SlideShare a Scribd company logo
1 of 92
Download to read offline
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 92
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 92
I.
ugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia
benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga
ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia
menjadi agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa
orang itu samasekali tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah
suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain
panjangnya. Sesaat kemudian kain itu pun telah berputar dan
menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya.
“Gila,” gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang
terus.
Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia
menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia
menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya.
Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun
demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan
beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar
kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah
dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang
dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat
banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka.
Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata
benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya.
Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja
segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur
anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh
tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka
di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah
menghemat tenaga mereka.
Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia
dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang
B
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 92
dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun
mereka tetap melawan dalam gelar yang baik.
Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu
mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita,
namun karena kerjasama mereka lebih rapi serta jumlah mereka
lebih banyak, maka mereka pun dapat memberikan perlawanan
yang cukup.
Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana
terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua
ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa
seperti aku ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi
bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku.
Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang
cemerlang.
Tak seorang pun yang mengganggu perkelahian kedua orang
itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit.
Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi
aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung
Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, aku
pun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan
ternyata orang-orang Pamingit itu pun tidak membiarkan aku
terbunuh tanpa pembelaan. Setiap Bugel Kaliki mencoba
menyambar aku, orang-orang Pamingit itu pun selalu melindungi
aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya.
Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak
dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain
korban jatuh satu demi satu dari kedua belah pihak. Pertempuran
itu pun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun
keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan
mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir
orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang
Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 92
ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit samasekali. Namun
mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan.
Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung
perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke
dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk
menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah
tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri
mereka masing-masing. Orang dari golongan hitam, yang
biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itu pun
agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun
segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis
pertempuran. Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri
dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi
semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itu pun akhirnya
merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam
gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin
tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa
bahayanya menjadi semakin besar.
Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula.
Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka
masing-masing meninggalkan medan itu pula.
Demikianlah pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan
berakhir pula ceritaku. Malam itu aku mohon ijin untuk
meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang
Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun
demikian Ki Ageng berpesan, “Jaladri. Sampaikan apa yang kau
lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang
dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin
juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora
akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah
terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban-
korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan
berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil
mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 92
buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-
sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia. Kalau laskar
Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan
mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus
bergabung pula ke sana.” Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
menurun, “Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu
dengan cucuku itu.” Jaladri mengakhiri ceritanya. Dari wajahnya
terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng
Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya.
Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing
duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam
dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh
suara Arya Salaka mengejutkan, “Apa yang kau lihat di Sumber
Panas, Kakang Penjawi?”
Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya
Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah
dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas
dalam-dalam ia pun menjawab, “Aku tidak mengalami
pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan
sebagian darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang
Banyubiru yang telah aku hubungi sebelumnya.
Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun
mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang
hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan
dan Sura Sarunggi.”
“Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.
“Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung
Penjawi. “Gila....” desis Wanamerta.
“Ya....” Penjawi meneruskan, “Karena itulah maka mereka
mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing
yang diceritakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber
Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 92
tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat
mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang
tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh
hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk
membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus
berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.”
Ketika Penjawi berhenti bercerita, kembali pendapa itu
menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari
biasa, menjadi semakin terang.
Sesaat kemudian Penjawi meneruskan, “Korban berjatuhan.
Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan
hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itu pun
tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak
mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik
diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada.
Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin
banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu
jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak
menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan
ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi.
Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itu pun
terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga
ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan
terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu
pertolongan yang tiada taranya.
Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan
Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di
belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang
Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan.
Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak
kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu
Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu
Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 92
melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu
dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”
Penjawi berhenti bercerita. Sekali lagi ia memandang wajah
Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya
tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali
digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri
menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka,
tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru. Berkali-
kali terngiang di telinga mereka, “Korban berjatuhan. Korban
berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan
bertambah-tambah.”
Dalam kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya,
“Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh
orang yang tak kau kenal itu?”
Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab, “Sungguh tak
tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang
mengaggumkan. Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang
perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara
perempuan.”
“Titis Anganten....” potong Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Orang sakti dari Banyuwangi.”
“Titis Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka
hampir berbareng. “Ya,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.”
“Aku pernah mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara,
“Ayah pernah menyebut-nyebutnya.”
“Ia datang tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar.
Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut
dalam angan-angan mereka sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 92
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka,
“Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.”
Tak seorang pun yang menyahut. Mereka masih tetap dalam
kediaman yang beku.
Ketika tak seorang pun yang bersuara, bertanyalah Mahesa
Jenar, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?”
Arya tidak segera menjawab. Ia memandang berkeliling,
seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun
demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud
pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan
eyangnya kepada Jaladri, “Aku tidak tahu apakah kami akan
berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit,
dan seterusnya. Entahlah, apakah aku masih dapat bertemu
dengan cucuku itu.” Maka kemudian ia pun berkata lantang, “Nah,
apa kata kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan
dapat menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian
Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun kemudian
akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas laskar dari
golongan hitam.”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut
mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka datang ke
perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa sesuatu
keganjilan di dalam dada mereka.
“Kenapa kalian diam?” tanya Arya Salaka. “Kesempatan ini tak
akan berulang.”
Para pemimpin Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak tahu
perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka sendiri. Hanya
Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia masih
berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan
muridnya itu, dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 92
muridnya adalah seorang yang berhati jantan, namun berotak
cemerlang. Karena itu ia masih menanti maksud Arya Salaka.
Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang
cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat yang
pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak ketika ia
mendengar cerita Panjawi dan Jaladri. Demikian pula agaknya
perasaan yang bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar
Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan
mereka telah berjanji untuk berjuang mati-matian mengusir
orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta kalau perlu mereka
akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan mereka,
namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang
Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam,
timbullah perasaan yang lain di dalam diri mereka. Sebab apa pun
yang terjadi di antara mereka, permusuhan yang bagaimana pun
tajamnya, namun orang Banyubiru dan Pamingit adalah orang-
orang dari cabang aliran darah yang sama. Mereka semula adalah
orang-orang dari daerah perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah
mereka, kakek-kakek mereka telah bersama-sama bekerja untuk
tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Bagi orang Banyubiru, orang-
orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut
dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah
kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau paman
mereka. Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian,
apakah mereka akan merelakan darah mereka yang mengalir
didalam tubuh saudara-saudara mereka itu memercik dari luka-
luka mereka, karena pokal orang-orang golongan hitam? Karena
pertanyaan-pertanyaan itulah, maka mereka masih tetap berdiam
diri.
Agaknya Arya Salaka telah mengamati keadaan dengan
tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian Mahesa
Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa yang
tersirat di hatinya. Karena itu ia pun menjadi terharu. Tetapi ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 92
tidak berkata apa pun, selain beberapa kali mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka. “Paman-
paman sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya
aku tahu apa yang tersimpan di dalam dada kalian. Ketika aku
ajukan beberapa pertanyaan kepada kalian, tetap berdiam diri,
sebab kalian tidak menyakini apa yang bergolak didalam dada
kalian. Karena itu, cobalah, biar aku menebaknya. Bukankah kalian
merasa bahwa kalian tidak rela mendengar cerita bahwa saudara-
saudara kalian terpaksa mengalami tekanan yang berat dari
golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela bahwa orang-orang
hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah perdikan
Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah
payah dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek
serta ayah-bunda kalian?”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu masih agak bingung.
Mereka belum tahu benar arah pembicaraan Arya
Salaka. Akhirnya Arya Salaka berkata dengan terangnya, seperti
terangnya matahari di siang yang panas itu. “Nah, paman-paman
sekalian. Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan
pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya
ingin mendapatkan keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah
kalian masih marah dan mendendam kepada saudara-saudara kita
dari Pamingit itu. Tetapi ternyata kalian telah menempuh
pergolakan perasaan, yang membendung perasaan dendam itu.
Memang kita seharusnya tidak mendendamnya, meskipun
seandainya saudara-saudara kita dari Pamingit itu masih tetap
berada di pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan kebenaran,
bukan untuk melepaskan dendam kita.”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan
kepala mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan.
“Kalau demikian..” Arya meneruskan, “Paman-paman yang
perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam
pasukan kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 92
seluruh laskar Banyubiru ke Pamingit. Kita tempatkan diri di bawah
pimpinan Eyang Sora Dipayana untuk menumpas golongan hitam
itu. Apakah kalian sependapat?”
”Pasti…!” teriak mereka
serentak. “Kami sependapat.
Dan kami segera akan
melaksanakannya.”
“Bagus,” potong Arya
Salaka. “Kita akan berangkat
segera setelah separo dari
laskar kita berkumpul di alun-
alun.”
Arya tidak perlu meng-
ulangi perintahnya kembali.
Para pemimpin itu segera
berdiri, dan berloncatan ke
halaman. Segera mereka
berada di atas punggung kuda
masing-masing, untuk kemu-
dian melesat seperti angin. Mereka ternyata masih menyala rasa
kesetiakawanan yang mendalam. Mereka ternyata lebih
mendendam kepada golongan hitam, daripada kepada orang-
orang Pamingit. Dan sekarang perasaan itu diungkapnya kembali.
Sepeninggal mereka, di pendapa itu masih duduk selain Arya
Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri,
Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan
Sendang Parapat. Kemudian kepada Mahesa Jenar, Arya Salaka
berkata, “Adakah kita yang berada di pendapa ini akan berangkat
semuanya?”
“Jangan Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Kita harus berhati-hati.
Bukankah tersebar berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten masih
berada di Banyubiru? Kita dapat menduga bahwa kabar itu sengaja
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 92
disiarkan untuk menimbulkan keributan, namun kita dapat
menduga lain. Mungkin mereka benar-benar masih berpendapat
bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru. Karena itu biarlah Kiai
Wanamerta dan Sendang Parapat yang belum sembuh benar,
tinggal di sini, didampingi oleh Kakang Mantingan dan Wirasaba.
Selain itu biarlah Wilis tinggal di sini pula. Dan bagaimanakah
sebaiknya dengan Endang Widuri?” tanya Mahesa Jenar kepada
Kebo Kanigara.
“Aku ikut dengan Paman Mahesa Jenar.” Endang Widuri
menyahut sebelum ayahnya menjawab.
“Jangan Widuri,” potong ayahnya, “Kali ini jangan. Kita
menghadapi lawan yang tak terduga kekuatannya.”
“Aku telah dapat menduganya,” jawab Widuri. “Laskar Eyang
Sora Dipayana hanya terpaut sedikit dari kekuatan Bugel Kaliki di
hari pertama. Di hari kedua, kekuatan itu akan lebih banyak
mengalami kegoncangan. Katakan bahwa laskar Pamingit
mengalami kekalahan dua kali lipat dari hari pertama. Tetapi
kekuatan Eyang Sora Dipayana masih lebih dari tigaperempat dari
kekuatan lawan. Nah kalau demikian, mereka malam nanti pasti
sudah mundur ke Pangrantunan. Dengan tambahan laskar Kakang
Arya Salaka yang segar, kekuatan akan berimbang kembali. Lebih-
lebih tokoh-tokohnya akan mampu lagi berbuat seenaknya. Dan
apakah gunanya ayah ikut serta kalau ayah tidak mampu
mengalahkan orang yang bernama Nagapasa, atau Sima Rodra
atau Sura Sarunggi?”
“Jangan sesorah panjang-panjang, Widuri,” potong ayahnya.
Sedang orang-orang yang mendengarkan terpaksa tersenyum-
senyum. Namun di dalam hati mereka, terasa betapa mereka
mengagumi gadis itu. Agaknya ia benar-benar dapat membuat
gambaran dari medan di Pamingit dengan perhitungan yang baik.
Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara meneruskan, “Meskipun
agaknya kau benar, namun kita harus berhati-hati. Mereka akan
berbuat jauh lebih dahsyat daripada yang kau duga, sebab orang-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 92
orang dari golongan hitam itu membenarkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Bahkan cara-cara yang kadang-kadang
melanggar hukum-hukum perikemanusiaan. Meski akan menakut-
nakuti kau dengan cara-cara yang tak wajar.”
“Aku tidak takut,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya, katanya; “hanya
prajurit yang baik yang dapat bertempur melawan golongan
hitam.”
”Aku prajurit yang baik,” jawab Widuri
“Prajurit yang baik akan selalu patuh kepada perintah. Nah
dengarlah perintah pemimpin pasukan, Arya Salaka,” sahut
ayahnya.
Endang Widuri mengerutkan keningnya. Beberapa orang
terpaksa tertawa mendengarkan perdebatan itu. Dengan wajah
cemberut gadis itu memandang Arya Salaka. Arya Salaka sendiri
menjadi bingung. Ia tahu maksud Kebo Kanigara akan tetapi di
dalam hati kecilnya ingin mengajak gadis itu serta. Entahlah, apa
sebabnya. Tetapi diingatnya bahwa bahaya akan datang setiap
waktu, maka ia pun berpendapat, bahwa sebaiknya Endang Widuri
tidak ikut serta. Apalagi Rara Wilis pun tidak.
Tetapi sebelum ia sempat menjawab, terdengar Endang Widuri
berkata, “baiklah, baiklah. Aku sudah tahu jawaban kakang Arya
Salaka, ia pasti akan berpihak kepada ayah.”
Arya Salaka tersenyum.
Kemudian terdengar Widuri meneruskan, “Biarlah aku tinggal
bersama bibi Wilis dan eyang Wanamerta. Bukankah begitu bibi?”
”Tentu,” jawab Wilis “kau menemani aku disini”.
“Dan biarlah paman Mantingan nanti bercerita tentang Bharata
Yudha,” Rara Wilis meneruskan, “dan paman Wirasaba akan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 92
meniup seruling hingga beringin kurung itu nanti menari-nari
bukan begitu paman?,”
“Mudah-mudahan,” sahut Wirasaba sambil tertawa.
“Tetapi itu tidak penting,” Widuri meneruskan, “sebenarnya
paman Mahesa Jenar yang paling berkeberatan aku ikut serta,”
“Kenapa aku?” sahut Mahesa Jenar.
“Bukankah paman menghendaki aku tinggal, menunggu bibi
Wilis, supaya bibi Wilis tidak hilang? Paman Mahesa Jenar takut
kalau orang yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan datang
menjemput bibi, dan…..” Kata-kata Widuri terputus, ia memekik
kecil ketika Rara Wilis mencubitnya.
“Tobat bibi aduuuuh.”
Rara Wilis tiba-tiba menundukkan mukanya. Terasa rona
merah yang panas menjalar ke pipinya.
“Jangan nakal Widuri,” ayahnya menasehatinya.
“Tidak aku tidak nakal lagi, jangan jangan cubit dagingku akan
terkupas. Bibi kalau mencubit sakitnya bukan main.”
Mau tidak mau Wilis terpaksa tersenyum. Memang WIduri
benar-benar nakal. Ia tidak perduli berhadapan dengan siapa pun,
kalau teringat sesuatu yang menarik hatinya untuk menggoda, ia
pun berbuatlah.
Sementara itu para pemimpin Banyu Biru telah sampai ke
pasukan masing-masing. Segera mereka mempersiapkan laskar
mereka. Separo akan dibawa ke Pamingit. Mula-mula setiap orang
didalam laskar Banyu Biru menjadi heran, mengapa tiba-tiba
mereka harus membantu Pamingit. Namun setelah mendapat
penjelasan dari para pemimpinnya, merekapun sadar akan tugas
itu. Tugas yang harus dikedepankan. Menumpas setiap
gerombolan yang mengkhianati kemanusiaan. Mengkhianati
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 92
ketentraman hidup rakyat yang tinggal jauh disekitar daerah
mereka. Bahkan tujuan jangka jauh yang telah mereka rintis.
Mencari pusaka yang dapat membawa mereka kepada jabatan
tertinggi di Demak.
Yang tinggal di Banyubirupun segera mempersiapkan diri
mereka pula. Mereka mengamati senjata-senjata mereka, apakah
senjata mereka telah siap untuk melawan musuh yang berbahaya.
Beberapa orang yang harus tinggal di Banyubiru menjadi
kecewa. Sebenarnya mereka ingin turut didalam laskar yang kan
pergi ke Pamingit tetapi merekapun sadar bahwa mereka
mempunyai tugas yang penting pula di Banyubiru.
Demikianlah ketika matahari telah memanjat lebih tinggi lagi
diatas pucuk pohon sawo kecik di halaman Banyubiru itu, mulailah
ujung laskar Banyubiru memasuki alun-alun. Kelompok demi
kelompok. Dari wajah mereka tampaklah betapa besar hati mereka
setelah berkesempatan untuk menginjakkan kaki mereka diatas
tanah pusaka. Betapa mereka merasakan kenikmatan yang
mengetuk ngetuk dada mereka, meskipun terasa bahwa tanah
tercinta ini telah mengalami beberapa kemunduran. Tetapi telah
beberapa tahun mereka mengasingkan diri, didalam masa-masa
yang prihatin, akhirnya mereka dapat menginjakkan kaki mereka
dibumi tercinta ini kembali. Disekitar alun-alun itu pun kemudian
berduyun duyun rakyat Banyubiru menyaksikan putera putera
daerah mereka yang setia, yang selama ini menghilang dari
kampung halaman karena tekanan tekanan orang Pamingit.
Namun ternyata mereka sekarang datang kembali dengan senjata
di tangan.
Setelah pasukan itu semuanya memasuki alun-alun, maka
berkumpulah setiap pimpinan kelompok laskar itu, dihadapan Arya
Salaka. Dengan hati-hati Arya Salaka memberikan beberapa
penjelasan kepada mereka apakah sebabnya mereka kini harus
menempatkan diri dibawah pimpinan Ki Ageng Sora Dipayana.
“Dalam keadaan seperti sekarang ini,” katanya, “ki Ageng Sora
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 92
Dipoyono memang harus memegang seluruh pimpinan atas
Banyubiru dan Pamingit. Tak ada orang lain yang lebih berhak
daripadanya. Sedang Ki Ageng Sora Dipayana sekarang sedang
berjuang melawan golongan hitam. Namun lawannya terlalu besar.
Lawannya memiliki keunggulan yang tak dapat diatasinya. Nah
apakah kalian, pewaris tanah perdikan Pangratunan yang
kemudian bernama Banyubiru ini akan tinggal diam menyaksikan
orang yang cikal bakal tanah ini mengalami bencana?”.
Terdengar jawaban mbata-rubuh. “Kami bela Ki Ageng
Dipayana dengan segenap tenaga yang ada pada kita.”
“Terimakasih,” jawab Arya, “tentukan separo dari kalian akan
kubawa ke Pamingit, separo tetap tinggal disini untuk menjaga
kemungkinan yang tak kami harapkan di tanah ini. Kemudian,
siang hari kalian kami perkenankan untuk beberapa saat
meninggalkan pasukan, barangkali kalian ingin melihat sanak
keluarga dan orang yang kalian rindukan. Nanti kalau matahari
telah membuat bayanganmu sepanjang badan, kalian harus
berkumpul kembali di alun alun ini. Aku mengharap, sedikit lewat
tengah malam kalian harus sudah berada di Pangrantunan,”
Ketika penjelasan Arya Salaka itu diberikankepada setiap
kelompok oleh para pemimpin kelompok, bersoraklah mereka.
Mereka menerima kebijaksanaan Artya dengan sepenuh hati, tidak
saja sebagai lajimnya seorang prajurit yang baik. Namun karena
ternyata Arya Salaka telah berfikir seperti apa yang mereka
pikirkan. Arya tidak menutup mata atas kemungkinan yang ada
didalam dada laskarnya. Sebab ia sendiri merasakan, betapa
rindunya kepada halamannya, kepada setiap bunga yang
berkembang, lebih lagi kepada bundanya. Tetapi sampai saat ini
orang yang dirindukannya masih belum diketemukannya. Bahkan
ia tidak tahu apa yang terjadi atas ibunya di Pamingit. Apakah
orang-orang dari golongan hitam itu tidak mengganggunya?. Tiba-
tiba Arya menjadi tidak sabar lagi, namun ia sadar tidak bisa
membawa laskarnya ke jurang ke kebinasaan, hanya karena
dirinya merindukan ibunya. Karena itu, ia telah mencoba menekan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 92
perasaannya untuk mempertahankan keseimbangannya sebagai
seorang pemimpin.
Sesaat kemudian bubarlah barisan yang berada di alun-alun
itu. Masing masing berjalan dengan tergesa-gesa, bertebaran ke
segenap penjuru Banyubiru. Beberapa orang yang tidak
mempunyai kepentingan lagi dengan orang lain, karena hampir
seluruh keluarganya telah menyertainya ke Gedongsanga, ingin
juga berjalan jalan berkeliling kota melihat-lihat perubahan yang
timbul selama kota ini ditinggalkan. Kadang mereka singgah juga
ke rumah kenalan mereka. Namun kenalan mereka telah
menerima mereka dengan ketakutan. Jangan jangan laskar
Banyubiru ini akan mengganggunya seperti cerita yang selama ini
selalu didengar tentang mereka, bahwa laskar Banyubiru tidak
lebih dari gerombolan penyamun dan perampok yang hanya
mampu membuat kacau dan bencana. Namun setelah mereka
mengetahui apa yang telah dilakukan laskar Banyubiru itu yang
dengan ramah menyapa mereka, mereka memberi salam gairah
seperti dahulu. Sadarlah mereka bahwa laskar Banyubiru adalah
laskar yang selama ini berjuang untuk kepentingan mereka. Untuk
kepentingan rakyat Banyu Biru. Mereka ternyata selama ini telah
berusaha dengan gigihnya melenyapkan penghisapan orang lain
atas mereka.
Sisa waktu mereka pergunakan untuk beristirahat. Di bawah
pohon-pohon yang rindang, di gardu-gardu dan di tempat yang
sejuk. Mereka tidak tahu apakah nanti mereka masih mempunyai
waktu untuk beristirahat.
Arya Salaka pun mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya.
Meskipun hatinya selalu digelisahkan oleh keadaan ibunya yang
tak diketahuinya, namun ia mencoba juga untuk membaringkan
dirinya.
Ketika matahari telah mulai condong ke barat, sibuklah kem-
bali alun-alun Banyu Biru. Beberapa orang yang singgah di rumah
keluarganya, kenalan-kenalannya atau sahabat-sahabatnya telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 92
membenahi diri. Mereka telah menyiapkan diri, untuk segera
memenuhi tugas mereka, pergi kealun-alun sebelum bayangan
mereka tumbuh tepat sepanjang tubuh.
Sesaat kemudian alun-alun Banyu Biru itu telah riuh kembali,
Terdengarlah suara sangkakala mengaum dengan pada yang
bergelora. mengetuk setiap hati mereka yang mendengarnya.
Suaranya terlempar dari tebing bukit Telamaya, merayap ke
segenap penjuru, melontarkan panggilan suci. Panggilan
kemanusiaan untuk menegakkan hukum-hukumnya, sebagai
suatu panggilan pengabdian yang luhur.
Sekali lagi Arja berdiri berhadapan dengan para pemimpin;
kelompok laskarnya. Namun kini telah terbagi. Sebagian dari,
mereka dengan menyesal terpaksa tidak turut serta ke Pamingit.,
namun mereka pun sedang mengemban tugas yang berat pula,
mengamankan Banyu Biru.
Kali ini Arya berbicara singkat saja, memberi mereka petunjuk-
petunjuk kemana laskar itu harus pergi. “Kita langsung pergi ke
Pangrantunan, sebagai tempat yang ditentukan untuk membuat
garis pertahanan baru apabila eyang Sora Dipayana terdesak. Kita
semuanya akan menempatkan diri dibawah pimpinannya.
Perjuangan kali ini merupakan sebagian dari perjuangan kalian
untuk mempertahankan Banyu Biru. Bahkan dari tangan orang-
orang yang jauh lebih jahat dan biadab dari orang2 Pamingit. Yaitu
goloiigan hitam. Tetapkanlah hati kalian. Tuhan bersama kita.”
Kemudian terdengar kembali sangkakala memecah udara
Banyu Biru. Bersamaan dengan itu bergetar pulalah setiap hati
laskar yang sudah siap itu.
Sesaat kemudian terdengarlah aba-aba dari para pemimpin
mereka, dan ketika terdengar bende berdentang untuk ketiga
kalinya, maka ujung barisan itu pun mulai bergerak, diikuti oleh
barisan-barisan yang lain, sehingga akhirnya di alun-alun itu
tinggallah separuh dari mereka. Meskipun demikian, yang separuh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 92
itu pun, seolah-olah merasa jantung mereka berderab bersama-
sama dengan pasukan yang berjalan menjauh itu. Baru kemudian
mereka sadar oleh suara Wanamerta, “Nah, kalian yang tinggal.
Jangan menghilangkan kewaspadaan, Mungkin besok, mungkin
lusa kalian harus bertempur pula. Nah sekarang kalian dapat
membubarkan barisan ini. Kembalilah kedalam barak2 yang telah
ditentukan buat kalian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiap
siagaan yang tertinggi.”
Ketika laskar yang separuh itu kemudian meninggalkan alun-
alun itu pula, maka kembalilah Wanamerta ke pendapa untuk
duduk bersama-sama dengan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dar
Endang Widuri. Di pundak merekalah tanggung jawab atas Banyu
Biru diletakkan, sepeninggal Arya Salaka
II
Di Perjalanan, tak banyaklah yang dipersoalkan oleh Arya
Salaka dengan gurunya serta Kebo Kanigara. Angan-angannya
lebih banyak dicengkam oleh kegelisahan tentang nasib ibunya.
Namun demikian ia tetap dalam keseimbangan yang baik. Dua
orang telah diperintahkannya untuk berjalan berkuda
mendahuluinya. Mereka harus mengetahui, apakah laskar
Pamingit yang dipimpin oleh Wulungan dan Ki Ageng Sora
Dipayana berada di Pangrantunan atau di Kepandak.
Untuk menghindari salah paham dengan laskar yang langsung
dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, Arya Salaka menempuh jalan
melingkar agak jauh di sebelah timur Pamingit, langsung menuju
ke Pangrantunan. Apabila kemudian laskar itu akan menembus
Pamingit, mereka akan datang dari arah tenggara.
Ketika malam turun, laskar Arya Salaka telah menembus
hutan-hutan yang tipis di sebelah timur Pamingit. Untuk beberapa
saat laskar itu beristirahat. Mereka sekadar melepaskan lelah
mereka dengan mempersegar tubuh mereka di sumber air yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 92
mereka temui diperjalanan itu. Kemudian mereka masih sempat
menikmati bekal yang mereka bawa. Ketupat sambal.
Setelah beristirahat sejenak, kembali pasukan itu meneruskan
perjalanan. Bulan di langit separoh bulat telah naik tinggi di atas
bukit-bukit yang membujur seperti raksasa yang lelap. Angin
malam yang lemah bertiup dari utara mengusap pohon-pohon
perdu yang dengan lembutnya. Sedang di kejauhan sayup-sayup
terdengar anjing-anjing liar menggonggong berebut makanan.
Di tempat yang telah ditentukan, dua orang berkuda, yang
ditugaskan oleh Arya Salaka untuk mengamati keadaan, telah
menunggu.
“Bagaimana?” tanya Arya kepada mereka.
“Ki Ageng Sora Dipayana telah menarik pasukan ke
Pangrantunan,” jawab orang itu.
“Sejak kapan?” tanya Arya Salaka.
“Baru malam ini. Semua tenaga telah dikerahkan. Setiap laki-
laki di Pangrantunan telah memanggul senjata,” jawab orang itu.
“Adakah golongan hitam telah menyusul ke Pangrantunan
pula?” bertanya Arya Salaka lebih lanjut.
“Aku kurang jelas. Namun hal itu mungkin sekali,” jawab
mereka.
“Bagaimana dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tak aku ketahui. Namun mereka belum sampai di
Pangrantunan sore tadi. Tetapi seorang pengungsi mengatakan
bahwa Sumber Panaspun telah dikosongkan. Laskar Ki Ageng
Lembu Sora terdesak hebat sampai mereka terpaksa
meninggalkan garis perang dalam keadaan tak teratur.”
Arya menarik nafas panjang. Agaknya kekuatan golongan
hitam betul-betul tak dapat dianggap ringan. Suatu gabungan dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 92
sarang-sarang gerombolan yang mengerikan. Alas Mentaok,
Nusakambangan, Gunung Tidar, Rawa Pening dan seorang hantu
dari Lembah Gunung Cerme. Terbayanglah di dalam angan-
angannya, bahwa Pamingit benar-benar sedang dilanda oleh
taufan yang maha dahsyat. Ki Ageng Lembu Sora, yang beberapa
saat yang lampau dapat bekerjasama dengan mereka, akhirnya
sampailah saatnya ia digilas oleh arus hitam yang mengerikan itu,
karena orang-orang dari golongan hitam itu sadar, bahwa Lembu
Sora adalah suatu usaha saling memperalat semata-mata. Bukan
suatu kerjasama yang tulus.
Tetapi kini golongan hitam itu benar-benar salah hitung.
Mereka mengharap Ki Ageng Lembu Sora terpaksa membagi
laskarnya. Sebagian menghadapi laskar hitam itu, dan sebagian
menghadapi laskar Arya Salaka. Mereka mengharap bahwa dengan
demikian, menggilas Pamingit akan sama mudahnya seperti
menggilas ranti, untuk kemudian menghantam hancur sisa-sisa
laskar Arya Salaka dan Lembu Sora yang parah di Banyubiru.
Mereka samasekali tidak menduga, bahwa kejernihan dan
ketulusan hati Arya Salaka merupakan badai yang berhembus
dengan dahsyatnya, memporakporandakan rencana mereka.
Arya Salaka kemudian memerintahkan laskarnya untuk
mempercepat perjalanan. Hatinyapun menjadi semakin risau,
apakah kira-kira yang telah terjadi di Pamingit dan apakah yang
telah terjadi dengan ibunya? Ia menjadi cemas. Terbayanglah di
dalam rongga matanya orang-orang seperti Pasingsingan, Sima
Rodra dan sebagainya, dengan kasarnya memasuki setiap ruang
rumah pamannya di Pamingit. Apakah ibunya diketemukan di
rumah itu pula oleh mereka? Mudah-mudahan Tuhan memberikan
perlindungan kepadanya.
Hampir tengah malam, laskar Arya Salaka telah mendekati
Pangrantunan dari arah utara. Dari jauh mereka telah melihat
beberapa kelompok perapian yang menyala di sekitar desa itu.
Karena itu segera Arya Salaka menghentikan laskarnya untuk
menghindari kesalahpahaman.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 92
Kepada gurunya ia berkata, “Paman, bukankah sebaiknya aku
menghadap Eyang Sora Dipayana lebih dahulu?”
Mahesa Jenar mengangguk, jawabnya, “Baik Arya, sebab di
malam yang samar-samar demikian ini, akan mudah sekali timbul
salah mengerti. Laskar eyangmu itu mungkin samasekali tak akan
menduga bahwa kau akan datang membantu mereka.”
Kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, Arya Salaka berjalan mendahului, untuk melaporkan
kehadirannya bersama laskarnya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
Beberapa tonggak dari Pangrantunan, segerombol pengawal
menghentikan mereka. Dengan penuh kewaspadaan para
pengawal itu menyapa mereka dengan pertanyaan sandi. “Ke
manakah mulut gua menghadap?”
Arya tidak tahu bagaimana harus menjawab, karena itu ia
berkata terus terang, “Aku bukan dari laskar Pamingit.”
“Dari golongan hitam?” bentak para pengawal itu, dan
bersamaan dengan itu tombak-tombak mereka segera mengarah
ke dada Arya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Arya menggeleng, jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Kalau aku dari
golongan hitam, apakah agaknya aku akan bunuh diri?”
“Siapakah kalian?” tanya salah seorang daripada para
pengawal itu.
“Dari Banyubiru,” jawab Arya.
“Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka.
Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia harus mengatakan
dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak dapat
berpikir panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk
selanjutnya memukul mereka dari belakang. Dalam keragu-raguan
itu terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali, “Siapa?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 92
Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut, “Kami adalah
utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami
sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
berkata, “Apakah pesan itu? Dan adakah kau membawa
pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau kau dapat
menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak
bermaksud jahat?”
Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab, “Kau dapat
bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab
sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu
mengenai daerahnya.”
“Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal
yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu.
“Kami hanya bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan?
Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di hadapan
orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab
Mahesa Jenar.
“Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk
Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat.
“Tombak ini justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora
Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan mempertanyai
kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa
Jenar.
Para pengawal itu berpikir sejenak. Mereka memang pernah
mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki tombak yang sakti,
berrnama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang
seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya
bulan, maka percayalah mereka bahwa tombak itulah yang
bernama Kyai Bancak sebagai pertanda kebesaran Kepala Daerah
Perdikan Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 92
Ketika Mahesa Jenar melihat para pengawal itu ragu, ia
mendesak, “Bawalah kami kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau
kami bermaksud jahat, kami pasti tidak akan menempuh jalan ini.
Apalagi di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata. Itu
saja karena kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar
utusan Angger Arya Salaka.”
Para pengawal itu akhirnya percaya, bahwa tiga orang itu pasti
tak akan bermaksud jahat. Karena itu maka segera salah seorang
di antara mereka berkata, “Bawalah orang-orang ini menghadap
Ki Ageng.” Kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Jangan berbuat hal-
hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini
bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat
memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.”
“Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar, “Aku akan taat
kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan
selamat ke Banyubiru.”
Kemudian dengan diantar oleh lima orang bersenjata tombak,
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dibawa langsung ke
Pangrantunan.
Di ujung desa itu, di dalam sebuah pondok yang sedang,
tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada tempat-tempat
yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah
itulah Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu
berada. Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya
seseorang langsung menyampaikan berita tentang kehadiran tiga
orang Banyubiru itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
“Siapakah mereka?” tanya Ki Ageng. “Belum kami ketahui
namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang
mendengar laporan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 92
“Hanya seorang, yang dua orang samasekali tidak,” jawab
pengawal itu.
Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng
Sora Dipayana ia bertanya, “Apakah aku yang menerimanya?”
“Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu.
Akhirnya pengawal itu membawa Arya Salaka, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu.
Ketika Ki Ageng Sora
Dipayana dan Wulungan meli-
hat Arya, merekapun menjadi
terkejut. Dengan serta merta
Ki Ageng Sora Dipayana
menyapanya, “Kau Arya.”
Arya Salaka, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara mengang-
guk hormat. “Ya, Eyang,”
jawab Arya.
Dengan pertanyaan yang
melingkar-lingkar di dalam
rongga dada, orang tua itu
mempersilahkan tamunya ber-
tiga untuk duduk di atas tikar,
di bawah cahaya obor yang
samar-samar. Namun meskipun demikian, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara dapat menangkap, betapa perasaan orang tua itu
bergolak.
“Kedatangan kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata
kakeknya perlahan-lahan. “Adakah kau mempunyai keperluan
yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan orang-
orang dari golongan hitam itu selesai?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 92
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo kanigara segera
menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora Dipayana. Agaknya
orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian
mengubah pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru.
“Kapankah kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya
Arya.
Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan
kepalanya, jawabnya, “aku tidak tahu Arya. Besok, lusa atau
seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini selesai,
akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya.
Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir
dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan
kewajiban kami.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali
melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata, “Dapatkah aku
ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. Diangkatnya wajahnya yang
telah dipenuhi oleh jalur-jalur umurnya, namun kesegaran dan
kewibawaan yang terpancar dari wajah itu mengesankan bahwa Ki
Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan
penuh dengan pengalaman hidup.
Tetapi kali ini orang tua itu tidak segera dapat mengerti
maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi oleh
persoalan-persoalan ia bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan
Arya?”
Arya Salaka menggeser tempat duduknya, ia tidak segera
menjawab, tetapi ia memandang saja kepada gurunya. Agaknya ia
minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan maksudnya
kepada kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas,
karena ia merasa bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan
perasaan dengan kata-kata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 92
Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya
ia menganggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh
diluar pondok itu.
“Ada apa diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana.
Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah
duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata, “Ki Ageng, laskar Ki
Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”
Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil
mengangguk- angguk ia berkata, “Di manakah Lembu Sora dan
Sawung Sariti?”
“Sedang menuju kemari,” jawab orang itu.
“Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.
Sebelum orang itu keluar, masuklah orang yang dikatakannya.
Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Pakaian mereka yang
bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah mereka yang
dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa
perasaan mereka bercampur baur bergolak dalam dada mereka.
Kedua orang itu terkejut sekali ketika mereka melihat Arya
Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di dalam ruangan
itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng Sora
Dipayana bertanya, “Bagaimana dengan laskarmu?”
Lembu Sora menggeram. “Terpaksa aku tarik kemari,”
jawabnya.
“Seluruhnya?” tanya ayahnya pula.
“Ya.” Ia masih ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi
ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang Arya Salaka dengan
tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar, “Ada apa anak
itu ke sini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 92
“Duduklah.” Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan. “Biarlah
kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.”
Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. Namun
mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing.
“Aku sedang bertanya kepadanya.” Ki Ageng Sora Dipayana
berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.
“Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang
dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya.
Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya,
namun ia tidak menjawab.
“Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu
kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi.
Kembali Arya memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar
sadar bahwa muridnya memerlukan bantuannya.
Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki
Lembu Sora berkata, “Jangan ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat
di dalam hatimu. Sebenarnya kami tidak perlu bertanya lagi.
Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang tersirat didalam hati, pasti
akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah betapa kelam warna
wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian. Apakah
kalian memungkiri bahwa kalian termasuk di dalam deretan
golongan hitam?”
Betapa tersinggungnya hati Arya Salaka dan Mahesa Jenar
mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya Mahesa Jenar
mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa
kelam warna itu.
Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar kepada baju Arya, ia
menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan baju
pendek sangat sederhana. “Hmm....” Terdengar ia menggeram.
Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengarlah Kebo
Kanigara berkata dengan sarehnya. “Ki Ageng Lembu Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 92
Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami.
Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati.
Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa
sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng,
jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya
yang nampak. Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan
tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia berhati indah?
Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan jelek,
apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?”
Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring.
Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan penuh
hinaan. Katanya, “Sebuah dongeng yang bagus.”
“Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara. “Sebuah dongeng
yang bagus.”
“Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan
tidak sabarnya. “Menuntut balas? Menuntut supaya Lembu Sora
dipenggal lehernya atau apa? Kalian benar-benar dapat kembali
gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat
memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah
buat golongan hitam itu.”
Tubuh Arya Salaka tiba-tiba menjadi bergetar. Ia menjadi
sangat kecewa mendengar kata-kata pamannya. Namun demikian
terdengan Kebo Kanigara merkata-kata dengan tenangnya, “Ki
Ageng. Memang kadang-kadang terjadilah hal-hal diluar dugaan
wajar. Tetapi sebenarnya tidak perlu Ki Ageng menjadi heran
maupun curiga. Aku juga pernah mendengar sebuah cerita yang
menarik. Cerita anak-anak bersumber pada cerita Panji. Meskipun
Candrakirana selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari
orang-orang yang ditemuinya, baik dalam cerita Klenting Kuning
maupun dalam cerita Limaran dan lain-lain, namun ia tidak pernah
mendendamnya. Bahkan akhirnya ketika ia mendapatkan
kamukten-nya kembali, orang-orang yang pernah mendurha-
kainya itu pun dimuliakannya pula.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 92
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Cepat-cepat
ia mendahului Lembu Sora, “Mudah-mudahan aku dapat menduga
maksud cerita itu. Nah, cucuku Arya Salaka, katakan apa maksud
kedatanganmu.”
Dada Arya Salaka masih tergetar oleh perasaan kecewa.
Karena itu Mahesa Jenar mewakilinya, “Ki Ageng, Arya Salaka
datang dengan laskarnya. Sebagai bakti seorang cucu kepada
pepundhen-nya. Ia bersedia menempatkan dirinya di bawah
pimpinan Ki Ageng untuk ikut serta mengusir golongan hitam itu.”
Pondok kecil itu seolah-olah menjadi tergetar oleh kata-kata
itu. Mereka samasekali tidak menduga bahwa demikianlah maksud
kedatangan anak itu. Ki Ageng Lembu sora seketika itu terdiam
seperti patung. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergelora didalam
rongga dadanya. Sesaat ia kehilangan kesadaran diri. Seperti ia
sedang terbang didunia mimpi. Dengan susah payah ia berusaha
untuk meyakinkan pendengarannya.
Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menundukan
wajahnya. Keluhuran hati anak itu telah memukul jantungnya
sedemikian hebatnya sehingga tiba-tiba tanpa sesadarnya, dari
matanya mengembanglah air mata, yang menetes satu-satu diatas
pangkuannya. Sebagai seorang laki-laki, Ki Ageng Sora Dipayana
telah mengalami kesulitan, penderitaan dan kepahitan. Namun ia
tak pernah membiarkan perasaannya hanyut dan tenggelam dalam
kesulitan itu. Sekarang, tiba-tiba ia tak mampu menguasai diri,
sehingga satu-satu jatuhlah air matanya.
Untuk sesaat ruangan itu terlempar ke dalam kesepian. Hanya
nafas mereka yang saling memburu, terdengar sedemikian
jelasnya. Diluar, terdengarlah derap para pengawal hilir mudik
melakukan kewajibannya dengan tertib.
Kemudian dengan gemetar terdengar suara Ki Ageng Sora
Dipayana, “Arya, coba ulangilah kata-kata Angger Mahesa Jenar,
supaya aku menjadi yakin karenanya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 92
“Benar Eyang’” jawab Arya, “Aku datang dengan laskarku. Aku
ingin menunjukkan, apakah yang dapat aku serahkan sebagai
tanda baktiku kepada orang tuaku. Sebagai pernyataan terima
kasih serta sebagai suatu kenyataan atas adaku.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin terharu karenanya.
Sambil mengangguk-angguk kepalanya ia memandangi anaknya,
Lembu Sora yang masih duduk kaku di tempatnya.
“Kau dengar Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
Lembu Sora seperti orang yang tersadar dari mimpinya. Ia
menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang mula-mula
memancarkan kemarahan tiba-tiba menjadi pudar. Ia ingin
menyatakan perasaannya yang bergelora di dalam dadanya,
namun yang keluar dari mulutnya dengan suara yang bergetar
hanyalah, “Ya, aku dengar ayah.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya, “Dimanakan laskarmu
sekarang, Arya?”
“Beberapa tonggak di sebelah utara desa ini, Eyang.”
Jawabnya.
“Bawalah mereka mendekat, supaya segala perintah dapat
tersalur dengan cepat sebaik-baiknya,” perintah Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Baik, Eyang’” jawab Arya. Kemudian ia pun berdiri dan mohon
diri untuk membawa laskarnya masuk ke Pangrantunan. Sedang
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tinggal bersama-sama dengan
eyangnya di pondok itu.
Di halaman, Arya Salaka terkejut ketika seseorang
menggamitnya sambil berkata, “Aku turut dengan tuan, supaya
tidak terjadi salah pengertian dengan laskar Ki Ageng Lembu
Sora.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 92
Baru Arya Salaka sadar bahwa ia berada di daerah peperangan
antara laskar-laskar yang pernah berhadapan sebagai lawan yang
hampir saja menumpahkan darah.
Ketika ia menoleh, Wulungan berjalan di belakangnya. “Terima
kasih Paman Wulungan.” Jawabnya.
Kemudian mereka berdiam diri dan berjalan dalam
keremangan cahaya bulan muda yang telah hampir tenggelam.
Beberapa orang penjaga mengangguk hormat ketika mereka
melihat Wulungan lewat di depan mereka.
Di pinggir desa Pangrantunan, Arya Salaka melihat laskar yang
berserak-serak. Nampak betapa parah keadaan mereka. Beberapa
orang yang luka masih belum terawat dengan baik.
“Kakang Wulungan?” sapa salah seorang dari mereka.
“Ya,” jawab Wulungan. “Bagaimana keadaan laskarmu?”
“Parah,” jawab orang itu. “Keadaan kalian disini agaknya masih
lebih baik.”
“Demikianlah,” sahut Wulungan, “Tetapi besok atau lusa kita
akan mengalami keadaan yang sama.”
Orang itu tertawa. Seram sekali. Tawa yang samasekali tidak
sedap, sebagai pelepas kejengkelan dan kemarahan.
Hati Arya berdesir ketika ia mengenal orang itu kembali. Ia
pernah melihatnya beberapa tahun yang lampau di Gedangan.
Namun ia berdiam diri. Ketika mereka sudah meninggalkan laskar
itu, bertanyalah Arya, “Paman Wulungan, benarkah orang tadi
bernama Galunggung?”
“Ya. Dari siapa Angger mengenalnya?” sahut Wulungan.
“Ia termasuk orang baru di dalam laskar kami. Baru beberapa
tahun. Namun karena sifatnya yang disukai oleh Angger Sawung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 92
Sariti, ia cepat sekali menanjak ke tempatnya yang sekarang.
Pengawal pribadi Angger Sawung Sariti.”
Kemudian kembali mereka berjalan sambil berdiam diri. Angin
malam masih mengalir perlahan-lahan membawa udara yang
sejuk. Di langit, bintang-bintang berkedip-kedip dengan cerahnya.
Tiba-tiba terdengar kembali suara Wulungan, “Angger....” Arya
Salaka menoleh, namun tidak menjawab.
“Beruntunglah laskar Banyubiru mendapat seorang pemimpin
seperti Angger ini.” sambung Wulungan.
Arya mengerutkan keningnya, “Kenapa Paman?”
“Sudah lama aku mengagumi kejantanan Angger. Agaknya
sifat-sifat ayahanda Gajah Sora tercermin di dalam hati Angger.
Apalagi Angger mendapat asuhan dari seorang yang
mengagumkan dalam perjalanan hidup Angger selama ini,
sehingga dengan demikian sempurnalah sifat-sifat kepahlawanan
di dalam tubuh Angger. Orang setua aku inipun tak akan
membayangkan bahwa pada suatu ketika Angger datang dengan
laskar yang segar untuk kemudian membantu pamanda dalam
kesulitan ini. Alangkah jauh bedanya sifat-sifat itu dengan sifat-
sifat Angger Sawung Sariti.”
“Jangan memuji, Paman,” sahut Arya Salaka.
“Aku berkata atas keyakinan,” jawab Wulungan, “Aku adalah
salah seorang dari laskar Angger Sawung Sariti itu.”
Arya tersenyum mendengar pujian itu. Ia samasekali tidak
membanggakan diri karena sifat-sifat yang baik dan dikagumi
orang, tetapi ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa
karena kuasa-Nya, maka ia selalu mendapat petunjuk-petunjuk
dan mendapat sinar terang di hatinya. Selalu diingatnya sebuah
cerita yang pernah diceritakan oleh gurunya, tentang dua orang
hamba seorang raja dan yang seorang adalah pemungut pajak
yang kejam. Ketika mereka berdua bersama-sama menghadap
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 92
raja, maka berkatalah penghulu istana, “Maha Raja yang
bijaksana. Aku adalah orang yang sebaik-baiknya di kerajaanmu.
Aku selalu berbaik hati kepada rakyatmu dan memberikan kepada
mereka hadiah-hadiah yang berharga, sehingga dengan demikian
segenap rakyatmu akan mencintai aku. Karena itu, kalau Maha
Raja akan memberi hadiah kepada hambanya, maka akulah
orangnya yang paling pantas untuk menerimanya.”
Sedang pemungut pajak itu kemudian bersujud di bawah kaki
Maha Raja yang bijaksana itu, katanya, “Duh Maha Raja yang
bermurah hati. Aku adalah orang yang sejahat-jahatnya di
kerajaanmu. Aku telah menjalankan pekerjaanku dengan lalimnya
karena aku inginkan pujian dari atasku. Karena itulah maka rakyat
di kerajaanmu sangat membenci aku. Namun Maha Raja yang
bijaksana, karena itulah aku akan bertobat. Dan aku akan
menerima hukuman yang akan ditimpakan kepadaku atas
kelalaianku itu.”
Ketika kemudian Raja yang bijaksana itu memberikan
hadiahnya, maka pemungut pajak itulah yang berhak
menerimanya. Bukan penghulu istana. Kemudian ternyatalah
bahwa pemungut pajak itu benar-benar bertobat dan membagi-
bagikan hadiahnya kepada mereka yang pernah dicederainya,
sedang penghulu istana kemudian berontak terhadap raja, hanya
karena ia tidak menerima hadiah. Sebab kebaikan yang dilakukan
selama itu hanyalah terdorong oleh keinginannya untuk menerima
hadiah.
Demikianlah Arya Salaka menerapkan cerita itu dalam
hidupnya sehari-hari. Kebaikan dan keikhlasannya berkorban
bukanlah semata-mata karena jiwa pengabdiannya serta
kesetiaannya pada kewajibannya.
Beberapa langkah kemudian sampailah mereka di pusat
pengawalan. Ketika mereka melihat Wulungan dan seorang lain
lewat, segera pemimpin pengawal itu membungkuk hormat
kepadanya sambil menyapa, “Kakang Wulungan…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 92
“Ya,” jawab Wulungan, “Bagaimana keadaannya?”
“Selama ini baik, Kakang,” jawab orang itu.
“Tak ada yang mencurigakan?” tanya Wulungan pula.
“Tidak Kakang,” jawab orang itu.
“Bagus. Aku akan pergi sebentar. Menjemput laskar
Banyubiru,” sahut Wulungan.
“Laskar Banyubiru…?” Orang itu menjadi heran. Bahkan
beberapa orang lainpun menjadi keheranan pula sehingga mereka
mendesak maju.
“Ya,” jawab Wulungan sambil memperhatikan wajah-wajah
yang kecemasan itu.
Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Berita
kedatangan laskar Banyubiru itu bagi mereka seakan-akan bunyi
kentong pelayatan atas jenazah mereka.
Melihat kegelisahan yang membayang itu Wulungan
menyambung kata-katanya, “Mereka akan datang membantu
kita.”
“He…?” terdengar mereka berteriak terkejut. “Membantu kita
atau membinasakan kita?” Para pengawal itu masih ingat dengan
jelas beberapa hari yang lalu mereka sudah berhadapan dengan
laskar Banyubiru itu dengan kesiapan-kesiapan tempur.
“Percayalah kepadaku. Mereka datang untuk membantu kita
menumpas golongan hitam itu.” Wulungan menjelaskan.
“Suatu harapan yang akan mengecewakan,” sahut pemimpin
pengawal itu.
“Dengarlah sendiri apa yang dikatakan oleh pemimpin laskar
Banyubiru itu,” berkata Wulungan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 92
“Pemimpin laskar Banyubiru? Siapakan dia dan di manakah
dia?” tanya beberapa orang bersama-sama.
“Arya Salaka. Inilah orangnya,” jawab Wulungan.
Kembali mereka terkejut. Orang itulah yang tadi datang
bersama-sama dengan dua orang lainnya, yang mengatakan
bahwa mereka adalah utusan Arya Salaka. Ternyata anak muda
yang membawa tombak itu sendirilah yang bernama Arya Salaka.
Ketika mereka masih keheranan, terdengarlah Arya Salaka
berkata, “Jangan berprasangka. Aku datang untuk membantu
kalian. Bukankah kalian seperti kami juga dari Banyubiru, adalah
pewaris Tanah Perdikan Pangrantunan?”
Wajah-wajah yang sudah pucat karena putus asa itu tiba-tiba
menjadi berangsur merah. Saat-saat terakhir mereka hanya dapat
menunggu sampai tangan-tangan hitam itu membinasakan
mereka satu demi satu. Tetapi tiba-tiba terulurlah tangan Arya
Salaka untuk menyelamatkan mereka. Karena itu tiba-tiba
melonjaklah keharuan di dada mereka. Sehingga tanpa sesadarnya
pemimpin pengawal itu segera berjongkok di hadapan Arya sambil
berkata, “Tuan, Tuan datang sebagai datangnya malaikat yang
akan menyelamatkan kami, tanah kami serta kebesaran nama
Pangrantunan.”
“Aku datang sekadar menetapi kewajiban,” sahut Arya sambil
menarik lengan orang itu. “Berdirilah,” katanya.
Orang itu kemudian berdiri. Tetapi kepalanya tertancap jauh
ke tanah dekat di ujung ibu jari kakinya. Terlintas di dalam
kepalanya, kepahitan hidup yang dialaminya bersama-sama laskar
Lembu Sora yang lain. Kecurangan, kenaifan dan sifat-sifat yang
lain. Sekarang terasa betapa jujur kata-kata anak muda itu. Arya
Salaka yang selama ini dikejar-kejar oleh laskar Pamingit untuk
dibunuhnya. Oleh kenangan itu terasa bahwa mulutnya tiba-tiba
seperti tersumbat. Banyak sekali terima kasih yang akan
diucapkan, namun tak sepatah katapun yang terlahir.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 92
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Wulungan, “Kami
akan berjalan. Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak
berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan salah mengerti antara
laskar Pamingit dan laskar Banyubiru. Kami seterusnya akan
bersama-sama berjuang untuk tanah kami.”
“Baik Kakang,” jawab pemimpin pengawal itu.
Arya Salaka bersama-sama Wulungan kemudian meneruskan
perjalanannya, menjemput laskar Banyubiru yang ditinggalkan
beberapa tonggak dari Pangrantunan.
III
Berita tentang akan datangnya laskar Banyubiru itu pun segera
tersebar. Dalam waktu yang sangat singkat. Setiap pengawal yang
bertugas telah mendengarnya. Berbagai tanggapan bergelut di
dalam dada mereka. Setengahnya mereka tidak percaya, sedang
setengahnya menjadi gembira. Kalau pada umumnya mereka telah
berputus asa, tiba-tiba timbullah harapan dan gairah mereka
kembali atas tanah mereka. Meskipun mereka belum yakin bahwa
di dalam laskar Banyubiru itu ada orang-orang yang tangguh
seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, apalagi seperti Ki
Ageng Sora Dipayana dan pendatang yang aneh, yang mirip
dengan perempuan dan bernama Titis Anganten. Namun setidak-
tidaknya nasib mereka berbagi.
Di dalam pondok kecil masih berkumpul Ki Ageng Sora
Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Tiba-tiba timbullah keinginan Ageng Sora Dipayana
untuk melihat laskar Banyubiru itu. Apakah mereka akan dapat
memberikan bantuan yang berarti.
“Marilah kita lihat laskar Arya itu,” katanya. “Marilah Ki Ageng,”
jawab Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang kecut,
sambil berkata, “Ayah, dapatkah anak itu kami percaya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 92
Mata Lembu Sora masih saja membayangkan kekeruhan
hatinya. Sebenarnya ia melihat betapa wajah kemanakannya
benar-benar meyakinkan, bahwa anak itu telah berkata dengan
jujur. Karena itu ia tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya.
Yang terdengar adalah jawaban Ki Ageng Sora Dipayana, “Kau
terlalu dihantui oleh perasaanmu sendiri cucuku. Percayalah
kepada kakangmu. Aku yang menjadi jaminannya.”
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora
berkata pula, “Aku mempercayainya Sawung Sariti.”
Mata Sawung Sariti menjadi redup. Senyum yang aneh
membayang di bibirnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi muak
melihat senyum itu, mirip benar seperti senyuman Jaka Soka dari
Nusakambangan. Namun demikian ia tidak berkata apa-apa.
Mereka semuanya kemudian melangkah keluar pondok itu dan
berjalan untuk melihat laskar Arya Salaka yang akan datang
masuk ke Pangrantunan. Mereka untuk sementara akan
ditempatkan di halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat
yang lebih baik bagi laskar itu, seperti juga laskar Lembu Sora
yang masih belum mendapat penampungan yang baik.
Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera
Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata,
“Bagaimana Angger?”
“Kami dapat diperkenankan memasuki desa Pangrantunan,
Paman. Dan inilah Paman Wulungan,” jawab Arya Salaka.
Bantaran menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi
yang segera dibalas oleh Wulungan.
“Aku mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut
Wulungan dengan ramahnya.
“Terima kasih,” jawab Bantaran.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 92
Ketika kemudian muncul Jaladri diantara mereka, berkatalah
ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada sahabatnya
yang karib. “Selamat malam Wulungan. Sudahkah kau sediakan
makan malam buat kami?”
Nasib mereka dalam sehari, pada saat-saat mereka bertempur
melawan Bugel Kaliki, telah membentuk persahabatan yang akrab
di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab, “Tentu
Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat
bagian.” Jaladri kemudian tertawa.
Ketika kemudian segala sesuatu telah dipersiapkan, maka
segera laskar itu pun berangkat memasuki desa Pangrantunan.
Bagaimanapun juga, di dalam dada laskar Banyubiru itu, masih
juga tersangkut rasa persaingan dengan laskar Pamingit. Meskipun
kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di hati Bantaran,
Penjawi, Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada
keinginan untuk memperlihatkan bahwa mereka samasekali tidak
berada di bawah tingkatan laskar Pamingit. Karena itulah, maka
mereka memasuki Pangrantunan dengan upacara yang
menggemparkan. Meskipun menjelang tengah malam, namun
laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama sangkalala dan
genderang yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit
Merbabu itu.
Suara sangkalala dan genderang itu telah mengejutkan
segenap laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun
yang sedang beristirahat. Karena itu segera mereka bangkit.
Mereka yang kurang mengerti persoalannya, segera memegang
senjata masing-masing. Tetapi kemudian para pemimpin mereka
memberi mereka penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari
pemimpin pengawal yang sedang bertugas. Seperti juga yang lain-
lain, mereka ragu. Karena itu mereka ingin menyaksikan
kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.
Laskar Banyubiru memasuki Pangrantunan dengan derap yang
mengagumkan. Di ujung barisan itu berjalan dengan tegapnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 92
Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan yang segar,
yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini
tidak mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam
dada mereka berakar tekad yang seragam. Mengabdi kepada
tanah pusaka, tanah tercinta, yang diperuntukkan oleh Maha
Pencipta bagi mereka.
Laskar Pamingit yang pecah, ketika melihat kedatangan laskar
Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan baru
dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta merta,
mengumandanglah teriakan-teriakan mereka. “Hidup laskar
Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru....”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat laskar Banyubiru
lewat di hadapannya dalam keremangan cahaya bulan. Sungguh
tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru, yang selama ini
terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat
merupakan kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan
dada tengadah, dan percaya kepada keadilan Yang Maha Kuasa,
yang telah menempa mereka menjadi laskar yang pilih tanding.
Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan hati yang pecah-
pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan yang
dahsyat, yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu-
satu berterbanganlah kenangan-kenangan masa lampaunya yang
memalukan. Teringatlah, betapa ia berusaha mati-matian untuk
meniadakan Arya Salaka. Dan tiba-tiba anak itu sekarang datang
menyelamatkannya, menyelamatkan tanahnya.
Apalagi ketika Lembu Sora menyaksikan laskar Banyubiru
dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi bertambah malu.
Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari gerombolan
berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke
pasar. Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu,
bergetarlah jantungnya, seperti udara yang digetarkan oleh suara
genderang laskar Banyubiru itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 92
Dan terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan
hitam bukanlah mereka yang hitam pada wadag dan tata
kelahirannya, tapi golongan hitam adalah mereka yang berhati
hitam.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Ia tidak kuasa lagi
menyaksikan laskar yang perkasa itu. Tetapi lebih daripada itu, ia
menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya. Terbayanglah di
dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya
dengan penuh penyesalan atas perbuatannya.
Lembu Sora terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak, “Hidup
laskar Banyubiru.” Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya.
Tampaklah di luar barisan berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai
Bancak di tangannya bersama-sama Wulungan. Dada Lembu Sora
menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia seolah-olah melihat
kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya dengan
marah dan berkata kepadanya, “Lembu Sora, coba bunuhlah
anakku itu kalau kau berani.” Sekali lagi wajah Lembu Sora
terbanting di tanah.
Yang mempunyai tanggapan lain adalah Sawung Sariti. Ketika
pasukan Banyubiru itu lewat, terasa dadanya berdesir pula, karena
ia pun samasekali tak menyangka, bahwa laskar itu dapat berbaris
dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya. Betapa
mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya,
sebagai tanda bahwa mereka menguasai setiap senjata yang
berada di tangan mereka dengan baiknya. Di dalam hati kecilnya,
Lembu Sora bersukur pula bahwa laskarnya tak terlibat dalam
pertempuran dengan laskar Banyubiru itu. Sebab dengan
demikian, ia akan terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan nama
yang ternoda, kalau terpaksa laskarnya tak mampu melawan
laskar Arya Salaka itu. Tetapi yang kemudian menguasai perasaan
Sawung Sariti adalah sifat-sifatnya yang kurang baik. Ia menjadi
iri hati. Iri hati terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin
laskarnya, iri hati terhadap kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia
melihat eyangnya tampak bangga, dan ayahnya bersedih.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 92
Sebelum laskar itu habis sampai ke ujungnya, ia sudah
memalingkan mukanya.
“Bagaimana Anakmas?” terdengar suara di belakangnya.
“Hem....” geramnya. “Bagaimana menurut pendapatmu
Galunggung?”
“Tak berarti,” sahut orang itu. “Besok atau lusa laskar yang
sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar
gabungan dari golongan hitam itu.”
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. “Laskarnya tak begitu
banyak. Apa yang dibanggakan?”
“Yang datang hanya separuh, Tuan.”
Tiba-tiba terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya
menoleh, dilihatnya Srengga berdiri di situ.
“Dari mana kau tahu?” tanya Sawung Sariti
“Dari pengawal,” jawab Srengga.
“Omong kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang
dilapisi oleh kedengkian.
Srengga kemudian berdiam diri. Yang lain pun diam. Sekali lagi
mereka melayangkan pandangan mereka kepada pasukan yang
lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan itu. Mereka yang
menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing.
Sebagian besar dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka
akan diperingan karena kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin,
nyawa merekapun akan selamat pula. Laskar Pamingit akan bebas
dari kemusnahan mutlak. Meskipun demikian, kemampuan tempur
laskar Banyubiru masih perlu diuji.
Malam itu laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah
ditentukan. Di halaman Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga
sebagian besar dari mereka, harus duduk bersandar pagar di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 92
sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat
merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu.
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara kembali duduk
bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu
Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana
kemudian mengambil seluruh pimpinan di tangannya.
“Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya.
“Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.”
Selanjutnya, orang tua itu membuat perintah-perintah yang
harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan Lembu
Sora dengan laskar Pamingit.
“Menurut perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang
datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan menyerang
kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora Dipayana,
“Sebab mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu
banyak, sehingga mereka lebih senang menanti kita datang
menyerang.”
Tak seorang pun yang mengajukan pendapatnya.
“Karena itu....” orang tua itu meneruskan, “Kita masih
mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang
mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil
daerah pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau
gelar-gelar yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit
Urang.” Tiba-tiba orang tua itu teringat bahwa di antara mereka
duduk seorang bekas perwira prajurit pengawal raja, yang pasti
mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup cermat dalam
peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar. Karena itu
segera ia berkata, “Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka ia pun
menjawab, “Demikianlah Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 92
untuk melawan mereka yang biasa bertempur tanpa aturan, dan
terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin mereka.
Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari
ikatan gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka yang
tak mau mengikat diri itu.”
“Bagus,” sambut orang tua itu. “Kita pun mempunyai orang-
orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.”
Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar
Pamingit itu terdapat seorang sakti yang bernama Titis Anganten.
Karena itu kemudian ia bertanya, “Di manakah Paman Titis
Anganten itu?”
“Ia berkeliaran sepanjang
hari,” jawab Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Tapi ia hadir dalam setiap
pertempuran.”
”Kalau demikian, biarlah
Paman Titis Anganten kita
perhitungkan pula. Siapakah
para pemimpin golongan hitam
dari angkatan tua itu?” tanya
Mahesa Jenar.
“Bugel Kaliki, Sima Rodra,
Pasingsingan, Nagapasa dan
Sura Sarunggi,” jawab Sora
Dipayana.
“Nah, kalau demikian kitapun harus melepaskan lima orang
dari ikatan gelar itu. Bahkan barangkali lebih dari itu, untuk
melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan Soka,”
sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-
anggukkan kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 92
dirinya sendiri dapat melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu,
orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar
sendiri merasa, bahwa ia pun sanggup untuk menyerahkan dirinya
dalam pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk
menyatakan diri. Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah
suara Sawung Sariti dengan nada yang tinggi, “Siapakah lima
orang dari kamu itu?”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah
cucunya dengan kecewa, juga nada suaranya tak menyenangkan.
Namun orang tua itu menjawab, “Sudah menjadi kewajibanku
untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua
eyangmu Titis Anganten.”
Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk
meneruskan, dan memang tak diketahuinya siapa yang akan
disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan
kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana
menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu,
Sariti.”
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang mengundang seribu
satu macam kemungkinan. Katanya, “Kenapa bukan Paman
Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang
Tumaritis itu?”
Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan
menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa Jenar
menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat demikian? Di
Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami
kekalahan, namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan
karena Mahesa Jenar dan sahabatnya itu. Beberapa laskarnya
melihat seorang berjubah abu-abu ikut serta membantu mereka.
Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu. Apakah ia
Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan
mungkin eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng
Pandan Alas. Sekarang, tanpa bantuan seorang pun Mahesa Jenar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 92
pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak berarti tanpa
Mahesa Jenar? Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang
menunggu jawaban dari orang yang dijerumuskannya ke dalam
kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak maksud
anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung
dibalik kata-katanya. Meskipun demikian perlahan- lahan ia
menjawab, “Baiklah Angger, kalau Angger Sawung Sariti
berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana
menyetujuinya, aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan
bersedia untuk membantu.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan
Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera memotong, “Angger Mahesa
Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus
melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang
lain. Kelompok demi kelompok.” Sebelum Ki Ageng meneruskan
kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela, “Usaha itu ternyata
gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu
terbunuh.”
“Kalau demikian....” Mahesa Jenar menengahi, “Biarlah aku
berada dalam kelompok- kelompok itu. Demikian juga Kakang
Putut Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.”
Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain
menyetujui terakhir Mahesa Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak
kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga ia mengharap
Mahesa Jenar akan masuk kedalam perangkapnya.
Demikianlah akhirnya, mereka masing-masing meninggalkan
pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya. Arya Salaka,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa, sedang
Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang
payah. Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora
Dipayana dan Wulungan. Yang akhirnya mereka mempergunakan
sisa malam itu untuk beristirahat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 92
Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia
menunggu kalau ada tanda-tanda atau laporan bahwa orang-orang
dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi ternyata bahwa
perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat
sehari penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus
bekerja mati-matian.
Kesempatan hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali
pasukan Pamingit, serta menempatkan mereka ke dalam pondok-
pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah
disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun
malam.
Pada malam harinya, keadaan menjadi bertambah tegang.
Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka tahu
bahwa besok mereka harus bertempur kembali. Yang paling
tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat
kepada ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan
hitam, dan dapat mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh
golongan hitam itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia sedang
berangan-angan di muka pondoknya, tiba-tiba muncullah dari
kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil, berjalan seperti
seorang perempuan mendekatinya. Beberapa langkah dimukanya
orang berhenti dan bertanya, “Arya Salakakah ini?”
Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan
enyambutnya, “Ya, Eyang.”
Orang itu tertawa perlahan-lahan. “Kau sedang bersedih?”
“Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap.
“Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis
Anganten pula.
Arya Salaka tertegun. Orang tua itu dapat menebak
perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia agak malu juga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 92
untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten
itu, “Pamanmu ada…?”
“Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman
Mahesa Jenar?” tanya Arya pula.
“Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya.
“Aku hanya perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.”
Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis
Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.
“Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab
Titis Anganten. “Berita tentang ibumu.”
Arya terlonjak. “Ibu…?” Ia menegaskan.
“Ya.”
“Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.
“Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan bercerita
tentang ibumu,” kata Titis Anganten perlahan-lahan.
Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera
mengetahui, berita apakah yang akan disampaikan kepadanya.
“Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit” Titis Anganten
mulai, “Pamingit sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan
adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru. Mereka sedang
bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya
golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir tanpa
perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak
ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu
Sora dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat
persiapan- persiapan yang dilakukan oleh golongan hitam.
Sehingga dengan demikian aku sempat menyingkirkan bibi serta
ibumu itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 92
“Jadi ibuku selamat?” tanya Arya.
“Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten.
Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya
menjadi sesak. Dan tidak setahunya ia berbisik, “Tuhan Maha
Besar.” Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada
orang tua yang menyelamatkan ibunya itu sambil berkata, “Tak
dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang
Titis Anganten.”
Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata
sepatah katapun ia berdiri dan berjalan pergi.
“Eyang....” Arya mencoba memanggil. Tetapi Titis Anganten
tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat-
lamat kemudian terdengar ia berkata, “Aku sudah mengantuk.
Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.”
Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana
ibunya sekarang. Namun ia percaya bahwa Titis Anganten telah
menempatkan ibunya itu di tempat yang aman. Dengan demikian
hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia
mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang
golongan hitam nanti menghancurlumatkan Pamingit.
Demikianlah ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun
segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya.
Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya di samping
Kebo Kanigara. Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga.
Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan nyenyaknya. Ia tidak
peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi. Namun ia
malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar,
tersenyum kepadanya sambil berkata, “Arya, sambutlah dengan
kedua tanganmu. Hari akan cerah.” Dan Arya tersenyum di dalam
tidurnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 92
Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman. Beberapa
orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa
orang masih enak-enak menikmati minum air sere yang hangat,
dengan segumpal gula kelapa. Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar
dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan segarnya.
Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu. Sesudah sembahyang
Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar perapian
sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah
beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa
dan segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan
bersama sebelum mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan
mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat
dinikmatinya.
“Kita berada di sayap kiri.” Terdengar gurunya bergumam.
Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat
lehernya.
Setelah mereka mengaso sejenak, terdengarlah tengara
dibunyikan. Laskar Banyubiru itu pun segera bersiap, dan berbaris
menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka, dengan
tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh,
segera merapatkan diri dalam barisan. Beberapa orang pemimpin
dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora
Dipayana untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila
mungkin, mereka harus memilih lawan. Jangan sampai ada korban
sia-sia.
Ketika sangkalala berbunyi, barisan itu mulai bergerak. Dalam
keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti seekor naga
raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan, berjalan
laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu
oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di
belakang, berjalan laskar Banyubiru, di bawah pimpinan Arya
Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 92
Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka
Banyubiru, Kyai Bancak.
Beberapa orang pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk
mengetahui di mana kira-kira orang-orang dari golongan hitam itu
mempersiapkan diri. Biasanya mereka samasekali tidak membuat
garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana
saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas,
bahwa kali ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk
mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka merasa bahwa lawan
mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya
tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas merekapun telah
mengetahui kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan
demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka
telah menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di
Pangrantunan bersama-sama. Tidak seperti yang mereka
harapkan, bertempur satu sama lain.
Tetapi, dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra
berkata, “Kalau di dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar,
akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh menantuku.”
Beberapa lama kemudian pengintai dari Pamingit itu pun
melaporkan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa orang-orang
golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak. Namun orang-
orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka
memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar
Pamingit dan Banyubiru.
Demikianlah ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan
desa Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan
laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan
Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit
dan Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang
menebar, laskar Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di
sayap kiri, yang masing-masing merupakan sapit dari seekor
udang raksasa yang siap menerkam lawannya. Di pusat gelar yang
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

More Related Content

What's hot

02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardjaSariyanti Palembang
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooSariyanti Palembang
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooSariyanti Palembang
 

What's hot (20)

02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
 
Suling Naga_Kho Ping Hoo
Suling Naga_Kho Ping HooSuling Naga_Kho Ping Hoo
Suling Naga_Kho Ping Hoo
 

Recently uploaded

PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfachsofyan1
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungnicksbag
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTNeta
 
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................teeka180806
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...Neta
 
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D
 
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikssuser328cb5
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99
 

Recently uploaded (11)

PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
 
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
 
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
 
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
 

21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 92
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 92 I. ugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia menjadi agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa orang itu samasekali tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain panjangnya. Sesaat kemudian kain itu pun telah berputar dan menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya. “Gila,” gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang terus. Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya. Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka. Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah menghemat tenaga mereka. Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang B
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 92 dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun mereka tetap melawan dalam gelar yang baik. Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita, namun karena kerjasama mereka lebih rapi serta jumlah mereka lebih banyak, maka mereka pun dapat memberikan perlawanan yang cukup. Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa seperti aku ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang cemerlang. Tak seorang pun yang mengganggu perkelahian kedua orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit. Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, aku pun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata orang-orang Pamingit itu pun tidak membiarkan aku terbunuh tanpa pembelaan. Setiap Bugel Kaliki mencoba menyambar aku, orang-orang Pamingit itu pun selalu melindungi aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya. Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain korban jatuh satu demi satu dari kedua belah pihak. Pertempuran itu pun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 92 ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit samasekali. Namun mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan. Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri mereka masing-masing. Orang dari golongan hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itu pun agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran. Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itu pun akhirnya merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa bahayanya menjadi semakin besar. Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula. Demikianlah pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan berakhir pula ceritaku. Malam itu aku mohon ijin untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun demikian Ki Ageng berpesan, “Jaladri. Sampaikan apa yang kau lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban- korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 92 buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat- sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia. Kalau laskar Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung pula ke sana.” Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menurun, “Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu dengan cucuku itu.” Jaladri mengakhiri ceritanya. Dari wajahnya terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya. Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh suara Arya Salaka mengejutkan, “Apa yang kau lihat di Sumber Panas, Kakang Penjawi?” Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia pun menjawab, “Aku tidak mengalami pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan sebagian darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang Banyubiru yang telah aku hubungi sebelumnya. Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan dan Sura Sarunggi.” “Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya. “Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung Penjawi. “Gila....” desis Wanamerta. “Ya....” Penjawi meneruskan, “Karena itulah maka mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing yang diceritakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 92 tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.” Ketika Penjawi berhenti bercerita, kembali pendapa itu menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari biasa, menjadi semakin terang. Sesaat kemudian Penjawi meneruskan, “Korban berjatuhan. Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itu pun tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada. Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itu pun terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu pertolongan yang tiada taranya. Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan. Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 92 melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.” Penjawi berhenti bercerita. Sekali lagi ia memandang wajah Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru. Berkali- kali terngiang di telinga mereka, “Korban berjatuhan. Korban berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan bertambah-tambah.” Dalam kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya, “Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh orang yang tak kau kenal itu?” Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab, “Sungguh tak tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang mengaggumkan. Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara perempuan.” “Titis Anganten....” potong Mahesa Jenar cepat-cepat. “Orang sakti dari Banyuwangi.” “Titis Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka hampir berbareng. “Ya,” jawab Mahesa Jenar. “Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.” “Aku pernah mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara, “Ayah pernah menyebut-nyebutnya.” “Ia datang tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar. Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut dalam angan-angan mereka sendiri.
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 92 Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka, “Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.” Tak seorang pun yang menyahut. Mereka masih tetap dalam kediaman yang beku. Ketika tak seorang pun yang bersuara, bertanyalah Mahesa Jenar, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?” Arya tidak segera menjawab. Ia memandang berkeliling, seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan eyangnya kepada Jaladri, “Aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit, dan seterusnya. Entahlah, apakah aku masih dapat bertemu dengan cucuku itu.” Maka kemudian ia pun berkata lantang, “Nah, apa kata kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan dapat menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun kemudian akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas laskar dari golongan hitam.” Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka datang ke perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa sesuatu keganjilan di dalam dada mereka. “Kenapa kalian diam?” tanya Arya Salaka. “Kesempatan ini tak akan berulang.” Para pemimpin Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak tahu perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka sendiri. Hanya Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia masih berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan muridnya itu, dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 92 muridnya adalah seorang yang berhati jantan, namun berotak cemerlang. Karena itu ia masih menanti maksud Arya Salaka. Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat yang pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak ketika ia mendengar cerita Panjawi dan Jaladri. Demikian pula agaknya perasaan yang bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan mereka telah berjanji untuk berjuang mati-matian mengusir orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta kalau perlu mereka akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan mereka, namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam, timbullah perasaan yang lain di dalam diri mereka. Sebab apa pun yang terjadi di antara mereka, permusuhan yang bagaimana pun tajamnya, namun orang Banyubiru dan Pamingit adalah orang- orang dari cabang aliran darah yang sama. Mereka semula adalah orang-orang dari daerah perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah mereka, kakek-kakek mereka telah bersama-sama bekerja untuk tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Bagi orang Banyubiru, orang- orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau paman mereka. Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian, apakah mereka akan merelakan darah mereka yang mengalir didalam tubuh saudara-saudara mereka itu memercik dari luka- luka mereka, karena pokal orang-orang golongan hitam? Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka mereka masih tetap berdiam diri. Agaknya Arya Salaka telah mengamati keadaan dengan tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian Mahesa Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa yang tersirat di hatinya. Karena itu ia pun menjadi terharu. Tetapi ia
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 92 tidak berkata apa pun, selain beberapa kali mengangguk- anggukkan kepalanya. Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka. “Paman- paman sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya aku tahu apa yang tersimpan di dalam dada kalian. Ketika aku ajukan beberapa pertanyaan kepada kalian, tetap berdiam diri, sebab kalian tidak menyakini apa yang bergolak didalam dada kalian. Karena itu, cobalah, biar aku menebaknya. Bukankah kalian merasa bahwa kalian tidak rela mendengar cerita bahwa saudara- saudara kalian terpaksa mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela bahwa orang-orang hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah perdikan Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah payah dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek serta ayah-bunda kalian?” Para pemimpin laskar Banyubiru itu masih agak bingung. Mereka belum tahu benar arah pembicaraan Arya Salaka. Akhirnya Arya Salaka berkata dengan terangnya, seperti terangnya matahari di siang yang panas itu. “Nah, paman-paman sekalian. Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya ingin mendapatkan keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah kalian masih marah dan mendendam kepada saudara-saudara kita dari Pamingit itu. Tetapi ternyata kalian telah menempuh pergolakan perasaan, yang membendung perasaan dendam itu. Memang kita seharusnya tidak mendendamnya, meskipun seandainya saudara-saudara kita dari Pamingit itu masih tetap berada di pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk melepaskan dendam kita.” Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan kepala mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan. “Kalau demikian..” Arya meneruskan, “Paman-paman yang perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam pasukan kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 92 seluruh laskar Banyubiru ke Pamingit. Kita tempatkan diri di bawah pimpinan Eyang Sora Dipayana untuk menumpas golongan hitam itu. Apakah kalian sependapat?” ”Pasti…!” teriak mereka serentak. “Kami sependapat. Dan kami segera akan melaksanakannya.” “Bagus,” potong Arya Salaka. “Kita akan berangkat segera setelah separo dari laskar kita berkumpul di alun- alun.” Arya tidak perlu meng- ulangi perintahnya kembali. Para pemimpin itu segera berdiri, dan berloncatan ke halaman. Segera mereka berada di atas punggung kuda masing-masing, untuk kemu- dian melesat seperti angin. Mereka ternyata masih menyala rasa kesetiakawanan yang mendalam. Mereka ternyata lebih mendendam kepada golongan hitam, daripada kepada orang- orang Pamingit. Dan sekarang perasaan itu diungkapnya kembali. Sepeninggal mereka, di pendapa itu masih duduk selain Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri, Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Parapat. Kemudian kepada Mahesa Jenar, Arya Salaka berkata, “Adakah kita yang berada di pendapa ini akan berangkat semuanya?” “Jangan Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Kita harus berhati-hati. Bukankah tersebar berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten masih berada di Banyubiru? Kita dapat menduga bahwa kabar itu sengaja
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 92 disiarkan untuk menimbulkan keributan, namun kita dapat menduga lain. Mungkin mereka benar-benar masih berpendapat bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru. Karena itu biarlah Kiai Wanamerta dan Sendang Parapat yang belum sembuh benar, tinggal di sini, didampingi oleh Kakang Mantingan dan Wirasaba. Selain itu biarlah Wilis tinggal di sini pula. Dan bagaimanakah sebaiknya dengan Endang Widuri?” tanya Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara. “Aku ikut dengan Paman Mahesa Jenar.” Endang Widuri menyahut sebelum ayahnya menjawab. “Jangan Widuri,” potong ayahnya, “Kali ini jangan. Kita menghadapi lawan yang tak terduga kekuatannya.” “Aku telah dapat menduganya,” jawab Widuri. “Laskar Eyang Sora Dipayana hanya terpaut sedikit dari kekuatan Bugel Kaliki di hari pertama. Di hari kedua, kekuatan itu akan lebih banyak mengalami kegoncangan. Katakan bahwa laskar Pamingit mengalami kekalahan dua kali lipat dari hari pertama. Tetapi kekuatan Eyang Sora Dipayana masih lebih dari tigaperempat dari kekuatan lawan. Nah kalau demikian, mereka malam nanti pasti sudah mundur ke Pangrantunan. Dengan tambahan laskar Kakang Arya Salaka yang segar, kekuatan akan berimbang kembali. Lebih- lebih tokoh-tokohnya akan mampu lagi berbuat seenaknya. Dan apakah gunanya ayah ikut serta kalau ayah tidak mampu mengalahkan orang yang bernama Nagapasa, atau Sima Rodra atau Sura Sarunggi?” “Jangan sesorah panjang-panjang, Widuri,” potong ayahnya. Sedang orang-orang yang mendengarkan terpaksa tersenyum- senyum. Namun di dalam hati mereka, terasa betapa mereka mengagumi gadis itu. Agaknya ia benar-benar dapat membuat gambaran dari medan di Pamingit dengan perhitungan yang baik. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara meneruskan, “Meskipun agaknya kau benar, namun kita harus berhati-hati. Mereka akan berbuat jauh lebih dahsyat daripada yang kau duga, sebab orang-
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 92 orang dari golongan hitam itu membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Bahkan cara-cara yang kadang-kadang melanggar hukum-hukum perikemanusiaan. Meski akan menakut- nakuti kau dengan cara-cara yang tak wajar.” “Aku tidak takut,” jawab Widuri. Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya, katanya; “hanya prajurit yang baik yang dapat bertempur melawan golongan hitam.” ”Aku prajurit yang baik,” jawab Widuri “Prajurit yang baik akan selalu patuh kepada perintah. Nah dengarlah perintah pemimpin pasukan, Arya Salaka,” sahut ayahnya. Endang Widuri mengerutkan keningnya. Beberapa orang terpaksa tertawa mendengarkan perdebatan itu. Dengan wajah cemberut gadis itu memandang Arya Salaka. Arya Salaka sendiri menjadi bingung. Ia tahu maksud Kebo Kanigara akan tetapi di dalam hati kecilnya ingin mengajak gadis itu serta. Entahlah, apa sebabnya. Tetapi diingatnya bahwa bahaya akan datang setiap waktu, maka ia pun berpendapat, bahwa sebaiknya Endang Widuri tidak ikut serta. Apalagi Rara Wilis pun tidak. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, terdengar Endang Widuri berkata, “baiklah, baiklah. Aku sudah tahu jawaban kakang Arya Salaka, ia pasti akan berpihak kepada ayah.” Arya Salaka tersenyum. Kemudian terdengar Widuri meneruskan, “Biarlah aku tinggal bersama bibi Wilis dan eyang Wanamerta. Bukankah begitu bibi?” ”Tentu,” jawab Wilis “kau menemani aku disini”. “Dan biarlah paman Mantingan nanti bercerita tentang Bharata Yudha,” Rara Wilis meneruskan, “dan paman Wirasaba akan
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 92 meniup seruling hingga beringin kurung itu nanti menari-nari bukan begitu paman?,” “Mudah-mudahan,” sahut Wirasaba sambil tertawa. “Tetapi itu tidak penting,” Widuri meneruskan, “sebenarnya paman Mahesa Jenar yang paling berkeberatan aku ikut serta,” “Kenapa aku?” sahut Mahesa Jenar. “Bukankah paman menghendaki aku tinggal, menunggu bibi Wilis, supaya bibi Wilis tidak hilang? Paman Mahesa Jenar takut kalau orang yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan datang menjemput bibi, dan…..” Kata-kata Widuri terputus, ia memekik kecil ketika Rara Wilis mencubitnya. “Tobat bibi aduuuuh.” Rara Wilis tiba-tiba menundukkan mukanya. Terasa rona merah yang panas menjalar ke pipinya. “Jangan nakal Widuri,” ayahnya menasehatinya. “Tidak aku tidak nakal lagi, jangan jangan cubit dagingku akan terkupas. Bibi kalau mencubit sakitnya bukan main.” Mau tidak mau Wilis terpaksa tersenyum. Memang WIduri benar-benar nakal. Ia tidak perduli berhadapan dengan siapa pun, kalau teringat sesuatu yang menarik hatinya untuk menggoda, ia pun berbuatlah. Sementara itu para pemimpin Banyu Biru telah sampai ke pasukan masing-masing. Segera mereka mempersiapkan laskar mereka. Separo akan dibawa ke Pamingit. Mula-mula setiap orang didalam laskar Banyu Biru menjadi heran, mengapa tiba-tiba mereka harus membantu Pamingit. Namun setelah mendapat penjelasan dari para pemimpinnya, merekapun sadar akan tugas itu. Tugas yang harus dikedepankan. Menumpas setiap gerombolan yang mengkhianati kemanusiaan. Mengkhianati
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 92 ketentraman hidup rakyat yang tinggal jauh disekitar daerah mereka. Bahkan tujuan jangka jauh yang telah mereka rintis. Mencari pusaka yang dapat membawa mereka kepada jabatan tertinggi di Demak. Yang tinggal di Banyubirupun segera mempersiapkan diri mereka pula. Mereka mengamati senjata-senjata mereka, apakah senjata mereka telah siap untuk melawan musuh yang berbahaya. Beberapa orang yang harus tinggal di Banyubiru menjadi kecewa. Sebenarnya mereka ingin turut didalam laskar yang kan pergi ke Pamingit tetapi merekapun sadar bahwa mereka mempunyai tugas yang penting pula di Banyubiru. Demikianlah ketika matahari telah memanjat lebih tinggi lagi diatas pucuk pohon sawo kecik di halaman Banyubiru itu, mulailah ujung laskar Banyubiru memasuki alun-alun. Kelompok demi kelompok. Dari wajah mereka tampaklah betapa besar hati mereka setelah berkesempatan untuk menginjakkan kaki mereka diatas tanah pusaka. Betapa mereka merasakan kenikmatan yang mengetuk ngetuk dada mereka, meskipun terasa bahwa tanah tercinta ini telah mengalami beberapa kemunduran. Tetapi telah beberapa tahun mereka mengasingkan diri, didalam masa-masa yang prihatin, akhirnya mereka dapat menginjakkan kaki mereka dibumi tercinta ini kembali. Disekitar alun-alun itu pun kemudian berduyun duyun rakyat Banyubiru menyaksikan putera putera daerah mereka yang setia, yang selama ini menghilang dari kampung halaman karena tekanan tekanan orang Pamingit. Namun ternyata mereka sekarang datang kembali dengan senjata di tangan. Setelah pasukan itu semuanya memasuki alun-alun, maka berkumpulah setiap pimpinan kelompok laskar itu, dihadapan Arya Salaka. Dengan hati-hati Arya Salaka memberikan beberapa penjelasan kepada mereka apakah sebabnya mereka kini harus menempatkan diri dibawah pimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. “Dalam keadaan seperti sekarang ini,” katanya, “ki Ageng Sora
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 92 Dipoyono memang harus memegang seluruh pimpinan atas Banyubiru dan Pamingit. Tak ada orang lain yang lebih berhak daripadanya. Sedang Ki Ageng Sora Dipayana sekarang sedang berjuang melawan golongan hitam. Namun lawannya terlalu besar. Lawannya memiliki keunggulan yang tak dapat diatasinya. Nah apakah kalian, pewaris tanah perdikan Pangratunan yang kemudian bernama Banyubiru ini akan tinggal diam menyaksikan orang yang cikal bakal tanah ini mengalami bencana?”. Terdengar jawaban mbata-rubuh. “Kami bela Ki Ageng Dipayana dengan segenap tenaga yang ada pada kita.” “Terimakasih,” jawab Arya, “tentukan separo dari kalian akan kubawa ke Pamingit, separo tetap tinggal disini untuk menjaga kemungkinan yang tak kami harapkan di tanah ini. Kemudian, siang hari kalian kami perkenankan untuk beberapa saat meninggalkan pasukan, barangkali kalian ingin melihat sanak keluarga dan orang yang kalian rindukan. Nanti kalau matahari telah membuat bayanganmu sepanjang badan, kalian harus berkumpul kembali di alun alun ini. Aku mengharap, sedikit lewat tengah malam kalian harus sudah berada di Pangrantunan,” Ketika penjelasan Arya Salaka itu diberikankepada setiap kelompok oleh para pemimpin kelompok, bersoraklah mereka. Mereka menerima kebijaksanaan Artya dengan sepenuh hati, tidak saja sebagai lajimnya seorang prajurit yang baik. Namun karena ternyata Arya Salaka telah berfikir seperti apa yang mereka pikirkan. Arya tidak menutup mata atas kemungkinan yang ada didalam dada laskarnya. Sebab ia sendiri merasakan, betapa rindunya kepada halamannya, kepada setiap bunga yang berkembang, lebih lagi kepada bundanya. Tetapi sampai saat ini orang yang dirindukannya masih belum diketemukannya. Bahkan ia tidak tahu apa yang terjadi atas ibunya di Pamingit. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu tidak mengganggunya?. Tiba- tiba Arya menjadi tidak sabar lagi, namun ia sadar tidak bisa membawa laskarnya ke jurang ke kebinasaan, hanya karena dirinya merindukan ibunya. Karena itu, ia telah mencoba menekan
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 92 perasaannya untuk mempertahankan keseimbangannya sebagai seorang pemimpin. Sesaat kemudian bubarlah barisan yang berada di alun-alun itu. Masing masing berjalan dengan tergesa-gesa, bertebaran ke segenap penjuru Banyubiru. Beberapa orang yang tidak mempunyai kepentingan lagi dengan orang lain, karena hampir seluruh keluarganya telah menyertainya ke Gedongsanga, ingin juga berjalan jalan berkeliling kota melihat-lihat perubahan yang timbul selama kota ini ditinggalkan. Kadang mereka singgah juga ke rumah kenalan mereka. Namun kenalan mereka telah menerima mereka dengan ketakutan. Jangan jangan laskar Banyubiru ini akan mengganggunya seperti cerita yang selama ini selalu didengar tentang mereka, bahwa laskar Banyubiru tidak lebih dari gerombolan penyamun dan perampok yang hanya mampu membuat kacau dan bencana. Namun setelah mereka mengetahui apa yang telah dilakukan laskar Banyubiru itu yang dengan ramah menyapa mereka, mereka memberi salam gairah seperti dahulu. Sadarlah mereka bahwa laskar Banyubiru adalah laskar yang selama ini berjuang untuk kepentingan mereka. Untuk kepentingan rakyat Banyu Biru. Mereka ternyata selama ini telah berusaha dengan gigihnya melenyapkan penghisapan orang lain atas mereka. Sisa waktu mereka pergunakan untuk beristirahat. Di bawah pohon-pohon yang rindang, di gardu-gardu dan di tempat yang sejuk. Mereka tidak tahu apakah nanti mereka masih mempunyai waktu untuk beristirahat. Arya Salaka pun mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Meskipun hatinya selalu digelisahkan oleh keadaan ibunya yang tak diketahuinya, namun ia mencoba juga untuk membaringkan dirinya. Ketika matahari telah mulai condong ke barat, sibuklah kem- bali alun-alun Banyu Biru. Beberapa orang yang singgah di rumah keluarganya, kenalan-kenalannya atau sahabat-sahabatnya telah
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 92 membenahi diri. Mereka telah menyiapkan diri, untuk segera memenuhi tugas mereka, pergi kealun-alun sebelum bayangan mereka tumbuh tepat sepanjang tubuh. Sesaat kemudian alun-alun Banyu Biru itu telah riuh kembali, Terdengarlah suara sangkakala mengaum dengan pada yang bergelora. mengetuk setiap hati mereka yang mendengarnya. Suaranya terlempar dari tebing bukit Telamaya, merayap ke segenap penjuru, melontarkan panggilan suci. Panggilan kemanusiaan untuk menegakkan hukum-hukumnya, sebagai suatu panggilan pengabdian yang luhur. Sekali lagi Arja berdiri berhadapan dengan para pemimpin; kelompok laskarnya. Namun kini telah terbagi. Sebagian dari, mereka dengan menyesal terpaksa tidak turut serta ke Pamingit., namun mereka pun sedang mengemban tugas yang berat pula, mengamankan Banyu Biru. Kali ini Arya berbicara singkat saja, memberi mereka petunjuk- petunjuk kemana laskar itu harus pergi. “Kita langsung pergi ke Pangrantunan, sebagai tempat yang ditentukan untuk membuat garis pertahanan baru apabila eyang Sora Dipayana terdesak. Kita semuanya akan menempatkan diri dibawah pimpinannya. Perjuangan kali ini merupakan sebagian dari perjuangan kalian untuk mempertahankan Banyu Biru. Bahkan dari tangan orang- orang yang jauh lebih jahat dan biadab dari orang2 Pamingit. Yaitu goloiigan hitam. Tetapkanlah hati kalian. Tuhan bersama kita.” Kemudian terdengar kembali sangkakala memecah udara Banyu Biru. Bersamaan dengan itu bergetar pulalah setiap hati laskar yang sudah siap itu. Sesaat kemudian terdengarlah aba-aba dari para pemimpin mereka, dan ketika terdengar bende berdentang untuk ketiga kalinya, maka ujung barisan itu pun mulai bergerak, diikuti oleh barisan-barisan yang lain, sehingga akhirnya di alun-alun itu tinggallah separuh dari mereka. Meskipun demikian, yang separuh
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 92 itu pun, seolah-olah merasa jantung mereka berderab bersama- sama dengan pasukan yang berjalan menjauh itu. Baru kemudian mereka sadar oleh suara Wanamerta, “Nah, kalian yang tinggal. Jangan menghilangkan kewaspadaan, Mungkin besok, mungkin lusa kalian harus bertempur pula. Nah sekarang kalian dapat membubarkan barisan ini. Kembalilah kedalam barak2 yang telah ditentukan buat kalian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiap siagaan yang tertinggi.” Ketika laskar yang separuh itu kemudian meninggalkan alun- alun itu pula, maka kembalilah Wanamerta ke pendapa untuk duduk bersama-sama dengan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dar Endang Widuri. Di pundak merekalah tanggung jawab atas Banyu Biru diletakkan, sepeninggal Arya Salaka II Di Perjalanan, tak banyaklah yang dipersoalkan oleh Arya Salaka dengan gurunya serta Kebo Kanigara. Angan-angannya lebih banyak dicengkam oleh kegelisahan tentang nasib ibunya. Namun demikian ia tetap dalam keseimbangan yang baik. Dua orang telah diperintahkannya untuk berjalan berkuda mendahuluinya. Mereka harus mengetahui, apakah laskar Pamingit yang dipimpin oleh Wulungan dan Ki Ageng Sora Dipayana berada di Pangrantunan atau di Kepandak. Untuk menghindari salah paham dengan laskar yang langsung dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, Arya Salaka menempuh jalan melingkar agak jauh di sebelah timur Pamingit, langsung menuju ke Pangrantunan. Apabila kemudian laskar itu akan menembus Pamingit, mereka akan datang dari arah tenggara. Ketika malam turun, laskar Arya Salaka telah menembus hutan-hutan yang tipis di sebelah timur Pamingit. Untuk beberapa saat laskar itu beristirahat. Mereka sekadar melepaskan lelah mereka dengan mempersegar tubuh mereka di sumber air yang
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 92 mereka temui diperjalanan itu. Kemudian mereka masih sempat menikmati bekal yang mereka bawa. Ketupat sambal. Setelah beristirahat sejenak, kembali pasukan itu meneruskan perjalanan. Bulan di langit separoh bulat telah naik tinggi di atas bukit-bukit yang membujur seperti raksasa yang lelap. Angin malam yang lemah bertiup dari utara mengusap pohon-pohon perdu yang dengan lembutnya. Sedang di kejauhan sayup-sayup terdengar anjing-anjing liar menggonggong berebut makanan. Di tempat yang telah ditentukan, dua orang berkuda, yang ditugaskan oleh Arya Salaka untuk mengamati keadaan, telah menunggu. “Bagaimana?” tanya Arya kepada mereka. “Ki Ageng Sora Dipayana telah menarik pasukan ke Pangrantunan,” jawab orang itu. “Sejak kapan?” tanya Arya Salaka. “Baru malam ini. Semua tenaga telah dikerahkan. Setiap laki- laki di Pangrantunan telah memanggul senjata,” jawab orang itu. “Adakah golongan hitam telah menyusul ke Pangrantunan pula?” bertanya Arya Salaka lebih lanjut. “Aku kurang jelas. Namun hal itu mungkin sekali,” jawab mereka. “Bagaimana dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora?” “Tak aku ketahui. Namun mereka belum sampai di Pangrantunan sore tadi. Tetapi seorang pengungsi mengatakan bahwa Sumber Panaspun telah dikosongkan. Laskar Ki Ageng Lembu Sora terdesak hebat sampai mereka terpaksa meninggalkan garis perang dalam keadaan tak teratur.” Arya menarik nafas panjang. Agaknya kekuatan golongan hitam betul-betul tak dapat dianggap ringan. Suatu gabungan dari
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 92 sarang-sarang gerombolan yang mengerikan. Alas Mentaok, Nusakambangan, Gunung Tidar, Rawa Pening dan seorang hantu dari Lembah Gunung Cerme. Terbayanglah di dalam angan- angannya, bahwa Pamingit benar-benar sedang dilanda oleh taufan yang maha dahsyat. Ki Ageng Lembu Sora, yang beberapa saat yang lampau dapat bekerjasama dengan mereka, akhirnya sampailah saatnya ia digilas oleh arus hitam yang mengerikan itu, karena orang-orang dari golongan hitam itu sadar, bahwa Lembu Sora adalah suatu usaha saling memperalat semata-mata. Bukan suatu kerjasama yang tulus. Tetapi kini golongan hitam itu benar-benar salah hitung. Mereka mengharap Ki Ageng Lembu Sora terpaksa membagi laskarnya. Sebagian menghadapi laskar hitam itu, dan sebagian menghadapi laskar Arya Salaka. Mereka mengharap bahwa dengan demikian, menggilas Pamingit akan sama mudahnya seperti menggilas ranti, untuk kemudian menghantam hancur sisa-sisa laskar Arya Salaka dan Lembu Sora yang parah di Banyubiru. Mereka samasekali tidak menduga, bahwa kejernihan dan ketulusan hati Arya Salaka merupakan badai yang berhembus dengan dahsyatnya, memporakporandakan rencana mereka. Arya Salaka kemudian memerintahkan laskarnya untuk mempercepat perjalanan. Hatinyapun menjadi semakin risau, apakah kira-kira yang telah terjadi di Pamingit dan apakah yang telah terjadi dengan ibunya? Ia menjadi cemas. Terbayanglah di dalam rongga matanya orang-orang seperti Pasingsingan, Sima Rodra dan sebagainya, dengan kasarnya memasuki setiap ruang rumah pamannya di Pamingit. Apakah ibunya diketemukan di rumah itu pula oleh mereka? Mudah-mudahan Tuhan memberikan perlindungan kepadanya. Hampir tengah malam, laskar Arya Salaka telah mendekati Pangrantunan dari arah utara. Dari jauh mereka telah melihat beberapa kelompok perapian yang menyala di sekitar desa itu. Karena itu segera Arya Salaka menghentikan laskarnya untuk menghindari kesalahpahaman.
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 92 Kepada gurunya ia berkata, “Paman, bukankah sebaiknya aku menghadap Eyang Sora Dipayana lebih dahulu?” Mahesa Jenar mengangguk, jawabnya, “Baik Arya, sebab di malam yang samar-samar demikian ini, akan mudah sekali timbul salah mengerti. Laskar eyangmu itu mungkin samasekali tak akan menduga bahwa kau akan datang membantu mereka.” Kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Arya Salaka berjalan mendahului, untuk melaporkan kehadirannya bersama laskarnya kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Beberapa tonggak dari Pangrantunan, segerombol pengawal menghentikan mereka. Dengan penuh kewaspadaan para pengawal itu menyapa mereka dengan pertanyaan sandi. “Ke manakah mulut gua menghadap?” Arya tidak tahu bagaimana harus menjawab, karena itu ia berkata terus terang, “Aku bukan dari laskar Pamingit.” “Dari golongan hitam?” bentak para pengawal itu, dan bersamaan dengan itu tombak-tombak mereka segera mengarah ke dada Arya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Arya menggeleng, jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Kalau aku dari golongan hitam, apakah agaknya aku akan bunuh diri?” “Siapakah kalian?” tanya salah seorang daripada para pengawal itu. “Dari Banyubiru,” jawab Arya. “Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka. Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia harus mengatakan dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak dapat berpikir panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk selanjutnya memukul mereka dari belakang. Dalam keragu-raguan itu terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali, “Siapa?”
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 92 Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut, “Kami adalah utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.” Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Apakah pesan itu? Dan adakah kau membawa pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau kau dapat menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak bermaksud jahat?” Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab, “Kau dapat bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu mengenai daerahnya.” “Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu. “Kami hanya bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan? Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di hadapan orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat. “Tombak ini justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan mempertanyai kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar. Para pengawal itu berpikir sejenak. Mereka memang pernah mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki tombak yang sakti, berrnama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya bulan, maka percayalah mereka bahwa tombak itulah yang bernama Kyai Bancak sebagai pertanda kebesaran Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 92 Ketika Mahesa Jenar melihat para pengawal itu ragu, ia mendesak, “Bawalah kami kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau kami bermaksud jahat, kami pasti tidak akan menempuh jalan ini. Apalagi di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata. Itu saja karena kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar utusan Angger Arya Salaka.” Para pengawal itu akhirnya percaya, bahwa tiga orang itu pasti tak akan bermaksud jahat. Karena itu maka segera salah seorang di antara mereka berkata, “Bawalah orang-orang ini menghadap Ki Ageng.” Kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Jangan berbuat hal- hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.” “Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar, “Aku akan taat kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan selamat ke Banyubiru.” Kemudian dengan diantar oleh lima orang bersenjata tombak, Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dibawa langsung ke Pangrantunan. Di ujung desa itu, di dalam sebuah pondok yang sedang, tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada tempat-tempat yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah itulah Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu berada. Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya seseorang langsung menyampaikan berita tentang kehadiran tiga orang Banyubiru itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana. “Siapakah mereka?” tanya Ki Ageng. “Belum kami ketahui namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu. “Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang mendengar laporan itu.
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 92 “Hanya seorang, yang dua orang samasekali tidak,” jawab pengawal itu. Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng Sora Dipayana ia bertanya, “Apakah aku yang menerimanya?” “Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu. Akhirnya pengawal itu membawa Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu. Ketika Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan meli- hat Arya, merekapun menjadi terkejut. Dengan serta merta Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya, “Kau Arya.” Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengang- guk hormat. “Ya, Eyang,” jawab Arya. Dengan pertanyaan yang melingkar-lingkar di dalam rongga dada, orang tua itu mempersilahkan tamunya ber- tiga untuk duduk di atas tikar, di bawah cahaya obor yang samar-samar. Namun meskipun demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menangkap, betapa perasaan orang tua itu bergolak. “Kedatangan kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata kakeknya perlahan-lahan. “Adakah kau mempunyai keperluan yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan orang- orang dari golongan hitam itu selesai?”
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 92 Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo kanigara segera menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora Dipayana. Agaknya orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian mengubah pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru. “Kapankah kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya Arya. Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan kepalanya, jawabnya, “aku tidak tahu Arya. Besok, lusa atau seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini selesai, akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan kewajiban kami.” Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata, “Dapatkah aku ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. Diangkatnya wajahnya yang telah dipenuhi oleh jalur-jalur umurnya, namun kesegaran dan kewibawaan yang terpancar dari wajah itu mengesankan bahwa Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan penuh dengan pengalaman hidup. Tetapi kali ini orang tua itu tidak segera dapat mengerti maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi oleh persoalan-persoalan ia bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?” Arya Salaka menggeser tempat duduknya, ia tidak segera menjawab, tetapi ia memandang saja kepada gurunya. Agaknya ia minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan maksudnya kepada kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas, karena ia merasa bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan perasaan dengan kata-kata.
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 92 Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya ia menganggukkan kepalanya. Tetapi sebelum Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh diluar pondok itu. “Ada apa diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana. Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata, “Ki Ageng, laskar Ki Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.” Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil mengangguk- angguk ia berkata, “Di manakah Lembu Sora dan Sawung Sariti?” “Sedang menuju kemari,” jawab orang itu. “Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek. Sebelum orang itu keluar, masuklah orang yang dikatakannya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Pakaian mereka yang bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah mereka yang dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa perasaan mereka bercampur baur bergolak dalam dada mereka. Kedua orang itu terkejut sekali ketika mereka melihat Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di dalam ruangan itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, “Bagaimana dengan laskarmu?” Lembu Sora menggeram. “Terpaksa aku tarik kemari,” jawabnya. “Seluruhnya?” tanya ayahnya pula. “Ya.” Ia masih ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang Arya Salaka dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar, “Ada apa anak itu ke sini?”
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 92 “Duduklah.” Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan. “Biarlah kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.” Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. Namun mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing. “Aku sedang bertanya kepadanya.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. “Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya. Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya, namun ia tidak menjawab. “Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi. Kembali Arya memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar sadar bahwa muridnya memerlukan bantuannya. Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki Lembu Sora berkata, “Jangan ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat di dalam hatimu. Sebenarnya kami tidak perlu bertanya lagi. Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang tersirat didalam hati, pasti akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah betapa kelam warna wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian. Apakah kalian memungkiri bahwa kalian termasuk di dalam deretan golongan hitam?” Betapa tersinggungnya hati Arya Salaka dan Mahesa Jenar mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya Mahesa Jenar mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa kelam warna itu. Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar kepada baju Arya, ia menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan baju pendek sangat sederhana. “Hmm....” Terdengar ia menggeram. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara berkata dengan sarehnya. “Ki Ageng Lembu Sora.
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 92 Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami. Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati. Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng, jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya yang nampak. Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia berhati indah? Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan jelek, apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?” Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring. Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan penuh hinaan. Katanya, “Sebuah dongeng yang bagus.” “Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara. “Sebuah dongeng yang bagus.” “Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan tidak sabarnya. “Menuntut balas? Menuntut supaya Lembu Sora dipenggal lehernya atau apa? Kalian benar-benar dapat kembali gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah buat golongan hitam itu.” Tubuh Arya Salaka tiba-tiba menjadi bergetar. Ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-kata pamannya. Namun demikian terdengan Kebo Kanigara merkata-kata dengan tenangnya, “Ki Ageng. Memang kadang-kadang terjadilah hal-hal diluar dugaan wajar. Tetapi sebenarnya tidak perlu Ki Ageng menjadi heran maupun curiga. Aku juga pernah mendengar sebuah cerita yang menarik. Cerita anak-anak bersumber pada cerita Panji. Meskipun Candrakirana selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari orang-orang yang ditemuinya, baik dalam cerita Klenting Kuning maupun dalam cerita Limaran dan lain-lain, namun ia tidak pernah mendendamnya. Bahkan akhirnya ketika ia mendapatkan kamukten-nya kembali, orang-orang yang pernah mendurha- kainya itu pun dimuliakannya pula.”
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 92 Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Cepat-cepat ia mendahului Lembu Sora, “Mudah-mudahan aku dapat menduga maksud cerita itu. Nah, cucuku Arya Salaka, katakan apa maksud kedatanganmu.” Dada Arya Salaka masih tergetar oleh perasaan kecewa. Karena itu Mahesa Jenar mewakilinya, “Ki Ageng, Arya Salaka datang dengan laskarnya. Sebagai bakti seorang cucu kepada pepundhen-nya. Ia bersedia menempatkan dirinya di bawah pimpinan Ki Ageng untuk ikut serta mengusir golongan hitam itu.” Pondok kecil itu seolah-olah menjadi tergetar oleh kata-kata itu. Mereka samasekali tidak menduga bahwa demikianlah maksud kedatangan anak itu. Ki Ageng Lembu sora seketika itu terdiam seperti patung. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergelora didalam rongga dadanya. Sesaat ia kehilangan kesadaran diri. Seperti ia sedang terbang didunia mimpi. Dengan susah payah ia berusaha untuk meyakinkan pendengarannya. Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menundukan wajahnya. Keluhuran hati anak itu telah memukul jantungnya sedemikian hebatnya sehingga tiba-tiba tanpa sesadarnya, dari matanya mengembanglah air mata, yang menetes satu-satu diatas pangkuannya. Sebagai seorang laki-laki, Ki Ageng Sora Dipayana telah mengalami kesulitan, penderitaan dan kepahitan. Namun ia tak pernah membiarkan perasaannya hanyut dan tenggelam dalam kesulitan itu. Sekarang, tiba-tiba ia tak mampu menguasai diri, sehingga satu-satu jatuhlah air matanya. Untuk sesaat ruangan itu terlempar ke dalam kesepian. Hanya nafas mereka yang saling memburu, terdengar sedemikian jelasnya. Diluar, terdengarlah derap para pengawal hilir mudik melakukan kewajibannya dengan tertib. Kemudian dengan gemetar terdengar suara Ki Ageng Sora Dipayana, “Arya, coba ulangilah kata-kata Angger Mahesa Jenar, supaya aku menjadi yakin karenanya.”
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 92 “Benar Eyang’” jawab Arya, “Aku datang dengan laskarku. Aku ingin menunjukkan, apakah yang dapat aku serahkan sebagai tanda baktiku kepada orang tuaku. Sebagai pernyataan terima kasih serta sebagai suatu kenyataan atas adaku.” Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin terharu karenanya. Sambil mengangguk-angguk kepalanya ia memandangi anaknya, Lembu Sora yang masih duduk kaku di tempatnya. “Kau dengar Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu Sora seperti orang yang tersadar dari mimpinya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang mula-mula memancarkan kemarahan tiba-tiba menjadi pudar. Ia ingin menyatakan perasaannya yang bergelora di dalam dadanya, namun yang keluar dari mulutnya dengan suara yang bergetar hanyalah, “Ya, aku dengar ayah.” Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya, “Dimanakan laskarmu sekarang, Arya?” “Beberapa tonggak di sebelah utara desa ini, Eyang.” Jawabnya. “Bawalah mereka mendekat, supaya segala perintah dapat tersalur dengan cepat sebaik-baiknya,” perintah Ki Ageng Sora Dipayana. “Baik, Eyang’” jawab Arya. Kemudian ia pun berdiri dan mohon diri untuk membawa laskarnya masuk ke Pangrantunan. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tinggal bersama-sama dengan eyangnya di pondok itu. Di halaman, Arya Salaka terkejut ketika seseorang menggamitnya sambil berkata, “Aku turut dengan tuan, supaya tidak terjadi salah pengertian dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora.”
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 92 Baru Arya Salaka sadar bahwa ia berada di daerah peperangan antara laskar-laskar yang pernah berhadapan sebagai lawan yang hampir saja menumpahkan darah. Ketika ia menoleh, Wulungan berjalan di belakangnya. “Terima kasih Paman Wulungan.” Jawabnya. Kemudian mereka berdiam diri dan berjalan dalam keremangan cahaya bulan muda yang telah hampir tenggelam. Beberapa orang penjaga mengangguk hormat ketika mereka melihat Wulungan lewat di depan mereka. Di pinggir desa Pangrantunan, Arya Salaka melihat laskar yang berserak-serak. Nampak betapa parah keadaan mereka. Beberapa orang yang luka masih belum terawat dengan baik. “Kakang Wulungan?” sapa salah seorang dari mereka. “Ya,” jawab Wulungan. “Bagaimana keadaan laskarmu?” “Parah,” jawab orang itu. “Keadaan kalian disini agaknya masih lebih baik.” “Demikianlah,” sahut Wulungan, “Tetapi besok atau lusa kita akan mengalami keadaan yang sama.” Orang itu tertawa. Seram sekali. Tawa yang samasekali tidak sedap, sebagai pelepas kejengkelan dan kemarahan. Hati Arya berdesir ketika ia mengenal orang itu kembali. Ia pernah melihatnya beberapa tahun yang lampau di Gedangan. Namun ia berdiam diri. Ketika mereka sudah meninggalkan laskar itu, bertanyalah Arya, “Paman Wulungan, benarkah orang tadi bernama Galunggung?” “Ya. Dari siapa Angger mengenalnya?” sahut Wulungan. “Ia termasuk orang baru di dalam laskar kami. Baru beberapa tahun. Namun karena sifatnya yang disukai oleh Angger Sawung
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 92 Sariti, ia cepat sekali menanjak ke tempatnya yang sekarang. Pengawal pribadi Angger Sawung Sariti.” Kemudian kembali mereka berjalan sambil berdiam diri. Angin malam masih mengalir perlahan-lahan membawa udara yang sejuk. Di langit, bintang-bintang berkedip-kedip dengan cerahnya. Tiba-tiba terdengar kembali suara Wulungan, “Angger....” Arya Salaka menoleh, namun tidak menjawab. “Beruntunglah laskar Banyubiru mendapat seorang pemimpin seperti Angger ini.” sambung Wulungan. Arya mengerutkan keningnya, “Kenapa Paman?” “Sudah lama aku mengagumi kejantanan Angger. Agaknya sifat-sifat ayahanda Gajah Sora tercermin di dalam hati Angger. Apalagi Angger mendapat asuhan dari seorang yang mengagumkan dalam perjalanan hidup Angger selama ini, sehingga dengan demikian sempurnalah sifat-sifat kepahlawanan di dalam tubuh Angger. Orang setua aku inipun tak akan membayangkan bahwa pada suatu ketika Angger datang dengan laskar yang segar untuk kemudian membantu pamanda dalam kesulitan ini. Alangkah jauh bedanya sifat-sifat itu dengan sifat- sifat Angger Sawung Sariti.” “Jangan memuji, Paman,” sahut Arya Salaka. “Aku berkata atas keyakinan,” jawab Wulungan, “Aku adalah salah seorang dari laskar Angger Sawung Sariti itu.” Arya tersenyum mendengar pujian itu. Ia samasekali tidak membanggakan diri karena sifat-sifat yang baik dan dikagumi orang, tetapi ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa karena kuasa-Nya, maka ia selalu mendapat petunjuk-petunjuk dan mendapat sinar terang di hatinya. Selalu diingatnya sebuah cerita yang pernah diceritakan oleh gurunya, tentang dua orang hamba seorang raja dan yang seorang adalah pemungut pajak yang kejam. Ketika mereka berdua bersama-sama menghadap
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 92 raja, maka berkatalah penghulu istana, “Maha Raja yang bijaksana. Aku adalah orang yang sebaik-baiknya di kerajaanmu. Aku selalu berbaik hati kepada rakyatmu dan memberikan kepada mereka hadiah-hadiah yang berharga, sehingga dengan demikian segenap rakyatmu akan mencintai aku. Karena itu, kalau Maha Raja akan memberi hadiah kepada hambanya, maka akulah orangnya yang paling pantas untuk menerimanya.” Sedang pemungut pajak itu kemudian bersujud di bawah kaki Maha Raja yang bijaksana itu, katanya, “Duh Maha Raja yang bermurah hati. Aku adalah orang yang sejahat-jahatnya di kerajaanmu. Aku telah menjalankan pekerjaanku dengan lalimnya karena aku inginkan pujian dari atasku. Karena itulah maka rakyat di kerajaanmu sangat membenci aku. Namun Maha Raja yang bijaksana, karena itulah aku akan bertobat. Dan aku akan menerima hukuman yang akan ditimpakan kepadaku atas kelalaianku itu.” Ketika kemudian Raja yang bijaksana itu memberikan hadiahnya, maka pemungut pajak itulah yang berhak menerimanya. Bukan penghulu istana. Kemudian ternyatalah bahwa pemungut pajak itu benar-benar bertobat dan membagi- bagikan hadiahnya kepada mereka yang pernah dicederainya, sedang penghulu istana kemudian berontak terhadap raja, hanya karena ia tidak menerima hadiah. Sebab kebaikan yang dilakukan selama itu hanyalah terdorong oleh keinginannya untuk menerima hadiah. Demikianlah Arya Salaka menerapkan cerita itu dalam hidupnya sehari-hari. Kebaikan dan keikhlasannya berkorban bukanlah semata-mata karena jiwa pengabdiannya serta kesetiaannya pada kewajibannya. Beberapa langkah kemudian sampailah mereka di pusat pengawalan. Ketika mereka melihat Wulungan dan seorang lain lewat, segera pemimpin pengawal itu membungkuk hormat kepadanya sambil menyapa, “Kakang Wulungan…?”
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 92 “Ya,” jawab Wulungan, “Bagaimana keadaannya?” “Selama ini baik, Kakang,” jawab orang itu. “Tak ada yang mencurigakan?” tanya Wulungan pula. “Tidak Kakang,” jawab orang itu. “Bagus. Aku akan pergi sebentar. Menjemput laskar Banyubiru,” sahut Wulungan. “Laskar Banyubiru…?” Orang itu menjadi heran. Bahkan beberapa orang lainpun menjadi keheranan pula sehingga mereka mendesak maju. “Ya,” jawab Wulungan sambil memperhatikan wajah-wajah yang kecemasan itu. Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Berita kedatangan laskar Banyubiru itu bagi mereka seakan-akan bunyi kentong pelayatan atas jenazah mereka. Melihat kegelisahan yang membayang itu Wulungan menyambung kata-katanya, “Mereka akan datang membantu kita.” “He…?” terdengar mereka berteriak terkejut. “Membantu kita atau membinasakan kita?” Para pengawal itu masih ingat dengan jelas beberapa hari yang lalu mereka sudah berhadapan dengan laskar Banyubiru itu dengan kesiapan-kesiapan tempur. “Percayalah kepadaku. Mereka datang untuk membantu kita menumpas golongan hitam itu.” Wulungan menjelaskan. “Suatu harapan yang akan mengecewakan,” sahut pemimpin pengawal itu. “Dengarlah sendiri apa yang dikatakan oleh pemimpin laskar Banyubiru itu,” berkata Wulungan.
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 92 “Pemimpin laskar Banyubiru? Siapakan dia dan di manakah dia?” tanya beberapa orang bersama-sama. “Arya Salaka. Inilah orangnya,” jawab Wulungan. Kembali mereka terkejut. Orang itulah yang tadi datang bersama-sama dengan dua orang lainnya, yang mengatakan bahwa mereka adalah utusan Arya Salaka. Ternyata anak muda yang membawa tombak itu sendirilah yang bernama Arya Salaka. Ketika mereka masih keheranan, terdengarlah Arya Salaka berkata, “Jangan berprasangka. Aku datang untuk membantu kalian. Bukankah kalian seperti kami juga dari Banyubiru, adalah pewaris Tanah Perdikan Pangrantunan?” Wajah-wajah yang sudah pucat karena putus asa itu tiba-tiba menjadi berangsur merah. Saat-saat terakhir mereka hanya dapat menunggu sampai tangan-tangan hitam itu membinasakan mereka satu demi satu. Tetapi tiba-tiba terulurlah tangan Arya Salaka untuk menyelamatkan mereka. Karena itu tiba-tiba melonjaklah keharuan di dada mereka. Sehingga tanpa sesadarnya pemimpin pengawal itu segera berjongkok di hadapan Arya sambil berkata, “Tuan, Tuan datang sebagai datangnya malaikat yang akan menyelamatkan kami, tanah kami serta kebesaran nama Pangrantunan.” “Aku datang sekadar menetapi kewajiban,” sahut Arya sambil menarik lengan orang itu. “Berdirilah,” katanya. Orang itu kemudian berdiri. Tetapi kepalanya tertancap jauh ke tanah dekat di ujung ibu jari kakinya. Terlintas di dalam kepalanya, kepahitan hidup yang dialaminya bersama-sama laskar Lembu Sora yang lain. Kecurangan, kenaifan dan sifat-sifat yang lain. Sekarang terasa betapa jujur kata-kata anak muda itu. Arya Salaka yang selama ini dikejar-kejar oleh laskar Pamingit untuk dibunuhnya. Oleh kenangan itu terasa bahwa mulutnya tiba-tiba seperti tersumbat. Banyak sekali terima kasih yang akan diucapkan, namun tak sepatah katapun yang terlahir.
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 92 Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Wulungan, “Kami akan berjalan. Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan salah mengerti antara laskar Pamingit dan laskar Banyubiru. Kami seterusnya akan bersama-sama berjuang untuk tanah kami.” “Baik Kakang,” jawab pemimpin pengawal itu. Arya Salaka bersama-sama Wulungan kemudian meneruskan perjalanannya, menjemput laskar Banyubiru yang ditinggalkan beberapa tonggak dari Pangrantunan. III Berita tentang akan datangnya laskar Banyubiru itu pun segera tersebar. Dalam waktu yang sangat singkat. Setiap pengawal yang bertugas telah mendengarnya. Berbagai tanggapan bergelut di dalam dada mereka. Setengahnya mereka tidak percaya, sedang setengahnya menjadi gembira. Kalau pada umumnya mereka telah berputus asa, tiba-tiba timbullah harapan dan gairah mereka kembali atas tanah mereka. Meskipun mereka belum yakin bahwa di dalam laskar Banyubiru itu ada orang-orang yang tangguh seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, apalagi seperti Ki Ageng Sora Dipayana dan pendatang yang aneh, yang mirip dengan perempuan dan bernama Titis Anganten. Namun setidak- tidaknya nasib mereka berbagi. Di dalam pondok kecil masih berkumpul Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tiba-tiba timbullah keinginan Ageng Sora Dipayana untuk melihat laskar Banyubiru itu. Apakah mereka akan dapat memberikan bantuan yang berarti. “Marilah kita lihat laskar Arya itu,” katanya. “Marilah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar. Tiba-tiba Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang kecut, sambil berkata, “Ayah, dapatkah anak itu kami percaya?”
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 92 Mata Lembu Sora masih saja membayangkan kekeruhan hatinya. Sebenarnya ia melihat betapa wajah kemanakannya benar-benar meyakinkan, bahwa anak itu telah berkata dengan jujur. Karena itu ia tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya. Yang terdengar adalah jawaban Ki Ageng Sora Dipayana, “Kau terlalu dihantui oleh perasaanmu sendiri cucuku. Percayalah kepada kakangmu. Aku yang menjadi jaminannya.” Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora berkata pula, “Aku mempercayainya Sawung Sariti.” Mata Sawung Sariti menjadi redup. Senyum yang aneh membayang di bibirnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi muak melihat senyum itu, mirip benar seperti senyuman Jaka Soka dari Nusakambangan. Namun demikian ia tidak berkata apa-apa. Mereka semuanya kemudian melangkah keluar pondok itu dan berjalan untuk melihat laskar Arya Salaka yang akan datang masuk ke Pangrantunan. Mereka untuk sementara akan ditempatkan di halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat yang lebih baik bagi laskar itu, seperti juga laskar Lembu Sora yang masih belum mendapat penampungan yang baik. Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata, “Bagaimana Angger?” “Kami dapat diperkenankan memasuki desa Pangrantunan, Paman. Dan inilah Paman Wulungan,” jawab Arya Salaka. Bantaran menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi yang segera dibalas oleh Wulungan. “Aku mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut Wulungan dengan ramahnya. “Terima kasih,” jawab Bantaran.
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 92 Ketika kemudian muncul Jaladri diantara mereka, berkatalah ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada sahabatnya yang karib. “Selamat malam Wulungan. Sudahkah kau sediakan makan malam buat kami?” Nasib mereka dalam sehari, pada saat-saat mereka bertempur melawan Bugel Kaliki, telah membentuk persahabatan yang akrab di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab, “Tentu Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat bagian.” Jaladri kemudian tertawa. Ketika kemudian segala sesuatu telah dipersiapkan, maka segera laskar itu pun berangkat memasuki desa Pangrantunan. Bagaimanapun juga, di dalam dada laskar Banyubiru itu, masih juga tersangkut rasa persaingan dengan laskar Pamingit. Meskipun kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di hati Bantaran, Penjawi, Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa mereka samasekali tidak berada di bawah tingkatan laskar Pamingit. Karena itulah, maka mereka memasuki Pangrantunan dengan upacara yang menggemparkan. Meskipun menjelang tengah malam, namun laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama sangkalala dan genderang yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit Merbabu itu. Suara sangkalala dan genderang itu telah mengejutkan segenap laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun yang sedang beristirahat. Karena itu segera mereka bangkit. Mereka yang kurang mengerti persoalannya, segera memegang senjata masing-masing. Tetapi kemudian para pemimpin mereka memberi mereka penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari pemimpin pengawal yang sedang bertugas. Seperti juga yang lain- lain, mereka ragu. Karena itu mereka ingin menyaksikan kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan. Laskar Banyubiru memasuki Pangrantunan dengan derap yang mengagumkan. Di ujung barisan itu berjalan dengan tegapnya
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 92 Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan yang segar, yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini tidak mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam dada mereka berakar tekad yang seragam. Mengabdi kepada tanah pusaka, tanah tercinta, yang diperuntukkan oleh Maha Pencipta bagi mereka. Laskar Pamingit yang pecah, ketika melihat kedatangan laskar Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan baru dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta merta, mengumandanglah teriakan-teriakan mereka. “Hidup laskar Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru....” Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat laskar Banyubiru lewat di hadapannya dalam keremangan cahaya bulan. Sungguh tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru, yang selama ini terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat merupakan kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan dada tengadah, dan percaya kepada keadilan Yang Maha Kuasa, yang telah menempa mereka menjadi laskar yang pilih tanding. Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan hati yang pecah- pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan yang dahsyat, yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu- satu berterbanganlah kenangan-kenangan masa lampaunya yang memalukan. Teringatlah, betapa ia berusaha mati-matian untuk meniadakan Arya Salaka. Dan tiba-tiba anak itu sekarang datang menyelamatkannya, menyelamatkan tanahnya. Apalagi ketika Lembu Sora menyaksikan laskar Banyubiru dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi bertambah malu. Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari gerombolan berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke pasar. Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu, bergetarlah jantungnya, seperti udara yang digetarkan oleh suara genderang laskar Banyubiru itu.
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 92 Dan terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan hitam bukanlah mereka yang hitam pada wadag dan tata kelahirannya, tapi golongan hitam adalah mereka yang berhati hitam.” Lembu Sora menundukkan wajahnya. Ia tidak kuasa lagi menyaksikan laskar yang perkasa itu. Tetapi lebih daripada itu, ia menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya. Terbayanglah di dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya dengan penuh penyesalan atas perbuatannya. Lembu Sora terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak, “Hidup laskar Banyubiru.” Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Tampaklah di luar barisan berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai Bancak di tangannya bersama-sama Wulungan. Dada Lembu Sora menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia seolah-olah melihat kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya dengan marah dan berkata kepadanya, “Lembu Sora, coba bunuhlah anakku itu kalau kau berani.” Sekali lagi wajah Lembu Sora terbanting di tanah. Yang mempunyai tanggapan lain adalah Sawung Sariti. Ketika pasukan Banyubiru itu lewat, terasa dadanya berdesir pula, karena ia pun samasekali tak menyangka, bahwa laskar itu dapat berbaris dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya. Betapa mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya, sebagai tanda bahwa mereka menguasai setiap senjata yang berada di tangan mereka dengan baiknya. Di dalam hati kecilnya, Lembu Sora bersukur pula bahwa laskarnya tak terlibat dalam pertempuran dengan laskar Banyubiru itu. Sebab dengan demikian, ia akan terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan nama yang ternoda, kalau terpaksa laskarnya tak mampu melawan laskar Arya Salaka itu. Tetapi yang kemudian menguasai perasaan Sawung Sariti adalah sifat-sifatnya yang kurang baik. Ia menjadi iri hati. Iri hati terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin laskarnya, iri hati terhadap kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia melihat eyangnya tampak bangga, dan ayahnya bersedih.
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 92 Sebelum laskar itu habis sampai ke ujungnya, ia sudah memalingkan mukanya. “Bagaimana Anakmas?” terdengar suara di belakangnya. “Hem....” geramnya. “Bagaimana menurut pendapatmu Galunggung?” “Tak berarti,” sahut orang itu. “Besok atau lusa laskar yang sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar gabungan dari golongan hitam itu.” Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. “Laskarnya tak begitu banyak. Apa yang dibanggakan?” “Yang datang hanya separuh, Tuan.” Tiba-tiba terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya menoleh, dilihatnya Srengga berdiri di situ. “Dari mana kau tahu?” tanya Sawung Sariti “Dari pengawal,” jawab Srengga. “Omong kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang dilapisi oleh kedengkian. Srengga kemudian berdiam diri. Yang lain pun diam. Sekali lagi mereka melayangkan pandangan mereka kepada pasukan yang lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan itu. Mereka yang menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing. Sebagian besar dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka akan diperingan karena kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin, nyawa merekapun akan selamat pula. Laskar Pamingit akan bebas dari kemusnahan mutlak. Meskipun demikian, kemampuan tempur laskar Banyubiru masih perlu diuji. Malam itu laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah ditentukan. Di halaman Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga sebagian besar dari mereka, harus duduk bersandar pagar di
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 92 sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu. Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara kembali duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana kemudian mengambil seluruh pimpinan di tangannya. “Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. “Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.” Selanjutnya, orang tua itu membuat perintah-perintah yang harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan Lembu Sora dengan laskar Pamingit. “Menurut perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan menyerang kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Sebab mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu banyak, sehingga mereka lebih senang menanti kita datang menyerang.” Tak seorang pun yang mengajukan pendapatnya. “Karena itu....” orang tua itu meneruskan, “Kita masih mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil daerah pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau gelar-gelar yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit Urang.” Tiba-tiba orang tua itu teringat bahwa di antara mereka duduk seorang bekas perwira prajurit pengawal raja, yang pasti mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup cermat dalam peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar. Karena itu segera ia berkata, “Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?” Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka ia pun menjawab, “Demikianlah Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan,
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 92 untuk melawan mereka yang biasa bertempur tanpa aturan, dan terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin mereka. Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari ikatan gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka yang tak mau mengikat diri itu.” “Bagus,” sambut orang tua itu. “Kita pun mempunyai orang- orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.” Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar Pamingit itu terdapat seorang sakti yang bernama Titis Anganten. Karena itu kemudian ia bertanya, “Di manakah Paman Titis Anganten itu?” “Ia berkeliaran sepanjang hari,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Tapi ia hadir dalam setiap pertempuran.” ”Kalau demikian, biarlah Paman Titis Anganten kita perhitungkan pula. Siapakah para pemimpin golongan hitam dari angkatan tua itu?” tanya Mahesa Jenar. “Bugel Kaliki, Sima Rodra, Pasingsingan, Nagapasa dan Sura Sarunggi,” jawab Sora Dipayana. “Nah, kalau demikian kitapun harus melepaskan lima orang dari ikatan gelar itu. Bahkan barangkali lebih dari itu, untuk melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan Soka,” sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk- anggukkan kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 92 dirinya sendiri dapat melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu, orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar sendiri merasa, bahwa ia pun sanggup untuk menyerahkan dirinya dalam pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk menyatakan diri. Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah suara Sawung Sariti dengan nada yang tinggi, “Siapakah lima orang dari kamu itu?” Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah cucunya dengan kecewa, juga nada suaranya tak menyenangkan. Namun orang tua itu menjawab, “Sudah menjadi kewajibanku untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua eyangmu Titis Anganten.” Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk meneruskan, dan memang tak diketahuinya siapa yang akan disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu, Sariti.” Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang mengundang seribu satu macam kemungkinan. Katanya, “Kenapa bukan Paman Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang Tumaritis itu?” Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa Jenar menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat demikian? Di Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami kekalahan, namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan karena Mahesa Jenar dan sahabatnya itu. Beberapa laskarnya melihat seorang berjubah abu-abu ikut serta membantu mereka. Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu. Apakah ia Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan mungkin eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng Pandan Alas. Sekarang, tanpa bantuan seorang pun Mahesa Jenar
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 92 pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak berarti tanpa Mahesa Jenar? Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang menunggu jawaban dari orang yang dijerumuskannya ke dalam kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak maksud anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung dibalik kata-katanya. Meskipun demikian perlahan- lahan ia menjawab, “Baiklah Angger, kalau Angger Sawung Sariti berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana menyetujuinya, aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan bersedia untuk membantu.” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera memotong, “Angger Mahesa Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang lain. Kelompok demi kelompok.” Sebelum Ki Ageng meneruskan kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela, “Usaha itu ternyata gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu terbunuh.” “Kalau demikian....” Mahesa Jenar menengahi, “Biarlah aku berada dalam kelompok- kelompok itu. Demikian juga Kakang Putut Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.” Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain menyetujui terakhir Mahesa Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga ia mengharap Mahesa Jenar akan masuk kedalam perangkapnya. Demikianlah akhirnya, mereka masing-masing meninggalkan pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya. Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa, sedang Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang payah. Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan. Yang akhirnya mereka mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat.
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 92 Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia menunggu kalau ada tanda-tanda atau laporan bahwa orang-orang dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi ternyata bahwa perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat sehari penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus bekerja mati-matian. Kesempatan hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali pasukan Pamingit, serta menempatkan mereka ke dalam pondok- pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun malam. Pada malam harinya, keadaan menjadi bertambah tegang. Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka tahu bahwa besok mereka harus bertempur kembali. Yang paling tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat kepada ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan hitam, dan dapat mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh golongan hitam itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia sedang berangan-angan di muka pondoknya, tiba-tiba muncullah dari kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil, berjalan seperti seorang perempuan mendekatinya. Beberapa langkah dimukanya orang berhenti dan bertanya, “Arya Salakakah ini?” Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan enyambutnya, “Ya, Eyang.” Orang itu tertawa perlahan-lahan. “Kau sedang bersedih?” “Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap. “Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis Anganten pula. Arya Salaka tertegun. Orang tua itu dapat menebak perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia agak malu juga
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 92 untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten itu, “Pamanmu ada…?” “Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman Mahesa Jenar?” tanya Arya pula. “Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya. “Aku hanya perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.” Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya. “Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab Titis Anganten. “Berita tentang ibumu.” Arya terlonjak. “Ibu…?” Ia menegaskan. “Ya.” “Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi. “Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan bercerita tentang ibumu,” kata Titis Anganten perlahan-lahan. Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera mengetahui, berita apakah yang akan disampaikan kepadanya. “Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit” Titis Anganten mulai, “Pamingit sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru. Mereka sedang bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir tanpa perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu Sora dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat persiapan- persiapan yang dilakukan oleh golongan hitam. Sehingga dengan demikian aku sempat menyingkirkan bibi serta ibumu itu.”
  • 49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 92 “Jadi ibuku selamat?” tanya Arya. “Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten. Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya menjadi sesak. Dan tidak setahunya ia berbisik, “Tuhan Maha Besar.” Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada orang tua yang menyelamatkan ibunya itu sambil berkata, “Tak dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang Titis Anganten.” Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia berdiri dan berjalan pergi. “Eyang....” Arya mencoba memanggil. Tetapi Titis Anganten tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat- lamat kemudian terdengar ia berkata, “Aku sudah mengantuk. Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.” Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana ibunya sekarang. Namun ia percaya bahwa Titis Anganten telah menempatkan ibunya itu di tempat yang aman. Dengan demikian hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang golongan hitam nanti menghancurlumatkan Pamingit. Demikianlah ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya. Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya di samping Kebo Kanigara. Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga. Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan nyenyaknya. Ia tidak peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi. Namun ia malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar, tersenyum kepadanya sambil berkata, “Arya, sambutlah dengan kedua tanganmu. Hari akan cerah.” Dan Arya tersenyum di dalam tidurnya.
  • 50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 92 Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman. Beberapa orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa orang masih enak-enak menikmati minum air sere yang hangat, dengan segumpal gula kelapa. Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan segarnya. Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu. Sesudah sembahyang Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar perapian sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa dan segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan bersama sebelum mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat dinikmatinya. “Kita berada di sayap kiri.” Terdengar gurunya bergumam. Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat lehernya. Setelah mereka mengaso sejenak, terdengarlah tengara dibunyikan. Laskar Banyubiru itu pun segera bersiap, dan berbaris menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka, dengan tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh, segera merapatkan diri dalam barisan. Beberapa orang pemimpin dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora Dipayana untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila mungkin, mereka harus memilih lawan. Jangan sampai ada korban sia-sia. Ketika sangkalala berbunyi, barisan itu mulai bergerak. Dalam keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti seekor naga raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan, berjalan laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di belakang, berjalan laskar Banyubiru, di bawah pimpinan Arya Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang
  • 51. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 92 Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka Banyubiru, Kyai Bancak. Beberapa orang pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk mengetahui di mana kira-kira orang-orang dari golongan hitam itu mempersiapkan diri. Biasanya mereka samasekali tidak membuat garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas, bahwa kali ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka merasa bahwa lawan mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas merekapun telah mengetahui kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka telah menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di Pangrantunan bersama-sama. Tidak seperti yang mereka harapkan, bertempur satu sama lain. Tetapi, dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra berkata, “Kalau di dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar, akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh menantuku.” Beberapa lama kemudian pengintai dari Pamingit itu pun melaporkan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa orang-orang golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak. Namun orang- orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar Pamingit dan Banyubiru. Demikianlah ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan desa Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit dan Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang menebar, laskar Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di sayap kiri, yang masing-masing merupakan sapit dari seekor udang raksasa yang siap menerkam lawannya. Di pusat gelar yang