Dokumen tersebut membahas implementasi Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMI) di satuan pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan. SPMI memerlukan komitmen dan kerja sama seluruh warga sekolah dengan menerapkan 8 kunci utama yaitu sosialisasi, kepemimpinan kepala sekolah, perubahan paradigma, komitmen TPMPS, jiwa belajar, memahami tahapan, konsistensi
1. SPMI pada Satuan Pendidikan
19 Maret 2019 21:27 Diperbarui: 19 Maret 2019 21:30 8602 0 0
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud
mendorong setiap satuan pendidikan untuk melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
(SPMI) agar dapat mencapai Standar Nasional Pendidikan (SNP). Adapun yang menjadi payung
hukumnya adalah Permendikbud Nomor 28 tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan (SPMP) Dasar dan Menengah.
Pada pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan
Menengah adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses
terpadu yang mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan
menengah yang saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan."
Lalu pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Internal Pendidikan Dasar dan
Menengah, yang selanjutnya disingkat SPMI-Dikdasmen adalah suatu kesatuan unsur yang
terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan
yang dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dasar dan satuan pendidikan menengah untuk
menjamin terwujudnya pendidikan bermutu yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional
Pendidikan."
Menurut saya, agar implementasi SPMI dapat berjalan sukses, ada 8 (delapan) kunci yang perlu
dilakukan. Pertama, Sosialisasi SPMI kepada Warga Sekolah. Hal ini bisa dilakukan oleh
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah
(TPMPD), fasilitator daerah (pengawas), kepala sekolah, atau Tim Penjaminan Mutu Pendidikan
Sekolah (TPMPS).
Ada yang beranggapan bahwa SPMI merupakan sebuah proyek yang sewaktu-waktu bisa datang
dan pergi, padahal SPMI adalah amanat dari Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016.
Sekolah-sekolah yang sibuk melakukan SPMI hanya sekolah yang berlabel sebagai "sekolah
model" SPMI saja, sedangkan sekolah-sekolah yang tidak "bertatus" sebagai sekolah model
kurang peduli melakukan SPMI. Bahkan nama SPMI pun masih asing di telinga mereka. Oleh
karena itu, sekolah-sekolah yang belum mengenal SPMI harus mendapatkan sosialisasi.
Bentuk sosialisasi antara lain dalam bentuk tatap muka seperti seminar, In House Training (IHT),
Workshop, atau penyebaran informasi baik secara tertulis maupun melalui media audio visual
melalui media sosial. Sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah model pun memiliki lima
sekolah imbas agar "virus" penjaminan mutu dapat semakin banyak menyebar.
2. Adanya program pengimbasan disamping dapat mempercepat dan memperluas implementasi
SPMI, juga dapat membantu peran pemerintah dalam menyosialisasikan SPMI. Ruang lingkup
sosialisasi antara lain; latar belakang, tujuan, sasaran, hasil yang diharapkan, mekanisme, siklus
dan tahapan SPMI, dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan.
Kedua, kepemimpinan kepala sekolah yang kuat. Maksud kuat disini bukan otoriter, tapi kuat
dari sisi visi, kompetensi, dan komitmennya dalam mengimplementasikan SPMI. Kepala
Sekolah merupakan pemimpin sekaligus lokomotif perubahan di satuan pendidikan yang
dipimpinnya. Dalam konteks implementasi SPMI, kepala sekolah diharapkan menjadi penggerak
utama, mendorong, memotivasi, bahkan memberikan contoh kepada semua pendidik dan tenaga
kependidikan.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, kepala sekolah dapat mengomandoi pembentukan
TPMPS, menyusun tupoksi dari TPMPS, menyusun komitmen semua warga sekolah dalam
melaksanakan SPMI, memberikan pembinaan, arahan, dan pengawasan agar SPMI dapat
berjalan dengan baik. Walau demikian, kepala sekolah tentunya tidak one man show, tetapi
memberdayakan semua sumber daya manusia yang ada di sekolah.
Kepala sekolah juga perlu mewujudkan dirinya sebagai pemelajar agar kompeten dan menguasai
seputar masalah SPMI, karena sebagai pemimpin, dia wajib memberikan arahan dan bimbingan
seputar implementasi SPMI.
Dia pun perlu mendengarkan berbagai aspirasi dan harapan dari para stafnya berkaitan dengan
berbagai program yang perlu dilakukan untuk menyukseskan SPMI, karena kesuksesan SPMI
tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi memerlukan team work. Dengan kata lain, kepemimpinan
transformatif dan manajemen perubahan harus diwujudkan oleh kepala sekolah jika SPMI ingin
sukses diimplementasikan.
Ketiga, perubahan paradigma warga sekolah. Pelaksanaan SPMI memerlukan perubahan
paradigm semua warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, staf administrasi, hingga
petugas lapangan. Jika selama ini sulit berubah, karena sudah berada di zona nyaman, maka mind
set tersebut perlu diubah secara bertahap. Tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks
dan dinamis perlu dijawab dengan peningkatan kualitas satuan pendidikan. Apalagi Indonesia
saat ini dihadapkan pada misi besar menyiapkan generasi emas tahun 2045.
Warga sekolah yang kurang peduli terhadap budaya mutu perlu dirangkul dan diajak untuk mulai
peduli dan berpartisipasi dalam implementasi SPMI. Hal ini tentunya bukan hal yang mudah.
Kepala sekolah atau TPMPS akan dihadapan pada sikap apatis atau sikap acuh tak acuh terhadap
program yang dilaksanakan oleh sekolah. Mungkin saja ada yang beranggapan bahwa SPMI
hanya menjadi beban baru bagi mereka yang merasa sudah dibebani oleh beragam administrasi
sekolah.
Perlu ditegaskan bahwa SPMI bukanlah tumpukan administrasi, tetapi pola pikir, saling
keterkaitan dan kesatuan dari beragam elemen pendukung peningkatan mutu dalam rangka
3. mencapai SNP. Adapun tumpukan administrasi merupakan pedoman, Prosedur Operasional
Standar (POS), bukti fisik, atau dokumentasi dari program atau kegiatan yang telah dilakukan.
Warga sekolah yang belum paham dan sadar terhadap pentingnya penjaminan mutu perlu terus
dibina dan diberikan pemahaman. SPMI bukan beban tetapi sebuah proses untuk membantu
sekolah meningkatkan mutunya secara bertahap dan berkelanjutan. SPMI bukan hanya sekedar
menjalankan kebijakan pemerintah atau perintah atasan, tetapi menjadi sebuah kebutuhan bagi
sekolah untuk mencapai SNP.
Keempat, komitmen dari TPMPS dan warga sekolah. Komitmen mudah diucapkan, tetapi
kadang sulit untuk diucapkan. Komitmen muncul dari kepedulian, tanggung jawab, dan rasa
memiliki. Komitmen juga muncul dari rasa ikut dilibatkan dalam sebuah program atau kegiatan.
Oleh karena itu, kepala sekolah harus melibatkan semua pendidik dan tenaga kependidikan di
satuan pendidikan yang dipimpinnya. Komitmen juga dibangun dari keteladanan kepala sekolah,
karena jika kepala sekolahnya kurang berkomitmen dalam mengimplementasikan SPMI,
bagaimana dengan para guru stafnya? Hampir dipastikan komitmen mereka pun akan rendah.
Biasanya sekolah membuat spanduk yang berisi komitmen untuk mengimplementasikan SPMI
dan ditandatangani oleh semua warga sekolah, tetapi hal itu belum cukup. Komitmen bukan
hanya tertera pada untaian kata-kata indah yang ada pada spanduk, tetapi yang lebih penting
adalah pada sejauhmana pada pelaksanaannya dan disertai dengan bukti-bukti pendukungnya.
Dalam perjalanannya, komitmen bisa naik dan bisa turun. Tergantung situasi dan kondisi. Di
awal-awal implementasi SPMI, komitmennya biasanya tinggi. Semangat ber-SPMI menggema,
SPMI menjadi euforia.
Setelah komitmen terbentuk, maka yang diperlukan adalah "merawat" komitmen tersebut. Dan
hal tersebut tidak mudah. Perlu keseriusan dari kepala sekolah dan TPMPS. Sikap saling
mengingatkan diperlukan untuk "merawat" komitmen tersebut. Sekolah biasanya memiliki grup
WA sebagai sarana penyebaran informasi dan komunikasi termasuk yang berkaitan dengan
SPMI.
Cara "merawat" komitmen tidak harus selalu dilakukan dengan cara yang formil, satu arah, dan
kaku, tetapi bisa dilakukan melaui cara yang santai tetapi serius seperti melalui acara ngopi
bareng, makan bersama, piknik, atau acara capacity building bagi semua warga sekolah.
Kelima, berjiwa pemelajar. Agar SPMI bisa dipahami dengan baik, maka semua warga sekolah
harus mau menjadi pemelajar atau harus literat. Mereka harus mau membaca berbagai perangkat
perundang-undangan yang berkaitan dengan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP),
petunjuk implementasi SPMI, siklus dan tahapan SPMI, format-format yang diperlukan dalam
implementasi SPMI, dan sebagainya.
4. Sekolah dapat memfasilitasi atau menyediakan berbagai sumber informasi yang diperlukan,
mencetaknya, atau menyebarkannya melalui e-mail atau grup WA. Selain itu, juga bisa melalui
diskusi yang diselenggarakan oleh TPMPS, atau melakukan studi banding ke sekolah lain yang
telah "mapan" dalam mengimplementasikan SPMI.
Keenam, memahami setiap tahapan SPMI. Hal ini pada dasarnya dengan jiwa pemelajar dan
tingkat literasi warga sekolah dalam mengimplementasikan SPMI, hanya lebih teknis. Siklus
SPMI terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) pemetaan mutu, (2) penyusunan rencana pemenuhan
mutu, (3) pelaksanaan pemenuhan mutu, (4) monitoring dan evaluasi, dan (5) penyusunan
strategi pemenuhan mutu baru. Setiap tahapan tersebut perlu dipahami dengan baik oleh TPMPS.
Pemetaan mutu bisa dalam bentuk pengisian intrumen Evaluasi Diri Sekolah (EDS) atau
pengisian instrumen Pemetaan Mutu Pendidikan (PMP). Rencana pemenuhan mutu mengacu
kepada hasil pemetaan mutu dan menganut skala prioritas, lalu dimasukkan ke dalam program
sekolah jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang, Rencana Kerja Tahunan (RKT),
Rencana Kerja Sekolah (RKS), dan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS).
Pelaksanaan pemenuhan mutu sebagai tindak lanjut rencana pemenuhan mutu. Monitoring dan
evaluasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian proses keterlaksanaan program atau kegiatan
yang dilakukan dengan rencana yang telah disusun untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi. Dan
strategi pemenuhan mutu baru dilakukan jika pemenuhuan mutu sebelumnya sudah tercapai.
Karena pelaksanaan siklus dan tahapan SPMI selain konsep juga berkaitan dengan hal yang
bersifat teknis, maka TPMPS harus paham dan menguasainya, serta harus melek teknologi
informasi (TI), karena pengisian instrumen tidak lepas dari penggunaan perangkat TI seperti
laptop, mampu mengakses internet, dan sebagainya. Biasanya operator sekolah menjadi andalan
atau ujung tombak kalau sudah berkaitan dengan TI, karena disamping pekerjaannya tidak lepas
dari perangkat TI, ada juga guru yang gaptek dengan perangkat TI.
Ketujuh, konsistensi dalam pelaksanaan SPMI. Konsistensi berkaitan dengan komitmen, dan
hal ini pun tidak mudah untuk dilaksanakan. Dalam mengimplementasikan SPMI, sekolah akan
dihadapkan berbagai tantangan, baik yang berasal dari pola pikir warga sekolah, keterbasan
jumlah SDM, maupun yang berkaitan dengan pendanaan, sarana dan prasarana. Ditambah
sekolah pun dihadapkan pada berbagai kegiatan yang datang silih berganti, dan tentunya perlu
untuk diikuti, dilaksanakan, atau diselesaikan secara cepat.
Berdasarkan kepada hal tersebut, maka peran kepala sekolah sangat diperlukan sebagai
pemimpin dan motor perubahan di sekolah. Mental pejuang, pengabdi, dan pekerja keras perlu
terus dipupuk dan ditumbuhkan oleh kepala sekolah terhadap TPMPS dan semua warga sekolah.
Menurut saya, budaya apresiasi baik secara materil maupun immateril dapat menjadi "pupuk"
untuk tetap menyuburkan dan mempertahankan konsistensi tersebut.
Kedelapan, pembinaan yang optimal dari TPMPD. Sesuai amanat Permendikbud Nomor 28
tahun 2016, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota membentuk Tim Penjaminan
5. Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah (TPMPD). TPMPD provinsi diatur pada 9 ayat (1) sampai
dengan (5), dan TPMPD kabupaten/kota diatur dalam pasal 10 ayat (1) sampai dengan (5).
Anggota TPMPD sedikitnya terdiri atas unsur; bidang pada bidang pendidikan, pengawas
sekolah, dan dewan pendidikan.
Dalam konteks implementasi SPMI di satuan pendidikan, TPMPD Provinsi memiliki tugas dan
wewenang untuk melakukan pembinaan, pembimbingan, pendampingan, dan supervisi terhadap
satuan pendidikan dalam pengembangan SPMI-Dikdasmen di satuan pendidikan pada
pendidikan menengah dan pendidikan khusus, sedangkan TPMPD kabupaten/kota memiliki
tugas dan wewenang melakukan pembinaan, pembimbingan, pendampingan, dan supervisi
terhadap satuan pendidikan dalam pengembangan SPMI-Dikdasmen pada pendidikan dasar.
Dukungan TPMPD bukan hanya menghadiri atau membuka acara yang bersifat seremonial yang
berkaitan dengan SPMI, tetapi diharapkan lebih kepada hal yang lebih konkrit seperti; menunjuk
sekolah-sekolah model yang belum didampingi oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
(LPMP), pembinaan dan pendampingan langsung ke satuan pendidikan, peningkatan kompetensi
TPMPS, dan menindaklanjuti hasil pemetaan mutu yang dilakukan oleh TPMPS yang
memerlukan "intervensi" langsung dari pemerintah daerah, seperti yang berkaitan dengan standar
sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, dan
standar pembiayaan.
TPMPD provinsi dan kabupaten/kota juga bertugas dan berwenang memetakan mutu pendidikan
dan pelaksanaan SPMI-Dikdasmen di satuan pendidikan pada pendidikan dasar berdasarkan data
dan informasi dalam sistem informasi mutu pendidikan di tingkat provinsi, kabupaten/kota.
Selain itu, menyusun laporan rekomendasi strategi peningkatan mutu pendidikan di tingkat
provinsi, kabupaten/kota.
Dengan demikian, peran TPMPD dalam penjaminan mutu pendidikan sangat strategis. Dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, TPMPD melakukan koordinasi dan kerja sama dengan
LPMP sebagai perwakilan Direktorat Jenderal di daerah.
Berdasarkan kepada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi SPMI di satuan
pendidikan dapat berjalan dengan baik jika 8 (delapan) kunci ini dilaksanakan, karena pada
dasarnya penjaminan mutu pendidikan bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak, tetapi
perlu sinergi dan koordinasi berbagai pihak (stakeholder) yang terkait. Wallaahu a'lam.
Oleh: IDRIS APANDI, Widyaiswara Ahli Madya LPMP Jawa Barat, Penulis Buku Sekolah
Kaizen)