SlideShare a Scribd company logo
1 of 99
Download to read offline
ASAL USUL SUKU DAYAK MA’ANYAN
Sorosilah ini berbahasa asli Dayak Ma’anyan ” Janyawai “
Bukan bahasa yang dipakai sehari – hari.
A. RIWAYAT ASAL USULNYA.
Allah mula Allah, Allah mudi jari Allah. Allah mula Allah, Allah munta murunsia, munta
datu mula manta, maharaja mula ulun. Ka’ani dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun.
Muneng tane tipak sulu, ngumung langit rakun kubus, nyepuk hewuk kala mula, ngu’ut
ranu petak watu, ranu gunung madu rahu, watu papat lamura, gunung rueh ipatatai, watu
purun panahanar, uhuk dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Metak ranu madu rahu,
lawu tane tipak sulau, welum jari kayu saramelum, tumu malar mangamuan matei, metak
lagi ma handrueh, ruruh rimis mangapurun, jari wusi parei gilai, janang wini gunung
lungkung, metek lagi mangatalu, jari ilau manyamare, awai supu mangujahan, metak lagi
mangapat, jari wundrung amirue, janang lunsing salulungan, metak lagi mangalima, jari
nanyu saniang, janang hiang piumung, metak kanamangapat, jari suling wulian, janang
riak rayu rungan, metak lagi kepitulempat, jari tumpuk tunyung punu, guha mari
dandrahulu.
Tumpuk munta mudi matei, marunsia mantuk lumun, luwan patei datu mula munta,
lumun maharaja mula ulun, jari datu tunyungpanu, maharaja dandruhulu. Heput kulu
mudi hiang, surut sasar Janyawai, mulek datu mula munta, maharaja mula ulun, hawi
talak batung nyi’ai, jaku intai telang suluh. Batung nyi’ai hawi teka rayu, telang suluh
jaku talinguan. Ma’umele hi datu mula munta, ma’umelan maharaja mula ulun, daya
sumaden talak batung nyi’ai, sumadi intai telang suluh, sumaden ma anak matu, sumadi
bunsu pasunringan. Palus gagiris ngini ma dara mula lapeh, igaginak nginte
suaraibuhengkang ulun, palus ipa’muma ume anri dara mula lapeh, ipa turut junjung ma
suraibu hengkangulun. Luwan hampe metak ranu puka tamu, ruruh rimis luyu uwut
jujuli, luwan metak ma tane pirarahan, ruruh rimis ma gumi tampajakan, jari rikut sa
irunrean, jari tanang kayu, jari wurung sa ngawuwean wurung, janag eha ngawuean eha.
Luwan sipumpun here kala adu nyawung, isansayuh alang nansaramai, gimutuk here kala
haruangan banung, gamudrah here munan gumi rarak ransai, sipumpun munta anri
wurung eha, isansayuh ulun ma waraga satua. Daya huan uwung uweng kawan mantir
ngurai hokum, ngahu anuh na’an maharaja merang hadat. Daya huan unre balai
pidudusan, ngahu irunrean jaru tapung jangka. Pidudusan mantir ngurai hukum, tapung
jangka patis merang hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah
jari.
B. PERJEMAHAN BAHASA JANYAWAI BAHASA ASLI DAYAK MA’ANYAN
KE BAHASA INDONESIA.
Adapun terjemahan bahasa asli Suku Dayak Ma’anyan diatas ke bahasa Indonesia adalah
sebagai berikut :
” Allah mula Allah itu adalah yang Maha Kuasa, Maha bisa, Maha tahu, Maha sakti,
Maha adil, Maha Pemurah, Maha Agung. Boleh jadi disamakan dengan Allah Maha Esa,
Allah Munta Murunsia adalah dia mencipta manusia yang mana manusia pertama
menurut ceritera budaya Dayak Ma’anyan ialah Datu Mula Munta, Maharaja Mula Ulun,
lalu manusia yang kedua kisah ini, dibikin dari tulang rusuk manusia pertama tadi ( Datu
Mula Munta ), maka diberi nama Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun. Cuma
menurut kisahnya ini berlainan jenis kelamin, dan manusia kedua ini terdapat dua buah
gunung kecil di dadanya yang disebut dalam bahasa Janyawai yaitu Gunung Madu Rahu
Watu Papat Lamura. Yang mengeluarkan tetesan air dari puncaknya. Dari dua buah
puncak gunung tersebut menetes 7 (tujuh) tetes air ke bumi tempat manusia berdua ini
berada. Bumi disebut disini waktu itu hanya sebesar telapak kaki mereka berdua ini
berada , yakni Tane Tipak Sulau. Dan waktu itu dalam kisah Janyawai ini kabut / gelap
gulita dan mereka bernapas dari letusan gumpalan angin pertama yang membentur dua
buah gunung kecil tadi, menimpun dari mata air dipuncak kedua gunung itu. Adapun
tetesan air yang ketujuh tadi menurut ceritera Janyawai ini, tetesan pertama tumbuh
menjadi pohon yang buah dan daunya biasa dipergunakan untuk membangun
( menghidupkan orang yang mati ) disebut kayu saramelum.
Tetesan yang kedua tumbuh jadi padi, jadi rupanya padi yang ada sekarang berasal dari
tetesan kedua dari tetesan air dari puncak gunung tadi. Tetesan ketiga menjadi minyak
dan kapas untuk dipergunakan penyembuhan kepada orang sakit. Tetesan yang ke empat
hidup jadi Roh mereka berdua. Tetesan yang kelima menjadi malaikat pelindung yang
biasa membantu dan melindungi manusia dari bahaya dan gangguan penyakit apa pun.
Tetesan yang keenam menjadi Dawa Dewi yang biasa membantu para Dukun – Dukun
jika diperlukan. Tetesan yang ketujuh menjadi Kota ( Desa ) tempat Roh orang yang
sudah mati, Tetesan ini disebut Tumpuk Tunjung Panu, Guha Mari Dandrahulu. Jadi
setelah manusia pertama ini mati, dialah yang pertama menempati Kota ( Desa ) tersebut.
Diatas dia bernama Datu Tunjung Panu Maharaja Dandrahulu. Demikian riwayat
kejadian tetesan air dari puncak gunung kecil tadi.
Adapun riwayat kegelapan dan kekabutan alam masa itu, manusia berdua tadi seolah –
olah tertidur nyenyak tanpa bergerak apa – apa, namun tiba – tiba datang cahaya matahari
membelah kegelapan dan kekabutan tersebut yang disebut bahasa Janyawai Batung
Nyi’ai Hawi Teka Ruyu, Telang Suluh Jaku Talinguan. Maka terbangunlah manusia tadi
dan saling berpandangan satu sama lain, maka timbul birahi saling mencintai, maka
berpelukanlah mereka berdua langsung bersetubuh, dari hasil persetubuhan mereka
berdua tadi menetes air kemaluan manusia pertama tadi kebumi dan tumbuh jadi kayu –
kayuan, rumput – rumputan, menetes lagi keduakalinya air kemaluanya ke bumi, hidup
jadi berbagai marga satwa memenuhi alam purba itu, berbagai jenis binatang di bumi dan
berbagai jenis burung di udara, maka berkumpulah mereka bersama dialam purba itu satu
bumi, satu alam, satu bangsa (satu mahluk), satu bahasa yaitu bahasa purba ( Bahasa
Nahu ) yang artinya saling mengerti, namum belum menpunyai adat istiadat. Kerena
belum ada pengaturan dari Allah mula Allah ( yang mencipta tadi ). Maka alam purba
tempat berkumpul tersebut dalam bahasa Janyawai Suku Dayak Ma’anyan disebut ‘”
Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai “.
Demikian sekilas ceritera asal usul adanya manusia Suku Dayak Ma’anyan didapat dari
saudara RADEN KUTAR SUTA UNO ( Cicit dari RONGGO SUTA UNO ). Namun
tempat alam purba itu tidak dapat beliau beri petunjuk, karena diperkirakan terjadinya
sebelum abat masehi. Adapun perkembangan selanjutnya akan diutarakan seterusnya
hingga masa sekarang.
C. PERKEMBANGAN DUNIA PURBA MENURUT KETERANGAN ( RADEN
KUTAR SUTA UNO ) INI YANG DIA PEROLEH DARI NENEK, KAKEK YANG
MENITIS PADA DIRI PRIBADINYA.
Riwayat perkembangannya adalah sebagai berikut :
Pada masa itu perkiraan masih dalam jaman pra sejarah karena tidak diketahui lokasi
tempat kejadian dan tidak diketahui tempat waktu kejadian, jadi mungkin karena
ceriteranya mereka belum mempunyai hukum dan Adat Istiadat, apalagi dunia
pendidikan yang biasa memberitakan secara sensitive, hanya sistematik sambung –
menyambung dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut, maka terjadilah kelanjutan
ceriteranya ialah sebagai berikut : Dalam Tumpuk Lalung Kawung, Gumi Rarak Ransai,
mereka berkecamuk mengadakan hubungan seks dan bunuh membunuh, terkam
menerkam, maklum antara manusia dan binatang marga satwa masih menyatu dalam satu
kampung, satu wilayah, satu tanah air, satu bahasa, satu alam yakni alam purba, tanpa ada
aturan dan pengaturan baik secara hukum maupun secara adat dari Sang Pencipta.
Menurut kisah ini karena berkecamuknya mereka pada masa itu saling kejar mengejar,
maka meluaslah bumi ( Tane Tipak Sulau ) tadi yang ditempati Tumpuk Lalung Kuwung,
Gumi Rarak Ransai, sehingga mereka dapat berpindah – pindah tempat / pemukiman.
Adapun lokasi perkembangan menurut ceriteranya terjadi menjadi 4 (empat) lokasi
perpindahan dalam dunia purba itu antara lain sebagai berikut (dalam bahasa Janyawai)
ini : 1. Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai
2. Perpindahan kedua yaitu, Tumpuk Pupur Matung
3. Perpindahan ketiga yaitu, Tumpuk Sida matung
4. Perpindahan ke empat yaitu, Tumpuk laliku Maeh
Empat lokasi purba ini tidak diketahui tempatnya di bumi sehingga tidak dapat ditelusuri
untuk bahan penelitian. Pada lokasi terakhir dunia purba ini, yaitu: Tumpuk Laliku Maeh
ini mempunyai hikayat (ceritera) tersendiri. Ceritera tersebut adalah sebagai berikut :
Pada Tumpuk Laliku Maeh mereka mengangkat (menubat) dalam bahasa Janyawai yaitu
Nudus salah satu dari mereka pimpinan atau mengepalai mereka yang nama dan pangkat
jabatan dalam bahasa janyawai ada tiga yaitu :
1. Raksapateh
2. Singa Galanteh
3. Using Dukut Nungu Dapur
Tapi menurut ceriteranya meskipun sudah dilantik (didudus) tiga pengurus tadi namun
keadaan dan ketentraman di Tumpuk Laliku Maeh ini tidak terkendali, malah
pengankatan tiga pengurus itu memicu kepada kekacuan semakin bertambah akibat iri
mengiri, dengki mendengki, hanya terbukti dari ajaran ketiga pemimpin mereka ini yaitu
berhitung dengan bahasa waktu itu dari satu sampai duabelas, yang hitungannya sebagai
berikut :
1. Satu : Sau
2. Dua : Karuaw
3. Tiga : Katalu
4. Empat : Manapitaw
5. Lima : Kaebak
6. Enam : Kapapak
7. Tujuh : kalempat
8. Delapan : Karewaw
9. Sembilan : Katumang
10. Sepuluh : Pahapaw
11. Sebelas : kaminting
12. Duabelas : Buk Ok
Itulah perhitungan di Tumpuk laliku Maeh masa pimpinan Raksa Pateh, Singa Gantaleh,
Using Dukut Nungu Dapur. Jadi perhitungan kelompok 12 ini sampai sekarang diwarisi
oleh Suku Dayak Ma’anyan disebut selusen (satu lusin).
Selanjutnya di Tumpuk laliku Maeh ini makin hari makin kacau diman – mana
hububungan seks antara manusia dengan berbagai marga satwa, antara ibu dengan anak,
antara anak dengan bapak antara anak dengan cucu, antara cucu dengan nenek pendeknya
berkecamuklah dosa. Begitu perkelahian berkecamuk antara manusia sama manusia,
antara manusia dengan berbagai binatang dan antara binatang sesama binatang, sehingga
tidak terkendali lagi. Maka prihatinlah rupanya Allah mula Allah (Sang Pencipta) karena
melihat kehancuran Tumpuk Laliku Maeh oleh karena belum ada hukum adat untuk
mengatur tata tertib dan keamanan mereka.
Maka ditengah – tengah kekacauan tersebut, jatuhlah segumpalan benang kusut sebesar
buah kelapa disebut Tundun Taking atau dalam bahasa janyawai Amas Tukal Banang
Juwet, Mirah Rawai Wali Halun, dengan disertai pesan dari Allah mula Allah, siapa
diantara mereka bisa membuka benang kusut tersebut dengan tidak diputus – putus dan
disambung – sambung, sehingga terbuka dalam keadaan utuh dan baik maka dialah yang
menjadi pemimpin pemutus hukum adat guna menindak yang salah dan memberi
kesaksian bagi yang benar.
Maka berebutanlah mereka membuka gumpalan benang kusut itu dengan maksud ingin
menjadi pemimpin mereka, setelah silih berganti mereka jangankan bisa terbuka malah
makin kusut. Lalu datanglah 12 anak muda yang kelihatan cakap dan cerdas langsung
silih berganti membuka gumpalan benang kusut tersebut, jangankan terbuka malah
semakin kusut lagi dan semakin bertambah.
Hanya tinggal sorang perempuan tua lanjut usia yang tinggal dibalik dinding luar tidak
diperkenankan masuk, karena kejijikan mereka padanya, dengan tidak disangka – sangka
datanglah Roh Dawa Dewi yang berasal dari tetesan tetesan air Puncak Gunung Madu
Rahu, Watu Papat Lamura di tane Tipak Sulau dulu. Lalu Roh dewa Dewi tersebut
menyerupai seekor kucing, setelah seekor kucing ini kesurupan , lalu berkata panggilah
orang tua dari luar dinding itu untuk membuka benang kusut ini. Nama orang tua itu
adalah Etuh yang dipanggil Nini Punyut, setelah dipanggil masuklah orang tua itu dan
mulailah orang tua itu membuka perlahan – lahan gumpalan benang kusut tadi dengan
kesabaran dan ketabahan hati, kepercayaan iman dan kerja, maka terbukalah (terurailah)
benang kusut tadi tanpa ada cacat cela tepat sebagaimana dipesan Allah mula Allah tadi.
Maka tiada dapat dipungkiri lagi bahwa sesuai janji Allah mula Allah tadi, mau tidak
mau orang tua ( Etuh ) atau Nini Punyut inilah menjadi pemimpin pengatur hukum adat
mereka di Tumpuk Laliku Maeh itu. Maka dari peristiwa kejadian ini Suku Dayak
Ma’anyan mengkaji dan membudayakan terus menerus cara penghormatan dan
penghargaan sebaik – bainya terhadap orang tua, tidak boleh diremehkan dalam
keyakinan orang Dayak Ma’anyan, bahwa orang yang sudah lanjut usia dianggap sebagai
ajimat yang bisa memberi petuah bagi kehidupan anak muda.
Pada pembukaan lembaran ini terlebih dahulu perlu saya terang ulang bahwa dari
permulaan kisah kejadian tadi sampai berakhir di Tumpuk Laliku Maeh belum ada
pembagaian suku, puak dan ras, masih menyatu Janyawai kisah munta murunsia jadi
simak oleh pembaca belum ada kata Suku Dayak Ma’anyan itu.
Demikianlah agar diketahui oleh pembaca. Ceritera selanjutnya dalam kejadian ini, orang
tua Etuh (Nini Punyut) tadi diperintah oleh Allah mula Allah untuk membuat peraturan
tata tertib, adapt istiadat, guna mengatur tata kehidupan di Tumpuk Laliku Maeh.
Terlebih dahulu Etuh mengatur hukum adat, namun hanya umat Munta Murunsia yang
tunduk dan menerima. Tapi seluruh mahluk marga satwa menolak dan menentang, maka
terjadilah dua perbedaan umat Munta Marunsia menganut adat istiadat, sedangkan
mahluk marga satwa tetap menganut tradisi lama, maka selalu saling terjadi pertengkaran
dan tidak jarang selalu membawa kepada perkelahian.
Sesudah itu Etuh mengurai peraturan, semua manusia tunduk, marga satwa separuh yang
tunduk, separuh yang tetap tidak tunduk peraturan Etuh itu. Jadi terbukti sampai sekarang
marga satwa tidak tunduk adat, tapi separuh tunduk peraturan. Terbukti babi hutan dan
babi peliharaan, Babi hutan tidak tunduk adat dan peraturan, tetap lari kehutan. Babi
peliharaan tidak tunduk adat, tapi tunduk peraturan, maka babi peliharaan bisa kita
kurung dan dipelihara. Babi hutan biar kita pelihara 100 tahun lamanya, bila kita lepas
tetap liar lari kehutan. Demikian lain-lainya yang sama jenis dihutan dan yang kita
pelihara.
Maka oleh karena jauh perbedaan tradisi lama dengan adat istiadat yang diatur oleh Nini
Punyut ( Etuh ) tadi, maka Allah mula Allah datang memberi saran kepada Nini Punyut
lebih baik mengalah atau pindah dari Tumpuk Laliku Maeh ke pemukiman baru yang
ditunjuk oleh Allah mula Allah, yaitu Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam,
Maka menurutlah Etuh petunjuk Allah mula Allah itu dan pindahlah Etuh (Nini Punyut)
membawa umat munta murunsia ke tanah Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam
yang baru ini. Dari kejadian inilah mulai berangsur – angsur hilangnya bahasa asal
kejadian dunia, karena terpisah pergaulan umat munta murunsia dengan marga satwa
dibatasi oleh hukum adat istiadat tadi. Lalu perkembangan selanjutnya umat munta
murunsia hidup dipermukiman baru di Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam dibawah
pimpinan Nini Punyut (Etuh) yang mengatur hukum adat istiadat dan membudayanya
dengan alam sekitarnya. Sehingga hidup rukun damai berbaur dengan potensi alam yang
ada disekitar mereka.
Dari permukiman Sani Sarunailah umat muna murunsia mulai masuk jaman sejarah,
jaman yang mulai diatur dengan adapt istiadat dan menyatu keadaan bumi Sani Sarunai
tempat mereka bermukim. Lalu di Sani Sarunai, Gumi Ngmang Talam inilah juga munta
murunsia mengadakan organisasi sisial yang disebut dalam bahasa Janyawai ”
Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu “, karena perkembangan jiwa umat
munta murunsia itu sudah beratus – ratus bahkan beribu – ribu jiwa banyaknya.
D. KEGIATAN UMAT MUNTA MURUNSIA DIBAWAH PIMPINAN NINI
PUNYUT (ETUH) DITUMPUK SANI SARUNAI (TUMUK BARU).
Pada pemrmulaan ceritera baru ini, perlu saya ulangi kegiatan Nini Punyut semasa
mereka masih di Tumpuk Laliku Maeh. Pada waktu Nini Punyut menerima perintah dari
Allah mula Allah untuk membentuk hukum adat dan peraturan di Tumpuk Laliku Maeh,
Nini punyut langsung menerapkan dan menyebar luas hukum adat dan peraturan kepada
seluruh penghuni Tumpuk Laliku Maeh, namun sebagaimana yang diterangkan dalam
kisah terdahulu tadi, semua mahluk marga satwa menolak hukum adat itu tetapi tentang
peraturan yang diatur oleh Nini Punyut sebagian mahluk marga satwa menerima, oleh
karena itu sebagian dari mahluk marga satwa yang tunduk pada peraturan Nini Punyut
dapat dipelihara oleh Munta Murunsia. Oleh karena itulah sampai sekarang dari seluruh
umat mahluk marga satwa ada komponen yang biasa dipelihara manusia, tetapi ada
komponen yang tidak mau dipelihara oleh manusia tetap menolak hukum adat karena dari
Tumpuk Laliku Maeh dulu kelompok marga satwa bersatu menolak hukum adat yang
diterapkan oleh Nini Punyut. Demikianlah ceritera ulang kegiatan Nini Punyut di
Tumpuk Laliku Maeh dulu.
Selanjutnya ceritera ini menceritakan kegiatan mereka di Tumpuk Sani Sarunai, di
Tumpuk Sani Sarunai mereka dibawah pimpinan Nini Punyut mengadakan penelitian,
percobaan, penyeringan potensi alam yang ada diwarisi dari masa kejadian di Tane Tipak
Sulau dulu, yang mana potensi alam itu yang biasa menjamin daripada kelangsungan
hidup umat Munta Murunsia untuk selama – lamanya setelah diuji dengan cara mereka
pada masa itu, ternyata padilah yang dapat menjamin kelangsungan hidup umat Munta
Murunsia sedangkan padi ini sangat kecil bijinya dari buah – buahan yang lain,
maklumlah biji padi ini hanya berasal dari setetes air dari puncak kedua Gunung Madu
Rahu, Watu Papat Lamura yang tumbuh diatas dada Dara Mula Lapeh, Suraibu
Hengkang Ulun, waktu kejadian di tane Tipak Sulau dulu.
Begitu dibidang perlindungan umat Munta Murunsia diuji coba membikin suatu tempat
mereka berteduh dari terik matahari dan kecurahan hujan, yang disebut dalam bahasa
Janyawai ” Bali Karunrung Rahu, Sarungayan Payung Uran “. Ini berbentuk mirip
gubuk, namun tidak ada dinding dan lantai. Dari uji coba ini, kayu – kayuanlah yang
mampu memberi perlindungan untuk mereka. setelah itu Nini Punyut mengajak mereka
menyebar luas bibit kayu – kayuan, rumput – rumputan guna keperluan mereka kemudian
hari, ternyata marga satwalah yang mampu menyebar luaskannya dari cara memakan
buah – buahan lalu berkeliaran dihutan lingkungan dan berak sembarangan, maka
tumbuhlah biji buah – buahan , kayu – kayuan yang berasal dari satu tempat menyebar
kelain tempat sehingga menjadi luaslah hutan wawasan lingkungan mereka.
Oleh karena itu menyatulah tata kehidupan umat Munta Murunsia dengan keadaan alam
sekitar mereka dibawah kepemimpinan Nini Punyut (Etyh) ini. Di Tumpuk Sani sarunai .
Nini Punyut mengatur adat suami isteri tidak boleh umat Munta Murunsia mengadakan
hubungan seks laki – laki dengan perempuan kalau tidak melalui hukum adat perkawinan
yang mana hukum adat perkawinan diwarisi dan membudaya di tanah Dayak Ma’anyan
sampai sekarang.
Begitu juga tentang kematian juga diatur dengan hukum adat dibidang kematian, kerena
sebagai penghargaan kepada umat Munta Murunsia semasa di dunia tunduk dengan
pengaturan tata tertib adat istiadat yang ada, maka rohnya pun diatur dengan hukum adat
kematian, pindah dari dunia ini ke kota ( desa ) Datu Tunyung Puno, Maharaja Guha
Mari Dandrahulu, yang kota tersebut berasal dari tetesan yang ke tujuh, tetesan air dari
puncak kedua Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura, yang teruarai ceriteranya pada
masa kejadian Allah mula Allah. Hanya adat kematian ini ada tumpang tindih dengan
adapt kematian agama Hindu semasa agama hindu memasuki wilayah Dayak Ma’anyan
karena agama Hindu menganut hukum kasta lalu terkungkunglah adapt kematian di
Dayak Ma’anyan dengan hukum kasta tadi.
Jadi sulit menggali perbedaan hukum adat yang diatur oleh Nini Punyut dengan hukun
adat yang dibawa agama Hindu karena sudah berabad – abad berbaur. Adapun ceritera
seterusnya tentang kehidupan umat Munta Murunsia dibawah hukum adat dan hukum
aturan berjalan terus ditumpuk Sani Sarunai, mereka mengatur perladangan, perkebunan
untuk melestarikan bibit padi – padian, buah – buahan yang berasal dari tanah kejadian
sebagaiman yang telah diceritakan terdahulu dengan menelusuri adat, peraturan yang
yang telah disebar luas oleh Nini Punyut (Etuh) setelah adat istiadat dan hukum dan
peraturan itu sudah membudaya diseluruh lapisan kehidupan masyarakat Tumpuk Sani
Sarunai, maka sampailah ajalnya Etuh ( Nini Punyut ), dengan meninggal hukum adat
istiadat dan peraturan kepada seluruh umat Munta Murunsia di Tumpuk Sani sarunai dan
meninggalkan seorang anak yakni ” AMAH JARANG ” yang dalam bahasa Janyawai ”
Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei “, inilah penerus kepemimpinan adat
istiadat seterusnya.
Lalu Nini Punyut ini diadakan upacara adat penguburan ( adat kematian ) serta menanam
satu pohon sawang disebut Dayak Ma’anyan ” Rirung” sebagai tanda kuburan Etuh
( Nini Punyut ). Setelah meninggalnya Nini Punyut , berkesanlah dihati umat Munta
Murunsia khususnya suku Dayak Ma’anyan yang mengetahui riwayat ( sejarah )
kepemimpinannya Cuma sayang tidak diketahui tepat waktu (tanggal dan bulan ) dia
meninggal, karena pada waktu itu belum ada pendidikan tulis menulis karena Nini
Punyut ( Etuh ) tidak ada mengajar hurup abjad dan angka – angka hanya sesuatu yang
penting menjadi peringatan ditandai oleh tanda alam yaitu berupa batu diletakan atau
kayu – kayuan ditanam.
Demikian halnya kuburan Nini Punyut sekarang ada buktinya dapat ditelusuri yakni di
Tamak Sapala. Itu sebuah pulau kecil ditengan danau Kabupaten Barito Kuala
( Marabahan ) karena bekas Tumpuk Sani Sarunai dulu adalah Tamak Sapala di Danau
Panggang Privinsi Kalimantan Selatan, karena Tamak dalam bahasa Janyawai Kuburan
Sapala Kapala. Jadi Tamak Sapala berati kuburan Kepala ( Pemimpin ).
Kembali lagi kita menyimak ceritera selanjutnya mengenai kehidupan di Tumpuk Sani
Sarunai. Dipimpin Amah Jarang ( Datu Telang Tuha Maharaja Wulu Kesai Lawei ), pada
waktu itu di Sani Sarunai bermunculan Datu – Datu antara lain yang saya ingat :
1. Datu Telang Tuha Maharaja Wulu Kesai Lawei ( Amah jarang )
2. Datu Bias Layar Maharaja Tampi Pidagangan ( Amah Idung )
3. Datu Masuliaung Maharaja Amah Engkai ( Amah Engkai )
4. Datu Nuwung Sigai Maharaja Repan Uyur ( Amah Anggar )
Itulah yang saya ingat, banyak Datu lain lagi namun saya lupa, boleh ditelusuri dari orang
Ma’anyan yang lain. Begitu juga Dara banyak sekali hanya yang saya ingat antara lain :
1. Dara Tamurak Sunsu ( Ibu jarang )
2. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Kapas ( Ibu Idung )
3. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Epai ( Ibu Tengkai )
4. Dara Tunrak Nyi’ai Gandring Layu ( Ibu Anggar )
Disamping itu banyak pemuda pemudi yang dalam organisasi social mereka disebut ”
Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu “,
antara lain yang saya ingat yang laki – lakinya sebagai berikut :
1. Idung
2. Jarang
3. Tengkai
4. Talengo
5. Iban
6. Bangkas
7. Patis
8. Anyawungan
9. Anggar
10. Paning
11. Nalau
12. Pasungan
Lalu yang perempuannya adalah :
1. Silu
2. Ave
3. Layu
4. Lelai
5. Pantiwuyuk
6. Awahat
Organisasi social pangunraun ini mengurus kegiatan ke bidang ekonomi yakni melestari
ajaran almarhum Etuh untuk mengadakan perladangan, membudidaya bibit padi – padian
dan buah – buahan begitu juga dibidang kesenian yang paling menonjol diantara pribadi
mereka adalah Jarang , kerena ia selalu menjinjing gendang ( tabuh ) dan sambil bekerja
sambil menabuh oleh kerena itu Jarang disebut Rapui Palu.
Pada suatu masa perladangan mereka mengadakan berkelompok dan diadakan pesta
pengorbanan yaitu membunuh seekor binatang peliharaan mereka guna darahnya untuk
mengelas tanah perladangan agar padi – padian, buah – buahan hidup dengan subur
menurut adat yang diajar oleh almarhum pemimpin mereka yakni Nini Punyut. Setelah
mereka membuat perladangan jarang yang paling kecil ladangnya hanya mengelilingi
sebuah pohon yang disebut pohon Dalie karena dia kerja sambil menabuh gendang tadi,
tangan kanan kerja, tangan kiri menabuh gendang. Setelah masa panen datang seorang
perempuan tua mau ikut memotong padi membawa sebuah keranjang yang besar sekali,
disebut waktu itu ” Bake Kariring Anrau, Tawang Iya Ta’u Nyarau “ yang artinya sesat
anak umur 12 tahun ditengah keranjang itu oleh sebab itu semua pangunraun menolak
orang tua itu tidak mampu mengisi padi kedalam keranjang besar itu, setelah orang tua
itu sampai pada ladang jarang yang hanya mengelilingi sebuah pohon tadi maka diterima
oleh Jarang lalu mulailah orang tua itu memotong padi.
Pokoknya berbulan – bulan orang tua itu memotong padi Jarang tidak bisa selesai dan
berpuluh – puluh lumbung padi Jarang penuh belum juga bisa selesai, akhirnya bosan
Jarang membuat lumbung maka mengusul Jarang pada orang tua itu agar menyelesai
potongan padi itu, setelah menerima usulan itu segera orang tua itu menyelesai panen itu,
maka pendapatan padi terbanyak kepunyaan Jarang daripada pendapatan kawan –
kawannya yang besar ladangnya kerana orang tua itu mempunyai muzisat tersendiri.
Nama orang tua itu ” Itak Pumpun Wusi “ setelah Jarang menumpuk padi terakhir
kedalam lumbung orang tua itu jatuh roboh jadi batu. Itulah asal batu ajimat padi yang
banyak tersimpun oleh Suku Dayak Ma’anyan yang disebut oleh Dayak Ma’anyan ”
Watu Panampareian “ yaitu berasal dari Itak Pumpun Wusi masa kemakmuran Sani
Sarunai.
Ada satu lagi ceritera perladangan yang sangat berkesan yakni perladangan awahat
dengan suaminya Nalau mereka berdua ini bekerja tani siang dan malam tidak perduli
terik matahari ataupun kucuran hujan siang malam tidak mengenal lelah maka berlimpah
ruahlah hasil panen mereka berdua namun pada suatu ketika perempuan Awahat bekerja
pada malam hari terpotong tangannya sebelah kiri dari itu Awahat tidak dapat berkerja
lagi lalu merenunglah ia atas nasibnya, tiba – tiba datang Roh Dewa Dewi yang berasal
dari tetesan puncak gunung Madu Rahu kisah masa kejadian dulu. Roh Dewa Dewi itu
menyerupai Awahat setelah dia kesurupan maka berkatalah ia,
Aku ini tidak guna tinggal di Sani Sarunai ini aku akan berangkat ikut Roh Dewa Dewi
ke langit dan aku pesan pada kalian yang masih tinggal di bumi setiap tahun bintangku
satu kali mengelilingi bumi lihat pada malam hari bila aku datang dari ufuk timur dan
kalian sambut dengan telapak tangan dan biji padi ditelapak tangan, bila biji padi itu jatuh
dari telapak tangan waktu kalian menyambut kedatangan ku pada sore hari itulah
tandanya waktu menugal padi. Sesuadah ia berkata demikian terbanglah Awahat dan
tinggal di langit menjadi bintang petunjuk suku Dayak Ma’anyan menanam padi. Nalau
melihat isterinya terbang ke langit beringaslah suaminya Nalau dia bongkar ranjau
babinya dari ladang lalu dilempar ke langit maka melekatlah ranjau itu menjadi bintang
petunjuk dilangit yang disebut orang Jawa ” Lintang Luku “ bintang ranjau ini jadi
petunjuk Suku Dayak Ma’anyan bila ia timbul dari ufuk timur tandanya menanam padi
sudah lewat waktu.
E. KEMAKMURAN SARUNAI DAN PEPERANGAN
Bahasa Pangunraun Jatuh ( Janyawai ) ” Sipumpun Here Pangunraun Jatuh, Sansayuh
Ngampet Malem Balah Riwau, Simpumpun Yeru Kala Adu Nyawung, Isansayuh Sa
Alang Nansarunai, Gimutuh Kala Wani Pasi’au Ra’an, Gamuruh Alang Nuan Bakarabut
Jangkeng, Gimutuh Hang Tane Nansarunai, Gamuruh Muneng Gumi Ngamang Talam
Daya Sameh Ngumung Here Donayu, Pada Nanra Here Sanapahidun Tuhan.
Sameh Ngumung Here tatanggul agung pada nanra here puparau ganing , tatunggul
agung teka Datu Nini Punyut Puparau ganing maharaja Etuh Mula. Nini punyut yeru
Datu Ngurai hukum Etuh mula maharaja merang hadat luwan rami raya here tumpuk
Nansarunai guruh ginak yeru Gumi Ngamang Talam luwan sarunai kala bangun tangui
Ngamang Talam yena alang buka paying Sarunai ngamuan pantar ngamang talam
magantangun tungkup Sarunai mangamuan sanggar ngamang Talam magantangun panti,
Sarunai ngamuan balai ngamang talam magantangun jaru, mangamuan hanye balai
pidudusan magantangun jaru tapung jangka. Pidudusan kawan mantir ngurai hukum,
tapung jangka maharaja merang hadat. Sarunai mangamuan benteng, ngamang talam
magantangun balat. Sarunai mangamuan parung, ngamang talam mangantangun malegai,
parung layu hanye kala talak unru, malegain lelai alang intai wulan, layua ni jawan
wawai, lelai tumpa huli dayang.
Manguntur Sarunai tawah wau, kudalangun ngamang talam sipat hanyar. Manguntur
yena uneng adu nyawung, kudalngan yeru ina masang kamar. Panyawungan kawan anak
Nanyu jatuh, pangamaran sukat bunsu lungai riwu. Nanyu jatuh sa minau adu nyawung,
lungai riwu sa turun masang kamar. Nanyauo jatuh sa minau nyarang sepak, lungai riwu
sa turun nyansang singki. Luwan sarunai hanye kala here jatuh, ngamang talam alang
rakeh riwuo, luwan rami raya Tumpuk Tane Nansarunai, guruh ginak yeru gumi
ngamang talam. Uei jaku tumpuk Nansarunai, kuai jaki gumi ngamang talam. Daya hawi
umpui ngadunungan Rahu, jaku uyang ngapupasan bala. Mangamet nileng hapapuru ulu.
tabunau nganya umun lalan sikan, munsit napi erang balai natat, kutuk marap jaruo
talunya’an. Tau baker hante ngumungpapuru ulu, berang ranrung nutup lalan sikan, tau
bakir hante lawu pamupale, berang ranrung gugur pamaluku.
Tapi engen tangkis baker lawu hasubarang, kilung berang gugur mampang ipai. Daya
na’an tugas tumpuk hanye nganrei simpang lalan, raring bala nunup minsang ennui. Tuga
tumpuk ulun mangalima, panungkulan manguratas runsa. Engen samuliah baker teka
pamupale, samulikir berang hingka pamaluku. Tapi puang iyuh heput umpui putut
sangar, ngahu dapat sasar uyang ngumung pati. Puang hampe wulan yena ngadunungan
rahu, ngahu nyaing ta’un yeru ngupasan bala, gutuk banung jawa hawi nyarang rungu,
ngunrah pilu kawan gurun nantang patis. Gutuk jawa ulun mangamuan tumak, gundrah
gurun ulun mangantangun luwuk. Hawi jawa ulun lepuh nyasar benteng jaku gurun ulun
tulak mungkas balat.
Puang iyuh sangkuriung Sarunai usak jawa, ngahu dapat sangkuwengan ngamang talam
gunrah gurun. Daya wurung umpui haut tudi ulu tukat, munsit uyang pada nakei amau
adan. Luwan sarunai haut jari rirung rume, ngamang talam janang kamat lulun, rirung
rume hanye daya usak jawa, kamat lulun alang gunrah gurun, luwan Sarunai lenuh jari
danau, ngamang talam luyak janang luyu.
Puang ure gawe jawa nyasar benteng, ngahu baling irau gurun mangkas balat. Daya
pudayar Damung mangaturan jawa, patis karis raja manyusunan gurun. Ngatur jawa
minauo paparangan, nyusun gurun turun panyarangan. Luwan Sarunai hanye jari uran
tumak, ngamang talam janang rieh luwuk. Luwan Sarunai lenuh jari danau ira, ngamang
talam luyak janang luyu riang,. Ekat jawan silu sa rari nanan sangar, dayang Ave hamulu
nului panti. Amput mepet pusuk hanye kayuo saramelum, nyurah taruk tamu malar
mangamuan matei. Ngungkung ilau kapas supu panyamare, namput awai supu
pangujahan. Yeru lenuh tumpuk nansarunai, luluh luyah gumi ngamang talam rining
rume hanye jari danau ira, kamat lulun janang layu riang. Puang iyuh sangkuriung mula
umpui ulu tukat, ngahu dapat sangkuwengan uyang lawei aden. Banunag jawa galis
irariwut mudi, pilu gurun haut inguangin matuk. Hawi silu ngumpul bangkai Pangunraun
Jatuh, jaku Ave natai patei ngapet malem balah riwau, palus mapai hanye ilau
panyamare, nawurahi awai pangujahan, palus ngebur hanye anri pusuk kayuo saramelum,
mapas mapai ma taruk tamu malar mangamuan matei. Palus maumele here Pangunraun
Jatuh, maumelan ngampet malem balah riwu. Palus ikilang antang here tane ngatanguan,
nginte tenung gumi ngapanalan. Maka lawu ma’eh here mamai gunung rumung, palus
isunsaing here ma gumi ipah bawi.
Demikian sekilas peristiwa Sani Sarunai dengan bahasa Janyawai, agar Suku dayak
Ma’anyan dapat merenung hal kemakmuran dan kehancuran dilanda peperangan yang
disebut Perang Sarunai.
DIBAWAH INI KAMI TERJEMAHKAN DENGAN BAHASA INDONESIA DARI
BAHASA JANYAWAI DIATAS ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
Sebagaimana telah diterangkan pada ceritera terdahulu bahwa setelah adat istiadat dan
peraturan hidup di Sani Sarunai diterapkan oleh Nini Punyut ( Etuh ) dan mulai
dibudayakan dimasyarakat, Nini Punyut meninggal dunia.
Dilanjut oleh Amah Jarang (anaknya) mengajak masyarakat membangun kehidupan
bersama – sama berlandaskan hukum adat dan peraturan yang sudah mereka akui. Maka
tercapailah kemakmuran dan keadilan untuk seluruh masyarakat Sani Sarunai. Dibangun
Balai Panung ( Mahligai ), Pamungkulan, Pantar, Panti Jagat, Balai Adat, Mangguntur,
lapangan olah raga dan lain – lain. Maka ramailah Sani Sarunai berpuluh – puluh tahun
bahkan beratus – ratus tahun sehingga tersebarlah berita kemakmuran Sani Sarunai ke
daerah lain.
Namun pada suatu hari datang seekor burung elang yang diserupai oleh Roh air tetesan
ke enam dari puncak Gunung Madu Rahu ditanah kejadian dulu dan elang tersebut
menari diatas kepala Amah Jarang sambil menagis, pertanda ada bahaya besar menimpa
Kota Sani Sarunai. Oleh karena itu Amah Jarang mengumum kepada seluruh masyarakat
agar berjaga – jaga sebab bahaya besar akan menimpa kota mereka. Masyarak adat
kehidupannya tidak ada angkatan perang khusus hanya keamanan ditanggung bersama
berdasar kesatuan masyarakat. Tidak berapa lama dari kejadian elang tersebut,. Tiba –
tiba datang ratusan kapal perang dari seberang lautan dengan membawa serdadu penuh
dengan kelengkapan senjata tombak, keris, pedang kalewang, langsung mendarat
menyerbu kota Sani Sarunai maka terjadilah pertempuran sengit sambil bakar membakar.
Maka terjadilah banjir darah, lautan api menimpa kota Sani Sarunai disertai hiruk pikuk,
pekik teriak, datangah pertempuran seru itu, hanya Ave dan Silu sempat melarikan diri
serta membawa cupu tempat minyak dan kapas dari hasil tetesan ke tiga air dari puncak
gunung madu Rahu ditanah kejadian, dan sempat mematah pucuk kayu yang dapat
menghidupkan orang yang sudah mati, hasil dari tetesan pertama air dari puncak Gunung
Madu Rahu ditanah kejadian dulu. Setelah kota Sani Sarunai hancur jadi abu dan penuh
dengan darah, pulanglah pasukan dari negeri seberang itu dengan meninggalkan
komandan pasukan mereka yakni Tuan Pudayar gugur dalam pertempuaran itu terbunuh
oleh Sangumang ( Pasungan/Kilip ). Setelah kapal perang dari negeri seberang habis
pulang kembalilah Silu dan Ave dari tempat persembunyian mereka, melihat mayat
Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu beserta seluruh rakyat Sani Sarunai
bergelimpangan tumpang tindih , susun menyusun, maka segera Silu dan Ave memilah
mayat musuh dan mayat penduduk Sani Sarunai, langsung menabur minyak dari cupu
yang mereka bawa lari itu ke seluruh mayat yang ada. Kecuali mayat – mayat musuh,
antara lain mayat Tuan Pudayar. Lalu mereka berdua mengipas dengan pucuk kayu
saramelum yang sempay mereka patahkan waktu mereka lari itu.
Setelah dikipas, terbangunlah semua mayat – mayat Pangunraun itu serta rakyat lainnya.
Hanya sayang pohon kayu saramelum itu ikut hancur terbakar, jadi tidak ada dilestarikan
sampai sekarang. Setelah bangun hidup kembali mereka berkumpul musyawarah mencari
tempat mereka pindah, maka bercerai berailah pendapat mereka. Pangunraun Jatuh naik
ke Gunung Rumung, Maraja Haji berangkat ke Matahari terbit / hidup, Pasungan
( Sangumang ), Nalau, Ave dan Silu, Gayuhan mudik Barito, dan Gantang, Supak
Sangkanak ke matahari terbenam ( arah barat ). Maka pecahlah mereka dari Sarunai dan
mengadakan kelompok hidup masing – masing tidak diketahui tempatnya.
Hanya yang kami ketahui didapat ceritera riwayatnya dari orang tua kami ( Nenek /
kakek ) kami yakni Pangunraun Jatuh, karena mereka naik ke Gunung Rumung, Gumi
Ipah Bawi, yakni didaerah Amuntai, sekarang Kabupaten Hulu Sungai Utara , ada sampai
sekarang dibuktikan dengan Candi Laras, itu bekas tumpuk Gunung Rumung, Gumi Ipah
Bawi, yaitu kota perpindahan Pangunraun Jatuh dari Sani Sarunai yang hancur lebur itu.
Riwayat kehidupan Pangunrau di Gunung Rumung setelah mereka memasuki hutan
yuang disebut waktu itu Gunung Rumung. Mulailah mereka membabat hutan,
mengadakan perladangan sambil mengurbankan berbagai binatang peliharaan yang
mereka bawa masing – masing dari Sani Sarunai waktu mereka bertebaran mengikuti
arah tujuan hidupnya maisng – masing. Bibit dan binatang peliharaan tersebut sisa dari
kehancuran di sani Sarunai yang sangat mengesankan dalam ceritera ini, bahwa di
Gunung Rumung ini sangat sulit mencari air. Oleh sebab itu mereka sangat sulit
mengatur hidup. Pada malam hari bermimpilah Amah Jarang datang dari Roh Dewa
Dewi dari tetesan air yang ke enam, memberi petunjuk agar Amah Jarang membakar
dupa kemenyan dan mencampur biji beras dengan minyak dan kunyit, supaya beras
tersebut kuning dan menabur sebagai pesuruh menuju Roh tetesan air yang ke lima dari
tanah kejadian dulu, supaya tersebut bisa memberi petunjuk dimana bias mendapat mata
air yang bias mencukupi kehidupan mereka.
Setelah bangun, lalu dilaksan Amah Jarang sesuai mimpi itu. Dengan tiba – tiba datang
seekor elang dan terbang berputar – putar diatas sambil berbubnyi kuik – kuik, pertanda
keriangan. Lalu dicoba Amah Jarang mengikuti terbang elang tersebut, ternyata
terbangnya mendaki sebuah bukit, terus saja diikuti Amah Jarang mendaki bukit itu, yang
nama waktu itu Gunung Karunrung Watu, Saing Liang Kayun Tahan. Setelah sampai ke
puncaknya, ternyata memutar – mutar elang itu sambil berbunyi kuik – kuik, tanda
kesukaan. Setelah Amah Jarang meneliti dengan cermat, ternyata dibawah dia terbang
berputar itu, ada onggokan batu – batu besar. Setelah Amah Jarang melihat dibawah
onggokan batu itu, dan ternyata mata air dibawahnya. Itulah mata air yang disebut waktu
itu ” Ugang Amah Jarang ” . Dari mata air itulah mereka bisa bertahan membikin
kampung, lama – kelamaan menjadi kota, itulah disebut Tumpuk Gunung Rumung, Gumi
Ipah Bawi.
Lama kelamaan bersemarak kemakmuran tumpuk Gunung Rumung hanya sayang
penduduknya tidak sebanyak di Sani Sarunai karena pada musyawarah mencari tempat
perpindahan berpecah pendapat dan mereka pecah bertebaran mengikuti pendapat masing
– masing , seperti yang telah diceritera terdahulu, kelompok Marajahaji berangkat ke arah
timur, kelompok Supak, gantang dan Sangkanak berangkat kea rah Barat dan pasungan
( Sangumang ) , Silu dan Ave, Nalau dan gayuhan membawa kelompok mudik sungai
Barito. Sedangkan Pangunraun Jatuh naik ke Gunung Rumung ini. Itulah kemakmuran,
keramaian di Gunung Rumung, tidak seramai di Sani Sarunai dulu. Disini kembali saya
ceritera kelanjutan kehidupan mereka di Tumuk Gunung Rumung, menurut ceritera
almarhum nenek saya RADEN BUNTU (anak RADEN SUTANEGARA, cucu
RONGGO SUTA UNO ). Nenek saya ini meninggal dunia tahun 1953 di Desa Talekoi.
Kelanjutan ceritera ini sebagai berikut : setelah Pangunraun Jatuh ini merasa cukup kuat
perekonomian mereka hasil dari pertanian mereka, timbul permufakatan, mereka ingin
mengadakan penyerangan balasan jke Negeri seberang ingin mengambil Dara Amas
Tukal Banang, Suraibu Mirah Rawai Wali, yang tertawan oleh serdadu negeri seberang
pada perang Sani Sarunai dulu. Kembali disini perlu saya ceritera ulang pada perang Sani
sarunai, seorang wanita yang cantik sekali bernam Dara Amas Tukal Banang, Suraibu
Mirah Rawai Wali yang tertangkap hidup, dia ini isteri pejabat adat di Sani Sarunai dulu,
dan kepala suaminya dipotong dan dibawa pulang oleh serdadu negeri seberang sebagai
tebusan ( ganti ) komandan mereka yakni Tuan Pudayar yang gugur pada pertempuran
Sani sarunai itu, yang membunuh Tuan Pudayar itu adalah Pasungan (Sangumang)
demikian ceriteranya.
Setelah permufakatan rampung, berangkatlah mereka dengan memamakai kendaraan
yang disebut pada waktu itu Banawa Samau, kendaraan itu mereka buat bersayap,
sehingga di air bisa meluncur, diudara bisa terbang, yaitu setelah peluncuran diair
berkecepatan lebih tinggi dengan sayapnya dia bisa terbang meleset ke udara. Maka dapat
kita renungkan sekarang, bagaimana bentuk kendaran mereka itu. Disini perlu saya
terangkan, manusia dulu tidak makan garam jadi makan mereka ringan – ringan tidak
seperti kita sekarang, adanya manusia Dayak ini bisa makan garam datang dari bawaan
budaya Hindu, manusia asli Dayak belum mengenal garam. Demikian ceriteranya.
Selanjutnya setelah mengarungi lautan luas kadang – kadang meluncur diair, kadang –
kadang meleset terbang maka sampailah mereka pada malam hari.
Langsung Anggar menyerbu benteng pertahanan musuh pada malam itu juga maka
berkatalah Anggar dalam bahasa Janyawai ” Banawa Jawa Nunung Hatumanri, Minau
tahik Uras Galis Kayem, Luwan Nguliungut Tangis Here Jawa, Kala Apen Wanie Daya
Panai Anggar Nyujuk Ieng Malem “. Singkatnya pertempuran berkecamuk, hancurlah
negeri seberang itu. Namun hanya satu pemuda negeri seberang itu yang tidak mempan
senjata dan tetap bertempur melawan mereka. Membentang pinai maleh, Jarang
menghadapi pemuda itu .. engan bahasa Janyawai ” Saluang Ipanrapis Bemeng Umpe
Jumpun Nikulawit, Kaleh Jarang Ahu Ngawuwenseng Ngitus Jawu Pamatang Langit.
Saluang Ipanrapis Bemeng Umpe Jumpun Ni Sikulu, Kaleh Jarang Aku Ngawuwenseng
Ngitus Jawu Pamatang Uwu “ mendengar itu membalas pemuda tadi ” Minai Tuak
Aning Erang Asek Raru anri Wulu, Memai Pangkan Aku Mula Maleh Wuri Datu Hingka
Tane Nansarunai. Tuak Aning Aseh Erang Asek Raru Anri Wulu Wurung , Pangkan
Paning Aku Mula Maleh Wurie Datu Teka Tane Gunung Rumung “. Setelah mendengar
pinai pemuda tadi, berkata Jarang, gencatan senjata sebentar untuk berunding. Setelah
buka perundingan dengan pemuda tadi, mengapa pinai demikian bunyinya ? saya ini anak
Dara Amas Tukal BanangSauraibu Mirah Rawai Wali, yang masih dalam kandungan
almarhum ibu ku, ikut tertawan pada perang Sani Sarunai dulu. Almarhum ibu
menceritakan padaku perang sarunai itu, kepala ayahku dibawa mereka sekarang ada
padaku.
Mendengar perkataan pemuda itu, jarang lalu menangis dan merangkul pemuda itu
sambil berkata, kau ini adik sepupu kami karena ibumu itu bersaudara dengan ibu kami,
kami adalah penyerang dari Gunung Rumung yang asal dari Sani Sarunai yang hancur
itu, mana ibu itu ?. pemuda itu menyahut, aku ini bernama Paning ibuku sudah
meninggal, mendengar perkataan Paning ituJarang mengajak mereka membongkar
kuburan ibu Paning dan tulang belulangnya dikumpul dengan kepala ayah Paning yang
terpenggal dulu dan dibawa beserta adik sepupu mereka ini pulang ke Gunung Rumung.
Demikianlah secara singkat hasil penyerangan mereka ke negeri seberang.
Disini ceritera kehidupan di Gunung Rumung sudah menyerang negeri seberang, setelah
mereka pulang dari negeri seberang mereka kembali mengadakan pembangunan
bermacam – macam bangunan pada masa itu antar lain : Panti, Pantar, Tuga, Tungkup,
Panungkulan, Balai, Parung, Malegai, Balai Pidudusan dan candi. Maka sekarang ada
bukti di daerah Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan
yang disebut Candi Laras. Itu bekas kerajaan Masyarakat Adat pada masa Pangunraun
Jatuh hidup di Gunung Rumung mendekat masa terakhir, kehidupan di Gunung Rumung
para Datuo dan para Dara semakin habis meninggal dunia tinggal para Pangunraun
yakni : Idung, Jarang, Tangkai, Talengo, Iban, Bangkas, Patis, Anyawungan, Anggar,
Paning. Dalam masa yang singkat datang lagi penyerangan dari negeri seberang dibawah
pimpinan Patih Gajah Mada. Dalam pertempuran yang sengit Paning yang tidak ikut
berkelahi dia berusaha mereda pertempuran itu akhirnya dapat ditengahi, sehingga
berdamailah mereka dengan perjanjian :
1. Masyarakat adat masih berhak mengatur tata kehidupan mereka di Gunung Rumung.
2. Masyarakat adat diharuskan membayar upeti setiap tahun ke negeri seberang.
3. Agama Hindu harus diperkenankan berbaur dengan pengaturan adat.
4. Ajaran agama Hindu di bidang tata kenegaraan harus diterima oleh masyarakat
adat.
5. Pengaturan kehidupan berbentuk kerajaan, tapi dibawah kerajaan negeri seberang,
penmgaturanya dibagi tiga :
a. Dibidang agama dan adat istiadat diatur oleh Demang
b. Dibidang pertahanan dan keamanan diatur oleh Tamanggung
c. Dibidang sisial ekonomi, budaya dan lingkungan hidup dan lain – lain diatur oleh
Patinggi.
Setelah diakui bersama permufakatan ini lalu mengangkat sumpah supaya sama – sama
mentaati perjanjian itu karena waktu itu belum ada tulis menulis karena belum ada
pendidikan abjad dan rumah sekolah. Dari hasil musyawarah ini Paning digelar oleh
sudaranya ” Paning helang Ranu, Turus Helang Watang “ setelah selesai mengangkat
sumpah pulanglah Patih Gajah Mada ke negeri seberang dengan meninggal para pendeta
Hindu. Maka berbaurlah adat istiadat dan peraturan yang ditinggal Nini Punyut ( Etuh )
dengan adat istiadat yang diajar agama Hindu. Timbullah tata kemasyarakatan berkasta
( bertingkat ) yaitu tingkat tinggi, menengah dan tingkat rendah, yang antara lain dalam
bahasa Ma’anyan ” Putak Amau ( bangsawan ), Manrama’an ( Maratawan ), Putak Ime
( walah ) yang artinya budak “. Setelah kehidupan masyarakat berkasta atau bertingkat ini
tidak sesuai dengan ajaran Nini Punyut maka mulailah kehancuran Gunung Rumung
karena dalam hati para Pangunraun tidak setuju hidup berkasta itu kerena banyak hak
azazi yang diajar Nini Punyut terlanggar antara lain : Azazi para Walah (budak), suram
oleh para bangsawan oleh karena itu berangsur – angsur (satu demi satu) Gunung
Rumung akhirnya habis menghilang atau dalam bahasa Ma’anyan gaib yang artinya lati
tidak tahu tempatnya maka tidak ada kuburunya. Adapun Damung, Tamanggung,
patinggi yang terakhir memegang pimpinan di Gunung Rumung ini dalam ceritera nenek
dulu yaitu :
1. Damung Mangkurap
2. Tamanggung Jaya Sungkat
3. Patinggi Tambing Baya raya
Setelah para Pangunraun habis menghilang ( Gaib ) berangsur – angsur keadaan Gunung
Rumung mundur lalu mulai perpecahan. Damung Mangkurap membawa sebagian pindah
ke Kayu Tangi di Martapura, Tamanggung Jaya Sungkat membawa sebagian masyarakat
pindah ke Hulu Tabalong yaitu daerah Dayak Bukit Labuhan, mereka disebut Banua
Lima. Patinggi Tambing Baya Raya membawa sebagian masyarakat ke daerah Sungai
Patai yang disebut sekarang Barito Timur. Demikian perpecahan Gunung Rumung
menurut ceritera nenek yang dapat saya uraikan disini.
Jadi yang dibawa Patinggi Tambing Baya raya ini pecah menjadi 3 (tiga) wilayah semula
disebut :
1. Paju Epat
2. Kampung Sapuluh
3. Dayu
Nah diselidiki dari bahasa sangat menetukan, Ma’anyan Banua Lima dan Banjar masih
berasal dari serumpun bahasa karena masih banyak persamaan, jadi dapat saya percaya
ceritera nenek itu mungkin benar suku – suku ini berasal dari 1 (satu) keturunan yaitu
Gunung Rumung.
F. RIWAYAT PATINGGI TAMBING BAYA RAYA MEMBAWA
MASYARAKATNYA KE PATAI SERTA ADAT BUDAYANYA.
Setelah mereka sampai sungai Patai mereka mulai membabat hutan dengan
mengorbankan berbagai binatang peliharaan yang mereka bawa dari Gunung Rumung
antara lain kerbau, babi, ayam dan lain – lain untuk darahnya pengalas tanah air yang
baru mereka masuki ini karena daerah ini hutan belantara. Menurut adat dan aturan yang
diajar Nini Punyut ( Etuh ) dulu waktu mereka pindah dari Laliku Maeh ke Sani Sarunai
dulu harus mengorbankan ternak untuk darahnya mengalas tanah air yang baru mereka
masuki, untuk tanah air yang baru mereka masuki itu bisa memberi ketenangan dan
penghasilan yang melimpah ruah demi kehidupan mereka.
Demikian mereka memulai tata kehidupan ditempat baru ini, mulailah mereka membuat
lading, kebun buah – buahan dan lain – lain dengan bergotong royong bersama – sama
yang disebut ” Anrau Iram Saluk Matu “ serta memulai mengusaha hasil hutan antra lain
rutan diambil untuk bahan anyaman membuat bakul , keranjang, tikar, lampit, lanjung
dan lain – lain guna perlengkapan perkakas rumah tangga. Bakul untuk piring nasi
disebut ” Tana’ihan “” Wange Luen ” dari tempurung juga dibelah dibuat jadi sendok
gulai disebut ” Pisabuk Luen “ dari kayu dibuat (Dibelah) dan bibikin tipis ujung seperti
papan, bulat pangkal untuk sendok nasi disebut ” Waruh “ untuk mengambil air dari kali
atau dari sumur dibuat dari buah kelapa tua, dibikin lobang dimukanya selolos ibu jari
buah kelapa tersebut direndam dalam air sampai hancur membusuk isinya kemudian baru
dibersihkan dibikin tutup bundar kulit kelapa lain dan diberi lobang kecil sepotong
belahan kayu kecil dan panjangnya kira – kira 5 cm, lalu ikat kedua ujung rotan kecil tadi
pada tengah potongan kayu tadi dan masukan kedalam lobang tempurung yang lolos ibu
jari tadi, dan lipatan rotan ujungnya masukan kedalam lobang tutupnya sehingga bisa
dijinjing dari ujung lipatan rotan tadi. Alat pengambil air ini disebut ” Wangku “.
Hasil hutan lainnya antara lain membikin perahu yang seperti sampan (banawa) dipakai
mereka menyeberang dari Gunung Rumung untuk menyerang negeri seberang dulu hanya
perahu ini tidak bersayap, ini adalah alat transportasi air yang disebut ” Jukung “ . Maka
sampai sekarang terkenal jukung patai dan sampai sekarang ramai diperjual belikan
sebagai sumber usaha pertama yang membudaya pada suku masyarakat adat Ma’anyan,
suku lain adalah meniru dari suku ini. Mengenai transportasi darat belum ada kepandaian
selain menjinjing, memikul dan memapak ke punggung dengan kekuatan tenaga. Alat
penerang mereka diambil dari dari damar dihutan dan mereka tumbuk jadi tepungdijemur
sampai kering, dibungkus dengan daun pisang diikat, pangkalnya terbuka ujung atas dan
dibikin memanjang seperti ruas bambu, tempat menyalakannya dibuat papan dari kayu ±
50 cm ditengahnya dipahat lobang 5 cm persegi, dilobang ini didirikan patung ± 40 cm –
50 cm didata patung dibuat lobang lagi ± 4 cm persegi pada lobang ini dimasukan 1
(satu) buah potongan kayu dibelah dua yang panjangnya ± 20 cm – 25 cm sebagai
tanggannya, diantara kedua tangan ini dijepit bungkusan damar tadi baru dinyalakan, ini
disebut ” Jangkaramai “.” Teluk Ma’anyan “ selama 7 hari 7 malam Damung Baning
bertapa dengan rakit gedang pisang yang besar – besar tujuh potong gedang pisang untuk
membuat rakit.
Pada malam ke 7 (tujuh ) angin rebut, guntur petir, hujan lebat, tiba – tiba muncul dari
dalam air diteluk tersebut perlahan – lahan kepala manusia lengkap dengan lawung lawai
semakin lama semakin keluar badannya. Setelah dilihat seorang wanita cantik lengkap
dengan pakaian dukunnya lalu minta disambut oleh Damung Baning, gong tempatnya
duduk dan kangkanung tempatnya berpijak tujuh buah, namun terlepas 2 (dua) hanya 5
(lima) yang sempat diangkat. Itulah asal Agung Garinsingan, Kangkanung Nyiang
Lengan, pusaka orang Dayak Ma’anyan tapi benda tersebut entah dimana sekarang tidak
diketahui tempatnya. Adapun wanita tadi sengaja diberi Dewa Dewi untuk Dukun Balian
Pangunraun, guna melaksnakan adat istiadat yang menyangkut roh tetesan ke lima dan
roh tetesan ke enam dari tanah kejadian dulu ( di Tane Tipak Sulau )
Nama wanita ini ” Gumantartutup “ ayahnya Dewa, Damung Ulin, Uria Rajadina
ibunya, Dewi Bintang Wayang Putri Igal Gamung. Ceritera inilah asal usul Wadian Rama
dan dari pertapaan Damung Baning ini baru mendapat nama Suku Dayak Ma’anyan
sebelumnya disebut Suku Dayak Pangunraun. Sesudah semua mengakui nama sukunya,
Putri Gumantartutup ini mulailah Ma’anyan bertebaran Damung Baning, paris
Mawuyung, Tunjung Aneh Matu, mangku Jaya, ke Paju Epat, Tamanggung Sangar Wasi,
ke kampong sapuluh, Damung jaya Abeh ke Dayu, Ngabe Timpang ke Banua Lima.
Meskipun bertebaran, tetap sukunya Dayak Ma’anyan pada pertengahan penjajahan
Hindu dari Jawa, datang dari Timur Tengah, Uria Pitu ( 7 ) mereka ini panglima perang
dari Timur Tengah sengaja datang untuk mengajar ilmu perang kepada kita. Ilmu yang
diajarkan silat dan ilmu kekebalan terhadap senjata tajam. Uria Pitu ( Panglima Perang )
ini bersaudara sebanyak 7 (tujuh) orang yaitu :
tempurung kelapa untuk tempat gulai disebut Kalau untuk jalan malam tidak bisa
mamakai damar tersebut, tapi diambil teras kayu kering dijemur kering – kering baru
dinyalakan pada malam hari bila mau berjalan ini disebut ” Belun ” tapi kalau di Sani
Sarunai dulu bila mereka mau berjalan malam mereka mencari sepotong kayu rapuk yang
dibalut oleh cendawan sinar yang disebut ” Kulat Kumala ” itu untuk mereka berjalan
malam. Perlu saya terangkan baru setelah mereka di Patai ini mereka mulai mengenal
makan garam karena dibawa oleh pedagang suku Bakumpai di negeri Patai ini, Damung
Baning bertapa disebuah teluk muara Sei Telang dan Siung, teluk yang besar disebut
1. Uria Damung Napulangit, mengajar ke Paju Epat
2. Uria Puneh, mengajar mudik Barito
3. Uria Renda, mengajar ke kampong sapuluh sampai dengan Banua Lima
4. Uria Ratau, mengajar ke Dayu, Paku Karau, Lawangan
5. Uria Biring ( Maholi ), mengajar ke Tabalong, Labuhan, halong, Balangan sampai
dengan Dusun Tumang
6. Uria Bunan, mengajar ke Martapura sampai dengan Banjarmasin
7. Uria Pulanggiwa, mengajar ke Kapuas dan Kahayan
Untuk lebih jelasnya keturunan dari ke tujuh uria diatas, dapat anda lihat pada Jereh
( Silsilah ) keturunan yang saya lampirkan pada buku ini.
Sampai disisni ceritera asal usul Dayak Ma’anyan yang saya ingat dari ceritera almarhum
nenek saya Raden Buntu ( Tu Medan atau Ibu Pananda Ch. Luran ). Nenek ini anak
Raden Suta Negara ( cucu Ronggo Suta Uno ) di kampung Telang Lama, yakni yang
empunya Tamak Mas yang ada di Telang Lama sekarang. Adapun saya yang mengurai
dan sebagai nara sumber ini adalah anak A. Guse adik perempuan dari Ch. Luran (Bp.
Gubib) dan yang membukukan ceritera ini adalah anak M. Ruhini ( cucu dari A. Guse ).
Sejarah Singkat Maanyan
Maanyan adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Kalimantan. Pemukimannya
sekarang meliputi sebagian wilayah utara Propinsi Kalimantan Selatan dan sebagian
wilayah daerah timur Propinsi Kalimantan Tengah yakni didaerah Barito Timur dan
Barito Selatan serta daerah Waruken dan sekitarnya yang termasuk Daerah Tingkat II,
Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan.
Menurut cerita, pemukiman pertama suku ini adalah di tepi sungai Martapura
(Klimbenteng) Kayu Tangi, Marampiau, Tane Karang Anyan serta disepanjang sungai
Tabalong (Benua Lawah) atau Benua Lawas menurut lafal Melayu, masuk sungai
Balangan. Serta menyusuri sungai Barito yakni sungai-sungai Sirau, disekitar Patai dan
aliran sungai lainnya. Tempat ini dikenal oleh suku Maanyan dengan nama Nansarunai.
Wilayah Dialek Bahasa Maanyan
a. Wilayah Benua Lima meliputi :
Jangkung, Hadiwalang, Uwei, Pulau Padang, Kayunringan
b. Wilayah Paju Epat meliputi :
Telang, Siong, Balawa, Murutowo
c. Wilayah Paju Sepuluh meliputi :
Murungkliwen, Pimpingen, Munsit, Harara, Patai, Lasi Muda, Sarabon, Pagar,
Tangkan, Bangi Sampa Tulen.
Sebagai catatan, Bahasa Maanyan memiliki banyak kesamaan dengan
bahasa yang dipergunakan di pulau Madagaskar
Perjalanan Orang Maanyan
Asal usul orang Maanyan dan beberapa pendapat tentang penyebarannya
Orang Maanyan sebagaimana golongan penduduk di Nusantara yakni Sunda, Jawa, Bali,
Batak, Minangkabau dan lainnya, termasuk dalam rumpun penduduk Austronesia.
Menurut dugaan, mereka berasal dari Hindia Belakang, sekitar 2000 tahun SM, serta
berdiam di wilayah Nusantara ini secara khusus dibagian selatan pulau Kalimantan .
Mereka berlayar dengan menggunakan perahu yang besar disebut Sambau/weta/banawa.
Kelompok yang melakukan pelayaran itu, adalah dari satu keturunan.
Dengan menggunakan sambau tadi, kelompok ini melakukan pelayaran dilaut, dengan
tujuan yang belum pasti. Yang jelas tujuan mereka itu adalah ke arah selatan. Sebagai
pedoman untuk menentukan arah dilaut, mereka bisa membaca gerak bintang dan bulan
pada malam hari, serta sewaktu siang hari untuk menentukan arah perahu mereka.
Bintang Salib Selatan atau Krux yang terlihat pada bulan Maret dikaki langit sebelah
timur pada sore hari, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore
hari dikaki langit sebelah barat pada bulan September.
Bintang Orion, Taurus dan Peades yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur
pada bulan Desember, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore
hari dikaki langit sebelah barat pada bulan Mei.
Bintang Aquilla, Vega dan Lira yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur
pada bulan Juni, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam dikaki langit
sebelah barat pada sore hari pada bulan November.
Penyebaran orang Maanyan dari Hindia Belakang, memilih berangkat pada bulan April
sampai bulan Oktober, karena cuaca pada saat itu cukup baik untuk mengadakan
pelayaran. Waktu siang hari cuacanya terang untuk melihat matahari, serta dimalam hari
cuacanya cukup cerah untuk melihat bulan dan bintang, sebagai pedoman menentukan
arah.
Dalam pelayaran mereka ke Nusantara orang Maanyan melalui Teluk Tongkin, terus
mengarungi Laut Cina Selatan dan menyusuri pesisir pantai Semenanjung Malaka.
Kemudian masuk Laut Jawa bagian utara seterusnya masuk Selat Madura dan akhirnya
mendarat di pantai Gresik, yang dalam lafal orang Maanyan menjadi Garasik.
Akan tetapi kehidupan di wilayah ini sudah ada, sehingga mereka sulit berintegrasi
dengan penduduk setempat, lalu kelompok ini bergerak lagi kearah utara dan akhirnya
membuka tempat pemukiman baru di pulau Kalimantan bagian selatan. Di tempat mereka
yang baru ini, mereka mengadakan pemukiman dengan kehidupan yang baru pula.
Sebagaimana layaknya kelompok anggota masyarakat lainnya, mereka juga mempunyai
tempat tinggal yang menetap. Dibagian selatan pulau Kalimantan mereka tetapkan
sebagai daerah pemukiman baru, untuk mengganti tempat asal mereka di Hindia
Belakang. Adapun wilayah orang Maanyan itu ialah : Tane Karang Anyan, Tane
Karangan Lala atau Liang Anggan, Kayu Tangi, dan Gunung Pamaton.
Di daerah mereka yang baru tersebut mereka jadikan sebagai pemukiman yang tidak
mengalami perpindahan, sebab wilayah ini masih belum ada penduduknya. Hal itu
memungkinkan mereka berusaha untuk mengadakan adaptasi dengan lingkungan baru
serta kehidupan yang baru pula. Kelompok masyarakat yang bermukim dibagian selatan
pulau Kalimantan itu, termasuk kelompok yang berbahasa Austronesia. Hal ini
disebabkan cara mengucapkan bahasa-bahasa yang sama, dapat digolongkan bersama
dengan bahasa-bahasa Indonesia, Filipina, Taiwan dan Madagaskar di lepas pantai timur
Afrika.
Sedangkan kalau dilihat dari segi keadaan fisik, penduduk yang mendiami pulau
Kalimantan, secara khusus orang Maanyan dapat digolongkan kedalam Malayan
Mongoloid. Orang Maanyan selain mendiami pulau Kalimantan, mereka juga mendiami
pulau Madagaskar dilepas pantai tumur Afrika.
Ada dua pendapat tentang keberadaan orang Maanyan di pulau Madagaskar.
Pendapat Pertama : Orang Maanyan berada di pulau Madagaskar karena perahu mereka
terpisah dilautan sewaktu menuju kepulauan Nusantara.
Berdasarkan pendapat para ahli linguistik, pernah memperhitungkan dengan metode-
metode lexico-statistik bahwa bahasa maanyan di Kalimantan terpisah dari lain-lain
bahasa Indonesia bagian barat, kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Para ahli tersebut
berpendapat bahwa sewaktu orang Maanyan berlayar menuju arah selatan perahu mereka
terkena serangan angin ribut, sehingga sebagian menuju pulau Kalimantan dan sebagian
lainnya terdampar di pulau Madagaskar.
Gabriel Ferrand berpendapat bahwa sebelum abad pertama Masehi banyak datang orang-
orang negro Bantu dari benua Afrika lalu menetap di Madagaskar.
Kalau pendapat para ahli linguistik dan Gabriel Ferrand itu benar, tentunya orang
Maanyan dan orang-orang Negro Bantu banyak menyebar ke segala penjuru pulau.
Sedangkan dalam kenyatannya pada abad ke-15, ketika bangsa Portugis datang ke pulau
Madagaskar orang Maanyan atau suku Merina hanya berpusat disatu tempat yaitu
ditengah-tengah pulau dan orang-orang Negro Bantu bermukim pada sepanjang pantai
sebelah barat dan selatan pulau Madagaskar, ditambah beberapa suku lainnya.
Berdasarkan hasil galian arkeologi yang dilakukan oleh Neville Chittick, pada sebuah
kuburan tua milik orang kaya dari masyarakat Islam di Iharana dekat kota Vohemar yang
modern terletak disebelah timur-laut pulau Madagaskar, telah ditemukan mata uang emas
dari zaman Kalifah Fatimah abad ke-10 dang kepingan uang emas dari abad ke-12.
Dari hasil galian arkeologi itu, diketahui pada abad ke-10 menjelang abad ke-12 atau
pada awal ke-13, orang-orang Negro Bantu dan suku-suku lainnya datang secara
bergelombang ke pulau Madagaskar hingga memasuki abad ke-15.
Raymont Kent, seorang ahli sejarah bangsa Amerika, berpendapat bahwa orang-orang
Negro Bantu yang ada di pulau Madagaskar sebagian berasal dari para budak dan yang
lainnya berasal dari masyarakat umum yang bukan keturunan budak.
Orang-orang Negro Bantu asal Sofala dan pantai timur benua Afrika bermigrasi ke pulau
Madagaskar, karena tertarik oleh cerita-cerita para pedagang bangsa Arab yang pulang
pergi ke pulau tersebut akan kesuburan tanahnya.
Keterangan lain yang diperoleh dari seorang ahli ilmu bumi bangsa Arab asal Baghdad,
bernama Al-Mas'udi bergelar Abu'lhasan yang telah datang ke pulau Madagaskar pada
tahun 930 dan tahun 940, meninggal dunia dalam tahun 956, tidak pernah menyebutkan
bertemu dengan orang Maanyan atau orang-orang dari kepulauan Nusantara lainnya serta
orang-orang Negro Bantu yang telah bermukim di pulau tersebut.
Selain daripada itu tidak pernah terdengar adanya perang suku diantara beberapa suku
bangsa yang ada di pulau Madagaskar sampai abad ke-18. Perang suku atau perang antara
kerajaan-kerajaan kecil di pulau itu mulai timbul setelah raja Merina yang bernama
Andrianampoinimerina naik tahta pada tahun 1787.
Raja Andrianampoinimerina ingin mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
pulau tersebut didalam kesatuan kerajaan Merina. Kebijaksanaannya itu kemudian
diteruskan oleh raja Radama I yang bertahta dari tahun 1810-1828.
Pendapat Kedua : Orang Maanyan pelopor penyeberangan ke pulau Madagaskar.
Otto Christian Dahl, dalam bukunya Malgache et Ma'anyan une Comparasion
Linguistique tahu 1951, dalam kesimpulannya mengatakan bahwa orang Maanyan datang
dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 400.
Roland Oliver dan Brian M.Fagan, dalam bukunya Africa in the Iron Age tahun 1978,
mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun
945-946, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik.
Dari syair-syair dalam tembang tradisional orang Maanyan kuno yang dinamakan tomet-
leot, mereka telah menemukan sebuah pulau yang sepi tidak berpenduduk, lalu mereka
namakan pulau itu Tane Punei Lului. Dalam syair-syair tomet-leot tersebut dijelaskan
juga petunjuk tempat-tempat yang harus dilewati ketika mengadakan pelayaran menuju
ke pulau Madagaskar.
Kalau kita tinjau keadaan di Nusantara pada tahun 400, maka waktu itu di Kalimantan
Timur berdiri sebuah kerajaan Hindu dengan rajanya yang pertama bernama
Mulawarman.
Boleh jadi waktu itu ada orang India atau orang beragama Hindu singgah di Kalimantan
Selatan lalu memberitahukan bahwa ada kerajaan Hindu baru berdiri di Kalimantan
Timur. Berita itu membuat orang orang Maanyan yang masih kuat menganut kepercayaan
terhadap roh para leluhur merasa akan tersingkir, sehingga sebagian dari mereka yang
masih berjiwa petualangan, mencoba mencari tempat pemukiman baru di luar
Kalimantan Selatan dan pada akhirnya menemukan pulau Madagaskar.
Mungkin beberapa tahun kemudian, mereka yang mengadakan petualangan itu kembali
ke pulau Kalimantan lalu mengetahui bahwa raja Mulawarman tidak bersifat agresif
untuk memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga orang-orang Maanyan yang ada di
Kalimantan Selatan tidak perlu merasa khawatir.
Tetapi kerajaan Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa
Barat hingga Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang
terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929-947, maka orang Maanyan yang ada di
Kalimantan Selatan sebagian mengadakan evakuasi ke pulau Madagaskar yang telah
mereka ketahui letaknya, dari tahun 945-946.
Kepergian mereka itu untuk menghidari kemungkinan serangan Sriwijaya yang pada
akhirnya sampai juga ke pulau Kalimantan bagian selatan. Masyarakat lainnya karena
sayang meninggalkan harta miliknya berupa kebun buah-buahan dan lain-lainnya, tetap
bertahan walau bagaimanapun yang akan terjadi.
Dari pulau Kalimantan bagian selatan mereka berlayar menyusuri Tanjung Silat, masuk
selat Bali, terus menyusuri lepas pantai selatan pulau Jawa. Setelah lepas dari ujung pulau
Jawa, perahu mereka sebagaimana perahu pendahulu mereka, yaitu para petualang pada
abad ke-1, terbawa arus khatulistiea (summer aquatorial current) di lautan Hindia.
Dengan terbawa arus khatulistiwa tersebut mereka pada akhirnya sampai ke pulau
Madagaskar. Ditempat yang baru itu mereka memulai membuat pemukiman serta
kehidupan dan penghidupan yang baru pula serta beradaptasi dengan alam lingkungan
yang baru.
Karena cara bertani mereka lakukan masih dengan cara perladangan yang berpindah-
pindah, sehingga akhirnya mereka sampai pada bagian tengah pulau tersebut.
Perjalanan waktu membuat orang Maanyan Madagaskar atau dikenal orang Merina,
zaman raja Radama I, telah menerima kedatangan Zending yang dibawa oleh INggris ke
pulau tersebut, sehingga membuat kemajuan yang berarti bagi kelompok mereka,
dibandingkan dengan suku-suku lainnya di pulau tersebut.
Cilik Riwut dalam bukunya Kalimantan Membangun, menyebutkan bahwa di
Madagaskar ada orang Maanyan dan di Indragiri terdapat orang Banjar.
Walaupun hubungan antara orang Maanyan Madagaskar dan orang Maanyan Kalimantan
tidak lagi berjalan seperti dahulu kala, akan tetapi sering touris asal Madagaskar apabila
berkunjung ke Indonesia selalu bertanya dimana letak Pulau-Patai dan daerah-daerah
lainnya, karena Kalimantan Selatan adalah tempat asal nenek moyang mereka.
Pada tahun 1984, pernah diminta alat-alat kesenian tradisional milik suku dayak Maanyan
melewati Biro Perlengkapan Departemen Luar negeri, yang pada waktu itu dijabat oleh
Bapak Rusli Djohari, Bc.Kn.
Dengan adanya pengiriman alat-alat kesenian tradisional terebut diharapkan akan mudah
mengadakan komunikasi dengan anggota masyarakat secara umum, khususnya antara
suku Merina dari Madagaskar dengan suku dayak Maanyan ynag ada di Kalimantan
sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Apabila hubungan bisa terjalin kembali maka akan mudah mengadakan tukar menukar
pikiran serta pandangan mengenai adat-istiadat, sosial budaya, hukum serta struktur
kemasyarakatan dan lain sebagainya, antara anggota masyarakat suku dayak Maanyan
dengan suku Merina yang ada di pulau Madagaskar.
Dengan terjalinnya hubungan yang baik, akan lebih banyak bisa dipelajari latar belakang
kedua suku ini.
Sejarah Lahirnya Ijambe
Bahwa di Nansarunai (diperkirakan daerah Kalimantan Selatan) ada sebelas orang tokoh
dan mereka ini mengadakan hubungan dengan daerah seberang.
Kesebelas tokoh tersebut adalah :
1. Ambah Jarang/Datu Taturan Wulan bergelar Miharaja Papangkat Amas dengan
istrinya Dara Gansa Tulen bergelar Suraibu Agung Pahur Langit. Putera mereka
bernama Jarang, bergelar Dambung Lamuara Datu Gahanuluan.
2. Ambah Idung/Datu Nuluh Wamban bergelar Miharaja Tinyau Laut dengan
istrinya Dara Babar Wunrung bergelar Suraibu Dadamparan Manyang. Putera
mereka bernama Idung bergelar Dambung Ilap Nyilu, Patis Payung Andrau.
3. Datu Bias Layar bergelar Miharaja Tampi Dagang, dengan istrinya Dara
Ngumpani Banang bergelar Suraibu Mubai Kapas. Putera mereka bernama
Dambung Panding bergelar Raden Siak Gansa Purun.
4. Datu Pantahala Langit bergelar Miharaja Kabeh Lalan Andrau, dengan istrinya
bernama Dara Pansu Kasa bergelar Suraibu Turus Ranan. Putera mereka bernama
Mantir Kaki bergelar Ratu Ngaluh Langit.
5. Datu Garinsingan bergelar Miharaja Handak Lala dengan istrinya bernama Dara
Pansu Amas bergelar Suraibu Wulan Tunyung. Putera mereka bernama
Anyawungan bergelar Dambung Anya Gunung bergelar Ratu Guruh Langit.
6. Datu sangan Langit bergelar Miharaja Tutuyan Andrau dengan istrinya bernama
Dara Sundra Undru bergelar Suraibu Tumiasan Wulan. Putera mereka bernama
Anggar bergelar Dambung Lampang Dinei bergelar Gandamean Sinsing.
7. Datu Dauh Langit bergelar Miharaja Nantur Lalan Andrau dengan istrinya
bernama Dara Lancir Ganda bergelar Suraibu Mangatekang lengan. Putera
mereka bernamaPapak Ranggen Limbun bergelar Ratu Agung Mansing.
8. Datu Papusuk Langit bergelar Miharaja Sungkul Lalan Andrau dengan istrinya
bernama Dara Babar Wunge bergelar Suraibu Pangilewu Amas. Putera mereka
bernama Dambung Bakas Maleh bergelar Ratu Nyalur Langit.
9. Datu Mangkarean bergelar Miharaja Puput Wawun Tangun dengan istrinya
bernama DaraPansu Lumiang bergelar Suraibu Wulan Lalung. Putera mereka
bernama Dambung Bakas Maleh bergelar Punsu Raya Gunung.
10. Datu Punyut Tulusan bergelar Miharaja Gunung Lansir dengan istrinya Apen
Katurak Wawei bergelar Suraibu Ine Jawen Piutandrik. Putere mereka bernama
Mantir Talengu bergelar Ganda Papan Wewei.
11. Datu Masa Liau bergelar Miharaja Meru Ingkai, dia ini beristri dua :
• Istri pertama ; Dara Tamuruk Unsu bergelar Diang Hamai Panuluan. Putera
mereka bernama Dambung Tengki Maleh bergelar Ratu Guruh Raya.
• Istri kedua ; Apen Piteng bergelar Wawei Mapait Nanam. Putera mereka bernama
Dambung Kanurung bergelar Ratu Agung Meru.
Pada waktu itu ada seorang suami istri berdagang ke Nansarunai, dan pada waktu itu
tepat musim kemarau panjang sehingga tidak bisa kembali keseberang sedangkan si istri
terpaksa ditinggalkan sementara di Nansarunai.
Akibat dari kemarau panjang ini maka semua sungai dan sumur menjadi kering. Pada
waktu itu ada seorang tokoh Nansarunai yang bernama Ambah Jarang mempunyai
sebuah sumur dan hal ini tak seorangpun mengetahuinya. Tetapi si istri tuan Panayar
(yang ditinggalkan suaminya keseberang) tersebut memelihara burung "Winsi" dan dia
melihat setiap "Winsi" pulang selalu basah bulunya bekas mandi air. Sehingga
berdasarkan petunjuk burung inilah maka si istri tuan Panayar mengikuti kemana saja
burung itu terbang yang akhirnya sampailah ke sebuah sumur yang penuh dengan air
yang jernih dan tenang.
Suatu ketika Ambah Jarang yang mempunyai sumur itu melihat ada wanita cantik yang
mengambil air di sumurnya maka ditangkapnyalah si wanita itu lalu dijadikan istrinya.
Ketika suami (Tuan Panayar) datang dari seberang dengan maksud mengambil istrinya,
tetapi dia terkejut karena istrinya sudah diambil ke Nansarunai dengan membawa
serombongan orang-orang untuk menyerang tokoh-tokoh Nansarunai. Dan akhirnya ke-
10 tokoh Nansarunai tewas semua yang kemudian peristiwa ini dikenal dengan nama
Nansarunai Usak Jawa yang artinya Nansarunai diserang dari/oleh orang dari seberang.
Hanya satu orang yang bernama Datu Garinsingan bergelar Miharaja Handak Lala yang
berhasil hidup dan bersama ke-12 putera ke daerah pegunungan. Ke-12 putera ini dikenal
selaku 12 kesatria yang disebut "Pangundraun". Setelah ke-12 kesatriai ni cukup dewasa
mereka kembali ke Nansarunai. Dan mereka merebutnya kembali.
Tetapi Nansarunai yang mereka rebut kembali itu sudah hancur, porak-poranda. Dari ke-
12 kesatria ini yang menjadi sangat terkenal dan selalu terdapat dalam nyanyian para
Hiyang wadian ialah Idung bergelar Dambung Ilep Nyilu, Patis Payung Andrau dan
Jarang bergelar Dambung Lamuara, Ratu Gahanuluh dan Dambung Panding bergelar
Raden Riak Gansa Purun. Dikalangan suku Dayak Maanya Paju IV yang bernama
Dambung Panding bergelar Raden Riak Gansa Purun tidak diakui sebab dia kawin
diseberang sewaktu mereka menuntut balas.
Setelah berhasil merebut kembali Nansarunai barulah orang mulai mengumpulkan
tulang-tulang dari tokoh Nansarunai yang mati dalam pertempuran sewaktu Nansarunai
Usak Jawa. Pada saat ini seorang tokoh adat yang disebut dengan Mawuntu mengatakan
bahwa mayat atau kerangka tulang yang tidak mempunyai tengkorang tidak dapat di
"Ijambekan", tetapi ada yang berpendapat bisa dilaksanakan Ijambe.
Dari peristiwa inilah lahir beberapa jenis upacara kematian suku dayak Maanyan. Sampai
saat sekarang dikenal adalah Mi'a, dan Ngadaton pada suku dayak Maanyan Paju X dan
Ijambe pada suku dayak Maanyan Paju IV. Dalam bahasa dayak Maanyan, Ijambe ini
disebut dengan Gawe Baukangumbang Kungkanbaraus Gurun. Dan Mi'a atau
Ngadaton disebut dengan Gawe Bakurung Kunsi, Kungkan Miaduh Dalam.
Peninggalan Purbakala Maanyan atau Peninggalan Kerajaan Nansarunai
dan Majapahit didaerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Selatan
Versi lengkapnya dari Peninggalan Purbakala Maanyan oleh Sutopo Ukip:
1.Di kota Banjarmasin terdapat peninggalan purbakala orang Ma'anyan :
• a. Sebuah tonggak kayu yang dinamakan "Hujung Panti", gunanya ialah tempat
orang Ma'anyan kuno memandikan anak untuk pertama kalinya disungai yang
disebut Mubur Walenon. Tonggak kayu itu dipakai hingga abad ke-14, terletak
disebelah barat laut kota Banjarmasin.
• b. Di km 3, masuk sejauh 800 m kekiri jalan arah ke kota Martapura, terdapat
sebuah tempat dinamakan Pangambangan. Pada daerah seluas 1 ha, terdapat
permukaan tanah yang bersih, karena tidak terdapat satupun pepohonan yang bisa
tumbuh. Diduga disitulah tempatpemukiman orang Ma'anyan yang pertama yang
dipercaya oleh mereka, sebagai bekasbangunan Balai-Adat hingga abad ke-16.
2. Kebun buah-buahan yang dinamakan Pulau Banyar Kayutangi, tempat pemukiman
orang Ma'anyan hingga awal abad ke-16. Disini masih terdapat tiang-tiang bekas rumah
kuno, terbuat dari kayu besi yang masih tersisa sampai sekarang, terletak 24 km dari kota
Banjarmasin ke arah lapangan terbang Syamsuddin Noor.
3. Tempat ditemukan Balontang dan makam kuno dari kayu besi terletak di Liang
Anggang. Balontang dalam adat orang Ma'anyan adalah sebagai simbolis arwah orang
sudah meninggal yang diadakan pesta adat secara sempurna.
4. Gunung Paramaton atau gunung Madu_manyan, tempat penyimpanan pusaka kerajaan
Nansarunai, sesudah dapat dirampas kembali dari Tanjung Negara, atau Banjarmasin
pada tahun 1362.
5. Di kota Martapura terdapat Balontang dan sumur kuno yang dinamakan sumur pahit,
peninggalan orang Ma'anyan hingga abad ke-14. Sewaktu penggalian saluran pengairan
dari waduk Riam Kanan ke arah Banjar Baru terdapat kuburan kuno orang Ma'anyan
yang dipakai hingga abad ke-16.
6. Disuatu tempat didaerah Burung-Lapas; di km 24 dari Martapura ke arah Rantau, 150
m kanan jalan antara Martapura dan Binuang terdapat sebuah gua dan tanah yang sedikit
ditumbuhi pepohonan. Diduga tempat itu adalah bekas pemukiman yang disebut
Nansarunai hingga abad ke-13, dan belum mengenal pemerintahan raja. Sesudah
Nansarunai dipindahkan ke Banua Lawas baru timbul pemerintahan dalam bentuk
kerajaan serta lahirnya hukum adat yang dipakai oleh orang Ma'anyan hingga sekarang.
7. Daerah yang dinamakan pulau Kadap, yaitu tempat pemusatan prajurit-prajurit
Nansarunai, sebelum perang Nansarunai kedua tahun 1362.
8. Di daerah Margasari, terdapat candai Laras tempat pemujaan agama Hindu Syiwa, dari
kerajaan Daha dari abad ke-14, hingga abad ke-16. Disini terdapat juga sebuah patung
batu, berupa ujud kepala babi sebagai prasasti yang dibuat oleh orang Ma'anyan tahun
1362.
9. Kota Negara, adalah tempat pemukiman bekas prajurit-prajurit Majapahit, terdiri dari
orang Majaphit sendiri, orang Madura, orang Bugis dan orang-orang Nansarunai, setelah
selesai perang Desember 1362, disini terdapat :
• a. Para pandai besi yang ahli dalam pembuatan kapal-kapal serta peralatan rumah
tangga lainnya.
• b. Para ahli pembuat tembikar, kenong, gamelan dan gelang untuk tarian wadian
Bawo dan wadian Dadas. Khusus untuk gamelan mereka buat memakai lima
nada, yaitu do, re, mi sol dan la ialah nada-nada yang dipakai oleh orang
Ma'anyan dalam musik.
• c. Terdapat sebuah sumur kuno yang airnya berwarna merah, sebagai prasasti
peristiwa perang Desember 1362.
10.Di kota Amuntai, terdapat candi Agung yaitu tempat pemujaan agama Hindu Syiwa
pada abad ke-14 hingga abad ke-16 dan Tambak Wasi, yaitu tempat pembakaran mayat
para prajurit korban perang Nansarunai pertama tahun 1358.
11. Bertempat di Banyu Hirang, diselatan kecamatan Danau Panggang terdapat :
• Beberapa kuburan massal yang dinamakan Tambak yaitu tempat penguburan para
prajurit Nansarunai dan Majapahit korban perang Desember 1362.
• Pada tahun 1953, pernah ditemukan oleh penjala ikan yang bernama Abdullah
Wahab sebuah tiang kapal tertimbun lumpur sedalam sekitar 1 m dari permukaan
air. Jalannya tersangkut pada tiang kapal yang belum dia ketahui sejarahnya.
Tempat ia menjala ikan tersebut yaitu sebuah danau yang dinamakan Telaga
Silaba, di selatan Kabupaten Hulu Sungai Utara.
12. Di Pasar Arba atau Banua Lawas, adalah tempat kerajaan Nansarunai dari tahun
1309-1358, disini terdapat peninggalan kuno antara lain :
• Makam raja Raden Anyan atau terkenal dalam sejarah tulisan orang Maanyan
mereka sebut Am'mah Jarang. Terletak dibelakang masjid tua Banua Lawas.
• Sumur Tua tempat Raden Anyan gugur ditumbak oleh Laksamana Nala tertutup
lantai mesjid.
• Pohon Kamboja besar-besar, sebanyak tujuh pohon, terletak di belakang mesjid
tua tersebut, sebagai peringatan moksanya tujuh orang putera Raden Anyan yaitu;
Jarang, Idong, Pan'ning, Engko, Engkai, Liban dan Bangkas.
• Terdapat sebuah sumur tua sekitar 1 km arah barat kota kecamatan Banua Lawas
yang disebut Sumur Am'mah Jarang, nama kecil Raja Raden Anyan,digunakan
khusus bagi anggota keluarga kerajaan Nansarunai.
• Kain Sindai yang terdapat didalam mesjid tua itu juga berasal dari tenunan India
yang dibeli ketika perdagangan masih berlangsung dari Kalimantan Selatan
hingga pulau Madagaskar dilepas pantai timur benua Afrika.
• Benda kuno lainnya seperti piring celedon, gong, kenong, guci tempat
pengawetan daging cara tradisional Maanyan yang disebut Wadi, gendang
panjang yang dinamakan katammu'ng sudah diamankan oleh pihak kebudayaan
setempat.
• Di halaman masjid tua tersebut terdapat dua buah tempayan kuno yang dipakai
untuk keperluan menyimpan air wudhu.
• Terdapat sebuah Lewu Hiyang disebelah kanan serambi depan masjid. Lewu
Hiyang tempat menaruh sesajen kepada roh para leluhur sewaktu pesta adat
bontang.
13. Di danau Maunna'n adalah tempat penyimpanan pusaka kerajaan Nansarunai, berupa
tiang sokoguru balai adat yang terbuat dari emas, patung emas berbentuk anak laki-laki
dan perempuan yang sedang menari yang masing-masing bernama amas Bakukanrik
amas Bakukanrau serta sebuah lesung emas. Terdapat pula sebuah prasasti dari kayu besi
sebagai tanda atau peringatan penggabungan agama Hindu Syiwa dan kepercayaan
terhadap roh nenek moyang orang Maanyan.
14. Di sungai Banyu Landas dekat Pasar Panas, terdapat sebuah perahu kuno yang belum
jelas siapa pemiliknya, apakah kepunyaan orang Nansarunai atau kepunyaan orang
Majapahit
15. Di desa Bagok atau yang dahulu disebut Hadiwalang terdapat barang-barang kuno
dari bahan pecah belah dibawa oleh pangeran Panni'ngatau Patih Raja Muda ketika
selesai perang Nansarunai.
16. Di desa Jangkung terdapat barang kuno yang dibawa oleh Uria Pulang Giwa pada
tahun 1358. Di desa ini terdapat banyak Balontang yang menandakan bahwa di desa ini
dahulu pernah menjadi pemukiman orang Maanyan yang disebut dengan Maanyan
Jangkung.
17. Dahulu dikampung Bentot, yang dahulu dinamakan Kayunringan terdapat sebuah
perahu kuno yang dinamakan oleh penduduk setempat adalah perahu Nahkoda Jamuhala.
Jamuhala adalah nahkoda kapal dagang Nansarunai yang gugur dalam perang Nansarunai
pertama tahun 1358. Perahu tersebut diduga dapat meloloskan diri dari peperangan
hingga terdampar dihulu sungai Patangkep.
18. Di desa Ja'ar terdapat beberapa buah peninggalan kuno antara lain :
1. Sebuah perahu kuno yang terletak dihutan Mabeje, sekitar 4 km arah timur laut
desa Ja'ar. Perahu kuno tersebut oleh penduduk Ja'ar dikatakan adalah kepunyaan
saudagar Keling dari Majapahit yang menjual piring celedon, mangkok, boli-boli,
dapur dari tembikar, tempat menanak nasi dari tembikar yang dinamakan oleh
penduduk Kabali dan tempat menanak sayur, juga dari tembikar yang dinamakan
Janga. Perahu itu kandas ketika terjadi gempa tektonik pada tahun 1379, yaitu 21
tahun sesudah perang Nansarunai pertama, tahun 1358.
2. Terdapat sebuah batu besi yang dinamakan oleh penduduk Sangar-Jatang,
kemungkinan adalah dupikat Wato-sekelika dari Madagaskar.
3. Terdapat makam Puteri Mayang Sari yang dikeramatkan oleh penduduk karena
puteri tersebut adalah puteri tunggal Sultan Suriansyah atau raja Mata Habang
atau Panembahan Batu Habang yang ditugaskan oleh sultan untuk menjadi
penguasa didaerah orang Maanyan.
19. Pada tahun 1987, di desa Haringen 3 km utara Tamianglayang, telah ditemukan
barang-barang kuno berupa tembikar dan barang pecah belah lainnya yang merupakan
warisan dari kerajaan Nansarunai yang dibawa oleh Patih Raja Panantang.
20. Di sungai Murutowo, terdapat sebuah perahu kuno yang dikatakan oleh penduduk
setempat perahu Nahkoda Jamuhala.
21. Di desa Dayu terdapat sebuah gong besar yang dikatakan oleh penduduk setempat
adalah peninggalan Puteri Junjung Buih ketika puteri tersebut datang untuk memberi
petuah tentang adat untuk duka cita dan adat untuk suka cita pada masyarakat Kampung
Sepuluh, dan Banua Lima pada pertengahan abad ke-16. Menurut legenda asal Puteri
Junjung Buih timbul dari pusaran air di Tanjung Marabahan berupa anak perempuan
kecil didalam perut dua gong yang ditangkupkan.
22. Dahulu sungai Ayuh terdapat tempat penyimpanan batangan emas kepunyaan
kerajaan Nansarunai.
23. Di sungai Mukut dekat desa Jangkang 6 km arah timur Muarateweh terdapat sebuah
perahu kuno terbuat dari tembaga lebar 40 cm dan panjang 100 m. Perahu tersebut
kepunyaan pedagang cina yang salah masuk ketika menuju ke Nansarunai pada abad ke-
14.
24. Dahulu sungai Toto atau Tabalong Kiwa terdapat sebuah perahu kuno disuatu tempat
yang disebut penduduk setempat Man. Tempat itu adalah persembunyian Pangeran
Jarang dan Idong sewaktu perang 1358.
Balai Adat Jadi Lambang Persaudaraan Orang Maanyan, Banjar dan
Madagaskar
Sebuah Mesjid kuno berusia hampir lima abad saat ini masih berdiri dengan tegar di
kawasan Pasar Arba, ibukota Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan atau berjarak 16 km dari kota Amuntai.
Mesjid itu didirikan tahun 1528, oleh seorang Mubalig suku Dayak Maanyan bernama
Labai Lamiah. Ia berasal dari daerah Martapura yang telah mendapat kursus kilat tentang
agama Islam.
Bangunan itu berbentuk joglo, sebab sewaktu mendirikannya Labai Lamiah mendapat
petunjuk dari para ulama asal Demak, Banten dan Aceh.
Ulama-ulama itu rupanya datang bersamaan berkenaan dengan kemenangan Pangeran
Samudera melawan pamannya Raden Datu Tumenggung hari Rabu 24 September 1526,
di Jengah Besar tidak jauh dari kota Banjarmasin sekarang.
Menurut penduduk setempat dan penuturan orang-orang Maanyan, serta dari generasi ke
generasi berikutnya, dahulu disana pernah berdiri sebuah kerajaan orang Maanyan.
Raja dan rakyatnya, masih percaya terhadap roh para leluhur dan kerjaan itu mereka
namakan Nansarunai. Dinamakan Nansarunai, sebab rakyatnya gemar menari dan
menyanyi dengan iringan alat musik yang dominan, berupa suling berlobang tujuh buah
yang dinamakan serunai.
Dalam lafal orang Maanyan menjadi Sarunai. Sedangkan kata Nan mungkin berasal dari
bahasa Melayu, berarti yang. Sehingga Nansarunai , berarti sebuah kerajaan dimana raja
dan rakyatnya yang gemar bermain musik. Kerajaan berdiri pada tahun 1309 dengan raja
pertama Raden Japutra Layar.
Selain bermain musik tari dan nyanyi, mereka juga gemasa main sepak takrau, pesta adat
dan mengadu ayam jago. Ayam jago diadu dalam sebuah kandang berukuran 3 kali 3
depa yang disebut Manguntur, bertempat di sebuah lapangan terbuka.
Manguntur itu bisa dibangun beberapa buah, agar suasana menjadi lebih meriah, terutama
kalau salah satu dari dua ayam jago aduan itu mendapat kemenangan.
Sebelum diadu kedua ayam jago itu dipersenjatai lebih dahulu dengan sebuah pisau kecil
yang disebut taji. Orang Maanyan kuno, mengetahui tuah tiap-tiap ayam jago aduan, dari
jenis warna bulu-bulunya. Misalnya jenis Lahe, Wido, Biring dan sebagainya, masing-
masing membawa tuah sendiri-sendiri.
Raja menempati rumah yang disebelah kanan kirinya diberi ruangan disebut Anyu'ng.
Sedangkan untuk pesta adat ada sebuah balai adat yang disebut Jaro Pirarahan.
Kehidupan rakyatnya makmur, disebabkan mereka mengadakan perdagangan sampai ke
Indragiri, Majapahit, Sulawesi Selatan dan bahkan Madagaskar.
Barang dagangan yang mereka bawa keluar antara lain kayu besi, getah, damar, rotan,
madu lebah hutan dan lain-lain. Ada juga pedagang dari luar yang datang ke Nansarunai
seperti saudagar keliling dari daerah Kediri di Majapahit. Pedagang-pedagang keliling
inilah yang melaporkan ke Majaphit bahwa ada sebuah kerajaan di pedalaman aliran
sungai Tabalong, dimana rakyatnya bersifat riang suka bermain musik, tari dan nyanyi.
Waktu itu komposisi ethnis di Kalimantan Tenggara terdiri dari Maanyan, Lawangan,
Bukit dan Bakumpai.
Menyamar
Tahun 1350, Laksamana Nala mengadakan ekspedisi ke Nansarunai dengan menyamar
sebagai nahkoda kapal dagang. Di Nansarunai ia memakai nama samaran Tuan Penayar
dan bertemu dengan Raja Raden Anyan, bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja
Papangkat Amas, serta Ratu Dara Gangsa Tulen.
Laksaman Nala sangat kagum melihat begitu banyak barang-barang terbuat dari emas
murni, ketika ia dipersilahkan untuk melihat-lihat perlengkapan pesta adat di ruangan
tempat bermusyawarah. Yang sangat dikagumi oleh Laksamana Nala, ialah sokoguru
balai adat yang terbuat dari emas murni juga dimana dibagian atasnya bermotif patung
manusia.
Setelah kembali ke Majapahit, Laksamana Nala berpendapat, untuk menundukkan
Nansarunai, harus dicari kelemahan Raja Raden Anyan yang mempunyai kharisma kuat.
Pada pelayanan berikutnya, Laksamana Nala membawa serta seorang panglima
perangnya yang bernama Demang Wiraja dengan memakai nama samaran Tuan
Andringau, serta beberapa prajurit dari suku Kalang. Hasil pengamatan Demang Wiraja
dilaporkan kepada Laksamana Nala.
Demikianlah pada awal tahun 1356, Laksamna Nala datang lagi ke Nansarunai dengan
membawa serta istrinya bernama Damayanti. Sewaktu kembali ke Majapahit, sengaja
Laksamana Nala membiarkankan isterinya tinggal di Nansarunai. Damayanti berwajah
sangat cantik dan pribadinya menarik.
Pada tahun 1356 itu, terjadi kemarau panjang, sehingga Raja Raden Anyan secara
kebetulan bertemu dengan Damayanti di sumur yang khusus diperuntukkan bagi anggota
keluarga kerajaan. Pertemuan pertama berlanjut dengan kedua dan demikian seterusnya,
sehingga Damayanti melahirkan seorang anak perempuan, lau diberi nama Sekar Mekar.
Pada awal tahun 1358, Laksamana Nala datang ke Nansarunai dan menemukan isterinya
sedang menimang seorang anak perempuan. Damayanti yang memakai nama samaran
Samoni Batu, menerangkan bahwa anak yang ada dipangkuaanya itu adalah anak anak
mereka berdua. Dan Laksamana Nala percaya saja akan apa yang telah dikatakan oleh
isterinya itu.
Ketika kembali ke Majapahit, Damayanti beserta anaknya dibawa serta, alau tinggal
dipangkalan aramada laut Majapahit di Tuban. Beberapa bulan kemudian, Laksamana
Nala secara kebetulan mendengar isterinya bersenandung untuk menidurkan puterinya
dimana syair-syairnya menyebutkan bahwa Sekar Mekar mempunyai ayah yang
sebenarnya ialah Raja Raden Anyan.
Bulan April 1358, datanglah prajurit-prajurit Majapahit, dibawah pimpinan Laksamana
Nala dan Demang Wiraja menyerang Nansarunai. Mereka membakar apa saja termasuk
kapal-kapal yang ada di pelabuhan dan rumah-rumah penduduk. Serangan itu mendapat
perlawanan gigih prajurit-prajurit Nansarunai walaupun mereka kurang terlatih.
Menurut cerita, Ratu Dara Gangsa Tulen bersembunyi dipelepah kelapa gading
bersenjata pisau dari besi kuning, bernama Lading Lansar Kuning. Ia banyak
menimbulkan korban pada pihak musuh sebelum ia sendiri gugur.
Raja Raden Anyan dalam keadaan terdesak lalu disembunyikan oleh para Patih dan Uria
kedalam sebuah sumur tua yang sudah tidak berair lagi. Diatas kepalanya ditutup dengan
sembilan buah gong besar, kemudian dirapikan dengan tanah dan rerumputan, agar tidak
mudah diketahui musuh.
Ketika keadaan sudah bisa dikuasai oleh pihak Majapahit, Laksamana Nala
memerintahkan Demang Wiraja untuk mencari Raden Anyan hidup atau mati. Atas
petunjuk prajurit-prajurit suku Kalang yang terkenal mempunyai indera yang tajam,
tempat persembunyian Raja Raden Anyan akhirnya dapat ditemukan.
Raja Raden Anyan tewas kena tumbak Laksamana Nala dengan lembing bertangkai
panjang. Peristiwa hancurnya Nansarunai dalam perang tahun 1358 itu, terkenal dalam
sejarah lisan suku Dayak Maanyan yang mereka sebut Nansarunai Usak Jawa.
Dalam perang itu telah gugur pula seorang nahkoda kapal dagang Nansarunai yang
terkenal berani mengarungi lautan luas bernama Jumulaha. Ia banyak bergaul dan
bersahabat dengan pelaut-pelaut asal Bugis dan Bajau. Untuk mengenang persahabatan
itu, maka puterinya yang lahir ketika ditinggalkan sedang berlayar, diberi nama berbau
Bugis yaitu La Isomena.
Unsur Besi
Prajurit-prajurit Majaphit yang gugur dalam perang tahun 1358 itu, diperabukan berikut
persenjattan yang mereka miliki, didekat sungai Tabalong yang dikemudian hari dikenal
dengan sebutan Tambak-Wasi. Tambak arti kuburan dan Wasi artinya besi dalam bahasa
Maanyan kuno. Sehingga Tambak-Wasi artinya adalah kuburan yang mengandung unsur
besi.
Pendiri kerajaan Nansarunai adalah Raden Japutra Layar yang memerintah dari tahun
1309-1329 dilanjutkan Raden Neno 1329-1349 dan yang terkahir Raden Anyan 1349-
1358. Gelas raden hanya khusus untuk raja, sedangkan para bangsawan lainnya memakai
gelas patih, uria, damo;ng, pating'i, datu dan sebaginya. Gelar raden itu berasal dari
Majapahit, karena Japutra Layar sebelum menjadi raja adalah seorang pedagang yang
sering bergaul dengan para bangsawan Majapahit.
Ketika penyebaran agama Islam sampai ke Pasar Arba yang dipimpin oleh Labai Lamiah
beserta para ulama sal Demak, Banten dan Aceh dalam tahun 1528, balai adat yang
semula dihancurkan oleh Laksamana Nala dalam atahun 1358, sudah dibangun kembali
dan dipergunakan untuk upacara adat Hindu Kaharingan pada zaman Majapahit berkuasa
disana.
Setelah kedatangan agama Islam, balai adat itu dirobah fungsinya menjadi mesjid,
dengan atap bertipe joglo.
Mesjid itu mempunyai luas sekitar 200m2, dilengkapidengan serambi keliling selebar 3m
dan dapat menampung sekitar 400 jemaah. Tiang-tiang mesjid diambil dari bekas tiang
balai adat dari kayu besar berdiameter 40 cm dan masih tidak keropos sampai sekarang.
Kayu besi memang banyak terdapat di Kalimantan . Di kota Banjarmasin saja harganya
mencapai Rp 650 tiap kg.
Karena letak mesjid itu pada bekas balai adat ketika zaman kerajaan Nansarunai,
sehingga mesjid tersebut juga menjadi lambang persaudaraan orang Maanyan, Banjar dan
Merina di Madagaskar.
Orang Merina kalau sembahyang selau kiblatnya menghadap ke arah timur laut yang
mereka sebut Anjoro Firarazana, berasal dari kata Maanyan Hang Jaro Pirarahan,
yaitu nama balai adat di Nansarunai dahulu.
Mesjid itu telah beberapa kali direhabilitasi, terutama dindingnya yang terbuat dari kayu
borneo. Sewaktu diadakan rehabilitasi tahun 1975, barng-barang kuno sisa-sisa peralatan
pesta agama Hindu Kaharingan yang semula diletakkan di loteng mesjid, dipindahkan ke
tempat lain oleh orang-orang yang masih berbahasa Maanyan.
Barang-barang itu antar lain, piring celedon, kain Sindai, kenong, gong, boli-boli, guci
tempat pengawetan daging atau ikan secara Maanyan yang disebut wadi, gendang
berbadan panjangyang disebut Katamo'ng dan lain sebagainya.
Tasawuf
Untuk menarik orang Hindu agar cepat menerima agama Islam, oleh para ulama Demak,
Banten dan Aceh diajarkan juga ilmu tasawuf selain mengajarkan agama Islam yang
memang menjadi tujuan mereka. Ilmu Tasawuf itu kadang-kadang di luar daya tampung
akal, tetapi dapat diterima oleh masyarakat setempat. Mesjid tua itu kini masih dipakai
untuk berjamaah pada tiap-tiap hari Jumat.
Meskipun begitu, masih ada anggota masyarakat yang belum lepas dari kepercayaan
masa lampau. Mereka membawa sesajen berupa kue apam yang didoakan di dalam
mesjid, sebelum dimakan bersama para pengunjung lainnya. Sesajen itu dilengkapi juga
dengan bunga yang berbau harum semerbak, disangkutkan pada tiang-tiang penopang
atap mesjid, bekas tiang sokoguru balai adat masa lampau dan misrab mesjid.
ORANG MAANYAN : DIPERSATUKAN OLEH DARAH
Tulisan dari Nimer Widen
Maanyan adalah nama salah satu puak suku bangsa yang mendiami Pulau Kalimantan,
yang sekarang bermukim di kawasan subur di antara sungai Barito dan Pegunungan
Meratus, meliputi sebagian wilayah Utara Propinsi kalimantan Selatan dan daerah Timur
Propinsi Kalimantan Tengah, tersebar di lebih dari 15 Kecamatan. Pada umumnya orang
Maanyan bertubuh sedang, berkulit kecoklatan, rambut lurus berwarna hitam atau coklat
kehitaman, dan beralis agak tebal. Sebagai suatu kelompok masyarakat, orang Maanyan
memiliki beberapa ciri sosial budaya yang unik dan menarik.
Pertama, orang Maanyan memiliki bahasa daerah yang sangat dekat ke bahasa Kawi
(Jawa Kuno). Dan Dalam bahasa maanyan ini, walaupun mereka kini bermukim jauh dari
lautan, terdapat banyak kosa-kata tentang laut dan berhubungan dengan laut. Tokoh-
tokoh mereka bergelar datu (sama dengan datuk dalam bahasa Melayu, yang
artinya:bapak dari kakek), patis (bahasa Melayu patih), dan miharaja (sama dengan:
maharaja). Mereka menyimpan benda-benda pusaka yang berusia ratusan tahun, berupa
piring keramik ukuran besar yang bergambar, guci keramik dengan relief naga, tabak
(nampan berbentuk bunga) dari kuningan, gong dan gelangdari gangsa, tombak dan keris,
dan pakaian kebesaran mirip pakaian Jawa. Sedangkan dalam ritus kematian, mereka
memiliki kesamaan dengan adat Bali, yaitu melakukan upacara pembakaran tulang-tulang
orang mati untuk mengantarkan roh mereka ke tempat paling akhir, yang dalam bahasa
maanyan disebut: Ijambe. (Ijambe berasal dari awalan I berkonotasi 'sibuk' dan kata kerja
jambe yang berarti 'menangani'.
Kedua, mereka mempunyai kebiasaan menuturkan 'sejarah masa lalu dan adat-istiadat'
(bahasa Maanyan: taliwakas) mereka pada setiap upacara adat penting. Istiadat
menceritakan kembali sejarah dan adat ini disebut orang Maanyan ngalakar, atau
ngentang atau nutup entang, atau nutup tarung. Selain taliwakas, mereka juga
mempunyai banyak cerita-cerita, berupa legenda, balada, dan lagu-lagu tentang kebesaran
dan kemakmuran mereka di masa lalu, tentang tokoh-tokoh sejarah, disebuah 'kerajaan'
(kecil) yang menurut mereka bernama Nansarunai.
DARI KAYU TANGI KE SIUNG UHANG
Menurut cerita-cerita itu, keberadaan mereka di Pulau kalimantan ini bermula ribuan
tahun lalu pada saat serobongan manusia perahu yang sedang mencari permukiman baru
jatuh cinta pada ketenangan teluk Banjar (menurut versi orang Maanyan: teluk
Nansarunai). Konon ketika mereka tiba di situ, angin dari daratan bertiup sepoi-sepoi,
membawa bau harum dari pohon-poho, daun, bunga, dan buah. lalu mereka memasuki
muara sungai Barito (yang nama aslinya berasal dari bahasa Maanyan: Baritu, yang
berarti sungai menyerupai laut) dan turun untuk memeriksa keadaan.
Pertama mereka naik ke tepian kiri, atau tepian barat dari sungai itu, dan dikatakan
mereka mendapatkan tananh yang berasa pahit dan air berasa asam (payau). Tetapi ketika
pindah ke tepian kanan, tepi timur sungai itu, mereka mendapati tanah yang harum dan
air yang manis, pepohonan dan buah-buahan yang lebih subur, serta lebih banyak burung
dan binatang hutan lainnya. Sehingga mereka memutuskan untuk tinggal dan menetap di
tempat itu yang kemudian mereka memakan kayu tangi sesuai dengan nama pohon yang
ada disitu. Sekarang, kampung yang bernama kayu tangi ini masih dapat ditemukan dekat
Kotamadya Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan, yaitu kota dagang paling
ramai di kalimantan sekarang.
Dari situ, mereka lalu berkembang menjadi suatu kelompok masyarakat yang lebih besar
dan maju. secara perlahan mereka mendesak penduduk asli yang hidup nomadis, dan
menguasai daratan dan lereng yang subur di sekitar Banjarmasin dan Martapura sekarang.
mereka bertani, menanam padi, lada, dan kelapa, berburu binatang hutan, menangkap
ikan di sungai dan burung di pepohonan, mengambil sarang lebah, mengumpulkan damar
dan gaharu, mencari emas dan batu-batu berwarna. Komoditi yang mungkin sangat
penting waktu itu adalah damar dan lilin dari sarang lebah (dalam bahasa Maanyan:
pasisit) karena merupkan bahan bakar dan bahan dempul (sebelum ditemukan minyak
dan dempul yang lebih modern).
Tidak mengherankan jika kemudian selain mereka yang pergi berdagang ke beberapa
bandar di Jawa dan Sumatra, pedagang dari sana dan dari tempat lain juga datang ke kayu
tangi untuk mencari sendiri barang-barang berharga itu dan sekaligus berdagang mata
dagangan lain. Sehingga kemudian tumbuhlah kota dagang yang cukup ramai di sekitar
kampung kayu tangi itu, yang diingat oleh orang Maanyan bernama: Nansarunai. Dari
hubungan dagang itulah orang Maanyan memperoleh kekayaan yang berlimpah, kain
sinnai (semacam ulos), piring keramik, dan guci dari Cina, manik-manik dan talam dari
India alat-alat kesenian (gong dan gendang) dan persenjataan dari Kediri, dan berbagai
kerajinan tangan serta buah-buahan dari Malaka.
Tentang kapan persiapan penduduk Nansarunai ini memasuki masa kejayaannya, dan
untuk berapa lama, tidak didapati datanya. Tetapi jika dilihat dari benda-benda pusaka
yang mereka miliki, yang menurut para ahli sudah diperdagangkan pada abad ke-7 dan
ke-8, maka paling tidak pada abad-abad itu sudah ada pedagang asing masuk ke
Nansarunai, atau pedagang nansarunai yang berdagang ke luar. sehingga sangat mungkin
bahwa pada abad ke-9 dan ke-10 Nansarunai sudah memasuki masa kebesarannya, sudah
menjadi suatu bandar (atau banjar0, yaitu pusat perdagangan, sudah ada konglomerat-
konglomerat kecil, sudah dibangun rumah-rumah besar bermahligai (tingkap untuk
memingit gadis-gadis) dan balai adat yang megah, dan sudah berkembang kesenian dan
hiburan lainnya, misalnya: sabung ayam. Dan pasti juga sudah banyak pendatang lain,
selain orang Maanyan, menetap di Nansarunai. Tentang ramainya kota Nansarunai pada
zaman itu ada disebutkan dalam 'tarung' (cerita indah0 orang Maanyan: mengatur rami
kudalangun raya, kala harek jatuh minau nyawung, rakeh riwu turun sipat ngamar
(artinya: setiap hari seperti ada pesta besar, bagaikan ribuan orang turun menyabung
ayam). sedang dibalai adat dikatakan terdapat: amas bakuhiwik hena jauran wintan,
bakukewek ialah rawen punsi sagat, amas bakukannyar hena ia tau nyarau (artinya:
banyak sekali emas dan intan berlian).
Banyaknya harta kekayaan adat dan komoditi dagangan daerah Nansarunai ini tentu saja
membuat pusat kekuatan lain disekitarnya ingin merampas harta kekayaan itu dan
menguasai sumber mata dagangannya. Sriwijaya, yang menguasai Nusantara pada abad
ke-6 dan abad ke-7, mungkin saja menguasai nansarunai, paling tidak secara ekonomi.
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK
ASAL SUKU DAYAK

More Related Content

Similar to ASAL SUKU DAYAK

Tembang Macapat by Aisyah Amelia.pdf
Tembang Macapat by Aisyah Amelia.pdfTembang Macapat by Aisyah Amelia.pdf
Tembang Macapat by Aisyah Amelia.pdfaisyah253517
 
Dasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan Manusia
Dasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan ManusiaDasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan Manusia
Dasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan ManusiaBudi Jaya Pangus
 
Tembang Macapat
Tembang Macapat Tembang Macapat
Tembang Macapat ZhafiraAzwa
 
Eksistensi allah menurut masyarakat lamaholot
Eksistensi allah menurut masyarakat lamaholotEksistensi allah menurut masyarakat lamaholot
Eksistensi allah menurut masyarakat lamaholotWatowuan Tyno
 
ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.
ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.
ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.Sansanikhs
 
Tembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdfTembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdfSafitri Safitri
 
Leluhur Wong Jawa Dari Rembang
Leluhur Wong Jawa Dari RembangLeluhur Wong Jawa Dari Rembang
Leluhur Wong Jawa Dari RembangDhamar Pamilih
 
serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15
serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15
serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15kusnullatifah
 
Tembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdf
Tembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdfTembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdf
Tembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdf31RomaAfrizalTaslim
 
Tembang macapat kelas XI .pdf
Tembang macapat kelas XI .pdfTembang macapat kelas XI .pdf
Tembang macapat kelas XI .pdfMohAfifBahari
 
Tembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdfTembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdfZakiyBagus21
 
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal TulisanTradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal TulisanWiyanto Hardjono
 

Similar to ASAL SUKU DAYAK (20)

Tembang Macapat by Aisyah Amelia.pdf
Tembang Macapat by Aisyah Amelia.pdfTembang Macapat by Aisyah Amelia.pdf
Tembang Macapat by Aisyah Amelia.pdf
 
Tembang Macapat
Tembang  Macapat Tembang  Macapat
Tembang Macapat
 
Dasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan Manusia
Dasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan ManusiaDasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan Manusia
Dasa Aksara, Sumber Kekuatan Alam dan Manusia
 
Tembang Macapat
Tembang Macapat Tembang Macapat
Tembang Macapat
 
Tembung Macapat
Tembung Macapat Tembung Macapat
Tembung Macapat
 
Eksistensi allah menurut masyarakat lamaholot
Eksistensi allah menurut masyarakat lamaholotEksistensi allah menurut masyarakat lamaholot
Eksistensi allah menurut masyarakat lamaholot
 
ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.
ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.
ARTIKEL GEOGRAFI BUDAYA PITU ULUNNA SALU DAN PITU BA'BANA BINANGA.
 
Tembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdfTembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_30-SAFITRI XI IPS 1.pdf
 
Kitab batara guru
Kitab batara guruKitab batara guru
Kitab batara guru
 
Kitab batara guru
Kitab batara guruKitab batara guru
Kitab batara guru
 
Kitab batara guru
Kitab batara guruKitab batara guru
Kitab batara guru
 
Leluhur Wong Jawa Dari Rembang
Leluhur Wong Jawa Dari RembangLeluhur Wong Jawa Dari Rembang
Leluhur Wong Jawa Dari Rembang
 
serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15
serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15
serat wedhatama pupuh pucung pada 11 - 15
 
Tembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdf
Tembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdfTembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdf
Tembung Macapat-Roma Afrizal Taslim-XIMIPA2-30.pdf
 
Tembang macapat kelas XI .pdf
Tembang macapat kelas XI .pdfTembang macapat kelas XI .pdf
Tembang macapat kelas XI .pdf
 
Kumpulan sastra lama muna
Kumpulan sastra lama munaKumpulan sastra lama muna
Kumpulan sastra lama muna
 
Kumpulan sastra lama muna
Kumpulan sastra lama munaKumpulan sastra lama muna
Kumpulan sastra lama muna
 
Tembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdfTembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdf
Tembang Macapat_03-Alvian-XI IPS 1.pdf
 
Umar Faruq
Umar Faruq Umar Faruq
Umar Faruq
 
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal TulisanTradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
 

ASAL SUKU DAYAK

  • 1. ASAL USUL SUKU DAYAK MA’ANYAN Sorosilah ini berbahasa asli Dayak Ma’anyan ” Janyawai “ Bukan bahasa yang dipakai sehari – hari. A. RIWAYAT ASAL USULNYA. Allah mula Allah, Allah mudi jari Allah. Allah mula Allah, Allah munta murunsia, munta datu mula manta, maharaja mula ulun. Ka’ani dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Muneng tane tipak sulu, ngumung langit rakun kubus, nyepuk hewuk kala mula, ngu’ut ranu petak watu, ranu gunung madu rahu, watu papat lamura, gunung rueh ipatatai, watu purun panahanar, uhuk dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Metak ranu madu rahu, lawu tane tipak sulau, welum jari kayu saramelum, tumu malar mangamuan matei, metak lagi ma handrueh, ruruh rimis mangapurun, jari wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung, metek lagi mangatalu, jari ilau manyamare, awai supu mangujahan, metak lagi mangapat, jari wundrung amirue, janang lunsing salulungan, metak lagi mangalima, jari nanyu saniang, janang hiang piumung, metak kanamangapat, jari suling wulian, janang riak rayu rungan, metak lagi kepitulempat, jari tumpuk tunyung punu, guha mari dandrahulu. Tumpuk munta mudi matei, marunsia mantuk lumun, luwan patei datu mula munta, lumun maharaja mula ulun, jari datu tunyungpanu, maharaja dandruhulu. Heput kulu mudi hiang, surut sasar Janyawai, mulek datu mula munta, maharaja mula ulun, hawi talak batung nyi’ai, jaku intai telang suluh. Batung nyi’ai hawi teka rayu, telang suluh jaku talinguan. Ma’umele hi datu mula munta, ma’umelan maharaja mula ulun, daya sumaden talak batung nyi’ai, sumadi intai telang suluh, sumaden ma anak matu, sumadi bunsu pasunringan. Palus gagiris ngini ma dara mula lapeh, igaginak nginte suaraibuhengkang ulun, palus ipa’muma ume anri dara mula lapeh, ipa turut junjung ma suraibu hengkangulun. Luwan hampe metak ranu puka tamu, ruruh rimis luyu uwut jujuli, luwan metak ma tane pirarahan, ruruh rimis ma gumi tampajakan, jari rikut sa irunrean, jari tanang kayu, jari wurung sa ngawuwean wurung, janag eha ngawuean eha. Luwan sipumpun here kala adu nyawung, isansayuh alang nansaramai, gimutuk here kala haruangan banung, gamudrah here munan gumi rarak ransai, sipumpun munta anri wurung eha, isansayuh ulun ma waraga satua. Daya huan uwung uweng kawan mantir ngurai hokum, ngahu anuh na’an maharaja merang hadat. Daya huan unre balai pidudusan, ngahu irunrean jaru tapung jangka. Pidudusan mantir ngurai hukum, tapung jangka patis merang hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah jari. B. PERJEMAHAN BAHASA JANYAWAI BAHASA ASLI DAYAK MA’ANYAN KE BAHASA INDONESIA.
  • 2. Adapun terjemahan bahasa asli Suku Dayak Ma’anyan diatas ke bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : ” Allah mula Allah itu adalah yang Maha Kuasa, Maha bisa, Maha tahu, Maha sakti, Maha adil, Maha Pemurah, Maha Agung. Boleh jadi disamakan dengan Allah Maha Esa, Allah Munta Murunsia adalah dia mencipta manusia yang mana manusia pertama menurut ceritera budaya Dayak Ma’anyan ialah Datu Mula Munta, Maharaja Mula Ulun, lalu manusia yang kedua kisah ini, dibikin dari tulang rusuk manusia pertama tadi ( Datu Mula Munta ), maka diberi nama Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun. Cuma menurut kisahnya ini berlainan jenis kelamin, dan manusia kedua ini terdapat dua buah gunung kecil di dadanya yang disebut dalam bahasa Janyawai yaitu Gunung Madu Rahu Watu Papat Lamura. Yang mengeluarkan tetesan air dari puncaknya. Dari dua buah puncak gunung tersebut menetes 7 (tujuh) tetes air ke bumi tempat manusia berdua ini berada. Bumi disebut disini waktu itu hanya sebesar telapak kaki mereka berdua ini berada , yakni Tane Tipak Sulau. Dan waktu itu dalam kisah Janyawai ini kabut / gelap gulita dan mereka bernapas dari letusan gumpalan angin pertama yang membentur dua buah gunung kecil tadi, menimpun dari mata air dipuncak kedua gunung itu. Adapun tetesan air yang ketujuh tadi menurut ceritera Janyawai ini, tetesan pertama tumbuh menjadi pohon yang buah dan daunya biasa dipergunakan untuk membangun ( menghidupkan orang yang mati ) disebut kayu saramelum. Tetesan yang kedua tumbuh jadi padi, jadi rupanya padi yang ada sekarang berasal dari tetesan kedua dari tetesan air dari puncak gunung tadi. Tetesan ketiga menjadi minyak dan kapas untuk dipergunakan penyembuhan kepada orang sakit. Tetesan yang ke empat hidup jadi Roh mereka berdua. Tetesan yang kelima menjadi malaikat pelindung yang biasa membantu dan melindungi manusia dari bahaya dan gangguan penyakit apa pun. Tetesan yang keenam menjadi Dawa Dewi yang biasa membantu para Dukun – Dukun jika diperlukan. Tetesan yang ketujuh menjadi Kota ( Desa ) tempat Roh orang yang sudah mati, Tetesan ini disebut Tumpuk Tunjung Panu, Guha Mari Dandrahulu. Jadi setelah manusia pertama ini mati, dialah yang pertama menempati Kota ( Desa ) tersebut. Diatas dia bernama Datu Tunjung Panu Maharaja Dandrahulu. Demikian riwayat kejadian tetesan air dari puncak gunung kecil tadi. Adapun riwayat kegelapan dan kekabutan alam masa itu, manusia berdua tadi seolah – olah tertidur nyenyak tanpa bergerak apa – apa, namun tiba – tiba datang cahaya matahari membelah kegelapan dan kekabutan tersebut yang disebut bahasa Janyawai Batung Nyi’ai Hawi Teka Ruyu, Telang Suluh Jaku Talinguan. Maka terbangunlah manusia tadi dan saling berpandangan satu sama lain, maka timbul birahi saling mencintai, maka berpelukanlah mereka berdua langsung bersetubuh, dari hasil persetubuhan mereka berdua tadi menetes air kemaluan manusia pertama tadi kebumi dan tumbuh jadi kayu – kayuan, rumput – rumputan, menetes lagi keduakalinya air kemaluanya ke bumi, hidup jadi berbagai marga satwa memenuhi alam purba itu, berbagai jenis binatang di bumi dan berbagai jenis burung di udara, maka berkumpulah mereka bersama dialam purba itu satu bumi, satu alam, satu bangsa (satu mahluk), satu bahasa yaitu bahasa purba ( Bahasa Nahu ) yang artinya saling mengerti, namum belum menpunyai adat istiadat. Kerena belum ada pengaturan dari Allah mula Allah ( yang mencipta tadi ). Maka alam purba
  • 3. tempat berkumpul tersebut dalam bahasa Janyawai Suku Dayak Ma’anyan disebut ‘” Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai “. Demikian sekilas ceritera asal usul adanya manusia Suku Dayak Ma’anyan didapat dari saudara RADEN KUTAR SUTA UNO ( Cicit dari RONGGO SUTA UNO ). Namun tempat alam purba itu tidak dapat beliau beri petunjuk, karena diperkirakan terjadinya sebelum abat masehi. Adapun perkembangan selanjutnya akan diutarakan seterusnya hingga masa sekarang. C. PERKEMBANGAN DUNIA PURBA MENURUT KETERANGAN ( RADEN KUTAR SUTA UNO ) INI YANG DIA PEROLEH DARI NENEK, KAKEK YANG MENITIS PADA DIRI PRIBADINYA. Riwayat perkembangannya adalah sebagai berikut : Pada masa itu perkiraan masih dalam jaman pra sejarah karena tidak diketahui lokasi tempat kejadian dan tidak diketahui tempat waktu kejadian, jadi mungkin karena ceriteranya mereka belum mempunyai hukum dan Adat Istiadat, apalagi dunia pendidikan yang biasa memberitakan secara sensitive, hanya sistematik sambung – menyambung dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut, maka terjadilah kelanjutan ceriteranya ialah sebagai berikut : Dalam Tumpuk Lalung Kawung, Gumi Rarak Ransai, mereka berkecamuk mengadakan hubungan seks dan bunuh membunuh, terkam menerkam, maklum antara manusia dan binatang marga satwa masih menyatu dalam satu kampung, satu wilayah, satu tanah air, satu bahasa, satu alam yakni alam purba, tanpa ada aturan dan pengaturan baik secara hukum maupun secara adat dari Sang Pencipta. Menurut kisah ini karena berkecamuknya mereka pada masa itu saling kejar mengejar, maka meluaslah bumi ( Tane Tipak Sulau ) tadi yang ditempati Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai, sehingga mereka dapat berpindah – pindah tempat / pemukiman. Adapun lokasi perkembangan menurut ceriteranya terjadi menjadi 4 (empat) lokasi perpindahan dalam dunia purba itu antara lain sebagai berikut (dalam bahasa Janyawai) ini : 1. Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai 2. Perpindahan kedua yaitu, Tumpuk Pupur Matung 3. Perpindahan ketiga yaitu, Tumpuk Sida matung 4. Perpindahan ke empat yaitu, Tumpuk laliku Maeh Empat lokasi purba ini tidak diketahui tempatnya di bumi sehingga tidak dapat ditelusuri untuk bahan penelitian. Pada lokasi terakhir dunia purba ini, yaitu: Tumpuk Laliku Maeh ini mempunyai hikayat (ceritera) tersendiri. Ceritera tersebut adalah sebagai berikut : Pada Tumpuk Laliku Maeh mereka mengangkat (menubat) dalam bahasa Janyawai yaitu Nudus salah satu dari mereka pimpinan atau mengepalai mereka yang nama dan pangkat jabatan dalam bahasa janyawai ada tiga yaitu :
  • 4. 1. Raksapateh 2. Singa Galanteh 3. Using Dukut Nungu Dapur Tapi menurut ceriteranya meskipun sudah dilantik (didudus) tiga pengurus tadi namun keadaan dan ketentraman di Tumpuk Laliku Maeh ini tidak terkendali, malah pengankatan tiga pengurus itu memicu kepada kekacuan semakin bertambah akibat iri mengiri, dengki mendengki, hanya terbukti dari ajaran ketiga pemimpin mereka ini yaitu berhitung dengan bahasa waktu itu dari satu sampai duabelas, yang hitungannya sebagai berikut : 1. Satu : Sau 2. Dua : Karuaw 3. Tiga : Katalu 4. Empat : Manapitaw 5. Lima : Kaebak 6. Enam : Kapapak 7. Tujuh : kalempat 8. Delapan : Karewaw 9. Sembilan : Katumang 10. Sepuluh : Pahapaw 11. Sebelas : kaminting 12. Duabelas : Buk Ok Itulah perhitungan di Tumpuk laliku Maeh masa pimpinan Raksa Pateh, Singa Gantaleh, Using Dukut Nungu Dapur. Jadi perhitungan kelompok 12 ini sampai sekarang diwarisi oleh Suku Dayak Ma’anyan disebut selusen (satu lusin). Selanjutnya di Tumpuk laliku Maeh ini makin hari makin kacau diman – mana hububungan seks antara manusia dengan berbagai marga satwa, antara ibu dengan anak, antara anak dengan bapak antara anak dengan cucu, antara cucu dengan nenek pendeknya berkecamuklah dosa. Begitu perkelahian berkecamuk antara manusia sama manusia, antara manusia dengan berbagai binatang dan antara binatang sesama binatang, sehingga
  • 5. tidak terkendali lagi. Maka prihatinlah rupanya Allah mula Allah (Sang Pencipta) karena melihat kehancuran Tumpuk Laliku Maeh oleh karena belum ada hukum adat untuk mengatur tata tertib dan keamanan mereka. Maka ditengah – tengah kekacauan tersebut, jatuhlah segumpalan benang kusut sebesar buah kelapa disebut Tundun Taking atau dalam bahasa janyawai Amas Tukal Banang Juwet, Mirah Rawai Wali Halun, dengan disertai pesan dari Allah mula Allah, siapa diantara mereka bisa membuka benang kusut tersebut dengan tidak diputus – putus dan disambung – sambung, sehingga terbuka dalam keadaan utuh dan baik maka dialah yang menjadi pemimpin pemutus hukum adat guna menindak yang salah dan memberi kesaksian bagi yang benar. Maka berebutanlah mereka membuka gumpalan benang kusut itu dengan maksud ingin menjadi pemimpin mereka, setelah silih berganti mereka jangankan bisa terbuka malah makin kusut. Lalu datanglah 12 anak muda yang kelihatan cakap dan cerdas langsung silih berganti membuka gumpalan benang kusut tersebut, jangankan terbuka malah semakin kusut lagi dan semakin bertambah. Hanya tinggal sorang perempuan tua lanjut usia yang tinggal dibalik dinding luar tidak diperkenankan masuk, karena kejijikan mereka padanya, dengan tidak disangka – sangka datanglah Roh Dawa Dewi yang berasal dari tetesan tetesan air Puncak Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura di tane Tipak Sulau dulu. Lalu Roh dewa Dewi tersebut menyerupai seekor kucing, setelah seekor kucing ini kesurupan , lalu berkata panggilah orang tua dari luar dinding itu untuk membuka benang kusut ini. Nama orang tua itu adalah Etuh yang dipanggil Nini Punyut, setelah dipanggil masuklah orang tua itu dan mulailah orang tua itu membuka perlahan – lahan gumpalan benang kusut tadi dengan kesabaran dan ketabahan hati, kepercayaan iman dan kerja, maka terbukalah (terurailah) benang kusut tadi tanpa ada cacat cela tepat sebagaimana dipesan Allah mula Allah tadi. Maka tiada dapat dipungkiri lagi bahwa sesuai janji Allah mula Allah tadi, mau tidak mau orang tua ( Etuh ) atau Nini Punyut inilah menjadi pemimpin pengatur hukum adat mereka di Tumpuk Laliku Maeh itu. Maka dari peristiwa kejadian ini Suku Dayak Ma’anyan mengkaji dan membudayakan terus menerus cara penghormatan dan penghargaan sebaik – bainya terhadap orang tua, tidak boleh diremehkan dalam keyakinan orang Dayak Ma’anyan, bahwa orang yang sudah lanjut usia dianggap sebagai ajimat yang bisa memberi petuah bagi kehidupan anak muda. Pada pembukaan lembaran ini terlebih dahulu perlu saya terang ulang bahwa dari permulaan kisah kejadian tadi sampai berakhir di Tumpuk Laliku Maeh belum ada pembagaian suku, puak dan ras, masih menyatu Janyawai kisah munta murunsia jadi simak oleh pembaca belum ada kata Suku Dayak Ma’anyan itu. Demikianlah agar diketahui oleh pembaca. Ceritera selanjutnya dalam kejadian ini, orang tua Etuh (Nini Punyut) tadi diperintah oleh Allah mula Allah untuk membuat peraturan tata tertib, adapt istiadat, guna mengatur tata kehidupan di Tumpuk Laliku Maeh. Terlebih dahulu Etuh mengatur hukum adat, namun hanya umat Munta Murunsia yang
  • 6. tunduk dan menerima. Tapi seluruh mahluk marga satwa menolak dan menentang, maka terjadilah dua perbedaan umat Munta Marunsia menganut adat istiadat, sedangkan mahluk marga satwa tetap menganut tradisi lama, maka selalu saling terjadi pertengkaran dan tidak jarang selalu membawa kepada perkelahian. Sesudah itu Etuh mengurai peraturan, semua manusia tunduk, marga satwa separuh yang tunduk, separuh yang tetap tidak tunduk peraturan Etuh itu. Jadi terbukti sampai sekarang marga satwa tidak tunduk adat, tapi separuh tunduk peraturan. Terbukti babi hutan dan babi peliharaan, Babi hutan tidak tunduk adat dan peraturan, tetap lari kehutan. Babi peliharaan tidak tunduk adat, tapi tunduk peraturan, maka babi peliharaan bisa kita kurung dan dipelihara. Babi hutan biar kita pelihara 100 tahun lamanya, bila kita lepas tetap liar lari kehutan. Demikian lain-lainya yang sama jenis dihutan dan yang kita pelihara. Maka oleh karena jauh perbedaan tradisi lama dengan adat istiadat yang diatur oleh Nini Punyut ( Etuh ) tadi, maka Allah mula Allah datang memberi saran kepada Nini Punyut lebih baik mengalah atau pindah dari Tumpuk Laliku Maeh ke pemukiman baru yang ditunjuk oleh Allah mula Allah, yaitu Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam, Maka menurutlah Etuh petunjuk Allah mula Allah itu dan pindahlah Etuh (Nini Punyut) membawa umat munta murunsia ke tanah Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam yang baru ini. Dari kejadian inilah mulai berangsur – angsur hilangnya bahasa asal kejadian dunia, karena terpisah pergaulan umat munta murunsia dengan marga satwa dibatasi oleh hukum adat istiadat tadi. Lalu perkembangan selanjutnya umat munta murunsia hidup dipermukiman baru di Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam dibawah pimpinan Nini Punyut (Etuh) yang mengatur hukum adat istiadat dan membudayanya dengan alam sekitarnya. Sehingga hidup rukun damai berbaur dengan potensi alam yang ada disekitar mereka. Dari permukiman Sani Sarunailah umat muna murunsia mulai masuk jaman sejarah, jaman yang mulai diatur dengan adapt istiadat dan menyatu keadaan bumi Sani Sarunai tempat mereka bermukim. Lalu di Sani Sarunai, Gumi Ngmang Talam inilah juga munta murunsia mengadakan organisasi sisial yang disebut dalam bahasa Janyawai ” Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu “, karena perkembangan jiwa umat munta murunsia itu sudah beratus – ratus bahkan beribu – ribu jiwa banyaknya. D. KEGIATAN UMAT MUNTA MURUNSIA DIBAWAH PIMPINAN NINI PUNYUT (ETUH) DITUMPUK SANI SARUNAI (TUMUK BARU). Pada pemrmulaan ceritera baru ini, perlu saya ulangi kegiatan Nini Punyut semasa mereka masih di Tumpuk Laliku Maeh. Pada waktu Nini Punyut menerima perintah dari Allah mula Allah untuk membentuk hukum adat dan peraturan di Tumpuk Laliku Maeh, Nini punyut langsung menerapkan dan menyebar luas hukum adat dan peraturan kepada seluruh penghuni Tumpuk Laliku Maeh, namun sebagaimana yang diterangkan dalam kisah terdahulu tadi, semua mahluk marga satwa menolak hukum adat itu tetapi tentang peraturan yang diatur oleh Nini Punyut sebagian mahluk marga satwa menerima, oleh karena itu sebagian dari mahluk marga satwa yang tunduk pada peraturan Nini Punyut
  • 7. dapat dipelihara oleh Munta Murunsia. Oleh karena itulah sampai sekarang dari seluruh umat mahluk marga satwa ada komponen yang biasa dipelihara manusia, tetapi ada komponen yang tidak mau dipelihara oleh manusia tetap menolak hukum adat karena dari Tumpuk Laliku Maeh dulu kelompok marga satwa bersatu menolak hukum adat yang diterapkan oleh Nini Punyut. Demikianlah ceritera ulang kegiatan Nini Punyut di Tumpuk Laliku Maeh dulu. Selanjutnya ceritera ini menceritakan kegiatan mereka di Tumpuk Sani Sarunai, di Tumpuk Sani Sarunai mereka dibawah pimpinan Nini Punyut mengadakan penelitian, percobaan, penyeringan potensi alam yang ada diwarisi dari masa kejadian di Tane Tipak Sulau dulu, yang mana potensi alam itu yang biasa menjamin daripada kelangsungan hidup umat Munta Murunsia untuk selama – lamanya setelah diuji dengan cara mereka pada masa itu, ternyata padilah yang dapat menjamin kelangsungan hidup umat Munta Murunsia sedangkan padi ini sangat kecil bijinya dari buah – buahan yang lain, maklumlah biji padi ini hanya berasal dari setetes air dari puncak kedua Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura yang tumbuh diatas dada Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun, waktu kejadian di tane Tipak Sulau dulu. Begitu dibidang perlindungan umat Munta Murunsia diuji coba membikin suatu tempat mereka berteduh dari terik matahari dan kecurahan hujan, yang disebut dalam bahasa Janyawai ” Bali Karunrung Rahu, Sarungayan Payung Uran “. Ini berbentuk mirip gubuk, namun tidak ada dinding dan lantai. Dari uji coba ini, kayu – kayuanlah yang mampu memberi perlindungan untuk mereka. setelah itu Nini Punyut mengajak mereka menyebar luas bibit kayu – kayuan, rumput – rumputan guna keperluan mereka kemudian hari, ternyata marga satwalah yang mampu menyebar luaskannya dari cara memakan buah – buahan lalu berkeliaran dihutan lingkungan dan berak sembarangan, maka tumbuhlah biji buah – buahan , kayu – kayuan yang berasal dari satu tempat menyebar kelain tempat sehingga menjadi luaslah hutan wawasan lingkungan mereka. Oleh karena itu menyatulah tata kehidupan umat Munta Murunsia dengan keadaan alam sekitar mereka dibawah kepemimpinan Nini Punyut (Etyh) ini. Di Tumpuk Sani sarunai . Nini Punyut mengatur adat suami isteri tidak boleh umat Munta Murunsia mengadakan hubungan seks laki – laki dengan perempuan kalau tidak melalui hukum adat perkawinan yang mana hukum adat perkawinan diwarisi dan membudaya di tanah Dayak Ma’anyan sampai sekarang. Begitu juga tentang kematian juga diatur dengan hukum adat dibidang kematian, kerena sebagai penghargaan kepada umat Munta Murunsia semasa di dunia tunduk dengan pengaturan tata tertib adat istiadat yang ada, maka rohnya pun diatur dengan hukum adat kematian, pindah dari dunia ini ke kota ( desa ) Datu Tunyung Puno, Maharaja Guha Mari Dandrahulu, yang kota tersebut berasal dari tetesan yang ke tujuh, tetesan air dari puncak kedua Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura, yang teruarai ceriteranya pada masa kejadian Allah mula Allah. Hanya adat kematian ini ada tumpang tindih dengan adapt kematian agama Hindu semasa agama hindu memasuki wilayah Dayak Ma’anyan karena agama Hindu menganut hukum kasta lalu terkungkunglah adapt kematian di Dayak Ma’anyan dengan hukum kasta tadi.
  • 8. Jadi sulit menggali perbedaan hukum adat yang diatur oleh Nini Punyut dengan hukun adat yang dibawa agama Hindu karena sudah berabad – abad berbaur. Adapun ceritera seterusnya tentang kehidupan umat Munta Murunsia dibawah hukum adat dan hukum aturan berjalan terus ditumpuk Sani Sarunai, mereka mengatur perladangan, perkebunan untuk melestarikan bibit padi – padian, buah – buahan yang berasal dari tanah kejadian sebagaiman yang telah diceritakan terdahulu dengan menelusuri adat, peraturan yang yang telah disebar luas oleh Nini Punyut (Etuh) setelah adat istiadat dan hukum dan peraturan itu sudah membudaya diseluruh lapisan kehidupan masyarakat Tumpuk Sani Sarunai, maka sampailah ajalnya Etuh ( Nini Punyut ), dengan meninggal hukum adat istiadat dan peraturan kepada seluruh umat Munta Murunsia di Tumpuk Sani sarunai dan meninggalkan seorang anak yakni ” AMAH JARANG ” yang dalam bahasa Janyawai ” Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei “, inilah penerus kepemimpinan adat istiadat seterusnya. Lalu Nini Punyut ini diadakan upacara adat penguburan ( adat kematian ) serta menanam satu pohon sawang disebut Dayak Ma’anyan ” Rirung” sebagai tanda kuburan Etuh ( Nini Punyut ). Setelah meninggalnya Nini Punyut , berkesanlah dihati umat Munta Murunsia khususnya suku Dayak Ma’anyan yang mengetahui riwayat ( sejarah ) kepemimpinannya Cuma sayang tidak diketahui tepat waktu (tanggal dan bulan ) dia meninggal, karena pada waktu itu belum ada pendidikan tulis menulis karena Nini Punyut ( Etuh ) tidak ada mengajar hurup abjad dan angka – angka hanya sesuatu yang penting menjadi peringatan ditandai oleh tanda alam yaitu berupa batu diletakan atau kayu – kayuan ditanam. Demikian halnya kuburan Nini Punyut sekarang ada buktinya dapat ditelusuri yakni di Tamak Sapala. Itu sebuah pulau kecil ditengan danau Kabupaten Barito Kuala ( Marabahan ) karena bekas Tumpuk Sani Sarunai dulu adalah Tamak Sapala di Danau Panggang Privinsi Kalimantan Selatan, karena Tamak dalam bahasa Janyawai Kuburan Sapala Kapala. Jadi Tamak Sapala berati kuburan Kepala ( Pemimpin ). Kembali lagi kita menyimak ceritera selanjutnya mengenai kehidupan di Tumpuk Sani Sarunai. Dipimpin Amah Jarang ( Datu Telang Tuha Maharaja Wulu Kesai Lawei ), pada waktu itu di Sani Sarunai bermunculan Datu – Datu antara lain yang saya ingat : 1. Datu Telang Tuha Maharaja Wulu Kesai Lawei ( Amah jarang ) 2. Datu Bias Layar Maharaja Tampi Pidagangan ( Amah Idung ) 3. Datu Masuliaung Maharaja Amah Engkai ( Amah Engkai ) 4. Datu Nuwung Sigai Maharaja Repan Uyur ( Amah Anggar ) Itulah yang saya ingat, banyak Datu lain lagi namun saya lupa, boleh ditelusuri dari orang Ma’anyan yang lain. Begitu juga Dara banyak sekali hanya yang saya ingat antara lain : 1. Dara Tamurak Sunsu ( Ibu jarang )
  • 9. 2. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Kapas ( Ibu Idung ) 3. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Epai ( Ibu Tengkai ) 4. Dara Tunrak Nyi’ai Gandring Layu ( Ibu Anggar ) Disamping itu banyak pemuda pemudi yang dalam organisasi social mereka disebut ” Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu “, antara lain yang saya ingat yang laki – lakinya sebagai berikut : 1. Idung 2. Jarang 3. Tengkai 4. Talengo 5. Iban 6. Bangkas 7. Patis 8. Anyawungan 9. Anggar 10. Paning 11. Nalau 12. Pasungan Lalu yang perempuannya adalah : 1. Silu 2. Ave 3. Layu 4. Lelai 5. Pantiwuyuk
  • 10. 6. Awahat Organisasi social pangunraun ini mengurus kegiatan ke bidang ekonomi yakni melestari ajaran almarhum Etuh untuk mengadakan perladangan, membudidaya bibit padi – padian dan buah – buahan begitu juga dibidang kesenian yang paling menonjol diantara pribadi mereka adalah Jarang , kerena ia selalu menjinjing gendang ( tabuh ) dan sambil bekerja sambil menabuh oleh kerena itu Jarang disebut Rapui Palu. Pada suatu masa perladangan mereka mengadakan berkelompok dan diadakan pesta pengorbanan yaitu membunuh seekor binatang peliharaan mereka guna darahnya untuk mengelas tanah perladangan agar padi – padian, buah – buahan hidup dengan subur menurut adat yang diajar oleh almarhum pemimpin mereka yakni Nini Punyut. Setelah mereka membuat perladangan jarang yang paling kecil ladangnya hanya mengelilingi sebuah pohon yang disebut pohon Dalie karena dia kerja sambil menabuh gendang tadi, tangan kanan kerja, tangan kiri menabuh gendang. Setelah masa panen datang seorang perempuan tua mau ikut memotong padi membawa sebuah keranjang yang besar sekali, disebut waktu itu ” Bake Kariring Anrau, Tawang Iya Ta’u Nyarau “ yang artinya sesat anak umur 12 tahun ditengah keranjang itu oleh sebab itu semua pangunraun menolak orang tua itu tidak mampu mengisi padi kedalam keranjang besar itu, setelah orang tua itu sampai pada ladang jarang yang hanya mengelilingi sebuah pohon tadi maka diterima oleh Jarang lalu mulailah orang tua itu memotong padi. Pokoknya berbulan – bulan orang tua itu memotong padi Jarang tidak bisa selesai dan berpuluh – puluh lumbung padi Jarang penuh belum juga bisa selesai, akhirnya bosan Jarang membuat lumbung maka mengusul Jarang pada orang tua itu agar menyelesai potongan padi itu, setelah menerima usulan itu segera orang tua itu menyelesai panen itu, maka pendapatan padi terbanyak kepunyaan Jarang daripada pendapatan kawan – kawannya yang besar ladangnya kerana orang tua itu mempunyai muzisat tersendiri. Nama orang tua itu ” Itak Pumpun Wusi “ setelah Jarang menumpuk padi terakhir kedalam lumbung orang tua itu jatuh roboh jadi batu. Itulah asal batu ajimat padi yang banyak tersimpun oleh Suku Dayak Ma’anyan yang disebut oleh Dayak Ma’anyan ” Watu Panampareian “ yaitu berasal dari Itak Pumpun Wusi masa kemakmuran Sani Sarunai. Ada satu lagi ceritera perladangan yang sangat berkesan yakni perladangan awahat dengan suaminya Nalau mereka berdua ini bekerja tani siang dan malam tidak perduli terik matahari ataupun kucuran hujan siang malam tidak mengenal lelah maka berlimpah ruahlah hasil panen mereka berdua namun pada suatu ketika perempuan Awahat bekerja pada malam hari terpotong tangannya sebelah kiri dari itu Awahat tidak dapat berkerja lagi lalu merenunglah ia atas nasibnya, tiba – tiba datang Roh Dewa Dewi yang berasal dari tetesan puncak gunung Madu Rahu kisah masa kejadian dulu. Roh Dewa Dewi itu menyerupai Awahat setelah dia kesurupan maka berkatalah ia, Aku ini tidak guna tinggal di Sani Sarunai ini aku akan berangkat ikut Roh Dewa Dewi ke langit dan aku pesan pada kalian yang masih tinggal di bumi setiap tahun bintangku
  • 11. satu kali mengelilingi bumi lihat pada malam hari bila aku datang dari ufuk timur dan kalian sambut dengan telapak tangan dan biji padi ditelapak tangan, bila biji padi itu jatuh dari telapak tangan waktu kalian menyambut kedatangan ku pada sore hari itulah tandanya waktu menugal padi. Sesuadah ia berkata demikian terbanglah Awahat dan tinggal di langit menjadi bintang petunjuk suku Dayak Ma’anyan menanam padi. Nalau melihat isterinya terbang ke langit beringaslah suaminya Nalau dia bongkar ranjau babinya dari ladang lalu dilempar ke langit maka melekatlah ranjau itu menjadi bintang petunjuk dilangit yang disebut orang Jawa ” Lintang Luku “ bintang ranjau ini jadi petunjuk Suku Dayak Ma’anyan bila ia timbul dari ufuk timur tandanya menanam padi sudah lewat waktu. E. KEMAKMURAN SARUNAI DAN PEPERANGAN Bahasa Pangunraun Jatuh ( Janyawai ) ” Sipumpun Here Pangunraun Jatuh, Sansayuh Ngampet Malem Balah Riwau, Simpumpun Yeru Kala Adu Nyawung, Isansayuh Sa Alang Nansarunai, Gimutuh Kala Wani Pasi’au Ra’an, Gamuruh Alang Nuan Bakarabut Jangkeng, Gimutuh Hang Tane Nansarunai, Gamuruh Muneng Gumi Ngamang Talam Daya Sameh Ngumung Here Donayu, Pada Nanra Here Sanapahidun Tuhan. Sameh Ngumung Here tatanggul agung pada nanra here puparau ganing , tatunggul agung teka Datu Nini Punyut Puparau ganing maharaja Etuh Mula. Nini punyut yeru Datu Ngurai hukum Etuh mula maharaja merang hadat luwan rami raya here tumpuk Nansarunai guruh ginak yeru Gumi Ngamang Talam luwan sarunai kala bangun tangui Ngamang Talam yena alang buka paying Sarunai ngamuan pantar ngamang talam magantangun tungkup Sarunai mangamuan sanggar ngamang Talam magantangun panti, Sarunai ngamuan balai ngamang talam magantangun jaru, mangamuan hanye balai pidudusan magantangun jaru tapung jangka. Pidudusan kawan mantir ngurai hukum, tapung jangka maharaja merang hadat. Sarunai mangamuan benteng, ngamang talam magantangun balat. Sarunai mangamuan parung, ngamang talam mangantangun malegai, parung layu hanye kala talak unru, malegain lelai alang intai wulan, layua ni jawan wawai, lelai tumpa huli dayang. Manguntur Sarunai tawah wau, kudalangun ngamang talam sipat hanyar. Manguntur yena uneng adu nyawung, kudalngan yeru ina masang kamar. Panyawungan kawan anak Nanyu jatuh, pangamaran sukat bunsu lungai riwu. Nanyu jatuh sa minau adu nyawung, lungai riwu sa turun masang kamar. Nanyauo jatuh sa minau nyarang sepak, lungai riwu sa turun nyansang singki. Luwan sarunai hanye kala here jatuh, ngamang talam alang rakeh riwuo, luwan rami raya Tumpuk Tane Nansarunai, guruh ginak yeru gumi ngamang talam. Uei jaku tumpuk Nansarunai, kuai jaki gumi ngamang talam. Daya hawi umpui ngadunungan Rahu, jaku uyang ngapupasan bala. Mangamet nileng hapapuru ulu. tabunau nganya umun lalan sikan, munsit napi erang balai natat, kutuk marap jaruo talunya’an. Tau baker hante ngumungpapuru ulu, berang ranrung nutup lalan sikan, tau bakir hante lawu pamupale, berang ranrung gugur pamaluku. Tapi engen tangkis baker lawu hasubarang, kilung berang gugur mampang ipai. Daya na’an tugas tumpuk hanye nganrei simpang lalan, raring bala nunup minsang ennui. Tuga
  • 12. tumpuk ulun mangalima, panungkulan manguratas runsa. Engen samuliah baker teka pamupale, samulikir berang hingka pamaluku. Tapi puang iyuh heput umpui putut sangar, ngahu dapat sasar uyang ngumung pati. Puang hampe wulan yena ngadunungan rahu, ngahu nyaing ta’un yeru ngupasan bala, gutuk banung jawa hawi nyarang rungu, ngunrah pilu kawan gurun nantang patis. Gutuk jawa ulun mangamuan tumak, gundrah gurun ulun mangantangun luwuk. Hawi jawa ulun lepuh nyasar benteng jaku gurun ulun tulak mungkas balat. Puang iyuh sangkuriung Sarunai usak jawa, ngahu dapat sangkuwengan ngamang talam gunrah gurun. Daya wurung umpui haut tudi ulu tukat, munsit uyang pada nakei amau adan. Luwan sarunai haut jari rirung rume, ngamang talam janang kamat lulun, rirung rume hanye daya usak jawa, kamat lulun alang gunrah gurun, luwan Sarunai lenuh jari danau, ngamang talam luyak janang luyu. Puang ure gawe jawa nyasar benteng, ngahu baling irau gurun mangkas balat. Daya pudayar Damung mangaturan jawa, patis karis raja manyusunan gurun. Ngatur jawa minauo paparangan, nyusun gurun turun panyarangan. Luwan Sarunai hanye jari uran tumak, ngamang talam janang rieh luwuk. Luwan Sarunai lenuh jari danau ira, ngamang talam luyak janang luyu riang,. Ekat jawan silu sa rari nanan sangar, dayang Ave hamulu nului panti. Amput mepet pusuk hanye kayuo saramelum, nyurah taruk tamu malar mangamuan matei. Ngungkung ilau kapas supu panyamare, namput awai supu pangujahan. Yeru lenuh tumpuk nansarunai, luluh luyah gumi ngamang talam rining rume hanye jari danau ira, kamat lulun janang layu riang. Puang iyuh sangkuriung mula umpui ulu tukat, ngahu dapat sangkuwengan uyang lawei aden. Banunag jawa galis irariwut mudi, pilu gurun haut inguangin matuk. Hawi silu ngumpul bangkai Pangunraun Jatuh, jaku Ave natai patei ngapet malem balah riwau, palus mapai hanye ilau panyamare, nawurahi awai pangujahan, palus ngebur hanye anri pusuk kayuo saramelum, mapas mapai ma taruk tamu malar mangamuan matei. Palus maumele here Pangunraun Jatuh, maumelan ngampet malem balah riwu. Palus ikilang antang here tane ngatanguan, nginte tenung gumi ngapanalan. Maka lawu ma’eh here mamai gunung rumung, palus isunsaing here ma gumi ipah bawi. Demikian sekilas peristiwa Sani Sarunai dengan bahasa Janyawai, agar Suku dayak Ma’anyan dapat merenung hal kemakmuran dan kehancuran dilanda peperangan yang disebut Perang Sarunai. DIBAWAH INI KAMI TERJEMAHKAN DENGAN BAHASA INDONESIA DARI BAHASA JANYAWAI DIATAS ADALAH SEBAGAI BERIKUT : Sebagaimana telah diterangkan pada ceritera terdahulu bahwa setelah adat istiadat dan peraturan hidup di Sani Sarunai diterapkan oleh Nini Punyut ( Etuh ) dan mulai dibudayakan dimasyarakat, Nini Punyut meninggal dunia. Dilanjut oleh Amah Jarang (anaknya) mengajak masyarakat membangun kehidupan bersama – sama berlandaskan hukum adat dan peraturan yang sudah mereka akui. Maka tercapailah kemakmuran dan keadilan untuk seluruh masyarakat Sani Sarunai. Dibangun
  • 13. Balai Panung ( Mahligai ), Pamungkulan, Pantar, Panti Jagat, Balai Adat, Mangguntur, lapangan olah raga dan lain – lain. Maka ramailah Sani Sarunai berpuluh – puluh tahun bahkan beratus – ratus tahun sehingga tersebarlah berita kemakmuran Sani Sarunai ke daerah lain. Namun pada suatu hari datang seekor burung elang yang diserupai oleh Roh air tetesan ke enam dari puncak Gunung Madu Rahu ditanah kejadian dulu dan elang tersebut menari diatas kepala Amah Jarang sambil menagis, pertanda ada bahaya besar menimpa Kota Sani Sarunai. Oleh karena itu Amah Jarang mengumum kepada seluruh masyarakat agar berjaga – jaga sebab bahaya besar akan menimpa kota mereka. Masyarak adat kehidupannya tidak ada angkatan perang khusus hanya keamanan ditanggung bersama berdasar kesatuan masyarakat. Tidak berapa lama dari kejadian elang tersebut,. Tiba – tiba datang ratusan kapal perang dari seberang lautan dengan membawa serdadu penuh dengan kelengkapan senjata tombak, keris, pedang kalewang, langsung mendarat menyerbu kota Sani Sarunai maka terjadilah pertempuran sengit sambil bakar membakar. Maka terjadilah banjir darah, lautan api menimpa kota Sani Sarunai disertai hiruk pikuk, pekik teriak, datangah pertempuran seru itu, hanya Ave dan Silu sempat melarikan diri serta membawa cupu tempat minyak dan kapas dari hasil tetesan ke tiga air dari puncak gunung madu Rahu ditanah kejadian, dan sempat mematah pucuk kayu yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, hasil dari tetesan pertama air dari puncak Gunung Madu Rahu ditanah kejadian dulu. Setelah kota Sani Sarunai hancur jadi abu dan penuh dengan darah, pulanglah pasukan dari negeri seberang itu dengan meninggalkan komandan pasukan mereka yakni Tuan Pudayar gugur dalam pertempuaran itu terbunuh oleh Sangumang ( Pasungan/Kilip ). Setelah kapal perang dari negeri seberang habis pulang kembalilah Silu dan Ave dari tempat persembunyian mereka, melihat mayat Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu beserta seluruh rakyat Sani Sarunai bergelimpangan tumpang tindih , susun menyusun, maka segera Silu dan Ave memilah mayat musuh dan mayat penduduk Sani Sarunai, langsung menabur minyak dari cupu yang mereka bawa lari itu ke seluruh mayat yang ada. Kecuali mayat – mayat musuh, antara lain mayat Tuan Pudayar. Lalu mereka berdua mengipas dengan pucuk kayu saramelum yang sempay mereka patahkan waktu mereka lari itu. Setelah dikipas, terbangunlah semua mayat – mayat Pangunraun itu serta rakyat lainnya. Hanya sayang pohon kayu saramelum itu ikut hancur terbakar, jadi tidak ada dilestarikan sampai sekarang. Setelah bangun hidup kembali mereka berkumpul musyawarah mencari tempat mereka pindah, maka bercerai berailah pendapat mereka. Pangunraun Jatuh naik ke Gunung Rumung, Maraja Haji berangkat ke Matahari terbit / hidup, Pasungan ( Sangumang ), Nalau, Ave dan Silu, Gayuhan mudik Barito, dan Gantang, Supak Sangkanak ke matahari terbenam ( arah barat ). Maka pecahlah mereka dari Sarunai dan mengadakan kelompok hidup masing – masing tidak diketahui tempatnya. Hanya yang kami ketahui didapat ceritera riwayatnya dari orang tua kami ( Nenek / kakek ) kami yakni Pangunraun Jatuh, karena mereka naik ke Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi, yakni didaerah Amuntai, sekarang Kabupaten Hulu Sungai Utara , ada sampai sekarang dibuktikan dengan Candi Laras, itu bekas tumpuk Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi, yaitu kota perpindahan Pangunraun Jatuh dari Sani Sarunai yang hancur lebur itu.
  • 14. Riwayat kehidupan Pangunrau di Gunung Rumung setelah mereka memasuki hutan yuang disebut waktu itu Gunung Rumung. Mulailah mereka membabat hutan, mengadakan perladangan sambil mengurbankan berbagai binatang peliharaan yang mereka bawa masing – masing dari Sani Sarunai waktu mereka bertebaran mengikuti arah tujuan hidupnya maisng – masing. Bibit dan binatang peliharaan tersebut sisa dari kehancuran di sani Sarunai yang sangat mengesankan dalam ceritera ini, bahwa di Gunung Rumung ini sangat sulit mencari air. Oleh sebab itu mereka sangat sulit mengatur hidup. Pada malam hari bermimpilah Amah Jarang datang dari Roh Dewa Dewi dari tetesan air yang ke enam, memberi petunjuk agar Amah Jarang membakar dupa kemenyan dan mencampur biji beras dengan minyak dan kunyit, supaya beras tersebut kuning dan menabur sebagai pesuruh menuju Roh tetesan air yang ke lima dari tanah kejadian dulu, supaya tersebut bisa memberi petunjuk dimana bias mendapat mata air yang bias mencukupi kehidupan mereka. Setelah bangun, lalu dilaksan Amah Jarang sesuai mimpi itu. Dengan tiba – tiba datang seekor elang dan terbang berputar – putar diatas sambil berbubnyi kuik – kuik, pertanda keriangan. Lalu dicoba Amah Jarang mengikuti terbang elang tersebut, ternyata terbangnya mendaki sebuah bukit, terus saja diikuti Amah Jarang mendaki bukit itu, yang nama waktu itu Gunung Karunrung Watu, Saing Liang Kayun Tahan. Setelah sampai ke puncaknya, ternyata memutar – mutar elang itu sambil berbunyi kuik – kuik, tanda kesukaan. Setelah Amah Jarang meneliti dengan cermat, ternyata dibawah dia terbang berputar itu, ada onggokan batu – batu besar. Setelah Amah Jarang melihat dibawah onggokan batu itu, dan ternyata mata air dibawahnya. Itulah mata air yang disebut waktu itu ” Ugang Amah Jarang ” . Dari mata air itulah mereka bisa bertahan membikin kampung, lama – kelamaan menjadi kota, itulah disebut Tumpuk Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi. Lama kelamaan bersemarak kemakmuran tumpuk Gunung Rumung hanya sayang penduduknya tidak sebanyak di Sani Sarunai karena pada musyawarah mencari tempat perpindahan berpecah pendapat dan mereka pecah bertebaran mengikuti pendapat masing – masing , seperti yang telah diceritera terdahulu, kelompok Marajahaji berangkat ke arah timur, kelompok Supak, gantang dan Sangkanak berangkat kea rah Barat dan pasungan ( Sangumang ) , Silu dan Ave, Nalau dan gayuhan membawa kelompok mudik sungai Barito. Sedangkan Pangunraun Jatuh naik ke Gunung Rumung ini. Itulah kemakmuran, keramaian di Gunung Rumung, tidak seramai di Sani Sarunai dulu. Disini kembali saya ceritera kelanjutan kehidupan mereka di Tumuk Gunung Rumung, menurut ceritera almarhum nenek saya RADEN BUNTU (anak RADEN SUTANEGARA, cucu RONGGO SUTA UNO ). Nenek saya ini meninggal dunia tahun 1953 di Desa Talekoi. Kelanjutan ceritera ini sebagai berikut : setelah Pangunraun Jatuh ini merasa cukup kuat perekonomian mereka hasil dari pertanian mereka, timbul permufakatan, mereka ingin mengadakan penyerangan balasan jke Negeri seberang ingin mengambil Dara Amas Tukal Banang, Suraibu Mirah Rawai Wali, yang tertawan oleh serdadu negeri seberang pada perang Sani Sarunai dulu. Kembali disini perlu saya ceritera ulang pada perang Sani sarunai, seorang wanita yang cantik sekali bernam Dara Amas Tukal Banang, Suraibu Mirah Rawai Wali yang tertangkap hidup, dia ini isteri pejabat adat di Sani Sarunai dulu,
  • 15. dan kepala suaminya dipotong dan dibawa pulang oleh serdadu negeri seberang sebagai tebusan ( ganti ) komandan mereka yakni Tuan Pudayar yang gugur pada pertempuran Sani sarunai itu, yang membunuh Tuan Pudayar itu adalah Pasungan (Sangumang) demikian ceriteranya. Setelah permufakatan rampung, berangkatlah mereka dengan memamakai kendaraan yang disebut pada waktu itu Banawa Samau, kendaraan itu mereka buat bersayap, sehingga di air bisa meluncur, diudara bisa terbang, yaitu setelah peluncuran diair berkecepatan lebih tinggi dengan sayapnya dia bisa terbang meleset ke udara. Maka dapat kita renungkan sekarang, bagaimana bentuk kendaran mereka itu. Disini perlu saya terangkan, manusia dulu tidak makan garam jadi makan mereka ringan – ringan tidak seperti kita sekarang, adanya manusia Dayak ini bisa makan garam datang dari bawaan budaya Hindu, manusia asli Dayak belum mengenal garam. Demikian ceriteranya. Selanjutnya setelah mengarungi lautan luas kadang – kadang meluncur diair, kadang – kadang meleset terbang maka sampailah mereka pada malam hari. Langsung Anggar menyerbu benteng pertahanan musuh pada malam itu juga maka berkatalah Anggar dalam bahasa Janyawai ” Banawa Jawa Nunung Hatumanri, Minau tahik Uras Galis Kayem, Luwan Nguliungut Tangis Here Jawa, Kala Apen Wanie Daya Panai Anggar Nyujuk Ieng Malem “. Singkatnya pertempuran berkecamuk, hancurlah negeri seberang itu. Namun hanya satu pemuda negeri seberang itu yang tidak mempan senjata dan tetap bertempur melawan mereka. Membentang pinai maleh, Jarang menghadapi pemuda itu .. engan bahasa Janyawai ” Saluang Ipanrapis Bemeng Umpe Jumpun Nikulawit, Kaleh Jarang Ahu Ngawuwenseng Ngitus Jawu Pamatang Langit. Saluang Ipanrapis Bemeng Umpe Jumpun Ni Sikulu, Kaleh Jarang Aku Ngawuwenseng Ngitus Jawu Pamatang Uwu “ mendengar itu membalas pemuda tadi ” Minai Tuak Aning Erang Asek Raru anri Wulu, Memai Pangkan Aku Mula Maleh Wuri Datu Hingka Tane Nansarunai. Tuak Aning Aseh Erang Asek Raru Anri Wulu Wurung , Pangkan Paning Aku Mula Maleh Wurie Datu Teka Tane Gunung Rumung “. Setelah mendengar pinai pemuda tadi, berkata Jarang, gencatan senjata sebentar untuk berunding. Setelah buka perundingan dengan pemuda tadi, mengapa pinai demikian bunyinya ? saya ini anak Dara Amas Tukal BanangSauraibu Mirah Rawai Wali, yang masih dalam kandungan almarhum ibu ku, ikut tertawan pada perang Sani Sarunai dulu. Almarhum ibu menceritakan padaku perang sarunai itu, kepala ayahku dibawa mereka sekarang ada padaku. Mendengar perkataan pemuda itu, jarang lalu menangis dan merangkul pemuda itu sambil berkata, kau ini adik sepupu kami karena ibumu itu bersaudara dengan ibu kami, kami adalah penyerang dari Gunung Rumung yang asal dari Sani Sarunai yang hancur itu, mana ibu itu ?. pemuda itu menyahut, aku ini bernama Paning ibuku sudah meninggal, mendengar perkataan Paning ituJarang mengajak mereka membongkar kuburan ibu Paning dan tulang belulangnya dikumpul dengan kepala ayah Paning yang terpenggal dulu dan dibawa beserta adik sepupu mereka ini pulang ke Gunung Rumung. Demikianlah secara singkat hasil penyerangan mereka ke negeri seberang.
  • 16. Disini ceritera kehidupan di Gunung Rumung sudah menyerang negeri seberang, setelah mereka pulang dari negeri seberang mereka kembali mengadakan pembangunan bermacam – macam bangunan pada masa itu antar lain : Panti, Pantar, Tuga, Tungkup, Panungkulan, Balai, Parung, Malegai, Balai Pidudusan dan candi. Maka sekarang ada bukti di daerah Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan yang disebut Candi Laras. Itu bekas kerajaan Masyarakat Adat pada masa Pangunraun Jatuh hidup di Gunung Rumung mendekat masa terakhir, kehidupan di Gunung Rumung para Datuo dan para Dara semakin habis meninggal dunia tinggal para Pangunraun yakni : Idung, Jarang, Tangkai, Talengo, Iban, Bangkas, Patis, Anyawungan, Anggar, Paning. Dalam masa yang singkat datang lagi penyerangan dari negeri seberang dibawah pimpinan Patih Gajah Mada. Dalam pertempuran yang sengit Paning yang tidak ikut berkelahi dia berusaha mereda pertempuran itu akhirnya dapat ditengahi, sehingga berdamailah mereka dengan perjanjian : 1. Masyarakat adat masih berhak mengatur tata kehidupan mereka di Gunung Rumung. 2. Masyarakat adat diharuskan membayar upeti setiap tahun ke negeri seberang. 3. Agama Hindu harus diperkenankan berbaur dengan pengaturan adat. 4. Ajaran agama Hindu di bidang tata kenegaraan harus diterima oleh masyarakat adat. 5. Pengaturan kehidupan berbentuk kerajaan, tapi dibawah kerajaan negeri seberang, penmgaturanya dibagi tiga : a. Dibidang agama dan adat istiadat diatur oleh Demang b. Dibidang pertahanan dan keamanan diatur oleh Tamanggung c. Dibidang sisial ekonomi, budaya dan lingkungan hidup dan lain – lain diatur oleh Patinggi. Setelah diakui bersama permufakatan ini lalu mengangkat sumpah supaya sama – sama mentaati perjanjian itu karena waktu itu belum ada tulis menulis karena belum ada pendidikan abjad dan rumah sekolah. Dari hasil musyawarah ini Paning digelar oleh sudaranya ” Paning helang Ranu, Turus Helang Watang “ setelah selesai mengangkat sumpah pulanglah Patih Gajah Mada ke negeri seberang dengan meninggal para pendeta Hindu. Maka berbaurlah adat istiadat dan peraturan yang ditinggal Nini Punyut ( Etuh ) dengan adat istiadat yang diajar agama Hindu. Timbullah tata kemasyarakatan berkasta ( bertingkat ) yaitu tingkat tinggi, menengah dan tingkat rendah, yang antara lain dalam bahasa Ma’anyan ” Putak Amau ( bangsawan ), Manrama’an ( Maratawan ), Putak Ime ( walah ) yang artinya budak “. Setelah kehidupan masyarakat berkasta atau bertingkat ini tidak sesuai dengan ajaran Nini Punyut maka mulailah kehancuran Gunung Rumung karena dalam hati para Pangunraun tidak setuju hidup berkasta itu kerena banyak hak azazi yang diajar Nini Punyut terlanggar antara lain : Azazi para Walah (budak), suram oleh para bangsawan oleh karena itu berangsur – angsur (satu demi satu) Gunung Rumung akhirnya habis menghilang atau dalam bahasa Ma’anyan gaib yang artinya lati
  • 17. tidak tahu tempatnya maka tidak ada kuburunya. Adapun Damung, Tamanggung, patinggi yang terakhir memegang pimpinan di Gunung Rumung ini dalam ceritera nenek dulu yaitu : 1. Damung Mangkurap 2. Tamanggung Jaya Sungkat 3. Patinggi Tambing Baya raya Setelah para Pangunraun habis menghilang ( Gaib ) berangsur – angsur keadaan Gunung Rumung mundur lalu mulai perpecahan. Damung Mangkurap membawa sebagian pindah ke Kayu Tangi di Martapura, Tamanggung Jaya Sungkat membawa sebagian masyarakat pindah ke Hulu Tabalong yaitu daerah Dayak Bukit Labuhan, mereka disebut Banua Lima. Patinggi Tambing Baya Raya membawa sebagian masyarakat ke daerah Sungai Patai yang disebut sekarang Barito Timur. Demikian perpecahan Gunung Rumung menurut ceritera nenek yang dapat saya uraikan disini. Jadi yang dibawa Patinggi Tambing Baya raya ini pecah menjadi 3 (tiga) wilayah semula disebut : 1. Paju Epat 2. Kampung Sapuluh 3. Dayu Nah diselidiki dari bahasa sangat menetukan, Ma’anyan Banua Lima dan Banjar masih berasal dari serumpun bahasa karena masih banyak persamaan, jadi dapat saya percaya ceritera nenek itu mungkin benar suku – suku ini berasal dari 1 (satu) keturunan yaitu Gunung Rumung. F. RIWAYAT PATINGGI TAMBING BAYA RAYA MEMBAWA MASYARAKATNYA KE PATAI SERTA ADAT BUDAYANYA. Setelah mereka sampai sungai Patai mereka mulai membabat hutan dengan mengorbankan berbagai binatang peliharaan yang mereka bawa dari Gunung Rumung antara lain kerbau, babi, ayam dan lain – lain untuk darahnya pengalas tanah air yang baru mereka masuki ini karena daerah ini hutan belantara. Menurut adat dan aturan yang diajar Nini Punyut ( Etuh ) dulu waktu mereka pindah dari Laliku Maeh ke Sani Sarunai dulu harus mengorbankan ternak untuk darahnya mengalas tanah air yang baru mereka masuki, untuk tanah air yang baru mereka masuki itu bisa memberi ketenangan dan penghasilan yang melimpah ruah demi kehidupan mereka. Demikian mereka memulai tata kehidupan ditempat baru ini, mulailah mereka membuat lading, kebun buah – buahan dan lain – lain dengan bergotong royong bersama – sama yang disebut ” Anrau Iram Saluk Matu “ serta memulai mengusaha hasil hutan antra lain rutan diambil untuk bahan anyaman membuat bakul , keranjang, tikar, lampit, lanjung dan lain – lain guna perlengkapan perkakas rumah tangga. Bakul untuk piring nasi disebut ” Tana’ihan “” Wange Luen ” dari tempurung juga dibelah dibuat jadi sendok
  • 18. gulai disebut ” Pisabuk Luen “ dari kayu dibuat (Dibelah) dan bibikin tipis ujung seperti papan, bulat pangkal untuk sendok nasi disebut ” Waruh “ untuk mengambil air dari kali atau dari sumur dibuat dari buah kelapa tua, dibikin lobang dimukanya selolos ibu jari buah kelapa tersebut direndam dalam air sampai hancur membusuk isinya kemudian baru dibersihkan dibikin tutup bundar kulit kelapa lain dan diberi lobang kecil sepotong belahan kayu kecil dan panjangnya kira – kira 5 cm, lalu ikat kedua ujung rotan kecil tadi pada tengah potongan kayu tadi dan masukan kedalam lobang tempurung yang lolos ibu jari tadi, dan lipatan rotan ujungnya masukan kedalam lobang tutupnya sehingga bisa dijinjing dari ujung lipatan rotan tadi. Alat pengambil air ini disebut ” Wangku “. Hasil hutan lainnya antara lain membikin perahu yang seperti sampan (banawa) dipakai mereka menyeberang dari Gunung Rumung untuk menyerang negeri seberang dulu hanya perahu ini tidak bersayap, ini adalah alat transportasi air yang disebut ” Jukung “ . Maka sampai sekarang terkenal jukung patai dan sampai sekarang ramai diperjual belikan sebagai sumber usaha pertama yang membudaya pada suku masyarakat adat Ma’anyan, suku lain adalah meniru dari suku ini. Mengenai transportasi darat belum ada kepandaian selain menjinjing, memikul dan memapak ke punggung dengan kekuatan tenaga. Alat penerang mereka diambil dari dari damar dihutan dan mereka tumbuk jadi tepungdijemur sampai kering, dibungkus dengan daun pisang diikat, pangkalnya terbuka ujung atas dan dibikin memanjang seperti ruas bambu, tempat menyalakannya dibuat papan dari kayu ± 50 cm ditengahnya dipahat lobang 5 cm persegi, dilobang ini didirikan patung ± 40 cm – 50 cm didata patung dibuat lobang lagi ± 4 cm persegi pada lobang ini dimasukan 1 (satu) buah potongan kayu dibelah dua yang panjangnya ± 20 cm – 25 cm sebagai tanggannya, diantara kedua tangan ini dijepit bungkusan damar tadi baru dinyalakan, ini disebut ” Jangkaramai “.” Teluk Ma’anyan “ selama 7 hari 7 malam Damung Baning bertapa dengan rakit gedang pisang yang besar – besar tujuh potong gedang pisang untuk membuat rakit. Pada malam ke 7 (tujuh ) angin rebut, guntur petir, hujan lebat, tiba – tiba muncul dari dalam air diteluk tersebut perlahan – lahan kepala manusia lengkap dengan lawung lawai semakin lama semakin keluar badannya. Setelah dilihat seorang wanita cantik lengkap dengan pakaian dukunnya lalu minta disambut oleh Damung Baning, gong tempatnya duduk dan kangkanung tempatnya berpijak tujuh buah, namun terlepas 2 (dua) hanya 5 (lima) yang sempat diangkat. Itulah asal Agung Garinsingan, Kangkanung Nyiang Lengan, pusaka orang Dayak Ma’anyan tapi benda tersebut entah dimana sekarang tidak diketahui tempatnya. Adapun wanita tadi sengaja diberi Dewa Dewi untuk Dukun Balian Pangunraun, guna melaksnakan adat istiadat yang menyangkut roh tetesan ke lima dan roh tetesan ke enam dari tanah kejadian dulu ( di Tane Tipak Sulau ) Nama wanita ini ” Gumantartutup “ ayahnya Dewa, Damung Ulin, Uria Rajadina ibunya, Dewi Bintang Wayang Putri Igal Gamung. Ceritera inilah asal usul Wadian Rama dan dari pertapaan Damung Baning ini baru mendapat nama Suku Dayak Ma’anyan sebelumnya disebut Suku Dayak Pangunraun. Sesudah semua mengakui nama sukunya, Putri Gumantartutup ini mulailah Ma’anyan bertebaran Damung Baning, paris Mawuyung, Tunjung Aneh Matu, mangku Jaya, ke Paju Epat, Tamanggung Sangar Wasi, ke kampong sapuluh, Damung jaya Abeh ke Dayu, Ngabe Timpang ke Banua Lima.
  • 19. Meskipun bertebaran, tetap sukunya Dayak Ma’anyan pada pertengahan penjajahan Hindu dari Jawa, datang dari Timur Tengah, Uria Pitu ( 7 ) mereka ini panglima perang dari Timur Tengah sengaja datang untuk mengajar ilmu perang kepada kita. Ilmu yang diajarkan silat dan ilmu kekebalan terhadap senjata tajam. Uria Pitu ( Panglima Perang ) ini bersaudara sebanyak 7 (tujuh) orang yaitu : tempurung kelapa untuk tempat gulai disebut Kalau untuk jalan malam tidak bisa mamakai damar tersebut, tapi diambil teras kayu kering dijemur kering – kering baru dinyalakan pada malam hari bila mau berjalan ini disebut ” Belun ” tapi kalau di Sani Sarunai dulu bila mereka mau berjalan malam mereka mencari sepotong kayu rapuk yang dibalut oleh cendawan sinar yang disebut ” Kulat Kumala ” itu untuk mereka berjalan malam. Perlu saya terangkan baru setelah mereka di Patai ini mereka mulai mengenal makan garam karena dibawa oleh pedagang suku Bakumpai di negeri Patai ini, Damung Baning bertapa disebuah teluk muara Sei Telang dan Siung, teluk yang besar disebut 1. Uria Damung Napulangit, mengajar ke Paju Epat 2. Uria Puneh, mengajar mudik Barito 3. Uria Renda, mengajar ke kampong sapuluh sampai dengan Banua Lima 4. Uria Ratau, mengajar ke Dayu, Paku Karau, Lawangan 5. Uria Biring ( Maholi ), mengajar ke Tabalong, Labuhan, halong, Balangan sampai dengan Dusun Tumang 6. Uria Bunan, mengajar ke Martapura sampai dengan Banjarmasin 7. Uria Pulanggiwa, mengajar ke Kapuas dan Kahayan Untuk lebih jelasnya keturunan dari ke tujuh uria diatas, dapat anda lihat pada Jereh ( Silsilah ) keturunan yang saya lampirkan pada buku ini. Sampai disisni ceritera asal usul Dayak Ma’anyan yang saya ingat dari ceritera almarhum nenek saya Raden Buntu ( Tu Medan atau Ibu Pananda Ch. Luran ). Nenek ini anak Raden Suta Negara ( cucu Ronggo Suta Uno ) di kampung Telang Lama, yakni yang empunya Tamak Mas yang ada di Telang Lama sekarang. Adapun saya yang mengurai dan sebagai nara sumber ini adalah anak A. Guse adik perempuan dari Ch. Luran (Bp. Gubib) dan yang membukukan ceritera ini adalah anak M. Ruhini ( cucu dari A. Guse ). Sejarah Singkat Maanyan Maanyan adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Kalimantan. Pemukimannya sekarang meliputi sebagian wilayah utara Propinsi Kalimantan Selatan dan sebagian wilayah daerah timur Propinsi Kalimantan Tengah yakni didaerah Barito Timur dan Barito Selatan serta daerah Waruken dan sekitarnya yang termasuk Daerah Tingkat II, Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Menurut cerita, pemukiman pertama suku ini adalah di tepi sungai Martapura (Klimbenteng) Kayu Tangi, Marampiau, Tane Karang Anyan serta disepanjang sungai Tabalong (Benua Lawah) atau Benua Lawas menurut lafal Melayu, masuk sungai
  • 20. Balangan. Serta menyusuri sungai Barito yakni sungai-sungai Sirau, disekitar Patai dan aliran sungai lainnya. Tempat ini dikenal oleh suku Maanyan dengan nama Nansarunai. Wilayah Dialek Bahasa Maanyan a. Wilayah Benua Lima meliputi : Jangkung, Hadiwalang, Uwei, Pulau Padang, Kayunringan b. Wilayah Paju Epat meliputi : Telang, Siong, Balawa, Murutowo c. Wilayah Paju Sepuluh meliputi : Murungkliwen, Pimpingen, Munsit, Harara, Patai, Lasi Muda, Sarabon, Pagar, Tangkan, Bangi Sampa Tulen. Sebagai catatan, Bahasa Maanyan memiliki banyak kesamaan dengan bahasa yang dipergunakan di pulau Madagaskar Perjalanan Orang Maanyan Asal usul orang Maanyan dan beberapa pendapat tentang penyebarannya Orang Maanyan sebagaimana golongan penduduk di Nusantara yakni Sunda, Jawa, Bali, Batak, Minangkabau dan lainnya, termasuk dalam rumpun penduduk Austronesia. Menurut dugaan, mereka berasal dari Hindia Belakang, sekitar 2000 tahun SM, serta berdiam di wilayah Nusantara ini secara khusus dibagian selatan pulau Kalimantan . Mereka berlayar dengan menggunakan perahu yang besar disebut Sambau/weta/banawa. Kelompok yang melakukan pelayaran itu, adalah dari satu keturunan. Dengan menggunakan sambau tadi, kelompok ini melakukan pelayaran dilaut, dengan tujuan yang belum pasti. Yang jelas tujuan mereka itu adalah ke arah selatan. Sebagai pedoman untuk menentukan arah dilaut, mereka bisa membaca gerak bintang dan bulan pada malam hari, serta sewaktu siang hari untuk menentukan arah perahu mereka. Bintang Salib Selatan atau Krux yang terlihat pada bulan Maret dikaki langit sebelah timur pada sore hari, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore hari dikaki langit sebelah barat pada bulan September. Bintang Orion, Taurus dan Peades yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur pada bulan Desember, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore hari dikaki langit sebelah barat pada bulan Mei. Bintang Aquilla, Vega dan Lira yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur pada bulan Juni, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam dikaki langit sebelah barat pada sore hari pada bulan November. Penyebaran orang Maanyan dari Hindia Belakang, memilih berangkat pada bulan April
  • 21. sampai bulan Oktober, karena cuaca pada saat itu cukup baik untuk mengadakan pelayaran. Waktu siang hari cuacanya terang untuk melihat matahari, serta dimalam hari cuacanya cukup cerah untuk melihat bulan dan bintang, sebagai pedoman menentukan arah. Dalam pelayaran mereka ke Nusantara orang Maanyan melalui Teluk Tongkin, terus mengarungi Laut Cina Selatan dan menyusuri pesisir pantai Semenanjung Malaka. Kemudian masuk Laut Jawa bagian utara seterusnya masuk Selat Madura dan akhirnya mendarat di pantai Gresik, yang dalam lafal orang Maanyan menjadi Garasik. Akan tetapi kehidupan di wilayah ini sudah ada, sehingga mereka sulit berintegrasi dengan penduduk setempat, lalu kelompok ini bergerak lagi kearah utara dan akhirnya membuka tempat pemukiman baru di pulau Kalimantan bagian selatan. Di tempat mereka yang baru ini, mereka mengadakan pemukiman dengan kehidupan yang baru pula. Sebagaimana layaknya kelompok anggota masyarakat lainnya, mereka juga mempunyai tempat tinggal yang menetap. Dibagian selatan pulau Kalimantan mereka tetapkan sebagai daerah pemukiman baru, untuk mengganti tempat asal mereka di Hindia Belakang. Adapun wilayah orang Maanyan itu ialah : Tane Karang Anyan, Tane Karangan Lala atau Liang Anggan, Kayu Tangi, dan Gunung Pamaton. Di daerah mereka yang baru tersebut mereka jadikan sebagai pemukiman yang tidak mengalami perpindahan, sebab wilayah ini masih belum ada penduduknya. Hal itu memungkinkan mereka berusaha untuk mengadakan adaptasi dengan lingkungan baru serta kehidupan yang baru pula. Kelompok masyarakat yang bermukim dibagian selatan pulau Kalimantan itu, termasuk kelompok yang berbahasa Austronesia. Hal ini disebabkan cara mengucapkan bahasa-bahasa yang sama, dapat digolongkan bersama dengan bahasa-bahasa Indonesia, Filipina, Taiwan dan Madagaskar di lepas pantai timur Afrika. Sedangkan kalau dilihat dari segi keadaan fisik, penduduk yang mendiami pulau Kalimantan, secara khusus orang Maanyan dapat digolongkan kedalam Malayan Mongoloid. Orang Maanyan selain mendiami pulau Kalimantan, mereka juga mendiami pulau Madagaskar dilepas pantai tumur Afrika. Ada dua pendapat tentang keberadaan orang Maanyan di pulau Madagaskar. Pendapat Pertama : Orang Maanyan berada di pulau Madagaskar karena perahu mereka terpisah dilautan sewaktu menuju kepulauan Nusantara. Berdasarkan pendapat para ahli linguistik, pernah memperhitungkan dengan metode- metode lexico-statistik bahwa bahasa maanyan di Kalimantan terpisah dari lain-lain bahasa Indonesia bagian barat, kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Para ahli tersebut berpendapat bahwa sewaktu orang Maanyan berlayar menuju arah selatan perahu mereka terkena serangan angin ribut, sehingga sebagian menuju pulau Kalimantan dan sebagian lainnya terdampar di pulau Madagaskar. Gabriel Ferrand berpendapat bahwa sebelum abad pertama Masehi banyak datang orang- orang negro Bantu dari benua Afrika lalu menetap di Madagaskar. Kalau pendapat para ahli linguistik dan Gabriel Ferrand itu benar, tentunya orang Maanyan dan orang-orang Negro Bantu banyak menyebar ke segala penjuru pulau. Sedangkan dalam kenyatannya pada abad ke-15, ketika bangsa Portugis datang ke pulau Madagaskar orang Maanyan atau suku Merina hanya berpusat disatu tempat yaitu ditengah-tengah pulau dan orang-orang Negro Bantu bermukim pada sepanjang pantai sebelah barat dan selatan pulau Madagaskar, ditambah beberapa suku lainnya.
  • 22. Berdasarkan hasil galian arkeologi yang dilakukan oleh Neville Chittick, pada sebuah kuburan tua milik orang kaya dari masyarakat Islam di Iharana dekat kota Vohemar yang modern terletak disebelah timur-laut pulau Madagaskar, telah ditemukan mata uang emas dari zaman Kalifah Fatimah abad ke-10 dang kepingan uang emas dari abad ke-12. Dari hasil galian arkeologi itu, diketahui pada abad ke-10 menjelang abad ke-12 atau pada awal ke-13, orang-orang Negro Bantu dan suku-suku lainnya datang secara bergelombang ke pulau Madagaskar hingga memasuki abad ke-15. Raymont Kent, seorang ahli sejarah bangsa Amerika, berpendapat bahwa orang-orang Negro Bantu yang ada di pulau Madagaskar sebagian berasal dari para budak dan yang lainnya berasal dari masyarakat umum yang bukan keturunan budak. Orang-orang Negro Bantu asal Sofala dan pantai timur benua Afrika bermigrasi ke pulau Madagaskar, karena tertarik oleh cerita-cerita para pedagang bangsa Arab yang pulang pergi ke pulau tersebut akan kesuburan tanahnya. Keterangan lain yang diperoleh dari seorang ahli ilmu bumi bangsa Arab asal Baghdad, bernama Al-Mas'udi bergelar Abu'lhasan yang telah datang ke pulau Madagaskar pada tahun 930 dan tahun 940, meninggal dunia dalam tahun 956, tidak pernah menyebutkan bertemu dengan orang Maanyan atau orang-orang dari kepulauan Nusantara lainnya serta orang-orang Negro Bantu yang telah bermukim di pulau tersebut. Selain daripada itu tidak pernah terdengar adanya perang suku diantara beberapa suku bangsa yang ada di pulau Madagaskar sampai abad ke-18. Perang suku atau perang antara kerajaan-kerajaan kecil di pulau itu mulai timbul setelah raja Merina yang bernama Andrianampoinimerina naik tahta pada tahun 1787. Raja Andrianampoinimerina ingin mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di pulau tersebut didalam kesatuan kerajaan Merina. Kebijaksanaannya itu kemudian diteruskan oleh raja Radama I yang bertahta dari tahun 1810-1828. Pendapat Kedua : Orang Maanyan pelopor penyeberangan ke pulau Madagaskar. Otto Christian Dahl, dalam bukunya Malgache et Ma'anyan une Comparasion Linguistique tahu 1951, dalam kesimpulannya mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 400. Roland Oliver dan Brian M.Fagan, dalam bukunya Africa in the Iron Age tahun 1978, mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945-946, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik. Dari syair-syair dalam tembang tradisional orang Maanyan kuno yang dinamakan tomet- leot, mereka telah menemukan sebuah pulau yang sepi tidak berpenduduk, lalu mereka namakan pulau itu Tane Punei Lului. Dalam syair-syair tomet-leot tersebut dijelaskan juga petunjuk tempat-tempat yang harus dilewati ketika mengadakan pelayaran menuju ke pulau Madagaskar. Kalau kita tinjau keadaan di Nusantara pada tahun 400, maka waktu itu di Kalimantan Timur berdiri sebuah kerajaan Hindu dengan rajanya yang pertama bernama Mulawarman. Boleh jadi waktu itu ada orang India atau orang beragama Hindu singgah di Kalimantan Selatan lalu memberitahukan bahwa ada kerajaan Hindu baru berdiri di Kalimantan Timur. Berita itu membuat orang orang Maanyan yang masih kuat menganut kepercayaan terhadap roh para leluhur merasa akan tersingkir, sehingga sebagian dari mereka yang masih berjiwa petualangan, mencoba mencari tempat pemukiman baru di luar Kalimantan Selatan dan pada akhirnya menemukan pulau Madagaskar.
  • 23. Mungkin beberapa tahun kemudian, mereka yang mengadakan petualangan itu kembali ke pulau Kalimantan lalu mengetahui bahwa raja Mulawarman tidak bersifat agresif untuk memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga orang-orang Maanyan yang ada di Kalimantan Selatan tidak perlu merasa khawatir. Tetapi kerajaan Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa Barat hingga Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929-947, maka orang Maanyan yang ada di Kalimantan Selatan sebagian mengadakan evakuasi ke pulau Madagaskar yang telah mereka ketahui letaknya, dari tahun 945-946. Kepergian mereka itu untuk menghidari kemungkinan serangan Sriwijaya yang pada akhirnya sampai juga ke pulau Kalimantan bagian selatan. Masyarakat lainnya karena sayang meninggalkan harta miliknya berupa kebun buah-buahan dan lain-lainnya, tetap bertahan walau bagaimanapun yang akan terjadi. Dari pulau Kalimantan bagian selatan mereka berlayar menyusuri Tanjung Silat, masuk selat Bali, terus menyusuri lepas pantai selatan pulau Jawa. Setelah lepas dari ujung pulau Jawa, perahu mereka sebagaimana perahu pendahulu mereka, yaitu para petualang pada abad ke-1, terbawa arus khatulistiea (summer aquatorial current) di lautan Hindia. Dengan terbawa arus khatulistiwa tersebut mereka pada akhirnya sampai ke pulau Madagaskar. Ditempat yang baru itu mereka memulai membuat pemukiman serta kehidupan dan penghidupan yang baru pula serta beradaptasi dengan alam lingkungan yang baru. Karena cara bertani mereka lakukan masih dengan cara perladangan yang berpindah- pindah, sehingga akhirnya mereka sampai pada bagian tengah pulau tersebut. Perjalanan waktu membuat orang Maanyan Madagaskar atau dikenal orang Merina, zaman raja Radama I, telah menerima kedatangan Zending yang dibawa oleh INggris ke pulau tersebut, sehingga membuat kemajuan yang berarti bagi kelompok mereka, dibandingkan dengan suku-suku lainnya di pulau tersebut. Cilik Riwut dalam bukunya Kalimantan Membangun, menyebutkan bahwa di Madagaskar ada orang Maanyan dan di Indragiri terdapat orang Banjar. Walaupun hubungan antara orang Maanyan Madagaskar dan orang Maanyan Kalimantan tidak lagi berjalan seperti dahulu kala, akan tetapi sering touris asal Madagaskar apabila berkunjung ke Indonesia selalu bertanya dimana letak Pulau-Patai dan daerah-daerah lainnya, karena Kalimantan Selatan adalah tempat asal nenek moyang mereka. Pada tahun 1984, pernah diminta alat-alat kesenian tradisional milik suku dayak Maanyan melewati Biro Perlengkapan Departemen Luar negeri, yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Rusli Djohari, Bc.Kn. Dengan adanya pengiriman alat-alat kesenian tradisional terebut diharapkan akan mudah mengadakan komunikasi dengan anggota masyarakat secara umum, khususnya antara suku Merina dari Madagaskar dengan suku dayak Maanyan ynag ada di Kalimantan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Apabila hubungan bisa terjalin kembali maka akan mudah mengadakan tukar menukar pikiran serta pandangan mengenai adat-istiadat, sosial budaya, hukum serta struktur kemasyarakatan dan lain sebagainya, antara anggota masyarakat suku dayak Maanyan dengan suku Merina yang ada di pulau Madagaskar. Dengan terjalinnya hubungan yang baik, akan lebih banyak bisa dipelajari latar belakang kedua suku ini.
  • 24. Sejarah Lahirnya Ijambe Bahwa di Nansarunai (diperkirakan daerah Kalimantan Selatan) ada sebelas orang tokoh dan mereka ini mengadakan hubungan dengan daerah seberang. Kesebelas tokoh tersebut adalah : 1. Ambah Jarang/Datu Taturan Wulan bergelar Miharaja Papangkat Amas dengan istrinya Dara Gansa Tulen bergelar Suraibu Agung Pahur Langit. Putera mereka bernama Jarang, bergelar Dambung Lamuara Datu Gahanuluan. 2. Ambah Idung/Datu Nuluh Wamban bergelar Miharaja Tinyau Laut dengan istrinya Dara Babar Wunrung bergelar Suraibu Dadamparan Manyang. Putera mereka bernama Idung bergelar Dambung Ilap Nyilu, Patis Payung Andrau. 3. Datu Bias Layar bergelar Miharaja Tampi Dagang, dengan istrinya Dara Ngumpani Banang bergelar Suraibu Mubai Kapas. Putera mereka bernama Dambung Panding bergelar Raden Siak Gansa Purun. 4. Datu Pantahala Langit bergelar Miharaja Kabeh Lalan Andrau, dengan istrinya bernama Dara Pansu Kasa bergelar Suraibu Turus Ranan. Putera mereka bernama Mantir Kaki bergelar Ratu Ngaluh Langit. 5. Datu Garinsingan bergelar Miharaja Handak Lala dengan istrinya bernama Dara Pansu Amas bergelar Suraibu Wulan Tunyung. Putera mereka bernama Anyawungan bergelar Dambung Anya Gunung bergelar Ratu Guruh Langit. 6. Datu sangan Langit bergelar Miharaja Tutuyan Andrau dengan istrinya bernama Dara Sundra Undru bergelar Suraibu Tumiasan Wulan. Putera mereka bernama Anggar bergelar Dambung Lampang Dinei bergelar Gandamean Sinsing. 7. Datu Dauh Langit bergelar Miharaja Nantur Lalan Andrau dengan istrinya bernama Dara Lancir Ganda bergelar Suraibu Mangatekang lengan. Putera mereka bernamaPapak Ranggen Limbun bergelar Ratu Agung Mansing. 8. Datu Papusuk Langit bergelar Miharaja Sungkul Lalan Andrau dengan istrinya bernama Dara Babar Wunge bergelar Suraibu Pangilewu Amas. Putera mereka bernama Dambung Bakas Maleh bergelar Ratu Nyalur Langit. 9. Datu Mangkarean bergelar Miharaja Puput Wawun Tangun dengan istrinya bernama DaraPansu Lumiang bergelar Suraibu Wulan Lalung. Putera mereka bernama Dambung Bakas Maleh bergelar Punsu Raya Gunung. 10. Datu Punyut Tulusan bergelar Miharaja Gunung Lansir dengan istrinya Apen Katurak Wawei bergelar Suraibu Ine Jawen Piutandrik. Putere mereka bernama Mantir Talengu bergelar Ganda Papan Wewei. 11. Datu Masa Liau bergelar Miharaja Meru Ingkai, dia ini beristri dua : • Istri pertama ; Dara Tamuruk Unsu bergelar Diang Hamai Panuluan. Putera mereka bernama Dambung Tengki Maleh bergelar Ratu Guruh Raya. • Istri kedua ; Apen Piteng bergelar Wawei Mapait Nanam. Putera mereka bernama Dambung Kanurung bergelar Ratu Agung Meru. Pada waktu itu ada seorang suami istri berdagang ke Nansarunai, dan pada waktu itu tepat musim kemarau panjang sehingga tidak bisa kembali keseberang sedangkan si istri
  • 25. terpaksa ditinggalkan sementara di Nansarunai. Akibat dari kemarau panjang ini maka semua sungai dan sumur menjadi kering. Pada waktu itu ada seorang tokoh Nansarunai yang bernama Ambah Jarang mempunyai sebuah sumur dan hal ini tak seorangpun mengetahuinya. Tetapi si istri tuan Panayar (yang ditinggalkan suaminya keseberang) tersebut memelihara burung "Winsi" dan dia melihat setiap "Winsi" pulang selalu basah bulunya bekas mandi air. Sehingga berdasarkan petunjuk burung inilah maka si istri tuan Panayar mengikuti kemana saja burung itu terbang yang akhirnya sampailah ke sebuah sumur yang penuh dengan air yang jernih dan tenang. Suatu ketika Ambah Jarang yang mempunyai sumur itu melihat ada wanita cantik yang mengambil air di sumurnya maka ditangkapnyalah si wanita itu lalu dijadikan istrinya. Ketika suami (Tuan Panayar) datang dari seberang dengan maksud mengambil istrinya, tetapi dia terkejut karena istrinya sudah diambil ke Nansarunai dengan membawa serombongan orang-orang untuk menyerang tokoh-tokoh Nansarunai. Dan akhirnya ke- 10 tokoh Nansarunai tewas semua yang kemudian peristiwa ini dikenal dengan nama Nansarunai Usak Jawa yang artinya Nansarunai diserang dari/oleh orang dari seberang. Hanya satu orang yang bernama Datu Garinsingan bergelar Miharaja Handak Lala yang berhasil hidup dan bersama ke-12 putera ke daerah pegunungan. Ke-12 putera ini dikenal selaku 12 kesatria yang disebut "Pangundraun". Setelah ke-12 kesatriai ni cukup dewasa mereka kembali ke Nansarunai. Dan mereka merebutnya kembali. Tetapi Nansarunai yang mereka rebut kembali itu sudah hancur, porak-poranda. Dari ke- 12 kesatria ini yang menjadi sangat terkenal dan selalu terdapat dalam nyanyian para Hiyang wadian ialah Idung bergelar Dambung Ilep Nyilu, Patis Payung Andrau dan Jarang bergelar Dambung Lamuara, Ratu Gahanuluh dan Dambung Panding bergelar Raden Riak Gansa Purun. Dikalangan suku Dayak Maanya Paju IV yang bernama Dambung Panding bergelar Raden Riak Gansa Purun tidak diakui sebab dia kawin diseberang sewaktu mereka menuntut balas. Setelah berhasil merebut kembali Nansarunai barulah orang mulai mengumpulkan tulang-tulang dari tokoh Nansarunai yang mati dalam pertempuran sewaktu Nansarunai Usak Jawa. Pada saat ini seorang tokoh adat yang disebut dengan Mawuntu mengatakan bahwa mayat atau kerangka tulang yang tidak mempunyai tengkorang tidak dapat di "Ijambekan", tetapi ada yang berpendapat bisa dilaksanakan Ijambe. Dari peristiwa inilah lahir beberapa jenis upacara kematian suku dayak Maanyan. Sampai saat sekarang dikenal adalah Mi'a, dan Ngadaton pada suku dayak Maanyan Paju X dan Ijambe pada suku dayak Maanyan Paju IV. Dalam bahasa dayak Maanyan, Ijambe ini disebut dengan Gawe Baukangumbang Kungkanbaraus Gurun. Dan Mi'a atau Ngadaton disebut dengan Gawe Bakurung Kunsi, Kungkan Miaduh Dalam. Peninggalan Purbakala Maanyan atau Peninggalan Kerajaan Nansarunai dan Majapahit didaerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan Versi lengkapnya dari Peninggalan Purbakala Maanyan oleh Sutopo Ukip: 1.Di kota Banjarmasin terdapat peninggalan purbakala orang Ma'anyan :
  • 26. • a. Sebuah tonggak kayu yang dinamakan "Hujung Panti", gunanya ialah tempat orang Ma'anyan kuno memandikan anak untuk pertama kalinya disungai yang disebut Mubur Walenon. Tonggak kayu itu dipakai hingga abad ke-14, terletak disebelah barat laut kota Banjarmasin. • b. Di km 3, masuk sejauh 800 m kekiri jalan arah ke kota Martapura, terdapat sebuah tempat dinamakan Pangambangan. Pada daerah seluas 1 ha, terdapat permukaan tanah yang bersih, karena tidak terdapat satupun pepohonan yang bisa tumbuh. Diduga disitulah tempatpemukiman orang Ma'anyan yang pertama yang dipercaya oleh mereka, sebagai bekasbangunan Balai-Adat hingga abad ke-16. 2. Kebun buah-buahan yang dinamakan Pulau Banyar Kayutangi, tempat pemukiman orang Ma'anyan hingga awal abad ke-16. Disini masih terdapat tiang-tiang bekas rumah kuno, terbuat dari kayu besi yang masih tersisa sampai sekarang, terletak 24 km dari kota Banjarmasin ke arah lapangan terbang Syamsuddin Noor. 3. Tempat ditemukan Balontang dan makam kuno dari kayu besi terletak di Liang Anggang. Balontang dalam adat orang Ma'anyan adalah sebagai simbolis arwah orang sudah meninggal yang diadakan pesta adat secara sempurna. 4. Gunung Paramaton atau gunung Madu_manyan, tempat penyimpanan pusaka kerajaan Nansarunai, sesudah dapat dirampas kembali dari Tanjung Negara, atau Banjarmasin pada tahun 1362. 5. Di kota Martapura terdapat Balontang dan sumur kuno yang dinamakan sumur pahit, peninggalan orang Ma'anyan hingga abad ke-14. Sewaktu penggalian saluran pengairan dari waduk Riam Kanan ke arah Banjar Baru terdapat kuburan kuno orang Ma'anyan yang dipakai hingga abad ke-16. 6. Disuatu tempat didaerah Burung-Lapas; di km 24 dari Martapura ke arah Rantau, 150 m kanan jalan antara Martapura dan Binuang terdapat sebuah gua dan tanah yang sedikit ditumbuhi pepohonan. Diduga tempat itu adalah bekas pemukiman yang disebut Nansarunai hingga abad ke-13, dan belum mengenal pemerintahan raja. Sesudah Nansarunai dipindahkan ke Banua Lawas baru timbul pemerintahan dalam bentuk kerajaan serta lahirnya hukum adat yang dipakai oleh orang Ma'anyan hingga sekarang. 7. Daerah yang dinamakan pulau Kadap, yaitu tempat pemusatan prajurit-prajurit Nansarunai, sebelum perang Nansarunai kedua tahun 1362. 8. Di daerah Margasari, terdapat candai Laras tempat pemujaan agama Hindu Syiwa, dari kerajaan Daha dari abad ke-14, hingga abad ke-16. Disini terdapat juga sebuah patung batu, berupa ujud kepala babi sebagai prasasti yang dibuat oleh orang Ma'anyan tahun 1362.
  • 27. 9. Kota Negara, adalah tempat pemukiman bekas prajurit-prajurit Majapahit, terdiri dari orang Majaphit sendiri, orang Madura, orang Bugis dan orang-orang Nansarunai, setelah selesai perang Desember 1362, disini terdapat : • a. Para pandai besi yang ahli dalam pembuatan kapal-kapal serta peralatan rumah tangga lainnya. • b. Para ahli pembuat tembikar, kenong, gamelan dan gelang untuk tarian wadian Bawo dan wadian Dadas. Khusus untuk gamelan mereka buat memakai lima nada, yaitu do, re, mi sol dan la ialah nada-nada yang dipakai oleh orang Ma'anyan dalam musik. • c. Terdapat sebuah sumur kuno yang airnya berwarna merah, sebagai prasasti peristiwa perang Desember 1362. 10.Di kota Amuntai, terdapat candi Agung yaitu tempat pemujaan agama Hindu Syiwa pada abad ke-14 hingga abad ke-16 dan Tambak Wasi, yaitu tempat pembakaran mayat para prajurit korban perang Nansarunai pertama tahun 1358. 11. Bertempat di Banyu Hirang, diselatan kecamatan Danau Panggang terdapat : • Beberapa kuburan massal yang dinamakan Tambak yaitu tempat penguburan para prajurit Nansarunai dan Majapahit korban perang Desember 1362. • Pada tahun 1953, pernah ditemukan oleh penjala ikan yang bernama Abdullah Wahab sebuah tiang kapal tertimbun lumpur sedalam sekitar 1 m dari permukaan air. Jalannya tersangkut pada tiang kapal yang belum dia ketahui sejarahnya. Tempat ia menjala ikan tersebut yaitu sebuah danau yang dinamakan Telaga Silaba, di selatan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 12. Di Pasar Arba atau Banua Lawas, adalah tempat kerajaan Nansarunai dari tahun 1309-1358, disini terdapat peninggalan kuno antara lain : • Makam raja Raden Anyan atau terkenal dalam sejarah tulisan orang Maanyan mereka sebut Am'mah Jarang. Terletak dibelakang masjid tua Banua Lawas. • Sumur Tua tempat Raden Anyan gugur ditumbak oleh Laksamana Nala tertutup lantai mesjid. • Pohon Kamboja besar-besar, sebanyak tujuh pohon, terletak di belakang mesjid tua tersebut, sebagai peringatan moksanya tujuh orang putera Raden Anyan yaitu; Jarang, Idong, Pan'ning, Engko, Engkai, Liban dan Bangkas. • Terdapat sebuah sumur tua sekitar 1 km arah barat kota kecamatan Banua Lawas yang disebut Sumur Am'mah Jarang, nama kecil Raja Raden Anyan,digunakan khusus bagi anggota keluarga kerajaan Nansarunai. • Kain Sindai yang terdapat didalam mesjid tua itu juga berasal dari tenunan India yang dibeli ketika perdagangan masih berlangsung dari Kalimantan Selatan hingga pulau Madagaskar dilepas pantai timur benua Afrika. • Benda kuno lainnya seperti piring celedon, gong, kenong, guci tempat pengawetan daging cara tradisional Maanyan yang disebut Wadi, gendang panjang yang dinamakan katammu'ng sudah diamankan oleh pihak kebudayaan setempat. • Di halaman masjid tua tersebut terdapat dua buah tempayan kuno yang dipakai untuk keperluan menyimpan air wudhu.
  • 28. • Terdapat sebuah Lewu Hiyang disebelah kanan serambi depan masjid. Lewu Hiyang tempat menaruh sesajen kepada roh para leluhur sewaktu pesta adat bontang. 13. Di danau Maunna'n adalah tempat penyimpanan pusaka kerajaan Nansarunai, berupa tiang sokoguru balai adat yang terbuat dari emas, patung emas berbentuk anak laki-laki dan perempuan yang sedang menari yang masing-masing bernama amas Bakukanrik amas Bakukanrau serta sebuah lesung emas. Terdapat pula sebuah prasasti dari kayu besi sebagai tanda atau peringatan penggabungan agama Hindu Syiwa dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang orang Maanyan. 14. Di sungai Banyu Landas dekat Pasar Panas, terdapat sebuah perahu kuno yang belum jelas siapa pemiliknya, apakah kepunyaan orang Nansarunai atau kepunyaan orang Majapahit 15. Di desa Bagok atau yang dahulu disebut Hadiwalang terdapat barang-barang kuno dari bahan pecah belah dibawa oleh pangeran Panni'ngatau Patih Raja Muda ketika selesai perang Nansarunai. 16. Di desa Jangkung terdapat barang kuno yang dibawa oleh Uria Pulang Giwa pada tahun 1358. Di desa ini terdapat banyak Balontang yang menandakan bahwa di desa ini dahulu pernah menjadi pemukiman orang Maanyan yang disebut dengan Maanyan Jangkung. 17. Dahulu dikampung Bentot, yang dahulu dinamakan Kayunringan terdapat sebuah perahu kuno yang dinamakan oleh penduduk setempat adalah perahu Nahkoda Jamuhala. Jamuhala adalah nahkoda kapal dagang Nansarunai yang gugur dalam perang Nansarunai pertama tahun 1358. Perahu tersebut diduga dapat meloloskan diri dari peperangan hingga terdampar dihulu sungai Patangkep. 18. Di desa Ja'ar terdapat beberapa buah peninggalan kuno antara lain : 1. Sebuah perahu kuno yang terletak dihutan Mabeje, sekitar 4 km arah timur laut desa Ja'ar. Perahu kuno tersebut oleh penduduk Ja'ar dikatakan adalah kepunyaan saudagar Keling dari Majapahit yang menjual piring celedon, mangkok, boli-boli, dapur dari tembikar, tempat menanak nasi dari tembikar yang dinamakan oleh penduduk Kabali dan tempat menanak sayur, juga dari tembikar yang dinamakan Janga. Perahu itu kandas ketika terjadi gempa tektonik pada tahun 1379, yaitu 21 tahun sesudah perang Nansarunai pertama, tahun 1358. 2. Terdapat sebuah batu besi yang dinamakan oleh penduduk Sangar-Jatang, kemungkinan adalah dupikat Wato-sekelika dari Madagaskar. 3. Terdapat makam Puteri Mayang Sari yang dikeramatkan oleh penduduk karena puteri tersebut adalah puteri tunggal Sultan Suriansyah atau raja Mata Habang atau Panembahan Batu Habang yang ditugaskan oleh sultan untuk menjadi penguasa didaerah orang Maanyan.
  • 29. 19. Pada tahun 1987, di desa Haringen 3 km utara Tamianglayang, telah ditemukan barang-barang kuno berupa tembikar dan barang pecah belah lainnya yang merupakan warisan dari kerajaan Nansarunai yang dibawa oleh Patih Raja Panantang. 20. Di sungai Murutowo, terdapat sebuah perahu kuno yang dikatakan oleh penduduk setempat perahu Nahkoda Jamuhala. 21. Di desa Dayu terdapat sebuah gong besar yang dikatakan oleh penduduk setempat adalah peninggalan Puteri Junjung Buih ketika puteri tersebut datang untuk memberi petuah tentang adat untuk duka cita dan adat untuk suka cita pada masyarakat Kampung Sepuluh, dan Banua Lima pada pertengahan abad ke-16. Menurut legenda asal Puteri Junjung Buih timbul dari pusaran air di Tanjung Marabahan berupa anak perempuan kecil didalam perut dua gong yang ditangkupkan. 22. Dahulu sungai Ayuh terdapat tempat penyimpanan batangan emas kepunyaan kerajaan Nansarunai. 23. Di sungai Mukut dekat desa Jangkang 6 km arah timur Muarateweh terdapat sebuah perahu kuno terbuat dari tembaga lebar 40 cm dan panjang 100 m. Perahu tersebut kepunyaan pedagang cina yang salah masuk ketika menuju ke Nansarunai pada abad ke- 14. 24. Dahulu sungai Toto atau Tabalong Kiwa terdapat sebuah perahu kuno disuatu tempat yang disebut penduduk setempat Man. Tempat itu adalah persembunyian Pangeran Jarang dan Idong sewaktu perang 1358. Balai Adat Jadi Lambang Persaudaraan Orang Maanyan, Banjar dan Madagaskar Sebuah Mesjid kuno berusia hampir lima abad saat ini masih berdiri dengan tegar di kawasan Pasar Arba, ibukota Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan atau berjarak 16 km dari kota Amuntai. Mesjid itu didirikan tahun 1528, oleh seorang Mubalig suku Dayak Maanyan bernama Labai Lamiah. Ia berasal dari daerah Martapura yang telah mendapat kursus kilat tentang agama Islam. Bangunan itu berbentuk joglo, sebab sewaktu mendirikannya Labai Lamiah mendapat petunjuk dari para ulama asal Demak, Banten dan Aceh. Ulama-ulama itu rupanya datang bersamaan berkenaan dengan kemenangan Pangeran Samudera melawan pamannya Raden Datu Tumenggung hari Rabu 24 September 1526, di Jengah Besar tidak jauh dari kota Banjarmasin sekarang. Menurut penduduk setempat dan penuturan orang-orang Maanyan, serta dari generasi ke generasi berikutnya, dahulu disana pernah berdiri sebuah kerajaan orang Maanyan. Raja dan rakyatnya, masih percaya terhadap roh para leluhur dan kerjaan itu mereka namakan Nansarunai. Dinamakan Nansarunai, sebab rakyatnya gemar menari dan
  • 30. menyanyi dengan iringan alat musik yang dominan, berupa suling berlobang tujuh buah yang dinamakan serunai. Dalam lafal orang Maanyan menjadi Sarunai. Sedangkan kata Nan mungkin berasal dari bahasa Melayu, berarti yang. Sehingga Nansarunai , berarti sebuah kerajaan dimana raja dan rakyatnya yang gemar bermain musik. Kerajaan berdiri pada tahun 1309 dengan raja pertama Raden Japutra Layar. Selain bermain musik tari dan nyanyi, mereka juga gemasa main sepak takrau, pesta adat dan mengadu ayam jago. Ayam jago diadu dalam sebuah kandang berukuran 3 kali 3 depa yang disebut Manguntur, bertempat di sebuah lapangan terbuka. Manguntur itu bisa dibangun beberapa buah, agar suasana menjadi lebih meriah, terutama kalau salah satu dari dua ayam jago aduan itu mendapat kemenangan. Sebelum diadu kedua ayam jago itu dipersenjatai lebih dahulu dengan sebuah pisau kecil yang disebut taji. Orang Maanyan kuno, mengetahui tuah tiap-tiap ayam jago aduan, dari jenis warna bulu-bulunya. Misalnya jenis Lahe, Wido, Biring dan sebagainya, masing- masing membawa tuah sendiri-sendiri. Raja menempati rumah yang disebelah kanan kirinya diberi ruangan disebut Anyu'ng. Sedangkan untuk pesta adat ada sebuah balai adat yang disebut Jaro Pirarahan. Kehidupan rakyatnya makmur, disebabkan mereka mengadakan perdagangan sampai ke Indragiri, Majapahit, Sulawesi Selatan dan bahkan Madagaskar. Barang dagangan yang mereka bawa keluar antara lain kayu besi, getah, damar, rotan, madu lebah hutan dan lain-lain. Ada juga pedagang dari luar yang datang ke Nansarunai seperti saudagar keliling dari daerah Kediri di Majapahit. Pedagang-pedagang keliling inilah yang melaporkan ke Majaphit bahwa ada sebuah kerajaan di pedalaman aliran sungai Tabalong, dimana rakyatnya bersifat riang suka bermain musik, tari dan nyanyi. Waktu itu komposisi ethnis di Kalimantan Tenggara terdiri dari Maanyan, Lawangan, Bukit dan Bakumpai. Menyamar Tahun 1350, Laksamana Nala mengadakan ekspedisi ke Nansarunai dengan menyamar sebagai nahkoda kapal dagang. Di Nansarunai ia memakai nama samaran Tuan Penayar dan bertemu dengan Raja Raden Anyan, bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas, serta Ratu Dara Gangsa Tulen. Laksaman Nala sangat kagum melihat begitu banyak barang-barang terbuat dari emas murni, ketika ia dipersilahkan untuk melihat-lihat perlengkapan pesta adat di ruangan tempat bermusyawarah. Yang sangat dikagumi oleh Laksamana Nala, ialah sokoguru balai adat yang terbuat dari emas murni juga dimana dibagian atasnya bermotif patung manusia. Setelah kembali ke Majapahit, Laksamana Nala berpendapat, untuk menundukkan Nansarunai, harus dicari kelemahan Raja Raden Anyan yang mempunyai kharisma kuat. Pada pelayanan berikutnya, Laksamana Nala membawa serta seorang panglima perangnya yang bernama Demang Wiraja dengan memakai nama samaran Tuan Andringau, serta beberapa prajurit dari suku Kalang. Hasil pengamatan Demang Wiraja dilaporkan kepada Laksamana Nala. Demikianlah pada awal tahun 1356, Laksamna Nala datang lagi ke Nansarunai dengan membawa serta istrinya bernama Damayanti. Sewaktu kembali ke Majapahit, sengaja Laksamana Nala membiarkankan isterinya tinggal di Nansarunai. Damayanti berwajah
  • 31. sangat cantik dan pribadinya menarik. Pada tahun 1356 itu, terjadi kemarau panjang, sehingga Raja Raden Anyan secara kebetulan bertemu dengan Damayanti di sumur yang khusus diperuntukkan bagi anggota keluarga kerajaan. Pertemuan pertama berlanjut dengan kedua dan demikian seterusnya, sehingga Damayanti melahirkan seorang anak perempuan, lau diberi nama Sekar Mekar. Pada awal tahun 1358, Laksamana Nala datang ke Nansarunai dan menemukan isterinya sedang menimang seorang anak perempuan. Damayanti yang memakai nama samaran Samoni Batu, menerangkan bahwa anak yang ada dipangkuaanya itu adalah anak anak mereka berdua. Dan Laksamana Nala percaya saja akan apa yang telah dikatakan oleh isterinya itu. Ketika kembali ke Majapahit, Damayanti beserta anaknya dibawa serta, alau tinggal dipangkalan aramada laut Majapahit di Tuban. Beberapa bulan kemudian, Laksamana Nala secara kebetulan mendengar isterinya bersenandung untuk menidurkan puterinya dimana syair-syairnya menyebutkan bahwa Sekar Mekar mempunyai ayah yang sebenarnya ialah Raja Raden Anyan. Bulan April 1358, datanglah prajurit-prajurit Majapahit, dibawah pimpinan Laksamana Nala dan Demang Wiraja menyerang Nansarunai. Mereka membakar apa saja termasuk kapal-kapal yang ada di pelabuhan dan rumah-rumah penduduk. Serangan itu mendapat perlawanan gigih prajurit-prajurit Nansarunai walaupun mereka kurang terlatih. Menurut cerita, Ratu Dara Gangsa Tulen bersembunyi dipelepah kelapa gading bersenjata pisau dari besi kuning, bernama Lading Lansar Kuning. Ia banyak menimbulkan korban pada pihak musuh sebelum ia sendiri gugur. Raja Raden Anyan dalam keadaan terdesak lalu disembunyikan oleh para Patih dan Uria kedalam sebuah sumur tua yang sudah tidak berair lagi. Diatas kepalanya ditutup dengan sembilan buah gong besar, kemudian dirapikan dengan tanah dan rerumputan, agar tidak mudah diketahui musuh. Ketika keadaan sudah bisa dikuasai oleh pihak Majapahit, Laksamana Nala memerintahkan Demang Wiraja untuk mencari Raden Anyan hidup atau mati. Atas petunjuk prajurit-prajurit suku Kalang yang terkenal mempunyai indera yang tajam, tempat persembunyian Raja Raden Anyan akhirnya dapat ditemukan. Raja Raden Anyan tewas kena tumbak Laksamana Nala dengan lembing bertangkai panjang. Peristiwa hancurnya Nansarunai dalam perang tahun 1358 itu, terkenal dalam sejarah lisan suku Dayak Maanyan yang mereka sebut Nansarunai Usak Jawa. Dalam perang itu telah gugur pula seorang nahkoda kapal dagang Nansarunai yang terkenal berani mengarungi lautan luas bernama Jumulaha. Ia banyak bergaul dan bersahabat dengan pelaut-pelaut asal Bugis dan Bajau. Untuk mengenang persahabatan itu, maka puterinya yang lahir ketika ditinggalkan sedang berlayar, diberi nama berbau Bugis yaitu La Isomena. Unsur Besi Prajurit-prajurit Majaphit yang gugur dalam perang tahun 1358 itu, diperabukan berikut persenjattan yang mereka miliki, didekat sungai Tabalong yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Tambak-Wasi. Tambak arti kuburan dan Wasi artinya besi dalam bahasa Maanyan kuno. Sehingga Tambak-Wasi artinya adalah kuburan yang mengandung unsur besi. Pendiri kerajaan Nansarunai adalah Raden Japutra Layar yang memerintah dari tahun
  • 32. 1309-1329 dilanjutkan Raden Neno 1329-1349 dan yang terkahir Raden Anyan 1349- 1358. Gelas raden hanya khusus untuk raja, sedangkan para bangsawan lainnya memakai gelas patih, uria, damo;ng, pating'i, datu dan sebaginya. Gelar raden itu berasal dari Majapahit, karena Japutra Layar sebelum menjadi raja adalah seorang pedagang yang sering bergaul dengan para bangsawan Majapahit. Ketika penyebaran agama Islam sampai ke Pasar Arba yang dipimpin oleh Labai Lamiah beserta para ulama sal Demak, Banten dan Aceh dalam tahun 1528, balai adat yang semula dihancurkan oleh Laksamana Nala dalam atahun 1358, sudah dibangun kembali dan dipergunakan untuk upacara adat Hindu Kaharingan pada zaman Majapahit berkuasa disana. Setelah kedatangan agama Islam, balai adat itu dirobah fungsinya menjadi mesjid, dengan atap bertipe joglo. Mesjid itu mempunyai luas sekitar 200m2, dilengkapidengan serambi keliling selebar 3m dan dapat menampung sekitar 400 jemaah. Tiang-tiang mesjid diambil dari bekas tiang balai adat dari kayu besar berdiameter 40 cm dan masih tidak keropos sampai sekarang. Kayu besi memang banyak terdapat di Kalimantan . Di kota Banjarmasin saja harganya mencapai Rp 650 tiap kg. Karena letak mesjid itu pada bekas balai adat ketika zaman kerajaan Nansarunai, sehingga mesjid tersebut juga menjadi lambang persaudaraan orang Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar. Orang Merina kalau sembahyang selau kiblatnya menghadap ke arah timur laut yang mereka sebut Anjoro Firarazana, berasal dari kata Maanyan Hang Jaro Pirarahan, yaitu nama balai adat di Nansarunai dahulu. Mesjid itu telah beberapa kali direhabilitasi, terutama dindingnya yang terbuat dari kayu borneo. Sewaktu diadakan rehabilitasi tahun 1975, barng-barang kuno sisa-sisa peralatan pesta agama Hindu Kaharingan yang semula diletakkan di loteng mesjid, dipindahkan ke tempat lain oleh orang-orang yang masih berbahasa Maanyan. Barang-barang itu antar lain, piring celedon, kain Sindai, kenong, gong, boli-boli, guci tempat pengawetan daging atau ikan secara Maanyan yang disebut wadi, gendang berbadan panjangyang disebut Katamo'ng dan lain sebagainya. Tasawuf Untuk menarik orang Hindu agar cepat menerima agama Islam, oleh para ulama Demak, Banten dan Aceh diajarkan juga ilmu tasawuf selain mengajarkan agama Islam yang memang menjadi tujuan mereka. Ilmu Tasawuf itu kadang-kadang di luar daya tampung akal, tetapi dapat diterima oleh masyarakat setempat. Mesjid tua itu kini masih dipakai untuk berjamaah pada tiap-tiap hari Jumat. Meskipun begitu, masih ada anggota masyarakat yang belum lepas dari kepercayaan masa lampau. Mereka membawa sesajen berupa kue apam yang didoakan di dalam mesjid, sebelum dimakan bersama para pengunjung lainnya. Sesajen itu dilengkapi juga dengan bunga yang berbau harum semerbak, disangkutkan pada tiang-tiang penopang atap mesjid, bekas tiang sokoguru balai adat masa lampau dan misrab mesjid. ORANG MAANYAN : DIPERSATUKAN OLEH DARAH
  • 33. Tulisan dari Nimer Widen Maanyan adalah nama salah satu puak suku bangsa yang mendiami Pulau Kalimantan, yang sekarang bermukim di kawasan subur di antara sungai Barito dan Pegunungan Meratus, meliputi sebagian wilayah Utara Propinsi kalimantan Selatan dan daerah Timur Propinsi Kalimantan Tengah, tersebar di lebih dari 15 Kecamatan. Pada umumnya orang Maanyan bertubuh sedang, berkulit kecoklatan, rambut lurus berwarna hitam atau coklat kehitaman, dan beralis agak tebal. Sebagai suatu kelompok masyarakat, orang Maanyan memiliki beberapa ciri sosial budaya yang unik dan menarik. Pertama, orang Maanyan memiliki bahasa daerah yang sangat dekat ke bahasa Kawi (Jawa Kuno). Dan Dalam bahasa maanyan ini, walaupun mereka kini bermukim jauh dari lautan, terdapat banyak kosa-kata tentang laut dan berhubungan dengan laut. Tokoh- tokoh mereka bergelar datu (sama dengan datuk dalam bahasa Melayu, yang artinya:bapak dari kakek), patis (bahasa Melayu patih), dan miharaja (sama dengan: maharaja). Mereka menyimpan benda-benda pusaka yang berusia ratusan tahun, berupa piring keramik ukuran besar yang bergambar, guci keramik dengan relief naga, tabak (nampan berbentuk bunga) dari kuningan, gong dan gelangdari gangsa, tombak dan keris, dan pakaian kebesaran mirip pakaian Jawa. Sedangkan dalam ritus kematian, mereka memiliki kesamaan dengan adat Bali, yaitu melakukan upacara pembakaran tulang-tulang orang mati untuk mengantarkan roh mereka ke tempat paling akhir, yang dalam bahasa maanyan disebut: Ijambe. (Ijambe berasal dari awalan I berkonotasi 'sibuk' dan kata kerja jambe yang berarti 'menangani'. Kedua, mereka mempunyai kebiasaan menuturkan 'sejarah masa lalu dan adat-istiadat' (bahasa Maanyan: taliwakas) mereka pada setiap upacara adat penting. Istiadat menceritakan kembali sejarah dan adat ini disebut orang Maanyan ngalakar, atau ngentang atau nutup entang, atau nutup tarung. Selain taliwakas, mereka juga mempunyai banyak cerita-cerita, berupa legenda, balada, dan lagu-lagu tentang kebesaran dan kemakmuran mereka di masa lalu, tentang tokoh-tokoh sejarah, disebuah 'kerajaan' (kecil) yang menurut mereka bernama Nansarunai. DARI KAYU TANGI KE SIUNG UHANG Menurut cerita-cerita itu, keberadaan mereka di Pulau kalimantan ini bermula ribuan tahun lalu pada saat serobongan manusia perahu yang sedang mencari permukiman baru jatuh cinta pada ketenangan teluk Banjar (menurut versi orang Maanyan: teluk Nansarunai). Konon ketika mereka tiba di situ, angin dari daratan bertiup sepoi-sepoi, membawa bau harum dari pohon-poho, daun, bunga, dan buah. lalu mereka memasuki muara sungai Barito (yang nama aslinya berasal dari bahasa Maanyan: Baritu, yang berarti sungai menyerupai laut) dan turun untuk memeriksa keadaan. Pertama mereka naik ke tepian kiri, atau tepian barat dari sungai itu, dan dikatakan mereka mendapatkan tananh yang berasa pahit dan air berasa asam (payau). Tetapi ketika pindah ke tepian kanan, tepi timur sungai itu, mereka mendapati tanah yang harum dan air yang manis, pepohonan dan buah-buahan yang lebih subur, serta lebih banyak burung dan binatang hutan lainnya. Sehingga mereka memutuskan untuk tinggal dan menetap di tempat itu yang kemudian mereka memakan kayu tangi sesuai dengan nama pohon yang
  • 34. ada disitu. Sekarang, kampung yang bernama kayu tangi ini masih dapat ditemukan dekat Kotamadya Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan, yaitu kota dagang paling ramai di kalimantan sekarang. Dari situ, mereka lalu berkembang menjadi suatu kelompok masyarakat yang lebih besar dan maju. secara perlahan mereka mendesak penduduk asli yang hidup nomadis, dan menguasai daratan dan lereng yang subur di sekitar Banjarmasin dan Martapura sekarang. mereka bertani, menanam padi, lada, dan kelapa, berburu binatang hutan, menangkap ikan di sungai dan burung di pepohonan, mengambil sarang lebah, mengumpulkan damar dan gaharu, mencari emas dan batu-batu berwarna. Komoditi yang mungkin sangat penting waktu itu adalah damar dan lilin dari sarang lebah (dalam bahasa Maanyan: pasisit) karena merupkan bahan bakar dan bahan dempul (sebelum ditemukan minyak dan dempul yang lebih modern). Tidak mengherankan jika kemudian selain mereka yang pergi berdagang ke beberapa bandar di Jawa dan Sumatra, pedagang dari sana dan dari tempat lain juga datang ke kayu tangi untuk mencari sendiri barang-barang berharga itu dan sekaligus berdagang mata dagangan lain. Sehingga kemudian tumbuhlah kota dagang yang cukup ramai di sekitar kampung kayu tangi itu, yang diingat oleh orang Maanyan bernama: Nansarunai. Dari hubungan dagang itulah orang Maanyan memperoleh kekayaan yang berlimpah, kain sinnai (semacam ulos), piring keramik, dan guci dari Cina, manik-manik dan talam dari India alat-alat kesenian (gong dan gendang) dan persenjataan dari Kediri, dan berbagai kerajinan tangan serta buah-buahan dari Malaka. Tentang kapan persiapan penduduk Nansarunai ini memasuki masa kejayaannya, dan untuk berapa lama, tidak didapati datanya. Tetapi jika dilihat dari benda-benda pusaka yang mereka miliki, yang menurut para ahli sudah diperdagangkan pada abad ke-7 dan ke-8, maka paling tidak pada abad-abad itu sudah ada pedagang asing masuk ke Nansarunai, atau pedagang nansarunai yang berdagang ke luar. sehingga sangat mungkin bahwa pada abad ke-9 dan ke-10 Nansarunai sudah memasuki masa kebesarannya, sudah menjadi suatu bandar (atau banjar0, yaitu pusat perdagangan, sudah ada konglomerat- konglomerat kecil, sudah dibangun rumah-rumah besar bermahligai (tingkap untuk memingit gadis-gadis) dan balai adat yang megah, dan sudah berkembang kesenian dan hiburan lainnya, misalnya: sabung ayam. Dan pasti juga sudah banyak pendatang lain, selain orang Maanyan, menetap di Nansarunai. Tentang ramainya kota Nansarunai pada zaman itu ada disebutkan dalam 'tarung' (cerita indah0 orang Maanyan: mengatur rami kudalangun raya, kala harek jatuh minau nyawung, rakeh riwu turun sipat ngamar (artinya: setiap hari seperti ada pesta besar, bagaikan ribuan orang turun menyabung ayam). sedang dibalai adat dikatakan terdapat: amas bakuhiwik hena jauran wintan, bakukewek ialah rawen punsi sagat, amas bakukannyar hena ia tau nyarau (artinya: banyak sekali emas dan intan berlian). Banyaknya harta kekayaan adat dan komoditi dagangan daerah Nansarunai ini tentu saja membuat pusat kekuatan lain disekitarnya ingin merampas harta kekayaan itu dan menguasai sumber mata dagangannya. Sriwijaya, yang menguasai Nusantara pada abad ke-6 dan abad ke-7, mungkin saja menguasai nansarunai, paling tidak secara ekonomi.