SlideShare a Scribd company logo
1 of 98
Download to read offline
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 98
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 98
I
aka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua
kakinya yang merenggang. Meskipun debar di dadanya
masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah
mulai tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan
yang tajam. Tetapi goncangan-goncangan tubuh Baginda itu,
masih belum menyamai goncangan perasaan Baginda. Hampir
Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan
bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak
muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang
mengagumkan. Sejak semula Baginda memang telah mengira,
bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui blumbang
sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda
samasekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu
yang sedemikian dahsyatnya.
Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada
di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda.
Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut bukan
kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan buah-
buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata
hanya mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah.
Bahkan tangannya itu seakan-akan telah membentur selapis
dinding baja yang samasekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan
yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali
melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan
kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak.
Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan
seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun
mengerumuni kepalanya.
Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali,
dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah
dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga
matanya itu seakan-akan menjadi menyala.
M
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 98
Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini
sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu benar-
benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan
cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena
itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan. Anak
itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda
menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan
sebagai seorang ayah, Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa
ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian, maka baik
Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-
nilainya yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya
itu dibiarkannya.
Seandainya, ya, seandai-
nya pada saat itu Baginda
menjumpai orang lain, bukan
Karebet dan tidak memiliki
ilmu sedahsyat Aji Rog-rog
Asem serta Lembu Sekilan,
serta dari matanya tidak
membayang cahaya yang biru
kehijauan, maka Baginda pasti
sudah akan bersikap lain.
Mungkin Baginda akan me-
maksa putrinya untuk masuk
ke bilik bundanya, dan me-
nangkap anak itu sebagai
seorang pencuri atau apapun
yang masuk ke dalam istana.
Dengan demikian, maka orang
itu akan dapat dihukum berat.
Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda yang
jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam
kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun
ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 98
Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat
Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam mangsanya.
Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu
mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya
serangan yang masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka
Baginda segera mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk
segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain
melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu,
melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan
menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening,
dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya.
Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra
Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda benar-benar
tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda
mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan
kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda
melontar menyusul arah lawannya yang terbang beberapa jengkal
di sampingnya, karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang
dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak pada
tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah
Karebet, tanpa menyentuhnya.
Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak
melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya telah
cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.
Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya
seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta merta ia
meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia
memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain
ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.
“Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya.
“Tangannya samasekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran
serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 98
Orang itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak
terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata, “Bagaimana Aji
Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu
Sekilan yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu,
tetapi agaknya kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan
Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu Sekilanmu.”
Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram.
Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu kepastian,
bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu
Karebet menjadi semakin cemas. Ia samasekali tidak
mencemaskan nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun
bagaimana kemudian dengan putri itu?
Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu,
maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata,
“Nah, apakah kau masih akan melawan.?”
“Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak
dihadapanmu,” sahut Karebet.
“Hem,” desah orang itu, “Kau memang keras kepala. Meskipun
demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu
kepadaku.”
“Apa?” Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena
kemarahannya yang meluap-luap. Sedang Putri Sultan itu menjadi
bertambah mengigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya beredar
di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya
menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa
peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang
berselubung kain itu?
Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu
berkata, “Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?”
“Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 98
Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, “Mereka akan
menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”
Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya
telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia
mendengar orang itu mengulangi, “Anak muda. Tak ada gunanya
kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang samasekali
tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan
dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan
terhadap ilmuku meskipun kau membentengi dirimu dengan
Lembu Sekilan?”
Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di
hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti bukan. Mungkin
orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak dijumpai
orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang
sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan
orang ini bukanlah salah seorang dari mereka.
Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet
mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula,
“Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.”
Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, “Lampaui dahulu
mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau
benar-benar keras kepala.”
“Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut
Karebet, dan diteruskan, “Apakah kau sangka, sesudah aku, kau
akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal
oleh Nara Manggala.”
“Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu.
“Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.”
Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa
nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 98
bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan.
Panji Danapatipun bukan. Siapa?
Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu
berkata, “Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh
Demak mampu mengalahkan aku?”
Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu.
Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah dikenalnya
di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang
terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu.
Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di
atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata,
“Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?”
“Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi
kata-kata itu.
“Ya,” sahut orang itu pendek.
Tubuh Karebet pun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu-
ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya. Bajra Geni
adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan
Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya,
Lebur Seketi,Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada
itu. Aji Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan
Trenggana. Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan
terhenti. Bahkan darahnya pun seakan tidak mengalir lagi.
Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan
orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian meraih kain
yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain itupun
telah direnggutkan.
Demikianlah orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu
menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil.
Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat
berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya dikaki
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 98
Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun
kemudian berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah
hampir mencium tanah.
“Jangan menangis!” bentak baginda. “Diam atau kututup
mulutmu!”
Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba
meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu seakan-
akan malahan meledak-ledak.
Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang renggang.
Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung
pedang. Dan Karebet pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya.
“Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai
ayahandamu?” sahut baginda.
“Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari
bibir Puteri yang sedang menangis itu.
Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan
kemudian ia berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah aku harus
melampaui mayatmu?”
“Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar, “hamba tidak
menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.”
“He,” Seru Baginda, “Jadi kalau tidak ada aku kau dapat
berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan dengan orang lain,
kau mengagung-agungkan kekuatanmu? Lembu Sekilan atau Aji
apa lagi yang kau miliki itu?”
“Ampun Baginda,” Karebet semakin tertunduk. Kini
harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal
menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal
lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 98
Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, “Karebet itukah
tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut
dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau
seorang anak muda yang memiliki kebanggaan dengan
menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini
ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang
ayah dan seorang raja.”
Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat
kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan
persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan
baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya.
“Tak ada gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah
kepada nasib yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman
lain yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati.
Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.
“Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku,” pikirnya.
Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan
Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati
baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian
anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga baginda pun
berkata di dalam hatinya, “Sayang, anak ini memiliki kemungkinan
dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia
mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu
rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih
tanding.”
Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping
puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula. Namun
sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai
penyakit berat di dalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang
seorang lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan
menyamai kakak sulung.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 98
Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu.
Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya,
“Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan
ibunda yang menjemputmu.”
Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan
menjawab, Baginda membentaknya, “Masuk ke keputren!”
Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali
lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta airmata
berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya. Langsung
direbahkannya dirinya dipembaringan menelungkup. Dan kepada
pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan
nasibnya yang malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati
puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan
ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi.
Diluar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur.
Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi.
Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini
tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya.
Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg.
Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri di
dalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala
keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh
oleh perasaannya itu.
“Karebet,” berkata Baginda kemudian, “ikut aku ke Ksatriaan.”
“Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.
Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera
Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun perdu dihalaman,
supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda itu
berkata, “ikuti aku. Jangan ada seorang pun yang melihatmu.
Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada
penjaga itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 98
Karebet menyembah sambil menyahut, “Hamba, Baginda.”
Maka keduanya pun berjalan mengendap endap menghindari
peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorang pun yang
mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu
samping.
“Karebet,” berkata Baginda setelah mereka di dalam bilik
ksatrian. “Tinggal di sini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada
gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana saja kau
bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap
peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun
boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”
“Hamba tuanku,” jawab Karebet. “Hamba tidak akan berani
melanggar perintah Baginda.”
Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan baju keprajuritan
yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian baginda
pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu
menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti di pagi hari,
jika beberapa orang emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk
membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur
nanti datang pula kemari?
Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena
itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak berani beranjak
dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya diatas lantai
yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam
perasaan bercampur baur, Karebet memandang kedinding yang
kokoh kuat sekuat baja.
“Dengan rog-rog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini,“
terdengar suara di dalam hatinya.
“Gila,” jawab suara yang lain
Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar
didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 98
menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda
setelah itu.
Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian
keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan
melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan
menanganinya ?
Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun
gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat,
ia bergumam, “Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih
baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan,
soalku tidak selesai.”
Dengan tanpa kesan apapun atas segala macam bencana yang
sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu pun
kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat kemudian, ia
sudah tidur mendekur.
Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung kembali ke bilik. Betapa
terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat
baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan datang
kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan
menyambut kedatangan baginda dan dengan takjimnya mereka
pun segera duduk bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di
muka gardu.
Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi
menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda
datang sendiri kepada mereka.
Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu berkata,
“Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”
“Hamba tuanku,” sahut Nara Manggala yang tertua, “apakah
Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”
“Ya,” jawab Baginda, “Bawa dia ke Kasatrian”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 98
“Hamba Tuanku,” sahut orang tertua itu.
Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke Kasatrian,
dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan.
Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata, “Aku datang
sendiri. Aku kembali sendiri.”
Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan
berbuat demikian. Tetapi tak seorang pun berani bertanya. Dan
mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi Baginda
lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik.
Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik
diantaranya. “Aneh,” berkata salah seorang dari mereka, “kenapa
baginda memanggil Prabasemi dimalam hari begini?”
Yang lain menggeleng, “Memang aneh.”
Hanya tiba-tiba saja seseorang berkata, “Tadi aku melihat
Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”
“Lalu sekarang Prabasemi dipanggil oleh baginda,” sahut yang
lain, “Kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? Bukankah
ia prajurit Wira Tamtama?”
Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata,
“entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.”
“Apa?” bertanya yang lain
Orang itu menggeleng. Katanya, “Kalau aku mengetahuinya
kau pasti mengetahuinya juga.”
Mereka itu pun kemudian terdiam. Masing-masing berjalan
kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka duduk, seperti
orang tersengat lebah, Nara Manggala yang tertua berteriak, “He,
bodoh kalian. Kenapa kalian tidak berangkat memanggil
Prabasemi?”
“Oh,” sahut yang lain, “Hampir aku lupa kepada perintah itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 98
Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala
segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka
segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda
keprajurutan. Dengan pedang dilambung masing-masing berdua
segera pergi menjemput Tumenggung Prabasemi.
Meskipun kemudian tak seorang pun yang bercakap-cakap,
namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah
yang sebenarnya terjadi?
II
Dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk kedalam biliknya
dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang menunggu.
Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar
sebuah tarikan napas panjang.
“Nah,” berkata Baginda, “bukankah aku masih utuh?”
Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya, “Hamba
menjadi gelisah.”
Baginda kemudian memandangi kedua emban yang duduk
bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat
kemudian berkatalah baginda “Kembalilah ke bilikmu masing
masing emban.”
Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka
menyembah sambil membungukkan badan mereka, “Hamba
Baginda.”
“Tetapi, ingat,” berkata baginda pula, “apabila seseorang
mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku
pancung di alun-alun.”
Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi
mereka menyembah dengan takjimnya.
“Nah tinggalkan bilik ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 98
Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka
menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu.
“Alangkah malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri,
“Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan
mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri
yang bercerita tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain
yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi,
mengerikan.”
Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan di
dalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah
dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan
yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum di dalam hati.
Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan
mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian,
maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya.
Demikian kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka
segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa
yang telah terjadi.
Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh
emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta,
pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah
putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani
oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, samasekali telah
mengabaikannya.
“Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” bertanya Permaisuri.
“Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara
hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru
dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah
dan rohaniah, bencana itu terjadi.”
Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya,
seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai
seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 98
kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang
Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang
tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi
pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat
masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih
belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai
kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga
Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang
bergelar Rangga Tahjaya. Namun orang itu telah lama membuang
diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan
pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.
“Tetapi orang itu samasekali bukan keluarga istana,” desis
Baginda di dalam hatinya.
“Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya.
Kemudian katanya di dalam hati, “Apakah Karebet itu juga
keluarga istana?”
Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu
bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir
perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah
anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan
kadang, bukan sentana.
“Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-
kata jauh di dasar hatinya. “Kebo Kenanga adalah putra Pangeran
Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah
Majapahit di dalam tubuhnya?”
“Hem.” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda
itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah
matanya yang basah.
“Sudahlah,” hibur Baginda, “Aku akan mencoba mencari cara
sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”
“Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 98
“Aku belum tahu,” sahut Baginda, “Tetapi mula-mula adalah
menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan
Karebet.”
Permaisuri menganggukkan kepalanya. “Besok, Putriku akan
aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan
yang lebih seksama.”
“Aku sependapat,” sahut Baginda, “Dan biarlah anak muda
yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”
“Akan diapakankah?”
“Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan
kepada Palindih di Bergota.”
“Hanya itu?”
Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-
benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat
mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri
secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan
kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam
diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya
memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau
yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa
Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang
mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh
wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak
seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan
Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.
Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas
pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya,
“hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet.
Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?”
Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya, “Hukuman itu
adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 98
pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan
keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet,
tetapi pada Puteri itu juga.”
Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang
puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya,
“Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak
memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan
kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan.
Jarang-jarang ia melihat anak muda di dalam biliknya yang sempit.
Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi
hatinya.”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda
yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap
Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang
merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas
puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang
luas. Maka dengan hati-hati Bgainda berkata, “Tetapi apabila
puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu
diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan
gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing.
Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.”
“Oh,” sahut permaisuri. “Baginda telah berbicara tentang hati
laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet.
Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan. Mungkin
puteri mula-mula samasekali tidak menanggapi sikap Karebet.
tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya,
maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih
dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda
yang terbakar hatinya. Atau mungkin Karebet sengaja membuat
dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun
yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang
gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-
manja atau merayu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 98
Sekali lagi Baginda menarik nafas. Sekali lagi dicobanya untuk
menjawab, “Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam
pendiriannya.”
“Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat
membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.
Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum
pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang
permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan
perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah
tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan
berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang
laki-laki berhati batu. Baginda dapat mengetahui sepenuhnya
perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada
permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang
jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat
dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa
pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.
Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat
menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya
kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat
ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya,
maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga
Permaisuri kali ini.
Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata,
“Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah
aku yang dipersalahkan.”
Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya.
Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala
kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil
berkata, “Ampun Baginda. Aku ternyata telah berpendapat terlalu
jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas
bencana yang menimpa puterinya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 98
Baginda mengangguk-anggukan kepalanya pula. Jawabnya,
“Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati
Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku
adalah seorang ayah pula.”
Permaisuri itu pun kemudian berdiam diri. Namun di kedua
belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami
peristiwa yang samasekali tidak didangka-sangkanya. Bencana
yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah
diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti
kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi
juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus
memandang segala persoalan dari berbagai segi.
“Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau
saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil
maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi
puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap
mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja
meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun
diucapkannya.
Yang kemudian berkata adalah Baginda, “Marilah, aku antar
kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah
puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk
smeentara.”
Permaisuri menyembah, kemudian tanpa berkata sepatah
katapun segera mereka meninggalkan bilik Baginda kembali ke
bilik Permaisuri sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban
tadi duduk bersimpuh menungguinya.
“Kau masih di sini?” bertanya Permaisuri.
Emban itu menyembah sambil menjawab, “Ampun Gusti.”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu.
Katanya, “Kenapa kau menangis?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 98
Emban itu menundukkan wajahnya, “Hamba Takut Gusti.”
“Apa yang kau takutkan?”
Emban tidak menjawab. Tetapi sesekali ia menyembah dan
kepalanya semakin tunduk.
“Jangan takut,” berkata Permaisyuri, “Kau tidak bersalah dan
kau tidak berbuat apa-apa”
Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya
sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti
ganti. Baginda pun kasihan juga melihat emban itu. Tetapi baginda
tida berkata apapun.
Setelah permaisuri itu masuk kembali ke dalam biliknya, maka
segera Baginda meninggalkan bilik itu. Di muka pintu, baginda
berkata kepada emban yang masih bersimpuh di situ, “Kawani
Gustimu.”
“Hamba Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani
masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya.
Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia terbatuk
karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya,
“apakah kau masih di muka pintu?”
“Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk
menemani Gusti.”
“Tidurlah,” berkata Permaisyuri itu, “Aku ingin tinggal seorang
diri”
Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. Tetapi
begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali-
kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah
melukainya.
“Kenapa kau?” tanya seorang temannya
Emban itu menggeleng.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 98
“Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”
“Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun
lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak.
Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi.
Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa
kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan.
Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan
calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya.
Dalam pada itu Baginda telah berjalan menunju ke Kasatrian.
Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang
Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu
pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.
Ketika Baginda sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan
membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda melihat, betapa
Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas lantai. Sekali
lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati, “Anak itu
memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat
menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia
menjalani setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan
hidupnya terancam?”
Baginda menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet
menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun demikian
Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu
mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta
merta Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga
berderak-derak keras sekali.
Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu.
Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah
siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika
kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika
dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta
merta ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah. “Ampun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 98
Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba samasekali tidak
bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.”
Hampir Baginda tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi
sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan tajamnya
Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.
“Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda.
“Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”
“Kenapa kau tidur?”
“Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak
dapat hamba kuasai lagi.”
“Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang
paling berat?”
“Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman
apapun yang akan Baginda jatuhkan.”
Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak
berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi dan dua
orang Nara Manggala.
Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka
berkatalah Baginda, “Masuklah.”
Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka,
nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika tiba-tiba
dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada
Tumenggung Wira Tamtama itu.
“Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada
datar.
Dada Prabasemi pun serasa meledak mendengar suara itu.
Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika Karebet
memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 98
“Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya. “Apakah
Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam
ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?”
Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet masih saja
memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda
tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet
menundukkan wajahnya.
Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di
hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan
kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang berdentang-
dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya.
Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di
muka pintu, Baginda berkata, “Tinggalkan Tumenggung Prabasemi
di sini.”
Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan
takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian.
Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung
Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran,
kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu
maka berkatalah Baginda, “Apakah kau terkejut, Prabasemi?
Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”
Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas
terdengar, “Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”
“Apa yang tidak kau sangka?”
Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia
memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja
tersenyum.
“Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil
seseorang di malam hari begini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 98
“Ya, ya, Baginda.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya pula, “Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang
wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.”
“Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin
gemetar.
“Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau
tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.”
Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai
suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian. Dengan
mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba
sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah
menundukkan wajahnya. “Gila, Setan, Anak itu benar-benar
penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa”
Maka berkata Baginda seterusnya, “Nah, Prabasemi. Aku ingin
mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji, bahwa
apabila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka
umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.”
Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan
wajah tunduk ia menyembah sambil berkata, “ampun baginda.”
“Dengarlah,” berkata baginda kemudian, “Apakah kau
mengenal anak yang duduk di belakang ini?”
Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti
kedinginan, “Hamba, Tuanku.”
“Kau kenal namanya?”
“Hamba Baginda.”
“Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 98
Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia
berusaha menjawab, “Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari
kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”
Baginda mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda
menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan
Karebetpun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat
melupakan nasibnya sendiri.
“Prabasemi,” berkata Bagind pula, “Dahulu aku menyerahkan
anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil
darimu.”
Prabasemi terkejut mendengar kata-kata Baginda yang tidak
disangka-sangka itu. Sehingga karenanya ia bahkan menjadi
bingung. Sesaat ia menatap wajah Baginda dan sesaat pula ia
memandang wajah karebet.
Tumenggung itu baru sadar ketika didengarnya Baginda
berkata seterusnya, “Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama
lagi.”
Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak
mampu lagi untuk tersenyum. Kepalanya yang lemah itu terkulai
tunduk, sedang nafasnya berangsur-angsur menjadi semakin
cepat.
Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat
menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia
bertanya, “Kenapa?”
Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi
menyembah, “Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana
perintah Baginda?”
Baginda menarik napas kemudian berkata, “Prabasemi, kau
adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa
kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali
dengan kau. Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 98
muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang Patihpun
samasekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi
dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari
mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.”
Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu kini telah berkembang
kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai keadaan. Apalagi
ketika Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet telah berbuat
kesalahan terhadap keluargaku.”
Tiba-tiba Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah
soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan ketiang
gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu.
Karena itu maka Prabasemi itu kini sudah tidak tidak menggigil
lagi. Meskipun demikian ia masih mengumpat-umpat di dalam
hatinya, “Demit itu masih juga sempat menggangu orang pada
saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.” katanya dalam hati.
Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-
kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh
baginda, “Ampun Baginda, Sebenarnyalah demikian, Karebet
memang mempunyai tabiat kurang baik. Sehingga, karena itulah
ia melakukan perbuatan gila. Dengan berbuat demikian, bukankah
ia telah menghinakan tidak saja keluarga Baginda, tetapi justru
Adat Demak telah dihinakannya pula. Keberaniannya mencuri hati
Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak dapat diampuni.”
Karebet itu pun terkejut mendengar kata-kata pemimpinnya
itu, sehingga hatinya menjadi semakin berdear-debar. Tetapi,
Bagindalah yang lebih-lebih terkejut lagi. Karena itu, sambil
mengerutkan keningnya, Baginda bertanya, “Prabasemi darimana
kau tahu dengan pasti kesalahan Karebet atas keluargaku?”
Kini Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang.
Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum
diketahuinya. Karena itu, kembali dadanya berdebar-debar. Sekali
ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Sekali dipandangnya kaki
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 98
Baginda. Namun akhirnya ia berkata, “Baginda, ampunkan hamba.
Sebenarnya Karebet pernah berkata kepada hamba, memuji-muji
puteri baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk
menemui puteri itu. Namun, ampun baginda, aku sangka Karebet
hanya berkelakar dan menghilangkan kejemuannya apabila
sedang bertugas dalam gardu penjagaan di luar istana. Karena
itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat
kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak
apa yang telah dilakukannya.”
Darah Baginda serasa mendidih mendengar kata-kata
Prabasemi itu. Dengan wajah yang merah membara, maka
dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak
kurang terkejutnya mendengar pengaduan Tumenggung
Brabasemi itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan
mengatakan apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun
kemudian niat itu diurungkannya. Apabila ia tak dapat
membuktikannya, maka pa yang dikatakannya itu dianggap tidal
lebih dari fitnah belaka. Karena itu, kembali Karebet menundukkan
kepalanya. Dicobanya memutar otak mencari jawaban, apabila
Baginda bertanya kepadanya tentang kebenaran kata-kata
Prabasemi itu.
Dan sebenarnyalah Baginda itupun kemudian bertanya,
“Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?”
“Hamba Baginda,” jawab Karebet sambil menyembah.
“Apa katamu tentang itu?”
“Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.”
Jawaban Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh
Tumenggung Prabasemi. Ia mengharap Karebet akan
membantahnya dan bercerita tentang bermacam-macam
persoalan. Dengan demikian Tumenggung itu akan dapat
membuat Baginda semakin marah dengan menuduhkan bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 98
untuk mengurangi kesalahannya, Karebet telah membuat fitnah.
Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya.
Baginda itu pun menjadi heran. Kemarahannya yang telah
memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu.
Meskipun demikian baginda itu membentaknya, “Kenapa kau
berbuat demikan Karebet?”
“Baginda,” jawab Karebet,
“Ampunkan hamba. Sebenar-
nya setelah melihat puteri
Baginda, hamba menjadi
seorang yang tak dapat menilai
diri sendiri. Sekali-sekali
hamba pernah mempercakap-
kannya dengan Kiai Tumeng-
gung karena hamba tidak
mempunyai orang tua lagi
semenjak ibu hamba mening-
gal, setelah ayah Kebo Kena-
nga meninggal pula. Itulah
sebabnya, maka hamba hanya
dapat mengadu kepada
pimpinan hamba yang hamba
anggap ayah bunda hamba.
Apalagi, kebiasaan Kiai Tu-
menggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran
Handayaningrat almarhum. Mengurai rambut dan menyangkutkan
ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya hamba terlalu percaya
kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan
dihati hamba tanpa berprasangka.”
“Bohong!” tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong
Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, disadarinya
bahwa di hadapannya Sultan Trenggana sedang duduk
mendengarkan kata-kata Karebet itu. Karena itulah, maka dengan
gugup Prabasemi menyembah sambil berkata, “Ampun Tuanku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 98
Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. Ya, sebenarnyalah
anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak kebanyakan. Ketika
Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan Handayaningrat,
betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai
persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada
Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun
meskipun demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan
batin yang mengagumkan.
Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada suatu masalah yang
sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang
memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya
Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu
akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari
istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya
mengawasi bandar Bergota.”
Prabasemi benar-benar terkejut mendengar keputusan itu,
seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang. Karebet yang
telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba-
tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta
ia bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-
akan tidak pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan-
kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki
Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa
olehnya, betapa kasih Baginda itu kepadanya.
Karena itu, justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi
Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari tepi-tepi jalan,
bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia
menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya,
dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang
sangat besar bagi adat kehidupan Demak.
Berbeda dengan Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun
terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda. Ternyata
Karebet itu samasekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 98
sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu,
maka pada saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet
untuk kembali ke Demak masih terbuka. Tetapi kalau anak itu
telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan dapat tidur nyenyak.
Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya juga
untuk berkata, “Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah
pertimbanganmu Prabasemi?”
“Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya
adalah hukuman mati.”
Karebet yang sudah duduk kembali itupun memandang
Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan
Tumenggung itu. Tetapi Karebet samasekali tidak dapat
mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan
Tumenggung itu. Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah
mengumpat di dalam hatinya.
Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat
Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata,
“Prabasemi. Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang
kawula dan seorang raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima.
Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap pengkhianat harus
dihukum mati. Tetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya sekedar
melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan
wanita. Tetapi caranyalah yang samasekali tidak wajar. Karena itu
maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti
menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua
kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka
pengampunan kali ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya
ampun untuk kedua kalinya.”
Prabasemi itu mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia
tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu sekali lagi
diberanikan dirinya berkata, “Baginda. Janganlah menjadi contoh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 98
yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba
akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya,
bahwa seorang prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi
telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh
bagi para prajurit yang lain.”
“Peristiwa ini tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk
apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang pun mengetahui apa
yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang
kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang
sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”
Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang
mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi tak
dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada
anak muda itu sambil menggeram. “He, Karebet. Terkutuklah kau
sampai anak cucumu.”
Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu,
maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri.
Bilik itu kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan
yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali lagi harus
berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia samasekali tak
mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi
cemas, jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk
melakukannya.
Ketika Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula.
Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi
permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi
sedang mencari cara lain yang samasekali tak akan mudah
diketahui. Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu,
bahwa sebenarnyalah Baginda sangat sayang kepada Karebet.
Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu,
maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya,
“Baginda. Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 98
permohonan yang paling keras untuk menghukum mati Karebet.
Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba
mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah
mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam
lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak
dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi
mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali
ke istana. Dengan menempatkan anak itu pada kakang Palindih,
maka kesempatan masih terbuka setiap kali baginya untuk
mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan,
untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat
tempat yang selayaknya bagi seorang putri.”
Baginda tidak segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun
Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi. Baginda
melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas
perbuatan Karebet itu. Namun Baginda samasekali tidak
menyangka bahwa di dalam dada Tumenggung yang garang itu
tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula. Baginda samasekali tidak
menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud yang
tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet.
Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain
daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu.
Setelah Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda
membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda
mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri
sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung
Karebet, yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama
tidak menghendaki anak itu lagi. Tidak menghendaki Karebet
tampak di antara kawula Demak. Namun untuk membunuhnya,
Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu
sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang
masjid, namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda
keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 98
dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran
Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.
Mudah-mudahan mereka kelak dapat melupakan kesalahan
itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan anak
itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat
dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan.
Sebab sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki
kelebihan daripada orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata-
kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil kebijaksanaan lain
apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi
seorang putri raja.
Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata, “Karebet,
apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari
pemimpinmu?”
Karebet menyembah sambil membungkukkan badannya
dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak
senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi
bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab
tak ada bukti apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin
menceritakan tentang maksud-maksud Tumenggung yang licik itu.
“Nah, Karebet. Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan
orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali ini, adalah tanggung
jawabku. Ternyata ada beberapa pertimbangan baru tentang
dirimu. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang
Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan-
pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai
suatu keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama
lagi. Dan kau sejak ini bukan keluarga dalam lingkungan
keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan apapun. Kau harus pergi
meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi
sampai keputusan ini aku cabut.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 98
Dada Karebet berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia
menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah sakit
perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia
mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan
keprajuritan dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang
terlampau berat. Tetapi ketika disadarinya bahwa kesalahannya
terlampau berat, maka Karebet pun kemudian mencoba
menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan
dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap
kesalahan harus mendapat hukuman.
Dan Karebet pun kemudian menerima setiap keputusan
Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan
Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak
mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu
bernafsu untuk menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti
membiarkannya untuk pergi ke Bergota. Tetapi segala
kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah menjatuhkan
keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar
pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan
yang diucapkan.
Mendengar keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum
di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan-
akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam
perasaannya.
“Karebet....” kata Baginda kemudian, “Keputusan itu berlaku
sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana
ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”
“Ampun Baginda,” sela Prabasemi, “Keputusan Baginda itu
berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk
berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik
jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit
yang melihat Karebet, harus mengusirnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 98
Baginda mengerutkan keningnya. “Alangkah dalam dendam
Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.
“Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap
kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas
kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat
keras.”
Namun Baginda menjawab, “Apakah alasan yang dapat aku
berikan untuk perintah itu?”
Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya, “Ampun
Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah
aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh
seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama.
Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya,
ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga
karenanya orang baru itu terbunuh.”
“Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-
benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang
menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal
inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah
dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.
Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda
menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya
wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala
Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia
seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya,
ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan
dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan
kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung
Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan,
bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang
berharga bagi Demak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 98
Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang
telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi
semakin kalut, maka berkatalah Baginda, “Nah, Karebet. Saat ini
pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain
mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila
masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan
apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah
berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang
jauh lebih berat dari hukuman mati.”
Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan
kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu
berkata, “Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan
hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah
keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”
Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali
Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda, “Baik. Aku
harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak
saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana
ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet
diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”
Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus
melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata,
“Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata
masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.”
Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia
bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata, “Ampun
Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di
perbatasan.”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jangan
seorang pun tahu apa yang telah terjadi.”
“Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan
mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 98
Baginda tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi
semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi
sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang
langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi
Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan
bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda.
“Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?”
“Hamba Baginda,” jawab Prabasemi. “Sebab apabila tidak
demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah
kawan-kawannya di dalam kota.”
Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kata Baginda, “Terserahlah kepadamu Prabasemi.”
Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah
sekali lagi ia berkata, “Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat
sekarang sebelum fajar.”
“Pergilah,” sahut Baginda.
Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata, “Ayolah
Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan
bagimu.”
III
Karebet samasekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka
bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi
berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas
bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk.
Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia
menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo
Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya
Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu
ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi
ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 98
kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan
senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini
kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya.
Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu
penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya,
“Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?”
Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab
singkat, “Sudah.”
“Apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.
Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata, “Kaki
Baginda terkilir.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga
itu berkata, “Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak
apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”
“Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet,
“Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah
Baginda timpang.”
Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja
mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah
dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi
tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati.
Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek
seperti orang banci.
Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka
Tumenggung itu membentak, “Ikut aku!”
Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi,
maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman
dalam istana itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 98
Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan
angkuhnya, “Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”
Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Ki, apakah aku
tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”
Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apa sajakah
milikmu itu?”
“Pakaian, Ki.”
“Itu saja?”
“Ya.”
“Biarlah aku tukar dengan uang.”
“Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari
almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”
Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata,
“Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan
berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.”
Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera
berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam
pondoknya Prabasemi berkata, “Aku ikut. Dan jangan berkata
kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”
Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya
Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam
biliknya.
Sebenarnya Karebet samasekali tidak sayang pada beberapa
lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih
dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat.
Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai
Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 98
biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar
pakaian.
“Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian
keprajuritan.”
“Tidak, Kiai,” jawab Karebet. “Pakaianku aku tinggal di
sangkutan pada dinding bilikku.”
Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok
bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.
Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet
berkata, “Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat
menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu
aku serahkan semua itu kepada Kiai.”
Prabasemi tersenyum. “Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu
aku selesaikan.”
Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian
berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan. “Aku akan menuju
ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.
“Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,”
jawab Prabasemi sambil tertawa.
Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru
menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan
sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun
demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan
dengan kepala tunduk.
Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun
telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang
tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup
perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya.
Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 98
Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah
yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut
kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai
ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat.
Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.
“Hem,” desis Prabasemi kemudian, “Hampir fajar.”
Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan
dipandangnya langit yang kelam. “Masih cukup lama,” katanya di
dalam hati.
Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu
terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai
ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah
persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat,
tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun
hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga
beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa
jenis harimau kecil.
Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia
tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet, “Marilah aku antar
kau sampai ke hutan itu.”
Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar
menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Kenapa sampai ke hutan itu?”
“Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi,
“Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”
“Ah,” desah Karebet. “Tak ada binatang buas yang berbahaya
di hutan itu.”
“Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali,” sahut
Prabasemi sambil tertawa.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 98
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet.
Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi
itu berjalan di sampingnya.
Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri.
Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet
mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung
Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya
sehingga sampai ke hutan itu.
Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam
dan berkata, “Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau
pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab.
Sementara itu mereka masih berjalan terus menyusuri jalan-jalan
kecil di antara sawah yang terbentang. Di antara batang-batang
padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang
tertiup angin basah dari pegunungan.
“Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu,
Karebet,” kata Prabasemi.
Karebet masih berdiam diri.
“Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”
Kini Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung
itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam
diri.
“Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu
seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”
“Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.
Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Pahit, memang
pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika
aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 98
Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa
yang telah terjadi di Kaputren.”
Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar
kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan
itu.
Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu
menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar
pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya, “Aku telah
lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku
sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang
ini.”
Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya.
Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri.
Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus. “Dan sekarang
kasempatan itu datang juga.”
“Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.
“Karebet” berkata Tumenggung itu, “Sejak aku mengetahui
hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak
itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi
putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa
depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang
sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”
Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia
berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya.
Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang
tersimpan di dalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus
“Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu.
Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan
yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk
menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku
hampir menjadi gila karenanya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 98
Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu
mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi
Tumenggung itu hanya berkata, “Sekarang kau harus menerima
kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba
melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”
Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-
senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi
semakin muak kepadanya.
Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke
hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih
sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di
langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan
merajai langit di malam hari.
Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang
wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi
semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi
semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di
tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet,
apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat
beberapa jenis binatang buas.”
Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi,
sehingga ia menjawab. “Ya Tumenggung, aku tahu.”
“Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya
binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang
berbahaya samasekali.”
Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang
kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar
ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu.
Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di
dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih
berbahaya lagi daripada mereka itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 98
Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu
hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus.
“Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan
dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana
kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah,
ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan
kesempatan itu samasekali. Kau dengar?”
Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia
samasekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh
Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba
menjadi gemetar.
Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata, “Karebet,
kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia
perasaanku disamping seorang emban yang telah aku suap untuk
memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala-
galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan
hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda.”
Kini tubuh Karebet benar-benar menggigil. Sedang
Tumenggung Prabasemi masih berkata, “Selama kau masih hidup
Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk
kembali ke istana, dan memungkinkan kau bercerita tentang aku.
Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan
mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu,
namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga
kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi
dengan demikian Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat
kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan apa-apa lagi.
Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala, maka
Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?”
Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun
terdengar suaranya gemetar. “Tetapi apakah dengan demikian Ki
Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 98
“Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan
mengetahuinya.”
“Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian?
Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari hukuman
mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan
berbuat melampaui putusan Baginda?”
Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian
senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya, “Karena
itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung
Prabasemi. Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh
Baginda. Aku akan berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda
tidak akan mengetahui, apa yang telah aku lakukan.”
“Tetapi lambat laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam
ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau kemudian aku mati,
maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”
“Tak seorang pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok
sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan serigala. Dan
kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya
menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman
itu.”
Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya
benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang
terdengar giginya gemeretak. Sedangkan Tumenggung Prabasemi
masih juga tertawa dan berkata, “Jangan menyesal saat ini.
Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu
keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang
mengubah rencanaku itu. Meskipun demikian aku bukan seorang
yang kejam. Karena itu aku beri kesempatan kau memilih cara
yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu. Ketahuilah
Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada
tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang
katakanlah, manakah yang harus aku pukul supaya kau....”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 98
“Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak
lantang.
Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya
terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh Karebet yang
gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka. Karebet
samasekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu
gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat
darahnya. Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru
mulutnya jadi terbungkam.
Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi,
“Karebet, apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani
membentak aku? Jangan berbuat sesuatu yang akan
mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang ada
beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang
dapat aku lakukan.”
Dada Karebet seakan-akan terguncang-guncang mendengar
kata-kata Tumenggung Prabasemi itu. Hampir-hampir saja ia tidak
dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba menjalarlah
suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba ia menyadari
kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya
sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu,
tiba-tiba ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang
mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi antara dirinya
dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara
Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang
membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu
menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini
seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain-
main. Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh.
Betapa Tumenggung Prabasemi terkejut melihat Karebet itu
tersenyum, sehingga dengan serta merta ia berteriak, “Setan. Kau
sangka aku bermain-main?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 98
“Tidak Prabasemi,” jawab Karebet, “Aku tidak menyangka
engkau sedang bermain-main”
“He, apa katamu? Kau hanya njangkar saja menyebut
namaku?”
Karebet itu kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya
benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa tergelak-gelak,
sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian
herannya. “Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?”
katanya di dalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet
meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.
Berkata anak muda itu, “Prabasemi. Aku kini telah menjalani
hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi. Apabila
demikian, apakah hubunganku dengan Prabasemi? Aku
menyebutmu Tumenggung, Kiai Tumenggung, karena aku berada
dibawah pimpinanmu. Tetapi, sekarang aku bukan lagi
orangmumu. Sehingga antara Karebet dan Prabasemi tidak ada
lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau
sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu
tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi.
Prabasemi, kau dengar?”
“Setan,” geram Prabasemi. Kini ia tidak saja lagi dipenuhi
dendam di dalam dadanya, tetapi kemarahannyapun telah
melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata, “He Karebet,
apakah kau sudah benar-benar menjadi gila. Sudah kukatakan
kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk
memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau
menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut
kembali. Sekarang dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat
aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat? jangan melawan,
supaya aku tidak menjadi marah.”
Betapapun juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi
pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara mengerikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 98
karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu
memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu
dipergunakannya sebagai contoh bagi mereka yang memberontak
terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara yang mengerikan.
Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada
sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu.
Prabasemi melihat perubahan di wajah Karebet. Karena itu
timbul kegembiraannya. Katanya, “Aku dapat berbuat lebih
daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba
mengandalkan kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau
bertempur dalam setiap pertempuran. Namun pertempuran-
pertempuran yang pernah kau alami adalah pertempuran-
pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga hati
karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung
Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa
Tumenggung Prabsemi adalah seorang tumenggung yang
ditakuti.”
Namun kembali Prabasemi terkejut. Tiba-tiba Karebet itu
tertawa kembali sambil berkata, “Prabasemi. Jangan membual.
Kau memang sedang memilih cara kematian yang sebaik-baiknya.
Sedang yang paling baik bagiku adalah bukan mati. Tetapi, aku
lebih senang hidup mengembara dan berburu binatang. Apakah
kau ingin ikut aku? Nanti kau akan aku perkenalkan dengan
sahabat-sahabatku. Kau pernah mengenal nama Mahesa Jenar?”
“Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi yang kembali
kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram, “Kau
benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu
sebelum ajalmu tiba.”
“Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya,
ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 98
“Gila!” teriak Prabasemi. Matanya benar-benar telah
menyalakan hatinya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Mampus kau anak
gila.”
Prabasemi itu menconcat dengan garangnya menyerang
Karebet langsung mengarah kedadanya. Prabasemi benar-benar
ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya.
Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah
dilakukannya itu.
Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya.
Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya
dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata, “Kiai
Tumenggung, bukankah Kiai Tumenggung pernah memberi aku
nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama seharusnya pantang
menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus.
Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Dan
bukankah kini aku sedang memenuhi nasehat Kiai Tumenggung itu
untuk melawan Prabasemi.”
“Tutup mulutmu,” teriak Prabasemi, “Atau aku harus
menyobeknya.”
“Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau
kau ingin.”
“Anak Setan,” geram Prabasemi. Sedang kemudian serangan
yang keduapun telah melucur dengan cepatnya. Sebuah
tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun
sekali ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-
sifatnya yang aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga
betapapun ia terkejut mengalami serangan yang sedemikian
cepatnya, namun sempat juga ia berkata, “Prabasemi, kita
bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku
mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan
kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua
kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 98
mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi
bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku.
Dan ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi isterimu dan kau
diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama menerima
hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut
Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.”
“Tutup mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan
suaranya bergemna bersahut-sahutan di dalam rimba itu.
Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan
kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar-
benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelakserangannya sampai
dua kali tanpa tersentuh samasekali. Karena itu kemarahan
Tumenggung semakin menyala-nyala seakan membakar dadanya.
Dengan gigi gemeretak, sekali lagi dikerahkannya tenaganya
untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya, seperti
burung Rajawali yang menyambar mangsanya.
Karebet mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar
berbahaya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat
tertawa-tawa lagi. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada
perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya
yang mampu bergerak sedemikian cepatnya. Namun Karebet itu
pun mampu mengimbanginya. Sambaran-sambaran burung
Rajawali dapat dielakkannya, dan bahkan kini serangan-
serangannya pun datang pula seperti badai diudara yang dengan
dahsyatnya melanda burung rajawali yang merasa dirinya raja dari
seluruh langit itu.
Demikianlah pertempuran itu menjadi sangat serunya. Masing-
masing adalah prajurit Wira Tamtama yang pantang surut. Masing-
masing memiliki bekal yang cukup dahsyat. Karena itu daerah
sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran. Daun-daun
bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran ditanah.
Ranting ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak
patah berserakan. Tanah di sekitar mereka seakan-akan telah
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

More Related Content

What's hot

14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi MintardjaSariyanti Palembang
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardjaSariyanti Palembang
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooSariyanti Palembang
 

What's hot (20)

14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
 
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
 

Recently uploaded

IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...Neta
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTNeta
 
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfachsofyan1
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikssuser328cb5
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungnicksbag
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99
 
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D
 
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................teeka180806
 
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88
 

Recently uploaded (11)

IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
 
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdfPEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
PEDOMAN PENYELENGGARAAN BEASISWA LPPD JATIM - 2024.pdf
 
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari IniSizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
Sizi99 : Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya & Slot Terbaik Hari Ini
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
 
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari IniJasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
Jasatoto99 : Daftar Situs Slot Gacor Maxwin & Situs Slot Terbaru Hari Ini
 
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
 
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
 
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari IniNila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
 

27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 98
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 98 I aka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua kakinya yang merenggang. Meskipun debar di dadanya masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah mulai tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang tajam. Tetapi goncangan-goncangan tubuh Baginda itu, masih belum menyamai goncangan perasaan Baginda. Hampir Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang mengagumkan. Sejak semula Baginda memang telah mengira, bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui blumbang sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda samasekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu yang sedemikian dahsyatnya. Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda. Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut bukan kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan buah- buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata hanya mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah. Bahkan tangannya itu seakan-akan telah membentur selapis dinding baja yang samasekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak. Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun mengerumuni kepalanya. Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali, dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga matanya itu seakan-akan menjadi menyala. M
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 98 Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu benar- benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan. Anak itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan sebagai seorang ayah, Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian, maka baik Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai- nilainya yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya itu dibiarkannya. Seandainya, ya, seandai- nya pada saat itu Baginda menjumpai orang lain, bukan Karebet dan tidak memiliki ilmu sedahsyat Aji Rog-rog Asem serta Lembu Sekilan, serta dari matanya tidak membayang cahaya yang biru kehijauan, maka Baginda pasti sudah akan bersikap lain. Mungkin Baginda akan me- maksa putrinya untuk masuk ke bilik bundanya, dan me- nangkap anak itu sebagai seorang pencuri atau apapun yang masuk ke dalam istana. Dengan demikian, maka orang itu akan dapat dihukum berat. Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda yang jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu.
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 98 Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam mangsanya. Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya serangan yang masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka Baginda segera mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu, melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening, dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya. Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda benar-benar tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda melontar menyusul arah lawannya yang terbang beberapa jengkal di sampingnya, karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak pada tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah Karebet, tanpa menyentuhnya. Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya telah cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet. Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa. “Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya. “Tangannya samasekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 98 Orang itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata, “Bagaimana Aji Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu Sekilan yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu, tetapi agaknya kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu Sekilanmu.” Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram. Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu kepastian, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu Karebet menjadi semakin cemas. Ia samasekali tidak mencemaskan nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun bagaimana kemudian dengan putri itu? Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu, maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata, “Nah, apakah kau masih akan melawan.?” “Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak dihadapanmu,” sahut Karebet. “Hem,” desah orang itu, “Kau memang keras kepala. Meskipun demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu kepadaku.” “Apa?” Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena kemarahannya yang meluap-luap. Sedang Putri Sultan itu menjadi bertambah mengigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya beredar di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang berselubung kain itu? Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu berkata, “Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?” “Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 98 Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, “Mereka akan menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?” Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia mendengar orang itu mengulangi, “Anak muda. Tak ada gunanya kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang samasekali tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan terhadap ilmuku meskipun kau membentengi dirimu dengan Lembu Sekilan?” Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti bukan. Mungkin orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak dijumpai orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan orang ini bukanlah salah seorang dari mereka. Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula, “Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.” Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, “Lampaui dahulu mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.” Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau benar-benar keras kepala.” “Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut Karebet, dan diteruskan, “Apakah kau sangka, sesudah aku, kau akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal oleh Nara Manggala.” “Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu. “Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.” Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 98 bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan. Panji Danapatipun bukan. Siapa? Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu berkata, “Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh Demak mampu mengalahkan aku?” Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu. Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah dikenalnya di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu. Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata, “Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?” “Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi kata-kata itu. “Ya,” sahut orang itu pendek. Tubuh Karebet pun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu- ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya. Bajra Geni adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya, Lebur Seketi,Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada itu. Aji Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan Trenggana. Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan terhenti. Bahkan darahnya pun seakan tidak mengalir lagi. Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian meraih kain yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain itupun telah direnggutkan. Demikianlah orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil. Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya dikaki
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 98 Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun kemudian berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah hampir mencium tanah. “Jangan menangis!” bentak baginda. “Diam atau kututup mulutmu!” Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu seakan- akan malahan meledak-ledak. Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang renggang. Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung pedang. Dan Karebet pun menundukkan wajahnya dalam-dalam. “Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya. “Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai ayahandamu?” sahut baginda. “Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari bibir Puteri yang sedang menangis itu. Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan kemudian ia berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah aku harus melampaui mayatmu?” “Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar, “hamba tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.” “He,” Seru Baginda, “Jadi kalau tidak ada aku kau dapat berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan dengan orang lain, kau mengagung-agungkan kekuatanmu? Lembu Sekilan atau Aji apa lagi yang kau miliki itu?” “Ampun Baginda,” Karebet semakin tertunduk. Kini harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 98 Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, “Karebet itukah tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau seorang anak muda yang memiliki kebanggaan dengan menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang ayah dan seorang raja.” Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya. “Tak ada gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah kepada nasib yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman lain yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati. Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda. “Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku,” pikirnya. Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga baginda pun berkata di dalam hatinya, “Sayang, anak ini memiliki kemungkinan dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih tanding.” Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula. Namun sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai penyakit berat di dalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang seorang lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan menyamai kakak sulung.
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 98 Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu. Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya, “Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan ibunda yang menjemputmu.” Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan menjawab, Baginda membentaknya, “Masuk ke keputren!” Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta airmata berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya. Langsung direbahkannya dirinya dipembaringan menelungkup. Dan kepada pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan nasibnya yang malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi. Diluar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur. Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi. Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya. Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg. Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri di dalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh oleh perasaannya itu. “Karebet,” berkata Baginda kemudian, “ikut aku ke Ksatriaan.” “Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah. Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun perdu dihalaman, supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda itu berkata, “ikuti aku. Jangan ada seorang pun yang melihatmu. Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada penjaga itu.”
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 98 Karebet menyembah sambil menyahut, “Hamba, Baginda.” Maka keduanya pun berjalan mengendap endap menghindari peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorang pun yang mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu samping. “Karebet,” berkata Baginda setelah mereka di dalam bilik ksatrian. “Tinggal di sini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana saja kau bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.” “Hamba tuanku,” jawab Karebet. “Hamba tidak akan berani melanggar perintah Baginda.” Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan baju keprajuritan yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian baginda pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti di pagi hari, jika beberapa orang emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur nanti datang pula kemari? Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak berani beranjak dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya diatas lantai yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam perasaan bercampur baur, Karebet memandang kedinding yang kokoh kuat sekuat baja. “Dengan rog-rog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini,“ terdengar suara di dalam hatinya. “Gila,” jawab suara yang lain Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 98 menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda setelah itu. Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan menanganinya ? Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat, ia bergumam, “Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan, soalku tidak selesai.” Dengan tanpa kesan apapun atas segala macam bencana yang sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu pun kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat kemudian, ia sudah tidur mendekur. Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung kembali ke bilik. Betapa terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan datang kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan menyambut kedatangan baginda dan dengan takjimnya mereka pun segera duduk bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di muka gardu. Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda datang sendiri kepada mereka. Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu berkata, “Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.” “Hamba tuanku,” sahut Nara Manggala yang tertua, “apakah Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?” “Ya,” jawab Baginda, “Bawa dia ke Kasatrian”
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 98 “Hamba Tuanku,” sahut orang tertua itu. Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke Kasatrian, dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan. Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata, “Aku datang sendiri. Aku kembali sendiri.” Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan berbuat demikian. Tetapi tak seorang pun berani bertanya. Dan mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi Baginda lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik. Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik diantaranya. “Aneh,” berkata salah seorang dari mereka, “kenapa baginda memanggil Prabasemi dimalam hari begini?” Yang lain menggeleng, “Memang aneh.” Hanya tiba-tiba saja seseorang berkata, “Tadi aku melihat Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.” “Lalu sekarang Prabasemi dipanggil oleh baginda,” sahut yang lain, “Kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? Bukankah ia prajurit Wira Tamtama?” Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata, “entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.” “Apa?” bertanya yang lain Orang itu menggeleng. Katanya, “Kalau aku mengetahuinya kau pasti mengetahuinya juga.” Mereka itu pun kemudian terdiam. Masing-masing berjalan kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka duduk, seperti orang tersengat lebah, Nara Manggala yang tertua berteriak, “He, bodoh kalian. Kenapa kalian tidak berangkat memanggil Prabasemi?” “Oh,” sahut yang lain, “Hampir aku lupa kepada perintah itu.”
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 98 Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda keprajurutan. Dengan pedang dilambung masing-masing berdua segera pergi menjemput Tumenggung Prabasemi. Meskipun kemudian tak seorang pun yang bercakap-cakap, namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya terjadi? II Dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk kedalam biliknya dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang menunggu. Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar sebuah tarikan napas panjang. “Nah,” berkata Baginda, “bukankah aku masih utuh?” Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya, “Hamba menjadi gelisah.” Baginda kemudian memandangi kedua emban yang duduk bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat kemudian berkatalah baginda “Kembalilah ke bilikmu masing masing emban.” Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka menyembah sambil membungukkan badan mereka, “Hamba Baginda.” “Tetapi, ingat,” berkata baginda pula, “apabila seseorang mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku pancung di alun-alun.” Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi mereka menyembah dengan takjimnya. “Nah tinggalkan bilik ini.”
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 98 Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu. “Alangkah malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri, “Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang bercerita tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi, mengerikan.” Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan di dalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum di dalam hati. Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya. Demikian kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa yang telah terjadi. Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta, pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, samasekali telah mengabaikannya. “Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” bertanya Permaisuri. “Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.” Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya, seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 98 kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tahjaya. Namun orang itu telah lama membuang diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana. “Tetapi orang itu samasekali bukan keluarga istana,” desis Baginda di dalam hatinya. “Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di dalam hati, “Apakah Karebet itu juga keluarga istana?” Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan kadang, bukan sentana. “Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata- kata jauh di dasar hatinya. “Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah Majapahit di dalam tubuhnya?” “Hem.” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah matanya yang basah. “Sudahlah,” hibur Baginda, “Aku akan mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.” “Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 98 “Aku belum tahu,” sahut Baginda, “Tetapi mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan Karebet.” Permaisuri menganggukkan kepalanya. “Besok, Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan yang lebih seksama.” “Aku sependapat,” sahut Baginda, “Dan biarlah anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.” “Akan diapakankah?” “Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.” “Hanya itu?” Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar- benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga. Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya, “hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet. Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?” Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya, “Hukuman itu adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 98 pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri itu juga.” Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya, “Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia melihat anak muda di dalam biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi hatinya.” Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang luas. Maka dengan hati-hati Bgainda berkata, “Tetapi apabila puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing. Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.” “Oh,” sahut permaisuri. “Baginda telah berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan. Mungkin puteri mula-mula samasekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinya. Atau mungkin Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja- manja atau merayu.”
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 98 Sekali lagi Baginda menarik nafas. Sekali lagi dicobanya untuk menjawab, “Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.” “Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri. Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang laki-laki berhati batu. Baginda dapat mengetahui sepenuhnya perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita. Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya, maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga Permaisuri kali ini. Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata, “Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah aku yang dipersalahkan.” Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya. Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil berkata, “Ampun Baginda. Aku ternyata telah berpendapat terlalu jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas bencana yang menimpa puterinya.”
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 98 Baginda mengangguk-anggukan kepalanya pula. Jawabnya, “Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.” Permaisuri itu pun kemudian berdiam diri. Namun di kedua belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami peristiwa yang samasekali tidak didangka-sangkanya. Bencana yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus memandang segala persoalan dari berbagai segi. “Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun diucapkannya. Yang kemudian berkata adalah Baginda, “Marilah, aku antar kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk smeentara.” Permaisuri menyembah, kemudian tanpa berkata sepatah katapun segera mereka meninggalkan bilik Baginda kembali ke bilik Permaisuri sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban tadi duduk bersimpuh menungguinya. “Kau masih di sini?” bertanya Permaisuri. Emban itu menyembah sambil menjawab, “Ampun Gusti.” Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu. Katanya, “Kenapa kau menangis?”
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 98 Emban itu menundukkan wajahnya, “Hamba Takut Gusti.” “Apa yang kau takutkan?” Emban tidak menjawab. Tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk. “Jangan takut,” berkata Permaisyuri, “Kau tidak bersalah dan kau tidak berbuat apa-apa” Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti ganti. Baginda pun kasihan juga melihat emban itu. Tetapi baginda tida berkata apapun. Setelah permaisuri itu masuk kembali ke dalam biliknya, maka segera Baginda meninggalkan bilik itu. Di muka pintu, baginda berkata kepada emban yang masih bersimpuh di situ, “Kawani Gustimu.” “Hamba Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya. Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia terbatuk karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya, “apakah kau masih di muka pintu?” “Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.” “Tidurlah,” berkata Permaisyuri itu, “Aku ingin tinggal seorang diri” Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. Tetapi begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali- kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah melukainya. “Kenapa kau?” tanya seorang temannya Emban itu menggeleng.
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 98 “Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?” “Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak. Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi. Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan. Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya. Dalam pada itu Baginda telah berjalan menunju ke Kasatrian. Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya. Ketika Baginda sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda melihat, betapa Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas lantai. Sekali lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati, “Anak itu memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia menjalani setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan hidupnya terancam?” Baginda menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun demikian Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta merta Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga berderak-derak keras sekali. Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu. Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta merta ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah. “Ampun
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 98 Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba samasekali tidak bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.” Hampir Baginda tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan tajamnya Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat. “Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda. “Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.” “Kenapa kau tidur?” “Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak dapat hamba kuasai lagi.” “Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang paling berat?” “Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman apapun yang akan Baginda jatuhkan.” Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi dan dua orang Nara Manggala. Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka berkatalah Baginda, “Masuklah.” Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka, nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika tiba-tiba dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada Tumenggung Wira Tamtama itu. “Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada datar. Dada Prabasemi pun serasa meledak mendengar suara itu. Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika Karebet memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 98 “Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya. “Apakah Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?” Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet masih saja memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet menundukkan wajahnya. Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang berdentang- dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya. Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di muka pintu, Baginda berkata, “Tinggalkan Tumenggung Prabasemi di sini.” Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian. Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran, kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu maka berkatalah Baginda, “Apakah kau terkejut, Prabasemi? Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?” Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas terdengar, “Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.” “Apa yang tidak kau sangka?” Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja tersenyum. “Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil seseorang di malam hari begini?”
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 98 “Ya, ya, Baginda.” Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya pula, “Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.” “Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin gemetar. “Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.” Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian. Dengan mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah menundukkan wajahnya. “Gila, Setan, Anak itu benar-benar penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa” Maka berkata Baginda seterusnya, “Nah, Prabasemi. Aku ingin mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji, bahwa apabila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.” Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan wajah tunduk ia menyembah sambil berkata, “ampun baginda.” “Dengarlah,” berkata baginda kemudian, “Apakah kau mengenal anak yang duduk di belakang ini?” Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti kedinginan, “Hamba, Tuanku.” “Kau kenal namanya?” “Hamba Baginda.” “Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 98 Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia berusaha menjawab, “Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.” Baginda mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan Karebetpun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat melupakan nasibnya sendiri. “Prabasemi,” berkata Bagind pula, “Dahulu aku menyerahkan anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil darimu.” Prabasemi terkejut mendengar kata-kata Baginda yang tidak disangka-sangka itu. Sehingga karenanya ia bahkan menjadi bingung. Sesaat ia menatap wajah Baginda dan sesaat pula ia memandang wajah karebet. Tumenggung itu baru sadar ketika didengarnya Baginda berkata seterusnya, “Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama lagi.” Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak mampu lagi untuk tersenyum. Kepalanya yang lemah itu terkulai tunduk, sedang nafasnya berangsur-angsur menjadi semakin cepat. Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya, “Kenapa?” Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi menyembah, “Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana perintah Baginda?” Baginda menarik napas kemudian berkata, “Prabasemi, kau adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali dengan kau. Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 98 muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang Patihpun samasekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.” Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu kini telah berkembang kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai keadaan. Apalagi ketika Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku.” Tiba-tiba Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan ketiang gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu. Karena itu maka Prabasemi itu kini sudah tidak tidak menggigil lagi. Meskipun demikian ia masih mengumpat-umpat di dalam hatinya, “Demit itu masih juga sempat menggangu orang pada saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.” katanya dalam hati. Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata- kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh baginda, “Ampun Baginda, Sebenarnyalah demikian, Karebet memang mempunyai tabiat kurang baik. Sehingga, karena itulah ia melakukan perbuatan gila. Dengan berbuat demikian, bukankah ia telah menghinakan tidak saja keluarga Baginda, tetapi justru Adat Demak telah dihinakannya pula. Keberaniannya mencuri hati Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak dapat diampuni.” Karebet itu pun terkejut mendengar kata-kata pemimpinnya itu, sehingga hatinya menjadi semakin berdear-debar. Tetapi, Bagindalah yang lebih-lebih terkejut lagi. Karena itu, sambil mengerutkan keningnya, Baginda bertanya, “Prabasemi darimana kau tahu dengan pasti kesalahan Karebet atas keluargaku?” Kini Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang. Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum diketahuinya. Karena itu, kembali dadanya berdebar-debar. Sekali ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Sekali dipandangnya kaki
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 98 Baginda. Namun akhirnya ia berkata, “Baginda, ampunkan hamba. Sebenarnya Karebet pernah berkata kepada hamba, memuji-muji puteri baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk menemui puteri itu. Namun, ampun baginda, aku sangka Karebet hanya berkelakar dan menghilangkan kejemuannya apabila sedang bertugas dalam gardu penjagaan di luar istana. Karena itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak apa yang telah dilakukannya.” Darah Baginda serasa mendidih mendengar kata-kata Prabasemi itu. Dengan wajah yang merah membara, maka dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak kurang terkejutnya mendengar pengaduan Tumenggung Brabasemi itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan mengatakan apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun kemudian niat itu diurungkannya. Apabila ia tak dapat membuktikannya, maka pa yang dikatakannya itu dianggap tidal lebih dari fitnah belaka. Karena itu, kembali Karebet menundukkan kepalanya. Dicobanya memutar otak mencari jawaban, apabila Baginda bertanya kepadanya tentang kebenaran kata-kata Prabasemi itu. Dan sebenarnyalah Baginda itupun kemudian bertanya, “Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?” “Hamba Baginda,” jawab Karebet sambil menyembah. “Apa katamu tentang itu?” “Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.” Jawaban Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh Tumenggung Prabasemi. Ia mengharap Karebet akan membantahnya dan bercerita tentang bermacam-macam persoalan. Dengan demikian Tumenggung itu akan dapat membuat Baginda semakin marah dengan menuduhkan bahwa
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 98 untuk mengurangi kesalahannya, Karebet telah membuat fitnah. Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya. Baginda itu pun menjadi heran. Kemarahannya yang telah memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu. Meskipun demikian baginda itu membentaknya, “Kenapa kau berbuat demikan Karebet?” “Baginda,” jawab Karebet, “Ampunkan hamba. Sebenar- nya setelah melihat puteri Baginda, hamba menjadi seorang yang tak dapat menilai diri sendiri. Sekali-sekali hamba pernah mempercakap- kannya dengan Kiai Tumeng- gung karena hamba tidak mempunyai orang tua lagi semenjak ibu hamba mening- gal, setelah ayah Kebo Kena- nga meninggal pula. Itulah sebabnya, maka hamba hanya dapat mengadu kepada pimpinan hamba yang hamba anggap ayah bunda hamba. Apalagi, kebiasaan Kiai Tu- menggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran Handayaningrat almarhum. Mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya hamba terlalu percaya kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan dihati hamba tanpa berprasangka.” “Bohong!” tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, disadarinya bahwa di hadapannya Sultan Trenggana sedang duduk mendengarkan kata-kata Karebet itu. Karena itulah, maka dengan gugup Prabasemi menyembah sambil berkata, “Ampun Tuanku.”
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 98 Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. Ya, sebenarnyalah anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak kebanyakan. Ketika Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan Handayaningrat, betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun meskipun demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan batin yang mengagumkan. Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya mengawasi bandar Bergota.” Prabasemi benar-benar terkejut mendengar keputusan itu, seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang. Karebet yang telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba- tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta ia bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan- akan tidak pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan- kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa olehnya, betapa kasih Baginda itu kepadanya. Karena itu, justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari tepi-tepi jalan, bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya, dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang sangat besar bagi adat kehidupan Demak. Berbeda dengan Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda. Ternyata Karebet itu samasekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 98 sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu, maka pada saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet untuk kembali ke Demak masih terbuka. Tetapi kalau anak itu telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan dapat tidur nyenyak. Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya juga untuk berkata, “Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?” Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah pertimbanganmu Prabasemi?” “Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya adalah hukuman mati.” Karebet yang sudah duduk kembali itupun memandang Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan Tumenggung itu. Tetapi Karebet samasekali tidak dapat mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Tumenggung itu. Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata, “Prabasemi. Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang kawula dan seorang raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima. Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap pengkhianat harus dihukum mati. Tetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya sekedar melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan wanita. Tetapi caranyalah yang samasekali tidak wajar. Karena itu maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka pengampunan kali ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya ampun untuk kedua kalinya.” Prabasemi itu mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu sekali lagi diberanikan dirinya berkata, “Baginda. Janganlah menjadi contoh
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 98 yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya, bahwa seorang prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh bagi para prajurit yang lain.” “Peristiwa ini tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang pun mengetahui apa yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.” Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi tak dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada anak muda itu sambil menggeram. “He, Karebet. Terkutuklah kau sampai anak cucumu.” Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu, maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri. Bilik itu kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali lagi harus berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia samasekali tak mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi cemas, jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk melakukannya. Ketika Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula. Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi sedang mencari cara lain yang samasekali tak akan mudah diketahui. Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu, bahwa sebenarnyalah Baginda sangat sayang kepada Karebet. Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu, maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya, “Baginda. Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 98 permohonan yang paling keras untuk menghukum mati Karebet. Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali ke istana. Dengan menempatkan anak itu pada kakang Palindih, maka kesempatan masih terbuka setiap kali baginya untuk mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan, untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat tempat yang selayaknya bagi seorang putri.” Baginda tidak segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi. Baginda melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas perbuatan Karebet itu. Namun Baginda samasekali tidak menyangka bahwa di dalam dada Tumenggung yang garang itu tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula. Baginda samasekali tidak menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud yang tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet. Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu. Setelah Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung Karebet, yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama tidak menghendaki anak itu lagi. Tidak menghendaki Karebet tampak di antara kawula Demak. Namun untuk membunuhnya, Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang masjid, namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 98 dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat. Mudah-mudahan mereka kelak dapat melupakan kesalahan itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan anak itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan. Sebab sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki kelebihan daripada orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata- kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil kebijaksanaan lain apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi seorang putri raja. Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata, “Karebet, apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari pemimpinmu?” Karebet menyembah sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab tak ada bukti apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin menceritakan tentang maksud-maksud Tumenggung yang licik itu. “Nah, Karebet. Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali ini, adalah tanggung jawabku. Ternyata ada beberapa pertimbangan baru tentang dirimu. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan- pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai suatu keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama lagi. Dan kau sejak ini bukan keluarga dalam lingkungan keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan apapun. Kau harus pergi meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi sampai keputusan ini aku cabut.”
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 98 Dada Karebet berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah sakit perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan keprajuritan dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang terlampau berat. Tetapi ketika disadarinya bahwa kesalahannya terlampau berat, maka Karebet pun kemudian mencoba menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman. Dan Karebet pun kemudian menerima setiap keputusan Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu bernafsu untuk menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti membiarkannya untuk pergi ke Bergota. Tetapi segala kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah menjatuhkan keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan yang diucapkan. Mendengar keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan- akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam perasaannya. “Karebet....” kata Baginda kemudian, “Keputusan itu berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.” “Ampun Baginda,” sela Prabasemi, “Keputusan Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat Karebet, harus mengusirnya.”
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 98 Baginda mengerutkan keningnya. “Alangkah dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda. “Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat keras.” Namun Baginda menjawab, “Apakah alasan yang dapat aku berikan untuk perintah itu?” Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya, “Ampun Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya, ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya orang baru itu terbunuh.” “Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar- benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu. Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya, ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang berharga bagi Demak.
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 98 Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda, “Nah, Karebet. Saat ini pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang jauh lebih berat dari hukuman mati.” Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu berkata, “Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.” Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda, “Baik. Aku harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.” Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata, “Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.” Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata, “Ampun Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.” Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jangan seorang pun tahu apa yang telah terjadi.” “Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 98 Baginda tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda. “Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?” “Hamba Baginda,” jawab Prabasemi. “Sebab apabila tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah kawan-kawannya di dalam kota.” Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda, “Terserahlah kepadamu Prabasemi.” Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata, “Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.” “Pergilah,” sahut Baginda. Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata, “Ayolah Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.” III Karebet samasekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 98 kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya. Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya, “Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?” Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat, “Sudah.” “Apakah yang terjadi?” “Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi. Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata, “Kaki Baginda terkilir.” Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata, “Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.” “Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet, “Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.” Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati. Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang banci. Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung itu membentak, “Ikut aku!” Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 98 Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya, “Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?” Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Ki, apakah aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?” Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apa sajakah milikmu itu?” “Pakaian, Ki.” “Itu saja?” “Ya.” “Biarlah aku tukar dengan uang.” “Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.” Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata, “Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.” Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam pondoknya Prabasemi berkata, “Aku ikut. Dan jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.” Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam biliknya. Sebenarnya Karebet samasekali tidak sayang pada beberapa lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat. Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 98 biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar pakaian. “Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian keprajuritan.” “Tidak, Kiai,” jawab Karebet. “Pakaianku aku tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.” Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana. Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata, “Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu aku serahkan semua itu kepada Kiai.” Prabasemi tersenyum. “Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.” Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan. “Aku akan menuju ke arah selatan,” kata Karebet kemudian. “Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa. Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan dengan kepala tunduk. Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya. Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 98 Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat. Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang. “Hem,” desis Prabasemi kemudian, “Hampir fajar.” Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam. “Masih cukup lama,” katanya di dalam hati. Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau kecil. Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet, “Marilah aku antar kau sampai ke hutan itu.” Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kenapa sampai ke hutan itu?” “Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi, “Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.” “Ah,” desah Karebet. “Tak ada binatang buas yang berbahaya di hutan itu.” “Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali,” sahut Prabasemi sambil tertawa.
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 98 Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi itu berjalan di sampingnya. Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu. Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.” Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu mereka masih berjalan terus menyusuri jalan-jalan kecil di antara sawah yang terbentang. Di antara batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang tertiup angin basah dari pegunungan. “Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu, Karebet,” kata Prabasemi. Karebet masih berdiam diri. “Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.” Kini Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam diri. “Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.” “Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah. Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Pahit, memang pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 98 Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di Kaputren.” Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu. Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya, “Aku telah lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang ini.” Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri. Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus. “Dan sekarang kasempatan itu datang juga.” “Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet. “Karebet” berkata Tumenggung itu, “Sejak aku mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.” Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang tersimpan di dalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus “Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu. Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku hampir menjadi gila karenanya.”
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 98 Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi Tumenggung itu hanya berkata, “Sekarang kau harus menerima kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.” Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum- senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi semakin muak kepadanya. Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam hari. Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat beberapa jenis binatang buas.” Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab. “Ya Tumenggung, aku tahu.” “Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya samasekali.” Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu. Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih berbahaya lagi daripada mereka itu.”
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 98 Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus. “Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah, ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan kesempatan itu samasekali. Kau dengar?” Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia samasekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar. Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata, “Karebet, kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia perasaanku disamping seorang emban yang telah aku suap untuk memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala- galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda.” Kini tubuh Karebet benar-benar menggigil. Sedang Tumenggung Prabasemi masih berkata, “Selama kau masih hidup Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk kembali ke istana, dan memungkinkan kau bercerita tentang aku. Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu, namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi dengan demikian Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan apa-apa lagi. Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala, maka Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?” Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun terdengar suaranya gemetar. “Tetapi apakah dengan demikian Ki Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?”
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 98 “Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan mengetahuinya.” “Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian? Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari hukuman mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan berbuat melampaui putusan Baginda?” Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya, “Karena itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung Prabasemi. Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh Baginda. Aku akan berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda tidak akan mengetahui, apa yang telah aku lakukan.” “Tetapi lambat laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau kemudian aku mati, maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.” “Tak seorang pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan serigala. Dan kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman itu.” Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak. Sedangkan Tumenggung Prabasemi masih juga tertawa dan berkata, “Jangan menyesal saat ini. Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang mengubah rencanaku itu. Meskipun demikian aku bukan seorang yang kejam. Karena itu aku beri kesempatan kau memilih cara yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu. Ketahuilah Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang katakanlah, manakah yang harus aku pukul supaya kau....”
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 98 “Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak lantang. Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh Karebet yang gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka. Karebet samasekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat darahnya. Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru mulutnya jadi terbungkam. Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani membentak aku? Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang ada beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang dapat aku lakukan.” Dada Karebet seakan-akan terguncang-guncang mendengar kata-kata Tumenggung Prabasemi itu. Hampir-hampir saja ia tidak dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba ia menyadari kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi antara dirinya dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain- main. Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh. Betapa Tumenggung Prabasemi terkejut melihat Karebet itu tersenyum, sehingga dengan serta merta ia berteriak, “Setan. Kau sangka aku bermain-main?”
  • 49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 98 “Tidak Prabasemi,” jawab Karebet, “Aku tidak menyangka engkau sedang bermain-main” “He, apa katamu? Kau hanya njangkar saja menyebut namaku?” Karebet itu kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa tergelak-gelak, sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian herannya. “Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?” katanya di dalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila. Berkata anak muda itu, “Prabasemi. Aku kini telah menjalani hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi. Apabila demikian, apakah hubunganku dengan Prabasemi? Aku menyebutmu Tumenggung, Kiai Tumenggung, karena aku berada dibawah pimpinanmu. Tetapi, sekarang aku bukan lagi orangmumu. Sehingga antara Karebet dan Prabasemi tidak ada lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi. Prabasemi, kau dengar?” “Setan,” geram Prabasemi. Kini ia tidak saja lagi dipenuhi dendam di dalam dadanya, tetapi kemarahannyapun telah melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata, “He Karebet, apakah kau sudah benar-benar menjadi gila. Sudah kukatakan kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut kembali. Sekarang dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat? jangan melawan, supaya aku tidak menjadi marah.” Betapapun juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara mengerikan
  • 50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 98 karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu dipergunakannya sebagai contoh bagi mereka yang memberontak terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara yang mengerikan. Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu. Prabasemi melihat perubahan di wajah Karebet. Karena itu timbul kegembiraannya. Katanya, “Aku dapat berbuat lebih daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba mengandalkan kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau bertempur dalam setiap pertempuran. Namun pertempuran- pertempuran yang pernah kau alami adalah pertempuran- pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga hati karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa Tumenggung Prabsemi adalah seorang tumenggung yang ditakuti.” Namun kembali Prabasemi terkejut. Tiba-tiba Karebet itu tertawa kembali sambil berkata, “Prabasemi. Jangan membual. Kau memang sedang memilih cara kematian yang sebaik-baiknya. Sedang yang paling baik bagiku adalah bukan mati. Tetapi, aku lebih senang hidup mengembara dan berburu binatang. Apakah kau ingin ikut aku? Nanti kau akan aku perkenalkan dengan sahabat-sahabatku. Kau pernah mengenal nama Mahesa Jenar?” “Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi yang kembali kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah kehilangan kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram, “Kau benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu sebelum ajalmu tiba.” “Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya, ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”
  • 51. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 98 “Gila!” teriak Prabasemi. Matanya benar-benar telah menyalakan hatinya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Mampus kau anak gila.” Prabasemi itu menconcat dengan garangnya menyerang Karebet langsung mengarah kedadanya. Prabasemi benar-benar ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya. Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah dilakukannya itu. Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya. Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata, “Kiai Tumenggung, bukankah Kiai Tumenggung pernah memberi aku nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama seharusnya pantang menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus. Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Dan bukankah kini aku sedang memenuhi nasehat Kiai Tumenggung itu untuk melawan Prabasemi.” “Tutup mulutmu,” teriak Prabasemi, “Atau aku harus menyobeknya.” “Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau kau ingin.” “Anak Setan,” geram Prabasemi. Sedang kemudian serangan yang keduapun telah melucur dengan cepatnya. Sebuah tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun sekali ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat- sifatnya yang aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga betapapun ia terkejut mengalami serangan yang sedemikian cepatnya, namun sempat juga ia berkata, “Prabasemi, kita bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan
  • 52. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 98 mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku. Dan ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi isterimu dan kau diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama menerima hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.” “Tutup mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan suaranya bergemna bersahut-sahutan di dalam rimba itu. Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar- benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelakserangannya sampai dua kali tanpa tersentuh samasekali. Karena itu kemarahan Tumenggung semakin menyala-nyala seakan membakar dadanya. Dengan gigi gemeretak, sekali lagi dikerahkannya tenaganya untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya, seperti burung Rajawali yang menyambar mangsanya. Karebet mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar berbahaya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat tertawa-tawa lagi. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya yang mampu bergerak sedemikian cepatnya. Namun Karebet itu pun mampu mengimbanginya. Sambaran-sambaran burung Rajawali dapat dielakkannya, dan bahkan kini serangan- serangannya pun datang pula seperti badai diudara yang dengan dahsyatnya melanda burung rajawali yang merasa dirinya raja dari seluruh langit itu. Demikianlah pertempuran itu menjadi sangat serunya. Masing- masing adalah prajurit Wira Tamtama yang pantang surut. Masing- masing memiliki bekal yang cukup dahsyat. Karena itu daerah sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran. Daun-daun bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran ditanah. Ranting ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak patah berserakan. Tanah di sekitar mereka seakan-akan telah