Dokumen tersebut membahas perkembangan konsep dan kebijakan desentralisasi di Indonesia secara singkat, mulai dari masa kolonial hingga saat ini. Terdapat berbagai perubahan paradigma dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang diatur dalam berbagai undang-undang. Namun, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan seperti pembengkakan birokrasi daerah dan gejala oportunisme elit lokal.
1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan konsep dan kebijakan desentralisasi hingga saat ini mengalami
perjalanan yang cukup panjang. Demikian pula dengan konsep pembangunan ekonomi
wilayah. Untuk menjelaskan kedua konsep besar tersebut pada bagian ini dijelaskan
secara singkat perkembangan konsep desentralisasi maupun kebijakan yang mengatur
desentralisasi di Indonesia.
Pada bagian selanjutnya dijelaskan pula perkembangan konsep dalam
menganalisis pembangunan wilayah. Tinjauan ini perlu dilakukan untuk memilih
paduan strategi yang komprehensif dan aplikabel.
Pada bagian akhir tinjauan pustaka ini dikonstruksikan kerangka konseptual
penelitian untuk membantu penajaman uraian dan analisis agar tetap fokus dan runtut
dalam menjawab permasalahan penelitian yang telah ditentukan.
2.1. Perkembangan Konsep Desentralisasi
Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa
pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang ingin dikembangkan di
Indonesia, apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia terbatas pada
desentralisasi vertikal atau termasuk juga desentralisasi horisontal (Rondinelli, 2007).
Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana
yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema
(1983) yaitu desentralisasi dapat dilakukan melalui dekonsentrasi, delegasi dan
Universitas Sumatera Utara
2. devolusi. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting menjadi bahan pemikiran
bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia.
Bentuk desentralisasi memiliki pilihan yang sangat beragam, berupa
dekonsentrasi, medebewind, devolusi atau privatisasi. Pelaksanaan kebijakan
desentralisasi ini berangkat dari asumsi bahwa kalau pemerintahan berada dalam
jangkauan masyarakat, maka pelayanan lebih cepat, hemat, murah, responsif,
akomodatif, inovatif, dan produktif.
Semua pihak mengakui bahwa otonomi diperlukan, namun upaya
mewujudkannya tidaklah “semudah membalik telapak tangan.” Bahkan, sekalipun
kesepakatan telah dicapai melalui undang-undang atau peraturan pemerintah, namun
dalam praktek otonomi tetap sulit untuk diwujudkan.
Selama kurun waktu dua periode pelaksanaan otonomi daerah yaitu di era UU
No.22/1999 dan UU No.32/2004, ternyata model otonomi daerah yang diberlakukan
masih belum final dan belum menemukan pola yang mapan. Sekarang sedang muncul
perspektif tentang kemungkinan akan diakomodasinya konsep desentralisasi asimetris,
devolusi dan asas privatisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di
Indonesia, prinsip-prinsip otonomi yang dianut dan dasar peraturan perundang-
undangan yang menjadi landasannya senantiasa dilakukan perubahan. Dinamika
konfigurasi hubungan pusat-daerah sejak masa pendudukan Belanda sampai sekarang
(lihat Tabel 2.1 di bawah ini).
Universitas Sumatera Utara
3. Tabel 2.1. Konfigurasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia
Kurun Waktu Prinsip Otonomi dan Implementasi
Landasan Yuridis
1903 Sentralisasi Tidak terlaksana
Decentralisatie Wet 1903;
Local Radenordonantie No.181 Thn 1905
1942-1945 Sentralisasi Tidak terlaksana
Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942)
1945 sd. 1959 Demokratis, Otonomi Luas, Tidak terlaksana
Desentralisasi
UU No.1 Tahun 1945
UU No.22 Tahun 1948
UU No.1 Tahun 1957
1959 sd. 1966 Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi Tidak Terlaksana
Penpres No.18/1959
UU No.18/1965
1966 sd. Demokratis, Otonomi Luas, Tidak Terlaksana
1969/1971 Desentralisasi
TAP MPRS No.21/1966
1971 sd. 1998 Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi Tidak Terlaksana
TAP MPR No.IV/1973
UU No.5/1974
UU No.5/1979
1998- sekarang Demokratis, Otonomi Luas, Sudah Terlaksana
Desentralisasi Masih ada
TAP MPR No.IV/1998 kendala
UU No.22/1999
UU No.25/1999
UU No.32/2004
UU No.33/2004
Sumber: Hossein, 2002
Pada satu sisi, kebijakan desentralisasi membawa nuansa baru dalam tata kelola
pemerintahan. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya transfer dana perimbangan
dari pusat ke daerah, semakin besarnya diskresi daerah dalam menetapkan kebijakan
terkait dengan kepentingan lokal.
Namun di sisi lain, kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian
permasalahan. Munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik
oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat
adalah sebagian diantaranya (Hidayat, 2003).
Universitas Sumatera Utara
4. Secara akademik Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memiliki
landasan paradigma yang tegas dan jelas tentang sistem pemerintahan itu sendiri,
termasuk landasan paradigma sistem administrasi dan manajemen publik. Sementara
itu, secara praktis Undang-undang ini juga memerlukan peraturan pelaksanaan berupa
Peraturan Pemerintah (memberi beban yang relatif banyak untuk menyusun peraturan
pemerintahnya karena terlalu banyak aspek yang diatur) sehingga memperlambat
pelaksanaannya.
Kritikan lain yang paling sering dilontarkan oleh pemerintah daerah adalah
bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan usaha Pemerintah untuk
melakukan resentralisasi, karena mengurangi secara signifikan isi otonomi daerah
terutama untuk daerah kabupaten/kota yang telah memperolehnya secara sangat luas
pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999.
Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
telah memberikan otonomi yang jauh lebih luas kepada daerah. Hal ini terjadi karena
pemahaman tentang otonomi di negara kesatuan belum dirumuskan secara jelas
sehingga banyak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda, pertanyaan dan bahkan
kecurigaan.
Adapula yang berpandangan bahwa Undang-Undang ini dilihat sebagai milik
Departemen Dalam Negeri. Akibatnya departemen sektoral merasa tidak harus
memperhatikannya apalagi isi Undang-Undang ini tidak sejalan dengan Undang-
Undang sektoral yang masih berlaku. Undang-undang tentang pemerintahan daerah
seringkali dipersepsikan sebagai “lex generalis” sementara Undang-undang sektoral
Universitas Sumatera Utara
5. sebagai “lex spesialis”. Departemen sektoral lebih memperhatikan Undang-undang
sendiri daripada Undang-undang tentang pemerintahan daerah. Isu ini sangat terkait
dengan kurangnya fasilitasi kepada semua stakeholders baik di pusat maupun di
daerah.
Akibat beragamnya penafsiran terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun
UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak sedikit daerah otonom melakukan improvisasi yang
justru kontra produktif terhadap maksud awal pencapaian tujuan desentralisasi yang
dibingkai dalam regulasi tersebut.
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memang menghasilkan cerita yang
beragam di daerah (Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b). Walaupun secara umum
desentralisasi mampu memperbaiki pelayanan publik tetapi juga menimbulkan banyak
masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Pengalaman mengenai kegagalan desentralisasi juga banyak ditemukan di
negara-negara lain (Rondinelli, 2007; Fleurke and Hulst, 2006). Karena itu tidak
mengherankan kalau dalam beberapa tahun terakhir muncul pertanyaan yang serius
ketika harapan tentang hasil yang dijanjikan desentralisasi tidak terwujud.
Pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme (1997), misalnya,
menyoal tentang desentralisasi itu apanya yang salah, teori atau prakteknya.
Pertanyaan Turner dan Hulme tentang sumber masalah dari pelaksanaan desentralisasi,
yaitu apakah teori atau praktek, mengingatkan semua pihak secara terbuka dan kritis
melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
6. Persoalan desentralisasi dapat muncul dari keduanya, atau bahkan interaksi
antar keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi
sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi sebagaimana juga kegagalan untuk
melaksanakan desentralisasi sesuai semangat dari peraturan perundangan yang
berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi
yang salah pula.
Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan
kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi (Dwiyanto,
2003a). Akibatnya, pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan sebagaimana
diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas.
Apa yang terjadi selama ini menunjukkan pentingnya membuat kebijakan
desentralisasi yang jelas dan benar, karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang
tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga
kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu,
upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai
pengaturan yang ada dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan
kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan dalam pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia.
Serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang sistemik ataupun yang
kontekstual diharapkan dapat mewujudkan desentralisasi yang mampu membawa
kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI.
Universitas Sumatera Utara
7. Munculnya paradigma New Public Management (NPM) yang mendoktrinkan
agar dilakukan desentralisasi dalam tubuh pemerintahan, membawa implikasi bahwa
isu desentralisasi menjadi semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pengalaman tentang keberhasilan di luar negeri seperti di Inggeris, New Zealand,
Australia, Amerika Serikat dan Kanada menumbuhkan keyakinan bahwa desentralisasi
membawa perbaikan bagi kinerja pemerintah sekaligus kesejahteraan masyarakat.
Banyak pihak berharap bahwa desentralisasi mampu memperbaiki kualitas lingkungan,
pemberian pelayanan publik, dan peningkatan akuntabilitas pegawai daerah
(Kauneckis & Anderson, 2006).
Beberapa pakar yakin bahwa ada banyak keuntungan yang diperoleh dari
desentralisasi. Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan lebih
cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam respons
perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih
melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu
keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih
memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja,
komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit,
Birchall dan Putman, 1998).
Keunggulan desentralisasi yang lainnya adalah preferensi penduduk lebih
terakomodasikan (Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999), tingkat
akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah
mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan
Universitas Sumatera Utara
8. setempat (Peterson 1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick, Knox
and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan
menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis
bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang
(Fisman, dkk. 2002), dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi
(Crook and Manor 1998).
Meski banyak literatur yang mengandalkan desentralisasi, namun kenyataan
atau pengalaman empiris tidak selamanya demikian. Kajian Treisman (2000), Oyono
(2004) menyebutkan bahwa dalam implementasi desentralisasi didapati juga hal-hal
seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi dan demokratisasi juga
tidak membaik. Justru desentralisasi meningkatkan kesempatan untuk “rent-seeking”
dan korupsi.
Meski demikian, desentralisasi tidak sekedar ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dari itu yaitu memberikan kesempatan belajar
berdemokrasi, berpartisipasi, membangun kepercayaan dan tanggungjawab,
memberdayakan masyarakat di daerah, dan menjamin pelayanan publik yang lebih
luas dan baik.
Desentralisasi adalah kata dengan multi makna. Menurut Conyers (1984: 187),
hampir setiap orang mengetahui arti desentralisasi secara umum, namun perbedaan
sering timbul dalam mendefinisikan desentralisasi secara tepat karena desentralisasi
memiliki banyak aspek, sehingga konteks pembicaraan menjadi sangat penting dalam
memahami makna desentralisasi. Sebagai contoh tentang kompleksitas makna
Universitas Sumatera Utara
9. desentralisasi, Rondinelli (1989: 9-15) sebagaimana dikutip Cohen and Peterson
(1995: 10) memberikan pemahaman tentang desentralisasi dalam kaitannya dengan
politik, wilayah, pasar dan administrasi.
Di samping itu, desentralisasi juga merupakan suatu peristilahan yang kaya
dengan konsep-konsep dan bersifat dinamis. Fesler (1964) mengemukakan,
“desentralisasi adalah suatu terminologi yang kaya akan makna konseptual dan makna
empiris, terminologi ini dapat menunjukkan dan menggambarkan suatu perubahan
yang ideal dan suatu perubahan yang moderat dan bertahap”.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, mengenai defenisi desentralisasi dan
identifikasi bentuk-bentuk dan tipe-tipe desentralisasi. Salah satu yang terpenting
adalah elaborasi konsep pada awal tahun 1980-an yang merupakan hasil kerja
Rondinelli dkk, (1983: 14). Menurut mereka, definisi desentralisasi yang relatif luas
dan mencakup seluruh fenomena organisasi adalah pendelegasian kewenangan untuk
merencanakan, mengambil keputusan, dan mengelola urusan publik dan tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga pada tingkatan yang
lebih rendah.
Berdasarkan tujuannya, Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi
menjadi empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentratisasi spasial, desentralisasi
pasar, dan desentralisasi administratif. Desentralisasi potitik, digunakan oleh pakar
ilmu politik yang menaruh perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil
untuk mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit
pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat atau kepada lembaga
Universitas Sumatera Utara
10. perwakilan rakyat. Dengan demikian Desentralisasi poiltik juga melimpahkan
kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah,
mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses
pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat
bawahan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara
independen, tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam
pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh
masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan
dan implementasi kebijakan. Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan
bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan. Litvack dkk. (1998) juga
menjelaskan sebagai berikut.
Administrative Decentralization seeks to redistribute authority, responsibility,
and financial resources for providing public services among different levels of
government. It is the transfer of responsibility for planning, financing, and
managing certain functions from the central government and its agencies to field
units of government agencies, subordinate units or levels government, semi-
autonomous public authorities or corporations, or area wide, regional, or
functional authorities.
Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk
menganalisis dan melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui
mekanisme pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar
barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah,
kelompok masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela.
Universitas Sumatera Utara
11. Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum
dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi
kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit
pemerintah non pusat (sub-national government).
Rondinelli (1981:133) maupun Cheema and Rondinelli (1983: 18) membagi
desentralisasi ke dalam empat bentuk, yaitu dekonsentrasi; delegasi atas organisasi
semi-otonomi atau parastaral; devolusi; dan privatisasi (transfer fungsi dan pemerintah
ke lembaga non-pemerintah). Sementara itu, Mawhood (1983) menyatakan bahwa
desentralisasi adalah pembentukan suatu badan hukum yang terpisah dan pemenintah
pusat, di mana lembaga perwakilan lokal memberikan kewenangan formal untuk
mengambil keputusan di dalam masalah-masalah publik. Basis politiknya bersifat
lokalitas dan bukan merupakan kepanjangan tangan pegawai negeri. Ruang lingkup
kewenangannya terbatas, tetapi didalam ruang lingkup kewenangan tersebut mereka
mempunyai hak untuk mengambil keputusan yang dilindungi oleh hukum dan hanya
dapat dibatalkan oleh perundang-undangan yang baru.
Untuk menjelaskan tentang perbedaan antara dekonsentrasi dengan
desentralisasi, Maddick (1963: 23) mengatakan bahwa desentralisasi merupakan
pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun
fungsi residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan
dekonsentrasi merupakan “the delegation of authority adequate for the discharge of
specified functions to staff of a central department who are situated outside the
headquarters. Secara singkat, Smith (1967: 2) merumuskan bahwa desentralisasi
Universitas Sumatera Utara
12. menciptakari “local self government” dan dekonsentrasi menciptakan “local state
government” atau “field administration”. Dari pengertian desentalisasi yang
dikemukakan oleh Maddick di atas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi
mengandung dua elemen pokok, yaitu melalui desentralisasi di satu pihak dilakukan
pembentukan daerah otonom dan di lain pihak dilakukan penyerahan kekuasaan secara
hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci
maupun yang dirumuskan secara umum.
Peristilahan desentralisasi yang dinamis mengalami perkembangan dan
perluasan arti. Desentralisasi tidak hanya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan
dari Pusat kepada Daerah, tetapi juga diartikan pelimpahan kewenangan dan
pemerintah kepada sektor swasta. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Litvack
dkk. (1998:) yang memberi pengertian desentralisasi sebagai berikut.
Decentralization—the transfer of authority and responsibility for public
functions from the central government to subcordinate or quasi independent
government or organization or the private sector—covers a broad rang of
concepts. Each type of decentralization—political, administrative, fiscal, and
market—has different characteristics, policy implications, and conditions for
success.
Pergeseran paradigma desentralisasi yang lebih memilih bentuk devolusi,
menempatkan daerah otonom kabupaten/kota sebagai daerah otonom murni (split
model). Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kabupaten/kota dilaksanakan atas
asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Pada provinsi asas desentralisasi dan asas
dekonsentrasi dilaksanakan secara bersamaan. Dalam daerah otonom provinsi melekat
Universitas Sumatera Utara
13. wilayah administrasi, dan dengan demikian pemerintah propinsi melakukan fungsi
otonomi dan fungsi dekonsentrasi.
Sebagai daerah otonom Provinsi dan Kabupaten/kota adalah dua bentuk
otonomi yang setara, tidak hierarkhis atau subkordinasi. Dalam kedudukan sebagai
daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan yang setara.
Selain menjadi daerah otonom, Propinsi juga berkedudukan sebagai wilayah
administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Pada kedudukan sebagai wakil Pemerintah
Pusat, kemudian membentuk hubungan provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat
hirarkhis karena propinsi menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, fasilitasi, pembinaan,
pengawasan terhadap Kabupateri/Kota.
Studi berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa desentralisasi dan sentralisasi
dilaksanakan secara simultan dalam suatu negara baik negara berkembang maupun
negara maju (Cheema dan Rondinelli, 1983; Conyers, 1983; Deakin, 1985). Hal ini
juga ditunjukkan dalam perdebatan antara Slater (1989) dengan Rondinelli (1990)
mengenai implikasi potitik dan desentralisasi. Rondinelli tidak sependapat dengan
Slater yang menyatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang
saling bertentangan dan bentuk organisasi politik dan administrasi yang lepas satu
sama lain. Menurut Rondinelli, seluruh pemerintahan memiliki fungsi yang merupakan
campuran antara sentralisasi dan desentralisasi.
Kebanyakan analisis kebijakan desentratisasi memfokuskan diri pada
kombinasi yang tepat dan keduanya, bukan pada apakah pemerintah atau sistem politik
Universitas Sumatera Utara
14. sentralisasi atau desentralisasi seratus persen. Hubungan antara sentralisasi dan
desentralisasi sebenarnya lebih kompleks, seperti yang dikemukakan oleh Fesler
(1968), Cohen et. all. (1981) Faltas (1982), Apthorpe dan Conyers (1982).
Mengingat hubungan yang demikian kompleks, sangat penting untuk
memahami bahwa sentralisasi dan desentralisasi lebih tepat dilihat sebagai suatu
perubahan (variable) ketimbang keadaan yang statis (attribute), dan tidak realistis
apabila sistem pemerintahan sentralistis sepenuhnya atau sistem pemerintahan
desentralistis diterapkan sepenuhnya. Dengan demikian, jangan melihat desentralisasi
dan sentralisasi sebagai hal yang dikotomis, tetapi lebih realistis memandang
desentralisasi dan sentralisasi sebagai serangkaian kontinum.
Sampai sejauh ini, dan berbagai definisi mengenal pengertian desentralisasi yang
diberikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa ada persamaan mengenai obyek
yang didesentralisasikan, yaitu fungsi dan masalah publik; kewenangan, kekuasaan,
atau kebebasan bertindak dengan tidak bertentangan terhadap perencanan,
pengambilan keputusan, dan pengelolaan; tanggung jawab; dan pembiayaan (sumber-
sumber). Dengan demikian, terlihat bahwa pembagian urusan pemerintahan
sebenarnya merupakan salah satu substansi atau elemen inti dan proses desentralisasi.
Elemen desentralisasi lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Smith (1985) meliputi
pembagian wilayah; kewenangan (politis dan birokratis); peran dan fungsi. Program
desentralisasi di Inggris merupakan salah satu bagian dan banyak debat besar tentang
pembagian kewenangan dan fungsi di antara semua tingkat politik dan administrasi
yang berbeda-beda.
Universitas Sumatera Utara
15. Sehubungan dengan itu, pengertian desentralisasi dalam kajian akademis ini
adalah penyerahan urusan pemerintahan dan Pusat kepada Daerah atau yang lazim
disebut sebagai desentralisasi teritorial. Pengertian tersebut juga dipergunakan dalam
Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen dan berbagai UU tentang pemerintahan
daerah.
Menurut Hoessein (1993) desentralisasi yang dimaksud dalam UUD 1945 Pasal
18 dan berbagai perundang-undangan yang mengatur pemenintah daerah terbatas pada
desentralisasi teritorial dan desentralisasi pemerintahan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kajian peran dan fungsi termasuk dalam kajian
administrasi. Sementara tergambar dalam “preface” buku editorialnya, Farazmand
mengutarakan bahwa “As a worldwide phenomenon, administrative reform has been a
widespread challenge to almost all national and sub-national governments around the
globe”.
Dalam kajian akademis fokus desentralisasi umumnya pada kajian kedudukan,
kewenangan, peran dan fungsi daerah otonom. Keberhasilan pembangunan di negara
maju memicu munculnya gelombang kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup
dalam bidang perekonomian dan sosial. Hal ini menjadikan sebagai agenda untuk
memajukan negara dan bangsa.
Pemerintah diharuskan memiliki inisiatif untuk membangun sistem yang lebih
efisien, efektif, dan bahkan lebih responsif. Selain itu, didasarkan pada asumsi bahwa
birokrasi pemerintah selayaknya dapat memainkan peran dan fungsi utama dalam
membangun bangsa.
Universitas Sumatera Utara
16. Desentralisasi dan Otonomi Daerah merupakan keputusan politik yang sangat
mendasar yang telah mengalihkan sentralisme dari pusat ke kekuasaan di daerah
kabupaten/kota. Pengalihan sentralisme dari pusat ke kabupaten/kota mengakibatkan
terjadi sentralisasi pemerintahan, pembinaan kemasyarakatan dan pembangunan di
tingkat kabupaten/kota. Dampak politis yang cukup nyata dari hal tersebut adalah
terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang berada di bawah
kabupaten/kota dalam menghadapi masyarakat/warga atau publiknya.
Otonomi daerah yang sangat luas dan bertanggungjawab melalui tuntutan
sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan politik yang digerakkan oleh berbagai elemen
masyarakat yang menuntut koreksi total dan fundamental terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yang sangat desentralistik. Hoessein (1993) menggambarkan
pencanangan kebijakan memperkuat otonomi daerah sebagai hasil bekerjanya dua
kekuatan besar. Pertama, kekuatan internal dalam negeri berupa gerakan yang
melanda tanah air dengan tuntutannya demokratisasi di segala bidang kehidupan.
Kedua, kekuatan supra nasional berupa globalisasi dengan berbagai konsekuensi dan
implikasinya yang memerlukan tanggap dalam negeri melalui proses penyesuaian
terhadap struktur dan mekanisme pemerintahan demokratik di tingkat lokal.
Implikasinya terjadi perubahan landasan hukum mendasar dalam tata pemerintahan
yang membawa dampak pada perubahan berbagai aspek dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah mulai dari tataran filosofi hingga kepada tataran praktis.
Berdasarkan hal tersebut, secara makro perlu diikuti secara mikro pada unit-
unit perangkat daerah yang melaksanakan kebijakan pemerintah lokal. Perubahan
Universitas Sumatera Utara
17. mendasar di dalam peran dan fungsi merupakan bentuk pemerintahan lokal secara
mikro yang diharapkan menjadi motor penggerak dan lini terdepan dalam
pemerintahan dan pelayanan.
Untuk konteks Indonesia, yang memiliki kompleksitas geografis, suku/etnis,
agama, budaya, nampak tidak ada pilihan lain yaitu sistem pemerintahan yang
desentralistis. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan, situasi dan
kondisi lokal, sementara pemerintah pusat akan memusatkan perhatiannya pada hal-hal
yang bersifat strategis dan urusan-urusan lintas propinsi.
Mencermati uraian perkembangan konsep desentralisasi, maka tidak berlebihan
kiranya pandangan Fakih et.all (2001) bahwa sebuah kebijakan senantiasa
mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni content atau substansi muatan hukum sebuah
kebijakan publik, struktur atau pelembagaan hubungan antar aktor dalam sebuah
kebijakan publik maupun kultur atau nilai-nilai yang dianut dalam sebuah kebijakan
publik sebagai satu kesatuan. Demikian halnya kebijakan desentralisasi, ketiga unsur
tergambar dari muatan pasal-pasal yang dituangkan dalam peraturan perundangan
tersebut sebagai content, struktur dan sebagai kultur.
2.2. Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia
Sejarah pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan selalu menghadirkan
otonomi sebagai sistem bernegara. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu
terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia.
Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UUD, hampir
setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah
Universitas Sumatera Utara
18. satu program kerjanya. Amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dan
diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal
gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi
sosial politik pada masanya.
Setidaknya, sampai kini, tujuh undang-undang yang mengatur tentang
pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No.
1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965,
UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004.
Dinamika kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap berbagai aspek
dalam pembangunan daerah juga telah banyak dikaji. Secara umum, dalam perjalanan
sejarah kebijakan desentralisasi selalu saja terjadi tarik menarik antara dua ekstrim
sentralisasi dan desentralisasi.
Ketika reformasi bergulir, di mana desentralisasi merupakan aspirasi yang
masif dan intensif disuarakan rakyat sebagai antitesis langgam pemerintahan yang
sangat sentralistis di masa Orde Baru, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 yang sangat
desentralistis. Sayangnya, sebagaimana dikemukakan desentralisasi yang dimaksud
UU No. 22 Tahun 1999 dipahami dan dilaksanakan secara kebablasan oleh elit di
daerah.
Sebagai koreksi atas hal itu lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 yang ternyata
merupakan pengaturan yang sama sekali baru dan dinilai banyak kalangan merupakan
“resentralisasi” atas kewenangan otonomi yang sempat diatur dalam UU No. 22 Tahun
1999. Dinamika otonomi dan pembangunan daerah ternyata cukup beragam di bawah
Universitas Sumatera Utara
19. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (khususnya UU nomor 22 Tahun 1999
dan UU nomor 32 Tahun 2004).
Studi yang dilakukan Mudrajad Kuncoro yang dibukukan di bawah judul
Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang
(2004) mengungkap sejumlah fakta empirik terkait praktika desentralisasi di Indonesia.
Berbagai studi kasus yang diangkat dalam buku tersebut membuka nuansa pemahaman
bahwa otonomi senantiasa membawa peluang sekaligus tantangan.
Perkembangan kebijakan desentralisasi yang cukup intensif ternyata kurang
baik dalam membangun sistem yang padu. Revisi kebijakan dari UU Nomor 22 Tahun
1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 misalnya, dilakukan dengan sangat tergesa-gesa
dan nyaris menutup ruang partisipasi publik dalam proses penyusunannya. Bersamaan
dengan itu terjadi perubahan (amandemen) konstitusi, yang belakangan dinilai masih
menyimpan banyak kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kerancuan dalam
sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.
Proses revisi yang terkesan tergesa-gesa digabung dengan proses amandemen
konstitusi yang belum tuntas/belum sempurna menyebabkan UU No. 32 Tahun 2004
mengandung problematik yang cukup serius. Semakin problematik jika proses
penyusunan UU No 32 Tahun 2004 didasarkan pada asumsi bahwa pelaksanaan
otonomi luas di bawah UU No. 22 Tahun 1999 akan mengancam NKRI dan
menyebabkan disintegrasi nasional, KKN baru yang menghasilkan “raja-raja kecil” di
daerah, ekonomi biaya tinggi, dan atas nama itu semua diperlukan “resentralisasi.”
Untuk itu, relevanlah pandangan Wasistiono (2010) yang menyebutkan bahwa revisi
Universitas Sumatera Utara
20. UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dilakukan hendaknya membawa kembali
desentralisasi pada titik keseimbangan (tentunya keseimbangan antar pelbagai dimensi
hubungan pusat-daerah).
2.3. Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah
2.3.1. Central Places Theory
Teori central places awalnya dikembangkan di Jerman pada tahun 1933 oleh
Christaller. Sejak saat itu teori ini mulai digemari utamanya dalam konteks
pembangunan wilayah di berbagai negara.
Teori ini berbicara mengenai pengambilan keputusan di mana sebaiknya lokasi
dari lembaga penyedia layanan publik maupun layanan privat (misalnya: pasar,
sekolah, universitas, rumah sakit) ditempatkan agar dapat melayani konsumen secara
optimal.
Teori ini bertujuan untuk menjelaskan pilihan lokasi baik oleh privat dan atau
pemerintah, serta untuk tujuan intervensi pemerintah yang dibutuhkan agar tempat
lokasi layanan dapat memberikan service yang optimum (concerning supply of
services to the population and minimising costs).
Hipotesis pokok yang dianut adalah, pilihan atas lokasi lembaga penyedia
layanan ditentukan oleh dua faktor yakni: 1) kapasitas minimum yang dimiliki
lembaga penyedia jasa layanan hendaknya masih dalam batas yang menguntungkan
dari segi pasar/ekonomis; 2) jarak maksimum lokasi yang masih memungkinkan bagi
konsumen untuk mengunjunginya.
Universitas Sumatera Utara
21. Menurut teori ini, paduan antara jarak minimum dan maksimum menentukan
lokasi dan jenis kegiatan perdagangan yang dibutuhkan. Dengan demikian,
terbentuklah hirarki lokasi dan jenis kegiatan yang sesuai dilaksanakan di lokasi
tersebut.
Sebagai contoh, pusat desa cocok untuk menyediakan barang-barang yang
dibutuhkan setiap hari, kota menengah cocok untuk menyediakan kebutuhan periodik,
dan kota besar sebagai pusat utama lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan luxury.
Konsekuensinya, dalam melakukan perencanaan wilayah, prinsip-prinsip di
atas diaplikasikan untuk memutuskan lokasi penyediaan layanan. Seperti lokasi untuk
Sekolah Dasar, didasarkan pada jumlah murid yang akan masuk dan jarak yang cocok
untuk murid tersebut pergi ke sekolah.
Bagi pemerintah hal ini menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan
pembangunan sarana dan prasarana pendukung agar memberikan akses yang luas bagi
para warganya untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Contoh penerapan model ini, misalnya, di Malawi, di mana pusat layanan
perdesaan didirikan untuk melayani sekitar 20,000 - 40,000 warga, yang tinggal sejauh
5 sampai dengan 10 mil dari lokasi pusat layanan. Layanan yang disediakan meliputi:
sekolah, rumah sakit, pasar musiman, maupun pengolahan hasil pertanian.
Melalui gambaran teoritis di atas, maka teori central places ini merupakan
salah satu upaya untuk mengkompromikan antara kebutuhan akan biaya yang
minimum dan tanggungjawab penyediaan layanan yang sejauh mungkin dapat diakses
oleh sebagian besar warga.
Universitas Sumatera Utara
22. Namun demikian, konsep ini cenderung melakukan sentralisasi layanan lebih
daripada yang dibutuhkan. Tampaknya lokasi yang terdesentralisasi lebih sesuai untuk
mengurangi kecenderungan tersebut, selain itu sarana dan prasarana yang dibangun
hendaknya sedapat mungkin menggunakan bahan baku lokal.
2.3.2. The Growth Pole Theory
Konsep pusat pertumbuhan (growth pole) ini diperkenalkan sejak 1949 oleh
seorang ekonom Perancis bernama Francois Perroux. Pandangan Perroux sebagaimana
dikutip oleh Darwent (1969) pada awalnya terlepas dari konteks geografis atau
persoalan keruangan.
Nuansa konsep growth pole lebih berorintasi pemikiran ekonomi dibanding
kewilayahan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari definisi yang diberikan terhadap
growth pole itu sendiri sebagai “... centers (poles or foci) from which centrifugal forces
emanate and to which centripetal forces are attracted. Each center being a center of
attraction and repulsion has its proper field which is set in the field of all other
centers” (Darwent, 1969: 5).
Konsep yang semula didasari pemikiran ekonomi tersebut semakin dilekatkan
dengan konteks kewilayahan yang mengadopsi pemikiran bahwa satu wilayah
geografis adalah satu skala ekonomi. Dalam konteks pemikiran inilah dikonsepsikan
adanya tiga tipe perwilayahan ekonomis, yaitu homogenous, polarized, dan planning
regions (Boudeville, 1966).
Homogenous merupakan suatu perwilayahan yang terpusat dengan adanya satu
karakteristik inti (core characteristic). Polarized merupakan satu kawasan yang
Universitas Sumatera Utara
23. ditandai dengan adanya hubungan antar pusat dengan inti (central-periphery
relationship). Planning region merupakan wilayah pengembangan yang dapat
dirancang ulang sesuai karakteristik yang dimiliki.
Konsep Growth Pole banyak diterapkan di negara-negara berkembang sebab
diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat
dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di wilayah
perkotaan. Selanjutnya diharapkan dengan sendirinya akan menyebar pada
pembangunan wilayah pedesaan. Ini sering disebut sebagai “trickle down effect” yang
terjadi sebagai akibat tekanan daripada pasaran bebas (free market forces) sehingga
menciptakan pertumbuhan ekonomi dari urban ke rural area (Rondinelli,1985).
Sebenarnya Growth Pole itu sendiri merupakan sistem sentralisasi
pembangunan dari atas ke bawah (top down planning) yang selama ini diterapkan di
Indonesia. Namun berdasarkan hasil penelitian (Firman, 1996) disebutkan bahwa
konsep Growth Pole gagal diterapkan pada Perluasan Kawasan Metropolitan Bandung
(Extended Bandung Metropolitan Region). Pada proyek ini, kota Bandung awalnya
diharapkan mampu sebagai magnet (magnet strategy) untuk membangun kota-kota
kedua. Ternyata pembangunan fisik kota Bandung sendiri sangat lambat bahkan kota
Bandung hanya berperan sebagai “kota asrama” (Dormitory City).
Apabila ditelaah lebih dalam maka konsep pusat pertumbuhan (Growth Pole)
inilah yang menjadi konsep “agropolitan” hanya saja perancangannya dari bawah ke
atas (bottom-up planning). Douglas dan Friedmann (1978) menekankan bahawa
pembangunan perkotaan (urban development) mesti dihubungkan dengan
Universitas Sumatera Utara
24. pembangunan pedesaan (rural development) pada tingkat bawah (local level). Pada
prinsipnya kota di pedesaan dilihat sebagai fungsi non-agrikultural dan fungsi
administratif, bukan sebagai pusat pertumbuhan (Growth Pole).
2.4. Penelitian Sebelumnya
Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan topik desentralisasi.
Demikian pula penelitian yang terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah. Namun
penelitian yang secara khusus melihat pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap
pembangunan ekonomi wilayah masih terbatas.
Umumnya penelitian tentang pengaruh desentralisasi lebih cenderung dikaitkan
dengan tata kelola pemerintahan, dinamika politik lokal maupun kualitas pelayanan
publik yang ditinjau dari perspektif administrasi maupun politik.
Namun demikian, beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan
fokus penelitian ini dapat disebutkan antara lain: 1) riset lembaga penelitian SMERU
(2002); 2) Priyo Hari Adi (2005); 3) Depdagri (2009).
Hasil riset SMERU misalnya, dilakukan pada tahun 2001-2002. Lembaga ini
melakukan kajian perjalanan kebijakan desentralisasi sejak diundangkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai saat ini ketika
revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedang
dilakukan (laporan lengkap dapat diakses secara online pada www.smeru.or.id).
Riset yang dilakukan sejak April 2000 sampai Juli 2002, mengunjungi 15
kabupaten dan 3 kota di 12 propinsi (Sukabumi, Cirebon, Garut, Ciamis, Kudus,
Magetan, Bandar Lampung, Solok, Karo, Simalungun, Deli Serdang, Lombok Barat,
Universitas Sumatera Utara
25. Sumba Timur, Sanggau, Banjarmasin, Minahasa, Bolmong, Gorontalo – cetak miring
adalah kota) melalui empat tahap/kegiatan penelitian. Daerah yang dikunjungi tersebar
di seluruh Indonesia, mewakili wilayah Indonesia Bagian Timur, Jawa, dan Indonesia
Bagian Barat.
Tingkat produk domestik regional bruto (PDRB) digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam pemilihan daerah agar diperoleh ketersebaran berdasarkan variasi
kondisi sosial ekonomi berbagai daerah di Indonesia.
Metode riset yang digunakan adalah diskusi kelompok terfokus dan
pengamatan cepat (rapid assessment) sesuai tema studi yang dibagi dalam empat topik,
terdiri dari (SMERU, 2002):
1. Studi Persiapan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2000.
2. Studi Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, 2001.
3. Studi Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2001.
4. Studi Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik,
2002.
Hasil kajian SMERU tidak menemukan adanya perbedaan pelaksanaan
desentralisasi dan otda yang disebabkan perbedaan PDRB atau wilayah. Dengan kata
lain, daerah dengan PDRB lebih tinggi tidak dapat dikatakan melaksanakan kebijakan
ini lebih baik dibandingkan dengan daerah yang PDRB lebih rendah. Demikian pula,
daerah di Jawa tidak lebih baik dalam melaksanakan desentralisasi dan otda dibanding
daerah di luar Jawa. Perbedaan yang tampak adalah bahwa daerah kabupaten dan kota
yang akan mendapat kewenangan lebih besar memiliki antusiasme lebih tinggi dalam
Universitas Sumatera Utara
26. melaksanakan desentralisasi dan otda dibandingkan propinsi yang kewenangannya
akan berkurang.
Merujuk hasil riset SMERU, terdapat persepsi umum di daerah bahwa
pemerintah pusat masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah, ditunjukkan oleh tiga hal, yakni:
1. Pemerintah pusat dinilai lambat dalam mengeluarkan berbagai peraturan
yang diperlukan untuk menjabarkan UU No. 22, 1999 dan UU No. 25,
1999.
2. Pemerintah pusat dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan kedua UU
tersebut sebagaimana terlihat dari “ditariknya” kembali beberapa
kewenangan daerah oleh pusat.
3. Pemerintah pusat terlihat “reaktif” dalam mengeluarkan beberapa
peraturan seperti dalam hal PP No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP No. 56
tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang
dikeluarkan setelah ada kasus-kasus pemerintah kabupaten dan kota yang
“meremehkan” pemerintah propinsi. Misalnya, beberapa bupati dan
walikota tidak menghadiri secara langsung rapat koordinasi yang
dilakukan oleh gubernur, tetapi mewakilkannya kepada pejabat lainnya.
Selain itu, dalam menangani atau mengklarifikasi suatu masalah,
kabupaten/kota memilih untuk langsung menghubungi atau melapor ke
Universitas Sumatera Utara
27. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi.
Pemerintah daerah menyadari bahwa mereka masih mempunyai keterbatasan dalam
melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. UU No. 22 Tahun 1999 hanya
memberi kewenangan pengalokasian dana, tidak menambah kewenangan di bidang
fiskal kepada daerah. Oleh karenanya, salah satu usaha daerah adalah meningkatkan
penerimaan melalui pendapatan asli daerah (PAD) berdasarkan UU No. 34 tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Selanjutnya, melalui riset yang dilakukan oleh Adi (2005) dapat dilakukan
pengukuran dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi se-Jawa dan Bali.
Metode analisis uji beda dan analisis varians dipilih sebagai teknik analisis untuk
melihat apakah terdapat perbedaan dampak sebelum dan setelah desentralisasi
dilaksanakan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah lebih peka terhadap kebutuhan
dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lin dan Liu
(2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah
benar-benar siap memasuki desentralisasi fiskal. Data awal menunjukkan ada 46%
daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya dibawah rata-
Universitas Sumatera Utara
28. rata. Faktor inilah yang diindikasikan sebagai alasan terjadinya perbedaan
pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah setelah memasuki era desentralisasi
fiskal.
Bila dilakukan analisis secara parsial, perbedaan yang terjadi, hanya antara
beberapa daerah saja. Bukti empiris menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan
ekonomi pada daerah-daerah yang diindikasi kurang siap menghadapi desentralisasi
fiskal (daerah relatif tertinggal tersisa 21%). Namun demikian, pertumbuhan ekonomi
ini tidak diikuti dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan perkapita yang signifikan.
Penelitian terkini dilakukan oleh Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri
(2009). Setelah dilakukan proses monitoring dan evaluasi perjalanan desentralisasi
maka diambil kebijakan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diniati mampu
menjawab serangkaian permasalahan yang selama ini terjadi di lapangan. Naskah
akademik yang disusun tim ahli bekerjasama dengan Ditjen Otda Kementerian Dalam
Negeri merekomendasikan bahwa arah revisi memilah UU Nomor 32 Tahun 2004
menjadi 3 (tiga) paket RUU yakni RUU tentang Pemerintahan Daerah; RUU tentang
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan RUU tentang Desa.
Terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah, saat ini telah disusun grand
strategy otonomi daerah yang memuat desain besar kebijakan desentralisasi ke depan
meliputi aspek urusan pemerintahan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan daerah,
Universitas Sumatera Utara
29. perencanaan pembangunan, pelayanan publik maupun pengembangan ekonomi
(Depdagri, 2009).
2.5. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas, kerangka pemikiran yang dianut
dalam penelitian adalah terdapat hubungan yang erat antara kebijakan pembangunan
wilayah dan kebijakan desentralisasi. Hubungan tersebut dapat diamati melalui isu-isu
yang berkembang seputar pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional, regional
maupun lokal berupa ketimpangan antar wilayah, pengangguran dan kemiskinan, krisis
ekonomi maupun pemerasan ganda (double squeeze) oleh kota terhadap desa. Secara
visual kerangka pemikiran penelitian ini diformulasikan sebagai berikut (lihat bagan
2.1.):
Universitas Sumatera Utara
30. Kebijakan Pembangunan
National
Nasional
Masa Lalu
Saat Ini
Munculnya Konglomerat
Desentralisasi
Sentralisasi
Kompetensi Inti Daerah
Perencanaan dari atas
Perencanaan bottomup
dan topdown
Regional
Local
Desentralisasi dan
Pembangunan Ekonomi
Wilayah
Analisis and Evaluasi
Hasil Penelitian
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Universitas Sumatera Utara