SlideShare a Scribd company logo
1 of 93
Download to read offline
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93
I
endengar teriakan Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa
sesadarnya kakinya menyentuh perut kudanya, sehingga
kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul
Endang Widuri.
Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil
mengerutkan keningnya ia berpikir, “Aneh. Api itu terlalu besar.”
Akhirnya yang lain-lain pun sampai ke dekat mereka pula.
Mereka pun kemudian melihat api yang menjilat-jilat ke udara
seperti akan menggapai bintang-bintang di langit.
Sesaat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan.
Kemudian terdengar Mahesa Jenar berdesis, “Kebakaran.” Belum
lagi ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara
kentongan di lereng bukit Telamaya. Tiga-tiga ganda.
“Kebakaran?” Ki Ageng Gajah Sora mengulang. Tampaklah
wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya
melanjutkan “Inilah sambutan tanah kelahiranku atas
kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau menerima aku
kembali?”
“Jangan berpikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan
Alas, “Ada bermacam-macam sebab yang menimbulkan
kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.”
Ki Ageng GajahSora menoleh kepada isterinya. Ia ingin
memacu kudanya, namun bagaimana dengan Nyai Ageng itu.
Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya
“Pergilah angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang terjadi.
Mungkin ada bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena
kelengahan sendiri. Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora
dalam perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.”
M
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93
Sekali lagi Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya
mengangguk, maka berkatalah Gajah Sora, “Aku mendahului
paman.”
“Perdilah kalian bersama-sama,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Gajah Sora tidak berkata-kata lagi. Disendalnya kendali
kudanya dan sesaat kemudian kudanya menghambur seperti
angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua langkah
dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian
dengan gembiranya Widuri berpacu meskipun malam menjadi
semakin gelap.
“Hati-hatilah Widuri,” ayahnya berteriak memperingatkan
Widuri menoleh sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Derap kuda itu seperti akan memecahkan selaput telinga.
Berdetak-detak diatas tanah liat yang berbatu-batu. Meskipun
jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun menggelombang
dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu.
Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat.
Hanya kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi
cahayanya yang kuning lemah.
Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu Biru, tampaklah
dihadapan mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan tipis
menyaput langit.
“Itulah mereka,” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan di
muka perjalanannya.
Kuda Gajah Sora berlari kencang sekali. Dibelakang barisan
Banyu Biru yang ternyata juga telah hampir sampai itu ia berteriak,
“Beri aku jalan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93
Barisan itu menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan
kencangnya melampaui mereka. Terdengarlah kemudian Gajah
Sora berkata, “Api. Kalian dengar kentongan tiga-tiga ganda?.”
“Ya,” sahut Bantaran berteriak, “Kami mempercepat
perjalanan kami.”
Ki Ageng Gajah Sora telah lampau. Yang menjawab adalah
Arya Salaka, “Bagus. Mungkin orang yang sedang berputus asa
mencari bela.”
Arya pun tidak sempat menungu jawaban mereka. Barisan
Banyu Biru hanya melihat bayangan yang terbang disamping
mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara
telapak kaki kuda mereka, bayangan itupun telah lenyap pula
ditelan oleh lindungan batang batang pohon dan ilalang.
Suara kentongan semakin nyaring. Dan penuhlah lembah
Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan karena itu pula kuda
GajahSora berlari semakin kencang menuju ke arah alun-alun
Banyu Biru.
Banyu Biru menjadi ribut karena api yang tiba-tiba saja
membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api tidak
segera dikuasai, maka api akan menjalar terus mendaki tebing.
Apalagi sekali api menjilat hutan-hutan getah maka hutan itupun
akan terbakar, dan lereng Bukit Telamaya akan menjadi lautan api.
Bukit itu sendiri akan segera menyala, dan hancurlah kehidupan
diatasnya. Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan
dihutan-hutan peliharaan akan musnah.
Di alun-alun tampaklah beberapa orang sedang sibuk. Beratus-
ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak saja orang
lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap
membawa lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting-
canting besar dari pelepah batang upih. Namun dengan alat itu,
mereka tidak akan dapat menguasai api yang membakar batang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93
ilalang. Angin yang bertiup dari lembah seperti membantu
mendorong api itu naik dilereng bukit yang damai itu.
Mantingan dan Wirasaba berusaha membantu Wanamerta
yang tua. Mereka telah siap diatas punggung-punggung kuda.
Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang, “Putuskan
daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan
daerah api dengan daerah yang masih selamat. Sekarang!”
Orang-orang itupun berlari-larian. Mereka melemparkan
lodong-lodong bambu di tangan mereka. Sedang mereka berlari-
lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan senjata-senjata
tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang-
batang ilalang.
Rakyat Banyu Biru menjadi kacau seperti gabah dalam
tampian. Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk
menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka memberi
petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan.
“Jangan bingung!” terdengar suara Mantingan gemuruh,
“Semua pergi ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum
termakan api supaya api tidak terus menjalar ke atas.”
Di sebelah lain Wirasaba berteriak tinggi, “Nah, yang sudah
bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga. Jangan
menunggu api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke
daerah api itu.”
Wirasaba sendiri mendahului pergi ke lereng bukit Telamaya.
Dengan kapak raksasanya ia menebas pohon-pohon perdu seperti
menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya benar-benar
dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih
mungkin di selamatkan demi keselamatan Banyu Biru. Rakyat
Banyu Biru pun segera menggulung lengan baju mereka atau
melepas baju mereka samasekali. Dengan pedang, cangkul dan
apa saja di tangan mereka, mereka berusaha untuk membuat
antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi lereng itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93
sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat
ke atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang
panjang, untuk kemudian perlahan-lahan mendaki tebing.
Gajah Sora sampai di alun-alun ketika rakyat Banyu Biru sudah
mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu. Dilihatnya
Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka.
Dengan lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak, “Apa yang sudah
Paman kerjakan?”
Wanamerta terkejut. Suara itu telah agak lama tak
didengarnya. Kini dalam keributan itu suara didengarnya kembali.
Dengan lantang pula ia menjawab “Aku mencoba memisahkan
daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di
batasi.”
“Bagus,” sahut Gajah Sora. “Aku akan pergi ke lereng.”
Wanamerta tidak sempat berbuat lain. Dan dalam kesibukan
itu, seakan-akan kehadiran Gajah Sora adalah kehadiran yang
wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau itu, hanya
sekejap mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan
Banyu Biru. Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja
keluar dari rumahnya di samping alun-alun itu.
Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia melihat rakyat
Banyu Biru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan
pedukuhan mereka dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan
anak-anak. Namun api itu menjalar terus.
Sebentar kemudian datanglah laskar Banyu Biru yang lain.
Mereka tidak sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka tidak
sempat menyatakan keselamatan diri mereka kepada keluarga
mereka. Karena mereka pun segera ikut serta berjuang menebang
pohon-pohon dan ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu.
Beratus-ratus orang telah bekerja dengan dengan segenap tenaga,
namun seakan-akan pekerjaan mereka tidak maju-maju. Gajah
Sora menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Pecahkan tangki
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93
yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan tumpah dan
mengalir kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya
segera sampai ke daerah api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.”
Beberapa orang segera berlari-larian ketempat penyimpanan
air. Air itu tampak menggenang tenang. Dalam dan cukup luas.
Rakyat Banyu Biru mempergunakan untuk mengairi sawah-sawah
mereka di musim kering yang panjang. Tetapi kini mereka
terpaksa memecahkan tangkis blumbang itu, untuk
menyelamatkan bukit Telamaya dari kehancuran yang lebih besar,
meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu untuk
memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa
mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus
menenaminya dengan palawija
saja. Namun apa yang harus
dilakukan sekarang ternyata
tak dapat lain dari mengalirkan
air itu ke daerah yang
terbakar.
Dengan cangkul, mereka
berusaha memecahkan tangki
batu itu. Satu-satu mereka
mendongkelnya dengan linggis
dan kapak. Alangkah lambat-
nya. Arya menjadi tidak tela-
ten. Segera ia pun berlari ke
tempat itu, sambil berteriak
nyaring ia meloncat di antara
mereka yang sedang sibuk
menyobek tangkis batu itu.
“Semua minggir. Cepat.”
Orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa
harus minggir. Bukankah mereka harus memecahkan tangkis batu
itu? Tetapi segera mereka berloncatan ketika mereka melihat Arya
Salaka berdiri tegak di atas satu kakinya, kakinya yang lain
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93
diangkatnya ke depan, satu tangannya menyilang dada, sedang
tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti api yang
menjilat-jilat ke udara itu. Dengan penuh tenaga dan
kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat maju.
Tangannya itu diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah
sebuah benturan yang dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam
tangkis itu. Maka pecahlah beberapa batu dan terlontar
berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian terlontar
keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya
bergemuruh seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya
segera meloncat menghindari air itu. Demikian juga beberapa
orang yang berdiri keheran-heranan melihat tandang anak muda
itu. Diantara mereka yang menjadi keheran-heranan adalah Ki
Ageng Gajah Sora sendiri. Disamping harapannya yang tumbuh
karena air yang melimpah itu, sehingga akan dapat mempengaruhi
api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun menjadi heran melihat
tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra Birawa
itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat
menerapkan ilmunya tidak saja untuk melawan musuh dan
membinasakannya, namun kini mempergunakannya untuk
keselamatan daerah Banyu Biru dari bahaya api.
Air itu mengalir seperti seekor naga. Dengan cepatnya
meluncur ke lerang. Beberapa orang sibuk membuat jalur-jalur
untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai api yang
sedang berkobar itu.
Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin ribut. Orang-orang
berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas batang-
batang ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap
untuk menerkam mereka. Namun air yang mengalir dari blumbang
akan sekedar membantu mereka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut sibuk pula
membantu mereka. Mereka berloncatan dengan pedang ditangan
mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba Mahesa
Jenar tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93
yang bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak
mengamat-amati asap itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo
Kanigara, maka Kebo Kanigara pun mengangguk. Dengan berlari-
lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya sambil berbisik, “Kakang,
aku melihat asap minyak. Entahlah, apakah minyak kelapa, jarak
atau minyak kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu yang tidak
pada tempatnya.”
“Aku berpikir demikian sejak tadi,” jawab Kebo Kanigara.
“Marilah kita lihat,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku ikut!” tiba-tiba suara kecil menyahut dibelakang mereka.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat Endang Widuri
tersenyum. Sedang disampingnya berdiri Rara Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus-
ratus orang sibuk bekerja dengan penuh tenaga.
“Tenaga kami tak seberapa membantu di sini, kakang,” kata
Mahesa Jenar, “Bagi kami, lebih penting melihat sumber kebakaran
ini.”
Kebo Kanigara tidak menjawab. Denga tergesa-gesa ia
melangkah ke arah kuda-kuda mereka tertambat. Mahesa Jenar,
Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat
dibelakangnya.
Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu dengan lajunya.
Tak seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda itu,
karena mereka sedang tenggelam dalam usaha menarik garis
pemisah antara api dan tanah mereka.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Endang Widuri
segera mencari jalan, melingkari api yang sedang menyala-nyala
itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di udara.
“Dari tempat itulah aku kira api menyala,” kata Mahesa Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93
“Ya,” jawab Kebo Kanigara singkat.
Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama semakin cepat.
Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda yang
makin condong di arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati
jurang-jurang sempit dan dangkal, namun sekali-sekali kuda harus
menyusur jalan setapak di lereng bukit.
Api yang menyala-nyala itupun menjadi semakin luas. Di ujung
nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di langit, meskipun
sudah semakin tipis.
Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah tampan, berdiri
bertolak pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di hadapannya
agaknya sangat menarik perhatiannya. Bibirnya yang tipis, selalu
membayangkan sebuah senyum yang menarik. Dari matanya yang
redup memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu
tersenyum, namun betapa matanya membayangkan kebencian
dan dendam sebesar bukit.
Ketika orang itu melihat api yang semakin besar, maka sambil
bertolak pinggang ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya gemuruh
memukul tebing-tebing pegunungan. Dari suara tertawanya itu
terdengarlah ia berkata, “Musnahlah Banyu Biru sekarang.
Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui dugaanku
semula. Apabila Banyu Biru itu sudah menjadi abu, barulah puas
hatiku. Dan barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.”
Kembali suara tertawanya mengguntur. Namun tiba-tiba suara
itu terputus, ia mendengar derap beberapa ekor kuda
mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga,
bahwa yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda.
“Siapakah mereka?” gumamnya, “Kalau yang datang itu
cecurut-cecurut Banyu Biru, maka mereka akan aku binasakan di
dalam api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93
“Ah!” kata-katanya itu dibantahnya sendiri. “Mahesa Jenar
masih berada di Pimingit.”
Meskipun demikian hatinya menjadi tidak enak. Perlahan-
lahan ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang itupun
meloncat ke punggung kudanya. “Lebih baik aku menyingkirkan
siapa pun yang datang.”
Dan segera kudanya itu pun dilarikannya.
Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajamnya
melampaui mata burung alap-alap masih melihat bayangan itu
bergerak menjauhi api. “Itulah dia.” desis Mahesa Jenar dan
dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya dilecutnya
habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya
Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang
Widuri menjadi gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi
Rara Wilis terpaksa semakin berhati-hati, sebab kudanya pun ikut
berlari pula kencang-kencang. Tetapi kuda orang yang mereka
kejar pun kuda yang baik pula, sehingga jarak mereka tidak
menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo
Kanigara berteriak nyaring, “Ayah, aku memotong jalan.”
Kebo Kanigara terkejut. “Jangan!” jawabnya. Namun Widuri
telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata Widuri memang
mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia
mengendalikan kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun
sekali-sekali harus diloncatinya parit, ledokan batu padas dan
gerumbul-gerumbul kecil. Kebo Kanigara tidak tega membiarkan
anaknya menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring itu.
Karena itu pun ia berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa
Jenar dan Rara Wilis tetap menempuh jalan semula, sebab mereka
tidak mau buruannya kali ini terlepas.
Ternyata Widuri cakap memperhitungkan waktu. Ia berhasil
memotong kejarannya beberapa langkah. Dengan satu loncatan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93
panjang kudanya menjejakkan kakinya, lima langkah saja
dihadapan kuda buruannya.
Kuda Widuri itu masih maju lagi beberapa depa sebelum ia
berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang tiba-tiba itu
telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu meloncat
berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik.
Penunggangnya berusaha untuk menguasainya. Ternyata
penunggangnya itu benar-benar cakap, sehingga sejenak
kemudian kembali ke arah yang dapat dikuasainya dan dipacunya
untuk berlari ke arah yang berlawanan. Namun sekali lagi ia
terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat
dibelakangnya dua orang lain yang sudah memperlambat kuda-
kuda mereka. Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat melepaskan dirinya
lagi. Di sekelilingnya duduk tegak di atas punggung kuda, Kebo
Kanigara, Endang Widuri, Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun
meskipun demikian, orang itu masih tersenyum, senyum iblis.
Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis melihat senyum itu. Ia
sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi perasaan aneh
selalu menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah itu.
Jangankan melihat dan berhadapan muka, sedang mengenang
senyum itu saja pun hatinya berdebar-debar.
Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api dikejauhan jatuh di
atas tubuh-tubuh mereka mewarnai wajah mereka dengan warna-
warna merah yang bergerak-gerak. Dan dalam kesepian itu
terdengar Mahesa Jenar menggeram,”Kau agaknya Jaka Soka?”
Orang berkuda itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik
senyumnya lebih lebar lagi. Jawabnya “Ya, kenapa?”
“Kau tahu akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa
Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93
Jaka Soka tertawa, katanya, “Aku tahu pasti. Banybiru akan
musnah.”
“Orang-orang yang tak tahu apa-apa pun akan menderita
karenanya. Perempuan dan anak-anak.” Desak Mahesa Jenar.
“Aku tahu pasti,” sahut Jaka Soka, “Dan itulah tujuanku”.
“Juga perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri.
“Ya. Semua yang hidup di atasnya,” jawab Jaka Soka.
“Setan,” desis Widuri.
Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya, “Apa pedulimu
terhadap perempuan dan anak-anak Banyu Biru? Aku samasekali
tidak berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah
menyaksikan pertunjukan yang mengasikkkan. Perempuan dan
anak-anak Banyu Biru menangis melolong-lolong ketakutan”.
Sekali lagi suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah
yang lembab namun panas itu. Panas karena nyala api di lereng
bukit Telamaya, panas karena hati yang terbakar oleh kemarahan.
“Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar.
“Perempuan dan anak-anak di Banyu Biru tidak menangis dan
melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang
bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk
menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang,
tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi
tertawa, “Kau bermimpi agaknya,” katanya, “Perempuan dan
anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”
“Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan
angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.
Sekali wajah itu menjadi tegang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93
“Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyu
Biru,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring,
jawabnya, “Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau
tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba
membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama
laskar Banyu Biru.”
Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar
menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu
terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui,
ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa
Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra tua dari
Lodaya.
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka,
“Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan
gadis ini?”
Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar
memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil
tersenyum dengan mata yang redup, “Akhirnya kaulah yang
mencari aku, Wilis.”
“Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar
karena marah. Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa
pula. Katanya, “Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi
Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang
berwajah tampan.”
Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata
memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa
saja sambil berkata terus, “Adakah kau juga bermimpi tentang bibi
Wilis, paman yang baik?”
Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu
dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93
keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus, “Alangkah
indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari
Nusakambangan. He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila
padamu. Akupun juga tidak pernah melupakanmu. Sayang, rakyat
Banyu Biru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki tangkis
yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu.
Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga
mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami
alami lagi.”
“Tutup mulutmu!” bentak Jaka Soka marah.
Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya,
“Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang
tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”
“Gila Kau!” bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia
sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan
terlawan.
Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepan-
jangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis
marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian, “Nah,
seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari
Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi
Wilis yang mencari Paman?”
Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya
bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena
itu ia berteriak, “Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?”
“Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa
Jenar.
“Ya!” sahut Jaka Soka, “Menangkap aku hidup atau mati.”
“Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar, “Kami ingin membawa
kau kepada rakyat Banyu Biru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau
akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93
tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing
yang ganas.”
“Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka,
senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.
“Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar, “Kami tak memiliki
tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat
kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan
yang baik.”
“Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa
Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-
baiknya,” kata Jaka Soka. “Tetapi kau akan menyesal, apabila
tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk
menyimpan aku hidup-hidup.”
“Hem!” Mahesa Jenar bergumam, “Jangan keras kepala.”
Kembali Ular Laut itu tertawa, “Sekarang katakan saja, apakah
maksud kalian?”
“Sudah kami jawab,” jawab Mahesa Jenar.
“O,” desis Jaka Soka, “Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.”
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar, “Sebenarnya kau tahu apa
yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah
putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak
ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain
kau. Karena itu kami tak membunuhmu.”
“Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka
Soka, “Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal
kepala kalian satu demi satu.”
“Ai!” teriak Widuri, “Bagaimana kami hidup tanpa kepala?”
“Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan
berat. “Adakah itu keputusanmu?”
“Ya,” jawab Jaka Soka, “Aku tantang kalian berempat. Atau
adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang
diri melawan aku untuk mewakili kalian?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud
Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk
melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata, “Kalau
kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing
berhati kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk
bertempur seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak
cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.”
Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun
Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus. “Kalau demikian,
akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian.
Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian
hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti.
Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum
merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi
maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang
paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka
menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab
dengan suaranya yang nyaring, “Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah
satu di antara kami.”
Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar
gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih
mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo
Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia
mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah
Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat
hitamnya?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93
Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri
sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan
sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain,
Kelabang Sayuta.
Tiba-Tiba wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka
menyahut dengan gembira, “Keputusan telah jatuh. Baiklah aku
memilih lawanku.” Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung
kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil
mengangguk dalam-dalam, “Kau akan mendapat kehormatan.”
“Gila!” teriak Widuri lantang.
“Aku telah memilih,” potong Jaka Soka. “Tetapi kau berkata
bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,”
bantah Widuri.
“Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.
“Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat
turun dari kudanya pula, “Akulah lawanmu.”
“Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-
lahan, “Biarlah aku menerima pilihannya.”
Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam.
Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan
kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu
kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka
dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya
wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi
tegang.
“Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki
ayahnya. “Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah
Ular Laut yang gila itu.”
Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di
dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93
membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara
Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan?
Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata, “Bagaimana?
Apakah kalian akan bertempur bersama?”
“Tidak!” potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.”
“Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar. Namun ia
melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali
hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun
kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam
tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah
menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.
“Ha?” kata Jaka Soka, “Agaknya kau benar-benar gadis berhati
jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”
“Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis, “Aku sudah siap.”
“Hem” Jaka Soka berkata lagi, “Bagaimana dengan yang lain?
Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?”
Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas
punggung kudanya.
Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata, “Wilis, aku
akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur
hidupku atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi
istriku.”
“Gila!” teriak Widuri marah, “Kalau kau dihukum mati, apakah
Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”
“Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka, “Sebulan atau
dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”
“Aku sudah bersedia,” potong Wilis, “Jangan mengigau.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93
“Sayang,” jawab Jaka Soka, “Setangkai bunga yang betapapun
indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih
baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”
“Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin
muak melihat wajah itu.
Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-
goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung
kuda. “Ayah, bunuh sajalah iblis itu.”
Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu
sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu pula. Hanya
hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut
yang licik itu.
Tiba-Tiba terdengar suara Mahesa Jenar berdesir, “Wilis. Kau
dapat menolak pilihan itu.”
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis, “Aku harus menjunjung
tinggi nama perguruan Pandan Alas.”
“Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit
Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.”
“Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan
olehnya,” jawab Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-
umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah
berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan
dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu.
II
Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di
atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93
Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut
senjata masing-masing. Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan
kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun
di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.
“Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum,
“Selamanya aku menghormati perempuan.”
Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai
menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng
Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan
bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia
tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu
akan mengarah. Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang
pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan
itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang
dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan
dahsyatnya. Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya,
mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang
dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak.
Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga
beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya.
Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan
ketrampilan Rara Wilis. Seperti di Banyu Biru beberapa waktu
lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya
namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya.
Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir
saja menyentuh tubuhnya.
Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti
iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera
berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia
mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam
satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan
tersenyum, “Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93
Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya
mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat
daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi
gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak,
namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi
ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian
itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia
meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat
menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan
Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar
dengan sengitnya. Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci
kelemahan perasaan hati seorang gadis.
Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira.
Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis
cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya.
Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat
kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu
merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin
itu. Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau
tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat
bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara
Wilis lah yang akan mencegahnya.
Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang
meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk
meruntuhkan hati lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan
manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya.
Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya
ia menggeram, “Soka, kau telah berbuat curang.”
Jaka Soka masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya.
Jawabnya “Aku berkata sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah
indahnya wajah yang bulat ini. Apalagi kau Wilis sedang
bersungut-sungut. Benar-benar gila aku dibuatnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93
Kata-kata itu benar-benar mempengaruhi perasaan Rara Wilis.
Kemarahan, kebencian dan muak menjalari otaknya. Namun
karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur baur
perasaan yang tak dapat dikendalikan.
“Kalau kau berbuat
curang, aku pun tidak akan
memperdulikan perjanjian kita
lagi” sahut Mahesa Jenar, “aku
akan terjun dalam pertem-
puran.”
“Bagus,” jawab Jaka Soka
“sejak semula aku telah
mempersilahkan. Ternyata du-
gaanku benar, bahwa ajaran
Pandan Alas tidak lebih dari
pelajaran tari menari yang
hanya dapat menumbuhkan
perasaan kagum pada pena-
rinya. Apalagi penari secantik
Rara Wilis.”
“Gila,” geram Mahesa Jenar. Dadanya bergelora karena marah.
Tetapi ia tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Rara Wilis
ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai harga diri.
Tetapi Rara Wilis kini benar-benar dipengaruhi oleh sifat-sifat
kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia terpaksa meloncat
surut, menghindar dan menjauhi lawannya. Ia merasa betapa
tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya menjadi lemah. Berkali-
kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya bertempur
mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali
membelit hati.
Jaka Soka melihat lawannya menjadi gelisah. Karena itu ia
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia mencoba untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93
mempermainkan gadis itu, menghinanya dengan sentuhan-
sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya.
Mahesa Jenar adalah orang yang terkenal dengan sifat-sifat
keperwiraan serta kejantanannya. Ia selalu berusaha untuk
menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya langsung
atau tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji.
Ia tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya.
Ia tidak dapat menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat
hatinya itu mengalami perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir
saja ia lupa diri.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang dapat merubah
keadaan itu. Lamat-lamat dibawah angin pegunungan terdengar
suara tembang. Mengalun seirama dengan desir angin lembut
membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh ketegangan.
Tembang Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin
jelas.
Segera Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Mula-mula ia
tidak tahu apakah maksud suara tembang itu. Suara tembang
yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang membakar
lereng pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara
hidup dan mati. Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal
suara itu baik-baik. Suara yang telah banyak menolongnya dalam
berbagai keadaan. Pada saat-saat ia hampir dibinasakan oleh
Pasingsingan di alas Tambak Baja maupun di Banyu Biru.
Tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang, “Kakang
Kebo Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula
itu?”
Terdengar Kebo Kanigara menjawab lantang pula, “Paman
Pandan Alas. Ternyata ia hadir disini.”
“Bagus,” sahut Mahesa Jenar, “Orang tua itu tidak terikat pada
perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang gila itu. Bukankah
perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93
berharga. Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang
menggairahkan. Alangkah lebih menggairahkan kalau gurunya itu
yang menari di sini.”
“Gila. Setan. Iblis,” tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis-
habisan. “Apa kerja kambing tua itu disini?”
“Melihat muridnya menari,” tiba-tiba terdengar suara kecil.
Suara Endang Widuri. Selama ini urat syarafnya menjadi tegang
setegang tali busur. Namun tiba-tiba kini telah mengendor dan
gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula.
Karena suara tembang itu pula, maka keseimbangan
perkelahian itu terpengaruh. Tiba-tiba Rara Wilis menjadi seperti
seorang yang menerima kekuatan baru. Kehadiran guru serta
sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan tekadnya
kembali. Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan
perasaan kegadisannya yang selama ini mengganggunya.
Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini menjadi gelisah. Ia sadar,
bukan tidak sengaja Mahesa Jenar berteriak-teriak, bahwa orang
orang tua itu tidak terikat dengan suatu perjanjian apapun. Karena
itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan kehadiran Pandan Alas.
Dengan demikian, pertempuran pun menjadi berubah. Rara
Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik. Sekali-kali
pedang itu menyambar dengan dahsyatnya kearah-arah yang
berbahaya. Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan
pengamatan atas pedang serta tongkat hitamnya.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Setapak demi
setapak Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka Soka sekali-
kali masih mencoba mempengaruhi perasaan lawannya, namun
karena hatinya sendiri menjadi gelisah, maka usahanya tidak
berhasil. Kata-katanya menjadi janggal dan justru menjadikan
Rara Wilis semakin teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu
harus dibinasakan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93
Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak, “He, kalau kalian
orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti
mengembik.”
Yang menjawab adalah Mahesa Jenar, “Tak ada sangkut paut
antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji menyelesaikan
persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas berdendang
untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan
dalam persoalan lain.”
“Bohong,” sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah,
“Pandan Alas telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut-
nakuti dan mencoba melemahkan perlawananku.”
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri,
“Bukankah kau sedang menonton tari-tarian yang meng-
gairahkan?”
Jaka Soka menggeretakkan giginya. Dipusatkannya panca
inderanya untuk melawan Rara Wilis. Namun suara tembang yang
dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih saja
mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan
kemarahan yang meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi-
jadinya. Namun dengan demikian ia telah kehilangan sebagian dari
pengamatan diri. Sedang lawannya perlahan-lahan telah berhasil
menguasai keseimbangan perasaan sepenuhnya.
Maka akhirnya berlakulah segala kehendak Tuhan. Setiap
kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti akan
menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilislah yang menjadi
lantaran. Betapa dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu,
namun karena kegelisahan yang mengoncang-goncang dadanya
maka ia telah kehilangan sebagian kegarangannya. Demikianlah
tiba-tiba saja ketika serangannya tak mengenai sasarannya, Rara
Wilis meloncat maju. Dengan lincahnya pedang tipisnya terjulur
lurus kearah lambung lawannya. Terasa ujung pedangnya
menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan sebuah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93
keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar,
maka memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah
menganga.
Sesaat Jaka Soka tegak dengan wajah menyeringai menahan
sakit. Tangannya menjadi gemetar dan kemudian kedua buah
senjata dikedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih berdiri
tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu
melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari
matanya yang redup itu pun memancar sinar yang aneh.
Dalam keadaan yang demikian itu ia masih mencoba
melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari
sela-sela bibirnya yang gemetar kata-kata, “Wilis. Kau memang
cantik.”
Rara Wilis menjadi ngeri melihat peristiwa itu, seakan-akan
sesosok hantu berdiri di hadapannya, siap untuk menerkamnya.
Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergi!”
Tetapi hantu itu tidak pergi. Dengan darah yang memancar
dari lukanya, Jaka Soka masih berusaha melangkah maju.
Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis, sedang
matanya yang redup masih juga memancarkan sinar yang
menggelisahkan hati setiap gadis yang melihatnya.
Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju setapak lagi, Rara
Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali terdengar ia
berteriak, “Pergi, pergi. Jangan dekati aku.” Namun hantu itu
masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata diantara senyumnya,
“Marilah Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.” Dan ketika
setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis
memutar tubuhnya, dan dengan tak diduga oleh siapapun ia
meloncat berlari sekencang-kencangnya menjahui hantu yang
mengerikan itu. Ia sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu
terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93
“Wilis, Wilis,” Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Dengan
suara yang lantang ia berteriak memanggil. Namun Rara Wilis
berlari terus dan terus. Karena itu segera Mahesa Jenar berlari
mengejarnya, “Wilis!” terdengarlah suara Mahesa Jenar
memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang ditelan lembah-
lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak
mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang
daripadanya, sehingga kemudian Rara Wilis itu pun dapat
disusulnya. Dengan tangannya yang kokoh kuat, Mahesa Jenar
memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara Wilis itu meronta-
ronta sambil berteriak, “Lepaskan, lepaskan aku. Pergi, pergi ke
asalmu.”
“Wilis,” bisik Mahesa Jenar.
“Aku tidak mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin
keras.
Mahesa Jenar sadar, bahwa segala ketakutan, kengerian yang
disimpan di dalam dada gadis itu terhadap Jaka Soka kini meledak
dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia mencoba
menenangkannya. “Wilis. Tenanglah. Aku Mahesa Jenar.”
Nama itu benar-benar berpengaruh dihati Rara Wilis. Kini ia
tidak meronta-ronta lagi. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya laki-
laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya dan
dijatuhkannya kepalanya didada laki-laki itu. Tangisnya pecah
seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak tangisnya
terdengar suaranya gemetar. “Kakang aku takut.”
“Jangan takut Wilis.” Kata-kata Itu bagi Rara Wilis seperti air
sejuk yang menyiram tenggorokannya pada saat ia kehausan.
Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras. Dan kembali
kata-katanya yang gemetar terdengar. “Kakang, aku hampir gila
dibuatnya.”
“Kini ia tidak akan menakut-nakuti lagi Wilis,” jawab Mahesa
Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93
“Ia tidak mengejar aku?” bertanya Rara Wilis.
“Ular Laut itu telah mati,” jawab Mahesa Jenar.
“Mati?” ulang Rara Wilis. “Siapakah yang membunuhnya?”
“Kau. Pedangmu,,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh....” dan Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat.
Sesaat mereka tenggelam ke dalam perasaan yang tidak
menentu. Tiba-tiba dada Rara Wilis menjadi lapang, selapang
Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah kaki mereka. Kini ia
tidak akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka Soka.
Matanya yang redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya.
Memang sejak pertemuan yang pertama dengan Ular Laut itu
dihutan Tambak Baya, ia tidak pernah dapat tenang apabila wajah
yang selalu membayangkan senyum dibibir tipisnya serta sinar
yang memancar dari matanya yang redup namun penuh nafsu itu
membayang di dalam angan-angannya.
Dan kini orang yang mengerikan itu telah binasa.
Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa Pening dan
segerombolannya nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun
bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus berhadapan dengan wajah-
wajah yang buas bengis itu, daripada wajah tampan yang
memancarkan nafsu yang mengerikan. Lebih baik dadanya
terbelah hancur dan mati daripada ia harus jatuh ke tangan Ular
Laut dari Nusakambangan itu.
Tetapi masa-masa yang mengerikan itu telah lampau. Kini ia
berada ditangan laki-laki tempat ia menyangkutkan harapannya
dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk perasaannya. Tanpa
ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ketika
matanya terdampar ke arah api yang masih menyala-nyala itu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93
terdengar ia bergumam. “Wilis, meskipun Jaka Soka telah binasa,
namun bekas tangannya itu masih membahayakan Banyu Biru”.
Rara Wilis kemudian terdampar dibumi kenyataan setelah
angan-angannya melambung tinggi setinggi bintang-bintang
dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya
memandang api yang menyala-nyala itu, “Bagaimana dengan api
itu kakang?”
“Marilah kita kembali,” ajak Mahesa Jenar.
Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului
Mahesa Jenar kembali ke tempat kuda-kuda mereka.
Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara dan Endang Widuri
berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah berdiri pula
seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas.
Ketika mereka melihat Rara Wilis berjalan kembali diiringkan
oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas dalam-dalam.
“Tidakkah kau mengalami sesuatu,” terdengar Ki Ageng
Pandan Alas bertanya kepada cucunya.
Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika
terpandang olehnya mayat Jaka Soka yang menelungkup di muka
kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya.
“Aku melihat semua yang terjadi di sini,” berkata Ki Ageng
Pandan Alas. “Ketika aku datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah
Sora aku melihat kalian berkuda. Aku sudah mengira apa yang
akan kalian lakukan, namun aku tidak segera dapat menyusul. Aku
terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu kepada suaminya, baru
aku menyusul kalian. Tetapi ketika aku melihat dikejauhan lima
orang berkuda, aku menjadi curiga. Karena itu aku mendekatinya
dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian demikian
tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku
melihat kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93
lawannya.Karena itu aku terpaksa berdendang lagu Dandang
Gula.”
“Suara eyang merdu sekali,” tiba-tiba Widuri menyela.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Kemudian katanya, “Lalu
bagaimana dengan api itu?”
Serentak mereka menoleh kearah api dilereng bukit. Api itu
masih menyala. Namun agaknya api itu tidak jauh maju. Bahkan
dibeberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak lagi menjilat
langit.
“Api itu susut,” gumam Mahesa Jenar.
“Mudah-mudahan usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyu
Biru berhasil,” sahut Kebo Kanigara.
“Api itu tidak akan dapat menjalar terus,” sambung Widuri.
“Tetapi api itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh
Rakyat Banyu Biru itu,” sahut Mahesa Jenar.
“Marilah kita lihat,” berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Aku akan
mengambil kudaku.”
Sesaat kemudian mereka telah mengambil kuda masing-
masing. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati padas-
padas dilereng bukit itu, menyusup beberapa gerumbul untuk
mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah
berpencar ke Banyu Biru.
Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling depan, tiba-tiba
berhenti. Katanya, “Paman Pandan Alas, api itu berhenti di sini.”
Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan
keningnya, “Ya, api itu berhenti di sini.”
“Aneh,” desis mereka hampir bersamaan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93
Untuk sesaat mereka berhenti termangu-mangu. Api itu tidak
menjalar terus keatas. Dikejauhan masih terdengar campur baur
dari suara ranting-ranting yang terbakar dengan suara teriakan-
teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih berusaha menarik
garis batas antara daerah ilalang dan perdu yang dimakan api
dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan hutan-
hutan buah-buahan.
Sekali-kali mereka masih melihat beberapa ekor kijang, babi
hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari meninggalkan daerah
yang panas itu.
Tiba-tiba dada Mahesa Jenar terguncang dahsyat. Dalam
bayangan cahaya api yang kemerah-merahan, ia melihat sesosok
tubuh yang berdiri tegak diantara batang-batang ilalang. Demikian
terkejutnya sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kakang, kau
lihat orang itu?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia pun melihat
bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan yang lain-lain pun
akhirnya melihat pula.
“Siapakah dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri.
“Pasti bukan Jaka Soka,” sahut kakeknya.
Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh. Seseorang berdiri
diantara batang-batang ilalang yang sedang dimakan api. Kalau
api itu menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi abu
pula. Namun agaknya api itu berhenti.
“Angin tidak bertiup lagi,” desis Mahesa Jenar.
“Batang-batang ilalang itu belum kering benar,” sahut Kebo
Kanigara.
Tetapi Mahesa Jenar tidak puas dengan sangkaan-
sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya sambil
berkata, “Akan aku dekati orang itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93
“Tetapi kalau api itu menjalar,” Wilis mencoba untuk
mencegahnya.
“Tidak. Api itu benar-benar berhenti disini. Kalau tiba-tiba api
itu bergerak, aku dapat berlari menjauhinya,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku pergi bersamamu,” sahut Kebo Kanigara.
“Kita pergi bersama-sama,” sambung Endang Widuri.
Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka. Segera yang lain
pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi demikian
mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik
membasahi pakaian mereka.
“Air,” teriak Widuri.
Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air.
Maka katanya, “Air dari blumbang yang dijebol.”
Kemudian, mereka diam. Perlahan-lahan mereka berjalan
mendekati bayangan yang dilindungi oleh batang-batang ilalang.
Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan
garangnya dan pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh
mereka. Baru beberapa langkah mereka berjalan, peluh telah
mengalir dari lubang-lubang di kulit mereka.
Selain panas yang membelai wajah mereka, merekapun harus
berhati-hati. Apakah orang itu salah seorang dari kawan Jaka
Soka, atau orang lain yang belum mereka kenal. Mereka tidak tahu
apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api yang sedang
marah.
Semakin dekat, hati mereka semakin berdebar-debar. Ketika
mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali lagi mereka
terkejut. Orang itu adalah seorang tua yang berwajah tenang dan
dalam dan mengenakan jubah putih.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93
“Panembahan Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu
bergumam.
“Ya, Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan.
Mereka menjadi yakin ketika orang tua itu menoleh ke arah
mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh cahaya api
itu memancarkan sebuah senyum.
“Marilah, marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan.
Perlahan-lahan mereka
berlima berjalan mendekati
Panembahan Ismaya. Sambil
membungkuk hormat Kebo
Kanigara menyapanya, “Sela-
mat malam, Panembahan.”
Panembahan tua itu meng-
angguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Marilah Datanglah
kemari.”
Mereka berlima melangkah
lebih dekat lagi. Dan sekali lagi
mereka menekan gelora di
dalam dada mereka, ketika
mereka melihat bahwa
Panembahan Ismaya meme-
gang di kedua tangannya sepasang keris yang bercahaya. Bahkan
demikian terguncang hati Mahesa Jenar, sehingga tanpa sengaja
ia berdesis, “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Rara Wilis dan Endang Widuri terkejut. Agaknya itulah keris-
keris pusaka Kraton Demak yang menggemparkan itu. Sehingga
tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata, “Pantas, api itu berhenti di
sini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93
Panembahan Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan
terdengar Panembahan itu berkata, “Aku sedang berusaha
membantu rakyat Banyu Biru.”
“Panembahan.” Terdengar Kebo Kanigara bertanya, “Apakah
karena kedua keris itu maka api berhenti di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Panembahan Ismaya, “Aku tidak tahu
kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup lagi,
apakah karena batang-batang ilalang disini masih jauh lebih basah
daripada lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang
mengalir di bawah kaki kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris
ini. Atau karena semuanya. Tetapi yang jelas adalah Tuhan telah
berkenan memenuhi permintaan rakyat Banyu Biru. Api itu tidak
membinasakan mereka, pedukuhan mereka dan sumber hidup
mereka.”
Yang mendengar kata-kata itu menundukkan wajah mereka.
Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha Agung. Air, keris-keris
itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan permohonan
kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan
Yang Maha Kuasa telah memenuhinya.
“Api itu telah surut.” Kembali terdengar Panembahan Ismaya
berkata, “Mudah-mudahan sebentar lagi api akan dapat dikuasai
dan menjadi padam.”
“Mudah-mudahan,” sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti
demikian saja meloncat dari bibirnya.
Kemudian kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya
berkata, “Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera
selesai.”
Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya
api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api
telah hampir padam samasekali. Hanya merah-merah baranya
yang masih tampak memecah kepekatan malam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93
Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun
tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin
suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyu Biru berteriak-
teriak, “Api telah susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain
meninggi, “Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan
berhenti sebelum padam samasekali.”
Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di
tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menya-
rungkannya di warangkanya masing-masing.
Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan
kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke
udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun
kemudian kembali surut.
Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya
menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya.
Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu
menyapanya, “Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api
itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil menjawab, “Api itu benar-benar mengejutkan,
Panembahan.”
“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan
Ismaya. “Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan
Rangga Tohjaya.”
“Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya
Mahesa Jenar.
“Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya,
“Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau
seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih
harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93
Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga
dengan senyum ia berkata, “Meskipun demikian Mahesa Jenar,
pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah-
mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini
kau dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah
Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.
“Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa
Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Menyerahkan keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan
Ismaya.
“Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?”
tanya Mahesa Jenar pula.
“Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu.
“Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan
keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang
waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan
merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun
aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan serahkanlah
ke Demak bersama-sama anak gembala itu.” “Dan beruntunglah
kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu
yang nakal itu.”
“Karebet?” sahut Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Panembahan Ismaya.
“Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo
Kanigara, “Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan
kesalahan di istana.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93
“Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab
Panembahan Ismaya, “Ia sedang membuat suatu rencana
permainan yang mengasyikkan.”
“Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara.
Panembahan Ismaya menggeleng lemah, “Aku tak tahu,”
jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang
merahasiakan sesuatu.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar
adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyu Biru
yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas
sebelum mereka melihat api itu padam samasekali.
Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata,
“Kembalilah kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak
untuk seterusnya. Banyu Biru akan pulih kembali. Gajah Sora telah
berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah meyakini
kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi
korban. Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah
kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati,
hati yang setia dan teguh pada janji.”
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia
mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-
debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis
itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.
“Ki Ageng,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya
bersungguh- sungguh, “Sungguh aku tak mengenal kesopanan,
namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak
sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di
dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului
segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia
mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk
melamar cucu Ki Ageng.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93
“Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk,
“Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”
Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah
Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam.
Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu
berkata, “Marilah kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku
akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu-
tunggu oleh rakyat Banyu Biru.” Kemudian kepada Mahesa Jenar
Penambahan berkata, “Setiap saat kau dapat datang kepadaku
bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat
mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama menunggu.
Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan
Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang
untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh
perasaan, “Terima kasih Panembahan.”
Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata,
“Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak
sekarang. Kami akan segera datang.”
“Terimakasih. Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas
sambil tertawa.
Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan
meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan
kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah
abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang
Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang-
batang ilalang dan batu-batu yang terendam air.
Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti
dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Tak perlu orang-orang lain
mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau bercerita
tentang anak nakal itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93
usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia akan muncul kembali
bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah berada di
tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa
dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu- satunya orang selain
kalian yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang
boleh mendengarnya.”
Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab,
“Baik Panembahan.”
“Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.”
Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia
meneruskan perjalanannya kembali.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja
berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya.
Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang
lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum
mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu. Bahkan
terdengarlah Widuri berbisik, “Ayah, kasihan Panembahan.
Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati.
Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa
Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu
pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan
Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah
seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan
orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke
Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyu Biru.
Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab,
pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan
Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk
mengantarkannya.
“Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya,
“Apakah Ayah tidak mengantarkannya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93
“Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara. Kemudian
kepada Widuri ia berkata, “Antarkanlah, Widuri. Aku masih
mempunyai kepentingan di Banyu Biru. Aku akan tinggal di sini.”
Widuri mengerutkan keningnya. “Kenapa aku?”
“Selain aku, kaulah orang yang terdekat” jawab Kanigara.
“Emoh” sahut Widuri sambil menggeleng.
“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan
Panembahan” sambung ayahnya.
Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab, “Aku
belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti
kemarin.”
“Besok kita kembali ke Banyu Biru,” desak ayahnya.
“Emoh,” Widuri menggeleng lebih keras, “Aku mau tinggal di
Banyu Biru”
“Apa kepentinganmu di sini?” bertanya ayahnya.
Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu
Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini.
Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng
raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan
cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan
bintang-bintang dimalam hari?
Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan
tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh
menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia
bahwa ayahnya sedang menggodanya. Tiba-tiba wajahnya
menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-
keras
“Jangan Widuri,” ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang
sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang lainpun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93
mengetahuinya. Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula,
“apakah di Banyu Biru ada yang mengikatmu Widuri?”.
“Ada,” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.
“Siapa?” desak Wilis.
“Jaka Soka,” jawabnya. Dan yang lainpun tertawa pula
meskipun Widuri masih bersungut-sungut.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata, “Biarkanlah
Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang
mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah
Sora.”
Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali
memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian
merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat
ke punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun
demikian kuda-kuda itupun berlari cukup cepat.
Banyak persoalan yang berputar-putar dikepala Rara Wilis dan
bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris
itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah
pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan
Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora
segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan
bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang
mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar
dan GajahSora menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan.
Meskipun demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan
pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti
akan mengatakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh ke
lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak berdaya lagi
untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak
mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93
yang lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke
selatan menghantam bukit.
“Api telah padam,” desisnya.
Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan
hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas api
itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing
bukit.
Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah
mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul setelah
mereka berjuang menebas perdu dan alang-alang serta
mengalirkan parit ke lereng bukit.
Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar
tangkai pacul maka segera disapanya, “pekerjaan paman ternyata
berhasil.”
Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab,
“Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar, “pekerjaan kita semua.”
“Dari manakah anakmas tadi?” Wanamerta bertanya.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya segera meloncat turun
dari kuda-kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu,
berkatalah Mahesa Jenar, “Mengejar kelinci.”
“He,” Wanamerta heran.
“Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini”
“He,” sekali lagi Wanamerta keheranan.
“Nanti aku ceritakan,” sahut Mahesa Jenar, “Di mana kakang
Gajah Sora dan Arya Salaka?”
“Di sana,” jawab Wanamerta, “Di sebelah timur”.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93
“Aku ingin menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil
melangkah.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak, “Siapa?”
“Kakang Gajah Sora,” jawab Mahesa Jenar.
“Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu
bergumam, “O.....” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat
kelabang. “Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-
cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat, “Tetapi,
bukankah Ki Ageng berada di Demak?”
“Sudah pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta.
Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya.
Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah timur.
Terdengarlah ia berteriak-teriak, “He, Ki Ageng Gajah Sora telah
kembali.”
Laskar Banyu Biru yang baru saja datang dari Pamingit tidak
terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang mereka
suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyu Biru, teriakan
itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti
arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyu Biru
yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka.
Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di
samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah
Wanamerta itu berteriak keras-keras, “Angger, kau telah datang di
antara kami.” Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu
telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk
anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali. Gajah
Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah
melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan orang tua
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93
itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis.
Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata, “Aku telah
melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku,
maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di
Banyu Biru. Dan kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa
yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya
Angger akan kembali.”
“Terimakasih Paman,” jawab Gajah Sora.
Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya. Kemudian
Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba
yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit
getir bersama rakyat Banyu Biru yang setia. Setia kepada cita-cita
mereka, setia pada tanah mereka.
Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit
dan Banyu Biru. Tak ada persoalan lagi antara Banyu Biru dan
gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang
sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh
kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini
mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit
pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga
mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang
terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka.
Namun mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan
diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab mereka gugur
dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih sesama,
rasa cinta kasih kepada Tuhannya.
Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan kerja.
Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali lereng-lereng
bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu
akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah
pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93
Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan
cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening,
sibuklah orang-orang Banyu Biru dengan kerja masing-masing.
Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka
yang terang. Mereka telah merencanakan untuk menye-
lenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan syukur kehadapan
Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan cinta kasih-
Nya kepada rakyat Banyu Biru.
Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyu Biru,
berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada bidang,
berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang
lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra
Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru. Dengan wajah yang cerah ia
melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan
mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang janur-janur
kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar.
Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis
duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah
secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi selangkah
ia pergi menemui gadis itu.
“Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.
Gadis itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian
wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia
menggeleng, “Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.”
“Kita pergi berdua,” ajak Arya Salaka.
Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah
perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak
pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab, “Aku
menunggu Ayah.”
Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu
perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93
mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah
mengajaknya pula. Maka katanya, “Baiklah Widuri. Nanti aku
datang kembali.” Dan Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah
pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah.
Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang.
Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak
cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu
lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas.
Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceritakan beberapa
persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Sehingga akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil
mengangguk- anggukkan kepalanya, “Baru sekarang aku menjadi
jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa
pekerjaanmu sudah hampir selesai.”
“Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar, “pekerjaanku telah hampir
selesai”
“Pada suatu saat, Anakmas....” kata Ki Ageng pula, “Aku ingin
juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan
kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti
yang Anakmas ceritakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat
wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa
lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru
sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga
masa.”
“Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar, “Besok aku antarkan
Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.”
Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar
hiruk-pikuk di halaman.
“Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93
“Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil
melangkah keluar.
Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah kata pun
terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian
terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir.
Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Adakah kau ingin kembali ke
Gunung Kidul?”
Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya, “Aku mempunyai
beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”
“Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis tersenyum, katanya, “Terserahlah kepada Kakang.”
“Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh.
“Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk
sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang
Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak
bersama-sama Jaka Tingkir?”
“Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga.
Tenang dan tentram.”
Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka
terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan karena
mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati
mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama
berjuang untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas
mereka.
Mahesa Jenar samasekali tak mengharapkan bahwa kelak
namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal atau
dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia hanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93
mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya.
Menemukan sipat kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah
kewajiban yang seharusnya dilakukan. Sekali lagi menggemalah
tekad di dalam dadanya, bahwa pengabdian tidaklah harus
dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di antara rakyat pun ia akan
dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan
pengabadian bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa
Besar yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan Banyu
Biru. Masih ada beberapa persoalan yang harus ditungguinya.
Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo Kanigara
masih harus menemui Mas Karebet.
Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang
cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Hari yang
cerah bagi Banyu Biru dan Pamingit. Hari-hari yang cerah pula bagi
Arya Salaka dan Endang Widuri.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan menunggu waktu
terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu merayap-rayap
meninggalkan usia mereka.
Tetapi di Banyu Biru terasa menjadi semakin sepi. Mantingan
dan Wirasaba harus kembali ke tempat masing-masing. Wirasaba
harus kembali ke istrinya yang setia, sedang Mantingan harus
kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang.
“Kakang Mahesa Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri
dari Banyu Biru, “Aku akan datang kembali menemui Kakang nanti
apabila datang saatnya Kakang memerlukan aku. Mantingan
sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku
mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan
Kakang? Aku akan membawakan cerita yang paling menarik, Parta
Krama.”
Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum menanggapi kata-kata
Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan wajahnya yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93
kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam
hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada
saatnya.
Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian
meninggalkan Banyu Biru, menuju ke timur, Prambanan.
Banyu Biru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun
kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya
yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus mereka kerjakan untuk
tanah perdikan mereka.
Hanya dengan kerja, maka tanah mereka akan mencapai nilai-
nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan orang-perorang.
Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga karenanya
tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang
dengan kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras
hati mempertahankan pendapat-pendapat yang saling
bertentangan. Yang ada kemudian adalah kerja, membanting
tulang. Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun
kelak mereka akan menuai bersama-sama pula.
III
Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyu Biru, maka
Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri. Persoalan
kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang
didengarnya dari Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut
Panembahan Ismaya, bahwa seorang Wali telah meramalkan hari
depan yang gemilang buat anak nakal itu. Namun kini, anak itu
ternyata sedang disingkirkan oleh Sultan, karena pelanggaran-
pelanggaran yang telah dibuatnya.
Demikianlah maka kemudian Kebo Kanigara itu memerlukan
menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka
bersepakat untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit
Telamaya, supaya setiap pembicaraan dapat mereka lakukan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93
dengan tidak bersegan hati terhadap orang-orang lain yang
mendengarnya.
Malam itu langit yang cerah ditandai oleh sepotong bulan
muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas, sedang
Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan-
akan seorang tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang
dirinya.
“Karebet,” kata Kebo Kanigara perlahan.
Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian
ditundukannya lagi. Yang terdengar adalah suaranya parau, “Ya,
Paman.”
“AKU telah mendengar beberapa cerita tentang dirimu
diistana. Sehingga akhirnya kau terpaksa disingkirkan karenanya.
Menurut para perwira yang datang ke Pamingit, kau telah
membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan
sadak kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat
membaca bahwa bukan itulah yang telah kau lakukan. Nah,
sekarang aku ingin tahu, apakah sebabnya kau diusir dari istana?”
Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya
berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian
mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.
“Katakanlah, Karebet,” desak Kebo Kanigara.
Karebet menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan
hatinya. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, “Bukan
semata-mata salahku paman”
Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara
mendesaknya, “Apa yang terjadi?”
“Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku,” jawab Karebet
terbata-bata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93
“Lalu?”
“Aku pun bersikap baik kepadanya,” jawab Karebet
“Hanya itu?”
Karebet mengangguk, “Ya.”
Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya, “Hanya
itu?”
“Oh. Tidak Paman,” sahut Karebet cepat-cepat.
“Lalu?”
“Pergaulan kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet, “Mula-
mula aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan
kami masing-masing berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan
tidak senang melihat pergaulan itu. Agaknya karena aku tidak lebih
dari seorang lurah Tamtama pada waktu itu.”
“Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?”
Karebet mengangguk.
“Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?”
Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara
mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya, “Ya. Tetapi bukan
maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap kali
kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang
tamtama, sedang putri Sultan itu, entahlah apa saja yang
dilakukan di luar keputren.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mempercayai sebagai cerita kemenakannya. Namun ia tahu pula
sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata
pula, “Kemudian akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami
itu. Sultan marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku
dipindahkannya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93
“Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada
Sultan?”
“Aku telah mencoba,” jawab Karebet, “Tetapi ada orang ketiga
yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Siapa?”
“Tumenggung Prabasemi.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Apakah kepentingannya?”
Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke dalam
suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat menjawab
pertanyaan pamannya. Namun kemudian diceritakannya apa saja
yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak ada yang dilampauinya.
Bahkan cerita itu seakan-akan merupakan tuangan kekesalan
hatinya, atas peristiwa yang tak diharap-harapkan.
“Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat
sampai sedemikian jauh,” kata Karebet. “Kau kenal orang itu baik-
baik?”
“Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi dengan baik. Seorang
Tumenggung yang masih muda. Namun karena kesaktiannya, ia
cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang
perwira Tamtama yang gagah perkasa.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingat-ingat
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan peristiwa-
peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali. Peristiwa demi
peristiwa. Mulai dari permulaan sekali.
Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan putri Sultan itu belum
diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat merahasiakan
getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika,
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

More Related Content

Viewers also liked

11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooSariyanti Palembang
 

Viewers also liked (7)

11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
11 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
 

More from Sariyanti Palembang

24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardjaSariyanti Palembang
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 

More from Sariyanti Palembang (20)

24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 

Recently uploaded

Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang MaxwinLim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang MaxwinLim4D
 
IDMPO Link slot online kamboja terbaru 2024
IDMPO Link slot online  kamboja terbaru 2024IDMPO Link slot online  kamboja terbaru 2024
IDMPO Link slot online kamboja terbaru 2024idmpo grup
 
Babahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
BabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjfBabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
BabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjfDannahadiantyaflah
 
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.docKERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.docEnaNorazlina
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...Neta
 
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024idmpo grup
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTNeta
 
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdekaSTD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdekachairilhidayat
 
IDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kamboja
IDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kambojaIDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kamboja
IDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kambojaidmpo grup
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungnicksbag
 
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang JackpotWen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang JackpotWen4D
 
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdekaBAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdekachairilhidayat
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot
 
PPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptx
PPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptxPPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptx
PPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptxMegaFebryanika
 

Recently uploaded (14)

Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang MaxwinLim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
 
IDMPO Link slot online kamboja terbaru 2024
IDMPO Link slot online  kamboja terbaru 2024IDMPO Link slot online  kamboja terbaru 2024
IDMPO Link slot online kamboja terbaru 2024
 
Babahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
BabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjfBabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
Babahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
 
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.docKERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
 
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
 
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdekaSTD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
 
IDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kamboja
IDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kambojaIDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kamboja
IDMPO Link Slot Online Terbaru 2024 kamboja
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
 
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang JackpotWen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
 
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdekaBAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
 
PPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptx
PPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptxPPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptx
PPT SLIDE Kelompok 2 Pembelajaran Kelas Rangkap (4).pptx
 

26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93 I endengar teriakan Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa sesadarnya kakinya menyentuh perut kudanya, sehingga kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul Endang Widuri. Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil mengerutkan keningnya ia berpikir, “Aneh. Api itu terlalu besar.” Akhirnya yang lain-lain pun sampai ke dekat mereka pula. Mereka pun kemudian melihat api yang menjilat-jilat ke udara seperti akan menggapai bintang-bintang di langit. Sesaat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan. Kemudian terdengar Mahesa Jenar berdesis, “Kebakaran.” Belum lagi ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara kentongan di lereng bukit Telamaya. Tiga-tiga ganda. “Kebakaran?” Ki Ageng Gajah Sora mengulang. Tampaklah wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya melanjutkan “Inilah sambutan tanah kelahiranku atas kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau menerima aku kembali?” “Jangan berpikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan Alas, “Ada bermacam-macam sebab yang menimbulkan kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.” Ki Ageng GajahSora menoleh kepada isterinya. Ia ingin memacu kudanya, namun bagaimana dengan Nyai Ageng itu. Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya “Pergilah angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang terjadi. Mungkin ada bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena kelengahan sendiri. Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora dalam perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.” M
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93 Sekali lagi Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya mengangguk, maka berkatalah Gajah Sora, “Aku mendahului paman.” “Perdilah kalian bersama-sama,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. Gajah Sora tidak berkata-kata lagi. Disendalnya kendali kudanya dan sesaat kemudian kudanya menghambur seperti angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua langkah dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian dengan gembiranya Widuri berpacu meskipun malam menjadi semakin gelap. “Hati-hatilah Widuri,” ayahnya berteriak memperingatkan Widuri menoleh sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Derap kuda itu seperti akan memecahkan selaput telinga. Berdetak-detak diatas tanah liat yang berbatu-batu. Meskipun jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun menggelombang dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu. Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat. Hanya kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi cahayanya yang kuning lemah. Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu Biru, tampaklah dihadapan mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan tipis menyaput langit. “Itulah mereka,” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan di muka perjalanannya. Kuda Gajah Sora berlari kencang sekali. Dibelakang barisan Banyu Biru yang ternyata juga telah hampir sampai itu ia berteriak, “Beri aku jalan.”
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93 Barisan itu menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan kencangnya melampaui mereka. Terdengarlah kemudian Gajah Sora berkata, “Api. Kalian dengar kentongan tiga-tiga ganda?.” “Ya,” sahut Bantaran berteriak, “Kami mempercepat perjalanan kami.” Ki Ageng Gajah Sora telah lampau. Yang menjawab adalah Arya Salaka, “Bagus. Mungkin orang yang sedang berputus asa mencari bela.” Arya pun tidak sempat menungu jawaban mereka. Barisan Banyu Biru hanya melihat bayangan yang terbang disamping mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara telapak kaki kuda mereka, bayangan itupun telah lenyap pula ditelan oleh lindungan batang batang pohon dan ilalang. Suara kentongan semakin nyaring. Dan penuhlah lembah Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan karena itu pula kuda GajahSora berlari semakin kencang menuju ke arah alun-alun Banyu Biru. Banyu Biru menjadi ribut karena api yang tiba-tiba saja membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api tidak segera dikuasai, maka api akan menjalar terus mendaki tebing. Apalagi sekali api menjilat hutan-hutan getah maka hutan itupun akan terbakar, dan lereng Bukit Telamaya akan menjadi lautan api. Bukit itu sendiri akan segera menyala, dan hancurlah kehidupan diatasnya. Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan dihutan-hutan peliharaan akan musnah. Di alun-alun tampaklah beberapa orang sedang sibuk. Beratus- ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak saja orang lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap membawa lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting- canting besar dari pelepah batang upih. Namun dengan alat itu, mereka tidak akan dapat menguasai api yang membakar batang
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93 ilalang. Angin yang bertiup dari lembah seperti membantu mendorong api itu naik dilereng bukit yang damai itu. Mantingan dan Wirasaba berusaha membantu Wanamerta yang tua. Mereka telah siap diatas punggung-punggung kuda. Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang, “Putuskan daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan daerah api dengan daerah yang masih selamat. Sekarang!” Orang-orang itupun berlari-larian. Mereka melemparkan lodong-lodong bambu di tangan mereka. Sedang mereka berlari- lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan senjata-senjata tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang- batang ilalang. Rakyat Banyu Biru menjadi kacau seperti gabah dalam tampian. Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka memberi petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan. “Jangan bingung!” terdengar suara Mantingan gemuruh, “Semua pergi ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum termakan api supaya api tidak terus menjalar ke atas.” Di sebelah lain Wirasaba berteriak tinggi, “Nah, yang sudah bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga. Jangan menunggu api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke daerah api itu.” Wirasaba sendiri mendahului pergi ke lereng bukit Telamaya. Dengan kapak raksasanya ia menebas pohon-pohon perdu seperti menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya benar-benar dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih mungkin di selamatkan demi keselamatan Banyu Biru. Rakyat Banyu Biru pun segera menggulung lengan baju mereka atau melepas baju mereka samasekali. Dengan pedang, cangkul dan apa saja di tangan mereka, mereka berusaha untuk membuat antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi lereng itu
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93 sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat ke atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang panjang, untuk kemudian perlahan-lahan mendaki tebing. Gajah Sora sampai di alun-alun ketika rakyat Banyu Biru sudah mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu. Dilihatnya Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka. Dengan lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak, “Apa yang sudah Paman kerjakan?” Wanamerta terkejut. Suara itu telah agak lama tak didengarnya. Kini dalam keributan itu suara didengarnya kembali. Dengan lantang pula ia menjawab “Aku mencoba memisahkan daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di batasi.” “Bagus,” sahut Gajah Sora. “Aku akan pergi ke lereng.” Wanamerta tidak sempat berbuat lain. Dan dalam kesibukan itu, seakan-akan kehadiran Gajah Sora adalah kehadiran yang wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau itu, hanya sekejap mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan Banyu Biru. Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja keluar dari rumahnya di samping alun-alun itu. Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia melihat rakyat Banyu Biru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan pedukuhan mereka dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan anak-anak. Namun api itu menjalar terus. Sebentar kemudian datanglah laskar Banyu Biru yang lain. Mereka tidak sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka tidak sempat menyatakan keselamatan diri mereka kepada keluarga mereka. Karena mereka pun segera ikut serta berjuang menebang pohon-pohon dan ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu. Beratus-ratus orang telah bekerja dengan dengan segenap tenaga, namun seakan-akan pekerjaan mereka tidak maju-maju. Gajah Sora menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Pecahkan tangki
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93 yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan tumpah dan mengalir kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya segera sampai ke daerah api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.” Beberapa orang segera berlari-larian ketempat penyimpanan air. Air itu tampak menggenang tenang. Dalam dan cukup luas. Rakyat Banyu Biru mempergunakan untuk mengairi sawah-sawah mereka di musim kering yang panjang. Tetapi kini mereka terpaksa memecahkan tangkis blumbang itu, untuk menyelamatkan bukit Telamaya dari kehancuran yang lebih besar, meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu untuk memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus menenaminya dengan palawija saja. Namun apa yang harus dilakukan sekarang ternyata tak dapat lain dari mengalirkan air itu ke daerah yang terbakar. Dengan cangkul, mereka berusaha memecahkan tangki batu itu. Satu-satu mereka mendongkelnya dengan linggis dan kapak. Alangkah lambat- nya. Arya menjadi tidak tela- ten. Segera ia pun berlari ke tempat itu, sambil berteriak nyaring ia meloncat di antara mereka yang sedang sibuk menyobek tangkis batu itu. “Semua minggir. Cepat.” Orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa harus minggir. Bukankah mereka harus memecahkan tangkis batu itu? Tetapi segera mereka berloncatan ketika mereka melihat Arya Salaka berdiri tegak di atas satu kakinya, kakinya yang lain
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93 diangkatnya ke depan, satu tangannya menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti api yang menjilat-jilat ke udara itu. Dengan penuh tenaga dan kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat maju. Tangannya itu diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam tangkis itu. Maka pecahlah beberapa batu dan terlontar berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian terlontar keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya bergemuruh seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya segera meloncat menghindari air itu. Demikian juga beberapa orang yang berdiri keheran-heranan melihat tandang anak muda itu. Diantara mereka yang menjadi keheran-heranan adalah Ki Ageng Gajah Sora sendiri. Disamping harapannya yang tumbuh karena air yang melimpah itu, sehingga akan dapat mempengaruhi api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun menjadi heran melihat tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra Birawa itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat menerapkan ilmunya tidak saja untuk melawan musuh dan membinasakannya, namun kini mempergunakannya untuk keselamatan daerah Banyu Biru dari bahaya api. Air itu mengalir seperti seekor naga. Dengan cepatnya meluncur ke lerang. Beberapa orang sibuk membuat jalur-jalur untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai api yang sedang berkobar itu. Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin ribut. Orang-orang berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas batang- batang ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap untuk menerkam mereka. Namun air yang mengalir dari blumbang akan sekedar membantu mereka. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut sibuk pula membantu mereka. Mereka berloncatan dengan pedang ditangan mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93 yang bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak mengamat-amati asap itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo Kanigara, maka Kebo Kanigara pun mengangguk. Dengan berlari- lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya sambil berbisik, “Kakang, aku melihat asap minyak. Entahlah, apakah minyak kelapa, jarak atau minyak kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya.” “Aku berpikir demikian sejak tadi,” jawab Kebo Kanigara. “Marilah kita lihat,” jawab Mahesa Jenar. “Aku ikut!” tiba-tiba suara kecil menyahut dibelakang mereka. Ketika mereka menoleh, mereka melihat Endang Widuri tersenyum. Sedang disampingnya berdiri Rara Wilis. Sekali lagi Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus- ratus orang sibuk bekerja dengan penuh tenaga. “Tenaga kami tak seberapa membantu di sini, kakang,” kata Mahesa Jenar, “Bagi kami, lebih penting melihat sumber kebakaran ini.” Kebo Kanigara tidak menjawab. Denga tergesa-gesa ia melangkah ke arah kuda-kuda mereka tertambat. Mahesa Jenar, Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat dibelakangnya. Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu dengan lajunya. Tak seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda itu, karena mereka sedang tenggelam dalam usaha menarik garis pemisah antara api dan tanah mereka. Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Endang Widuri segera mencari jalan, melingkari api yang sedang menyala-nyala itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di udara. “Dari tempat itulah aku kira api menyala,” kata Mahesa Jenar.
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93 “Ya,” jawab Kebo Kanigara singkat. Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama semakin cepat. Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda yang makin condong di arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati jurang-jurang sempit dan dangkal, namun sekali-sekali kuda harus menyusur jalan setapak di lereng bukit. Api yang menyala-nyala itupun menjadi semakin luas. Di ujung nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di langit, meskipun sudah semakin tipis. Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah tampan, berdiri bertolak pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di hadapannya agaknya sangat menarik perhatiannya. Bibirnya yang tipis, selalu membayangkan sebuah senyum yang menarik. Dari matanya yang redup memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu tersenyum, namun betapa matanya membayangkan kebencian dan dendam sebesar bukit. Ketika orang itu melihat api yang semakin besar, maka sambil bertolak pinggang ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya gemuruh memukul tebing-tebing pegunungan. Dari suara tertawanya itu terdengarlah ia berkata, “Musnahlah Banyu Biru sekarang. Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui dugaanku semula. Apabila Banyu Biru itu sudah menjadi abu, barulah puas hatiku. Dan barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.” Kembali suara tertawanya mengguntur. Namun tiba-tiba suara itu terputus, ia mendengar derap beberapa ekor kuda mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga, bahwa yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda. “Siapakah mereka?” gumamnya, “Kalau yang datang itu cecurut-cecurut Banyu Biru, maka mereka akan aku binasakan di dalam api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar?”
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93 “Ah!” kata-katanya itu dibantahnya sendiri. “Mahesa Jenar masih berada di Pimingit.” Meskipun demikian hatinya menjadi tidak enak. Perlahan- lahan ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang itupun meloncat ke punggung kudanya. “Lebih baik aku menyingkirkan siapa pun yang datang.” Dan segera kudanya itu pun dilarikannya. Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajamnya melampaui mata burung alap-alap masih melihat bayangan itu bergerak menjauhi api. “Itulah dia.” desis Mahesa Jenar dan dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya dilecutnya habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang Widuri menjadi gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi Rara Wilis terpaksa semakin berhati-hati, sebab kudanya pun ikut berlari pula kencang-kencang. Tetapi kuda orang yang mereka kejar pun kuda yang baik pula, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin dekat. Tiba-tiba terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo Kanigara berteriak nyaring, “Ayah, aku memotong jalan.” Kebo Kanigara terkejut. “Jangan!” jawabnya. Namun Widuri telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata Widuri memang mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia mengendalikan kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun sekali-sekali harus diloncatinya parit, ledokan batu padas dan gerumbul-gerumbul kecil. Kebo Kanigara tidak tega membiarkan anaknya menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring itu. Karena itu pun ia berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa Jenar dan Rara Wilis tetap menempuh jalan semula, sebab mereka tidak mau buruannya kali ini terlepas. Ternyata Widuri cakap memperhitungkan waktu. Ia berhasil memotong kejarannya beberapa langkah. Dengan satu loncatan
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93 panjang kudanya menjejakkan kakinya, lima langkah saja dihadapan kuda buruannya. Kuda Widuri itu masih maju lagi beberapa depa sebelum ia berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang tiba-tiba itu telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu meloncat berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik. Penunggangnya berusaha untuk menguasainya. Ternyata penunggangnya itu benar-benar cakap, sehingga sejenak kemudian kembali ke arah yang dapat dikuasainya dan dipacunya untuk berlari ke arah yang berlawanan. Namun sekali lagi ia terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat dibelakangnya dua orang lain yang sudah memperlambat kuda- kuda mereka. Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat melepaskan dirinya lagi. Di sekelilingnya duduk tegak di atas punggung kuda, Kebo Kanigara, Endang Widuri, Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun meskipun demikian, orang itu masih tersenyum, senyum iblis. Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis melihat senyum itu. Ia sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi perasaan aneh selalu menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah itu. Jangankan melihat dan berhadapan muka, sedang mengenang senyum itu saja pun hatinya berdebar-debar. Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api dikejauhan jatuh di atas tubuh-tubuh mereka mewarnai wajah mereka dengan warna- warna merah yang bergerak-gerak. Dan dalam kesepian itu terdengar Mahesa Jenar menggeram,”Kau agaknya Jaka Soka?” Orang berkuda itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik senyumnya lebih lebar lagi. Jawabnya “Ya, kenapa?” “Kau tahu akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa Jenar.
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93 Jaka Soka tertawa, katanya, “Aku tahu pasti. Banybiru akan musnah.” “Orang-orang yang tak tahu apa-apa pun akan menderita karenanya. Perempuan dan anak-anak.” Desak Mahesa Jenar. “Aku tahu pasti,” sahut Jaka Soka, “Dan itulah tujuanku”. “Juga perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri. “Ya. Semua yang hidup di atasnya,” jawab Jaka Soka. “Setan,” desis Widuri. Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya, “Apa pedulimu terhadap perempuan dan anak-anak Banyu Biru? Aku samasekali tidak berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah menyaksikan pertunjukan yang mengasikkkan. Perempuan dan anak-anak Banyu Biru menangis melolong-lolong ketakutan”. Sekali lagi suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah yang lembab namun panas itu. Panas karena nyala api di lereng bukit Telamaya, panas karena hati yang terbakar oleh kemarahan. “Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar. “Perempuan dan anak-anak di Banyu Biru tidak menangis dan melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.” Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang, tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi tertawa, “Kau bermimpi agaknya,” katanya, “Perempuan dan anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.” “Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara. Sekali wajah itu menjadi tegang.
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93 “Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyu Biru,” kata Mahesa Jenar. Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring, jawabnya, “Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama laskar Banyu Biru.” Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui, ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra tua dari Lodaya. Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka, “Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan gadis ini?” Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil tersenyum dengan mata yang redup, “Akhirnya kaulah yang mencari aku, Wilis.” “Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar karena marah. Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa pula. Katanya, “Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang berwajah tampan.” Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa saja sambil berkata terus, “Adakah kau juga bermimpi tentang bibi Wilis, paman yang baik?” Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93 keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus, “Alangkah indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari Nusakambangan. He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila padamu. Akupun juga tidak pernah melupakanmu. Sayang, rakyat Banyu Biru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki tangkis yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu. Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami alami lagi.” “Tutup mulutmu!” bentak Jaka Soka marah. Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya, “Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.” “Gila Kau!” bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan terlawan. Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepan- jangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian, “Nah, seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi Wilis yang mencari Paman?” Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena itu ia berteriak, “Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?” “Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa Jenar. “Ya!” sahut Jaka Soka, “Menangkap aku hidup atau mati.” “Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar, “Kami ingin membawa kau kepada rakyat Banyu Biru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu,
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93 tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing yang ganas.” “Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka, senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali. “Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar, “Kami tak memiliki tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan yang baik.” “Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik- baiknya,” kata Jaka Soka. “Tetapi kau akan menyesal, apabila tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk menyimpan aku hidup-hidup.” “Hem!” Mahesa Jenar bergumam, “Jangan keras kepala.” Kembali Ular Laut itu tertawa, “Sekarang katakan saja, apakah maksud kalian?” “Sudah kami jawab,” jawab Mahesa Jenar. “O,” desis Jaka Soka, “Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.” “Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar, “Sebenarnya kau tahu apa yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain kau. Karena itu kami tak membunuhmu.” “Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka Soka, “Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal kepala kalian satu demi satu.” “Ai!” teriak Widuri, “Bagaimana kami hidup tanpa kepala?” “Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93 “Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan berat. “Adakah itu keputusanmu?” “Ya,” jawab Jaka Soka, “Aku tantang kalian berempat. Atau adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang diri melawan aku untuk mewakili kalian?” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata, “Kalau kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing berhati kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk bertempur seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.” Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus. “Kalau demikian, akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian. Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti. Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab dengan suaranya yang nyaring, “Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah satu di antara kami.” Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat hitamnya?
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93 Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain, Kelabang Sayuta. Tiba-Tiba wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka menyahut dengan gembira, “Keputusan telah jatuh. Baiklah aku memilih lawanku.” Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil mengangguk dalam-dalam, “Kau akan mendapat kehormatan.” “Gila!” teriak Widuri lantang. “Aku telah memilih,” potong Jaka Soka. “Tetapi kau berkata bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,” bantah Widuri. “Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka. “Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat turun dari kudanya pula, “Akulah lawanmu.” “Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan- lahan, “Biarlah aku menerima pilihannya.” Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam. Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi tegang. “Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki ayahnya. “Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah Ular Laut yang gila itu.” Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93 membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan? Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata, “Bagaimana? Apakah kalian akan bertempur bersama?” “Tidak!” potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.” “Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar. Namun ia melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama. “Ha?” kata Jaka Soka, “Agaknya kau benar-benar gadis berhati jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?” “Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis, “Aku sudah siap.” “Hem” Jaka Soka berkata lagi, “Bagaimana dengan yang lain? Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?” Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas punggung kudanya. Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata, “Wilis, aku akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur hidupku atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi istriku.” “Gila!” teriak Widuri marah, “Kalau kau dihukum mati, apakah Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?” “Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka, “Sebulan atau dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.” “Aku sudah bersedia,” potong Wilis, “Jangan mengigau.”
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93 “Sayang,” jawab Jaka Soka, “Setangkai bunga yang betapapun indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih baik aku runtuhkan daun mahkotanya.” “Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin muak melihat wajah itu. Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang- goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung kuda. “Ayah, bunuh sajalah iblis itu.” Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu pula. Hanya hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut yang licik itu. Tiba-Tiba terdengar suara Mahesa Jenar berdesir, “Wilis. Kau dapat menolak pilihan itu.” “Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis, “Aku harus menjunjung tinggi nama perguruan Pandan Alas.” “Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar, “Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.” “Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan olehnya,” jawab Wilis. Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat- umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu. II Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun.
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93 Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut senjata masing-masing. Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis. “Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum, “Selamanya aku menghormati perempuan.” Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu akan mengarah. Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan dahsyatnya. Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya, mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak. Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya. Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan ketrampilan Rara Wilis. Seperti di Banyu Biru beberapa waktu lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya. Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir saja menyentuh tubuhnya. Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan tersenyum, “Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93 Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak, namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar dengan sengitnya. Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci kelemahan perasaan hati seorang gadis. Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira. Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya. Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin itu. Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara Wilis lah yang akan mencegahnya. Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk meruntuhkan hati lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya. Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya ia menggeram, “Soka, kau telah berbuat curang.” Jaka Soka masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya. Jawabnya “Aku berkata sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah indahnya wajah yang bulat ini. Apalagi kau Wilis sedang bersungut-sungut. Benar-benar gila aku dibuatnya.”
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93 Kata-kata itu benar-benar mempengaruhi perasaan Rara Wilis. Kemarahan, kebencian dan muak menjalari otaknya. Namun karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur baur perasaan yang tak dapat dikendalikan. “Kalau kau berbuat curang, aku pun tidak akan memperdulikan perjanjian kita lagi” sahut Mahesa Jenar, “aku akan terjun dalam pertem- puran.” “Bagus,” jawab Jaka Soka “sejak semula aku telah mempersilahkan. Ternyata du- gaanku benar, bahwa ajaran Pandan Alas tidak lebih dari pelajaran tari menari yang hanya dapat menumbuhkan perasaan kagum pada pena- rinya. Apalagi penari secantik Rara Wilis.” “Gila,” geram Mahesa Jenar. Dadanya bergelora karena marah. Tetapi ia tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Rara Wilis ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai harga diri. Tetapi Rara Wilis kini benar-benar dipengaruhi oleh sifat-sifat kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia terpaksa meloncat surut, menghindar dan menjauhi lawannya. Ia merasa betapa tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya menjadi lemah. Berkali- kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya bertempur mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali membelit hati. Jaka Soka melihat lawannya menjadi gelisah. Karena itu ia mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia mencoba untuk
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93 mempermainkan gadis itu, menghinanya dengan sentuhan- sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya. Mahesa Jenar adalah orang yang terkenal dengan sifat-sifat keperwiraan serta kejantanannya. Ia selalu berusaha untuk menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya langsung atau tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji. Ia tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya. Ia tidak dapat menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat hatinya itu mengalami perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir saja ia lupa diri. Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang dapat merubah keadaan itu. Lamat-lamat dibawah angin pegunungan terdengar suara tembang. Mengalun seirama dengan desir angin lembut membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh ketegangan. Tembang Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin jelas. Segera Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Mula-mula ia tidak tahu apakah maksud suara tembang itu. Suara tembang yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang membakar lereng pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara hidup dan mati. Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal suara itu baik-baik. Suara yang telah banyak menolongnya dalam berbagai keadaan. Pada saat-saat ia hampir dibinasakan oleh Pasingsingan di alas Tambak Baja maupun di Banyu Biru. Tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang, “Kakang Kebo Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula itu?” Terdengar Kebo Kanigara menjawab lantang pula, “Paman Pandan Alas. Ternyata ia hadir disini.” “Bagus,” sahut Mahesa Jenar, “Orang tua itu tidak terikat pada perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang gila itu. Bukankah perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang tak
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93 berharga. Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang menggairahkan. Alangkah lebih menggairahkan kalau gurunya itu yang menari di sini.” “Gila. Setan. Iblis,” tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis- habisan. “Apa kerja kambing tua itu disini?” “Melihat muridnya menari,” tiba-tiba terdengar suara kecil. Suara Endang Widuri. Selama ini urat syarafnya menjadi tegang setegang tali busur. Namun tiba-tiba kini telah mengendor dan gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula. Karena suara tembang itu pula, maka keseimbangan perkelahian itu terpengaruh. Tiba-tiba Rara Wilis menjadi seperti seorang yang menerima kekuatan baru. Kehadiran guru serta sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan tekadnya kembali. Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan perasaan kegadisannya yang selama ini mengganggunya. Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini menjadi gelisah. Ia sadar, bukan tidak sengaja Mahesa Jenar berteriak-teriak, bahwa orang orang tua itu tidak terikat dengan suatu perjanjian apapun. Karena itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan kehadiran Pandan Alas. Dengan demikian, pertempuran pun menjadi berubah. Rara Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik. Sekali-kali pedang itu menyambar dengan dahsyatnya kearah-arah yang berbahaya. Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan pengamatan atas pedang serta tongkat hitamnya. Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Setapak demi setapak Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka Soka sekali- kali masih mencoba mempengaruhi perasaan lawannya, namun karena hatinya sendiri menjadi gelisah, maka usahanya tidak berhasil. Kata-katanya menjadi janggal dan justru menjadikan Rara Wilis semakin teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu harus dibinasakan.
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93 Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak, “He, kalau kalian orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti mengembik.” Yang menjawab adalah Mahesa Jenar, “Tak ada sangkut paut antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji menyelesaikan persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas berdendang untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan dalam persoalan lain.” “Bohong,” sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah, “Pandan Alas telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut- nakuti dan mencoba melemahkan perlawananku.” “Kenapa kau tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri, “Bukankah kau sedang menonton tari-tarian yang meng- gairahkan?” Jaka Soka menggeretakkan giginya. Dipusatkannya panca inderanya untuk melawan Rara Wilis. Namun suara tembang yang dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih saja mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan kemarahan yang meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi- jadinya. Namun dengan demikian ia telah kehilangan sebagian dari pengamatan diri. Sedang lawannya perlahan-lahan telah berhasil menguasai keseimbangan perasaan sepenuhnya. Maka akhirnya berlakulah segala kehendak Tuhan. Setiap kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti akan menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilislah yang menjadi lantaran. Betapa dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu, namun karena kegelisahan yang mengoncang-goncang dadanya maka ia telah kehilangan sebagian kegarangannya. Demikianlah tiba-tiba saja ketika serangannya tak mengenai sasarannya, Rara Wilis meloncat maju. Dengan lincahnya pedang tipisnya terjulur lurus kearah lambung lawannya. Terasa ujung pedangnya menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan sebuah
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93 keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar, maka memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah menganga. Sesaat Jaka Soka tegak dengan wajah menyeringai menahan sakit. Tangannya menjadi gemetar dan kemudian kedua buah senjata dikedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih berdiri tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari matanya yang redup itu pun memancar sinar yang aneh. Dalam keadaan yang demikian itu ia masih mencoba melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar kata-kata, “Wilis. Kau memang cantik.” Rara Wilis menjadi ngeri melihat peristiwa itu, seakan-akan sesosok hantu berdiri di hadapannya, siap untuk menerkamnya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergi!” Tetapi hantu itu tidak pergi. Dengan darah yang memancar dari lukanya, Jaka Soka masih berusaha melangkah maju. Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis, sedang matanya yang redup masih juga memancarkan sinar yang menggelisahkan hati setiap gadis yang melihatnya. Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju setapak lagi, Rara Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali terdengar ia berteriak, “Pergi, pergi. Jangan dekati aku.” Namun hantu itu masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata diantara senyumnya, “Marilah Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.” Dan ketika setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya, dan dengan tak diduga oleh siapapun ia meloncat berlari sekencang-kencangnya menjahui hantu yang mengerikan itu. Ia sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93 “Wilis, Wilis,” Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Dengan suara yang lantang ia berteriak memanggil. Namun Rara Wilis berlari terus dan terus. Karena itu segera Mahesa Jenar berlari mengejarnya, “Wilis!” terdengarlah suara Mahesa Jenar memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang ditelan lembah- lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang daripadanya, sehingga kemudian Rara Wilis itu pun dapat disusulnya. Dengan tangannya yang kokoh kuat, Mahesa Jenar memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara Wilis itu meronta- ronta sambil berteriak, “Lepaskan, lepaskan aku. Pergi, pergi ke asalmu.” “Wilis,” bisik Mahesa Jenar. “Aku tidak mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin keras. Mahesa Jenar sadar, bahwa segala ketakutan, kengerian yang disimpan di dalam dada gadis itu terhadap Jaka Soka kini meledak dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia mencoba menenangkannya. “Wilis. Tenanglah. Aku Mahesa Jenar.” Nama itu benar-benar berpengaruh dihati Rara Wilis. Kini ia tidak meronta-ronta lagi. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya laki- laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya dan dijatuhkannya kepalanya didada laki-laki itu. Tangisnya pecah seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak tangisnya terdengar suaranya gemetar. “Kakang aku takut.” “Jangan takut Wilis.” Kata-kata Itu bagi Rara Wilis seperti air sejuk yang menyiram tenggorokannya pada saat ia kehausan. Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras. Dan kembali kata-katanya yang gemetar terdengar. “Kakang, aku hampir gila dibuatnya.” “Kini ia tidak akan menakut-nakuti lagi Wilis,” jawab Mahesa Jenar.
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93 “Ia tidak mengejar aku?” bertanya Rara Wilis. “Ular Laut itu telah mati,” jawab Mahesa Jenar. “Mati?” ulang Rara Wilis. “Siapakah yang membunuhnya?” “Kau. Pedangmu,,” jawab Mahesa Jenar. “Oh....” dan Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat. Sesaat mereka tenggelam ke dalam perasaan yang tidak menentu. Tiba-tiba dada Rara Wilis menjadi lapang, selapang Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah kaki mereka. Kini ia tidak akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka Soka. Matanya yang redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya. Memang sejak pertemuan yang pertama dengan Ular Laut itu dihutan Tambak Baya, ia tidak pernah dapat tenang apabila wajah yang selalu membayangkan senyum dibibir tipisnya serta sinar yang memancar dari matanya yang redup namun penuh nafsu itu membayang di dalam angan-angannya. Dan kini orang yang mengerikan itu telah binasa. Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa Pening dan segerombolannya nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus berhadapan dengan wajah- wajah yang buas bengis itu, daripada wajah tampan yang memancarkan nafsu yang mengerikan. Lebih baik dadanya terbelah hancur dan mati daripada ia harus jatuh ke tangan Ular Laut dari Nusakambangan itu. Tetapi masa-masa yang mengerikan itu telah lampau. Kini ia berada ditangan laki-laki tempat ia menyangkutkan harapannya dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk perasaannya. Tanpa ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ketika matanya terdampar ke arah api yang masih menyala-nyala itu,
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93 terdengar ia bergumam. “Wilis, meskipun Jaka Soka telah binasa, namun bekas tangannya itu masih membahayakan Banyu Biru”. Rara Wilis kemudian terdampar dibumi kenyataan setelah angan-angannya melambung tinggi setinggi bintang-bintang dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya memandang api yang menyala-nyala itu, “Bagaimana dengan api itu kakang?” “Marilah kita kembali,” ajak Mahesa Jenar. Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului Mahesa Jenar kembali ke tempat kuda-kuda mereka. Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara dan Endang Widuri berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah berdiri pula seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas. Ketika mereka melihat Rara Wilis berjalan kembali diiringkan oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas dalam-dalam. “Tidakkah kau mengalami sesuatu,” terdengar Ki Ageng Pandan Alas bertanya kepada cucunya. Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika terpandang olehnya mayat Jaka Soka yang menelungkup di muka kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya. “Aku melihat semua yang terjadi di sini,” berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Ketika aku datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah Sora aku melihat kalian berkuda. Aku sudah mengira apa yang akan kalian lakukan, namun aku tidak segera dapat menyusul. Aku terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu kepada suaminya, baru aku menyusul kalian. Tetapi ketika aku melihat dikejauhan lima orang berkuda, aku menjadi curiga. Karena itu aku mendekatinya dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian demikian tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku melihat kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93 lawannya.Karena itu aku terpaksa berdendang lagu Dandang Gula.” “Suara eyang merdu sekali,” tiba-tiba Widuri menyela. Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Kemudian katanya, “Lalu bagaimana dengan api itu?” Serentak mereka menoleh kearah api dilereng bukit. Api itu masih menyala. Namun agaknya api itu tidak jauh maju. Bahkan dibeberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak lagi menjilat langit. “Api itu susut,” gumam Mahesa Jenar. “Mudah-mudahan usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyu Biru berhasil,” sahut Kebo Kanigara. “Api itu tidak akan dapat menjalar terus,” sambung Widuri. “Tetapi api itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh Rakyat Banyu Biru itu,” sahut Mahesa Jenar. “Marilah kita lihat,” berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Aku akan mengambil kudaku.” Sesaat kemudian mereka telah mengambil kuda masing- masing. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati padas- padas dilereng bukit itu, menyusup beberapa gerumbul untuk mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah berpencar ke Banyu Biru. Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling depan, tiba-tiba berhenti. Katanya, “Paman Pandan Alas, api itu berhenti di sini.” Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan keningnya, “Ya, api itu berhenti di sini.” “Aneh,” desis mereka hampir bersamaan.
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93 Untuk sesaat mereka berhenti termangu-mangu. Api itu tidak menjalar terus keatas. Dikejauhan masih terdengar campur baur dari suara ranting-ranting yang terbakar dengan suara teriakan- teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih berusaha menarik garis batas antara daerah ilalang dan perdu yang dimakan api dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan hutan- hutan buah-buahan. Sekali-kali mereka masih melihat beberapa ekor kijang, babi hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari meninggalkan daerah yang panas itu. Tiba-tiba dada Mahesa Jenar terguncang dahsyat. Dalam bayangan cahaya api yang kemerah-merahan, ia melihat sesosok tubuh yang berdiri tegak diantara batang-batang ilalang. Demikian terkejutnya sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kakang, kau lihat orang itu?” Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia pun melihat bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan yang lain-lain pun akhirnya melihat pula. “Siapakah dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri. “Pasti bukan Jaka Soka,” sahut kakeknya. Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh. Seseorang berdiri diantara batang-batang ilalang yang sedang dimakan api. Kalau api itu menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi abu pula. Namun agaknya api itu berhenti. “Angin tidak bertiup lagi,” desis Mahesa Jenar. “Batang-batang ilalang itu belum kering benar,” sahut Kebo Kanigara. Tetapi Mahesa Jenar tidak puas dengan sangkaan- sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya sambil berkata, “Akan aku dekati orang itu.”
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93 “Tetapi kalau api itu menjalar,” Wilis mencoba untuk mencegahnya. “Tidak. Api itu benar-benar berhenti disini. Kalau tiba-tiba api itu bergerak, aku dapat berlari menjauhinya,” jawab Mahesa Jenar. “Aku pergi bersamamu,” sahut Kebo Kanigara. “Kita pergi bersama-sama,” sambung Endang Widuri. Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka. Segera yang lain pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi demikian mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik membasahi pakaian mereka. “Air,” teriak Widuri. Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air. Maka katanya, “Air dari blumbang yang dijebol.” Kemudian, mereka diam. Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati bayangan yang dilindungi oleh batang-batang ilalang. Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan garangnya dan pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh mereka. Baru beberapa langkah mereka berjalan, peluh telah mengalir dari lubang-lubang di kulit mereka. Selain panas yang membelai wajah mereka, merekapun harus berhati-hati. Apakah orang itu salah seorang dari kawan Jaka Soka, atau orang lain yang belum mereka kenal. Mereka tidak tahu apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api yang sedang marah. Semakin dekat, hati mereka semakin berdebar-debar. Ketika mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Orang itu adalah seorang tua yang berwajah tenang dan dalam dan mengenakan jubah putih.
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93 “Panembahan Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu bergumam. “Ya, Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan. Mereka menjadi yakin ketika orang tua itu menoleh ke arah mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh cahaya api itu memancarkan sebuah senyum. “Marilah, marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan. Perlahan-lahan mereka berlima berjalan mendekati Panembahan Ismaya. Sambil membungkuk hormat Kebo Kanigara menyapanya, “Sela- mat malam, Panembahan.” Panembahan tua itu meng- angguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah Datanglah kemari.” Mereka berlima melangkah lebih dekat lagi. Dan sekali lagi mereka menekan gelora di dalam dada mereka, ketika mereka melihat bahwa Panembahan Ismaya meme- gang di kedua tangannya sepasang keris yang bercahaya. Bahkan demikian terguncang hati Mahesa Jenar, sehingga tanpa sengaja ia berdesis, “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.” Rara Wilis dan Endang Widuri terkejut. Agaknya itulah keris- keris pusaka Kraton Demak yang menggemparkan itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata, “Pantas, api itu berhenti di sini.”
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93 Panembahan Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan terdengar Panembahan itu berkata, “Aku sedang berusaha membantu rakyat Banyu Biru.” “Panembahan.” Terdengar Kebo Kanigara bertanya, “Apakah karena kedua keris itu maka api berhenti di sini?” “Aku tidak tahu,” jawab Panembahan Ismaya, “Aku tidak tahu kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup lagi, apakah karena batang-batang ilalang disini masih jauh lebih basah daripada lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang mengalir di bawah kaki kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris ini. Atau karena semuanya. Tetapi yang jelas adalah Tuhan telah berkenan memenuhi permintaan rakyat Banyu Biru. Api itu tidak membinasakan mereka, pedukuhan mereka dan sumber hidup mereka.” Yang mendengar kata-kata itu menundukkan wajah mereka. Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha Agung. Air, keris-keris itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan Yang Maha Kuasa telah memenuhinya. “Api itu telah surut.” Kembali terdengar Panembahan Ismaya berkata, “Mudah-mudahan sebentar lagi api akan dapat dikuasai dan menjadi padam.” “Mudah-mudahan,” sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti demikian saja meloncat dari bibirnya. Kemudian kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya berkata, “Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera selesai.” Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api telah hampir padam samasekali. Hanya merah-merah baranya yang masih tampak memecah kepekatan malam.
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93 Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyu Biru berteriak- teriak, “Api telah susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain meninggi, “Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan berhenti sebelum padam samasekali.” Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menya- rungkannya di warangkanya masing-masing. Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun kemudian kembali surut. Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya. Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu menyapanya, “Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api itu.” Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Api itu benar-benar mengejutkan, Panembahan.” “Tetapi sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan Ismaya. “Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan Rangga Tohjaya.” “Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya Mahesa Jenar. “Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya, “Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93 Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga dengan senyum ia berkata, “Meskipun demikian Mahesa Jenar, pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah- mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini kau dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.” Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan. “Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka. “Menyerahkan keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan Ismaya. “Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?” tanya Mahesa Jenar pula. “Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu. “Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan serahkanlah ke Demak bersama-sama anak gembala itu.” “Dan beruntunglah kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu yang nakal itu.” “Karebet?” sahut Kebo Kanigara. “Ya,” jawab Panembahan Ismaya. “Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo Kanigara, “Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan kesalahan di istana.”
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93 “Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab Panembahan Ismaya, “Ia sedang membuat suatu rencana permainan yang mengasyikkan.” “Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara. Panembahan Ismaya menggeleng lemah, “Aku tak tahu,” jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang merahasiakan sesuatu. Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas sebelum mereka melihat api itu padam samasekali. Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata, “Kembalilah kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak untuk seterusnya. Banyu Biru akan pulih kembali. Gajah Sora telah berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah meyakini kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi korban. Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati, hati yang setia dan teguh pada janji.” Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar- debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan. “Ki Ageng,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya bersungguh- sungguh, “Sungguh aku tak mengenal kesopanan, namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk melamar cucu Ki Ageng.”
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93 “Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk, “Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.” Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam. Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu berkata, “Marilah kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu- tunggu oleh rakyat Banyu Biru.” Kemudian kepada Mahesa Jenar Penambahan berkata, “Setiap saat kau dapat datang kepadaku bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama menunggu. Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.” Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh perasaan, “Terima kasih Panembahan.” Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata, “Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak sekarang. Kami akan segera datang.” “Terimakasih. Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas sambil tertawa. Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang- batang ilalang dan batu-batu yang terendam air. Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Tak perlu orang-orang lain mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau bercerita tentang anak nakal itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93 usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia akan muncul kembali bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah berada di tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu- satunya orang selain kalian yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang boleh mendengarnya.” Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Baik Panembahan.” “Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.” Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia meneruskan perjalanannya kembali. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya. Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu. Bahkan terdengarlah Widuri berbisik, “Ayah, kasihan Panembahan. Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?” Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyu Biru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab, pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk mengantarkannya. “Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya, “Apakah Ayah tidak mengantarkannya?”
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93 “Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara. Kemudian kepada Widuri ia berkata, “Antarkanlah, Widuri. Aku masih mempunyai kepentingan di Banyu Biru. Aku akan tinggal di sini.” Widuri mengerutkan keningnya. “Kenapa aku?” “Selain aku, kaulah orang yang terdekat” jawab Kanigara. “Emoh” sahut Widuri sambil menggeleng. “Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan Panembahan” sambung ayahnya. Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab, “Aku belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti kemarin.” “Besok kita kembali ke Banyu Biru,” desak ayahnya. “Emoh,” Widuri menggeleng lebih keras, “Aku mau tinggal di Banyu Biru” “Apa kepentinganmu di sini?” bertanya ayahnya. Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang dimalam hari? Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia bahwa ayahnya sedang menggodanya. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras- keras “Jangan Widuri,” ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang lainpun
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93 mengetahuinya. Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula, “apakah di Banyu Biru ada yang mengikatmu Widuri?”. “Ada,” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya. “Siapa?” desak Wilis. “Jaka Soka,” jawabnya. Dan yang lainpun tertawa pula meskipun Widuri masih bersungut-sungut. Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata, “Biarkanlah Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah Sora.” Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat ke punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun demikian kuda-kuda itupun berlari cukup cepat. Banyak persoalan yang berputar-putar dikepala Rara Wilis dan bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar dan GajahSora menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan. Meskipun demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti akan mengatakannya. Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh ke lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak berdaya lagi untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93 yang lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke selatan menghantam bukit. “Api telah padam,” desisnya. Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas api itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing bukit. Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul setelah mereka berjuang menebas perdu dan alang-alang serta mengalirkan parit ke lereng bukit. Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar tangkai pacul maka segera disapanya, “pekerjaan paman ternyata berhasil.” Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab, “Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.” “Ya,” sahut Mahesa Jenar, “pekerjaan kita semua.” “Dari manakah anakmas tadi?” Wanamerta bertanya. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya segera meloncat turun dari kuda-kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu, berkatalah Mahesa Jenar, “Mengejar kelinci.” “He,” Wanamerta heran. “Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini” “He,” sekali lagi Wanamerta keheranan. “Nanti aku ceritakan,” sahut Mahesa Jenar, “Di mana kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?” “Di sana,” jawab Wanamerta, “Di sebelah timur”.
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93 “Aku ingin menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil melangkah. “Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak, “Siapa?” “Kakang Gajah Sora,” jawab Mahesa Jenar. “Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu bergumam, “O.....” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat kelabang. “Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap- cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat, “Tetapi, bukankah Ki Ageng berada di Demak?” “Sudah pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek. “Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta. Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya. Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah timur. Terdengarlah ia berteriak-teriak, “He, Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.” Laskar Banyu Biru yang baru saja datang dari Pamingit tidak terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang mereka suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyu Biru, teriakan itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyu Biru yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka. Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah Wanamerta itu berteriak keras-keras, “Angger, kau telah datang di antara kami.” Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali. Gajah Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan orang tua
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93 itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis. Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata, “Aku telah melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku, maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di Banyu Biru. Dan kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya Angger akan kembali.” “Terimakasih Paman,” jawab Gajah Sora. Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya. Kemudian Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit getir bersama rakyat Banyu Biru yang setia. Setia kepada cita-cita mereka, setia pada tanah mereka. Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit dan Banyu Biru. Tak ada persoalan lagi antara Banyu Biru dan gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka. Namun mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab mereka gugur dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih sesama, rasa cinta kasih kepada Tuhannya. Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan kerja. Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali lereng-lereng bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah pula.
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93 Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening, sibuklah orang-orang Banyu Biru dengan kerja masing-masing. Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka yang terang. Mereka telah merencanakan untuk menye- lenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan cinta kasih- Nya kepada rakyat Banyu Biru. Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyu Biru, berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada bidang, berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru. Dengan wajah yang cerah ia melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang janur-janur kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar. Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi selangkah ia pergi menemui gadis itu. “Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka. Gadis itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia menggeleng, “Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.” “Kita pergi berdua,” ajak Arya Salaka. Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab, “Aku menunggu Ayah.” Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93 mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah mengajaknya pula. Maka katanya, “Baiklah Widuri. Nanti aku datang kembali.” Dan Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah. Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang. Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceritakan beberapa persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sehingga akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil mengangguk- anggukkan kepalanya, “Baru sekarang aku menjadi jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa pekerjaanmu sudah hampir selesai.” “Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar, “pekerjaanku telah hampir selesai” “Pada suatu saat, Anakmas....” kata Ki Ageng pula, “Aku ingin juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti yang Anakmas ceritakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga masa.” “Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar, “Besok aku antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.” Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar hiruk-pikuk di halaman. “Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93 “Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil melangkah keluar. Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah kata pun terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir. Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak, terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Adakah kau ingin kembali ke Gunung Kidul?” Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya, “Aku mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.” “Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar. Rara Wilis tersenyum, katanya, “Terserahlah kepada Kakang.” “Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh. “Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak bersama-sama Jaka Tingkir?” “Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga. Tenang dan tentram.” Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan karena mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama berjuang untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas mereka. Mahesa Jenar samasekali tak mengharapkan bahwa kelak namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal atau dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia hanya
  • 49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93 mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya. Menemukan sipat kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah kewajiban yang seharusnya dilakukan. Sekali lagi menggemalah tekad di dalam dadanya, bahwa pengabdian tidaklah harus dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di antara rakyat pun ia akan dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan pengabadian bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa Besar yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan Banyu Biru. Masih ada beberapa persoalan yang harus ditungguinya. Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo Kanigara masih harus menemui Mas Karebet. Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Hari yang cerah bagi Banyu Biru dan Pamingit. Hari-hari yang cerah pula bagi Arya Salaka dan Endang Widuri. Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan menunggu waktu terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu merayap-rayap meninggalkan usia mereka. Tetapi di Banyu Biru terasa menjadi semakin sepi. Mantingan dan Wirasaba harus kembali ke tempat masing-masing. Wirasaba harus kembali ke istrinya yang setia, sedang Mantingan harus kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang. “Kakang Mahesa Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri dari Banyu Biru, “Aku akan datang kembali menemui Kakang nanti apabila datang saatnya Kakang memerlukan aku. Mantingan sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan Kakang? Aku akan membawakan cerita yang paling menarik, Parta Krama.” Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum menanggapi kata-kata Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan wajahnya yang
  • 50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93 kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada saatnya. Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian meninggalkan Banyu Biru, menuju ke timur, Prambanan. Banyu Biru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus mereka kerjakan untuk tanah perdikan mereka. Hanya dengan kerja, maka tanah mereka akan mencapai nilai- nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan orang-perorang. Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga karenanya tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang dengan kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras hati mempertahankan pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Yang ada kemudian adalah kerja, membanting tulang. Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun kelak mereka akan menuai bersama-sama pula. III Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyu Biru, maka Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri. Persoalan kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang didengarnya dari Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut Panembahan Ismaya, bahwa seorang Wali telah meramalkan hari depan yang gemilang buat anak nakal itu. Namun kini, anak itu ternyata sedang disingkirkan oleh Sultan, karena pelanggaran- pelanggaran yang telah dibuatnya. Demikianlah maka kemudian Kebo Kanigara itu memerlukan menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka bersepakat untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit Telamaya, supaya setiap pembicaraan dapat mereka lakukan
  • 51. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93 dengan tidak bersegan hati terhadap orang-orang lain yang mendengarnya. Malam itu langit yang cerah ditandai oleh sepotong bulan muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas, sedang Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan- akan seorang tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang dirinya. “Karebet,” kata Kebo Kanigara perlahan. Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian ditundukannya lagi. Yang terdengar adalah suaranya parau, “Ya, Paman.” “AKU telah mendengar beberapa cerita tentang dirimu diistana. Sehingga akhirnya kau terpaksa disingkirkan karenanya. Menurut para perwira yang datang ke Pamingit, kau telah membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan sadak kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat membaca bahwa bukan itulah yang telah kau lakukan. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah sebabnya kau diusir dari istana?” Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam. “Katakanlah, Karebet,” desak Kebo Kanigara. Karebet menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, “Bukan semata-mata salahku paman” Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara mendesaknya, “Apa yang terjadi?” “Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku,” jawab Karebet terbata-bata.
  • 52. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93 “Lalu?” “Aku pun bersikap baik kepadanya,” jawab Karebet “Hanya itu?” Karebet mengangguk, “Ya.” Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya, “Hanya itu?” “Oh. Tidak Paman,” sahut Karebet cepat-cepat. “Lalu?” “Pergaulan kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet, “Mula- mula aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan kami masing-masing berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan tidak senang melihat pergaulan itu. Agaknya karena aku tidak lebih dari seorang lurah Tamtama pada waktu itu.” “Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?” Karebet mengangguk. “Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?” Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya, “Ya. Tetapi bukan maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap kali kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang tamtama, sedang putri Sultan itu, entahlah apa saja yang dilakukan di luar keputren.” Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mempercayai sebagai cerita kemenakannya. Namun ia tahu pula sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata pula, “Kemudian akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami itu. Sultan marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku dipindahkannya.”
  • 53. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93 “Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada Sultan?” “Aku telah mencoba,” jawab Karebet, “Tetapi ada orang ketiga yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.” Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Siapa?” “Tumenggung Prabasemi.” Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah kepentingannya?” Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke dalam suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan pamannya. Namun kemudian diceritakannya apa saja yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak ada yang dilampauinya. Bahkan cerita itu seakan-akan merupakan tuangan kekesalan hatinya, atas peristiwa yang tak diharap-harapkan. “Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat sampai sedemikian jauh,” kata Karebet. “Kau kenal orang itu baik- baik?” “Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi dengan baik. Seorang Tumenggung yang masih muda. Namun karena kesaktiannya, ia cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang perwira Tamtama yang gagah perkasa.” “Apa yang sudah dilakukannya?” Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan peristiwa- peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali. Peristiwa demi peristiwa. Mulai dari permulaan sekali. Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan putri Sultan itu belum diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat merahasiakan getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika,