Minggu Palma hingga Paskah merupakan masa suci yang dirayakan gereja untuk mengenang perjalanan terakhir Yesus mulai dari masuk Yerusalem hingga kebangkitan-Nya. Selama pekan suci ini terdapat berbagai tradisi seperti prosesi daun palma, pembasuhan kaki pada Kamis Putih, pengenangan sengsara di kayu salib pada Jumat Agung, dan Sabtu Sunyi sebelum merayakan kebangkitan Yesus pada hari
Makna Tradisi Pekan Suci dari Minggu Palma hingga Paskah
1. Berbagai Tradisi Terkait Pekan Suci :
Makna Minggu Palma hingga Paskah
Hari ini (1/4), Gereja
merayakan Paskah. Inilah
hari dimana Gereja
merayakan Kebangkitan
Yesus Kristus. Hari
Paskah yang dirayakan
pada hari Minggu
merupakan puncak dari perjalanan masa pra-paskah yang sudah dimulai sejak
Rabu Abu (14/2) lalu. Keseluruhan masa prapaskah terdiri atas 6 minggu,
mulai dari minggu Invocavit hingga Minggu Palmarum atau Minggu Palma di
minggu lalu (25/3).
Hari Minggu I Pra-Paskah VI kita kenal sebagai Hari Minggu Palma merupakan
hari yang mengawali Pekan Suci (Holy week) . Dalam liturgi gereja semesta,
khususnya yang berkembang di Barat (Roma), pekan suci kiranya sudah
dikenal sejak abad III sebagai perluasan atau perpanjangan saat sengsara
Tuhan yang khususnya dirayakan pada Jumat Agung dan Sabtu Suci. Dalam
tradisi Gereja semesta (baik di Barat maupun Timur), hari-hari dalam pekan
suci dimaksudkan untuk merenungkan secara khusus tahap-tahap dan hari-hari
akhir hidup Yesus yang memasuki sengsara-Nya.
Tujuan pekan suci ialah “memperingati sengsara Kristus mulai dari peristiwa
Kristus masuk kota Yerusalem sebagai Mesias”. Dengan demikian, pada pekan
suci kita mau merayakan dan menghayati hari-hari terakhir hidup Yesus
sesudah memasuki kota Yerusalem dan sebelum memasuki penderitaan-Nya di
salib. Selama pekan suci ini, ada berbagai tradisi terkait dengan rangkaian
peristiwa mulai dari minggu Palma hingga Paskah.
Gereja merayakan masuknya Kristus ke Yerusalem untuk menggenapi nubuat
sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Melalui Minggu Palma, Gereja
mengenang kembali perisitiwa dalam Kitab-kitab Injil yang menyatakan, Yesus
dengan rendah hati mengendarai seekor keledai masuk ke Yerusalem. Pada
hari ini, sebuah prosesi dengan daun-daun palma (atau ranting-ranting pohon
berdaun lainnya, misalnya daun zaitun) berlangsung di banyak gereja. Tradisi
penggunaan daun lama yang sudah berlangsung lama ini masih dipraktekkan
di gereja Katolik maupun Protestan arus utama (Lutheran, Calvinis, Methodis,
dll.)
Setelah minggu Palma, pada hari
Senin, Selasa dan Rabu dalam pekan
suci , tradisi gereja semesta yang
berkembang di abad V menyatakan,
selama 3 hari tersebut dilakukan
Ibadah Sabda yakni untuk
merenungkan kisah sengsara Yesus.
Tradisi ini nampaknya diadopsi oleh
beberapa gereja Protestan tertentu
yang menyelenggarakan malam doa
minggu sengsara Yesus Kristus. Salah
satu gereja di Jakarta, GPIB Paulus
melakukan pelayanan ibadah malam doa minggu sengsara (26 s/d 28 Maret
2018). Dalam ibadah malam doa ini, umat berdoa dan bernyanyi serta
menerima pelayanan firman dengan tema-tema seputar sengsara Yesus
Kristus. Salah satu hal yang penting, hari Rabu dalam tradisi gereja disebut
juga sebagai Rabu Pengkhianatan (spy Wednesday). Pada hari Rabu di pekan
suci, gereja mengingat peristiwa Yudas yang menjual Yesus kepada para
pemimpin agama Yahudi sebesar uang 30 perak. Nilai 30 perak sama dengan
harga untuk seorang budak. Dengan kata lain, Yesus ditempatkan sebagai
seorang budak.
Rangkaian hari Kamis sampai dengan Minggu Paskah merupakan Perayaan
Trihari Paskah ( latin : Triduum Sacrum) dimulai pada Kamis Putih pada
sore/malam hari, hingga berakhir pada ibadah sore pada hari Minggu Paskah
(Paskah Senja). Satu hal yang sangat penting : seluruh perayaan Trihari Paskah
ini sebenarnya bukan perayaan-perayaan yang terpisah dan berdiri sendiri,
tetapi sebenarnya merupakan satu perayaan karya penyelamatan Allah
melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus, yang berpuncak dalam wafat dan
kebangkitan Kristus.
2. Memasuki hari kamis di pekan suci, gereja merayakan Kamis Putih (Maundy
Thursday). Perayaan hari Kamis Putih tersebut dihayati sebagai mandatum
novum, yaitu perintah baru agar umat saling mengasihi yang bersumber pada
Kristus yang mengasihi kita terlebih dahulu. Yesus berkata: “Aku memberikan
perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama
seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”
(Yoh. 13:34).
Salah satu ritual dalam kamis putih
adalah pembasuhan kaki. Tindakan
liturgis ini mengulang apa yang
telah dilakukan Yesus terhadap
para muridNya. Dalam ritual ini,
pelayan firman dan sakramen
(Pendeta/Pastor) melakukan
pembasuhan kaki terhadap 12 umat
yang terpilih. Makna dari
pembasuhan kaki ini adalah teladan untuk saling melayani. Yesus bersabda,
“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang
Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah
Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab
Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat
sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” (Yoh 13:13-15).
Momen Kamis Putih memberi makna bahwa kita para pengikut Kristus
hendaknya bisa saling melayani, mengampuni dan mengasihi satu sama lain.
Sebagaimana Tuhan Yesus sendiri datang bukan untuk dilayani tetapi untuk
melayani. Dan, dengan kasihNya yang luar biasa, Dia mengampuni dan
mengasihi kita.
Setelah Kamis Putih, Gereja memperingati Jumat Agung. Pada hari Jumat
Agung, Gereja memperingati sengsara dan wafatnya Kristus di kayu Salib.
Dalam tradisi gereja Katolik, umat biasanya melakukan prosesi penghormatan
salib dengan mencium kaki salib. Tradisi lainnya yang juga berkembang dari
ritus Roma, adalah menaburkan bunga pada salib Kristus.
Jam liturgis ibadah Jumat Agung, umumnya dimulai pada pagi hari pukul 09.00
WIB (merujuk pada Markus 15:25). Ada pula yang gereja yang melakukan pada
pukul 15.00 (merujuk pada ucapan Yesus di kayu salib, seperti tercatat pada
Matius 27:46). Awalnya, dalam perayaan Jumat Agung tidak diadakan
perjamuan (eucharistia = pengucapan syukur) yang dipahami sebagai cara
gereja turut dalam detik-detik sengsara dan wafat Kristus. Salah satu alasan
tidak dilakukannya Perjamuan Kudus adalah karena para Bapa gereja
menganggap bahwa tidaklah pantas gereja mengucap syukur di dalam
penderitaan Kristus. Oleh karena itu, dalam perayaan Jumat Agung hanya ada
pengenangan kesengsaraan Kristus, melalui pembacaan kisah sengsara dan
wafat Kristus dan dilanjutkan dengan doa syafaat dan ibadah salib.
Namun, dalam perkembangan liturgi selanjutnya (khususnya di tradisi
Protestan), gereja melayankan sakramen Perjamuan Kudus pada kebaktian
Jumat Agung. Hal ini didasarkan pada pemaknaan sakramen Perjamuan Kudus
sebagai anamnesis (mengenang pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib).
Setelah Jumat Agung, Gereja memasuki perayaan Sabtu Sunyi. Di momen ini,
umat percaya menghayati masa transisi dari peristiwa kematian Yesus dan
kebangkitan-Nya. Dalam masa transisi tersebut mengandung dua aspek yang
saling menyatu, yaitu kedukaan dan harapan. Dimensi kedukaan adalah karena
Yesus telah wafat di atas kayu salib yang telah dirayakan pada Jumat Agung,
dan dimensi harapan karena Yesus akan bangkit dari kematian-Nya pada hari
Paskah. Sabtu Sunyi juga disebut Sabbatum Sanctum, yaitu Sabat yang kudus.
Pada awal kekristenan, umat percaya merayakan dengan khidmat Sabbatum
Sanctum dan Paskah, sebab melalui Sabbatum Sanctum, umat mempersiapkan
diri menyambut misteri Paskah yaitu kebangkitan Kristus.
Keheningan Sabtu Sunyi menghantar umat untuk memeroleh pencerahan
hidup sehingga umat mampu mengubah setiap kedukaan, kepahitan, dan
penderitaan menjadi sumber kekuatan, semangat, dan daya juang untuk
memaknai kehidupan dalam perspektif iman. Di tengah-tengah kegelapan
dunia, umat memiliki pengharapan dan jaminan bahwa di dalam persekutuan
dengan Kristus yang bangkit, maut tidak akan dapat mengalahkan kita.
3. Kegiatan lainnya yang dilakukan
pada masa Pra-Paskah adalah
“Tenebrae”, yang diambil dari
bahasa latin, yang berarti
“bayangan” atau “kegelapan”.
Hal yang unik dari Tenebrae ini
adalah memadamkan satu per
satu lilin sampai seisi ruangan
ibadah menjadi gelap gulita.
Kegelapan itu menandakan
waktu/hari ketika Yesus berada di dalam kubur. Ibadah ini dapat diadakan
pada Kamis Putih, Jumat Agung, atau Sabtu Sunyi. Bacaan Alkitab yang dipakai
pada ibadah ini biasanya terambil dari Injil tentang Perjamuan Terakhir (di hari
Kamis Putih) sampai penyaliban Yesus, termasuk kata-kata terakhir Yesus di
kayu salib (di Jumat Agung).
Khusus untuk kegiatan Tenebrae yang dilakukan di akhir ibadah Kamis Putih,
biasanya dilakukan pemadaman lilin dan altar ditutup dengan kain hitam
(tanda peralihan menuju Jumat Agung) dan simbol –simbol (Alkitab, lilin dan
perangkat sakramen perjamuan kudus) dibawa meninggalkan altar. Salah satu
gereja Protestan di Jakarta, GKI Kebayoran Baru, melakukan aktivitas tenebrae
ini pada kamis putih lalu (29/3). Mengakhiri ibadah, kain hitam menutup
mimbar dan kain hitam juga ditempatkan pada salib.
Sementara, dalam Tenebrae yang dilakukan pada Sabtu Sunyi, biasanya Ibadah
diakhiri dengan penyalaan satu lilin, untuk mengingatkan kepada jemaat
bahwa kegelapan tidak akan berkuasa, dan Terang Paskah akan bersinar
kembali.
Puncak dari pekan suci adalah Minggu Paskah Momen Paskah dirayakan gereja
sebagai hari kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati. Peringatan ini
menandai pengakuan iman sebagai sentral dari gereja mula-mula dan
merupakan titik fokus untuk ibadah Kristen, yang diamati pada hari pertama
setiap minggu sejak abad pertama (Kis. 20:7; hari Minggu diproklamirkan
secara resmi sebagai hari ibadah bagi umat Kristen pada tahun 321 M). Masa
Paskah sebagai perayaan gerejawi yang dikhususkan dan ditetapkan secara
teratur telah dilakukan gereja sejak abad IV.
Ada empat bagian dalam liturgi Paskah gereja semesta, yaitu ritus cahaya,
liturgi firman, liturgi baptisan, dan liturgi perjamuan kudus. Dalam ritus cahaya,
liturgi diawali dari luar gedung Gereja. Pelayan Firman dan Sakramen (Imam),
dengan mengenakan jubah putih, membawa lilin Paskah yang menyala untuk
kemudian meletakkannya di altar. Sejak abad II, Gereja merayakan Paskah
dengan baptisan, peneguhan sidi (confirmation), dan perjamuan kudus.
Perayaan baptisan dan Perjamuan Kudus pada Minggu Paskah mempunyai
makna yang dalam bagi kehidupan iman. Perjamuan Kudus pada Minggu
Paskah juga mengacu pada peristiwa Yesus yang memecah roti saat
menjumpai dua orang dalam perjalanan ke Emaus (Lukas 24:13-35).
Di gereja-gereja Protestan, biasanya memulai ibadah sebelum atau sesaat
sesudah matahari terbit pada hari Minggu. Gereja-gereja biasanya
menggunakan Lilin Paskah khusus sebagai simbol utama ibadah. Ini
melambangkan kebangkitan Yesus dari kubur dan cahaya keselamatan serta
pengharapan kepada Tuhan yang menang atas kegelapan, kematian, dan dosa.
*dirangkum dari berbagai sumber
*Adhianto B. Prasetyo ( BP Klasis GKP Wil. Jakarta)