1. Luka di Hari Itu
Hari jumat sekitar pukul tujuh di akhir september merupakan hari yang dirasa berat
oleh ibu Sri (nama samaran). Ibu yang mempunyai ketiga orang anak dan berstatus single
parent tersebut menemui masa kelamnya pada hari itu. Pasalnya, saat ia berjalan di jl. Haji
kasim, kedua orang yang tak dikenal mengenakan baju hitam dan buff berwarna coklat
sambil mengendarai motor menjambret tas beliau. Sontak ibu tersebut terkejut bukan main,
uang yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli keperluan anaknya lenyap dalam
sekejap. Di dalam dompet itu terdapat pula ponsel yang digunakannya untuk keperluan
komunikasi, ia terkujur lemas.
Saat kejadian tersebut si ibu hanya bisa berteriak minta tolong, mengharapkan ada
seseorang yang dapat mengejar si pelaku kejahatan yang telah membuat ia kehilangan raut
wajah senang. Namun apa daya, penjambret yang menggunakan sepeda motor dapat
mengelabuhi warga yang sedang beraktivitas di pagi hari. Si ibu menangis dihadapan banyak
warga yang berempati kepadanya. Seorang tukang cendol keliling meratapi beliau, ia
berusaha membangun kembali semangat si ibu yang kandas. Ibu Sri akhirnya pulang
ditemani dengan seorang warga yang kenal oleh beliau.
Sesampainya di rumah, ibu Sri menceritakan kejadian pahitnya kepada si anak.
Anaknya bingung melihat ibunya pulang ke rumah dengan tangan hampa sembari menangis.
Ketika mengetahui ibunya kecopetan saat ingin membeli perlengkapan adiknya, Danis yang
masih berusia 10 tahun mencoba untuk menabahkan hati ibunda. Ia tahu bahwa uang itu
sangat berarti untuk keperluan dirinya dan adiknya. Namun, ia tidak suka melihat ibunya
menangis. Mata gadis kecil itu berlinang juga, ia memeluk ibunya namun enggan
memperlihatkan raut wajah sedih.
Ibu Sri hanya buruh pekerja pabrik yang tinggal di rumah kontrakan sederhana
bersama ketiga orang anaknya. Selagi ia bekerja, ia menitipkan anak-anaknya kepada
saudara kandungnya yang tinggal berdekatan. Setiap pagi ia harus bekerja pukul tujuh,
kembali kerumah lagi sore menjelang maghrib. Tak jarang ia kedapan sip malam hingga
diharuskan bekerja mulai dari pukul sebelas malam. Gaji yang dimiliki hanya mampu untuk
memberi makan dan menyekolahkan anak-anaknya di SD impres. Ia belum memiliki rumah
sendiri sehingga ia harus bekerja di tempat lain untuk bisa meneruskan hidup keluarga.
Saat kejadian tersebut menimpa ibu Sri, ia ingat betul masih ada uang dua lembar
seratus ribuan di dalam dompet. Meski bukan jumlah yang besar bagi sebagian orang,
namun bagi ibu Sri uang itu adalah hidupnya. Hasil dari bekerja ia setiap hari untuk
membahagiakan anak-anaknya. Shock, barang tentu! Saat itu ia sedang berjalan sendirian
menggenggam dompetnya di atas perut, dengan cepat penjambret mengambilnya. Rasanya
ibu Sri seperti kehabisan nafas. Sangat disayangkan penjambret itu, mungkin mereka butuh
uang, namun cara kriminal seperti itu membuat hidup orang lain semakin menderita.
2. Selang tiga hari berlalu, ibu Sri sering ditanyai oleh warga sekitar mengenai kasus
penjambretan. Namun hari ini ia bisa lebih merelakan. Ditangisi darahpun sudah tidak
mungkin bisa kembali. Ia hanya berdoa kepada Tuhan agar kasus beliau dapat dijadikan
pelajaran bagi warga yang lain supaya lebih berhati-hati dan waspada dengan bahaya
penjambretan di jalanan. Semoga ibu Sri mendapatkan rezekinya kembali.
Ibu Sri, 38 tahun, warga Joglo, Jakarta Barat