SlideShare a Scribd company logo
1 of 91
Download to read offline
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91
I
alam yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam
yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak
anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang
melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti
semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga
penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh
lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang
yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh
langkah. Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara
langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih
benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat
tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang
diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih
ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam.
Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi
isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian
mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka
tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari
ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai
arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika
semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan,
berjumlah sepuluh orang.
Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat
pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum
tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru
kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong
mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.
“Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis
pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang
dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus
berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan
perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota
M
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91
gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun
yang lalu.
Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu
gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari
mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal
melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang
itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur
bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan
Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya.
Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya
mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak
lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.
Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri
samasekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu
geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam,
namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.
Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang
bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah
orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada
penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang
bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang,
tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam
keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya.
Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu
Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah
pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain,
Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi
kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis
lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang. Mereka itulah
anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke
perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit,
Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang
berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91
Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata
perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh
Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari
gardu itu. “Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar
dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih
terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini
adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri,
lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau
ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya.
Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama-
sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang
pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”
Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru.
Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu
pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah.
Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum
akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para
penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.
Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama.
Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali
dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan itu berkata, “Ki Lurah, tak seorang penjaga pun
yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka
bertugas.”
“Bagus….” dengus Lawa Ijo, “Lalu apa lagi yang kalian lihat?”
“Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman
melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-
kurusan, yang bernama Carang Lampit.
Lawa Ijo tertawa pendek. “Aku kira Mahesa Jenar tidak akan
kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat
diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan
keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91
berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila
ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang
khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.
Setelah suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti,
Carang Lampit meneruskan laporannya, “Ki Lurah, menurut
penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu
kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang
penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah
berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”
“Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,”
dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu
pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah
yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh
Endang Widuri.
Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit
tertawa. “Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya
apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”
“Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di desaku dahulu gadis-
gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya. Dan
memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin.
Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”
“Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,”
jawab Bagolan.
“Akulah orangnya,” jawab Jadipa.
Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang
dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap
berkata, “Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari
kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”
Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan
gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri, “Aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91
sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya.
Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”
Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo
berkata, “Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat
mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap
terpenting?”
“Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang
sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-
penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang
penjagapun,” jawab Carang Lampit.
Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut
laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru
bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan
Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di
perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-
beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang
menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba.
Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa
bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut
Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka
sendiri.”
“Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.”
Kemudian Lawa Ijo meneruskan, “Kalau demikian pekerjaan
kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali
menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka.
Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini
jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap
berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di
tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk
mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk
keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang
yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91
memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan
demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar
Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai
Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu.
Ia menjadi bergembira sekali, seolah-olah Banyubiru telah jatuh
ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten.
Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan
bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia
mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali
pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para
pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba.
Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya.
Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu
sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-
nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada
keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar,
Widuri sendirilah yang telah bercerita.
Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo, “Nah,
sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para
pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan
kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut
pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang
Lampit…?”
“Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang
Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati
Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-
tama akan memasuki pondok Rara Wilis.
Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah
dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91
Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh.
Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan
bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan
segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba
ada di dalam kemah itu.
Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin
lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa
saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika
mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar,
Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir
beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk
kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo
tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin
marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu,
baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka.
Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.
Dalam pada itu, Widuri sudah tidak berbaring lagi. Ia duduk di
belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua lututnya. Ia menjadi
jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan
Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar.
Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka.
Ketika mereka mendengar derap kaki beberapa orang
mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk
mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka
kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja
menggenggam senjata mereka semakin erat.
Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari
perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara, “Inikah pondok itu,
Carang Lampit?”
“Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain, “Itulah mereka, para penjaga
yang jatuh tertidur.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91
Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek. Sahutnya,
“Bagus. Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang
masuklah dan tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka
kita perlukan. Bukankah gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang
dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita
pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut yang
gila itu.”
Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia
menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya, sehingga
sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa.
Meskipun ia samasekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu,
namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada
harus bertempur melawannya.
Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak mengenang
pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu,
karena di luar kembali terdengar suara. “Carang Lampit, bawalah
Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka
hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka
melawan, ia dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di
dalam pondok itu pula.”
“Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain.
Bersamaan dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di
dalam pondok itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Menilik
langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam, mereka pasti
terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka yang
ada di dalam.
Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengarlah
suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara tertawa itu tidak
begitu keras dan samasekali tidak mengerikan. Orang-orang yang
berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di
luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di luar
pondok itu berkata, “Hai Carang Lampit, siapakah itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91
“Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain.
“Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah
suara Lawa Ijo sendiri. “Masih ada orang yang dapat
membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”
Kemudian terdengarlah suara di kejauhan, “Lawa Ijo, sebagai
penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”
“Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo.
“Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang
bernama Mantingan,” jawab suara itu.
“Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang
Mantingan yang sakti?”
“Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa
Ijo,” jawab Mantingan. “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang
dalang.”
“Bagus….” jawab Lawa Ijo. “Bahwa kau dapat membebaskan
dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda
bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu
berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku.
Apakah kau sudah bosan hidup?”
“Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya, “Aku
samasekali masih belum bosan hidup.”
“Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.
“Aku samasekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku
sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan.
“Diam!” teriak Lawa Ijo marah. “Kemarilah dan katakan cara
apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah
menghina aku.”
“Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91
“Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras. “Kalau begitu,
pilihlah cara yang kau senangi untuk membunuhmu.”
Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan
renyah. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan bahwa aku masih
senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh, apakah
keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?”
“Setan!” umpat Lawa Ijo. “Kalau begitu, aku akan
memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara
yang aku senangi.”
“Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan
mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu
memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.
Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia
berteriak kepada Wadas Gunung, “Wadas Gunung, tangkap orang
itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang
kepalanya.”
Mendengar perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia
tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri. Tetapi
rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil
tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya, “Ki Dalang
Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”
Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia
selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu. Mendengar suara
seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh
sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah
melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan
garangnya ia berkata, “Carang Lampit, ternyata masih ada orang-
orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”
Carang Lampit tidak menjawab, tetapi terdengar giginya
gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat maju dan
seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91
tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati
panjang di tangan kiri.
Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang berdiri di
bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah
berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang
Jaladri dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas
menghadapinya. Segera ia meloncat ke samping, dan kemudian
berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian
dengan garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit
menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang bengis
menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas
pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.
Mantingan melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula-
mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi
kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah
pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui
bahwa Jaladri pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan
salah seorang anak buah Gerombolan Alas Mentaok yang terkenal
itu. Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan-
kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa berkedip.
Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan
Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya, “Siapakah
orang itu?”.
“Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang
anak buahnya.
“Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung. “Aku ingin
menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”
“Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung.
“Yang lain jangan menunggu seperti orang nonton adu jago.
Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup.
Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana. Kalau tidak, cari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91
sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan dari
tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.
“Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula.
Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi
setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah
pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia
melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri.
Sebab melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah
pekerjaan yang ringan. Maka segera ia pun melangkah dua
langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo.
Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada kesaktiannya,
menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia
seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan,
tidak akan banyak membuang tenaga.
Ketika ia tetap berdiri beberapa langkah dari mantingan masih
saja ia sempat berkata, “Hai Mantingan. Kalau kau mencoba
melawan maka kau akan menyesal”
Mantingan masih tetap berdiri di tempatnya. Sepintas ia
melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk memasuki
pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi
Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan
untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap
bahwa orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu
berbahaya.
Karena Mantingan tidak segera menjawab perkataannya, Lawa
Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan membentak keras
ia mengulangi, “Mantingan. Tidakkah kau dengar kata-kataku?
Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan
demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami
penderitaan pada saat akhirmu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91
Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja
menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar
dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu
terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke
arah kepala orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas.
Dengan cepat ia meloncat mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak
memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia meloncat keluar
dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan sekali.
Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat
berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang
lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka
samasekali tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi
Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau
di Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup
terlatih menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu
yang pendek mereka telah siap dengan senjata-senjata mereka
untuk melawan Wirasaba. Namun yang samasekali diluar
perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun
telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya
Salaka dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah
gadis dengan wajah berseri-seri bermain-main dengan sebuah
rantai perak sebesar ibu jari. Untuk beberapa saat mereka menjadi
heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari
pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa
mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi
mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang,
sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya
berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap
penjuru. Demikianlah kemudian mau tidak mau, gerombolan Lawa
Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara Wilis dan
Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis
dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan
ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus
mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor
burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91
Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian
menghentikan langkahnya. Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir
tidak percaya pada penglihatannya. Samar-samar dalam
kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu.
Perkelahian antara anak buahnya dengan beberapa orang yang
muncul dari dalam pondok
yang telah hampir saja
dimasukinya. Apalagi kemudi-
an ketajaman matanya dapat
menangkap bahwa yang
bertempur itu adalah dua
orang gadis, seorang anak
muda disamping orang yang
gagah dan bersenjatakan ka-
pak. Bahkan kemudian tanpa
disengaja ia bergumam, “Sia-
pakah mereka itu?”
Dan tanpa disengaja pula
Mantingan menjawab, “Mereka
itulah yang telah kau sebut-
sebut namanya.”
Lawa Ijo tidak berkata-
kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran
itu. Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat
dengan Wirasaba dapat melawan delapan orang anggota
gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan baiknya. Pedang
Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar
dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan
gumpalan-gumpalan sinar maut yang bergulung-gulung
menyerang lawannya. Disamping itu masih ada lagi cahaya yang
berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang
sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya.
Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di
lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91
maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini
cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang
kecil dapat mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang-
kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar lawannya untuk
kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun Endang
Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun
sekali-kali Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun
anak nakal itu kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa
pertempuran kali ini bukanlah permainan anak-anak. Di sebelah
lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak
pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling, namun
kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian
membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya.
Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba
menyerangnya dari arah yang berlawanan.
Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban
melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya
dari Lawa Ijo. Ia samasekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis
adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan
kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi
lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka
itu. Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula
harus dilindungi itu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya
sendiri. Disamping perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa
bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka adalah anggota
gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis
dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka
sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya.
Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang
seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa
Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah
bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang.
Lawa Ijo masih saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang
bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91
ketika ia melihat Wadas Gunung samasekali tidak berdaya
menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus
membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan
dengan Widuri, mencoba mencari lawan lain. Bersama dengan dua
orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka. Ternyata Arya
Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk
melawannya bertiga, samasekali tidak menyulitkan anak muda itu.
Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan
Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu.
Ia merasa bahwa gadis kecil itu samasekali bukanlah pekerjaan
yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir
saja kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri,
barulah ia sadar bahwa gadis itu benar-benar luar biasa. Karena
itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa ia hanya sekadar
melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir
seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan
namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba
sendiri masih harus melayani dua orang yang mengeroyoknya.
Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan Mahesa
Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu.
Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah
benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk melawan
kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras.
Ketika Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu,
dengan garangnya ia berteriak, “Hei Wadas Gunung, Tembini dan
Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu baik-baik.
Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang
banyak tingkah itu.” Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa
Ijo berkata, “Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”
Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak-
kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya, “Kalau kami tidak
akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91
Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo
sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga untuk
mencari jawabnya. “Kalian akan kami bawa ke rumah kami.”
Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak
terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil mendesak
maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan, Kami
akan merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak
dapat kami terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga
seandainya kalian tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya
kami saja yang membunuh kalian.”
Juga, kata-Kata Endang Widuri itu samasekali juga tidak
terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah marah.
Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan
Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap
hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan
sangat hati-hati supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan
Lawa Ijo sudah memuncak, ia berteriak keras-keras, “He, Wadas
Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah
gadis-gadis itu menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan
kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk kepentingan
kalian.”
Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar
tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap setiap
perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang
mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah
meningkat dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan,
sangat sakit hati atas anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari
barang taruhan. Karena itu tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat.
Dari matanya memancarlah perasaan sakit hati serta
kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi
bertambah garang dan berputar-putra mengerikan.
Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi sangat malu
mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91
murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Tetapi karena perhatian Pasingsingan sebagian besar
dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang
diberikan kepada murid mudanya itu. Meskipun demikian karena
pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah
orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah
ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang
lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan
sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh
tangannya.
Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini, seorang
yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan
Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah-
olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu
diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan
sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung.
Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan
Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun terakhir
Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam
jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut
ayahnya kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir
setiap saat Rara Wilis yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu
benar-benar selalu bermain-main dengan pedang tipisnya. Apalagi
kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari
Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi
itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat. Karena itulah
kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah
terkenal jauh sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata.
Demikianlah ketekunan kakeknya itu, samasekali tidak sia-sia.
Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali,
meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir,
yang kemudian disusul dengan pertempuran yang terjadi di
Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat
perhitungan dengan janda ayahnya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91
Dengan demikian, meskipun kali ini ia harus bertempur
melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia
samasekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya
telah tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan
tenaganya untuk menekan lawannya.
Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan
Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya.
Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah
bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan
pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka samasekali
tidak putus asa.
Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia
tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu
kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah
mendekati lingkaran pertempuran.
Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat
Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang
bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di
belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu
seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut
dengan penuh gairah.
Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu
semakin lama menjadi semakin terdesak.
Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia
menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia melompat
menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan
pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya.
Karena itu segera ia berkata, “Lawa Ijo, apa yang akan kau
lakukan?”
Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk,
menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab, “Aku akan
membunuh mereka itu satu demi satu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91
“Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.
Hati Lawa Ijo yang sedang menyala-nyala itu menjadi seperti
disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu. Karena itu
ia menjawab sambil berteriak, “Kau…!”
Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya
itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia memutar
tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau
belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram, “Aku
bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku
merah. Setelah itu, baru yang lain.”
Tetapi Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu
ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak gugup. Dengan
cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya bergerak
memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas.
Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya,
kemudian menyerang kembali dengan ganasnya.
II
Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran yang
tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang,
menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak
henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya
dengan baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar-
putar ke arah badai bertiup. Dengan demikian Mantingan selalu
dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi
yang sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup
diantara serangan-serangan Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya
dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan dari beribu-
ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah daya
kesaktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga
sasarannya seolah-olah samasekali tidak mendapat tempat untuk
mengelak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91
Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid
Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan bertopeng
menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan
berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun
berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk
penerapannya sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai
ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar
biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan
dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung
Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu
warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi oleh
Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu Mantingan harus berjuang
sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran
bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat
menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah
bekerja lebih tekun lagi.
Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan cara yang buas
sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai
tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah
cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur
dengan penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali
ia mengalami tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak
terpikir olehnya untuk ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara-
cara yang kasar dan curang.
Dalam pada itu, semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan
tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan yang
menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah
bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai
seorang dalang yang selalu mengembara dari satu tempat ke
tempat yang lain untuk menyebarkan kisah-kisah kepahlawanan
yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan Ramayana, dan
sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan
pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91
gangguan lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman
itulah Mantingan menempa dirinya di perguruan Wanakerta.
Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa
ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia harus
berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak
ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur.
Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap
saat dan keadaan untuk membantu dirinya. Meskipun demikian
hati Mantingan mengeluh juga. “Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya.
“Tetapi aku harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang
sama dengan waktu yang diperlukan oleh Wadas Gunung dan
Carang Lampit.”
Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran
pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi berbesar hati.
Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara Wilis
harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan
demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari
serangan bersama yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang
dahsyat. Untuk melawan Lawa Ijo sendiri, Mantingan masih belum
dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu. Tetapi ia masih
mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak
musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat
merasakan kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia
tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk
kepalanya. Gadis itu bertempur samasekali seenaknya saja,
meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh
pendek gemuk seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai
di kedua tangannya. Tetapi Mantingan tidak mempunyai waktu
banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan.
Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis.
Bahkan kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti
baling-baling untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari
patukan pisau-pisau belati panjang Lawa Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91
Lawa Ijo yang ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin
melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan
mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa
Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya,
sehingga selubang jarum pun tak berhasil ditemukan untuk
menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar bahwa Mantingan
kini tinggal mampu mempertahankan diri.
Demikianlah Mantingan bertahan mati-matian untuk
memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap
Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti
kedudukannya.
Di bagian lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang.
Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia berlari-
lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi menghadapi
lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan
dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan
dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang
seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran
anginnya. Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh
Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus
menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan
rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya pening. Segera
Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil menggerutu tak
habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga raksasa
melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka sekali-
kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya.
dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap
serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini.
Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak
menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang
terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus menghindarkan
rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali dalam
kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan
memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91
akan merampas bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan
anak-anak seperti dirinya yang senang pada permainan aneh-
aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo
yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak.
Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher
seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam
benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini.
Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang
kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia
berhasil menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan
dengan Jadipa. Gadis kecil harus ditukar sedikitnya dengan
sebuah timang bermata berlian tiga rantai seperti yang
dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu. Tetapi
ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang
timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada
kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap
saat terancam akan terlepas dari lehernya.
Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat meninggalkan
lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang
lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan
pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking
dan Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih.
Ternyata kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan
perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran.
Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat
mengalahkan Wirasaba.
Demikianlah ketika malam bertambah malam, pertempuran itu
pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi
peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka pun
menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud
untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-
lawan mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91
menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang semakin
berbahaya.
Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk
mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini benar-benar
telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya
terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru.
Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia samasekali
tidak gelisah, bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan
Lawa Ijo menjadi semakin sengit. Namun justru karena itulah
maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak
kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan
dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam
keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih
cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu.
Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin
segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama
usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh
kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring.
Kedua pisaunya disilangkan di atas kepalanya, sedang dari
matanya seolah-olah memancar api yang menyala-nyala.
Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu apa
maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin
bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan.
Dengan demikian Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih
melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu
bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka
itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka,
supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika Lawa Ijo sudah
siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan
membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir
kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama
sebelum Lawa Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun
demikian ia tak dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat
Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya. Waktu yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91
diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama.
Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan
menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun
dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu
pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab
kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan
udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas
itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh
kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam.
Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan
garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang
sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat
kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang
membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan
tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan
demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke
depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan
dua pisau belati di tangan.
Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba
terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh
terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada
Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika
ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya
Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah
merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah
Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat
keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia
berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo. Karena
untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang
terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada
Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului
gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur
Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas
Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan
langkah terakhir Lawa Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91
Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa
Ijo samasekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi
semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari
mulutnya terdengar umpatan, “Persetan kau Tembini. Matilah kau
kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita
sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang
memalukan.”
Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang
bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat
berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu
Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti
Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.
Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata
ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti
selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti
lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya
dengan sesukanya. Memang, beberapa kali Bagolan telah
merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri.
Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil
itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu
bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan
terkelupas habis.
Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah
menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang
membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya
api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun
yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak
bersama-sama dan mati bersama-sama sekali pun. Ia akan
membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan
Arya Salaka.
Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak
muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke
arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang
manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata, “Paman
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91
Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara.
Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini.
Beberaoa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur
mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan
Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah
aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah
dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk
sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu.”
Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya
untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu
hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian
marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di
tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan
Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya?
Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap
arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja
bertempur melawan Arya Salaka.
Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini
tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran
berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis
melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan
Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan.
Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan
bertanya, “Di manakah lawan Angger tadi…?”
Arya Salaka masih saja tersenyum. “Aku terpaksa membunuh
mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar
peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba
membunuh aku pula.”
“Kau bunuh mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo
berteriak.
“Maaf Lawa Ijo.” jawab Arya Salaka. “Anak buahmu itu terlalu
keras kepala,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91
Sekali lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang
berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking,
Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka.
Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah
Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai
Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi
berteriak, “Benar kau lakukan pembunuhan itu?”
“Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar
membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada
membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua
berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya
bukan main.”
Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, “Ialah Kyai Sada
Gebang. Kau bunuh juga orang itu?”
Terpaksa, gumam Arya Salaka.
Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain
yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh
ketiga orangnya yang samasekali bukan orang-orang kebanyakan,
Dan sekarang anak itu datang menantangnya. Tiba-tiba timbullah
dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin
membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin
membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat
perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru
yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang
berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh
daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.
Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk
menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa
bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu
dengan menggeram ia berkata, Arya Salaka, kalau kau benar-
benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91
orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi
kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia,
maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan,
kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-
tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira
rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?
Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar
itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo
itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia
menjawab, Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku
jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup
tanpa kepala.
“Gila!” geramnya. Mendengar ejekan-ejekan Mantingan,
telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak
yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula,
menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama.
Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang
maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya
yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa
membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba
menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh,
membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau
ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.
Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh
dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa
orang-orang itu samasekali tidak menghargainya, tidak merasa
ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat
hukuman.
Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Arya Salaka,
sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-
olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di
sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu
pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91
Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang
akan terjadi dengan Arya Salaka? Mantingan sendiri mengalami
kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi
hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya
dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo.
Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan
yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya,
langsung mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa Ijo pun terkejut
melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan.
Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih
sempat dihindarinya.
Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut
merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa sesadarnya,
udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan
sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang
kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi
terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat
dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang
berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji
Alas Kobar yang ganas. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan
untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk
melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan
itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah
suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan
pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik
menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk
mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang
berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan
kekuatan di dalam tubuhnya. Demikianlah, maka Arya Salaka
seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan
simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun
ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-
saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap
perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91
Sebenarnyalah, bahwa seseorang dengan mengatur
pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak,
percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus-
tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang
menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh
wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai
ujud jasmaniahnya sendiri.
Dalam keadaan yang
demikianlah Arya Salaka
bertempur dengan gigihnya
melawan Lawa Ijo. Sebagai
seorang pemuda yang sedang
berkembang, ia memiliki
semangat yang luar biasa.
Otot-ototnya yang mulai
tampak berjalur-jalur di bawah
kulitnya telah membentuk
tubuhnya menjadi bertambah
serasi dengan wajahnya yang
keras penuh daya juang dan
penuh harapan bagi masa
depan.
Mantingan melihat pertem-
puran itu seperti terpaku di
tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan
menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam
keadaan sedemikian baiknya. Ia samasekali tidak menyangka
bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi
seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya
bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya
sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata
bahwa Arya Salaka samasekali tidak mengalami kesulitan dalam
pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang
memancarkan panas, sepanas api.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91
Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda
dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik
pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah
sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah samasekali tidak
merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun
demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka
bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak
itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya.
Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan
tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur
berpasangan melawan Lawa Ijo, meskipun ia yakin bahwa
seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka
akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun
barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh
Lawa Ijo.
Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran
itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam
erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya
Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti
burung rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-
benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya
menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram
dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di
dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya.
Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak
muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas
Kobar.
Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas
pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya
menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia
merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya
berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar,
yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera
pewayangan. Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91
Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang
gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan
gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi jalannya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan
dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan
Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah
banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah
beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan
dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya
dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal
beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang
dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak.
Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh.
Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk
menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita
untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-
kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan
Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi
saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam
itu sendiri.
Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena
Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah
sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi
suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki
kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada
Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih
ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh
ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.
Namum, Arya Salaka bukanlah seekor cacing yang hanya
mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah
membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar
dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda
yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91
kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang
dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang
muda itu.
Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan
akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika
sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran
yang lain. Tak ada tanda-tanda samasekali bahwa anak buahnya
dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya
ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar
mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung
samasekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak
pula terlalu mudah. Sedang Wirasaba masih bertempur pula
dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan. Di
kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di
tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di
mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri
membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama
Bagolan samasekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai
berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi
lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi,
Widuri selalu menghadapinya. Akhirnya Bagolan menjadi marah
juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur.
Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena
peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia
ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah
sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil
itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan
rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah
mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja
Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada
perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri
masih berdiri saja di tempatnya.
Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang
sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91
berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena
itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.
Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata
jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan
tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar
seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun
yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan
ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi
ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu
samasekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut
penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari
Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.
Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan
di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil
menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan
Mahesa Jenar sendiri.
Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya.
Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang
tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan
sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar.
Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari
Rawa Pening. Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari
mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah
yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan
cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas
sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata
pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan
tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha
Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi
gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.
Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia samasekali
tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring
dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91
Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik
pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis
dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan
lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya
Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah
untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak
buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa.
Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa
Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir.
Tetapi ia sendiri samasekali belum bermaksud meninggalkan
pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia
mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-
sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-
sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo
tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk
mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun
benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan
kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati
pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka
tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang
Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap
bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.
Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran
itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka
bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam
hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya
Salaka bertempur sendiri.
Sedang Lawa Ijo yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia
mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata,
“Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju
bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan
membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91
Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan
menjawab, “Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura
untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang
kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan
beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan
sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah
untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”
Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat
berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu
Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap
itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah
bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun
anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk
mengalahkannya.
Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah
bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka
ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.
Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran,
apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran
itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah
pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi
kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya?
Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan.
Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-
kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya.
Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu
kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi
kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring
sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu
kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi
dengan nada yang lebih tinggi.
Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu,
ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91
Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, “Tangkap iblis dari
Mentaok ini.”
Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan
mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk
beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur.
Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia
sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya
menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di
sisi itu. Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan
dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini
bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah
bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak
mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil
itu.
Dalam kegelisahan, tiba-tiba Lawa Ijo mengangkat kepalanya
letika sekali lagi mendengar sebuat suitan. Dekat di samping
mereka berdiri.
Mendengar suitan itu, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang
kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias
bibirnya.
Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi
terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti
yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan
anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka
bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya.
III
Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam
keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah
bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang
memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91
Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta
menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan
jelek.
“Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan
nama yang mengerikan itu.
Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti
bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata, “Apakah yang
telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”
Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya
terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang
sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud
kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak
buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, “Kalian telah
melakukan beberapa kesalahan.”
Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua
telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan.
Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat
orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka
dengan sebuah tuntutan yang mengerikan. Tetapi mereka tidak
akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka
sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat
diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus. Karena itu
kemudian terdengar Mantingan menjawab, “Tidak ada sesuatu
yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan
selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi
oleh murid Tuan sendiri.”
“Hem….” terdengar Pasingsingan mendengus. “Kau tahu
dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”
“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab
Mantingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91
“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam. “Kalau
demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku
dengan baik pula.”
Mantingan mengangguk.
“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya. “Kenapa
kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”
Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan
sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun
demikian ia menjawab. “Kami samasekali tidak melakukan
pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk
menyelamatkan diri kami.”
“Omong kosong” bentak Pasingsingan. “Apapun alasanmu
tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya
seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.
Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu.
Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang
memburu. Kemudian dengan lantang ia berkata. “Kaukah yang
bernama Mantingan, dalang Mantingan.”
“Ya” jawab Mantingan pendek.
“Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang
pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan
perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.
Mantingan menarik nafas sekali lagi. “Apaboleh buat” pikirnya.
Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam. Meskipun
Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang
mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang
tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu
Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan
darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91
lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar
sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat. Bahkan
kemudian terdengar suaranya gemetar. “Tuan, adakah tuan ingin
ikut dalam permainan anak-anak ini?.”
Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya
dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga
didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam.
Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri.
Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang
yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat
dibenarkan untuk mencapai maksudnya. Karena itu ialah yang
menjawab pertanyaan Rara Wilis. “Adakah pertanyaan itu sebagai
suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?”
Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh
jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah
mendahuluinya menjawab. “Dibelakang sayap indukmu kau masih
mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami samasekali tidak seperti
orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang
ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat
bilalang terbang.”
“Diam” bentak Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba
tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang
mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan
tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau
dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani
memperdengarkan tertawanya.
“Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan. “Seorang
yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-
tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya.
Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.”
Darah Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa
seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91
cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba-
tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh
disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah
tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila
iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis,
berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia
merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula. Dengan
menggeram ia berkata. “Siapakah kau?”
“Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu,
siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa
takut-takut.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang
sudah hampir memuncak.
Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya,
tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia
masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun
sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas
sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap
tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka
Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina
oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu
ia tidak bersabar lagi. Sebagai seorang penjahat yang telah
berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia samasekali
tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga
terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih
sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya. Maka
dengan suara yang bergetar ia berkata. “Gadis kecil yang tak tahu
diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga
berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-
tama akan menerima hukuman”. Sehabis kalimat itu, mulailah
Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua
orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak
mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Serentak
tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91
menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan
trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis
dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan.
Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan
dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak.
Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah
tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung
berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya. Melihat
sikap orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai
seorang yang berilmu tinggi, ia samasekali tidak takut menghadapi
barisan kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara tertawanya
bergumam di belakang topengnya. Kemudian terdengar
Pasingsingan berkata, “Bagus…. Aku puji kesetiakawanan kalian.
Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku untuk membunuh
gadis gila itu.” Ternyata Pasingsingan siap untuk melakukan kata-
katanya. Tetapi terjadilah sesuatu diluar dugaan. Dalam
ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata, “Guru… ampunilah
gadis kecil itu.”
Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata muridnya. Ketika
ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di belakangnya.
Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua orang terkejut dan
heran mendengar kata-kata itu. Sehingga terdengarlah
Pasingsingan bertanya, “Apa yang kau katakan itu Lawa Ijo?”
“Ampunilah gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo.
“Apa kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula.
Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan wajahnya. Wajahnya
yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa matanya yang
menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi suram.
Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret
pandang. Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya.
Pasingsingan menjadi semakin heran. Selama hidupnya, sejak
istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak pernah menaruh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91
perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa
sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh
keheningan. Namun setiap dada dipenuhi oleh ketegangan yang
memuncak. Di kejauhan terdengar gonggongan anjing-anjing liar,
berebut makan, disusul oleh teriakan serigala lapar. Beberapa kali
terdengar pula gema raung harimau memecah malam. Angin
pegunungan mengusap tubuh mereka, meresapkan udara dingin.
Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata menyebabkan Pasingsingan
ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri saja seperti patung.
Patung iblis yang menakutkan. Dalam keheningan itu terdengarlah
suara Lawa Ijo memecah sepi. “Tetapi kalau guru akan bertindak
terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.”
Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan.
Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya. Dan sekali lagi ia
bertanya, “Apa kepentinganmu atas gadis itu?”
Lawa Ijo menggeleng. “Tak ada,” jawabnya.
Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang
mendengarnya. Bahkan Widuri sendiri menjadi heran.
Dalam pada itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah
mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni
perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk
membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba terperciklah
setitik cahaya terang di dalam dada mereka.
Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir angin malam,
terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap, mudah-
mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara dan
kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi
merupakan umpan-umpan yang samasekali tak berarti bagi
Pasingsingan. Ditambah dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
beberapa orang lagi, mereka mengharap untuk setidak-tidaknya
dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91
Pasingsingan pun mendengar derap kuda itu. Namun ia tahu
pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam yang sepi,
suara yang lambat dan jauh pun akan dapat dikumandangkan oleh
tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai daerah-
daerah ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga
ini. Dengan telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan
suara itu dengan seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah
dapat membuat perhitungan yang tepat, kira-kira sejauh berapa
tonggak sumber suara telapak kuda itu. Ketika ia kemudian yakin
akan pendengarannya, berkatalah ia, “Masih jauh. Waktu masih
cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah, bersiaplah untuk
menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan, akan
sama saja akibatnya bagi kalian.” Kemudian kepada Lawa Ijo ia
berkata, “Usahakan supaya orang-orang berkuda itu agak lambat
datang. Pergilah dengan orang-orangmu yang masih ada.”
“Baik guru,” jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya
menatap wajah Endang Widuri.
“Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya
Pasingsingan.
Lawa Ijo menggeleng. “Aku tidak mempunyai kepentingan
apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.”
“Pergilah,” dengus Pasingsingan.
Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir
hitamnya malam. Yang tinggal kemudian hanyalah orang berjubah
abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu.
Harapan yang semula timbul di dalam dada mereka untuk
dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali. Meskipun
mereka masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu
Mahesa Jenar kini, namun semakin banyak jumlah mereka,
semakin kuat pula perlawanan yang dapat mereka berikan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91
Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja melingkar-
lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi bertambah
dekat. Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus
ditempuh oleh orang-orang berkuda itu pun melingkar-lingkar
seperti ular. Karena itu akhirnya mereka kembali kepada
kepercayaan diri. Kepada senjata-senjata mereka yang
tergenggam di tangan mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya
kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Demikianlah mereka dengan dada yang berdebar-debar
melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan. Tangan
Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam.
Kemudian dengan cepat sekali ia meloncat ke samping, untuk
kemudian menyerang dengan cepatnya ke arah Dalang Mantingan.
Tetapi orang-orang itupun bukanlah orang-orang yang tak berdaya
samasekali. Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan
menyerang bersama-sama dari segenap penjuru.
Terhadap mereka itupun ternyata Pasingsingan tidak dapat
menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi dengan kerasnya.
Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari setiap senjata
yang tertuju kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan
cepatnya dan melenting seperti terlempar dari tempatnya berdiri
untuk mencapai daerah diluar lingkaran kepungan lawan-
lawannya. Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara
Pasingsingan bergerak. Benar-benar seperti singgat, namun
kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali seperti asap yang
dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam mengeluh di
dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil mereka bahwa
mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup
lama sampai Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa
Ijo dan kawan-kawannya telah ditugaskan oleh gurunya untuk
menghadang dan memperlambat perjalanan rombongan berkuda
itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan memberikan
perlawanan sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir.
Sebab lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

More Related Content

What's hot

28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooSariyanti Palembang
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooSariyanti Palembang
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 

What's hot (19)

28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
Suling Naga_Kho Ping Hoo
Suling Naga_Kho Ping HooSuling Naga_Kho Ping Hoo
Suling Naga_Kho Ping Hoo
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 

More from Sariyanti Palembang

26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardjaSariyanti Palembang
 
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 

More from Sariyanti Palembang (6)

26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 

Recently uploaded

Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99
 
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................teeka180806
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...Neta
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungnicksbag
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot
 
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTNeta
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikssuser328cb5
 
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfachsofyan1
 

Recently uploaded (11)

Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
 
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
 
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
 
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
 

17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91 I alam yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh langkah. Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam. Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan, berjumlah sepuluh orang. Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir. “Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota M
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91 gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo itu sendiri. Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri samasekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam, namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu. Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang, tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain, Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang. Mereka itulah anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91 Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari gardu itu. “Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri, lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya. Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama- sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.” Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah. Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya. Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata, “Ki Lurah, tak seorang penjaga pun yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka bertugas.” “Bagus….” dengus Lawa Ijo, “Lalu apa lagi yang kalian lihat?” “Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus- kurusan, yang bernama Carang Lampit. Lawa Ijo tertawa pendek. “Aku kira Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91 berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan. Setelah suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya, “Ki Lurah, menurut penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.” “Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,” dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang Widuri. Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa. “Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.” “Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di desaku dahulu gadis- gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya. Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin. Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.” “Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan. “Akulah orangnya,” jawab Jadipa. Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap berkata, “Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.” Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri, “Aku
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91 sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya. Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.” Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata, “Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap terpenting?” “Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga- penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang penjagapun,” jawab Carang Lampit. Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak- beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.” “Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.” Kemudian Lawa Ijo meneruskan, “Kalau demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka. Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91 memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.” Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali, seolah-olah Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama- nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar, Widuri sendirilah yang telah bercerita. Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo, “Nah, sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang Lampit…?” “Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama- tama akan memasuki pondok Rara Wilis. Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91 Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu. Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu, baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu. Dalam pada itu, Widuri sudah tidak berbaring lagi. Ia duduk di belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua lututnya. Ia menjadi jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar. Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka. Ketika mereka mendengar derap kaki beberapa orang mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja menggenggam senjata mereka semakin erat. Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara, “Inikah pondok itu, Carang Lampit?” “Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain, “Itulah mereka, para penjaga yang jatuh tertidur.”
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91 Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek. Sahutnya, “Bagus. Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang masuklah dan tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka kita perlukan. Bukankah gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut yang gila itu.” Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya, sehingga sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa. Meskipun ia samasekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu, namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada harus bertempur melawannya. Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak mengenang pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu, karena di luar kembali terdengar suara. “Carang Lampit, bawalah Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka melawan, ia dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di dalam pondok itu pula.” “Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain. Bersamaan dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di dalam pondok itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Menilik langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam, mereka pasti terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka yang ada di dalam. Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara tertawa itu tidak begitu keras dan samasekali tidak mengerikan. Orang-orang yang berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di luar pondok itu berkata, “Hai Carang Lampit, siapakah itu?”
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91 “Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain. “Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah suara Lawa Ijo sendiri. “Masih ada orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.” Kemudian terdengarlah suara di kejauhan, “Lawa Ijo, sebagai penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.” “Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo. “Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang bernama Mantingan,” jawab suara itu. “Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang Mantingan yang sakti?” “Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa Ijo,” jawab Mantingan. “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang dalang.” “Bagus….” jawab Lawa Ijo. “Bahwa kau dapat membebaskan dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku. Apakah kau sudah bosan hidup?” “Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya, “Aku samasekali masih belum bosan hidup.” “Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo. “Aku samasekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan. “Diam!” teriak Lawa Ijo marah. “Kemarilah dan katakan cara apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah menghina aku.” “Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91 “Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras. “Kalau begitu, pilihlah cara yang kau senangi untuk membunuhmu.” Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan renyah. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan bahwa aku masih senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh, apakah keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?” “Setan!” umpat Lawa Ijo. “Kalau begitu, aku akan memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara yang aku senangi.” “Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu memperkenalkan diri,” jawab Mantingan. Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia berteriak kepada Wadas Gunung, “Wadas Gunung, tangkap orang itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang kepalanya.” Mendengar perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri. Tetapi rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya, “Ki Dalang Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?” Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu. Mendengar suara seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan garangnya ia berkata, “Carang Lampit, ternyata masih ada orang- orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.” Carang Lampit tidak menjawab, tetapi terdengar giginya gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat maju dan seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91 tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati panjang di tangan kiri. Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang berdiri di bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah. Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang Jaladri dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas menghadapinya. Segera ia meloncat ke samping, dan kemudian berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian dengan garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang bengis menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan. Mantingan melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula- mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui bahwa Jaladri pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan salah seorang anak buah Gerombolan Alas Mentaok yang terkenal itu. Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan- kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa berkedip. Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya, “Siapakah orang itu?”. “Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang anak buahnya. “Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung. “Aku ingin menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.” “Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung. “Yang lain jangan menunggu seperti orang nonton adu jago. Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup. Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana. Kalau tidak, cari
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91 sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan dari tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya. “Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula. Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri. Sebab melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah pekerjaan yang ringan. Maka segera ia pun melangkah dua langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo. Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada kesaktiannya, menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan, tidak akan banyak membuang tenaga. Ketika ia tetap berdiri beberapa langkah dari mantingan masih saja ia sempat berkata, “Hai Mantingan. Kalau kau mencoba melawan maka kau akan menyesal” Mantingan masih tetap berdiri di tempatnya. Sepintas ia melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk memasuki pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap bahwa orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu berbahaya. Karena Mantingan tidak segera menjawab perkataannya, Lawa Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan membentak keras ia mengulangi, “Mantingan. Tidakkah kau dengar kata-kataku? Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami penderitaan pada saat akhirmu.”
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91 Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke arah kepala orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia meloncat keluar dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan sekali. Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka samasekali tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau di Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup terlatih menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu yang pendek mereka telah siap dengan senjata-senjata mereka untuk melawan Wirasaba. Namun yang samasekali diluar perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya Salaka dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah gadis dengan wajah berseri-seri bermain-main dengan sebuah rantai perak sebesar ibu jari. Untuk beberapa saat mereka menjadi heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang, sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap penjuru. Demikianlah kemudian mau tidak mau, gerombolan Lawa Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara Wilis dan Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya.
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91 Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian menghentikan langkahnya. Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir tidak percaya pada penglihatannya. Samar-samar dalam kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu. Perkelahian antara anak buahnya dengan beberapa orang yang muncul dari dalam pondok yang telah hampir saja dimasukinya. Apalagi kemudi- an ketajaman matanya dapat menangkap bahwa yang bertempur itu adalah dua orang gadis, seorang anak muda disamping orang yang gagah dan bersenjatakan ka- pak. Bahkan kemudian tanpa disengaja ia bergumam, “Sia- pakah mereka itu?” Dan tanpa disengaja pula Mantingan menjawab, “Mereka itulah yang telah kau sebut- sebut namanya.” Lawa Ijo tidak berkata- kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran itu. Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat dengan Wirasaba dapat melawan delapan orang anggota gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan baiknya. Pedang Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan gumpalan-gumpalan sinar maut yang bergulung-gulung menyerang lawannya. Disamping itu masih ada lagi cahaya yang berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya. Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya,
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91 maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang kecil dapat mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang- kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar lawannya untuk kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun Endang Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun sekali-kali Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun anak nakal itu kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa pertempuran kali ini bukanlah permainan anak-anak. Di sebelah lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling, namun kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya. Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba menyerangnya dari arah yang berlawanan. Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya dari Lawa Ijo. Ia samasekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka itu. Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula harus dilindungi itu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Disamping perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka adalah anggota gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya. Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang. Lawa Ijo masih saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91 ketika ia melihat Wadas Gunung samasekali tidak berdaya menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan dengan Widuri, mencoba mencari lawan lain. Bersama dengan dua orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka. Ternyata Arya Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk melawannya bertiga, samasekali tidak menyulitkan anak muda itu. Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu. Ia merasa bahwa gadis kecil itu samasekali bukanlah pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir saja kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri, barulah ia sadar bahwa gadis itu benar-benar luar biasa. Karena itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa ia hanya sekadar melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba sendiri masih harus melayani dua orang yang mengeroyoknya. Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan Mahesa Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu. Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk melawan kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras. Ketika Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu, dengan garangnya ia berteriak, “Hei Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu baik-baik. Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang banyak tingkah itu.” Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa Ijo berkata, “Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.” Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak- kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya, “Kalau kami tidak akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91 Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga untuk mencari jawabnya. “Kalian akan kami bawa ke rumah kami.” Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil mendesak maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan, Kami akan merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak dapat kami terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga seandainya kalian tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya kami saja yang membunuh kalian.” Juga, kata-Kata Endang Widuri itu samasekali juga tidak terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah marah. Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan Lawa Ijo sudah memuncak, ia berteriak keras-keras, “He, Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah gadis-gadis itu menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk kepentingan kalian.” Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap setiap perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah meningkat dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan, sangat sakit hati atas anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari barang taruhan. Karena itu tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat. Dari matanya memancarlah perasaan sakit hati serta kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi bertambah garang dan berputar-putra mengerikan. Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi sangat malu mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91 murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi karena perhatian Pasingsingan sebagian besar dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang diberikan kepada murid mudanya itu. Meskipun demikian karena pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh tangannya. Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini, seorang yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah- olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun terakhir Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut ayahnya kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir setiap saat Rara Wilis yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu benar-benar selalu bermain-main dengan pedang tipisnya. Apalagi kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat. Karena itulah kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah terkenal jauh sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata. Demikianlah ketekunan kakeknya itu, samasekali tidak sia-sia. Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali, meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir, yang kemudian disusul dengan pertempuran yang terjadi di Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat perhitungan dengan janda ayahnya itu.
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91 Dengan demikian, meskipun kali ini ia harus bertempur melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia samasekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya telah tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan tenaganya untuk menekan lawannya. Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya. Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka samasekali tidak putus asa. Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah mendekati lingkaran pertempuran. Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut dengan penuh gairah. Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia melompat menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya. Karena itu segera ia berkata, “Lawa Ijo, apa yang akan kau lakukan?” Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk, menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab, “Aku akan membunuh mereka itu satu demi satu.”
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91 “Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan. Hati Lawa Ijo yang sedang menyala-nyala itu menjadi seperti disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu. Karena itu ia menjawab sambil berteriak, “Kau…!” Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia memutar tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram, “Aku bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku merah. Setelah itu, baru yang lain.” Tetapi Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak gugup. Dengan cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya bergerak memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas. Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya, kemudian menyerang kembali dengan ganasnya. II Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran yang tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang, menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya dengan baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar- putar ke arah badai bertiup. Dengan demikian Mantingan selalu dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi yang sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup diantara serangan-serangan Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan dari beribu- ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah daya kesaktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga sasarannya seolah-olah samasekali tidak mendapat tempat untuk mengelak.
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91 Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan bertopeng menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk penerapannya sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi oleh Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu Mantingan harus berjuang sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah bekerja lebih tekun lagi. Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan cara yang buas sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur dengan penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali ia mengalami tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak terpikir olehnya untuk ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara- cara yang kasar dan curang. Dalam pada itu, semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai seorang dalang yang selalu mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyebarkan kisah-kisah kepahlawanan yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan Ramayana, dan sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91 gangguan lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman itulah Mantingan menempa dirinya di perguruan Wanakerta. Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia harus berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur. Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap saat dan keadaan untuk membantu dirinya. Meskipun demikian hati Mantingan mengeluh juga. “Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya. “Tetapi aku harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang sama dengan waktu yang diperlukan oleh Wadas Gunung dan Carang Lampit.” Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi berbesar hati. Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara Wilis harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari serangan bersama yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang dahsyat. Untuk melawan Lawa Ijo sendiri, Mantingan masih belum dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu. Tetapi ia masih mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat merasakan kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk kepalanya. Gadis itu bertempur samasekali seenaknya saja, meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh pendek gemuk seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai di kedua tangannya. Tetapi Mantingan tidak mempunyai waktu banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan. Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis. Bahkan kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti baling-baling untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari patukan pisau-pisau belati panjang Lawa Ijo.
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91 Lawa Ijo yang ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya, sehingga selubang jarum pun tak berhasil ditemukan untuk menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar bahwa Mantingan kini tinggal mampu mempertahankan diri. Demikianlah Mantingan bertahan mati-matian untuk memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti kedudukannya. Di bagian lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang. Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia berlari- lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi menghadapi lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran anginnya. Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya pening. Segera Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil menggerutu tak habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga raksasa melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka sekali- kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya. dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini. Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus menghindarkan rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali dalam kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91 akan merampas bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan anak-anak seperti dirinya yang senang pada permainan aneh- aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak. Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini. Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia berhasil menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan dengan Jadipa. Gadis kecil harus ditukar sedikitnya dengan sebuah timang bermata berlian tiga rantai seperti yang dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu. Tetapi ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap saat terancam akan terlepas dari lehernya. Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking dan Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih. Ternyata kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran. Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan Wirasaba. Demikianlah ketika malam bertambah malam, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka pun menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan- lawan mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91 menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang semakin berbahaya. Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini benar-benar telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru. Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia samasekali tidak gelisah, bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan Lawa Ijo menjadi semakin sengit. Namun justru karena itulah maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu. Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring. Kedua pisaunya disilangkan di atas kepalanya, sedang dari matanya seolah-olah memancar api yang menyala-nyala. Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu apa maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan. Dengan demikian Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka, supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika Lawa Ijo sudah siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama sebelum Lawa Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun demikian ia tak dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya. Waktu yang
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91 diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama. Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam. Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan dua pisau belati di tangan. Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo. Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo.
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91 Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa Ijo samasekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari mulutnya terdengar umpatan, “Persetan kau Tembini. Matilah kau kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang memalukan.” Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil. Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya dengan sesukanya. Memang, beberapa kali Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan terkelupas habis. Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati bersama-sama sekali pun. Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka. Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata, “Paman
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91 Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara. Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberaoa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu.” Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya? Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja bertempur melawan Arya Salaka. Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan. Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya, “Di manakah lawan Angger tadi…?” Arya Salaka masih saja tersenyum. “Aku terpaksa membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh aku pula.” “Kau bunuh mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak. “Maaf Lawa Ijo.” jawab Arya Salaka. “Anak buahmu itu terlalu keras kepala,
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91 Sekali lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka. Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak, “Benar kau lakukan pembunuhan itu?” “Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main.” Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, “Ialah Kyai Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?” Terpaksa, gumam Arya Salaka. Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh ketiga orangnya yang samasekali bukan orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu datang menantangnya. Tiba-tiba timbullah dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun. Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu dengan menggeram ia berkata, Arya Salaka, kalau kau benar- benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91 orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan, kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah- tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu? Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia menjawab, Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup tanpa kepala. “Gila!” geramnya. Mendengar ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama. Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia. Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa orang-orang itu samasekali tidak menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat hukuman. Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Arya Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah- olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya.
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91 Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya Salaka? Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo. Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindarinya. Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya. Demikianlah, maka Arya Salaka seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat- saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91 Sebenarnyalah, bahwa seseorang dengan mengatur pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus- tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai ujud jasmaniahnya sendiri. Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur dengan gigihnya melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki semangat yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalur-jalur di bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi bertambah serasi dengan wajahnya yang keras penuh daya juang dan penuh harapan bagi masa depan. Mantingan melihat pertem- puran itu seperti terpaku di tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia samasekali tidak menyangka bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata bahwa Arya Salaka samasekali tidak mengalami kesulitan dalam pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang memancarkan panas, sepanas api.
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91 Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah samasekali tidak merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur berpasangan melawan Lawa Ijo, meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo. Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar- benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar. Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera pewayangan. Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang.
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91 Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi jalannya. Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh. Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan- kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam itu sendiri. Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu. Namum, Arya Salaka bukanlah seekor cacing yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91 kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang muda itu. Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Tak ada tanda-tanda samasekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung samasekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu mudah. Sedang Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan. Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan samasekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya. Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya. Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91 berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan. Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu samasekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu. Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa Jenar sendiri. Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya. Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia samasekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91 Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir. Tetapi ia sendiri samasekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat- sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama- sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu. Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya Salaka bertempur sendiri. Sedang Lawa Ijo yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata, “Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91 Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan menjawab, “Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.” Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya. Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri. Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya? Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan- kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya. Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi dengan nada yang lebih tinggi. Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi.
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91 Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, “Tangkap iblis dari Mentaok ini.” Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu. Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil itu. Dalam kegelisahan, tiba-tiba Lawa Ijo mengangkat kepalanya letika sekali lagi mendengar sebuat suitan. Dekat di samping mereka berdiri. Mendengar suitan itu, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias bibirnya. Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya. III Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91 Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan jelek. “Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu. Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata, “Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?” Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, “Kalian telah melakukan beberapa kesalahan.” Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka dengan sebuah tuntutan yang mengerikan. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus. Karena itu kemudian terdengar Mantingan menjawab, “Tidak ada sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri.” “Hem….” terdengar Pasingsingan mendengus. “Kau tahu dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?” “Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91 “Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam. “Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik pula.” Mantingan mengangguk. “Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya. “Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?” Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun demikian ia menjawab. “Kami samasekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk menyelamatkan diri kami.” “Omong kosong” bentak Pasingsingan. “Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.” “Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan. Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang memburu. Kemudian dengan lantang ia berkata. “Kaukah yang bernama Mantingan, dalang Mantingan.” “Ya” jawab Mantingan pendek. “Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat. Mantingan menarik nafas sekali lagi. “Apaboleh buat” pikirnya. Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam. Meskipun Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91 lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat. Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar. “Tuan, adakah tuan ingin ikut dalam permainan anak-anak ini?.” Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam. Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri. Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan untuk mencapai maksudnya. Karena itu ialah yang menjawab pertanyaan Rara Wilis. “Adakah pertanyaan itu sebagai suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?” Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah mendahuluinya menjawab. “Dibelakang sayap indukmu kau masih mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami samasekali tidak seperti orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat bilalang terbang.” “Diam” bentak Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani memperdengarkan tertawanya. “Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan. “Seorang yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba- tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.” Darah Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91 cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba- tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula. Dengan menggeram ia berkata. “Siapakah kau?” “Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu, siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa takut-takut. Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang sudah hampir memuncak. Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu ia tidak bersabar lagi. Sebagai seorang penjahat yang telah berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia samasekali tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya. Maka dengan suara yang bergetar ia berkata. “Gadis kecil yang tak tahu diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama- tama akan menerima hukuman”. Sehabis kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Serentak tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91 menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan. Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak. Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya. Melihat sikap orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai seorang yang berilmu tinggi, ia samasekali tidak takut menghadapi barisan kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara tertawanya bergumam di belakang topengnya. Kemudian terdengar Pasingsingan berkata, “Bagus…. Aku puji kesetiakawanan kalian. Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku untuk membunuh gadis gila itu.” Ternyata Pasingsingan siap untuk melakukan kata- katanya. Tetapi terjadilah sesuatu diluar dugaan. Dalam ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata, “Guru… ampunilah gadis kecil itu.” Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata muridnya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di belakangnya. Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua orang terkejut dan heran mendengar kata-kata itu. Sehingga terdengarlah Pasingsingan bertanya, “Apa yang kau katakan itu Lawa Ijo?” “Ampunilah gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo. “Apa kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula. Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan wajahnya. Wajahnya yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa matanya yang menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi suram. Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret pandang. Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya. Pasingsingan menjadi semakin heran. Selama hidupnya, sejak istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak pernah menaruh
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91 perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh keheningan. Namun setiap dada dipenuhi oleh ketegangan yang memuncak. Di kejauhan terdengar gonggongan anjing-anjing liar, berebut makan, disusul oleh teriakan serigala lapar. Beberapa kali terdengar pula gema raung harimau memecah malam. Angin pegunungan mengusap tubuh mereka, meresapkan udara dingin. Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata menyebabkan Pasingsingan ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri saja seperti patung. Patung iblis yang menakutkan. Dalam keheningan itu terdengarlah suara Lawa Ijo memecah sepi. “Tetapi kalau guru akan bertindak terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.” Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan. Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya. Dan sekali lagi ia bertanya, “Apa kepentinganmu atas gadis itu?” Lawa Ijo menggeleng. “Tak ada,” jawabnya. Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang mendengarnya. Bahkan Widuri sendiri menjadi heran. Dalam pada itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba terperciklah setitik cahaya terang di dalam dada mereka. Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir angin malam, terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap, mudah- mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi merupakan umpan-umpan yang samasekali tak berarti bagi Pasingsingan. Ditambah dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi, mereka mengharap untuk setidak-tidaknya dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91 Pasingsingan pun mendengar derap kuda itu. Namun ia tahu pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam yang sepi, suara yang lambat dan jauh pun akan dapat dikumandangkan oleh tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai daerah- daerah ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga ini. Dengan telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan suara itu dengan seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah dapat membuat perhitungan yang tepat, kira-kira sejauh berapa tonggak sumber suara telapak kuda itu. Ketika ia kemudian yakin akan pendengarannya, berkatalah ia, “Masih jauh. Waktu masih cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah, bersiaplah untuk menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan, akan sama saja akibatnya bagi kalian.” Kemudian kepada Lawa Ijo ia berkata, “Usahakan supaya orang-orang berkuda itu agak lambat datang. Pergilah dengan orang-orangmu yang masih ada.” “Baik guru,” jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya menatap wajah Endang Widuri. “Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya Pasingsingan. Lawa Ijo menggeleng. “Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.” “Pergilah,” dengus Pasingsingan. Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir hitamnya malam. Yang tinggal kemudian hanyalah orang berjubah abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu. Harapan yang semula timbul di dalam dada mereka untuk dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali. Meskipun mereka masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar kini, namun semakin banyak jumlah mereka, semakin kuat pula perlawanan yang dapat mereka berikan.
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91 Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja melingkar- lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi bertambah dekat. Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang berkuda itu pun melingkar-lingkar seperti ular. Karena itu akhirnya mereka kembali kepada kepercayaan diri. Kepada senjata-senjata mereka yang tergenggam di tangan mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi. Demikianlah mereka dengan dada yang berdebar-debar melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan. Tangan Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam. Kemudian dengan cepat sekali ia meloncat ke samping, untuk kemudian menyerang dengan cepatnya ke arah Dalang Mantingan. Tetapi orang-orang itupun bukanlah orang-orang yang tak berdaya samasekali. Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan menyerang bersama-sama dari segenap penjuru. Terhadap mereka itupun ternyata Pasingsingan tidak dapat menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi dengan kerasnya. Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari setiap senjata yang tertuju kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan cepatnya dan melenting seperti terlempar dari tempatnya berdiri untuk mencapai daerah diluar lingkaran kepungan lawan- lawannya. Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara Pasingsingan bergerak. Benar-benar seperti singgat, namun kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali seperti asap yang dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam mengeluh di dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil mereka bahwa mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup lama sampai Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa Ijo dan kawan-kawannya telah ditugaskan oleh gurunya untuk menghadang dan memperlambat perjalanan rombongan berkuda itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan memberikan perlawanan sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir. Sebab lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati