiap
penerbitan pers memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Di era Abdurrahman Wahid, departemen ini dibubarkan.
EBook 23
24. pers, secara moral, patut
diacungi jempol. Sebab,
pertama, bisnis pers merupakan
bisnis yang sangat spekulatif
dan riskan. Jadi, kemauan para
pemilik modal untuk berinvestasi
dalam bisnis ini, meski belum
tentu bisa mendapatkan profit
(bahkan sangat mungkin akan
rugi), patut dihargai. Kedua,
dengan demikian, si pemilik
modal telah melayani hak setiap
warga negara untuk tahu (right to
know) dan memperoleh informasi
(right to information). Itulah
sejatinya orientasi pers: melayani
kepentingan masyarakat.
Situasi Pers Indonesia Dewasa
Ini
Kini kalangan insan pers benarbenar “menikmati” apa yang
disebut sebagai kebebasan pers.
Sejak era Habibie, media cetak
khususnya, tumbuh bak jamur
di musim hujan. Hal itu terlihat,
misalnya, dengan dikeluarkannya
SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers) sebanyak 825,
dengan rincian sebagai berikut:
majalah 222 buah, tabloid
443 buah, dan suratkabar 184
buah 6. Tak ketinggalan pula
munculnya berbagai organisasi
kewartawanan baru (sekitar
24 buah), yang di era Orde
Baru hanya ada wadah tunggal
bernama PWI. Masuk ke era
Abdurrahman Wahid, kebebasan
pers kian meningkat, karena
kebijakan SIUPP dihapuskan7,
sehingga jumlah media cetak
pun makin bertambah. Demikian
pula dengan media audiovisual, antara lain dengan
munculnya TV7 (kini Trans7),
Lativi (kini TVOne), TransTV,
GlobalTV, ElshintaTV (masih
siaran percobaan), O’Channel,
TV3, dan lainnya (termasuk
stasiun-stasiun televisi daerah).
Acaranya pun sangat variatif,
dan hampir semuanya tak
ketinggalan menayangkan
berita atau acara yang
bernuansa sosial politik, baik
dalam bentuk liputan, laporan
langsung, talkshow dan lain-lain.
Sementara media elektronik
(audio), dua yang menonjol
dalam pemberitaan dan acaraacara bernuansa sosial politik
di era pasca-Soeharto adalah
Elshinta dan Kantor Berita 68H
(kini Green Radio) -- radio-radio
lain pun, meski sejatinya bukan
radio berita, kemudian ikut-ikutan
menjadi radio berita dan dialog
interaktif bernuansa sosial politik.
Perubahan lain adalah
dibubarkannya Departemen
Penerangan sebagai lembaga
negara yang di era Orde Baru
menjadi perpanjangan tangan
pemerintah yang sangat
berkuasa. Akibat dari kebijakan
Pemerintah Abdurrahman
Wahid itu, kian bebaslah pers
Indonesia. Namun, seperti
apakah penilaian masyarakat
terhadap wajah pers Indonesia
yang kian bebas itu? Ada yang
mengeluh, karena banyak pers
Indonesia kini yang tak lebih
dari “tong sampah”, tempat di
mana segala sumpah serapah
seseorang atau sekelompok
orang ditampung. Tujuannya
bukan untuk mencerdaskan
publik, tetapi untuk “membunuh”
karakter seseorang atau
kelompok tertentu, yang
dipandang berseberangan
secara politik. Ada juga yang
menilai pers telah berubah
menjadi “provokator”, terutama
ketika pers memberitakan
tentang konflik berdimensi
etnik. Misalnya, yang terjadi
antara masyarakat Madura dan
Dayak di Kalimantan, serta
konflik antarumat beragama
yang berbeda di Ambon.
Pemberitaan pers ditengarai juga
telah memantik konflik lanjutan
pada tingkat masyarakat itu
sendiri. Dalam meliput konflik,
5 Pemerintah dewasa ini relatif tak lagi menjadi “ancaman” bagi pers, tapi sebagai gantinya muncullah “massa” -- yang
sewaktu-waktu bisa saja mendatangi kantor penerbitan pers karena adanya suatu pemberitaan yang dianggap tidak benar, tidak
cocok dengan selera mereka, merugikan pihak tertentu, dan alasan-alasan lainnya. Lebih jauh tentang “ancaman” terhadap
pers, lihat Ignatius Haryanto dkk, dikutip oleh Alex Sobur, Etika Pers: Profesionalisme Dengan Nurani, Bandung: Humaniora
Utama Press, 2001, hal. 153.
6 Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada 1999, Departemen Penerangan, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP
baru sebanyak 1.687 buah. Kemudian pada tahun 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru lagi. Namun dalam
praktiknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha penerbitan. Tahun 1999 misalnya, dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya
1.381 buah yang terbit. Selama tahun 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga akhirnya tinggal 551 penerbitan
yang bertahan. Data dikutip dari J. Anto, “Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas dan “Kebablasan Pers”, dalam Victor Silaen
(ed.), Dari Presiden ke Presiden, Pikiran-pikiran Reformasi yang Terabaikan, Jakarta: UKI Press, 2003.
7 Di era Orde Baru, keharusan memiliki SIUPP bagi setiap penerbitan pers didasarkan pada Peraturan Menteri Penerangan
(Permenpen) No. 1 Tahun 1984. Permenpen tersebut disertai juga dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 214A
Tahun 1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan SIUPP. Lihat publikasi dari Aliansi Jurnalis Independen,
Reformasi Media Massa, Jakarta, 1998.
24 YAKOMA-PGI
25. pers tidak menjalankan fungsi
conflict resolution. Tapi, justru
sebagai issue intensifier. Pers
memunculkan isu atau konflik
dan kemudian mempertajamnya.
Soal materi liputan, ada juga
kritik yang mengatakan bahwa
pers terlalu banyak “mengobokobok” urusan domestik
seseorang. Terutama, jika
berhubungan dengan isu skandal
para pejabat. 8
Ada lagi sebagian
masyarakat yang menilai
kebebasan pers telah berubah
menjadi “kebablasan pers”.
Misalnya, maraknya penerbitan
pornografi, penyebaran berita
yang provokatif, character
assassination terhadap tokoh
publik, dan yang sejenisnya.
Syamsul Muarif, mantan Menteri
Komunikasi dan Informasi,
juga berpendapat bahwa pers
telah membuat berita-berita
yang tidak lagi faktual, tapi
menjadi provokatif karena
sudah diskenariokan untuk
kepentingan tertentu (Suara
Pembaruan, 22/12/2001). Boleh
jadi salah satu penyebabnya
adalah, karena profesi jurnalis
adalah profesi yang terbuka.
Tak ada kualifikasi tertentu
seperti seseorang yang hendak
membuka praktik dokter atau
pengacara. Memang, ada
sekolah khusus untuk calon
jurnalis, namun jurnalis yang
berlatar belakang pendidikan
jurnalistik barangkali jumlahnya
lebih sedikit dibanding jurnalis
yang berlatar belakang
pendidikan non-jurnalistik.
Profesi jurnalis yang terbuka
ini membuat siapa saja kini bisa
menjadi jurnalis. Akibatnya,
mana yang jurnalis sejati dan
mana yang jurnalis “jadi-jadian”
makin sulit dibedakan. Termasuk
mana pers yang “jadi-jadian”
dan mana pers yang “sejati”.
Lebih jauh lagi, seorang intel,
provokator, preman, sekarang ini
bisa menjadi jurnalis sekaligus
pemimpin redaksi merangkap
sebagai pemodal. Mereka inilah
kelompok yang potensial untuk
menyalahgunakan (kartu) pers
untuk kepentingan-kepentingan
non-jurnalistik. Merekalah
kelompok yang bisa membangun
wajah pers di era reformasi ini
menjadi penuh bopeng.
Berdasarkan uraian di atas,
ada beberapa wajah pers yang
tidak ideal, yang tentu saja harus
kita hindarkan:1) pers yang
tidak peka gender; 2) jurnalisme
perang; 3) jurnalis anarki katakata; 4) jurnalisme prasangka.
Yang dimaksud dengan itu,
intinya, adalah pers yang isi
berita dan gaya penulisannya
tidak mendukung kesetaraan
perempuan, yang cenderung
menimbulkan keresahan
dan ketegangan di tengah
masyarakat, dan hal-hal negatif
lainnya. Maka, sebagai gantinya,
kita harus mengembangkan pers
dengan mengedepankan: 1)
jurnalisme empati; 2) jurnalisme
damai. Yang dimaksud dengan
itu, intinya adalah pers yang isi
berita dan gaya penulisannya
berupaya untuk membangun
solidaritas, simpati, dan hal-hal
lain yang positif. 9
Pentingnya Peran Pers
Sebelum membahas lebih
jauh tentang kedua sisi pers
itu, kita soroti dulu pentingnya
peran pers. Sebagai media
informasi dan komunikasi, peran
pers jelas sangat penting di
dalam kehidupan bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat.
Apalagi pers di Indonesia kini
betul-betul berani memerankan
dirinya sebagai watchdog of
the government. Tak heran jika
pers kini dianggap sebagai pilar
keempat demokrasi (the fourth
estate of democracy) setelah
lembaga legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Untuk betulbetul dapat mewujudkan peran
strategis tersebut, pers bukan
saja harus bebas tapi juga harus
mampu menjaga jarak terhadap
lembaga-lembaga kekuasaan
negara (legislatif, eksekutif,
yudikatif, dan lembaga-lembaga
lainnya), juga terhadap kekuatankekuatan politik dan ekonomi
non-negara. Hanya dengan
demikianlah pers niscaya dapat
memerankan dirinya secara
maksimal sebagai kekuatan
pengontrol yang terus-menerus
bersuara kritis. Dampaknya,
antara lain, secara relatif praktik
korupsi dapat dikurangi. Di
samping itu, pers juga dapat
memerankan dirinya sebagai
sosialisator yang secara intensif
dapat menyebarluaskan ide-ide
dan pikiran-pikiran penting demi
membangun moral dan mental
8 J. Anto, ibid.
9 ibid.
EBook 25
26. bangsa.10 Terkait itulah Perdana
Menteri I India Jawaharlal
Nehru (1947-1964) pernah
mengatakan: “Saya lebih memilih
pers yang sepenuhnya bebas
dengan segala bahaya yang
dikandungnya, ketimbang pers
yang diatur dan ditindas.“11 Jauh
sebelumnya bahkan seorang
negarawan terkemuka Amerika
Serikat, Thomas Jefferson,
pernah mengatakan: ”When
it is left me to decide whether
we should have a government
without newspapers, or
newspapers without government,
I should not hesitate to prefer
the letter” (“Jika saya ditanya
mana yang akan saya pilih,
pemerintahan tanpa surat
kabar atau surat kabar tanpa
pemerintah, tanpa ragu saya
akan memilih yang terakhir”).12
Di negara yang membuka diri
bagi demokrasi, media massa
berperan besar untuk membuat
masyarakat well-informed
tentang masalah-masalah
politik. Itulah sebabnya dalam
tatanan politik yang demokratis,
berkembang adagium a
democratic citizen is an informed
citizen. Tanpa warga negara
yang well-informed, demokrasi
akan sulit berkembang, karena
potensi manipulasi informasi
akan cenderung terjadi dan
dilakukan oleh mereka yang
kaya informasi. Terkait itu Brian
Mc Nair, dalam An Introduction
to Political Communication
(2003), menjelaskan lima fungsi
media yang sangat penting.
Pertama, menginformasikan
kepada masyarakat pelbagai
peristiwa penting yang terjadi
sehari-hari. Kedua, mendidik
masyarakat agar paham
makna dan arti penting fakta
yang disajikan media. Ketiga,
menyediakan platform bagi
wacana politik, memfasilitasi
pembentukkan opini publik, serta
memberikan hak jawab bagi
opini yang berbeda. Keempat,
mengembangkan publicities bagi
kegiatan pemerintah sekaligus
menjalankan fungsi anjing
penjaga (watch dog function)
agar kekuasaan tidak bersalahguna. Kelima, fungsi advokasi
bagi pandangan-pandangan
politik yang berbeda.
Upaya mewujudkan peran
pers yang strategis dan ideal
seperti itu tidaklah mudah. Para
pekerjanya harus betul-betul
profesional dan berwawasan
luas. Khususnya untuk redaksi,
ada beberapa hal yang
harus diperhatikan. Pertama,
menghindari kecenderungan
menjadi jurnalisme dinamit
(dynamite journalism). Yang
dimaksud dengan itu adalah
laporan yang dipublikasikan
media hanya membuat hingarbingar karena terdengar lantang
pada awalnya, namun setelah
itu sunyi-senyap. Dalam perang
melawan korupsi, misalnya,
peran pers di Indonesia masih
sebatas pemandu sorak
(cheer leaders) atau corong
pengeras suara (megaphones)
dari kelompok anti-korupsi
atau aparat yang menangani
kasus korupsi. Mungkin karena
wartawannya tidak menyelidiki
kasus korupsi itu sendiri,
melainkan hanya menunggu
hasil laporan para penyelidik
resmi atau partikelir. Jadi,
pihak pers tidak melakukan
investigative reporting terhadap
kasus-kasus korupsi, melainkan
hanya reporting on investigation.
Inilah hal kedua yang harus
dihindari. Penyebabnya bisa
saja karena kurangnya sumber
daya dan sumber dana, yang
membuat wartawan jarang
sekali mendapatkan tugas
mengungkap sebuah kasus
dalam jangka waktu panjang.
Mereka hanya menjalankan
tugas rutin pencarian berita
sehari-hari yang tidak mendalam
dan menanti datangnya informasi
atau bocoran sumber mengenai
kasus-kasus besar yang bisa
meledak di pers.
Hal ketiga, seperti contoh
di Afrika Selatan, adalah
kecenderungan yang disebut
jurnalisme meja (desk
journalism). Dalam hal ini,
wartawan hanya duduk di
ruang redaksi untuk menerima
telepon dari seseorang
yang menceritakan ihwal
penyimpangan, skandal atau
perselingkuhan tokoh-tokoh
tertentu dan menyodorkan
bukti-buktinya. Berdasarkan
itu kemudian dibuatlah laporan
jurnalistik. Kesannya, berita
tersebut merupakan “laporan
10 Muchtar Lubis, salah seorang tokoh pers Indonesia, menyebut 5 fungsi media massa yang sangat penting: pemersatu, pendidik,
pengontrol, penghapus mitos dan mistik dalam cara berpikir masyarakat, sebagai forum untuk membicarakan pelbagai masalah yang
dihadapi bersama. Berdasarkan itulah maka sebuah media massa seharusnya dikelola secara bertanggung jawab dalam hal menyampaikan
informasi yang tepat-akurat, cermat, dapat dipercaya, yang juga dikemas dalam bahasa yang baik dan benar.
11 Dikutip oleh Denny B.C. Hariandja, Birokrasi Nan Pongah: Belajar Dari Kegagalan Orde Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 143.
12 Dikutip oleh Wina Armada S.A, Menggugat Kebebasan Pers, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 37.
26 YAKOMA-PGI
27. investigasi”. Padahal, bukan
hasil investigasi, melainkan
hasil pembocoran pihak tertentu
kepada wartawan.
Namun, bagaimanapun,
pemberitaan-pemberitaan
dengan ciri-ciri seperti di
atas tetap diperlukan. Selain
sebagai informasi, ia juga
bisa menumbuhkan dorongan
moral bagi masyarakat dan
kelompok-kelompok yang
berkeinginan memerangi
pelbagai praktik penyimpangan
dan penyelewengan. Dengan
kata lain, berita tangan kedua
(second hand news) tetap lebih
baik ketimbang tak ada berita
sama sekali.
Strategi dan Pengalaman
Reformata
Telah disebutkan di atas
bahwa pers memiliki peran
yang strategis dan efektif di
tengah kehidupan bernegaraberbangsa dan masyarakat
yang sedang berubah. Karena
itulah, pers perlu didukung dalam
rangka pengembangannya
secara kualitatif dan kuantitatif.
Namun, dalam kenyataannya,
relatif tidak banyak pihak yang
terpanggil untuk itu. Akan halnya
media Kristiani, kita juga bisa
mengatakan hal yang hampir
sama. Memang, dari segi
jumlah, saat ini tercatat cukup
banyak media Kristiani yang
beredar di tengah masyarakat,
antara lain Bahana, Reformata,
Narwastu Pembaruan, Gaharu,
Mitra Bangsa, Pantekosta Pos,
Panggilan, Mitra Indonesia,
Inspirasi, Narwastu, Pelita Kasih,
dan lainnya. Namun dari segi
tiras, media-media tersebut
tergolong “sulit menjadi besar”
(rata-rata hanya berkisar di
angka 10.000-an ke bawah). Di
sisi lain, pendapatan dari iklan
juga tidak mudah. Jadi artinya,
kalau media-media tersebut sulit
meraih profit, bagaimana bisa
mengembangkan kualitas isi dan
sumber daya manusianya terusmenerus? Inilah yang menjadi
persoalan utama bagi mediamedia cetak Kristiani.
Reformata sebagai media
Kristiani yang berformat tabloid
didirikan pada Januari 2003,
dengan sumber dana yang relatif
kecil. Dari masa edar per bulan
(bulanan), dua tahun kemudian
berubah menjadi per dua
minggu (dwimingguan). Untuk
mendukung popularitasnya,
Reformata sekali sebulan, dan
kemudian sekali dua minggu,
juga bersiaran di Radio Pelita
Kasih (kelak, rekaman siaran
tersebut juga dipancarluaskan di
radio-radio Kristiani di beberapa
daerah).
Sempat bertahan cukup
lama, namun akhirnya sejak April
2010 kembali menjadi bulanan
(disertai dengan mengaktifkan
media on-line). Mengapa? Bukan
karena mahalnya biaya cetak
atau produksi, melainkan karena
kesulitan menjualnya secara
cepat (faktor distribusi dan
sirkulasi). Berdasarkan itu dapat
disimpulkan bahwa pembaca riil
(yang setia atau rutin membaca)
media Kristiani memang sedikit
jumlahnya. Ada beberapa
kemungkinan penyebabnya.
Pertama, media Kristiani belum
dirasakan sebagai kebutuhan
bacaan yang utama di gereja-
gereja, lembaga-lembaga ekstragerejawi maupun di rumahrumah. Karena, kebutuhan
mereka akan informasi yang
utama adalah informasi-informasi
yang bersifat umum. Kalaupun
mereka membutuhkan informasiinformasi seputar Kristen,
radio-radio “Kristiani” dianggap
lebih murah dan mudah untuk
dijadikan sumber.
Kedua, bisa jadi media-media
Kristiani yang diterbitkan secara
terbatas oleh gereja-gereja
(media organik gereja) tertentu
dianggap telah mencukupi
kebutuhan mereka akan
informasi seputar Kristen.
Artinya, mereka merasa tidak
terlalu membutuhkan informasiinformasi seputar Kristen dari
media-media Kristiani yang
kebanyakan dikelola di Jakarta –
sehingga informasi-informasinya
lebih berkisar pada hal-hal
maupun persoalan-persoalan
di dan/atau dari Jakarta.14
Apalagi pesatnya kemajuan
teknologi modern dewasa ini
memungkinkan mereka dapat
mengakses informasi aktual
dari manapun hanya lewat
internet atau bahkan SMS (short
messages service).
Jika kita bermimpi dapat
melahirkan sebuah media
Kristiani sebesar Tempo,
misalnya, tak bisa tidak, harus
ada pemilik modal besar yang
terpanggil untuk mendukungnya.
Atau, kalau tidak, lupakan saja
mimpi tersebut, karena mungkin
kita justru harus mendorong
daerah-daerah (termasuk gerejagereja) untuk mengembangkan
medianya masing-masing. Jika
kita setuju dengan itu, maka
14 Reformata termasuk media Kristiani yang dikelola di Jakarta, sehingga informasi-informasinya 90% bernuansa Jakarta.
Ada kesulitan tersendiri untuk membuka perwakilan redaksi di daerah-daerah, termasuk untuk mengutus wartawan ke daerahdaerah setiap kali ada event-event yang penting untuk diliput.
EBook 27
28. kita berharap media-media
daerah tersebut juga sekaligus
membuat media on-line sebagai
pendukungnya, di samping agar
dapat diakses dari mana-mana
dan menjadi sarana berjejaring
antarkomunitas Kristen.
Adapun dari segi isi,
Reformata sejak semula
memang dilahirkan untuk
mengisi kekosongan dalam hal
pemberitaan maupun wacana
di bidang sosial politik yang
berkait langsung dengan “dunia”
Kristen. Kita tahu sendiri bahwa
media-media cetak umum
cenderung tak mau atau tak
berani mengangkat/menyoroti
peristiwa-peristiwa atau isuisu yang berkaitan langsung
dengan “dunia” Kristen itu. Untuk
mengisi celah yang kosong itulah
Reformata diterbitkan. Maka,
28 YAKOMA-PGI
sejak awal sampai sekarang,
dapat dibuktikan sendiri bahwa
Reformata memang konsisten
mengangkat/menyoroti bidang
sosial politik yang berkaitan
langsung dengan “dunia” Kristen
itu. Soal gereja yang ditutup
paksa atau dirusak, misalnya.
Juga soal SKB 1969 dan Perber
Dua Menteri 2006 (bahkan
Reformata secara khusus telah
menyeminarkan isu ini [dua kali]
dan menerbitkan buku sebagai
hasilnya). Kisruh di partai
berbendera Kristen, itu pun
menjadi sorotan Reformata. Dan
lain sebagainya.
Isu-isu demokrasi dan
pluralisme juga sedapat mungkin
digarap oleh Reformata. Itu
sebabnya selain isu-isu yang
terkait bidang tersebut, dalam
hal pemilihan narasumber pun
Reformata tidak membatasi
hanya orang-orang Kristen
saja. Pendeknya Reformata
berupaya inklusif dan mengikuti
tren, dengan cara memotret
hal-hal yang sedang ‘hangat’
di Indonesia. Tujuannya,
menyuarakan kebenaran dan
keadilan -- sesuai keyakinan
Kristiani. Namun perlu juga
diketahui, bahwa jika berkaitan
dengan masalah kesusilaan
seorang hamba Tuhan dan
konflik-konflik internal gereja,
Reformata bersikap ekstra
hati-hati. Untuk itu Reformata
berpedoman pada UU No. 40
Tahun 1999 Tentang Pers dan
SK Dewan Pers No. 03/SK-DP/
III/2006 tentang Kode Etik.
29. MATERI WORKSHOP
KIAT SURVIVE BPK GUNUNG MULIA:
“MEMADUKAN IDEALISME RASIONALITAS PASAR”
Oleh Otniel Sintoro
Dua tantangan terbesar yang
dihadapi BPK Gunung Mulia
sebagai lembaga kristiani
yang bergerak di bidang
literatur Kristen yang menjadi
fokus tulisan ini. Pertama,
bagaimana berkomunikasi
untuk mewartakan Kabar
Baik di tengah konteks
pluralitas Indonesia. Kedua,
bagaimana gereja pada
umumnya, dan media cetak,
pada khususnya, sanggup
bertahan menghadapi gempuran
era komunikasi teknologi
informasi. Hal ini menyangkut
apa pesan yang hendak
disampaikan dan bagaimana
cara menyampaikannya. Di
satu sisi, Kabar Baik harus
diwartakan, apa pun harganya.
Di sisi lain, BPK sebagai
sebuah lembaga juga harus
survive secara finansial.
Dalam hal inilah idealisme
BPK ditantang. Bagaimana
BPK harus tetap menerbitkan
literatur kristiani yang memenuhi
1
2
3
4
5
6
kebutuhan gereja, bermutu,
terjaga teologinya, namun juga
harus bertahan sebagai suatu
perusahaan.
materialistis dan hedonistis. BPK
tetap menjaga idealismenya,
yaitu menyediakan literatur bagi
warga gereja.
LITERATUR KRISTEN,
IDEALISME, DAN MINAT
BACA UMAT
Penerbit tentu butuh pemasukan
agar tetap bisa menerbitkan
dan mencetak buku. Padahal,
secara bisnis,menerbitkan buku
bukanlah suatu usaha yang
terlalu menjanjikan. Tetap, dalam
situasi sulit pun kami tetap
menerbitkan buku-buku rohani
yang tidak banyak diterbitkan
penerbit lain, karena memang
tidak komersial. Ini terbukti
dari pilihan tema buku yang
diterbitkan BPK.
Sejak tahun 1946 BPK Gunung
Mulia menjadi mitra gereja
dan umat kristiani dalam
menyediakan literatur Kristen
yang ekumenis, dengan garis
teologi arus utama. Semenjak
didirikan oleh tokoh-tokoh
Kristen seperti Sutan Todung
Gunung Mulia, T.B. Simatupang,
Johanes Leimena, dan Verkuyl,
waktu telah menguji komitmen
BPK untuk menerbitkan buku
yang tidak sekadar mengejar
komersialitas belaka, melainkan
buku yang bermutu, walau
untuk itu bukan hal yang mudah
secara ekonomis. Idealisme BPK
Gunung Mulia telah diuji oleh
tantangan jaman yang semakin
KATEGORI BUKU
Teologi, referensi, biblika tafsir, gereja, bahan
khotbah
Bina warga, asuhan, renungan, Christian living
Umum sekuler
Anak
Pluralisme, sosial kemasyarakatan:
Fiksi, psikologi, ketrampilan
Saat ini buku-buku BPK yang
masih aktif dan terus dicetak
sekitar 900-an judul (tiap bulan
bertambah). Bila dianalisis dari
tema-temanya, kategori buku
terbitan BPK adalah sebagai
berikut:
JUDUL
401
penggembalaan
133
140
93
80
50
PERSENTASE
44 %
15 %
16 %
10 %
9%
5%
15 Tulisan ini dibuat untuk Konsultasi Nasional “Gereja Komunikasi”, Yakoma PGI, Jakarta, 26 Mei 2010
EBook 29
30. Dari komposisi kategori buku di
atas, tampak bahwa mayoritas
adalah buku-buku teks teologi
dan bahan-bahan bacaan untuk
para pendeta dan mahasiswa
teologi (Kategori 1). Dengan
kesadaran penuh atas tugas
panggilannya, BPK telah sengaja
memilih untuk “memikul salib”
dengan menerbitkan bukubuku yang dari sudut pandang
marketing tidak komersial,
tetapi penting dan perlu untuk
disediakan oleh sebuah lembaga
penerbitan Kristen ekumenis
seperti BPK. Mengapa disebut
“memikul” salib? Karena tidak
banyak penerbit Kristen yang
bersedia menerbitkan buku-buku
Kategori 1 dan 5 di atas, yang
daya serapnya rendah, karena
jumlah pembacanya sedikit. Dari
analisis data pemasaran, tampak
bahwa yang lebih banyak
disukai konsumen adalah bukubuku dengan tema berkat dan
mukjizat. Atau, bahkan tematema supernatural. Tapi, BPK
menghindari menerbitkan bukubuku bertemakan teologi sukses
dan supernatural.
Dalam hal menerbitkan buku
yang kontekstual dengan
pluralitas Indonesia, BPK boleh
berbangga. Bila dilihat dari
kategori di atas, BPK telah
menunjukkan komitmen yang
kuat dalam mengartikulasikan
suara kenabian yang
berlandaskan kasih dalam
kepelbagaian. Kategori buku
bertemakan pluralisme,
dan sosial kemasyarakatan
menduduki porsi cukup banyak,
yaitu 80 judul (9%). Termasuk
dalam kategori ini adalah bukubuku bertemakan dialog antar
umat beragama, perdamaian,
keadilan dan demokrasi. Dan,
harus diakui, buku-buku kategori
30 YAKOMA-PGI
ini tidaklah terlalu menjanjikan
secara penjualan. Karena
itu, tidak banyak penerbit
Kristen yang mau “berjibaku”
menerbitkan buku kategori ini.
Selain itu, dengan kesadaran
penuh BPK telah menyediakan
dirinya menjadi mitra gereja
selama 64 tahun ini. Mengapa
bisa begitu? Jawabannya, jelas.
Populasi target market dari bukubuku kategori 1 (dan 5) adalah
sangat sedikit. Populasi pendeta
tentu jauh lebih sedikit daripada
populasi umat. Bukankah untuk
menggembalakan sebuah gereja
dengan umat 100 orang pun,
satu orang pendeta sudah cukup.
Jadi, kalau hanya mengikuti
kemauan pasar, adalah
jauh lebih menguntungkan
menerbitkan buku untuk umat
daripada untuk pendeta (atau
calon pendeta). Dalam hal ini
buku-buku yang masuk dalam
Kategori 2, 3 dan 6.
Pembaca kristiani, jumlanya
sangat seditkit bila dibandingkan
dengan populasi pendutuk
Indonesia. Dengan asumsi umat
kristiani hanya 10%, dengan
hitung-hitungan kasar tapi “pas”,
kekuatan potensi pembaca
literatur kristiani bisa diprediksi
dengan “Prinsip 10%” berikut ini:
A. Diasumsikan penduduk
Indonesia: 240 juta jiwa.
B. 10% Populasi umat kristiani:
24 juta jiwa.
C. 10% umat kristiani yang
gemar membaca: 2,4 juta jiwa.
D. 10% umat kristiani yang
punya uang: 240 ribu jiwa.
E. 10% umat kristiani yang
punya uang mau membeli
buku: 24.000 jiwa.
Asumsi E perlu ditambahkan,
karena dalam dunia penerbitan
ada pameo begini: “Orang
yang suka membaca tak punya
uang. Orang yang punya uang
tak suka membaca.” Jadi siapa
yang membeli buku dong?
Pdt. Dr. Andar Ismail pernah
mengeluhkan rendahnya minat
baca mahasiswa teologi. Karena
itu, asumsi E itu bisa ditambah
lagi dengan asumsi F, yaitu
umat Kristen yang berminat
pada tema teologi (dalam hal ini
pendeta, dosen dan mahasiswa
teologi). Bukankah akan semakin
kecil lagi jumlahnya? Jadi, di
atas kertas, pasar potensial
konsumen kristiani cuma
24.000. Itupun masih harus
dibagi dengan penerbit-penerbit
Kristen lain. Sedangkan bila kita
menerbitkan buku, satu judul
minimal harus dicetak 2.000
eksemplar. Jadi, sekarang BPK
memiliki 1.800.000 eksemplar
buku yang tak mungkin
diserap umat sebanyak 24.000
itu. Andaikan asumsi kita
lipatgandakan 10 kali misalnya,
maka jumlah orang pada kategori
E itu “cuma” 240.000. Masih
jauh di bawah jumlah buku yang
dicetak BPK. Lalu bagaimana
BPK harus membiayai
operasional perusahaan dengan
9 cabang dan 300 karyawan?
Di sinilah kreativitas kita
ditantang. Bagaimana kita tetap
menjaga idealisme, tapi juga
harus bertahan hidup, serta
menyejahterakan karyawannya
yang juga memiliki hak hidup
yang layak? Hal itu akan
dipaparkan dibagian akhir
makalah ini. Karena situasi ini
masih diperparah lagi dengan
gempuran media berbasiskan
teknologi informasi arus
globalisasi. Di era komunikasi
sekarang ini, adalah jauh
31. lebih mudah seorang remaja
mengeluarkan uang Rp 25.000
untuk membeli pulsa telepon
genggam, atau untuk makan
McD atau KFC daripada untuk
membeli buku. Semua itu
dipacu dua tahun belakangan ini
dengan demam Facebook dan
HP on-line. Padahal anggaran
rutin itu dikeluarkan setiap
bulan atau bahkan minggu.
Sedangkan untuk membeli
buku, jarang sekali seorang
remaja mau menyisihkan dana,
misalnya Rp 25.000 saja setiap
bulan. Begitupun BPK masih
harus dituntut menjalankan
perannya sebagai mitra
gereja dan umat kristian untuk
mengkomunikasikan pesan
Kabar Baik, kasih, perdamaian
dan keadilan, dalam konteks
masyarakat yang plural.
Rendahnya minat baca
seharusnya juga menjadi
kepedulian gereja, rohaniwan
dan para pemimpin kristiani.
Di masa lalu, percetakan dan
penerbitan sangat berperan
dalam kekristenan dunia. Sejak
penemuan mesin cetak pada
1439 oleh Johann Gutenberg,
salah satu materi cetakan
terbanyak adalah Alkitab. Ini
menunjukkan kaitan logis dan
historis antara penerbitan
dengan Reformasi Kristen.
Dengan penemuan mesin cetak,
Alkitab bisa digandakan dalam
jumlah banyak. Bahkan, menurut
Guinness Book of Records,
Alkitab adalah buku yang
pertama kali dicetak dengan
mesin. Gutenberg Bible adalah
salah satu buku termahal yang
pernah dijual, yaitu 1.265.000
poundsterling. Alkitab juga
merupakan buku paling luas
didistribusikan, mencapai 3
milyar eksemplar.
Sejarah menunjukkan penerbitan
buku memberikan sumbangsih
besar pada bangkitnya ilmu
pengetahuan (Renaissance)
dan Protestantisme era Luther,
Calvin, Knox, dkk, karena
dengan tersedianya Alkitab
secara luas, mereka mampu
menunjukkan ayat-ayat Kitab
Suci dan menentang praktek
gereja sebelum Reformasi.
Karena itu, menurut hemat kami,
gereja masa kini “berhutang”
kepada literatur Kristen. Maka,
pantaslah bila gereja ikut
berperan dalam menanamkan
minat baca umat. Dalam hal
inilah perlu pembagian peran
antar penerbit dan pemimpin
gereja. Tugas panggilan BPK,
adalah menyediakan literatur
Kristen bermutu, pluralis,
nasionalis, dan berpegang pada
teologi arus utama. Sedangkan
peran para pemimpin umat
adalah mendorong minat baca
umat. Secara khusus dalam
konteks Indonesia, peran
pemimpin gerejawi sangatlah
penting. Dalam budaya yang
paternalistik seperti Indonesia,
dibutuhkan keteladanan dan
dorongan dari pemimpin untuk
menanamkan minat baca.
Pada skala yang lebih kecil,
peran orang tua juga penting
dalam menumbuhkan minat baca
anak. Orang tua jangan hanya
bangga bila anaknya terampil
mengoperasikan Blackberry
dan sudah bisa membuat
akun Facebook sendiri. Tetapi,
banggalah bila anaknya punya
kegemaran membaca buku.
LITERATUR KRISTEN DALAM
ERA TEKNOLOGI INFORMASI
Tata ekonomi dunia baru yang
ditandai dengan dibentuknya
IMF dan Bank Dunia dalam
konferensi Bretton Woods, 1944
melahirkan sistem keuangan
internasional dan ekonomi
pasar global, yang membiakkan
perusahaan-perusahaan
transnasional yang bermarkas
di negara-negara G-7, yang tak
mampu dibendung oleh kekuatan
suatu negara sekalipun. Apa
lagi cuma oleh kekuatan sebuah
penerbitan kristiani. Pecahnya
Rusia di era 90-an dan krisis
moneter negara-negara Asia
1997, merupakan contohnya.
Tantangannya adalah, sekarang
ini komunikasi dikuasai
perusahaan-perusahaan
transnasional yang berpusat
di negara-negara pemenang
perang dunia. Khususnya
Amerika, Eropa, atau negaranegara G-7. Di sanalah hardware
dan software komunikasi
diproduksi. Dari manakah
asalnya “raja-raja komunikasi”,
situs-situs jejaring sosial seperti,
yang sering juga disebut
sebagai citizen journalism,
seperti Facebook, Twitter,
Wordpress, yang semuanya
bekerja di bawah sistem operasi
Windows keluaran Microsoft?
Sedangkan dari sisi hardware,
dominasi produsen telepon
genggam oleh Nokia, Samsung,
LG, SonyEricsson, Motorola,
Lalu, gempuran netbook murah
dari HP, Lenovo, Accer, Asus,
Samsung, Toshiba. Semuanya
ikut mempopulerkan programprogram jejaring sosial di atas.
Kalau dirunut-runut,dari mana
datangnya produsen-produsen
itu? Benar sekali: perusahaanperusahaan transnasional!
Jadi, merekalah yang paling
berkepentingan agar globalisasi
menjadi paradigma dunia.
Dengan terbukanya area
EBook 31
32. perdagangan bebas, ponselponsel murah China yang
membanjiri pasar Indonesia
dengan ponsel murah yang bisa
Facebook sangat fenomenal.
Saat ini dengan harga Rp
299.000 kita sudah bisa membeli
HP QWERTY yang sudah bisa
on-line. Ini makin memacu
penetrasi komunikasi sampai
ke rakyat kelas menengah ke
bawah.
Situasi ini memperberat
operasional media cetak pada
umumnya, dan BPK pada
khususnya sebagai sebuah
perusahaan penerbitan. Sebelum
krisis moneter 1997, BPK masih
menerima donasi dari lembagalembaga misi luar negeri.
Namun, semenjak krisis moneter,
BPK harus belajar mandiri.
Karena itu, yang pertama kali
menjadi concern manajemen
baru PT BPK Gunung Mulia
yang memulai tugasnya di
2005 adalah menata struktur
keuangan, menumbuhkan etos
kerja, dan corporate culture yang
profesional, menumbuhkan jiwa
enterpreneurship karyawan.
Meningkatkan kuantitas produk
dan menghasilkan buku yang
bermutu sehingga bisa diterima
pasar. Berkat upaya-upaya itu,
BPK bisa mandiri.
LITERATUR KRISTEN vs.
BUDAYA POPULER
Arus globalisasi tak dapat
dibendung. Tren gaya hidup
metroseksual, dugem, fashion,
handphone, musik, film, bahkan
makanan yang digemari anak
muda telah semakin seragam.
Pluralitas budaya lokal luntur.
Musik anak muda Indonesia
berkiblatkan MTV dengan kriteria
standar Grammy Award. Film
32 YAKOMA-PGI
yang dianggap baik cuma film
Hollywood, dengan Academy
Award sebagai standarnya.
Tidak ada tempat buat film-film
alternatif produksi negara-negara
Asia, atau Timur Tengah. Tom
Cruise, Brad Pitt, Angelina Jolie,
Miley Cirrus, Britney Spears,
Lady Gaga, Pittbull, Robert
Pattinson, dll menjadi idola
anak muda sampai ke desadesa. Tak heran kalau produk
entertainment merupakan
penghasil devisa ekspor kedua
terbesar Amerika setelah ekspor
senjata. Makanan yang “gaul”
adalah McD, Starbucks, CocaCola, dkk. Trend fashion dunia
dikendalikan dari Paris, Milan,
New York, atau London. Profil
remaja Indonesia sekarang
menjadi semakin seragam
dengan remaja-remaja lain di
seluruh dunia.
Bila dicermati, salah satu produk
globalisasi adalah budaya
populer, sebuah subkultur yang
sekarang paling mewabah di
kalangan anak muda. Ikon-ikon
budaya populer yang paling
berpengaruh bagi anak muda
adalah gaya hidup, idola, musik,
dan film. Kami sadar bahwa
anak muda adalah pihak paling
rentan terhadapnya. Selera
mereka dibentuk oleh hegemoni
perusahaan transnasional
dengan produk-produk yang
memikat hati. Semua itu
dengan sangat sophisticated
dikemas memikat. Gaya hidup
konsumtif-hedonistis, jelas-jelas
dikondisikan oleh semangat
globalisasi, karena di balik
pesona gaya hidup cosmopolitan
itu adalah para produsen
kapitalis global, para perusahaan
transnasional yang berazaskan
“money-make-money”, yang
berkepentingan agar produknya
mendunia.
Di tengah gempuran budaya
populer itu, penerbit Kristen,
sebagai media agama, yang juga
harus survive secara ekonomi,
adalah salah satu “objek” yang
pertama menjadi “korban”.
Bila tak dikemas menarik dan
profesional, media agama
bisa kehilangan daya tariknya
bila harus bersaing dengan
media sekuler, lalu ditinggalkan
pembacanya. Agama dalam
persepsi remaja cuma bagaikan
seperangkat aturan kaku
yang membatasi kesenangan
mereka. Agama cuma identik
dengan “semua yang enakenak dilarang”. Dan, yang
paling rentan terhadap sebuan
komunikasi baru ini adalah anak
muda. Bagaimana caranya
agar anak muda mau membaca
literatur rohani? Di tengah
serbuan media sekuler yang
lebih canggih, seperti internet,
Facebook, Twitter, Blog, film,
atau bahkan game online?
Pertanyaannya adalah: “Apakah
segala sesuatu yang idealis itu
harus tidak komersial?” Atau,
“Apakah segala sesuatu yang
berbau bisnis itu pasti tidak
idealis?” Memang, media agama
tidak boleh berkompromi dengan,
semangat hedonistis materialistis
arus globalisasi. Tidak boleh
larut di dalam eforianya. Tapi,
juga jangan sampai tergilas dan
punah. Di tengah dilema itu,
ada satu pilihan realistis untuk
survive. Terinspirasi dari kiat
Indra Gunawan, CEO Gramedia
(2002), konglomerat penerbitan
Indonesia, kami menerapkan
sebuah strategi survive yang
disebut: “Memadukan idealisme
dan rasionalitas pasar.”
Belajar dari kata-kata bijak
salah seorang pemimpin