SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
Download to read offline
Relief Samkok Museum Benteng Heritage – Tangerang:
Memori dan Pewarisan Nilai
Saiful Bakhri, Ali Akbar
Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
E-mail: saifulbakhri@outlook.com
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang pembagian adegan, identifikasi cerita, dan nilai-nilai yang
diwariskan melalui relief Samkok yang terletak pada keempat sisi inner courtyard Museum
Benteng Heritage. Pembagian adegan dilakukan dengan metode analisis konteks ruang dan
menghasilkan 10 adegan. Dari 10 adegan tersebut, hanya dua yang dapat teridentifikasi dengan
menggunakan novel Samkok. Dua cerita tersebut juga berhasil teridentifikasi karena
keberadaan atribut aksara yang menunjukkan latar kejadian. Nilai-nilai yang terwariskan juga
dapat diketahui setelah cerita teridentifikasi. Nilai tersebut antara lain: Kesetiaan, Bakti
terhadap Saudara, Kejujuran/Keterbukaan, dan Kebajikan.
Kata kunci:
relief Samkok, Museum Benteng Heritage, adegan, identifikasi cerita, nilai.
Samkok Relief in Benteng Heritage Museum – Tangerang:
Memories and Values Inheritance
Abstract
This research discusses the division of a scene, identification of the story, and values that are
inherited through Samkok relief located on the four side of inner courtyard Benteng Heritage
Museum. The division of scenes was done with the spacial context analysis and successfully
divided into 10 scenes. From those 10 scenes, only two that can be identified by using Samkok
novel. Those two stories have also been successfully identified due to the presence of a literacy
attributes that shows the background of the event. Values that are heritable can also be obtained
after identifying the story. Those values are: Loyality, Fraternal Piety, Honesty and Openness,
and Appropriateness.
Keywords:
Samkok Relief, Benteng Heritage Museum, scenes, story identification, memories, values
Pendahuluan
Di antara perumahan toko di Pasar Lama, kini terdapat Museum Benteng Heritage1
,
tepatnya terletak di Jl. Cilame 19-20, kelurahan Sukasari, kecamatan Tangerang, provinsi
Banten. Sebelumnya museum merupakan salah satu dari rumah-rumah toko di daerah tersebut,
namun pada tahun 2009, bangunan ini dibeli oleh Udaya Halim, seorang Tionghoa yang juga
berasal dari daerah Pasar Lama. Selama dua tahun dilakukan restorasi pada bangunan ini,
kemudian Museum Benteng Heritage diresmikan pada tahun 2011. Bangunan tersebut pada
awalnya merupakan dua buah bangunan kembar yang dijadikan satu, lalu dikelola menjadi
museum. Museum Benteng Heritage memiliki berbagai macam koleksi yang umumnya
dimiliki secara pribadi oleh Udaya Halim maupun hibah dari perseorangan. Koleksi tersebut
mewakili berbagai aspek kehidupan Tionghoa peranakan secara ekonomi, sosial maupun
budaya.
Dilihat dari segi arsitektur bangunan ini dibangun sekitar abad 17-18 M. Bangunan ini
memiliki ciri yang khas dari bangunan Tionghoa di Asia Tenggara pada umumnya yaitu
keberadaan courtyard/inner court2
dan elemen struktural yang terbuka yang terkadang disertai
dengan ornamen ragam hias (Khol, 1984: 22, dalam Handinoto 2009: 2). Terdapat ornamen
ragam hias yang terletak pada inner court bangunan Museum Benteng Heritage dan menjadi
koleksi yang diunggulkan dalam museum ini. Ornamen tersebut dikenal dengan Chien Nien
atau porcelain mosaic works (karya porselen mosaik) yang mengelilingi inner court lantai dua
bangunan museum. Chien Nien menurut Lin (2007: 75) adalah gaya mosaik sebuah ornamen
yang terbuat dari mangkuk nasi berwarna yang diproduksi secara spesifik untuk karya ini,
dijepit dan dipotong dengan menggunakan tang menjadi pecahan kecil dan kemudian
direkatkan dengan menggunakan plester membentuk sebuah bas-relief yang menggambarkan
mitologi, simbol, dewa dan suasana surgawi. Dari definisi tersebut Chien Nien dapat
dikategorikan sebagai seni rupa berwujud bas-relief mosaik.
Penelitian mengenai bangunan ini hanya dilakukan sekali oleh Halim (2010) yang
membahas pelestarian dan alih fungsi bangunan ini menjadi museum. Hal ini sangat
disayangkan karena bangunan tersebut merupakan bangunan rumah tinggal bersejarah. Padahal
menurut Xiao Mo (1999: 130), rumah tinggal merupakan bangunan yang paling awal dan
paling fundamental keberadaannya dibandingkan dengan bangunan lain. Rumah tinggal ada
1
http://www.bentengheritage.com/
2
Courtyard atau inner court merupakan ruang terbuka berbentuk persegi yang terdapat pada sebuah kompleks
bangunan atau bagian dalam suatu bangunan Tionghoa. Inner court jarang di temukan di daerah Pecinan yang
ada di Indonesia, jika ada, inner court tersebut hanya berfungsi sebagai tempat masuknya cahaya alami siang
hari atau hanya untuk ventilasi (Handinoto, 2009:3).
untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari manusia. Karakteristik lokal
dan kreativitas manusia dapat tergambarkan melalui bangunan rumah tinggal. Selain itu ia
mengatakan bangunan rumah tinggal etnis Tionghoa umumnya tidak hanya menggambarkan
teknologi suatu bangunan, melainkan juga kombinasi antara keindahan bangunan dan seni
dekorasi yang termanifestasi dalam seni arsitektur (Mo, 1999: 8).
Hasil penjajakan penulis dan informasi yang didapatkan dari Udaya Halim3
, diketahui
bahwa pengambaran Chien Nien tersebut mengacu pada cerita mengenai Tiga Kerajaan atau
Samkok atau Three Kingdoms atau Sanguo(三國)dengan alasan mengenai keberadaan salah
satu figur dalam relief yang menggambarkan tokoh bernama Guan Yu atau Guan Gong (Kwan
Kong)4
. Melalui informasi yang diperoleh dari skripsi Gultom diketahui bahwa tokoh tersebut
telah mengalami pergeseran dari tokoh sejarah menjadi tokoh dewa5
. Guan Yu merupakan
tokoh yang mulai terkenal di kalangan masyarakat Tiongkok sejak penggambaran sifat
pahlawan setia, gagah dan beraninya dalam karya sastra Samkok. Patung Guan Yu dapat
ditemukan dan dipuja di kelenteng-kelenteng yang telah disebutkan sebelumnya, seperti
kelenteng Boen Tek Bio, Thian Hock Keng dan Cheng Hoon Teng. Tokoh Guan Yu yang
tergambarkan di relief Museum Benteng Heritage memiliki keunikan tersendiri karena tokoh
ini menjadi bagian suatu cerita, bukan tokoh yang tergambarkan secara individual seperti yang
umumnya ditemukan di kelenteng.
Figur yang diketahui sebagai Guan Yu pada relief merupakan tokoh yang dikenal dalam
sejarah Tiga Kerajaan di Tiongkok abad 3 M. Tokoh tersebut kemudian dikenal sebagai
pahlawan yang setia, gagah dan berani ketika tergambarkan melalui novel Samkok. Hingga
sekarang tokoh tersebut diketahui dipuja sebagai salah satu dewa di beberapa kelenteng.
Perbedaan ditemukan ketika melihat figur Guan Yu yang tergambarkan menjadi bagian dari
relief Museum Benteng Heritage, namun figur tersebut hanya menjadi salah satu dari berbagai
macam komponen relief yang belum dapat diidentifikasi. Hubungan antar komponen tersebut
tentunya menghasilkan suatu cerita. Relief tersebut dapat dipastikan hanya menggambarkan
3
Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan Udaya Halim pendiri Museum Benteng Heritage dilakukan
penulis pada Kamis, 20 Maret 2014
4
Guan Yu merupakan tokoh yang memiliki kulit wajah yang berwarna merah, hal ini terjadi lantaran ia
merupakan seorang buronan karena telah membunuh pejabat yang lalim. Untuk menghindari kejaran, ia
mencuci wajahnya di sungai, ketika mengangkat wajahnya, ternyata telah berubah menjadi warna merah.
Perubahan warna kulit tersebut membuat Guan Yu tidak dapat dikenali dan berhasil meloloskan diri
(Chamberlain, 1988: 49, dalam Gultom, 1994:17).
5
Pergeseran seseorang menjadi dewa merupakan hal yang umum terjadi di Tiongkok, hal ini karena sifat dan
karakter seseorang tersebut yang melebihi manusia pada umumnya. Alasan pergeseran tokoh Guan Yu dari
tokoh sejarah menjadi dewa dapat diperoleh secara detil dalam Gultom, Mariana Saurmaraya Suryani. (1994).
Pergeseran Status Guan Yu dari Tokoh Sejarah Menjadi Tokoh Dewa. Depok: Skripsi Jurusan Sastra Cina FS-UI.
sebagian kecil dari novel Samkok, hal ini dapat diketahui karena novel tersebut memiliki 120
bab cerita, ribuan tokoh, dan ratusan latar kejadian. Mengingat relief hanya terletak pada empat
sisi inner court, pembuat relief atau pemilik bangunan mula-mula tentu memiliki alasan
tersendiri mengapa bagian tersebut yang digambarkan melalui relief. Dalam hal ini, pembuat
relief atau pemilik bangunan tentu memiliki konsep pengarah yang dianut. Berbagai nilai dapat
tersampaikan melalui relief cerita tersebut, sehingga permasalahan yang dapat diajukan dalam
kajian ini sebagai penelitian pendahuluan yaitu pembagian adegan, identifikasi cerita dan nilai-
nilai yang diwariskan oleh masyarakat Tionghoa masa lalu melalui relief Samkok di Museum
Benteng Heritage.
Tujuan dilakukannya penelitian ini secara teoretis antara lain: 1) untuk mengetahui
pembagian adegan; 2) untuk mengetahui isi cerita dari relief Samkok Museum Benteng
Heritage dan ikonografi dari berbagai komponen relief seperti makhluk hidup, lingkungan alam,
benda budaya maupun hiasan geometris. Selain itu tujuan dari penelitian ini juga, 3) untuk
mengetahui memori atau nilai-nilai apa saja yang ingin disampaikan oleh pembuat atau pemilik
bangunan Museum Benteng Heritage pada masa lalu melalui relief Samkok yang tergambarkan.
Tinjauan Teoretis
Memori manusia rapuh dan terbatas, secara mental kita menyimpan pengalaman kita
sebagai memori. Namun, memori dapat dengan mudah dilupakan. Melalui adanya keterbatasan
tersebut, masyarakat menciptakan berbagai perlengkapan untuk menyimpan memori di luar
tubuhnya. Beberapa diantaranya seperti inskripsi pada tulang, tembikar, atau batu. Di masa
selanjutnya yaitu catatan sejarah, peta, gambar, foto, dan teknologi perekam lainnya hingga
pada masa sekarang kita menggunakan komputer. Setiap perlengkapan tersebut menawarkan
peningkatan kapasitas memori kita, selanjutnya setiap teknologi juga menawarkan cara
penyimpanan yang lebih efisien (Jones, 2007:1).
Pemikiran mengenai external symbolic storage (media penyimpanan eksternal simbolis)
menarik karena terlihat seperti menangkap bagaimana artefak bertindak untuk sebagai bagian
dari memori manusia dan bertindak kembali sebagai subjek manusia. Hal tersebut juga
merupakan landasan yang menunjukkan tindakan artefak sebagai makna eksternal yang
merajut masyarakat bersama-sama (Jones, 2007:6)
Jones (2007:24) mengadopsi konsep objek/karya seni sebagai index kepada agen dari
seniman dan bagaimana agen tersebut berpengaruh. Sebuah karya seni bertindak sebagai index
dari seorang seniman karena memiliki jarak dari pembuatnya secara tempat dan waktu. Jarak
waktu sangat krusial di dalam hal ini. Sebuah karya seni atau bangunan secara fisik mengindeks
peristiwa masa lampau. Mereka tidak dengan mudah mewakili masa lampau secara langsung,
mereka hanya merujuk pada masa lampau. Namun peristiwa masa lampau tersebut dapat
dipanggil melalui proses sensory experiences (pengalaman pengindraan), melalui pernyataan
keberadaan peristiwa tersebut melalui indra (lihat gambar 1). Kunci dalam hal ini adalah fisik
atau ketetapan fisik dari benda budaya, sesuatu yang bertindak sebagai makna keberadaan masa
lampau secara indrawi.
Pada intinya, Jones (2007: 26) mengatakan kita dapat memperlakukan artefak sebagai
index atau pengingat dari masa lalu. Kita seharusnya menganggap memori diproduksi melalui
pertemuan antara manusia dengan dunia materi. Remembrance (pengingatan) adalah suatu
proses yang dibuat dari munculnya pengalaman subjek melalui pertemuan terus menerus dan
dinamis antara subjek dengan dunia materi tempat mereka tinggal.
Blake (1998:68, dalam Jones, 2007:40) mengatakan memori dan tradisi sendiri tidak akan
memelihara identitas objek, melalui praktek rutin yang terjadi terhadap objeklah makna tercipta.
Oleh karena itu hal terbaik yang dapat dipikirkan dari memori adalah ketika memikirkan
kegunaan artefak atau monumen dalam praktek sosial atau budaya, tindakan remembering
(mengingat) dan forgetting (melupakan) dilakukan melalui praktek material, tidak tercetak
pada objek materi itu sendiri. Kita hanya dapat mengerti peranan artefak dalam proses dualisme
mengingat dan melupakan jika kita melandaskan pada prakteknya.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian arkeologi dan menggunakan
kerangka penalaran arkeologis (Dark, 1995), secara ringkas kerangka tersebut terdiri dari tiga
tahapan yaitu: 1) Pengumpulan data; 2) Pengolahan data; 3) Penafsiran data. Alur penelitian
dapat dilihat pada bagan 1.
1. Pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap yaitu studi literatur dan studi lapangan.
Data lapangan yang dikumpulkan dengan cara mendatangi langsung Museum Benteng
Gambar 1. Relasi indrawi antara manusia dengan objek. (Sumber: Jones, 2007:25)
Heritage untuk melakukan survei dan perekaman data. Ketika melakukan penjajakan,
karena bangunan ini sekarang berfungsi sebagai museum, tentunya pengelola telah
memiliki berbagai macam informasi.. Dari informasi tersebut diketahui beberapa
informasi seperti umur bangunan, relief dan salah satu figur dalam relief. Selanjutnya
yang dilakukan pengamatan terhadap relief. Pengumpulan data selanjutnya adalah foto-
foto relief setiap sisi (lihat foto 1-4) dan detailnya. Semua foto relief Museum Benteng
Heritage dalam kajian ini merupakan milik Museum Benteng Heritage.
Sumber tertulis banyak digunakan dalam arkeologi dan memiliki banyak kontribusi
dalam membantu proses interpretasi (Dark, 1995: 55) sehingga dalam hal ini diperlukan
pengumpulan sumber tertulis atau studi pustaka. Hal tersebut dilakukan dengan cara
mengumpulkan literatur terkait dengan objek yang diteliti seperti sejarah, denah serta
riwayat penelitian Museum Benteng Heritage, selain itu dikumpulkan juga data
mengenai letak administratif dan astronomis bangunan. Selanjutnya, dikumpulkan juga
literatur mengenai objek serupa di tempat lain mengingat diperlukannya data tersebut
sebagai data pendukung atau pembanding. Digunakan juga literatur teori memori dalam
Foto 3.3. Ornamen Relief Sisi Utara | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
Foto 3.40. Ornamen Relief Sisi Timur | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
benda budaya untuk mengetahui bagaimana memori pewarisan nilai-nilai melalui relief
tersebut. Sebagai pustaka untuk melakukan identifikasi pada tahap selanjutnya dan utnuk
keperluan penafsiran, dikumpulkan juga berbagai artikel mengenai Samkok, serta karya
sastra Samkok itu sendiri.
2. Pada tahap pengolahan data dilakukan analisis, yaitu analisis khusus dan analisis
kontekstual. Pada tahap analisis khusus dilakukan pengamatan, identifikasi bentuk, dan
pendeskripsian terhadap bentuk, warna dan atribut yang dimiliki setiap komponen relief.
Komponen-komponen tersebut antara lain: 1) gambar makhluk hidup seperti manusia
dan binatang, termasuk juga makhluk mitologi; 2) gambar unsur alam seperti tumbuhan,
gunung dan sungai; 3) gambar benda hasil budaya manusia seperti rumah, alat-alat
perlengkapan dan senjata; 4) hiasan.
Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis konteks ruang untuk keperluan pembagian
adegan dalam relief. Analisis ini dilakukan dengan cara menghubungkan komponen-
komponen kemudian merekam dan mengkategorisasi menurut konteks ruang yang
berdekatan. Setelah gabungan dari komponen-komponen telah terbagi dalam adegan,
Foto 3.83. Ornamen Relief Sisi Selatan | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
Gambar 3.121. Ornamen Relief Sisi Barat | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
selanjutnya dilakukan analisis konteks budaya. Dalam tahapan analisis konteks budaya,
dilakukan identifikasi cerita yang ada pada relief, mengingat karya sastra merupakan
bagian dari budaya. Selain itu karya sastra juga digunakan untuk mengetahui perbedaan
antara relief dengan novel. Karya sastra yang digunakan adalah novel Samkok yang
ditulis oleh Luo Guanzhong dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Moss
Roberts.
3. Pada tahapan penafsiran data, cerita yang telah teridentifikasi kemudian menjadi dasar
untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga dalam sub-bab perumusan masalah ‘Nilai
apa yang ingin diwariskan dari pembuat relief atau pemilik bangunan?’ Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, digunakan berbagai tulisan para ahli mengenai nilai-nilai dalam
novel Samkok. Pada tahapan ini juga digunakan teori memori dalam benda budaya,
karena yang ingin diketahui merupakan memori yang terekam dalam relief, hal ini dapat
diketahui dengan cara memperlakukan relief Samkok sebagai wujud lain dari novel
Samkok. Memori yang tersimpan dalam benda budaya merupakan memori akan hal
positif dan negatif dari masa lalu untuk selanjutnya diolah menjadi pedoman hidup dalam
menjalani hidup keseharian.
Hasil Penelitian
Hasil akhir dalam penelitian ini menunjukkan melalui relief Samkok, seniman pembuat
relief atau pemilik bangunan pada masa lalu, mencoba merekam memori penting mengenai
kesetiaan, bakti terhadap persaudaraan, dan kejujuran serta keterbukaan terhadap kelemahan
diri sendiri untuk menunjukkan kekuatan. Terakhir, adalah kebajikan, sebuah nilai moral yang
•Relief Samkok Museum
Benteng Heritage
•Novel Samkok
•Teori Memori
•Kajian nilai dalam novel
Samkok
Pengumpulan
data
•Analisis Khusus (per-
komponen)
•Analisis Konteks Ruang >
Pembagian Adegan
•Analisis Konteks Budaya >
Identifikasi Cerita
Pengolahan
data • Nilai dalam cerita +
teori Memori dalam
benda budaya =
Nilai dalam relief
Penafsiran
data
Bagan 1. Bagan alur penelitian
sangat mendasar dalam menjalani kehidupan. Hal ini dilakukan dengan cara membuat
ikonografi dari dua bab novel Samkok, yaitu bab 28 dan bab 95.
Keempat nilai tersebut jika dihubungkan dengan lingkungan sekitar dan sejarah tentu
memiliki signifikansi tersendiri. Mengingat pemilik pada masa lalu adalah etnis Tionghoa yang
bermigrasi dan sangat mungkin merupakan bagian dari komunitas Pasar Lama – Tangerang,
yakni pedagang. Nilai-nilai tersebut penting dalam dunia perdagangan dan pemasaran.
Kesetiaan merupakan hal yang penting jika melihat suatu dunia perdagangan yang memiliki
banyak karyawan. bakti terhadap persaudaraan menunjukkan bahwa bagi etnis Tionghoa,
usaha keluarga merupakan hal yang diutamakan, hal ini tentunya didukung juga dengan
kejujuran dan keterbukaan terhadap kelemahan atau kekurangan yang ada. Kebajikan menjadi
nilai utama yang tersirat dari setiap tindakan tersebut.
Pembahasan
Melalui keberadaan Guan Yu dan melihat latar tempat dari adegan sisi utara (kiri), yaitu
bangunan yang memiliki atribut bertuliskan 古城 berbunyi GuCheng (lihat foto 1)
Dapat diketahui, cerita yang ada pada adegan sisi utara kiri adalah terletak pada hal. 94-
96, Bab. 28 “Lord Guan Slays Cai Yang, Dispelling His Brothers’ Doubts; Liege and Liege
Men Unite Again at GuCheng”:
Foto 1. Adegan sisi utara kanan | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
Lord Guan and Zhou Cang proceeded in the direction of Runan. As they neared a city in
the hills, a local resident told them, “This is Gucheng. Some months back a general named
Zhang Fei rode in with a few dozen horsemen, threw out the county officer, and established
himself. He recruited troops, purchased horses, and gathered fodder, and stored grain.
Now he has a few thousand men, and no one dares oppose him in this area.” “This is the
first I’ve heard about my younger brother since the debacle at Xuzhou,” Lord Guan cried
joyfully. “Who would have thought he’d turn up here!” Sun Qian was sent into the ciy to
talk with Zhang Fei and arrange for him to come and receive his two sisters-in-law.
After fleeing Xuzhou, Zhang Fei had lain low in the Mang-Dang Hills for more than a
month. Once, coming into the open in hopes of getting word of Liu Xuande, he had chanced
upon GuCheng and entered the town to borrow grain. The county officer refused him,
however; so Zhang Fei drove him off, took his seal, and occupied the city. Thus things
stood when Sun Qian arrived.
After the formal greeting Sun Qian said to Zhang Fei, “Xuande left Yuan Shao and went
to Runan. Lord Guan is here from the capital with Lady Gan and Lady Mi and requests
that you receive them.” Zhang Fei made no response. Arming himself, he mounted and led
one thousand men out of the north gate. Lord Guan saw his brother approaching and,
excitedly handing his sword to Zhou Cang, raced forward. Moments later he was
confronting Zhang Fei’s steady, menacing gaze and bristling tiger whiskers. Whith a
thundering shout Zhang Fei brandished his spear. Lord Guan, aghast, dodged the taunting
thrusts and cried, “What does this mean, worthy brother? Can you have forgotten our pact
in the peach garden?”
Zhang Fei shouted, “You have the face to onfront me after dishonoring yourself!” “Have
I dishonored myself?” Lord Guan demanded. “You betrayed our elder brother,” Zhang
Fei cried, “by submitting to Cao Cao and accepting rank and title under him. Now it looks
as if you’ve come back to trick me. Let’s settle things here once and for all.” “Can you
actually not know?” Lord Guan continued. “How can I explain myself? You see our two
sisters. Question them yourself, worthy brother.”
Raising their screen, the ladies spoke: “Third Brother, what is the reason for this?”
“Sisters,” Zhang Fei replied, “watch me dispatch a faithless man before I escort you into
the city.” “Second Brother did not know where you were,” Lady Gan pleaded, “so we
lodged temporarily with Cao Cao. Then we learned that eldest brother was in Runan.
Second brother has borne great hardship attempting to bring us to him. Do not misjudge
him!” “Second brother’s soujourn in the capital,” Lady Mi added, “was beyond his
control.” “Be deceived no longer, sisters,” Zhang Fei went on. “A loyal vassal prefers
death to disgrace. What self-respecting man serves two masters?”
“Worthy brother,” Lord Guan pleaded, “you do me wrong.” Sun Qian interjected, “Lord
Guan has been looking for you. That’s why he is here.” “You too speak like a fool,” Zhang
Fei Snapped. “Don’t tell me of his good intentions. He’s here to capture me.” “Wouldn’t
I have needed an army?” Lord Guan asked. “And what is that?” Zhang Fei cried, pointing
at an armed cohort approaching in a haze of dust: Cao Cao’s troops, the windblown
banners proclaimed. “Still trying to keep up the act?” Zhang Fei shouted, moving toward
Lord Guan with his eighteen-span snake-headed spear. “Brother,” Lord Guan protested,
“hold on. Let me kill their leader to show my true feelings.” “If you have ‘true feelings,’”
Zhang Fei said, “get him before the third drum roll.” Lord Guan agreed.
Cai Yang, in the lead, galloped toward Lord Guan. “You killed my nephew Qin Qi,” he
shouted, “yet to escape me here? I have the prime minister’s warrant to take you prisoner.”
Lord Guan did not trouble to respond. He lifted his blade and aimed his blow. Zhang Fei
himself sounded the drum. Before the first roll had ended, Cai Yang’s head was tumbling
on the ground in hthe wake of Lord Guan’s stroke.
Cai Yang’s cohort fled. Lord Guan captured the flag-bearer and demanded an explanation.
“Cai Yang was furious over his nephew’s death,” the soldier said, “and wanted to cross
the river to attack you. The prime minister would not allow it and sent him instead to
Runan to destroy Liu Pi. We ran into you by accident.” Lord Guan had the soldier tell his
story to Zhang Fei, who questioned him carefully concerning Lord Guan’s condust in the
capital. The solder’s answers confirmed Lord Guan’s account, and so Zhang Fei’s faith
in his brother was restored.
Keberadaan Guan Yu dalam adegan di GuCheng memiliki latar belakang yang kaya akan
nilai moral. Peristiwa di GuCheng terjadi karena Zhang Fei mempertanyakan kesetiaan Guan
Yu karena ia telah berbakti kepada Cao Cao, Perdana Menteri yang juga merupakan musuh
dari Liu Bei. Ketika ia berbakti kepada Cao Cao, banyak tindakan, perkataan, maupun
penggalan yang menunjukkan kekayaan moral Guan Yu yang melebihi orang-orang pada
umumnya.
Saat terjadi perpecahan antara Liu Bei dan Cao Cao, Liu Bei mengetahui bahwa Cao Cao
akan datang menyerang ke provinsi Xuzhou, Guan Yu ditugaskan untuk berjaga di Xiapi dan
menjaga kedua istri Liu Bei. Sementara Liu Bei dan Zhang Fei berjaga di Xiaopei. saat
penyerangan Cao Cao terjadi, Liu Bei dan Zhang Fei kalah, hal ini membuat Liu Bei pergi ke
Yuan Shao. Saat Guan Yu diserang oleh Cao Cao di Xiapi, ia terpancing terlalu jauh dari kota
dan terkepung di bukit oleh pasukan Cao Cao. Cao Cao mengirim Zhang Liao untuk membujuk
Guan Yu agar bergabung dengan Cao Cao. Dengan mendengarkan saran Zhang Liao, Guan Yu
memberikan tiga syarat, yang dapat diketahui dari penggalan Hal. 79 Bab. 25:
...“First,” Lord Guan said, “the imperial uncle, Liu Xuande, and I have sworn to uphold
the house of Han. I shall surrender to the Emperor, not to Cao Cao. Second, I request for
my two sisters-in-law the consideration befitting an imperial uncle’s wives. No one,
however high his station, is to approach their gate. And third, the moment we learn of
Imperial Uncle Liu’s whereabouts, no matter how far away he may be, I shall depart
forthwith. Denied any of these conditions, I shall not surrender. Please return to Cao Cao
with my terms.”...
Kejadian inilah yang membuat Guan Yu bergabung dengan Cao Cao untuk sementara
waktu. Ketika Guan Yu bergabung dengan Cao Cao, berbagai tindakan dilakukan oleh Cao
Cao untuk menggodanya dengan tujuan membuat dirinya lupa akan Liu Bei. Namun Guan Yu
tidak pernah tergoda. Hal tersebut dapat diketahui melalui penggalan Hal. 81, Bab. 25:
...The following day Cao Cao began withdrawing the imperial army from the newly
conquered Xiapi for the march back to the capital. Lord Guan prepared for the journey,
provided the carriage guard, and bade his sisters-in-law ascend. En route he rode
alongside in attendance.
They broke their trip at a hostel, where Cao Cao, aiming to disrupt the properties between
lord and liege man, assigned Lord Guan and his sisters-in-law to a single chamber. But
Lord Guan never entered the chamber; he remained at attention outside the door, holding
a candle that burned through the night until dawn. His eyes showed no trace of fatigue.
Cao Cao’s respect for him grew. In the capital Cao Cao provided official quarters for
Lord Guan and Xuande’s wives. Lord Guan had the dwelling divided into two compounds.
At the inner gate he posted ten elderly guards. He occupied the outer compound himself.
Cao Cao conducted Lord Guan into the presence of the Emperor, who conferred on him
the title adjutant general. Lord Guan gave thanks for the sovereign’s grace and returned
to his quarters. The next day Cao Cao held a grand banquet, assembling his entire corps
of advisers and officers and treating Lord Guan as an honored guest. Cao invited him to
take the seat of honor and presented him with brocade silks as well as gold and silver
utensils – all of which Lord Guan gave over to his sisters-in-law for safekeeping. Cao Cao
showed unusual generosity, giving him small banquets every third day, large ones every
fifth. Ten handsome women were given to Lord Guan, but he sent them on to serve his two
sisters-in-law...
Berbagai tanggapan Guan Yu atas pemberian Cao Cao kepadanya menunjukkan bahwa
Guan Yu memiliki keteguhan hati. Berbagai godaan yang diberikan Cao Cao seperti 10
perempuan cantik, harta, dan jabatan tidak mempengaruhinya untuk berada di sisi Cao Cao.
Hal ini terjadi lantaran Guan Yu memegang teguh kesetiaannya – nilai dalam sumpah
persaudaraan – kepada Liu Bei. Namun, semua hal ini tidak diketahui oleh Zhang Fei dan Liu
Bei, kedua saudaranya. Oleh karena itu terdapat keraguan bagi Zhang Fei kepada Guan Yu.
Hal inilah yang diangkat dalam adegan sisi utara kiri.
Cerita dalam adegan sisi utara kiri pada intinya menggambarkan keraguan antara kedua
saudara Liu Bei, yaitu Guan Yu dan Zhang Fei. Mereka, bersama Liu Bei telah bersumpah
untuk saling menjaga. Sehingga pada saat Guan Yu baru saja kembali setelah melayani Cao
Cao, Zhang Fei mencurigainya dan mengira bahwa Guan Yu dikirim oleh Cao Cao untuk
menangkap Zhang Fei. Tindakan Zhang Fei pada saat itu juga tidak salah karena menjunjung
tinggi kesetiaan kepada Liu Bei. Tindakan Guan Yu untuk membuktikan bahwa perkiraan
Zhang Fei salah adalah dengan membunuh Cai Yang.
Dalam masyarakat, Guan Yu dipuja sebagai perwujudan dewa “kesetiaan”, “keadilan”,
“kejujuran”, “kebijaksanaan”, “kebajikan”, dan “keberanian” (Lei, 2014:136). Zhang Fei
dalam budaya populer Tiongkok dikenal sebagai simbol keberanian. Zhang Fei tidak hanya
berani dalam pertempuran, namun juga membela nilai dari sumpah persaudaraan (Yu, 2007:34).
Meskipun demikian, dalam adegan sisi utara kiri, penggambaran adegan yang
menunjukkan bab 28 novel Samkok. Nilai yang paling disorot adalah kesetiaan - zhong dan
kebaktian terhadap orangtua dan saudara – xiao yang saling mendukung. Nilai-nilai tersebut
merupakan bagian dari nilai dasar yang ada pada ajaran Konfusianisme.
Pengikut Konfusianisme menetapkan lima nilai yang dihubungkan dalam relasi antar
manusia: kemanusiaan (humanity), kesopanan (propriety), ritus (rites), kehatihatian (prudence),
dan kesetiaan (loyalty). Konfusius berpendapat hanya melalui xiao – filial piety seseorang dapat
memperoleh “kemanusiaan”. Konfusius dalam The Analects of Confucians menyatakan,
“Selalu perhatikan bakti terhadap orang tua dan saudara untuk menghargai pentingnya relasi
dalam kehidupan” (Tang, 1995:275). Selain itu, Konfusius menyebutkan: “Buatlah pedoman
dasar untuk setia (zhong) dan dapat dipercaya dalam perkataanmu (xin)”. Untuk menjadi setia
dan dapat dipercaya merupakan dua nilai utama dalam Konfusianisme (Yu, 2007:31).
Xiao dan zhong dalam adegan sisi utara kiri tersirat melalui tindakan Zhang Fei dan Guan
Yu yang saling ragu karena mereka berbakti dan tetap setia terhadap saudara tertua mereka,
Liu Bei.
Pada adegan sisi selatan kanan terdapat bangunan yang memiliki atribut bertuliskan 西城
berbunyi XiCheng (lihat gambar 2).
Melalui komponen-komponen yang ada pada adegan sisi selatan kanan – terutama
keberadaan figur yang memainkan kecapi di atas bangunan XiCheng – dapat diketahui adegan
tersebut merupakan penggalan cerita novel Samkok Hal. 385-386, Bab. 95. “Rejecting Advice,
Ma Su Loses Jieting; Strumming His Zither, Kongming Drives Off Sima”6
After making these arrangements, Kongming took five thousand men back to Xicheng to
move grain and provender. Suddenly a dozen mounted couriers arrived and reported:
“Sima Yi is leading a multitude of one hundred and fifty thousand toward Xicheng.” At
this point Kongming had no commanders of importance beside him – only a group of civil
officials – and half the five thousand in his command had been detailed to move food
supplies, leaving a mere twenty-five hundred troops in the town. The officials turned pale
6
Zhuge Liang dalam novel Three Kingdoms: A Historical Novel terjemahan Moss Roberts disebut sebagai
Kongming.
Foto 2. Adegan sisi selatan kanan | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
at the news of Sima Yi’s approach. When Kongming mounted the city wall to observe, he
saw dust clouds in the distance rising skyward as the two northern field armies advanced
for battle.
Kongming ordered all flags and banners put out of sight and instructed the wall sentries
to execute anyone who tried to pass in or out without authority or who raised his voice.
Next, Kongming ordered the town’s four gates opened wide; at each a squad of twenty,
disguised as commoners, swept the roadway. The soldiers had been told to make no
untoward move when the Wei army arrived, as Kongming was following a plan of his own.
After this Kongming put on his crane-feather cloak, wrapped a band round his head, and,
followed by two lads bearing his zither, sat down on the wall. He propped himself against
the railing in front of a turret and began to strum as incense burned.
Meanwhile, Sima Yi’s scouts had reached the wall of Xicheng. Finding the scene as
described, they advanced no further but reported at once to their commander. Sima Yi
laughed and dismissed the report. He then halted his army and rode forward himself to
view the town from a distance. There indeed was Kongming sitting by the turret, smiling
as ever and burning incense as he played. To his left, a lad held a fine sword; to his right,
another held a yak-tail whisk. By the gate two dozen sweepers plied their brooms with
lowered heads, as if no one else were about.
Puzzled, Sima Yi turned his army around and retreated toward the hills to the north. His
second son, Sima Zhao, asked, “What makes you sure Kongming isn’t putting this on
because he has no troops? Why simply retreat, Father?” Sima Yi answered, “Kongming
has always been a man of extreme caution, never one to tempt the fates. He opened the
gates because he had set an ambush. On entering, we would have been trapped. You are
too young to know! Hurry the retreat!” Thus the two Wei armies withdrew.
Selanjutnya dalam novel Samkok juga terdapat penggalan puisi:
A zither three spans long subdued a puissant host
When Liang dismissed his foe at Xicheng town.
A hundred fifty thousand turned themselves around –
And townsmen at the spot still wonder how!
Penggalan puisi tersebut ditujukan untuk memuji strategi Zhuge Liang yang dalam posisi
lemah (hanya memiliki 2500 prajurit) mampu membuat musuh (berjumlah 150.000 prajurit)
mundur. Puisi tersebut juga menunjukkan secara fisik kecapi yang digunakan oleh Zhuge Liang
memiliki panjang tiga span atau setara 68,58 cm.
Adegan pada sisi selatan kanan adalah adegan ketika Zhuge Liang mengaplikasikan
strategi perang “Empty City Scheme”7
. Strategi tersebut merupakan strategi ke 32 dari 36
strategi perang dalam sejarah Tiongkok. Strategi perang ini masuk ke dalam bagian strategi
yang digunakan pada saat darurat atau genting (Gao, 1991; Wee & Lan, 2001).
Zhuge Liang merupakan seorang penasehat militer Liu Bei, ia telah memetakan untuk
membuat kerajaan Shu di barat daya Tiongkok. Pada masa kemudian, Zhuge Liang menjadi
perdana menteri negara Shu. Pada masa ini, ia memimpin lima ekspedisi untuk melawan negara
Wei. Pada salah satu ekspedisi tersebut, tepatnya tahun 228 M, ia menggunakan strategi perang
“Empty City Scheme” untuk mencegah kekalahan yang sangat parah (Gao, 1991: 178-179).
Sima Yi pada saat itu ingin mencegah ekspedisi Zhuge Liang, Sima Yi menyerang Jieting,
kota kecil namun strategis. Ma Su, seorang komandan kerajaan Shu yang ditugaskan untuk
menjaga Jieting membuat kesalahan besar dengan membangun pertahanan di atas bukit. Sima
Yi dengan mudah mengepung pertahanan dan memotong persediaan air. Hal ini membuat
pasukan Ma Su keluar dari pertahanan dan dengan mudah dikalahkan (Gao, 1991: 179). Zhuge
Liang pada saat itu menugasi berbagai pekerjaan kepada komandan-komandan
kepercayaannya. Kemudian ia pergi ke XiCheng bersama 5000 pasukannya untuk
memindahkan makanan. Disaat yang sama, Sima Yi melanjutkan penyerangan ke arah
XiCheng. Tiba-tiba sekelompok pasukan Zhuge Liang melapor mengenai kedatangan Sima Yi,
Zhuge Liang tidak mempunyai komandan yang hebat, karena semua komandan
kepercayaannya telah diberikan tugas untuk pergi ke tempat lain. Kemudian melalui
keputusasaan dia mengaplikasikan strategi perang “Empty City Scheme” dengan
memerintahkan semua gerbang XiCheng dibuka, 20 orang prajurit disetiap gerbang menyamar
menjadi warga lokal yang sedang menyapu, Ia sendiri ditemani oleh dua pengikutnya berada
di atas tembok gerbang utama memainkan kecapi. Ketika itu ia berhasil membuat Sima Yi
tidak melanjutkan penyerangan.
Wee dan Lan (2001:253) mengatakan bahwa tidak ada metode pasti dalam menyebar
pasukan. Terkadang lebih baik untuk memperlihatkan kelemahan untuk membuat musuh
bingung serta membuat mereka tidak menyerang karena takut akan tipu daya. Dalam situasi
ketika terlalu lemah untuk melawan musuh yang sangat kuat, melalui penggunaan strategi ini
dengan benar, hasilnya akan memuaskan.
7
Empty City Scheme merupakan penyebutan yang dilakukan oleh Wee & Lan (2001) untuk strategi ini,
sementara Gao (1991) menyebutnya sebagai Fling open the gates to the empty city.
Pengaplikasian strategi ini hanya digunakan pada saat yang tidak menguntungkan dan
putus asa. Strategi ini menyembunyikan situasi nyata dan membuat penampakan yang
membingungkan musuh. Ketika musuh membutuhkan waktu lama mempertimbangkan situasi,
maka disitulah waktu yang tepat untuk kabur. “Empty City Scheme” hanya dapat digunakan
pada situasi temporer untuk membuat musuh bingung dalam momen yang tidak terlalu panjang.
Selanjutnya strategi ini harus dikombinasikan dengan strategi lainnya agar efektif dan berhasil.
Zhuge Liang pada saat tersebut menggunakan strategi “Empty City Scheme” untuk membuat
musuh bingung sementara, hal ini memberikan Zhuge Liang waktu untuk pergi atau menunggu
bantuan datang. Dengan membuka pintu kota, ia seakan-akan menunjukkan kekuatannya,
ketika Zhuge Liang memainkan kecapi, ia juga sekaligus menggunakan strategi ke 27
“Pretending to be insane but remaining smart” atau “berpura-pura gila namun tetap pintar”
(Wee & Lan, 2001: 254).
Strategi ini merupakan strategi yang sangat beresiko. Pengguna strategi ini harus memiliki
reputasi yang terkenal, membutuhkan kepercayaan diri tinggi dan sangat mengerti dengan jalan
pikiran musuh. Strategi ini hanya membuat musuh bingung sementara dan menunda respon
mereka. Strategi ini tidak dapat bertahan lama.. contohnya, Zhuge Liang merupakan ahli
strategi yang sangat terkenal pada masa tersebut, dan sebagai rival dari negara Wei, Sima Yi
selalu mencurigai strategi-strategi yang dibuat oleh Zhuge Liang. Zhuge Liang jarang
membuat kesalahan, sangat teliti dan detail. Sima Yi tidak pernah dapat membayangkan jika
Zhuge Liang dapat menipunya, selain itu Sima yi juga tidak dapat merasakan ketegangan saat
panik atau stress. Bagaimanapun, strategi ini tidak dapat membingungkan pasukan Sima Yi
dalam waktu lama. Sima Yi kemudian mengetahui tipu daya yang dilakukan oleh Zhuge Liang
(Wee & Lan, 2001: 254).
Gao menyatakan strategi ini menganjurkan bahwa keterbukaan terhadap kelemahan
mungkin dapat dilihat sebagai tanda kepercayaan diri dan kekuatan. Seorang atasan dapat
menghormati ketika seseorang mengakui permasalahan yang ada daripada orang yang ingin
menyembunyikannya. Rekanan juga lebih menghargai ketika seseorang ingin mengakui
permasalahan. Selain itu teman-teman juga akan membantu untuk mengatasinya, mereka akan
lebih percaya bahwa kenyataan tidak seburuk yang dinyatakan (1991: 180).
Xin atau perkataan yang dapat dipercaya dapat disejajarkan dengan kejujuran dan
keterbukaan, nilai inilah yang dapat dipetik dari adegan relief sisi selatan kanan. Keterbukaan
Zhuge Liang atas kelemahannya membuat musuh bingung, sehingga Zhuge Liang tidak
mengalami penyerangan. Selain itu, adegan dari relief sisi selatan kanan merupakan salah satu
dari berbagai usaha Zhuge Liang dalam merestorasi dinasti Han yang telah runtuh. Hal ini
dilakukan karena Zhuge Liang menjunjung tinggi nilai yi – appropriateness atau kebajikan.
Kesimpulan
Bagian relief Samkok pada sebagian sisi utara dan selatan telah teridentifikasi cerita dan
memori yang dimilikinya. Proses identifikasi juga hanya dapat dilakukan terhadap latar yang
memiliki aksara. Hal ini terjadi mengingat novel Samkok merupakan novel yang panjang –
sepanjang 120 bab, memiliki lebih dari 1000 karakter, terjadi pada ratusan latar, dan
kronologinya lebih dari 100 tahun. Maka proses identifikasi melalui karya sastra hanya dapat
dilakukan pada kedua adegan tersebut. Selain itu masih banyak aspek lain yang belum dapat
diidentikasi makna dan nilai-nilai yang diwariskan seperti penggambaran pohon yang berbeda
dari penggambaran tumbuhan lainnya. Selain itu simbol-simbol hiasan kecil yang ada pada
bangunan juga dapat dipastikan memiliki makna tertentu.
Setiap karya seni, baik novel ataupun relief. Memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Karya novel memiliki kelebihan lengkapnya penggambaran sebuah cerita,
namun karya tersebut tidak kaya akan visualisasi. Sementara karya relief memiliki kekayaan
akan visualisasi, berbentuk tiga dimensi, namun terbatasnya media seperti ruang, bahan, dan
seterusnya, membuat karya relief hanya menggambarkan penggalan, simbol, atau ikon
terhadap sebuah cerita. Dalam relief Samkok di Museum Benteng Heritage terdapat hal-hal
yang tidak tergambarkan dalam novel, contohnya tumbuh-tumbuhan atau pepohonan. Selain
itu terdapat juga pengadaptasian kereta kuda ke kereta dorong, hal ini sangat mungkin terjadi
karena pengaruh budaya pembuat relief atau kesengajaan yang dilakukan untuk menunjukkan
figur yang ada di atas kereta tersebut.
Memori dan nilai yang telah diketahui tentu bermanfaat bagi masyarakat Tionghoa di
sekitar Pasar Lama pada masa lalu, bahkan hingga masa kini. Dalam hal ini, penulis setuju
akan kontribusi penelitian arkeologi menurut Akbar (2011:ix) yang menyebutkan bahwa bukan
hanya memberikan pengetahuan dan menyampaikan informasi, tetapi juga mampu menyentuh
hati sanubari.
Saran
Hasil penelitian ini terbuka untuk dikritisi oleh penelitian lainnya. Selain itu, penelitian ini
dapat menjadi dasar bagi penelitian berikutnya. Proses identifikasi cerita relief tidak dapat
banyak dilakukan dengan menggunakan karya sastra mengingat luasnya isi novel. Oleh karena
itu, penulis menyarankan jika ada penelitian berikutnya mengenai identifikasi cerita, sebaiknya
menggunakan alat identifikasi atau analogi dengan karya seni relief lain atau bentuk seni rupa
lain seperti lukisan dan sebagainya.
Nilai-nilai yang diwariskan dan hubungannya dengan lingkungan dan sejarah juga masih
harus diperdalam sehingga hal ini menunjukkan hubungan yang jelas. Kajian tersebut tentunya
dapat memperkaya manfaat ilmu arkeologi bagi masyarakat.
Daftar Referensi
 Akbar, Ali. (2011). Arkeologi: Peran dan Manfaat bagi Kemanusiaan. Jatinangor: Alqaprint Jatinangor.
 Dark, K.R. (1995). Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press
 Gao, Yuan. (1991). Lure the Tiger out of the Mountains: The 36 Stratagems of Ancient China. New York:
Simon & Schuster.
 Gultom, Mariana Saurmaraya Suryani. (1994). Pergeseran Status Guan Yu dari Tokoh Sejarah Menjadi
Tokoh Dewa. Depok: Skripsi Program Studi Sastra Cina, Fakultas Sastra – Universitas Indonesia
 Halim, Udaya Pratiwi Mahardika. (2010) Pelestarian Bangunan Bersejarah Peninggalan Etnis
Tionghoa di Indonesia, Studi Kasus: Gedung Benteng Heritage. Depok: Skripsi Program Studi Arsitektur
Fakultas Tehnik – Universitas Indonesia.
 Handinoto. Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di Indonesia.
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/Intisaripdf.pdf diakses 23 Februari 2015 15:00
 Jones, Andrew. (2007). Memory and Material Culture. New York: Cambridge University Press.
 Lei, Min. (2014). Historical and Cultural Connotation of Chinese and Western National Heroes’
Loyalism: Romance of the Three Kingdoms and Greek Mythology. Cross-Cultural Communication, Vol.
10, No. 2, 134-140.
 Lin, Lee Loh-Lim. (2007). Chinese Decorative Works. dalam Engelhardt, Richard A (Ed.). Asia
Conserved: Lessons Learned from the UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards for Culture Heritage
Conservation (2000-2004) (pp. 75-76). Bangkok: UNESCO Bangkok.
 Mo, Xiao. (1999) Chinese Architecture: Chinese Culture and Art Series. Beijing: Culture and Art
Publishing House.
 Roberts, Moss. (2014). Three Kingdoms: A Historical Novel. California: University of California Press.
 Tang, Zongli. (1995). “Confucianism, Chinese Culture, and Reproductive Behavior”. Population and
Environment, Vol 16, No. 3, hlm 269-284.
 Wee, Chow Hou dan Lan, Luh Luh. (2001) The 36 Strategies of the Chinese: Adapting Ancient Chinese
Wisdom to the Business World. Singapore: Addison Wesley Longman.
 Yu, Jiyuan. (2007). “The Notion of Appropriateness (Yi) in Three Kingdoms”. Besio, Kimberly, dan
Tung, Constantine (ed.) Three Kingdoms and Chinese Culture. (27-40). New York: State University of
New York.

More Related Content

Similar to Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015

Tugu pahlawan
Tugu pahlawanTugu pahlawan
Tugu pahlawanNafiah RR
 
Presentasi seminar acc
Presentasi seminar accPresentasi seminar acc
Presentasi seminar accnanangn007
 
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docxLATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docxDistributorGensetMag
 
Laporan Kunjungan Museum Ronggowarsito
Laporan Kunjungan Museum RonggowarsitoLaporan Kunjungan Museum Ronggowarsito
Laporan Kunjungan Museum RonggowarsitoDiah Dwi Ammarwati
 
Klipping karya tulis jogja jakarta
Klipping karya tulis jogja jakartaKlipping karya tulis jogja jakarta
Klipping karya tulis jogja jakartaKulo Dewean
 
Ruang lingkup ilmu sejarah
Ruang lingkup ilmu sejarahRuang lingkup ilmu sejarah
Ruang lingkup ilmu sejarahLarasafdha
 
Wisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur SoehartoWisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur SoehartoPindai Media
 
Apa yang dimaksud dengan manusia purba
Apa yang dimaksud dengan manusia purbaApa yang dimaksud dengan manusia purba
Apa yang dimaksud dengan manusia purbaAswanu Aswanu
 
PPT Teks Cerita Sejarah.pptx
PPT Teks Cerita Sejarah.pptxPPT Teks Cerita Sejarah.pptx
PPT Teks Cerita Sejarah.pptxSintaChusniyah
 
Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)
Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)
Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)Khansha Hanak
 
Bentuk peninggalan sejarah
Bentuk peninggalan sejarahBentuk peninggalan sejarah
Bentuk peninggalan sejarahevi12005216
 
Contoh Laporan Study Tour I
Contoh Laporan Study Tour IContoh Laporan Study Tour I
Contoh Laporan Study Tour Ilingga prasetyo
 
Proposal ekspedisi
Proposal ekspedisiProposal ekspedisi
Proposal ekspedisi085399490990
 
Prinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarahPrinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarahdidid
 
TUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptx
TUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptxTUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptx
TUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptxGRyan2
 

Similar to Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015 (20)

Makalah sejarah indonesia
Makalah sejarah indonesiaMakalah sejarah indonesia
Makalah sejarah indonesia
 
Makalah sejarah indonesia
Makalah sejarah indonesiaMakalah sejarah indonesia
Makalah sejarah indonesia
 
Modul Seni Rupa
Modul Seni RupaModul Seni Rupa
Modul Seni Rupa
 
Tugu pahlawan
Tugu pahlawanTugu pahlawan
Tugu pahlawan
 
Presentasi seminar acc
Presentasi seminar accPresentasi seminar acc
Presentasi seminar acc
 
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docxLATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
 
Laporan Kunjungan Museum Ronggowarsito
Laporan Kunjungan Museum RonggowarsitoLaporan Kunjungan Museum Ronggowarsito
Laporan Kunjungan Museum Ronggowarsito
 
Klipping karya tulis jogja jakarta
Klipping karya tulis jogja jakartaKlipping karya tulis jogja jakarta
Klipping karya tulis jogja jakarta
 
Ruang lingkup ilmu sejarah
Ruang lingkup ilmu sejarahRuang lingkup ilmu sejarah
Ruang lingkup ilmu sejarah
 
Wisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur SoehartoWisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur Soeharto
 
Sejarah
SejarahSejarah
Sejarah
 
Apa yang dimaksud dengan manusia purba
Apa yang dimaksud dengan manusia purbaApa yang dimaksud dengan manusia purba
Apa yang dimaksud dengan manusia purba
 
TEKS SEJARAH INDO.pptx
TEKS SEJARAH INDO.pptxTEKS SEJARAH INDO.pptx
TEKS SEJARAH INDO.pptx
 
PPT Teks Cerita Sejarah.pptx
PPT Teks Cerita Sejarah.pptxPPT Teks Cerita Sejarah.pptx
PPT Teks Cerita Sejarah.pptx
 
Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)
Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)
Perkembangan Seni rupa di indonesia (Pelajaran seni rupa kelas XII)
 
Bentuk peninggalan sejarah
Bentuk peninggalan sejarahBentuk peninggalan sejarah
Bentuk peninggalan sejarah
 
Contoh Laporan Study Tour I
Contoh Laporan Study Tour IContoh Laporan Study Tour I
Contoh Laporan Study Tour I
 
Proposal ekspedisi
Proposal ekspedisiProposal ekspedisi
Proposal ekspedisi
 
Prinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarahPrinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarah
 
TUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptx
TUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptxTUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptx
TUGAS AKHIR GUSRIANSYAH.pptx
 

Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015

  • 1. Relief Samkok Museum Benteng Heritage – Tangerang: Memori dan Pewarisan Nilai Saiful Bakhri, Ali Akbar Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok E-mail: saifulbakhri@outlook.com Abstrak Penelitian ini membahas tentang pembagian adegan, identifikasi cerita, dan nilai-nilai yang diwariskan melalui relief Samkok yang terletak pada keempat sisi inner courtyard Museum Benteng Heritage. Pembagian adegan dilakukan dengan metode analisis konteks ruang dan menghasilkan 10 adegan. Dari 10 adegan tersebut, hanya dua yang dapat teridentifikasi dengan menggunakan novel Samkok. Dua cerita tersebut juga berhasil teridentifikasi karena keberadaan atribut aksara yang menunjukkan latar kejadian. Nilai-nilai yang terwariskan juga dapat diketahui setelah cerita teridentifikasi. Nilai tersebut antara lain: Kesetiaan, Bakti terhadap Saudara, Kejujuran/Keterbukaan, dan Kebajikan. Kata kunci: relief Samkok, Museum Benteng Heritage, adegan, identifikasi cerita, nilai. Samkok Relief in Benteng Heritage Museum – Tangerang: Memories and Values Inheritance Abstract This research discusses the division of a scene, identification of the story, and values that are inherited through Samkok relief located on the four side of inner courtyard Benteng Heritage Museum. The division of scenes was done with the spacial context analysis and successfully divided into 10 scenes. From those 10 scenes, only two that can be identified by using Samkok novel. Those two stories have also been successfully identified due to the presence of a literacy attributes that shows the background of the event. Values that are heritable can also be obtained after identifying the story. Those values are: Loyality, Fraternal Piety, Honesty and Openness, and Appropriateness. Keywords: Samkok Relief, Benteng Heritage Museum, scenes, story identification, memories, values
  • 2. Pendahuluan Di antara perumahan toko di Pasar Lama, kini terdapat Museum Benteng Heritage1 , tepatnya terletak di Jl. Cilame 19-20, kelurahan Sukasari, kecamatan Tangerang, provinsi Banten. Sebelumnya museum merupakan salah satu dari rumah-rumah toko di daerah tersebut, namun pada tahun 2009, bangunan ini dibeli oleh Udaya Halim, seorang Tionghoa yang juga berasal dari daerah Pasar Lama. Selama dua tahun dilakukan restorasi pada bangunan ini, kemudian Museum Benteng Heritage diresmikan pada tahun 2011. Bangunan tersebut pada awalnya merupakan dua buah bangunan kembar yang dijadikan satu, lalu dikelola menjadi museum. Museum Benteng Heritage memiliki berbagai macam koleksi yang umumnya dimiliki secara pribadi oleh Udaya Halim maupun hibah dari perseorangan. Koleksi tersebut mewakili berbagai aspek kehidupan Tionghoa peranakan secara ekonomi, sosial maupun budaya. Dilihat dari segi arsitektur bangunan ini dibangun sekitar abad 17-18 M. Bangunan ini memiliki ciri yang khas dari bangunan Tionghoa di Asia Tenggara pada umumnya yaitu keberadaan courtyard/inner court2 dan elemen struktural yang terbuka yang terkadang disertai dengan ornamen ragam hias (Khol, 1984: 22, dalam Handinoto 2009: 2). Terdapat ornamen ragam hias yang terletak pada inner court bangunan Museum Benteng Heritage dan menjadi koleksi yang diunggulkan dalam museum ini. Ornamen tersebut dikenal dengan Chien Nien atau porcelain mosaic works (karya porselen mosaik) yang mengelilingi inner court lantai dua bangunan museum. Chien Nien menurut Lin (2007: 75) adalah gaya mosaik sebuah ornamen yang terbuat dari mangkuk nasi berwarna yang diproduksi secara spesifik untuk karya ini, dijepit dan dipotong dengan menggunakan tang menjadi pecahan kecil dan kemudian direkatkan dengan menggunakan plester membentuk sebuah bas-relief yang menggambarkan mitologi, simbol, dewa dan suasana surgawi. Dari definisi tersebut Chien Nien dapat dikategorikan sebagai seni rupa berwujud bas-relief mosaik. Penelitian mengenai bangunan ini hanya dilakukan sekali oleh Halim (2010) yang membahas pelestarian dan alih fungsi bangunan ini menjadi museum. Hal ini sangat disayangkan karena bangunan tersebut merupakan bangunan rumah tinggal bersejarah. Padahal menurut Xiao Mo (1999: 130), rumah tinggal merupakan bangunan yang paling awal dan paling fundamental keberadaannya dibandingkan dengan bangunan lain. Rumah tinggal ada 1 http://www.bentengheritage.com/ 2 Courtyard atau inner court merupakan ruang terbuka berbentuk persegi yang terdapat pada sebuah kompleks bangunan atau bagian dalam suatu bangunan Tionghoa. Inner court jarang di temukan di daerah Pecinan yang ada di Indonesia, jika ada, inner court tersebut hanya berfungsi sebagai tempat masuknya cahaya alami siang hari atau hanya untuk ventilasi (Handinoto, 2009:3).
  • 3. untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari manusia. Karakteristik lokal dan kreativitas manusia dapat tergambarkan melalui bangunan rumah tinggal. Selain itu ia mengatakan bangunan rumah tinggal etnis Tionghoa umumnya tidak hanya menggambarkan teknologi suatu bangunan, melainkan juga kombinasi antara keindahan bangunan dan seni dekorasi yang termanifestasi dalam seni arsitektur (Mo, 1999: 8). Hasil penjajakan penulis dan informasi yang didapatkan dari Udaya Halim3 , diketahui bahwa pengambaran Chien Nien tersebut mengacu pada cerita mengenai Tiga Kerajaan atau Samkok atau Three Kingdoms atau Sanguo(三國)dengan alasan mengenai keberadaan salah satu figur dalam relief yang menggambarkan tokoh bernama Guan Yu atau Guan Gong (Kwan Kong)4 . Melalui informasi yang diperoleh dari skripsi Gultom diketahui bahwa tokoh tersebut telah mengalami pergeseran dari tokoh sejarah menjadi tokoh dewa5 . Guan Yu merupakan tokoh yang mulai terkenal di kalangan masyarakat Tiongkok sejak penggambaran sifat pahlawan setia, gagah dan beraninya dalam karya sastra Samkok. Patung Guan Yu dapat ditemukan dan dipuja di kelenteng-kelenteng yang telah disebutkan sebelumnya, seperti kelenteng Boen Tek Bio, Thian Hock Keng dan Cheng Hoon Teng. Tokoh Guan Yu yang tergambarkan di relief Museum Benteng Heritage memiliki keunikan tersendiri karena tokoh ini menjadi bagian suatu cerita, bukan tokoh yang tergambarkan secara individual seperti yang umumnya ditemukan di kelenteng. Figur yang diketahui sebagai Guan Yu pada relief merupakan tokoh yang dikenal dalam sejarah Tiga Kerajaan di Tiongkok abad 3 M. Tokoh tersebut kemudian dikenal sebagai pahlawan yang setia, gagah dan berani ketika tergambarkan melalui novel Samkok. Hingga sekarang tokoh tersebut diketahui dipuja sebagai salah satu dewa di beberapa kelenteng. Perbedaan ditemukan ketika melihat figur Guan Yu yang tergambarkan menjadi bagian dari relief Museum Benteng Heritage, namun figur tersebut hanya menjadi salah satu dari berbagai macam komponen relief yang belum dapat diidentifikasi. Hubungan antar komponen tersebut tentunya menghasilkan suatu cerita. Relief tersebut dapat dipastikan hanya menggambarkan 3 Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan Udaya Halim pendiri Museum Benteng Heritage dilakukan penulis pada Kamis, 20 Maret 2014 4 Guan Yu merupakan tokoh yang memiliki kulit wajah yang berwarna merah, hal ini terjadi lantaran ia merupakan seorang buronan karena telah membunuh pejabat yang lalim. Untuk menghindari kejaran, ia mencuci wajahnya di sungai, ketika mengangkat wajahnya, ternyata telah berubah menjadi warna merah. Perubahan warna kulit tersebut membuat Guan Yu tidak dapat dikenali dan berhasil meloloskan diri (Chamberlain, 1988: 49, dalam Gultom, 1994:17). 5 Pergeseran seseorang menjadi dewa merupakan hal yang umum terjadi di Tiongkok, hal ini karena sifat dan karakter seseorang tersebut yang melebihi manusia pada umumnya. Alasan pergeseran tokoh Guan Yu dari tokoh sejarah menjadi dewa dapat diperoleh secara detil dalam Gultom, Mariana Saurmaraya Suryani. (1994). Pergeseran Status Guan Yu dari Tokoh Sejarah Menjadi Tokoh Dewa. Depok: Skripsi Jurusan Sastra Cina FS-UI.
  • 4. sebagian kecil dari novel Samkok, hal ini dapat diketahui karena novel tersebut memiliki 120 bab cerita, ribuan tokoh, dan ratusan latar kejadian. Mengingat relief hanya terletak pada empat sisi inner court, pembuat relief atau pemilik bangunan mula-mula tentu memiliki alasan tersendiri mengapa bagian tersebut yang digambarkan melalui relief. Dalam hal ini, pembuat relief atau pemilik bangunan tentu memiliki konsep pengarah yang dianut. Berbagai nilai dapat tersampaikan melalui relief cerita tersebut, sehingga permasalahan yang dapat diajukan dalam kajian ini sebagai penelitian pendahuluan yaitu pembagian adegan, identifikasi cerita dan nilai- nilai yang diwariskan oleh masyarakat Tionghoa masa lalu melalui relief Samkok di Museum Benteng Heritage. Tujuan dilakukannya penelitian ini secara teoretis antara lain: 1) untuk mengetahui pembagian adegan; 2) untuk mengetahui isi cerita dari relief Samkok Museum Benteng Heritage dan ikonografi dari berbagai komponen relief seperti makhluk hidup, lingkungan alam, benda budaya maupun hiasan geometris. Selain itu tujuan dari penelitian ini juga, 3) untuk mengetahui memori atau nilai-nilai apa saja yang ingin disampaikan oleh pembuat atau pemilik bangunan Museum Benteng Heritage pada masa lalu melalui relief Samkok yang tergambarkan. Tinjauan Teoretis Memori manusia rapuh dan terbatas, secara mental kita menyimpan pengalaman kita sebagai memori. Namun, memori dapat dengan mudah dilupakan. Melalui adanya keterbatasan tersebut, masyarakat menciptakan berbagai perlengkapan untuk menyimpan memori di luar tubuhnya. Beberapa diantaranya seperti inskripsi pada tulang, tembikar, atau batu. Di masa selanjutnya yaitu catatan sejarah, peta, gambar, foto, dan teknologi perekam lainnya hingga pada masa sekarang kita menggunakan komputer. Setiap perlengkapan tersebut menawarkan peningkatan kapasitas memori kita, selanjutnya setiap teknologi juga menawarkan cara penyimpanan yang lebih efisien (Jones, 2007:1). Pemikiran mengenai external symbolic storage (media penyimpanan eksternal simbolis) menarik karena terlihat seperti menangkap bagaimana artefak bertindak untuk sebagai bagian dari memori manusia dan bertindak kembali sebagai subjek manusia. Hal tersebut juga merupakan landasan yang menunjukkan tindakan artefak sebagai makna eksternal yang merajut masyarakat bersama-sama (Jones, 2007:6) Jones (2007:24) mengadopsi konsep objek/karya seni sebagai index kepada agen dari seniman dan bagaimana agen tersebut berpengaruh. Sebuah karya seni bertindak sebagai index dari seorang seniman karena memiliki jarak dari pembuatnya secara tempat dan waktu. Jarak waktu sangat krusial di dalam hal ini. Sebuah karya seni atau bangunan secara fisik mengindeks
  • 5. peristiwa masa lampau. Mereka tidak dengan mudah mewakili masa lampau secara langsung, mereka hanya merujuk pada masa lampau. Namun peristiwa masa lampau tersebut dapat dipanggil melalui proses sensory experiences (pengalaman pengindraan), melalui pernyataan keberadaan peristiwa tersebut melalui indra (lihat gambar 1). Kunci dalam hal ini adalah fisik atau ketetapan fisik dari benda budaya, sesuatu yang bertindak sebagai makna keberadaan masa lampau secara indrawi. Pada intinya, Jones (2007: 26) mengatakan kita dapat memperlakukan artefak sebagai index atau pengingat dari masa lalu. Kita seharusnya menganggap memori diproduksi melalui pertemuan antara manusia dengan dunia materi. Remembrance (pengingatan) adalah suatu proses yang dibuat dari munculnya pengalaman subjek melalui pertemuan terus menerus dan dinamis antara subjek dengan dunia materi tempat mereka tinggal. Blake (1998:68, dalam Jones, 2007:40) mengatakan memori dan tradisi sendiri tidak akan memelihara identitas objek, melalui praktek rutin yang terjadi terhadap objeklah makna tercipta. Oleh karena itu hal terbaik yang dapat dipikirkan dari memori adalah ketika memikirkan kegunaan artefak atau monumen dalam praktek sosial atau budaya, tindakan remembering (mengingat) dan forgetting (melupakan) dilakukan melalui praktek material, tidak tercetak pada objek materi itu sendiri. Kita hanya dapat mengerti peranan artefak dalam proses dualisme mengingat dan melupakan jika kita melandaskan pada prakteknya. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian arkeologi dan menggunakan kerangka penalaran arkeologis (Dark, 1995), secara ringkas kerangka tersebut terdiri dari tiga tahapan yaitu: 1) Pengumpulan data; 2) Pengolahan data; 3) Penafsiran data. Alur penelitian dapat dilihat pada bagan 1. 1. Pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap yaitu studi literatur dan studi lapangan. Data lapangan yang dikumpulkan dengan cara mendatangi langsung Museum Benteng Gambar 1. Relasi indrawi antara manusia dengan objek. (Sumber: Jones, 2007:25)
  • 6. Heritage untuk melakukan survei dan perekaman data. Ketika melakukan penjajakan, karena bangunan ini sekarang berfungsi sebagai museum, tentunya pengelola telah memiliki berbagai macam informasi.. Dari informasi tersebut diketahui beberapa informasi seperti umur bangunan, relief dan salah satu figur dalam relief. Selanjutnya yang dilakukan pengamatan terhadap relief. Pengumpulan data selanjutnya adalah foto- foto relief setiap sisi (lihat foto 1-4) dan detailnya. Semua foto relief Museum Benteng Heritage dalam kajian ini merupakan milik Museum Benteng Heritage. Sumber tertulis banyak digunakan dalam arkeologi dan memiliki banyak kontribusi dalam membantu proses interpretasi (Dark, 1995: 55) sehingga dalam hal ini diperlukan pengumpulan sumber tertulis atau studi pustaka. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur terkait dengan objek yang diteliti seperti sejarah, denah serta riwayat penelitian Museum Benteng Heritage, selain itu dikumpulkan juga data mengenai letak administratif dan astronomis bangunan. Selanjutnya, dikumpulkan juga literatur mengenai objek serupa di tempat lain mengingat diperlukannya data tersebut sebagai data pendukung atau pembanding. Digunakan juga literatur teori memori dalam Foto 3.3. Ornamen Relief Sisi Utara | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali) Foto 3.40. Ornamen Relief Sisi Timur | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
  • 7. benda budaya untuk mengetahui bagaimana memori pewarisan nilai-nilai melalui relief tersebut. Sebagai pustaka untuk melakukan identifikasi pada tahap selanjutnya dan utnuk keperluan penafsiran, dikumpulkan juga berbagai artikel mengenai Samkok, serta karya sastra Samkok itu sendiri. 2. Pada tahap pengolahan data dilakukan analisis, yaitu analisis khusus dan analisis kontekstual. Pada tahap analisis khusus dilakukan pengamatan, identifikasi bentuk, dan pendeskripsian terhadap bentuk, warna dan atribut yang dimiliki setiap komponen relief. Komponen-komponen tersebut antara lain: 1) gambar makhluk hidup seperti manusia dan binatang, termasuk juga makhluk mitologi; 2) gambar unsur alam seperti tumbuhan, gunung dan sungai; 3) gambar benda hasil budaya manusia seperti rumah, alat-alat perlengkapan dan senjata; 4) hiasan. Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis konteks ruang untuk keperluan pembagian adegan dalam relief. Analisis ini dilakukan dengan cara menghubungkan komponen- komponen kemudian merekam dan mengkategorisasi menurut konteks ruang yang berdekatan. Setelah gabungan dari komponen-komponen telah terbagi dalam adegan, Foto 3.83. Ornamen Relief Sisi Selatan | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali) Gambar 3.121. Ornamen Relief Sisi Barat | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
  • 8. selanjutnya dilakukan analisis konteks budaya. Dalam tahapan analisis konteks budaya, dilakukan identifikasi cerita yang ada pada relief, mengingat karya sastra merupakan bagian dari budaya. Selain itu karya sastra juga digunakan untuk mengetahui perbedaan antara relief dengan novel. Karya sastra yang digunakan adalah novel Samkok yang ditulis oleh Luo Guanzhong dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Moss Roberts. 3. Pada tahapan penafsiran data, cerita yang telah teridentifikasi kemudian menjadi dasar untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga dalam sub-bab perumusan masalah ‘Nilai apa yang ingin diwariskan dari pembuat relief atau pemilik bangunan?’ Untuk menjawab pertanyaan tersebut, digunakan berbagai tulisan para ahli mengenai nilai-nilai dalam novel Samkok. Pada tahapan ini juga digunakan teori memori dalam benda budaya, karena yang ingin diketahui merupakan memori yang terekam dalam relief, hal ini dapat diketahui dengan cara memperlakukan relief Samkok sebagai wujud lain dari novel Samkok. Memori yang tersimpan dalam benda budaya merupakan memori akan hal positif dan negatif dari masa lalu untuk selanjutnya diolah menjadi pedoman hidup dalam menjalani hidup keseharian. Hasil Penelitian Hasil akhir dalam penelitian ini menunjukkan melalui relief Samkok, seniman pembuat relief atau pemilik bangunan pada masa lalu, mencoba merekam memori penting mengenai kesetiaan, bakti terhadap persaudaraan, dan kejujuran serta keterbukaan terhadap kelemahan diri sendiri untuk menunjukkan kekuatan. Terakhir, adalah kebajikan, sebuah nilai moral yang •Relief Samkok Museum Benteng Heritage •Novel Samkok •Teori Memori •Kajian nilai dalam novel Samkok Pengumpulan data •Analisis Khusus (per- komponen) •Analisis Konteks Ruang > Pembagian Adegan •Analisis Konteks Budaya > Identifikasi Cerita Pengolahan data • Nilai dalam cerita + teori Memori dalam benda budaya = Nilai dalam relief Penafsiran data Bagan 1. Bagan alur penelitian
  • 9. sangat mendasar dalam menjalani kehidupan. Hal ini dilakukan dengan cara membuat ikonografi dari dua bab novel Samkok, yaitu bab 28 dan bab 95. Keempat nilai tersebut jika dihubungkan dengan lingkungan sekitar dan sejarah tentu memiliki signifikansi tersendiri. Mengingat pemilik pada masa lalu adalah etnis Tionghoa yang bermigrasi dan sangat mungkin merupakan bagian dari komunitas Pasar Lama – Tangerang, yakni pedagang. Nilai-nilai tersebut penting dalam dunia perdagangan dan pemasaran. Kesetiaan merupakan hal yang penting jika melihat suatu dunia perdagangan yang memiliki banyak karyawan. bakti terhadap persaudaraan menunjukkan bahwa bagi etnis Tionghoa, usaha keluarga merupakan hal yang diutamakan, hal ini tentunya didukung juga dengan kejujuran dan keterbukaan terhadap kelemahan atau kekurangan yang ada. Kebajikan menjadi nilai utama yang tersirat dari setiap tindakan tersebut. Pembahasan Melalui keberadaan Guan Yu dan melihat latar tempat dari adegan sisi utara (kiri), yaitu bangunan yang memiliki atribut bertuliskan 古城 berbunyi GuCheng (lihat foto 1) Dapat diketahui, cerita yang ada pada adegan sisi utara kiri adalah terletak pada hal. 94- 96, Bab. 28 “Lord Guan Slays Cai Yang, Dispelling His Brothers’ Doubts; Liege and Liege Men Unite Again at GuCheng”: Foto 1. Adegan sisi utara kanan | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
  • 10. Lord Guan and Zhou Cang proceeded in the direction of Runan. As they neared a city in the hills, a local resident told them, “This is Gucheng. Some months back a general named Zhang Fei rode in with a few dozen horsemen, threw out the county officer, and established himself. He recruited troops, purchased horses, and gathered fodder, and stored grain. Now he has a few thousand men, and no one dares oppose him in this area.” “This is the first I’ve heard about my younger brother since the debacle at Xuzhou,” Lord Guan cried joyfully. “Who would have thought he’d turn up here!” Sun Qian was sent into the ciy to talk with Zhang Fei and arrange for him to come and receive his two sisters-in-law. After fleeing Xuzhou, Zhang Fei had lain low in the Mang-Dang Hills for more than a month. Once, coming into the open in hopes of getting word of Liu Xuande, he had chanced upon GuCheng and entered the town to borrow grain. The county officer refused him, however; so Zhang Fei drove him off, took his seal, and occupied the city. Thus things stood when Sun Qian arrived. After the formal greeting Sun Qian said to Zhang Fei, “Xuande left Yuan Shao and went to Runan. Lord Guan is here from the capital with Lady Gan and Lady Mi and requests that you receive them.” Zhang Fei made no response. Arming himself, he mounted and led one thousand men out of the north gate. Lord Guan saw his brother approaching and, excitedly handing his sword to Zhou Cang, raced forward. Moments later he was confronting Zhang Fei’s steady, menacing gaze and bristling tiger whiskers. Whith a thundering shout Zhang Fei brandished his spear. Lord Guan, aghast, dodged the taunting thrusts and cried, “What does this mean, worthy brother? Can you have forgotten our pact in the peach garden?” Zhang Fei shouted, “You have the face to onfront me after dishonoring yourself!” “Have I dishonored myself?” Lord Guan demanded. “You betrayed our elder brother,” Zhang Fei cried, “by submitting to Cao Cao and accepting rank and title under him. Now it looks as if you’ve come back to trick me. Let’s settle things here once and for all.” “Can you actually not know?” Lord Guan continued. “How can I explain myself? You see our two sisters. Question them yourself, worthy brother.” Raising their screen, the ladies spoke: “Third Brother, what is the reason for this?” “Sisters,” Zhang Fei replied, “watch me dispatch a faithless man before I escort you into the city.” “Second Brother did not know where you were,” Lady Gan pleaded, “so we lodged temporarily with Cao Cao. Then we learned that eldest brother was in Runan. Second brother has borne great hardship attempting to bring us to him. Do not misjudge him!” “Second brother’s soujourn in the capital,” Lady Mi added, “was beyond his
  • 11. control.” “Be deceived no longer, sisters,” Zhang Fei went on. “A loyal vassal prefers death to disgrace. What self-respecting man serves two masters?” “Worthy brother,” Lord Guan pleaded, “you do me wrong.” Sun Qian interjected, “Lord Guan has been looking for you. That’s why he is here.” “You too speak like a fool,” Zhang Fei Snapped. “Don’t tell me of his good intentions. He’s here to capture me.” “Wouldn’t I have needed an army?” Lord Guan asked. “And what is that?” Zhang Fei cried, pointing at an armed cohort approaching in a haze of dust: Cao Cao’s troops, the windblown banners proclaimed. “Still trying to keep up the act?” Zhang Fei shouted, moving toward Lord Guan with his eighteen-span snake-headed spear. “Brother,” Lord Guan protested, “hold on. Let me kill their leader to show my true feelings.” “If you have ‘true feelings,’” Zhang Fei said, “get him before the third drum roll.” Lord Guan agreed. Cai Yang, in the lead, galloped toward Lord Guan. “You killed my nephew Qin Qi,” he shouted, “yet to escape me here? I have the prime minister’s warrant to take you prisoner.” Lord Guan did not trouble to respond. He lifted his blade and aimed his blow. Zhang Fei himself sounded the drum. Before the first roll had ended, Cai Yang’s head was tumbling on the ground in hthe wake of Lord Guan’s stroke. Cai Yang’s cohort fled. Lord Guan captured the flag-bearer and demanded an explanation. “Cai Yang was furious over his nephew’s death,” the soldier said, “and wanted to cross the river to attack you. The prime minister would not allow it and sent him instead to Runan to destroy Liu Pi. We ran into you by accident.” Lord Guan had the soldier tell his story to Zhang Fei, who questioned him carefully concerning Lord Guan’s condust in the capital. The solder’s answers confirmed Lord Guan’s account, and so Zhang Fei’s faith in his brother was restored. Keberadaan Guan Yu dalam adegan di GuCheng memiliki latar belakang yang kaya akan nilai moral. Peristiwa di GuCheng terjadi karena Zhang Fei mempertanyakan kesetiaan Guan Yu karena ia telah berbakti kepada Cao Cao, Perdana Menteri yang juga merupakan musuh dari Liu Bei. Ketika ia berbakti kepada Cao Cao, banyak tindakan, perkataan, maupun penggalan yang menunjukkan kekayaan moral Guan Yu yang melebihi orang-orang pada umumnya. Saat terjadi perpecahan antara Liu Bei dan Cao Cao, Liu Bei mengetahui bahwa Cao Cao akan datang menyerang ke provinsi Xuzhou, Guan Yu ditugaskan untuk berjaga di Xiapi dan menjaga kedua istri Liu Bei. Sementara Liu Bei dan Zhang Fei berjaga di Xiaopei. saat penyerangan Cao Cao terjadi, Liu Bei dan Zhang Fei kalah, hal ini membuat Liu Bei pergi ke
  • 12. Yuan Shao. Saat Guan Yu diserang oleh Cao Cao di Xiapi, ia terpancing terlalu jauh dari kota dan terkepung di bukit oleh pasukan Cao Cao. Cao Cao mengirim Zhang Liao untuk membujuk Guan Yu agar bergabung dengan Cao Cao. Dengan mendengarkan saran Zhang Liao, Guan Yu memberikan tiga syarat, yang dapat diketahui dari penggalan Hal. 79 Bab. 25: ...“First,” Lord Guan said, “the imperial uncle, Liu Xuande, and I have sworn to uphold the house of Han. I shall surrender to the Emperor, not to Cao Cao. Second, I request for my two sisters-in-law the consideration befitting an imperial uncle’s wives. No one, however high his station, is to approach their gate. And third, the moment we learn of Imperial Uncle Liu’s whereabouts, no matter how far away he may be, I shall depart forthwith. Denied any of these conditions, I shall not surrender. Please return to Cao Cao with my terms.”... Kejadian inilah yang membuat Guan Yu bergabung dengan Cao Cao untuk sementara waktu. Ketika Guan Yu bergabung dengan Cao Cao, berbagai tindakan dilakukan oleh Cao Cao untuk menggodanya dengan tujuan membuat dirinya lupa akan Liu Bei. Namun Guan Yu tidak pernah tergoda. Hal tersebut dapat diketahui melalui penggalan Hal. 81, Bab. 25: ...The following day Cao Cao began withdrawing the imperial army from the newly conquered Xiapi for the march back to the capital. Lord Guan prepared for the journey, provided the carriage guard, and bade his sisters-in-law ascend. En route he rode alongside in attendance. They broke their trip at a hostel, where Cao Cao, aiming to disrupt the properties between lord and liege man, assigned Lord Guan and his sisters-in-law to a single chamber. But Lord Guan never entered the chamber; he remained at attention outside the door, holding a candle that burned through the night until dawn. His eyes showed no trace of fatigue. Cao Cao’s respect for him grew. In the capital Cao Cao provided official quarters for Lord Guan and Xuande’s wives. Lord Guan had the dwelling divided into two compounds. At the inner gate he posted ten elderly guards. He occupied the outer compound himself. Cao Cao conducted Lord Guan into the presence of the Emperor, who conferred on him the title adjutant general. Lord Guan gave thanks for the sovereign’s grace and returned to his quarters. The next day Cao Cao held a grand banquet, assembling his entire corps of advisers and officers and treating Lord Guan as an honored guest. Cao invited him to take the seat of honor and presented him with brocade silks as well as gold and silver
  • 13. utensils – all of which Lord Guan gave over to his sisters-in-law for safekeeping. Cao Cao showed unusual generosity, giving him small banquets every third day, large ones every fifth. Ten handsome women were given to Lord Guan, but he sent them on to serve his two sisters-in-law... Berbagai tanggapan Guan Yu atas pemberian Cao Cao kepadanya menunjukkan bahwa Guan Yu memiliki keteguhan hati. Berbagai godaan yang diberikan Cao Cao seperti 10 perempuan cantik, harta, dan jabatan tidak mempengaruhinya untuk berada di sisi Cao Cao. Hal ini terjadi lantaran Guan Yu memegang teguh kesetiaannya – nilai dalam sumpah persaudaraan – kepada Liu Bei. Namun, semua hal ini tidak diketahui oleh Zhang Fei dan Liu Bei, kedua saudaranya. Oleh karena itu terdapat keraguan bagi Zhang Fei kepada Guan Yu. Hal inilah yang diangkat dalam adegan sisi utara kiri. Cerita dalam adegan sisi utara kiri pada intinya menggambarkan keraguan antara kedua saudara Liu Bei, yaitu Guan Yu dan Zhang Fei. Mereka, bersama Liu Bei telah bersumpah untuk saling menjaga. Sehingga pada saat Guan Yu baru saja kembali setelah melayani Cao Cao, Zhang Fei mencurigainya dan mengira bahwa Guan Yu dikirim oleh Cao Cao untuk menangkap Zhang Fei. Tindakan Zhang Fei pada saat itu juga tidak salah karena menjunjung tinggi kesetiaan kepada Liu Bei. Tindakan Guan Yu untuk membuktikan bahwa perkiraan Zhang Fei salah adalah dengan membunuh Cai Yang. Dalam masyarakat, Guan Yu dipuja sebagai perwujudan dewa “kesetiaan”, “keadilan”, “kejujuran”, “kebijaksanaan”, “kebajikan”, dan “keberanian” (Lei, 2014:136). Zhang Fei dalam budaya populer Tiongkok dikenal sebagai simbol keberanian. Zhang Fei tidak hanya berani dalam pertempuran, namun juga membela nilai dari sumpah persaudaraan (Yu, 2007:34). Meskipun demikian, dalam adegan sisi utara kiri, penggambaran adegan yang menunjukkan bab 28 novel Samkok. Nilai yang paling disorot adalah kesetiaan - zhong dan kebaktian terhadap orangtua dan saudara – xiao yang saling mendukung. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari nilai dasar yang ada pada ajaran Konfusianisme. Pengikut Konfusianisme menetapkan lima nilai yang dihubungkan dalam relasi antar manusia: kemanusiaan (humanity), kesopanan (propriety), ritus (rites), kehatihatian (prudence), dan kesetiaan (loyalty). Konfusius berpendapat hanya melalui xiao – filial piety seseorang dapat memperoleh “kemanusiaan”. Konfusius dalam The Analects of Confucians menyatakan, “Selalu perhatikan bakti terhadap orang tua dan saudara untuk menghargai pentingnya relasi dalam kehidupan” (Tang, 1995:275). Selain itu, Konfusius menyebutkan: “Buatlah pedoman dasar untuk setia (zhong) dan dapat dipercaya dalam perkataanmu (xin)”. Untuk menjadi setia dan dapat dipercaya merupakan dua nilai utama dalam Konfusianisme (Yu, 2007:31).
  • 14. Xiao dan zhong dalam adegan sisi utara kiri tersirat melalui tindakan Zhang Fei dan Guan Yu yang saling ragu karena mereka berbakti dan tetap setia terhadap saudara tertua mereka, Liu Bei. Pada adegan sisi selatan kanan terdapat bangunan yang memiliki atribut bertuliskan 西城 berbunyi XiCheng (lihat gambar 2). Melalui komponen-komponen yang ada pada adegan sisi selatan kanan – terutama keberadaan figur yang memainkan kecapi di atas bangunan XiCheng – dapat diketahui adegan tersebut merupakan penggalan cerita novel Samkok Hal. 385-386, Bab. 95. “Rejecting Advice, Ma Su Loses Jieting; Strumming His Zither, Kongming Drives Off Sima”6 After making these arrangements, Kongming took five thousand men back to Xicheng to move grain and provender. Suddenly a dozen mounted couriers arrived and reported: “Sima Yi is leading a multitude of one hundred and fifty thousand toward Xicheng.” At this point Kongming had no commanders of importance beside him – only a group of civil officials – and half the five thousand in his command had been detailed to move food supplies, leaving a mere twenty-five hundred troops in the town. The officials turned pale 6 Zhuge Liang dalam novel Three Kingdoms: A Historical Novel terjemahan Moss Roberts disebut sebagai Kongming. Foto 2. Adegan sisi selatan kanan | Sumber: Museum Benteng Heritage (telah diolah kembali)
  • 15. at the news of Sima Yi’s approach. When Kongming mounted the city wall to observe, he saw dust clouds in the distance rising skyward as the two northern field armies advanced for battle. Kongming ordered all flags and banners put out of sight and instructed the wall sentries to execute anyone who tried to pass in or out without authority or who raised his voice. Next, Kongming ordered the town’s four gates opened wide; at each a squad of twenty, disguised as commoners, swept the roadway. The soldiers had been told to make no untoward move when the Wei army arrived, as Kongming was following a plan of his own. After this Kongming put on his crane-feather cloak, wrapped a band round his head, and, followed by two lads bearing his zither, sat down on the wall. He propped himself against the railing in front of a turret and began to strum as incense burned. Meanwhile, Sima Yi’s scouts had reached the wall of Xicheng. Finding the scene as described, they advanced no further but reported at once to their commander. Sima Yi laughed and dismissed the report. He then halted his army and rode forward himself to view the town from a distance. There indeed was Kongming sitting by the turret, smiling as ever and burning incense as he played. To his left, a lad held a fine sword; to his right, another held a yak-tail whisk. By the gate two dozen sweepers plied their brooms with lowered heads, as if no one else were about. Puzzled, Sima Yi turned his army around and retreated toward the hills to the north. His second son, Sima Zhao, asked, “What makes you sure Kongming isn’t putting this on because he has no troops? Why simply retreat, Father?” Sima Yi answered, “Kongming has always been a man of extreme caution, never one to tempt the fates. He opened the gates because he had set an ambush. On entering, we would have been trapped. You are too young to know! Hurry the retreat!” Thus the two Wei armies withdrew. Selanjutnya dalam novel Samkok juga terdapat penggalan puisi: A zither three spans long subdued a puissant host When Liang dismissed his foe at Xicheng town. A hundred fifty thousand turned themselves around – And townsmen at the spot still wonder how! Penggalan puisi tersebut ditujukan untuk memuji strategi Zhuge Liang yang dalam posisi lemah (hanya memiliki 2500 prajurit) mampu membuat musuh (berjumlah 150.000 prajurit) mundur. Puisi tersebut juga menunjukkan secara fisik kecapi yang digunakan oleh Zhuge Liang memiliki panjang tiga span atau setara 68,58 cm.
  • 16. Adegan pada sisi selatan kanan adalah adegan ketika Zhuge Liang mengaplikasikan strategi perang “Empty City Scheme”7 . Strategi tersebut merupakan strategi ke 32 dari 36 strategi perang dalam sejarah Tiongkok. Strategi perang ini masuk ke dalam bagian strategi yang digunakan pada saat darurat atau genting (Gao, 1991; Wee & Lan, 2001). Zhuge Liang merupakan seorang penasehat militer Liu Bei, ia telah memetakan untuk membuat kerajaan Shu di barat daya Tiongkok. Pada masa kemudian, Zhuge Liang menjadi perdana menteri negara Shu. Pada masa ini, ia memimpin lima ekspedisi untuk melawan negara Wei. Pada salah satu ekspedisi tersebut, tepatnya tahun 228 M, ia menggunakan strategi perang “Empty City Scheme” untuk mencegah kekalahan yang sangat parah (Gao, 1991: 178-179). Sima Yi pada saat itu ingin mencegah ekspedisi Zhuge Liang, Sima Yi menyerang Jieting, kota kecil namun strategis. Ma Su, seorang komandan kerajaan Shu yang ditugaskan untuk menjaga Jieting membuat kesalahan besar dengan membangun pertahanan di atas bukit. Sima Yi dengan mudah mengepung pertahanan dan memotong persediaan air. Hal ini membuat pasukan Ma Su keluar dari pertahanan dan dengan mudah dikalahkan (Gao, 1991: 179). Zhuge Liang pada saat itu menugasi berbagai pekerjaan kepada komandan-komandan kepercayaannya. Kemudian ia pergi ke XiCheng bersama 5000 pasukannya untuk memindahkan makanan. Disaat yang sama, Sima Yi melanjutkan penyerangan ke arah XiCheng. Tiba-tiba sekelompok pasukan Zhuge Liang melapor mengenai kedatangan Sima Yi, Zhuge Liang tidak mempunyai komandan yang hebat, karena semua komandan kepercayaannya telah diberikan tugas untuk pergi ke tempat lain. Kemudian melalui keputusasaan dia mengaplikasikan strategi perang “Empty City Scheme” dengan memerintahkan semua gerbang XiCheng dibuka, 20 orang prajurit disetiap gerbang menyamar menjadi warga lokal yang sedang menyapu, Ia sendiri ditemani oleh dua pengikutnya berada di atas tembok gerbang utama memainkan kecapi. Ketika itu ia berhasil membuat Sima Yi tidak melanjutkan penyerangan. Wee dan Lan (2001:253) mengatakan bahwa tidak ada metode pasti dalam menyebar pasukan. Terkadang lebih baik untuk memperlihatkan kelemahan untuk membuat musuh bingung serta membuat mereka tidak menyerang karena takut akan tipu daya. Dalam situasi ketika terlalu lemah untuk melawan musuh yang sangat kuat, melalui penggunaan strategi ini dengan benar, hasilnya akan memuaskan. 7 Empty City Scheme merupakan penyebutan yang dilakukan oleh Wee & Lan (2001) untuk strategi ini, sementara Gao (1991) menyebutnya sebagai Fling open the gates to the empty city.
  • 17. Pengaplikasian strategi ini hanya digunakan pada saat yang tidak menguntungkan dan putus asa. Strategi ini menyembunyikan situasi nyata dan membuat penampakan yang membingungkan musuh. Ketika musuh membutuhkan waktu lama mempertimbangkan situasi, maka disitulah waktu yang tepat untuk kabur. “Empty City Scheme” hanya dapat digunakan pada situasi temporer untuk membuat musuh bingung dalam momen yang tidak terlalu panjang. Selanjutnya strategi ini harus dikombinasikan dengan strategi lainnya agar efektif dan berhasil. Zhuge Liang pada saat tersebut menggunakan strategi “Empty City Scheme” untuk membuat musuh bingung sementara, hal ini memberikan Zhuge Liang waktu untuk pergi atau menunggu bantuan datang. Dengan membuka pintu kota, ia seakan-akan menunjukkan kekuatannya, ketika Zhuge Liang memainkan kecapi, ia juga sekaligus menggunakan strategi ke 27 “Pretending to be insane but remaining smart” atau “berpura-pura gila namun tetap pintar” (Wee & Lan, 2001: 254). Strategi ini merupakan strategi yang sangat beresiko. Pengguna strategi ini harus memiliki reputasi yang terkenal, membutuhkan kepercayaan diri tinggi dan sangat mengerti dengan jalan pikiran musuh. Strategi ini hanya membuat musuh bingung sementara dan menunda respon mereka. Strategi ini tidak dapat bertahan lama.. contohnya, Zhuge Liang merupakan ahli strategi yang sangat terkenal pada masa tersebut, dan sebagai rival dari negara Wei, Sima Yi selalu mencurigai strategi-strategi yang dibuat oleh Zhuge Liang. Zhuge Liang jarang membuat kesalahan, sangat teliti dan detail. Sima Yi tidak pernah dapat membayangkan jika Zhuge Liang dapat menipunya, selain itu Sima yi juga tidak dapat merasakan ketegangan saat panik atau stress. Bagaimanapun, strategi ini tidak dapat membingungkan pasukan Sima Yi dalam waktu lama. Sima Yi kemudian mengetahui tipu daya yang dilakukan oleh Zhuge Liang (Wee & Lan, 2001: 254). Gao menyatakan strategi ini menganjurkan bahwa keterbukaan terhadap kelemahan mungkin dapat dilihat sebagai tanda kepercayaan diri dan kekuatan. Seorang atasan dapat menghormati ketika seseorang mengakui permasalahan yang ada daripada orang yang ingin menyembunyikannya. Rekanan juga lebih menghargai ketika seseorang ingin mengakui permasalahan. Selain itu teman-teman juga akan membantu untuk mengatasinya, mereka akan lebih percaya bahwa kenyataan tidak seburuk yang dinyatakan (1991: 180). Xin atau perkataan yang dapat dipercaya dapat disejajarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, nilai inilah yang dapat dipetik dari adegan relief sisi selatan kanan. Keterbukaan Zhuge Liang atas kelemahannya membuat musuh bingung, sehingga Zhuge Liang tidak mengalami penyerangan. Selain itu, adegan dari relief sisi selatan kanan merupakan salah satu
  • 18. dari berbagai usaha Zhuge Liang dalam merestorasi dinasti Han yang telah runtuh. Hal ini dilakukan karena Zhuge Liang menjunjung tinggi nilai yi – appropriateness atau kebajikan. Kesimpulan Bagian relief Samkok pada sebagian sisi utara dan selatan telah teridentifikasi cerita dan memori yang dimilikinya. Proses identifikasi juga hanya dapat dilakukan terhadap latar yang memiliki aksara. Hal ini terjadi mengingat novel Samkok merupakan novel yang panjang – sepanjang 120 bab, memiliki lebih dari 1000 karakter, terjadi pada ratusan latar, dan kronologinya lebih dari 100 tahun. Maka proses identifikasi melalui karya sastra hanya dapat dilakukan pada kedua adegan tersebut. Selain itu masih banyak aspek lain yang belum dapat diidentikasi makna dan nilai-nilai yang diwariskan seperti penggambaran pohon yang berbeda dari penggambaran tumbuhan lainnya. Selain itu simbol-simbol hiasan kecil yang ada pada bangunan juga dapat dipastikan memiliki makna tertentu. Setiap karya seni, baik novel ataupun relief. Memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Karya novel memiliki kelebihan lengkapnya penggambaran sebuah cerita, namun karya tersebut tidak kaya akan visualisasi. Sementara karya relief memiliki kekayaan akan visualisasi, berbentuk tiga dimensi, namun terbatasnya media seperti ruang, bahan, dan seterusnya, membuat karya relief hanya menggambarkan penggalan, simbol, atau ikon terhadap sebuah cerita. Dalam relief Samkok di Museum Benteng Heritage terdapat hal-hal yang tidak tergambarkan dalam novel, contohnya tumbuh-tumbuhan atau pepohonan. Selain itu terdapat juga pengadaptasian kereta kuda ke kereta dorong, hal ini sangat mungkin terjadi karena pengaruh budaya pembuat relief atau kesengajaan yang dilakukan untuk menunjukkan figur yang ada di atas kereta tersebut. Memori dan nilai yang telah diketahui tentu bermanfaat bagi masyarakat Tionghoa di sekitar Pasar Lama pada masa lalu, bahkan hingga masa kini. Dalam hal ini, penulis setuju akan kontribusi penelitian arkeologi menurut Akbar (2011:ix) yang menyebutkan bahwa bukan hanya memberikan pengetahuan dan menyampaikan informasi, tetapi juga mampu menyentuh hati sanubari. Saran Hasil penelitian ini terbuka untuk dikritisi oleh penelitian lainnya. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian berikutnya. Proses identifikasi cerita relief tidak dapat banyak dilakukan dengan menggunakan karya sastra mengingat luasnya isi novel. Oleh karena itu, penulis menyarankan jika ada penelitian berikutnya mengenai identifikasi cerita, sebaiknya
  • 19. menggunakan alat identifikasi atau analogi dengan karya seni relief lain atau bentuk seni rupa lain seperti lukisan dan sebagainya. Nilai-nilai yang diwariskan dan hubungannya dengan lingkungan dan sejarah juga masih harus diperdalam sehingga hal ini menunjukkan hubungan yang jelas. Kajian tersebut tentunya dapat memperkaya manfaat ilmu arkeologi bagi masyarakat. Daftar Referensi  Akbar, Ali. (2011). Arkeologi: Peran dan Manfaat bagi Kemanusiaan. Jatinangor: Alqaprint Jatinangor.  Dark, K.R. (1995). Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press  Gao, Yuan. (1991). Lure the Tiger out of the Mountains: The 36 Stratagems of Ancient China. New York: Simon & Schuster.  Gultom, Mariana Saurmaraya Suryani. (1994). Pergeseran Status Guan Yu dari Tokoh Sejarah Menjadi Tokoh Dewa. Depok: Skripsi Program Studi Sastra Cina, Fakultas Sastra – Universitas Indonesia  Halim, Udaya Pratiwi Mahardika. (2010) Pelestarian Bangunan Bersejarah Peninggalan Etnis Tionghoa di Indonesia, Studi Kasus: Gedung Benteng Heritage. Depok: Skripsi Program Studi Arsitektur Fakultas Tehnik – Universitas Indonesia.  Handinoto. Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di Indonesia. http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/Intisaripdf.pdf diakses 23 Februari 2015 15:00  Jones, Andrew. (2007). Memory and Material Culture. New York: Cambridge University Press.  Lei, Min. (2014). Historical and Cultural Connotation of Chinese and Western National Heroes’ Loyalism: Romance of the Three Kingdoms and Greek Mythology. Cross-Cultural Communication, Vol. 10, No. 2, 134-140.  Lin, Lee Loh-Lim. (2007). Chinese Decorative Works. dalam Engelhardt, Richard A (Ed.). Asia Conserved: Lessons Learned from the UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards for Culture Heritage Conservation (2000-2004) (pp. 75-76). Bangkok: UNESCO Bangkok.  Mo, Xiao. (1999) Chinese Architecture: Chinese Culture and Art Series. Beijing: Culture and Art Publishing House.  Roberts, Moss. (2014). Three Kingdoms: A Historical Novel. California: University of California Press.  Tang, Zongli. (1995). “Confucianism, Chinese Culture, and Reproductive Behavior”. Population and Environment, Vol 16, No. 3, hlm 269-284.  Wee, Chow Hou dan Lan, Luh Luh. (2001) The 36 Strategies of the Chinese: Adapting Ancient Chinese Wisdom to the Business World. Singapore: Addison Wesley Longman.  Yu, Jiyuan. (2007). “The Notion of Appropriateness (Yi) in Three Kingdoms”. Besio, Kimberly, dan Tung, Constantine (ed.) Three Kingdoms and Chinese Culture. (27-40). New York: State University of New York.