1. Driyarkara adalah filsuf pendidikan Indonesia yang hidup pada masa transisi Indonesia dari zaman kolonial ke merdeka.
2. Pemikiran Driyarkara tentang pendidikan berfokus pada pemanusiaan dan pembudayaan siswa secara individual dan sosial.
3. Driyarkara menekankan peran guru sebagai figur yang mencintai siswa dan mendidik melalui dialog agar siswa dapat mengembangkan dirinya secara maksimal.
2. Biografi singkat
• Nicolaus Driyarkara Sarikat Jesuit (1913 – 1967)
• Humanisme, Eksistensialisme
• Doktor bidang filsafat (1952) dari Universitas
Gregoriana
• 1941 - 1967 - Universitas Sanata Dharma
• 1960-1967 - Universitas Indonesia
• 1961-1967 - Universitas Hasanuddin,Ujung Pandang
• 1963-1964 - Universitas St. Louis, Amerika Serikat
• Karir politik : anggota MPRS (1962-1967), dan
anggota Dewan Pertimbangan Agung (1965-1967).
3. Konteks Lahirnya Pemikiran Driyarkara
• Driyarkara hidup pada masa Indonesia dalam peralihan zaman
kolonial ke zaman negara yang baru merdeka. Saat itu bangsa
Indonesia yang mengalami disintegrasi dan mencari integrasi, dari
budaya lama feodal ke budaya baru modern, serta dari budaya
sebagai bangsa koloni yang terpecah-belah ke budaya sebagai
bangsa merdeka yang bersatu dan berdaulat.
• Wilayah disintegrasi-integrasi tersebut baru bersifat internal,
belum membandingkan dengan bangsa lain.
• Pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda, yaitu bantuan
melewati disintegrasi dengan sifat-sifat biologisnya menuju
integrasi dengan sifat-sifat insaninya.
• Pendidikan adalah pembudayaan manusia muda, yaitu
bantuan melewati disintegrasi dengan budaya lama yang feodal
menuju integrasi dengan budaya baru yang rasional modern,
demokratis dan adil.
4. Ontologis
Bertitik pangkal pada manusia sebagai person.
Driyarkara berpendapat bahwa manusia sebagai
makhluk jasmani - rohani, manusia sebagai
makhuk individu - sosial, manusia sebagai
makhluk yang menyejarah - makhluk bebas
5. Epistemologis
• Manusia sebagai makhluk jasmani - rohani : Proses
hominisasi dan humanisasi dalam pendidikan
• Manusia sebagai makhuk individu - sosial:
Mendampingi peserta didik agar menjadi pribadi
yang cerdas, terampil, jujur, berkarakter, taqwa dan
utuh; serta secara sosial memiliki solidaritas dan
pelibatan diri yang bertanggung-jawab.
• Manusia adalah makhluk yang menyejarah -
makhluk bebas: Manusia memiliki masa lalu namun
bebas menentukan akan jadi seperti apa dirinya di
masa depan
6. Aksiologis
• Cara pengajaran menekankan pada komunikasi antar
pribadi – dialog egaliter (seperti eksistensialisme)
• Dalam pendidikan yang mengalami proses pendewasaan
tidak hanya anak muda, tetapi orang dewasa pun
mengalami proses belajar
• Menganggap siswa sebagai subyek, dan lebih cenderung
student center learning
• Yang pantas untuk memanusiakan manusia muda
adalah orang dewasa yang memiliki kompetensi untuk
mengkomunikasikan pribadinya kepada peserta
didiknya, jadi beliau menggagas adanya Pendidikan
Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma
7. • Guru berperan bukan sebagai instruktur,
indoktrinator, penatar, birokrat, komandan atau
pawang, melainkan guru sebagai ibu, bapak, abang,
kakak, sahabat, yang menyayangi peserta didik.
• Guru mendidik dengan berprinsip ajrihasih dalam
lingkungan sekolah yang penuh rasa kekeluargaan,
kesetiakawanan, saling menolong, dan saling
memajukan diri.
• Pandangan driyarkara mengenai pendidikan
karakter “manusia adalah kawan bagi sesama”.
Manusia merupakan homo homini socius.
Eksistensi (keberadaan) dirinya selalu ada bersama
sesamanya
8. Pokok-pokok pemikiran Driyarkara
terhadap pendidikan
1. Pendidikan bertujuan mengubah dan membentuk
manusia, dengan berpangkal dari sikap cinta murni,
yang mengarah pada kepentingan yang dicintai.
2. Mendidik adalah pemanusiaan manusia muda dalam
arti hominisasi (proses manusia menyadari dirinya
bukan sebagai makhluk biologis semata, melainkan
sebagai seorang pribadi atau subjek, yaitu ‘mengerti
diri, menempatkan diri dalam situasinya, mengambil
sikap dan menentukan dirinya); dan humanisasi
adalah proses manusia menjadi berkebudayaan
3. Kegiatan mendidik termuat dalam kesatuan hidup
tritunggal bapak-ibu-anak, yaitu: (1) pemanusiaan
anak, (2) pembudayaan anak, serta (3) pelaksanaan
nilai-nilai
9. 4. Pendidikan tidak boleh individualistis (menuruti semua
kehendak dan memanjakan anak) ataupun stato-sentris
(menempatkan anak di bawah kekuasaan negara atau
masyarakat sampai memusnahkan kepribadiannya), tapi
harus personalistis (ditujukan pada perkembangan
manusia sebagai persona).
5. Mendidik adalah hak dan kewajiban orang tua
sedangkan kewajiban negara adalah membantu
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, dengan cara
mengembangkan : (1) aspek pendidikan agar anak
berkepribadian sempurna dan susila, serta (2) aspek
pembangunan tenaga cakap agar anak menjadi tenaga
yang cakap untuk kehidupannya
10. 6. Konstruksi pengajaran tidak boleh hanya
didasarkan pada pandangan pragmatis, melainkan
harus inkulturatif-progresif. Pendidikan adalah upaya
memasukkan kebudayaan ke dalam manusia yang
belum dewasa, agar akhirnya dia mampu memanusia
sendiri, membudaya sendiri, dan melaksanakan nilai-
nilai sendiri sebagai manusia purnawan.
7. Konstruksi pengajaran yang bersumber dari
kearifan lokal, tidak didasarkan pada bentuknya tapi
lebih ditekankan pada unsur-unsur dan nilai-nilai
aslinya
8. Pengajaran harus menghasilkan tenaga-tenaga
yang penuh keberanian, tanggung jawab, dan cerdas
11. • 9. Pengajaran harus lebih memperhatikan segi
praktis, yaitu: harus dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari, dan harus bersifat
informatif (memberi pengetahuan dan
pengertian) serta formatif (membentuk atau
membangun kepribadian)
• 10. Fungsi edukatif suatu mata pelajaran pada
sekolah lanjutan adalah membantu manusia
muda dalam menyelami dunianya dan
membantunya dalam menjadi manusia.
12. Contoh Praktikalitas Pandangan
Driyarkara (1)
Pemikiran Driyarkara Praktik Pendidikan
Mendidik merupakan perbuatan
fundamental. Pendidikan bertujuan
mengubah, menentukan dan
membentuk hidup manusia (h. 373).
Pendidikan berpangkal dari sikap
fundamental yaitu cinta yang
mengarah pada kepentingan yang
dicintai bukan kepentingan yang
mencintai (h. 374)
Pembelajaran di kelas dengan model
student center. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
menemukan pengalaman belajarnya.
13. Contoh Praktikalitas Pandangan
Driyarkara (2)
Pemikiran Driyarkara Praktik Pendidikan
Hominisasi dan humanisasi :
pengangkatan manusia muda sampai
sedemikian tingginyasehingga dia bisa
menjalankan hidupnya sebagai
manusia dan mebudayakan diri (h.
413)
Kegiatan intrakurikuler,
ekstrakurikuler, kegiatan khusus dan
pembiasaan.
14. Contoh Praktikalitas Pandangan
Driyarkara (3)
Pemikiran Driyarkara Praktik Pendidikan
Pemanusiaan anak, pembudayaan
anak, pelaksanaan nilai-nilai (h. 416-
417)
Pembelajaran berbasis karakter dalam
kurikulum 2013.
15. Contoh Praktikalitas Pandangan
Driyarkara (4)
Pemikiran Driyarkara Praktik Pendidikan
Mendidik terutama adalah hak dan
kewajiban orang tua sedangkan
kewajiban negara adalah mengakui,
melindungi, dan membantu
pelaksanaan hak dan kewajiban orang
tua tersebut, khususnya dengan
memperkembangkan pengajaran.
(h. 423-424)
Negara menyelenggarakan
pendidikan,orang tua dilibatkan
dalam kegiatan-kegiatan sekolah,
sekolah menyusun kurikulum untuk
orang tua.
16. Contoh Praktikalitas Pandangan
Driyarkara (5)
Pemikiran Driyarkara Praktik Pendidikan
Dalam pendidikan dan pengajaran,
yang perlu dimanfaatkan
dari unsur-unsur lokal bukan
terutama bentuknya, melainkan nilai
kemanusiaan yang termuat di
dalamnya
(h. 430).
Pembelajaran berbasis budaya/
kearifan lokal: mata pelajaran muatan
lokal, mata pelajaran seni dan budaya.
17. Referensi
• Sudiarja, A., SJ, Budi Subanar, G., SJ, Sunardi, St.,
& Sarkim, T., 2006. Karya lengkap Driyarkara. Esai-
esai filsafat pemikir yang terlibat penuh dalam
perjuangan bangsanya. Jakarta: Gramedia.
• Supratiknya. 2020. Membaca Pemikiran Driyarkara
tentang Pendidikan di Zaman
Sekarang. https://repository.usd.ac.id/3987/1/122
3_supratiknya_driyarkara.fkip.10.5.2014.pdf
• Rukiyati, Purwastuti. L. M., 2015. Mengenal Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta. UNY