SlideShare a Scribd company logo
1 of 30
Download to read offline
BAB II

                               TINJAUAN PUSTAKA



       Perkembangan konsep dan kebijakan desentralisasi hingga saat ini mengalami

perjalanan yang cukup panjang. Demikian pula dengan konsep pembangunan ekonomi

wilayah. Untuk menjelaskan kedua konsep besar tersebut pada bagian ini dijelaskan

secara singkat perkembangan konsep desentralisasi maupun kebijakan yang mengatur

desentralisasi di Indonesia.

       Pada bagian selanjutnya dijelaskan pula perkembangan konsep dalam

menganalisis pembangunan wilayah. Tinjauan ini perlu dilakukan untuk memilih

paduan strategi yang komprehensif dan aplikabel.

       Pada bagian akhir tinjauan pustaka ini dikonstruksikan kerangka konseptual

penelitian untuk membantu penajaman uraian dan analisis agar tetap fokus dan runtut

dalam menjawab permasalahan penelitian yang telah ditentukan.


2.1.   Perkembangan Konsep Desentralisasi

       Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa

pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang ingin dikembangkan di

Indonesia, apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia terbatas pada

desentralisasi vertikal atau termasuk juga desentralisasi horisontal (Rondinelli, 2007).

Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana

yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema

(1983) yaitu desentralisasi dapat dilakukan melalui dekonsentrasi, delegasi dan




                                                              Universitas Sumatera Utara
devolusi. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting menjadi bahan pemikiran

bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia.

       Bentuk desentralisasi memiliki pilihan yang sangat beragam, berupa

dekonsentrasi, medebewind, devolusi atau privatisasi. Pelaksanaan kebijakan

desentralisasi ini berangkat dari asumsi bahwa kalau pemerintahan berada dalam

jangkauan masyarakat, maka pelayanan lebih cepat, hemat, murah, responsif,

akomodatif, inovatif, dan produktif.

       Semua     pihak    mengakui     bahwa   otonomi   diperlukan,   namun   upaya

mewujudkannya tidaklah “semudah membalik telapak tangan.” Bahkan, sekalipun

kesepakatan telah dicapai melalui undang-undang atau peraturan pemerintah, namun

dalam praktek otonomi tetap sulit untuk diwujudkan.

       Selama kurun waktu dua periode pelaksanaan otonomi daerah yaitu di era UU

No.22/1999 dan UU No.32/2004, ternyata model otonomi daerah yang diberlakukan

masih belum final dan belum menemukan pola yang mapan. Sekarang sedang muncul

perspektif tentang kemungkinan akan diakomodasinya konsep desentralisasi asimetris,

devolusi dan asas privatisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di

Indonesia, prinsip-prinsip otonomi yang dianut dan dasar peraturan perundang-

undangan yang menjadi landasannya senantiasa dilakukan perubahan. Dinamika

konfigurasi hubungan pusat-daerah sejak masa pendudukan Belanda sampai sekarang

(lihat Tabel 2.1 di bawah ini).




                                                            Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Konfigurasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia
       Kurun Waktu             Prinsip Otonomi dan                       Implementasi
                               Landasan Yuridis
       1903                    Sentralisasi                              Tidak terlaksana
                               Decentralisatie Wet 1903;
                               Local Radenordonantie No.181 Thn 1905
       1942-1945               Sentralisasi                              Tidak terlaksana
                               Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942)
       1945 sd. 1959           Demokratis, Otonomi Luas,                 Tidak terlaksana
                               Desentralisasi
                               UU No.1 Tahun 1945
                               UU No.22 Tahun 1948
                               UU No.1 Tahun 1957
       1959 sd. 1966           Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi      Tidak Terlaksana
                               Penpres No.18/1959
                               UU No.18/1965
       1966 sd.                Demokratis, Otonomi Luas,                 Tidak Terlaksana
       1969/1971               Desentralisasi
                               TAP MPRS No.21/1966
       1971 sd. 1998           Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi     Tidak Terlaksana
                               TAP MPR No.IV/1973
                               UU No.5/1974
                               UU No.5/1979
       1998- sekarang          Demokratis, Otonomi Luas,                 Sudah Terlaksana
                               Desentralisasi                            Masih ada
                               TAP MPR No.IV/1998                        kendala
                               UU No.22/1999
                               UU No.25/1999
                               UU No.32/2004
                               UU No.33/2004
       Sumber: Hossein, 2002

       Pada satu sisi, kebijakan desentralisasi membawa nuansa baru dalam tata kelola

pemerintahan. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya transfer dana perimbangan

dari pusat ke daerah, semakin besarnya diskresi daerah dalam menetapkan kebijakan

terkait dengan kepentingan lokal.

       Namun di sisi lain, kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian

permasalahan. Munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik

oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat

adalah sebagian diantaranya (Hidayat, 2003).




                                                                       Universitas Sumatera Utara
Secara akademik Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004            tidak memiliki

landasan paradigma yang tegas dan jelas tentang sistem pemerintahan itu sendiri,

termasuk landasan paradigma sistem administrasi dan manajemen publik. Sementara

itu, secara praktis Undang-undang ini juga memerlukan peraturan pelaksanaan berupa

Peraturan Pemerintah (memberi beban yang relatif banyak untuk menyusun peraturan

pemerintahnya karena terlalu banyak aspek yang diatur) sehingga memperlambat

pelaksanaannya.

       Kritikan lain yang paling sering dilontarkan oleh pemerintah daerah adalah

bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan usaha Pemerintah untuk

melakukan resentralisasi, karena mengurangi secara signifikan isi otonomi daerah

terutama untuk daerah kabupaten/kota yang telah memperolehnya secara sangat luas

pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999.

       Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

telah memberikan otonomi yang jauh lebih luas kepada daerah. Hal ini terjadi karena

pemahaman tentang otonomi di negara kesatuan belum dirumuskan secara jelas

sehingga banyak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda, pertanyaan dan bahkan

kecurigaan.

       Adapula yang berpandangan bahwa Undang-Undang ini dilihat sebagai milik

Departemen Dalam Negeri. Akibatnya departemen sektoral merasa tidak harus

memperhatikannya apalagi isi Undang-Undang ini tidak sejalan dengan Undang-

Undang sektoral yang masih berlaku. Undang-undang tentang pemerintahan daerah

seringkali dipersepsikan sebagai “lex generalis” sementara Undang-undang sektoral




                                                          Universitas Sumatera Utara
sebagai “lex spesialis”. Departemen sektoral lebih memperhatikan Undang-undang

sendiri daripada Undang-undang tentang pemerintahan daerah. Isu ini sangat terkait

dengan kurangnya fasilitasi kepada semua stakeholders baik di pusat maupun di

daerah.

          Akibat beragamnya penafsiran terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun

UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak sedikit daerah otonom melakukan improvisasi yang

justru kontra produktif terhadap maksud awal pencapaian tujuan desentralisasi yang

dibingkai dalam regulasi tersebut.

          Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memang menghasilkan cerita yang

beragam di daerah (Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b). Walaupun secara umum

desentralisasi mampu memperbaiki pelayanan publik tetapi juga menimbulkan banyak

masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

          Pengalaman mengenai kegagalan desentralisasi juga banyak ditemukan di

negara-negara lain (Rondinelli, 2007; Fleurke and Hulst, 2006). Karena itu tidak

mengherankan kalau dalam beberapa tahun terakhir muncul pertanyaan yang serius

ketika harapan tentang hasil yang dijanjikan desentralisasi tidak terwujud.

          Pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme (1997), misalnya,

menyoal tentang desentralisasi itu apanya yang salah, teori atau prakteknya.

Pertanyaan Turner dan Hulme tentang sumber masalah dari pelaksanaan desentralisasi,

yaitu apakah teori atau praktek, mengingatkan semua pihak secara terbuka dan kritis

melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.




                                                              Universitas Sumatera Utara
Persoalan desentralisasi dapat muncul dari keduanya, atau bahkan interaksi

antar keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi

sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi sebagaimana juga kegagalan untuk

melaksanakan desentralisasi sesuai semangat dari peraturan perundangan yang

berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi

yang salah pula.

       Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan

kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi (Dwiyanto,

2003a). Akibatnya, pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan sebagaimana

diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas.

       Apa yang terjadi selama ini menunjukkan pentingnya membuat kebijakan

desentralisasi yang jelas dan benar, karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang

tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga

kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu,

upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai

pengaturan yang ada dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan

kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan dalam pelaksanaan

otonomi daerah di Indonesia.

       Serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang sistemik ataupun yang

kontekstual diharapkan dapat mewujudkan desentralisasi yang mampu membawa

kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI.




                                                            Universitas Sumatera Utara
Munculnya paradigma New Public Management (NPM) yang mendoktrinkan

agar dilakukan desentralisasi dalam tubuh pemerintahan, membawa implikasi bahwa

isu desentralisasi menjadi semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pengalaman tentang keberhasilan di luar negeri seperti di Inggeris, New Zealand,

Australia, Amerika Serikat dan Kanada menumbuhkan keyakinan bahwa desentralisasi

membawa perbaikan bagi kinerja pemerintah sekaligus kesejahteraan masyarakat.

Banyak pihak berharap bahwa desentralisasi mampu memperbaiki kualitas lingkungan,

pemberian pelayanan publik, dan peningkatan akuntabilitas pegawai daerah

(Kauneckis & Anderson, 2006).

       Beberapa pakar yakin bahwa ada banyak keuntungan yang diperoleh dari

desentralisasi. Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan lebih

cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam respons

perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih

melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu

keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih

memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja,

komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit,

Birchall dan Putman, 1998).

       Keunggulan desentralisasi yang lainnya adalah preferensi penduduk lebih

terakomodasikan (Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999), tingkat

akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah

mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan




                                                           Universitas Sumatera Utara
setempat (Peterson 1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick, Knox

and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan

menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis

bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang

(Fisman, dkk. 2002), dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi

(Crook and Manor 1998).

       Meski banyak literatur yang mengandalkan desentralisasi, namun kenyataan

atau pengalaman empiris tidak selamanya demikian. Kajian Treisman (2000), Oyono

(2004) menyebutkan bahwa dalam implementasi desentralisasi didapati juga hal-hal

seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi dan demokratisasi juga

tidak membaik. Justru desentralisasi meningkatkan kesempatan untuk “rent-seeking”

dan korupsi.

       Meski demikian, desentralisasi tidak sekedar ditujukan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dari itu yaitu memberikan kesempatan belajar

berdemokrasi,    berpartisipasi,   membangun    kepercayaan    dan   tanggungjawab,

memberdayakan masyarakat di daerah, dan menjamin pelayanan publik yang lebih

luas dan baik.

       Desentralisasi adalah kata dengan multi makna. Menurut Conyers (1984: 187),

hampir setiap orang mengetahui arti desentralisasi secara umum, namun perbedaan

sering timbul dalam mendefinisikan desentralisasi secara tepat karena desentralisasi

memiliki banyak aspek, sehingga konteks pembicaraan menjadi sangat penting dalam

memahami makna desentralisasi. Sebagai contoh tentang kompleksitas makna




                                                            Universitas Sumatera Utara
desentralisasi, Rondinelli (1989: 9-15) sebagaimana dikutip Cohen and Peterson

(1995: 10) memberikan pemahaman tentang desentralisasi dalam kaitannya dengan

politik, wilayah, pasar dan administrasi.

      Di samping itu, desentralisasi juga merupakan suatu peristilahan yang kaya

dengan konsep-konsep dan bersifat dinamis. Fesler (1964) mengemukakan,

“desentralisasi adalah suatu terminologi yang kaya akan makna konseptual dan makna

empiris, terminologi ini dapat menunjukkan dan menggambarkan suatu perubahan

yang ideal dan suatu perubahan yang moderat dan bertahap”.

      Dalam beberapa dekade terakhir ini, mengenai defenisi desentralisasi dan

identifikasi bentuk-bentuk dan tipe-tipe desentralisasi. Salah satu yang terpenting

adalah elaborasi konsep pada awal tahun 1980-an yang merupakan hasil kerja

Rondinelli dkk, (1983: 14). Menurut mereka, definisi desentralisasi yang relatif luas

dan mencakup seluruh fenomena organisasi adalah pendelegasian kewenangan untuk

merencanakan, mengambil keputusan, dan mengelola urusan publik dan tingkat

pemerintahan yang lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga pada tingkatan yang

lebih rendah.

      Berdasarkan tujuannya, Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi

menjadi empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentratisasi spasial, desentralisasi

pasar, dan desentralisasi administratif. Desentralisasi potitik, digunakan oleh pakar

ilmu politik yang menaruh perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil

untuk mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit

pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat atau kepada lembaga




                                                               Universitas Sumatera Utara
perwakilan rakyat. Dengan demikian Desentralisasi poiltik juga melimpahkan

kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah,

mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses

pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat

bawahan    merumuskan     dan   mengimplementasikan      kebijakan-kebijakan   secara

independen, tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.

       Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam

pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh

masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan

dan implementasi kebijakan. Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan

bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan. Litvack dkk. (1998) juga

menjelaskan sebagai berikut.

     Administrative Decentralization seeks to redistribute authority, responsibility,
     and financial resources for providing public services among different levels of
     government. It is the transfer of responsibility for planning, financing, and
     managing certain functions from the central government and its agencies to field
     units of government agencies, subordinate units or levels government, semi-
     autonomous public authorities or corporations, or area wide, regional, or
     functional authorities.

       Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk

menganalisis dan melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui

mekanisme pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar

barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah,

kelompok masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela.




                                                            Universitas Sumatera Utara
Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum

dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan                hierarki dan distribusi

kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit

pemerintah non pusat (sub-national government).

         Rondinelli (1981:133) maupun Cheema and Rondinelli (1983: 18) membagi

desentralisasi ke dalam empat bentuk, yaitu dekonsentrasi; delegasi atas organisasi

semi-otonomi atau parastaral; devolusi; dan privatisasi (transfer fungsi dan pemerintah

ke lembaga non-pemerintah). Sementara itu, Mawhood (1983) menyatakan bahwa

desentralisasi adalah pembentukan suatu badan hukum yang terpisah dan pemenintah

pusat, di mana lembaga perwakilan lokal memberikan kewenangan formal untuk

mengambil keputusan di dalam masalah-masalah publik. Basis politiknya bersifat

lokalitas dan bukan merupakan kepanjangan tangan pegawai negeri. Ruang lingkup

kewenangannya terbatas, tetapi didalam ruang lingkup kewenangan tersebut mereka

mempunyai hak untuk mengambil keputusan yang dilindungi oleh hukum dan hanya

dapat dibatalkan oleh perundang-undangan yang baru.

         Untuk   menjelaskan    tentang   perbedaan    antara    dekonsentrasi   dengan

desentralisasi, Maddick (1963: 23) mengatakan bahwa desentralisasi merupakan

pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun

fungsi    residual   yang   menjadi   kewenangan      pemerintah    daerah,   sedangkan

dekonsentrasi merupakan “the delegation of authority adequate for the discharge of

specified functions to staff of a central department who are situated outside the

headquarters. Secara singkat, Smith (1967: 2) merumuskan bahwa desentralisasi




                                                                Universitas Sumatera Utara
menciptakari “local self government” dan dekonsentrasi menciptakan “local state

government” atau “field administration”. Dari pengertian desentalisasi yang

dikemukakan oleh Maddick di atas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi

mengandung dua elemen pokok, yaitu melalui desentralisasi di satu pihak dilakukan

pembentukan daerah otonom dan di lain pihak dilakukan penyerahan kekuasaan secara

hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci

maupun yang dirumuskan secara umum.

       Peristilahan desentralisasi yang dinamis mengalami perkembangan dan

perluasan arti. Desentralisasi tidak hanya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan

dari Pusat kepada Daerah, tetapi juga diartikan pelimpahan kewenangan dan

pemerintah kepada sektor swasta. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Litvack

dkk. (1998:) yang memberi pengertian desentralisasi sebagai berikut.

     Decentralization—the transfer of authority and responsibility for public
     functions from the central government to subcordinate or quasi independent
     government or organization or the private sector—covers a broad rang of
     concepts. Each type of decentralization—political, administrative, fiscal, and
     market—has different characteristics, policy implications, and conditions for
     success.


       Pergeseran paradigma desentralisasi yang lebih memilih bentuk devolusi,

menempatkan daerah otonom kabupaten/kota sebagai daerah otonom murni (split

model). Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kabupaten/kota dilaksanakan atas

asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Pada provinsi asas desentralisasi dan asas

dekonsentrasi dilaksanakan secara bersamaan. Dalam daerah otonom provinsi melekat




                                                            Universitas Sumatera Utara
wilayah administrasi, dan dengan demikian pemerintah propinsi melakukan fungsi

otonomi dan fungsi dekonsentrasi.

       Sebagai daerah otonom Provinsi dan Kabupaten/kota adalah dua bentuk

otonomi yang setara, tidak hierarkhis atau subkordinasi. Dalam kedudukan sebagai

daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan yang setara.

Selain menjadi daerah otonom, Propinsi juga berkedudukan sebagai wilayah

administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Pada kedudukan sebagai wakil Pemerintah

Pusat, kemudian membentuk hubungan provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat

hirarkhis karena propinsi menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, fasilitasi, pembinaan,

pengawasan terhadap Kabupateri/Kota.

       Studi berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa desentralisasi dan sentralisasi

dilaksanakan secara simultan dalam suatu negara baik negara berkembang maupun

negara maju (Cheema dan Rondinelli, 1983; Conyers, 1983; Deakin, 1985). Hal ini

juga ditunjukkan dalam perdebatan antara Slater (1989) dengan Rondinelli (1990)

mengenai implikasi potitik dan desentralisasi. Rondinelli tidak sependapat dengan

Slater yang menyatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang

saling bertentangan dan bentuk organisasi politik dan administrasi yang lepas satu

sama lain. Menurut Rondinelli, seluruh pemerintahan memiliki fungsi yang merupakan

campuran antara sentralisasi dan desentralisasi.

       Kebanyakan analisis kebijakan desentratisasi memfokuskan diri pada

kombinasi yang tepat dan keduanya, bukan pada apakah pemerintah atau sistem politik




                                                            Universitas Sumatera Utara
sentralisasi atau desentralisasi seratus persen. Hubungan antara sentralisasi dan

desentralisasi sebenarnya lebih kompleks, seperti yang dikemukakan oleh Fesler

(1968), Cohen et. all. (1981) Faltas (1982), Apthorpe dan Conyers (1982).

        Mengingat hubungan yang demikian kompleks, sangat penting untuk

memahami bahwa sentralisasi dan desentralisasi lebih tepat dilihat sebagai suatu

perubahan (variable) ketimbang keadaan yang statis (attribute), dan tidak realistis

apabila sistem pemerintahan sentralistis sepenuhnya atau sistem pemerintahan

desentralistis diterapkan sepenuhnya. Dengan demikian, jangan melihat desentralisasi

dan sentralisasi sebagai hal yang dikotomis, tetapi lebih realistis memandang

desentralisasi dan sentralisasi sebagai serangkaian kontinum.

       Sampai sejauh ini, dan berbagai definisi mengenal pengertian desentralisasi yang

diberikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa ada persamaan mengenai obyek

yang didesentralisasikan, yaitu fungsi dan masalah publik; kewenangan, kekuasaan,

atau   kebebasan     bertindak   dengan   tidak   bertentangan terhadap perencanan,

pengambilan keputusan, dan pengelolaan; tanggung jawab; dan pembiayaan (sumber-

sumber). Dengan demikian, terlihat bahwa pembagian urusan pemerintahan

sebenarnya merupakan salah satu substansi atau elemen inti dan proses desentralisasi.

Elemen desentralisasi lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Smith (1985) meliputi

pembagian wilayah; kewenangan (politis dan birokratis); peran dan fungsi. Program

desentralisasi di Inggris merupakan salah satu bagian dan banyak debat besar tentang

pembagian kewenangan dan fungsi di antara semua tingkat politik dan administrasi

yang berbeda-beda.




                                                                Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan itu, pengertian desentralisasi dalam kajian akademis ini

adalah penyerahan urusan pemerintahan dan Pusat kepada Daerah atau yang lazim

disebut sebagai desentralisasi teritorial. Pengertian tersebut juga dipergunakan dalam

Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen dan berbagai UU tentang pemerintahan

daerah.

      Menurut Hoessein (1993) desentralisasi yang dimaksud dalam UUD 1945 Pasal

18 dan berbagai perundang-undangan yang mengatur pemenintah daerah terbatas pada

desentralisasi teritorial dan desentralisasi pemerintahan.

      Dari uraian di atas terlihat bahwa kajian peran dan fungsi termasuk dalam kajian

administrasi. Sementara tergambar dalam “preface” buku editorialnya, Farazmand

mengutarakan bahwa “As a worldwide phenomenon, administrative reform has been a

widespread challenge to almost all national and sub-national governments around the

globe”.

      Dalam kajian akademis fokus desentralisasi umumnya pada kajian kedudukan,

kewenangan, peran dan fungsi daerah otonom. Keberhasilan pembangunan di negara

maju memicu munculnya gelombang kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup

dalam bidang perekonomian dan sosial. Hal ini menjadikan sebagai agenda untuk

memajukan negara dan bangsa.

          Pemerintah diharuskan memiliki inisiatif untuk membangun sistem yang lebih

efisien, efektif, dan bahkan lebih responsif. Selain itu, didasarkan pada asumsi bahwa

birokrasi pemerintah selayaknya dapat memainkan peran dan fungsi utama dalam

membangun bangsa.




                                                             Universitas Sumatera Utara
Desentralisasi dan Otonomi Daerah merupakan keputusan politik yang sangat

mendasar yang telah mengalihkan sentralisme dari pusat ke kekuasaan di daerah

kabupaten/kota. Pengalihan sentralisme dari pusat ke kabupaten/kota mengakibatkan

terjadi sentralisasi pemerintahan, pembinaan kemasyarakatan dan pembangunan di

tingkat kabupaten/kota. Dampak politis yang cukup nyata dari hal tersebut adalah

terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang berada di bawah

kabupaten/kota dalam menghadapi masyarakat/warga atau publiknya.

       Otonomi daerah yang sangat luas dan bertanggungjawab melalui tuntutan

sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan politik yang digerakkan oleh berbagai elemen

masyarakat yang menuntut koreksi total dan fundamental terhadap penyelenggaraan

pemerintahan    yang   sangat    desentralistik.   Hoessein   (1993)   menggambarkan

pencanangan kebijakan memperkuat otonomi daerah sebagai hasil bekerjanya dua

kekuatan besar. Pertama, kekuatan internal dalam negeri berupa gerakan yang

melanda tanah air dengan tuntutannya demokratisasi di segala bidang kehidupan.

Kedua, kekuatan supra nasional berupa globalisasi dengan berbagai konsekuensi dan

implikasinya yang memerlukan tanggap dalam negeri melalui proses penyesuaian

terhadap struktur dan mekanisme pemerintahan demokratik di tingkat lokal.

Implikasinya terjadi perubahan landasan hukum mendasar dalam tata pemerintahan

yang membawa dampak pada perubahan berbagai aspek dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah mulai dari tataran filosofi hingga kepada tataran praktis.

       Berdasarkan hal tersebut, secara makro perlu diikuti secara mikro pada unit-

unit perangkat daerah yang melaksanakan kebijakan pemerintah lokal. Perubahan




                                                              Universitas Sumatera Utara
mendasar di dalam peran dan fungsi merupakan bentuk pemerintahan lokal secara

mikro yang diharapkan menjadi motor penggerak dan lini terdepan dalam

pemerintahan dan pelayanan.

       Untuk konteks Indonesia, yang memiliki kompleksitas geografis, suku/etnis,

agama, budaya, nampak tidak ada pilihan lain yaitu sistem pemerintahan yang

desentralistis. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan, situasi dan

kondisi lokal, sementara pemerintah pusat akan memusatkan perhatiannya pada hal-hal

yang bersifat strategis dan urusan-urusan lintas propinsi.

       Mencermati uraian perkembangan konsep desentralisasi, maka tidak berlebihan

kiranya pandangan Fakih et.all (2001) bahwa sebuah kebijakan senantiasa

mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni content atau substansi muatan hukum sebuah

kebijakan publik, struktur atau pelembagaan hubungan antar aktor dalam sebuah

kebijakan publik maupun kultur atau nilai-nilai yang dianut dalam sebuah kebijakan

publik sebagai satu kesatuan. Demikian halnya kebijakan desentralisasi, ketiga unsur

tergambar dari muatan pasal-pasal yang dituangkan dalam peraturan perundangan

tersebut sebagai content, struktur dan sebagai kultur.


2.2.   Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia

       Sejarah pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan selalu menghadirkan

otonomi sebagai sistem bernegara. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu

terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia.

       Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UUD, hampir

setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah




                                                              Universitas Sumatera Utara
satu   program      kerjanya.      Amanat   konstitusi   tersebut   diterjemahkan   dan

diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal

gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi

sosial politik pada masanya.

          Setidaknya, sampai kini, tujuh undang-undang yang mengatur tentang

pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No.

1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965,

UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004.

          Dinamika kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap berbagai aspek

dalam pembangunan daerah juga telah banyak dikaji. Secara umum, dalam perjalanan

sejarah kebijakan desentralisasi selalu saja terjadi tarik menarik antara dua ekstrim

sentralisasi dan desentralisasi.

          Ketika reformasi bergulir, di mana desentralisasi merupakan aspirasi yang

masif dan intensif disuarakan rakyat sebagai antitesis langgam pemerintahan yang

sangat sentralistis di masa Orde Baru, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 yang sangat

desentralistis. Sayangnya, sebagaimana dikemukakan desentralisasi yang dimaksud

UU No. 22 Tahun 1999 dipahami dan dilaksanakan secara kebablasan oleh elit di

daerah.

          Sebagai koreksi atas hal itu lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 yang ternyata

merupakan pengaturan yang sama sekali baru dan dinilai banyak kalangan merupakan

“resentralisasi” atas kewenangan otonomi yang sempat diatur dalam UU No. 22 Tahun

1999. Dinamika otonomi dan pembangunan daerah ternyata cukup beragam di bawah




                                                               Universitas Sumatera Utara
Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (khususnya UU nomor 22 Tahun 1999

dan UU nomor 32 Tahun 2004).

       Studi yang dilakukan Mudrajad Kuncoro yang dibukukan di bawah judul

Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang

(2004) mengungkap sejumlah fakta empirik terkait praktika desentralisasi di Indonesia.

Berbagai studi kasus yang diangkat dalam buku tersebut membuka nuansa pemahaman

bahwa otonomi senantiasa membawa peluang sekaligus tantangan.

       Perkembangan kebijakan desentralisasi yang cukup intensif ternyata kurang

baik dalam membangun sistem yang padu. Revisi kebijakan dari UU Nomor 22 Tahun

1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 misalnya, dilakukan dengan sangat tergesa-gesa

dan nyaris menutup ruang partisipasi publik dalam proses penyusunannya. Bersamaan

dengan itu terjadi perubahan (amandemen) konstitusi, yang belakangan dinilai masih

menyimpan banyak kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kerancuan dalam

sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.

       Proses revisi yang terkesan tergesa-gesa digabung dengan proses amandemen

konstitusi yang belum tuntas/belum sempurna menyebabkan UU No. 32 Tahun 2004

mengandung problematik yang cukup serius. Semakin problematik jika proses

penyusunan UU No 32 Tahun 2004 didasarkan pada asumsi bahwa pelaksanaan

otonomi luas di bawah UU No. 22 Tahun 1999 akan mengancam NKRI dan

menyebabkan disintegrasi nasional, KKN baru yang menghasilkan “raja-raja kecil” di

daerah, ekonomi biaya tinggi, dan atas nama itu semua diperlukan “resentralisasi.”

Untuk itu, relevanlah pandangan Wasistiono (2010) yang menyebutkan bahwa revisi




                                                            Universitas Sumatera Utara
UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dilakukan hendaknya membawa kembali

desentralisasi pada titik keseimbangan (tentunya keseimbangan antar pelbagai dimensi

hubungan pusat-daerah).


2.3.   Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah

2.3.1. Central Places Theory

       Teori central places awalnya dikembangkan di Jerman pada tahun 1933 oleh

Christaller. Sejak saat itu teori ini mulai digemari utamanya dalam konteks

pembangunan wilayah di berbagai negara.

       Teori ini berbicara mengenai pengambilan keputusan di mana sebaiknya lokasi

dari lembaga penyedia layanan publik maupun layanan privat (misalnya: pasar,

sekolah, universitas, rumah sakit) ditempatkan agar dapat melayani konsumen secara

optimal.

       Teori ini bertujuan untuk menjelaskan pilihan lokasi baik oleh privat dan atau

pemerintah, serta untuk tujuan intervensi pemerintah yang dibutuhkan agar tempat

lokasi layanan dapat memberikan service yang optimum (concerning supply of

services to the population and minimising costs).

       Hipotesis pokok yang dianut adalah, pilihan atas lokasi lembaga penyedia

layanan ditentukan oleh dua faktor yakni: 1) kapasitas minimum yang dimiliki

lembaga penyedia jasa layanan hendaknya masih dalam batas yang menguntungkan

dari segi pasar/ekonomis; 2) jarak maksimum lokasi yang masih memungkinkan bagi

konsumen untuk mengunjunginya.




                                                           Universitas Sumatera Utara
Menurut teori ini, paduan antara jarak minimum dan maksimum menentukan

lokasi dan jenis kegiatan perdagangan yang dibutuhkan. Dengan demikian,

terbentuklah hirarki lokasi dan jenis kegiatan yang sesuai dilaksanakan di lokasi

tersebut.

       Sebagai contoh, pusat desa cocok untuk menyediakan barang-barang yang

dibutuhkan setiap hari, kota menengah cocok untuk menyediakan kebutuhan periodik,

dan kota besar sebagai pusat utama lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan luxury.

       Konsekuensinya, dalam melakukan perencanaan wilayah, prinsip-prinsip di

atas diaplikasikan untuk memutuskan lokasi penyediaan layanan. Seperti lokasi untuk

Sekolah Dasar, didasarkan pada jumlah murid yang akan masuk dan jarak yang cocok

untuk murid tersebut pergi ke sekolah.

       Bagi pemerintah hal ini menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan

pembangunan sarana dan prasarana pendukung agar memberikan akses yang luas bagi

para warganya untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.

       Contoh penerapan model ini, misalnya, di Malawi, di mana pusat layanan

perdesaan didirikan untuk melayani sekitar 20,000 - 40,000 warga, yang tinggal sejauh

5 sampai dengan 10 mil dari lokasi pusat layanan. Layanan yang disediakan meliputi:

sekolah, rumah sakit, pasar musiman, maupun pengolahan hasil pertanian.

       Melalui gambaran teoritis di atas, maka teori central places ini merupakan

salah satu upaya untuk mengkompromikan antara kebutuhan akan biaya yang

minimum dan tanggungjawab penyediaan layanan yang sejauh mungkin dapat diakses

oleh sebagian besar warga.




                                                           Universitas Sumatera Utara
Namun demikian, konsep ini cenderung melakukan sentralisasi layanan lebih

daripada yang dibutuhkan. Tampaknya lokasi yang terdesentralisasi lebih sesuai untuk

mengurangi kecenderungan tersebut, selain itu sarana dan prasarana yang dibangun

hendaknya sedapat mungkin menggunakan bahan baku lokal.

2.3.2. The Growth Pole Theory

       Konsep pusat pertumbuhan (growth pole) ini diperkenalkan sejak 1949 oleh

seorang ekonom Perancis bernama Francois Perroux. Pandangan Perroux sebagaimana

dikutip oleh Darwent (1969) pada awalnya terlepas dari konteks geografis atau

persoalan keruangan.

       Nuansa konsep growth pole lebih berorintasi pemikiran ekonomi dibanding

kewilayahan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari definisi yang diberikan terhadap

growth pole itu sendiri sebagai “... centers (poles or foci) from which centrifugal forces

emanate and to which centripetal forces are attracted. Each center being a center of

attraction and repulsion has its proper field which is set in the field of all other

centers” (Darwent, 1969: 5).

       Konsep yang semula didasari pemikiran ekonomi tersebut semakin dilekatkan

dengan konteks kewilayahan yang mengadopsi pemikiran bahwa satu wilayah

geografis adalah satu skala ekonomi. Dalam konteks pemikiran inilah dikonsepsikan

adanya tiga tipe perwilayahan ekonomis, yaitu homogenous, polarized, dan planning

regions (Boudeville, 1966).

       Homogenous merupakan suatu perwilayahan yang terpusat dengan adanya satu

karakteristik inti (core characteristic). Polarized merupakan satu kawasan yang




                                                               Universitas Sumatera Utara
ditandai dengan adanya hubungan antar pusat dengan inti (central-periphery

relationship). Planning region merupakan wilayah pengembangan yang dapat

dirancang ulang sesuai karakteristik yang dimiliki.

       Konsep Growth Pole banyak diterapkan di negara-negara berkembang sebab

diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat

dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di wilayah

perkotaan. Selanjutnya diharapkan dengan sendirinya akan menyebar pada

pembangunan wilayah pedesaan. Ini sering disebut sebagai “trickle down effect” yang

terjadi sebagai akibat tekanan daripada pasaran bebas (free market forces) sehingga

menciptakan pertumbuhan ekonomi dari urban ke rural area (Rondinelli,1985).

       Sebenarnya    Growth     Pole   itu   sendiri   merupakan     sistem   sentralisasi

pembangunan dari atas ke bawah (top down planning) yang selama ini diterapkan di

Indonesia. Namun berdasarkan hasil penelitian (Firman, 1996) disebutkan bahwa

konsep Growth Pole gagal diterapkan pada Perluasan Kawasan Metropolitan Bandung

(Extended Bandung Metropolitan Region). Pada proyek ini, kota Bandung awalnya

diharapkan mampu sebagai magnet (magnet strategy) untuk membangun kota-kota

kedua. Ternyata pembangunan fisik kota Bandung sendiri sangat lambat bahkan kota

Bandung hanya berperan sebagai “kota asrama” (Dormitory City).

       Apabila ditelaah lebih dalam maka konsep pusat pertumbuhan (Growth Pole)

inilah yang menjadi konsep “agropolitan” hanya saja perancangannya dari bawah ke

atas (bottom-up planning). Douglas dan Friedmann (1978) menekankan bahawa

pembangunan      perkotaan    (urban   development)     mesti     dihubungkan     dengan




                                                                Universitas Sumatera Utara
pembangunan pedesaan (rural development) pada tingkat bawah (local level). Pada

prinsipnya kota di pedesaan dilihat sebagai fungsi non-agrikultural dan fungsi

administratif, bukan sebagai pusat pertumbuhan (Growth Pole).


2.4.   Penelitian Sebelumnya

       Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan topik desentralisasi.

Demikian pula penelitian yang terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah. Namun

penelitian yang secara khusus melihat pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap

pembangunan ekonomi wilayah masih terbatas.

       Umumnya penelitian tentang pengaruh desentralisasi lebih cenderung dikaitkan

dengan tata kelola pemerintahan, dinamika politik lokal maupun kualitas pelayanan

publik yang ditinjau dari perspektif administrasi maupun politik.

       Namun demikian, beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan

fokus penelitian ini dapat disebutkan antara lain: 1) riset lembaga penelitian SMERU

(2002); 2) Priyo Hari Adi (2005); 3) Depdagri (2009).

       Hasil riset SMERU misalnya, dilakukan pada tahun 2001-2002. Lembaga ini

melakukan kajian perjalanan kebijakan desentralisasi sejak diundangkannya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai saat ini ketika

revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedang

dilakukan (laporan lengkap dapat diakses secara online pada www.smeru.or.id).

       Riset yang dilakukan sejak April 2000 sampai Juli 2002, mengunjungi 15

kabupaten dan 3 kota di 12 propinsi (Sukabumi, Cirebon, Garut, Ciamis, Kudus,

Magetan, Bandar Lampung, Solok, Karo, Simalungun, Deli Serdang, Lombok Barat,




                                                              Universitas Sumatera Utara
Sumba Timur, Sanggau, Banjarmasin, Minahasa, Bolmong, Gorontalo – cetak miring

adalah kota) melalui empat tahap/kegiatan penelitian. Daerah yang dikunjungi tersebar

di seluruh Indonesia, mewakili wilayah Indonesia Bagian Timur, Jawa, dan Indonesia

Bagian Barat.

       Tingkat produk domestik regional bruto (PDRB) digunakan sebagai dasar

pertimbangan dalam pemilihan daerah agar diperoleh ketersebaran berdasarkan variasi

kondisi sosial ekonomi berbagai daerah di Indonesia.

       Metode riset yang digunakan adalah diskusi kelompok terfokus dan

pengamatan cepat (rapid assessment) sesuai tema studi yang dibagi dalam empat topik,

terdiri dari (SMERU, 2002):

1. Studi Persiapan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2000.

2. Studi Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, 2001.

3. Studi Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2001.

4. Studi Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik,

   2002.

       Hasil kajian SMERU tidak menemukan adanya perbedaan pelaksanaan

desentralisasi dan otda yang disebabkan perbedaan PDRB atau wilayah. Dengan kata

lain, daerah dengan PDRB lebih tinggi tidak dapat dikatakan melaksanakan kebijakan

ini lebih baik dibandingkan dengan daerah yang PDRB lebih rendah. Demikian pula,

daerah di Jawa tidak lebih baik dalam melaksanakan desentralisasi dan otda dibanding

daerah di luar Jawa. Perbedaan yang tampak adalah bahwa daerah kabupaten dan kota

yang akan mendapat kewenangan lebih besar memiliki antusiasme lebih tinggi dalam




                                                           Universitas Sumatera Utara
melaksanakan desentralisasi dan otda dibandingkan propinsi yang kewenangannya

akan berkurang.

       Merujuk hasil riset SMERU, terdapat persepsi umum di daerah bahwa

pemerintah pusat masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi

dan otonomi daerah, ditunjukkan oleh tiga hal, yakni:

1.     Pemerintah pusat dinilai lambat dalam mengeluarkan berbagai peraturan

       yang diperlukan untuk menjabarkan UU No. 22, 1999 dan UU No. 25,

       1999.

2.     Pemerintah pusat dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan kedua UU

       tersebut sebagaimana terlihat dari “ditariknya” kembali beberapa

       kewenangan daerah oleh pusat.

3.     Pemerintah pusat terlihat “reaktif” dalam mengeluarkan beberapa

       peraturan seperti dalam hal PP No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan

       Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP No. 56

       tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang

       dikeluarkan setelah ada kasus-kasus pemerintah kabupaten dan kota yang

       “meremehkan” pemerintah propinsi. Misalnya, beberapa bupati dan

       walikota tidak menghadiri secara langsung rapat koordinasi yang

       dilakukan oleh gubernur, tetapi mewakilkannya kepada pejabat lainnya.

       Selain itu, dalam menangani atau mengklarifikasi suatu masalah,

       kabupaten/kota memilih untuk langsung menghubungi atau melapor ke




                                                         Universitas Sumatera Utara
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi.

Pemerintah daerah menyadari bahwa mereka masih mempunyai keterbatasan dalam

melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. UU No. 22 Tahun 1999 hanya

memberi kewenangan pengalokasian dana, tidak menambah kewenangan di bidang

fiskal kepada daerah. Oleh karenanya, salah satu usaha daerah adalah meningkatkan

penerimaan melalui pendapatan asli daerah (PAD) berdasarkan UU No. 34 tahun 2000

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

       Selanjutnya, melalui riset yang dilakukan oleh Adi (2005) dapat dilakukan

pengukuran dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi se-Jawa dan Bali.

Metode analisis uji beda dan analisis varians dipilih sebagai teknik analisis untuk

melihat apakah terdapat perbedaan dampak sebelum dan setelah desentralisasi

dilaksanakan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah.

       Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti

meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah lebih peka terhadap kebutuhan

dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lin dan Liu

(2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan positif

dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

       Namun demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah

benar-benar siap memasuki desentralisasi fiskal. Data awal menunjukkan ada 46%

daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya dibawah rata-




                                                           Universitas Sumatera Utara
rata. Faktor inilah yang diindikasikan sebagai alasan terjadinya perbedaan

pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah setelah memasuki era desentralisasi

fiskal.

          Bila dilakukan analisis secara parsial, perbedaan yang terjadi, hanya antara

beberapa daerah saja. Bukti empiris menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan

ekonomi pada daerah-daerah yang diindikasi kurang siap menghadapi desentralisasi

fiskal (daerah relatif tertinggal tersisa 21%). Namun demikian, pertumbuhan ekonomi

ini tidak diikuti dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan perkapita yang signifikan.

          Penelitian terkini dilakukan oleh Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri

(2009). Setelah dilakukan proses monitoring dan evaluasi perjalanan desentralisasi

maka diambil kebijakan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

          Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diniati mampu

menjawab serangkaian permasalahan yang selama ini terjadi di lapangan. Naskah

akademik yang disusun tim ahli bekerjasama dengan Ditjen Otda Kementerian Dalam

Negeri merekomendasikan bahwa arah revisi memilah UU Nomor 32 Tahun 2004

menjadi 3 (tiga) paket RUU yakni RUU tentang Pemerintahan Daerah; RUU tentang

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan RUU tentang Desa.

          Terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah, saat ini telah disusun grand

strategy otonomi daerah yang memuat desain besar kebijakan desentralisasi ke depan

meliputi aspek urusan pemerintahan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan daerah,




                                                             Universitas Sumatera Utara
perencanaan pembangunan, pelayanan publik maupun pengembangan ekonomi

(Depdagri, 2009).


2.5.     Kerangka Pemikiran

         Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas, kerangka pemikiran yang dianut

dalam penelitian adalah terdapat hubungan yang erat antara kebijakan pembangunan

wilayah dan kebijakan desentralisasi. Hubungan tersebut dapat diamati melalui isu-isu

yang berkembang seputar pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional, regional

maupun lokal berupa ketimpangan antar wilayah, pengangguran dan kemiskinan, krisis

ekonomi maupun pemerasan ganda (double squeeze) oleh kota terhadap desa. Secara

visual kerangka pemikiran penelitian ini diformulasikan sebagai berikut (lihat bagan

2.1.):




                                                           Universitas Sumatera Utara
Kebijakan Pembangunan 
                                                                            National
                              Nasional 


        Masa Lalu 
                                                  Saat Ini 
   Munculnya Konglomerat 
                                         Desentralisasi 
   Sentralisasi  
                                         Kompetensi Inti Daerah
   Perencanaan dari atas  
                                         Perencanaan bottom­up 
                                          dan top­down
                                                                              Regional



                                                                                 Local




                   Desentralisasi dan 
                 Pembangunan Ekonomi 
                       Wilayah 




                  Analisis and Evaluasi




                    Hasil Penelitian


                Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian




                                                           Universitas Sumatera Utara

More Related Content

What's hot

Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Oswar Mungkasa
 
Format baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahFormat baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahAgung Jatmiko
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Dadang Solihin
 
Format baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahFormat baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahAgung Jatmiko
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Dadang Solihin
 
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIAHUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIASanawiyah29
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangAulia Hamunta
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianIsnu Rahadi Wiratama
 
Makalah sentralisasi dan desentralisasi
Makalah sentralisasi dan desentralisasiMakalah sentralisasi dan desentralisasi
Makalah sentralisasi dan desentralisasiSeptian Muna Barakati
 
desentralisasi vs sentralisasi
desentralisasi vs sentralisasidesentralisasi vs sentralisasi
desentralisasi vs sentralisasiKrisna Yasa
 
Desentralisasi
DesentralisasiDesentralisasi
Desentralisasiadysintang
 
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsiYKN
 
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan DaerahSistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan DaerahDadang Solihin
 
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan PraktekOtonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan PraktekDadang Solihin
 

What's hot (20)

Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
 
Format baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahFormat baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerah
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
 
Format baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahFormat baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerah
 
Desentralisasi
DesentralisasiDesentralisasi
Desentralisasi
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
 
Denis anggun
Denis anggunDenis anggun
Denis anggun
 
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIAHUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
 
Makalah sentralisasi dan desentralisasi
Makalah sentralisasi dan desentralisasiMakalah sentralisasi dan desentralisasi
Makalah sentralisasi dan desentralisasi
 
Adm1
Adm1Adm1
Adm1
 
desentralisasi vs sentralisasi
desentralisasi vs sentralisasidesentralisasi vs sentralisasi
desentralisasi vs sentralisasi
 
Rpp ppkn x bab 4 1516 8 kali jp
Rpp ppkn x bab 4 1516 8 kali jpRpp ppkn x bab 4 1516 8 kali jp
Rpp ppkn x bab 4 1516 8 kali jp
 
Presentasi ppkn
Presentasi ppknPresentasi ppkn
Presentasi ppkn
 
Nama kelompok 4
Nama kelompok 4Nama kelompok 4
Nama kelompok 4
 
Desentralisasi
DesentralisasiDesentralisasi
Desentralisasi
 
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
 
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan DaerahSistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
 
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan PraktekOtonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
 

Similar to Chapter ii

Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...Iqbal Lfc
 
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesiaKebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesiaSyaifOer
 
PPT Otonomi_Daerah.pptx
PPT Otonomi_Daerah.pptxPPT Otonomi_Daerah.pptx
PPT Otonomi_Daerah.pptxGFMtvlg
 
Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di IndonesiaOtonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di IndonesiaHIA Class.
 
Makalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahMakalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahsyabdan
 
Makalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatan
Makalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatanMakalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatan
Makalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatanSeptian Muna Barakati
 
Proposal seminar sehari.pptx
Proposal seminar sehari.pptxProposal seminar sehari.pptx
Proposal seminar sehari.pptxagushidayat97
 
Tugas tata pemerintahan lokal
Tugas tata pemerintahan lokalTugas tata pemerintahan lokal
Tugas tata pemerintahan lokalricky04
 
Desentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomiDesentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomijenis6575
 
Perspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi Daerah
Perspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi DaerahPerspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi Daerah
Perspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi DaerahTri Widodo W. UTOMO
 
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliNaskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliYohannes Halawa
 
Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2
Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2
Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2Frans Dione
 
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerahPaper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerahfuji kurniawan
 
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riOtonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riAhmad Solihin
 
Power_Point_Otonomi_Daerah.pptx
Power_Point_Otonomi_Daerah.pptxPower_Point_Otonomi_Daerah.pptx
Power_Point_Otonomi_Daerah.pptxsdnjelambar
 

Similar to Chapter ii (20)

Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
 
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesiaKebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
 
Makalah otonomo daerah
Makalah otonomo daerahMakalah otonomo daerah
Makalah otonomo daerah
 
PPT Otonomi_Daerah.pptx
PPT Otonomi_Daerah.pptxPPT Otonomi_Daerah.pptx
PPT Otonomi_Daerah.pptx
 
Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di IndonesiaOtonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di Indonesia
 
Pp kapita slekta
Pp kapita slektaPp kapita slekta
Pp kapita slekta
 
Makalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahMakalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerah
 
otonomi daerah
otonomi daerahotonomi daerah
otonomi daerah
 
Makalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatan
Makalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatanMakalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatan
Makalah konsep dasar keperawatan desentralisasi pembangunan kesehatan
 
Proposal seminar sehari.pptx
Proposal seminar sehari.pptxProposal seminar sehari.pptx
Proposal seminar sehari.pptx
 
Tugas tata pemerintahan lokal
Tugas tata pemerintahan lokalTugas tata pemerintahan lokal
Tugas tata pemerintahan lokal
 
Desentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomiDesentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomi
 
Perspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi Daerah
Perspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi DaerahPerspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi Daerah
Perspektif Negara Bangsa Dalam Konteks Otonomi Daerah
 
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliNaskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
 
Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2
Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2
Motivasi dan urgensi desentralisasi fd-2
 
Makalah otonomi daerah 2
Makalah otonomi daerah 2Makalah otonomi daerah 2
Makalah otonomi daerah 2
 
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerahPaper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
 
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riOtonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
 
Makalah pkn
Makalah pknMakalah pkn
Makalah pkn
 
Power_Point_Otonomi_Daerah.pptx
Power_Point_Otonomi_Daerah.pptxPower_Point_Otonomi_Daerah.pptx
Power_Point_Otonomi_Daerah.pptx
 

Chapter ii

  • 1. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan konsep dan kebijakan desentralisasi hingga saat ini mengalami perjalanan yang cukup panjang. Demikian pula dengan konsep pembangunan ekonomi wilayah. Untuk menjelaskan kedua konsep besar tersebut pada bagian ini dijelaskan secara singkat perkembangan konsep desentralisasi maupun kebijakan yang mengatur desentralisasi di Indonesia. Pada bagian selanjutnya dijelaskan pula perkembangan konsep dalam menganalisis pembangunan wilayah. Tinjauan ini perlu dilakukan untuk memilih paduan strategi yang komprehensif dan aplikabel. Pada bagian akhir tinjauan pustaka ini dikonstruksikan kerangka konseptual penelitian untuk membantu penajaman uraian dan analisis agar tetap fokus dan runtut dalam menjawab permasalahan penelitian yang telah ditentukan. 2.1. Perkembangan Konsep Desentralisasi Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang ingin dikembangkan di Indonesia, apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia terbatas pada desentralisasi vertikal atau termasuk juga desentralisasi horisontal (Rondinelli, 2007). Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema (1983) yaitu desentralisasi dapat dilakukan melalui dekonsentrasi, delegasi dan Universitas Sumatera Utara
  • 2. devolusi. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Bentuk desentralisasi memiliki pilihan yang sangat beragam, berupa dekonsentrasi, medebewind, devolusi atau privatisasi. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini berangkat dari asumsi bahwa kalau pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan lebih cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif. Semua pihak mengakui bahwa otonomi diperlukan, namun upaya mewujudkannya tidaklah “semudah membalik telapak tangan.” Bahkan, sekalipun kesepakatan telah dicapai melalui undang-undang atau peraturan pemerintah, namun dalam praktek otonomi tetap sulit untuk diwujudkan. Selama kurun waktu dua periode pelaksanaan otonomi daerah yaitu di era UU No.22/1999 dan UU No.32/2004, ternyata model otonomi daerah yang diberlakukan masih belum final dan belum menemukan pola yang mapan. Sekarang sedang muncul perspektif tentang kemungkinan akan diakomodasinya konsep desentralisasi asimetris, devolusi dan asas privatisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di Indonesia, prinsip-prinsip otonomi yang dianut dan dasar peraturan perundang- undangan yang menjadi landasannya senantiasa dilakukan perubahan. Dinamika konfigurasi hubungan pusat-daerah sejak masa pendudukan Belanda sampai sekarang (lihat Tabel 2.1 di bawah ini). Universitas Sumatera Utara
  • 3. Tabel 2.1. Konfigurasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia Kurun Waktu Prinsip Otonomi dan Implementasi Landasan Yuridis 1903 Sentralisasi Tidak terlaksana Decentralisatie Wet 1903; Local Radenordonantie No.181 Thn 1905 1942-1945 Sentralisasi Tidak terlaksana Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942) 1945 sd. 1959 Demokratis, Otonomi Luas, Tidak terlaksana Desentralisasi UU No.1 Tahun 1945 UU No.22 Tahun 1948 UU No.1 Tahun 1957 1959 sd. 1966 Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi Tidak Terlaksana Penpres No.18/1959 UU No.18/1965 1966 sd. Demokratis, Otonomi Luas, Tidak Terlaksana 1969/1971 Desentralisasi TAP MPRS No.21/1966 1971 sd. 1998 Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi Tidak Terlaksana TAP MPR No.IV/1973 UU No.5/1974 UU No.5/1979 1998- sekarang Demokratis, Otonomi Luas, Sudah Terlaksana Desentralisasi Masih ada TAP MPR No.IV/1998 kendala UU No.22/1999 UU No.25/1999 UU No.32/2004 UU No.33/2004 Sumber: Hossein, 2002 Pada satu sisi, kebijakan desentralisasi membawa nuansa baru dalam tata kelola pemerintahan. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya transfer dana perimbangan dari pusat ke daerah, semakin besarnya diskresi daerah dalam menetapkan kebijakan terkait dengan kepentingan lokal. Namun di sisi lain, kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian permasalahan. Munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat adalah sebagian diantaranya (Hidayat, 2003). Universitas Sumatera Utara
  • 4. Secara akademik Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memiliki landasan paradigma yang tegas dan jelas tentang sistem pemerintahan itu sendiri, termasuk landasan paradigma sistem administrasi dan manajemen publik. Sementara itu, secara praktis Undang-undang ini juga memerlukan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah (memberi beban yang relatif banyak untuk menyusun peraturan pemerintahnya karena terlalu banyak aspek yang diatur) sehingga memperlambat pelaksanaannya. Kritikan lain yang paling sering dilontarkan oleh pemerintah daerah adalah bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan usaha Pemerintah untuk melakukan resentralisasi, karena mengurangi secara signifikan isi otonomi daerah terutama untuk daerah kabupaten/kota yang telah memperolehnya secara sangat luas pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan otonomi yang jauh lebih luas kepada daerah. Hal ini terjadi karena pemahaman tentang otonomi di negara kesatuan belum dirumuskan secara jelas sehingga banyak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda, pertanyaan dan bahkan kecurigaan. Adapula yang berpandangan bahwa Undang-Undang ini dilihat sebagai milik Departemen Dalam Negeri. Akibatnya departemen sektoral merasa tidak harus memperhatikannya apalagi isi Undang-Undang ini tidak sejalan dengan Undang- Undang sektoral yang masih berlaku. Undang-undang tentang pemerintahan daerah seringkali dipersepsikan sebagai “lex generalis” sementara Undang-undang sektoral Universitas Sumatera Utara
  • 5. sebagai “lex spesialis”. Departemen sektoral lebih memperhatikan Undang-undang sendiri daripada Undang-undang tentang pemerintahan daerah. Isu ini sangat terkait dengan kurangnya fasilitasi kepada semua stakeholders baik di pusat maupun di daerah. Akibat beragamnya penafsiran terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak sedikit daerah otonom melakukan improvisasi yang justru kontra produktif terhadap maksud awal pencapaian tujuan desentralisasi yang dibingkai dalam regulasi tersebut. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memang menghasilkan cerita yang beragam di daerah (Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b). Walaupun secara umum desentralisasi mampu memperbaiki pelayanan publik tetapi juga menimbulkan banyak masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengalaman mengenai kegagalan desentralisasi juga banyak ditemukan di negara-negara lain (Rondinelli, 2007; Fleurke and Hulst, 2006). Karena itu tidak mengherankan kalau dalam beberapa tahun terakhir muncul pertanyaan yang serius ketika harapan tentang hasil yang dijanjikan desentralisasi tidak terwujud. Pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme (1997), misalnya, menyoal tentang desentralisasi itu apanya yang salah, teori atau prakteknya. Pertanyaan Turner dan Hulme tentang sumber masalah dari pelaksanaan desentralisasi, yaitu apakah teori atau praktek, mengingatkan semua pihak secara terbuka dan kritis melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Universitas Sumatera Utara
  • 6. Persoalan desentralisasi dapat muncul dari keduanya, atau bahkan interaksi antar keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi sebagaimana juga kegagalan untuk melaksanakan desentralisasi sesuai semangat dari peraturan perundangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula. Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi (Dwiyanto, 2003a). Akibatnya, pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Apa yang terjadi selama ini menunjukkan pentingnya membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan benar, karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu, upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan yang ada dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang sistemik ataupun yang kontekstual diharapkan dapat mewujudkan desentralisasi yang mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI. Universitas Sumatera Utara
  • 7. Munculnya paradigma New Public Management (NPM) yang mendoktrinkan agar dilakukan desentralisasi dalam tubuh pemerintahan, membawa implikasi bahwa isu desentralisasi menjadi semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengalaman tentang keberhasilan di luar negeri seperti di Inggeris, New Zealand, Australia, Amerika Serikat dan Kanada menumbuhkan keyakinan bahwa desentralisasi membawa perbaikan bagi kinerja pemerintah sekaligus kesejahteraan masyarakat. Banyak pihak berharap bahwa desentralisasi mampu memperbaiki kualitas lingkungan, pemberian pelayanan publik, dan peningkatan akuntabilitas pegawai daerah (Kauneckis & Anderson, 2006). Beberapa pakar yakin bahwa ada banyak keuntungan yang diperoleh dari desentralisasi. Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan lebih cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam respons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998). Keunggulan desentralisasi yang lainnya adalah preferensi penduduk lebih terakomodasikan (Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999), tingkat akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan Universitas Sumatera Utara
  • 8. setempat (Peterson 1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick, Knox and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang (Fisman, dkk. 2002), dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi (Crook and Manor 1998). Meski banyak literatur yang mengandalkan desentralisasi, namun kenyataan atau pengalaman empiris tidak selamanya demikian. Kajian Treisman (2000), Oyono (2004) menyebutkan bahwa dalam implementasi desentralisasi didapati juga hal-hal seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi dan demokratisasi juga tidak membaik. Justru desentralisasi meningkatkan kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi. Meski demikian, desentralisasi tidak sekedar ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dari itu yaitu memberikan kesempatan belajar berdemokrasi, berpartisipasi, membangun kepercayaan dan tanggungjawab, memberdayakan masyarakat di daerah, dan menjamin pelayanan publik yang lebih luas dan baik. Desentralisasi adalah kata dengan multi makna. Menurut Conyers (1984: 187), hampir setiap orang mengetahui arti desentralisasi secara umum, namun perbedaan sering timbul dalam mendefinisikan desentralisasi secara tepat karena desentralisasi memiliki banyak aspek, sehingga konteks pembicaraan menjadi sangat penting dalam memahami makna desentralisasi. Sebagai contoh tentang kompleksitas makna Universitas Sumatera Utara
  • 9. desentralisasi, Rondinelli (1989: 9-15) sebagaimana dikutip Cohen and Peterson (1995: 10) memberikan pemahaman tentang desentralisasi dalam kaitannya dengan politik, wilayah, pasar dan administrasi. Di samping itu, desentralisasi juga merupakan suatu peristilahan yang kaya dengan konsep-konsep dan bersifat dinamis. Fesler (1964) mengemukakan, “desentralisasi adalah suatu terminologi yang kaya akan makna konseptual dan makna empiris, terminologi ini dapat menunjukkan dan menggambarkan suatu perubahan yang ideal dan suatu perubahan yang moderat dan bertahap”. Dalam beberapa dekade terakhir ini, mengenai defenisi desentralisasi dan identifikasi bentuk-bentuk dan tipe-tipe desentralisasi. Salah satu yang terpenting adalah elaborasi konsep pada awal tahun 1980-an yang merupakan hasil kerja Rondinelli dkk, (1983: 14). Menurut mereka, definisi desentralisasi yang relatif luas dan mencakup seluruh fenomena organisasi adalah pendelegasian kewenangan untuk merencanakan, mengambil keputusan, dan mengelola urusan publik dan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga pada tingkatan yang lebih rendah. Berdasarkan tujuannya, Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi menjadi empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentratisasi spasial, desentralisasi pasar, dan desentralisasi administratif. Desentralisasi potitik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat atau kepada lembaga Universitas Sumatera Utara
  • 10. perwakilan rakyat. Dengan demikian Desentralisasi poiltik juga melimpahkan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen, tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan. Litvack dkk. (1998) juga menjelaskan sebagai berikut. Administrative Decentralization seeks to redistribute authority, responsibility, and financial resources for providing public services among different levels of government. It is the transfer of responsibility for planning, financing, and managing certain functions from the central government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels government, semi- autonomous public authorities or corporations, or area wide, regional, or functional authorities. Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela. Universitas Sumatera Utara
  • 11. Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-national government). Rondinelli (1981:133) maupun Cheema and Rondinelli (1983: 18) membagi desentralisasi ke dalam empat bentuk, yaitu dekonsentrasi; delegasi atas organisasi semi-otonomi atau parastaral; devolusi; dan privatisasi (transfer fungsi dan pemerintah ke lembaga non-pemerintah). Sementara itu, Mawhood (1983) menyatakan bahwa desentralisasi adalah pembentukan suatu badan hukum yang terpisah dan pemenintah pusat, di mana lembaga perwakilan lokal memberikan kewenangan formal untuk mengambil keputusan di dalam masalah-masalah publik. Basis politiknya bersifat lokalitas dan bukan merupakan kepanjangan tangan pegawai negeri. Ruang lingkup kewenangannya terbatas, tetapi didalam ruang lingkup kewenangan tersebut mereka mempunyai hak untuk mengambil keputusan yang dilindungi oleh hukum dan hanya dapat dibatalkan oleh perundang-undangan yang baru. Untuk menjelaskan tentang perbedaan antara dekonsentrasi dengan desentralisasi, Maddick (1963: 23) mengatakan bahwa desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun fungsi residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan dekonsentrasi merupakan “the delegation of authority adequate for the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquarters. Secara singkat, Smith (1967: 2) merumuskan bahwa desentralisasi Universitas Sumatera Utara
  • 12. menciptakari “local self government” dan dekonsentrasi menciptakan “local state government” atau “field administration”. Dari pengertian desentalisasi yang dikemukakan oleh Maddick di atas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi mengandung dua elemen pokok, yaitu melalui desentralisasi di satu pihak dilakukan pembentukan daerah otonom dan di lain pihak dilakukan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum. Peristilahan desentralisasi yang dinamis mengalami perkembangan dan perluasan arti. Desentralisasi tidak hanya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari Pusat kepada Daerah, tetapi juga diartikan pelimpahan kewenangan dan pemerintah kepada sektor swasta. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Litvack dkk. (1998:) yang memberi pengertian desentralisasi sebagai berikut. Decentralization—the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subcordinate or quasi independent government or organization or the private sector—covers a broad rang of concepts. Each type of decentralization—political, administrative, fiscal, and market—has different characteristics, policy implications, and conditions for success. Pergeseran paradigma desentralisasi yang lebih memilih bentuk devolusi, menempatkan daerah otonom kabupaten/kota sebagai daerah otonom murni (split model). Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kabupaten/kota dilaksanakan atas asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Pada provinsi asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi dilaksanakan secara bersamaan. Dalam daerah otonom provinsi melekat Universitas Sumatera Utara
  • 13. wilayah administrasi, dan dengan demikian pemerintah propinsi melakukan fungsi otonomi dan fungsi dekonsentrasi. Sebagai daerah otonom Provinsi dan Kabupaten/kota adalah dua bentuk otonomi yang setara, tidak hierarkhis atau subkordinasi. Dalam kedudukan sebagai daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan yang setara. Selain menjadi daerah otonom, Propinsi juga berkedudukan sebagai wilayah administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Pada kedudukan sebagai wakil Pemerintah Pusat, kemudian membentuk hubungan provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat hirarkhis karena propinsi menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, fasilitasi, pembinaan, pengawasan terhadap Kabupateri/Kota. Studi berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa desentralisasi dan sentralisasi dilaksanakan secara simultan dalam suatu negara baik negara berkembang maupun negara maju (Cheema dan Rondinelli, 1983; Conyers, 1983; Deakin, 1985). Hal ini juga ditunjukkan dalam perdebatan antara Slater (1989) dengan Rondinelli (1990) mengenai implikasi potitik dan desentralisasi. Rondinelli tidak sependapat dengan Slater yang menyatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang saling bertentangan dan bentuk organisasi politik dan administrasi yang lepas satu sama lain. Menurut Rondinelli, seluruh pemerintahan memiliki fungsi yang merupakan campuran antara sentralisasi dan desentralisasi. Kebanyakan analisis kebijakan desentratisasi memfokuskan diri pada kombinasi yang tepat dan keduanya, bukan pada apakah pemerintah atau sistem politik Universitas Sumatera Utara
  • 14. sentralisasi atau desentralisasi seratus persen. Hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi sebenarnya lebih kompleks, seperti yang dikemukakan oleh Fesler (1968), Cohen et. all. (1981) Faltas (1982), Apthorpe dan Conyers (1982). Mengingat hubungan yang demikian kompleks, sangat penting untuk memahami bahwa sentralisasi dan desentralisasi lebih tepat dilihat sebagai suatu perubahan (variable) ketimbang keadaan yang statis (attribute), dan tidak realistis apabila sistem pemerintahan sentralistis sepenuhnya atau sistem pemerintahan desentralistis diterapkan sepenuhnya. Dengan demikian, jangan melihat desentralisasi dan sentralisasi sebagai hal yang dikotomis, tetapi lebih realistis memandang desentralisasi dan sentralisasi sebagai serangkaian kontinum. Sampai sejauh ini, dan berbagai definisi mengenal pengertian desentralisasi yang diberikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa ada persamaan mengenai obyek yang didesentralisasikan, yaitu fungsi dan masalah publik; kewenangan, kekuasaan, atau kebebasan bertindak dengan tidak bertentangan terhadap perencanan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan; tanggung jawab; dan pembiayaan (sumber- sumber). Dengan demikian, terlihat bahwa pembagian urusan pemerintahan sebenarnya merupakan salah satu substansi atau elemen inti dan proses desentralisasi. Elemen desentralisasi lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Smith (1985) meliputi pembagian wilayah; kewenangan (politis dan birokratis); peran dan fungsi. Program desentralisasi di Inggris merupakan salah satu bagian dan banyak debat besar tentang pembagian kewenangan dan fungsi di antara semua tingkat politik dan administrasi yang berbeda-beda. Universitas Sumatera Utara
  • 15. Sehubungan dengan itu, pengertian desentralisasi dalam kajian akademis ini adalah penyerahan urusan pemerintahan dan Pusat kepada Daerah atau yang lazim disebut sebagai desentralisasi teritorial. Pengertian tersebut juga dipergunakan dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen dan berbagai UU tentang pemerintahan daerah. Menurut Hoessein (1993) desentralisasi yang dimaksud dalam UUD 1945 Pasal 18 dan berbagai perundang-undangan yang mengatur pemenintah daerah terbatas pada desentralisasi teritorial dan desentralisasi pemerintahan. Dari uraian di atas terlihat bahwa kajian peran dan fungsi termasuk dalam kajian administrasi. Sementara tergambar dalam “preface” buku editorialnya, Farazmand mengutarakan bahwa “As a worldwide phenomenon, administrative reform has been a widespread challenge to almost all national and sub-national governments around the globe”. Dalam kajian akademis fokus desentralisasi umumnya pada kajian kedudukan, kewenangan, peran dan fungsi daerah otonom. Keberhasilan pembangunan di negara maju memicu munculnya gelombang kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam bidang perekonomian dan sosial. Hal ini menjadikan sebagai agenda untuk memajukan negara dan bangsa. Pemerintah diharuskan memiliki inisiatif untuk membangun sistem yang lebih efisien, efektif, dan bahkan lebih responsif. Selain itu, didasarkan pada asumsi bahwa birokrasi pemerintah selayaknya dapat memainkan peran dan fungsi utama dalam membangun bangsa. Universitas Sumatera Utara
  • 16. Desentralisasi dan Otonomi Daerah merupakan keputusan politik yang sangat mendasar yang telah mengalihkan sentralisme dari pusat ke kekuasaan di daerah kabupaten/kota. Pengalihan sentralisme dari pusat ke kabupaten/kota mengakibatkan terjadi sentralisasi pemerintahan, pembinaan kemasyarakatan dan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Dampak politis yang cukup nyata dari hal tersebut adalah terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang berada di bawah kabupaten/kota dalam menghadapi masyarakat/warga atau publiknya. Otonomi daerah yang sangat luas dan bertanggungjawab melalui tuntutan sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan politik yang digerakkan oleh berbagai elemen masyarakat yang menuntut koreksi total dan fundamental terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sangat desentralistik. Hoessein (1993) menggambarkan pencanangan kebijakan memperkuat otonomi daerah sebagai hasil bekerjanya dua kekuatan besar. Pertama, kekuatan internal dalam negeri berupa gerakan yang melanda tanah air dengan tuntutannya demokratisasi di segala bidang kehidupan. Kedua, kekuatan supra nasional berupa globalisasi dengan berbagai konsekuensi dan implikasinya yang memerlukan tanggap dalam negeri melalui proses penyesuaian terhadap struktur dan mekanisme pemerintahan demokratik di tingkat lokal. Implikasinya terjadi perubahan landasan hukum mendasar dalam tata pemerintahan yang membawa dampak pada perubahan berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mulai dari tataran filosofi hingga kepada tataran praktis. Berdasarkan hal tersebut, secara makro perlu diikuti secara mikro pada unit- unit perangkat daerah yang melaksanakan kebijakan pemerintah lokal. Perubahan Universitas Sumatera Utara
  • 17. mendasar di dalam peran dan fungsi merupakan bentuk pemerintahan lokal secara mikro yang diharapkan menjadi motor penggerak dan lini terdepan dalam pemerintahan dan pelayanan. Untuk konteks Indonesia, yang memiliki kompleksitas geografis, suku/etnis, agama, budaya, nampak tidak ada pilihan lain yaitu sistem pemerintahan yang desentralistis. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan, situasi dan kondisi lokal, sementara pemerintah pusat akan memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat strategis dan urusan-urusan lintas propinsi. Mencermati uraian perkembangan konsep desentralisasi, maka tidak berlebihan kiranya pandangan Fakih et.all (2001) bahwa sebuah kebijakan senantiasa mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni content atau substansi muatan hukum sebuah kebijakan publik, struktur atau pelembagaan hubungan antar aktor dalam sebuah kebijakan publik maupun kultur atau nilai-nilai yang dianut dalam sebuah kebijakan publik sebagai satu kesatuan. Demikian halnya kebijakan desentralisasi, ketiga unsur tergambar dari muatan pasal-pasal yang dituangkan dalam peraturan perundangan tersebut sebagai content, struktur dan sebagai kultur. 2.2. Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia Sejarah pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan selalu menghadirkan otonomi sebagai sistem bernegara. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UUD, hampir setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah Universitas Sumatera Utara
  • 18. satu program kerjanya. Amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi sosial politik pada masanya. Setidaknya, sampai kini, tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Dinamika kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap berbagai aspek dalam pembangunan daerah juga telah banyak dikaji. Secara umum, dalam perjalanan sejarah kebijakan desentralisasi selalu saja terjadi tarik menarik antara dua ekstrim sentralisasi dan desentralisasi. Ketika reformasi bergulir, di mana desentralisasi merupakan aspirasi yang masif dan intensif disuarakan rakyat sebagai antitesis langgam pemerintahan yang sangat sentralistis di masa Orde Baru, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 yang sangat desentralistis. Sayangnya, sebagaimana dikemukakan desentralisasi yang dimaksud UU No. 22 Tahun 1999 dipahami dan dilaksanakan secara kebablasan oleh elit di daerah. Sebagai koreksi atas hal itu lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 yang ternyata merupakan pengaturan yang sama sekali baru dan dinilai banyak kalangan merupakan “resentralisasi” atas kewenangan otonomi yang sempat diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dinamika otonomi dan pembangunan daerah ternyata cukup beragam di bawah Universitas Sumatera Utara
  • 19. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (khususnya UU nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 32 Tahun 2004). Studi yang dilakukan Mudrajad Kuncoro yang dibukukan di bawah judul Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang (2004) mengungkap sejumlah fakta empirik terkait praktika desentralisasi di Indonesia. Berbagai studi kasus yang diangkat dalam buku tersebut membuka nuansa pemahaman bahwa otonomi senantiasa membawa peluang sekaligus tantangan. Perkembangan kebijakan desentralisasi yang cukup intensif ternyata kurang baik dalam membangun sistem yang padu. Revisi kebijakan dari UU Nomor 22 Tahun 1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 misalnya, dilakukan dengan sangat tergesa-gesa dan nyaris menutup ruang partisipasi publik dalam proses penyusunannya. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan (amandemen) konstitusi, yang belakangan dinilai masih menyimpan banyak kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kerancuan dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Proses revisi yang terkesan tergesa-gesa digabung dengan proses amandemen konstitusi yang belum tuntas/belum sempurna menyebabkan UU No. 32 Tahun 2004 mengandung problematik yang cukup serius. Semakin problematik jika proses penyusunan UU No 32 Tahun 2004 didasarkan pada asumsi bahwa pelaksanaan otonomi luas di bawah UU No. 22 Tahun 1999 akan mengancam NKRI dan menyebabkan disintegrasi nasional, KKN baru yang menghasilkan “raja-raja kecil” di daerah, ekonomi biaya tinggi, dan atas nama itu semua diperlukan “resentralisasi.” Untuk itu, relevanlah pandangan Wasistiono (2010) yang menyebutkan bahwa revisi Universitas Sumatera Utara
  • 20. UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dilakukan hendaknya membawa kembali desentralisasi pada titik keseimbangan (tentunya keseimbangan antar pelbagai dimensi hubungan pusat-daerah). 2.3. Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah 2.3.1. Central Places Theory Teori central places awalnya dikembangkan di Jerman pada tahun 1933 oleh Christaller. Sejak saat itu teori ini mulai digemari utamanya dalam konteks pembangunan wilayah di berbagai negara. Teori ini berbicara mengenai pengambilan keputusan di mana sebaiknya lokasi dari lembaga penyedia layanan publik maupun layanan privat (misalnya: pasar, sekolah, universitas, rumah sakit) ditempatkan agar dapat melayani konsumen secara optimal. Teori ini bertujuan untuk menjelaskan pilihan lokasi baik oleh privat dan atau pemerintah, serta untuk tujuan intervensi pemerintah yang dibutuhkan agar tempat lokasi layanan dapat memberikan service yang optimum (concerning supply of services to the population and minimising costs). Hipotesis pokok yang dianut adalah, pilihan atas lokasi lembaga penyedia layanan ditentukan oleh dua faktor yakni: 1) kapasitas minimum yang dimiliki lembaga penyedia jasa layanan hendaknya masih dalam batas yang menguntungkan dari segi pasar/ekonomis; 2) jarak maksimum lokasi yang masih memungkinkan bagi konsumen untuk mengunjunginya. Universitas Sumatera Utara
  • 21. Menurut teori ini, paduan antara jarak minimum dan maksimum menentukan lokasi dan jenis kegiatan perdagangan yang dibutuhkan. Dengan demikian, terbentuklah hirarki lokasi dan jenis kegiatan yang sesuai dilaksanakan di lokasi tersebut. Sebagai contoh, pusat desa cocok untuk menyediakan barang-barang yang dibutuhkan setiap hari, kota menengah cocok untuk menyediakan kebutuhan periodik, dan kota besar sebagai pusat utama lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan luxury. Konsekuensinya, dalam melakukan perencanaan wilayah, prinsip-prinsip di atas diaplikasikan untuk memutuskan lokasi penyediaan layanan. Seperti lokasi untuk Sekolah Dasar, didasarkan pada jumlah murid yang akan masuk dan jarak yang cocok untuk murid tersebut pergi ke sekolah. Bagi pemerintah hal ini menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan pembangunan sarana dan prasarana pendukung agar memberikan akses yang luas bagi para warganya untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Contoh penerapan model ini, misalnya, di Malawi, di mana pusat layanan perdesaan didirikan untuk melayani sekitar 20,000 - 40,000 warga, yang tinggal sejauh 5 sampai dengan 10 mil dari lokasi pusat layanan. Layanan yang disediakan meliputi: sekolah, rumah sakit, pasar musiman, maupun pengolahan hasil pertanian. Melalui gambaran teoritis di atas, maka teori central places ini merupakan salah satu upaya untuk mengkompromikan antara kebutuhan akan biaya yang minimum dan tanggungjawab penyediaan layanan yang sejauh mungkin dapat diakses oleh sebagian besar warga. Universitas Sumatera Utara
  • 22. Namun demikian, konsep ini cenderung melakukan sentralisasi layanan lebih daripada yang dibutuhkan. Tampaknya lokasi yang terdesentralisasi lebih sesuai untuk mengurangi kecenderungan tersebut, selain itu sarana dan prasarana yang dibangun hendaknya sedapat mungkin menggunakan bahan baku lokal. 2.3.2. The Growth Pole Theory Konsep pusat pertumbuhan (growth pole) ini diperkenalkan sejak 1949 oleh seorang ekonom Perancis bernama Francois Perroux. Pandangan Perroux sebagaimana dikutip oleh Darwent (1969) pada awalnya terlepas dari konteks geografis atau persoalan keruangan. Nuansa konsep growth pole lebih berorintasi pemikiran ekonomi dibanding kewilayahan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari definisi yang diberikan terhadap growth pole itu sendiri sebagai “... centers (poles or foci) from which centrifugal forces emanate and to which centripetal forces are attracted. Each center being a center of attraction and repulsion has its proper field which is set in the field of all other centers” (Darwent, 1969: 5). Konsep yang semula didasari pemikiran ekonomi tersebut semakin dilekatkan dengan konteks kewilayahan yang mengadopsi pemikiran bahwa satu wilayah geografis adalah satu skala ekonomi. Dalam konteks pemikiran inilah dikonsepsikan adanya tiga tipe perwilayahan ekonomis, yaitu homogenous, polarized, dan planning regions (Boudeville, 1966). Homogenous merupakan suatu perwilayahan yang terpusat dengan adanya satu karakteristik inti (core characteristic). Polarized merupakan satu kawasan yang Universitas Sumatera Utara
  • 23. ditandai dengan adanya hubungan antar pusat dengan inti (central-periphery relationship). Planning region merupakan wilayah pengembangan yang dapat dirancang ulang sesuai karakteristik yang dimiliki. Konsep Growth Pole banyak diterapkan di negara-negara berkembang sebab diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di wilayah perkotaan. Selanjutnya diharapkan dengan sendirinya akan menyebar pada pembangunan wilayah pedesaan. Ini sering disebut sebagai “trickle down effect” yang terjadi sebagai akibat tekanan daripada pasaran bebas (free market forces) sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi dari urban ke rural area (Rondinelli,1985). Sebenarnya Growth Pole itu sendiri merupakan sistem sentralisasi pembangunan dari atas ke bawah (top down planning) yang selama ini diterapkan di Indonesia. Namun berdasarkan hasil penelitian (Firman, 1996) disebutkan bahwa konsep Growth Pole gagal diterapkan pada Perluasan Kawasan Metropolitan Bandung (Extended Bandung Metropolitan Region). Pada proyek ini, kota Bandung awalnya diharapkan mampu sebagai magnet (magnet strategy) untuk membangun kota-kota kedua. Ternyata pembangunan fisik kota Bandung sendiri sangat lambat bahkan kota Bandung hanya berperan sebagai “kota asrama” (Dormitory City). Apabila ditelaah lebih dalam maka konsep pusat pertumbuhan (Growth Pole) inilah yang menjadi konsep “agropolitan” hanya saja perancangannya dari bawah ke atas (bottom-up planning). Douglas dan Friedmann (1978) menekankan bahawa pembangunan perkotaan (urban development) mesti dihubungkan dengan Universitas Sumatera Utara
  • 24. pembangunan pedesaan (rural development) pada tingkat bawah (local level). Pada prinsipnya kota di pedesaan dilihat sebagai fungsi non-agrikultural dan fungsi administratif, bukan sebagai pusat pertumbuhan (Growth Pole). 2.4. Penelitian Sebelumnya Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan topik desentralisasi. Demikian pula penelitian yang terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah. Namun penelitian yang secara khusus melihat pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah masih terbatas. Umumnya penelitian tentang pengaruh desentralisasi lebih cenderung dikaitkan dengan tata kelola pemerintahan, dinamika politik lokal maupun kualitas pelayanan publik yang ditinjau dari perspektif administrasi maupun politik. Namun demikian, beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan fokus penelitian ini dapat disebutkan antara lain: 1) riset lembaga penelitian SMERU (2002); 2) Priyo Hari Adi (2005); 3) Depdagri (2009). Hasil riset SMERU misalnya, dilakukan pada tahun 2001-2002. Lembaga ini melakukan kajian perjalanan kebijakan desentralisasi sejak diundangkannya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai saat ini ketika revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedang dilakukan (laporan lengkap dapat diakses secara online pada www.smeru.or.id). Riset yang dilakukan sejak April 2000 sampai Juli 2002, mengunjungi 15 kabupaten dan 3 kota di 12 propinsi (Sukabumi, Cirebon, Garut, Ciamis, Kudus, Magetan, Bandar Lampung, Solok, Karo, Simalungun, Deli Serdang, Lombok Barat, Universitas Sumatera Utara
  • 25. Sumba Timur, Sanggau, Banjarmasin, Minahasa, Bolmong, Gorontalo – cetak miring adalah kota) melalui empat tahap/kegiatan penelitian. Daerah yang dikunjungi tersebar di seluruh Indonesia, mewakili wilayah Indonesia Bagian Timur, Jawa, dan Indonesia Bagian Barat. Tingkat produk domestik regional bruto (PDRB) digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan daerah agar diperoleh ketersebaran berdasarkan variasi kondisi sosial ekonomi berbagai daerah di Indonesia. Metode riset yang digunakan adalah diskusi kelompok terfokus dan pengamatan cepat (rapid assessment) sesuai tema studi yang dibagi dalam empat topik, terdiri dari (SMERU, 2002): 1. Studi Persiapan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2000. 2. Studi Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, 2001. 3. Studi Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2001. 4. Studi Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik, 2002. Hasil kajian SMERU tidak menemukan adanya perbedaan pelaksanaan desentralisasi dan otda yang disebabkan perbedaan PDRB atau wilayah. Dengan kata lain, daerah dengan PDRB lebih tinggi tidak dapat dikatakan melaksanakan kebijakan ini lebih baik dibandingkan dengan daerah yang PDRB lebih rendah. Demikian pula, daerah di Jawa tidak lebih baik dalam melaksanakan desentralisasi dan otda dibanding daerah di luar Jawa. Perbedaan yang tampak adalah bahwa daerah kabupaten dan kota yang akan mendapat kewenangan lebih besar memiliki antusiasme lebih tinggi dalam Universitas Sumatera Utara
  • 26. melaksanakan desentralisasi dan otda dibandingkan propinsi yang kewenangannya akan berkurang. Merujuk hasil riset SMERU, terdapat persepsi umum di daerah bahwa pemerintah pusat masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, ditunjukkan oleh tiga hal, yakni: 1. Pemerintah pusat dinilai lambat dalam mengeluarkan berbagai peraturan yang diperlukan untuk menjabarkan UU No. 22, 1999 dan UU No. 25, 1999. 2. Pemerintah pusat dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan kedua UU tersebut sebagaimana terlihat dari “ditariknya” kembali beberapa kewenangan daerah oleh pusat. 3. Pemerintah pusat terlihat “reaktif” dalam mengeluarkan beberapa peraturan seperti dalam hal PP No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP No. 56 tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang dikeluarkan setelah ada kasus-kasus pemerintah kabupaten dan kota yang “meremehkan” pemerintah propinsi. Misalnya, beberapa bupati dan walikota tidak menghadiri secara langsung rapat koordinasi yang dilakukan oleh gubernur, tetapi mewakilkannya kepada pejabat lainnya. Selain itu, dalam menangani atau mengklarifikasi suatu masalah, kabupaten/kota memilih untuk langsung menghubungi atau melapor ke Universitas Sumatera Utara
  • 27. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pemerintah daerah menyadari bahwa mereka masih mempunyai keterbatasan dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. UU No. 22 Tahun 1999 hanya memberi kewenangan pengalokasian dana, tidak menambah kewenangan di bidang fiskal kepada daerah. Oleh karenanya, salah satu usaha daerah adalah meningkatkan penerimaan melalui pendapatan asli daerah (PAD) berdasarkan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selanjutnya, melalui riset yang dilakukan oleh Adi (2005) dapat dilakukan pengukuran dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi se-Jawa dan Bali. Metode analisis uji beda dan analisis varians dipilih sebagai teknik analisis untuk melihat apakah terdapat perbedaan dampak sebelum dan setelah desentralisasi dilaksanakan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lin dan Liu (2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah benar-benar siap memasuki desentralisasi fiskal. Data awal menunjukkan ada 46% daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya dibawah rata- Universitas Sumatera Utara
  • 28. rata. Faktor inilah yang diindikasikan sebagai alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah setelah memasuki era desentralisasi fiskal. Bila dilakukan analisis secara parsial, perbedaan yang terjadi, hanya antara beberapa daerah saja. Bukti empiris menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah yang diindikasi kurang siap menghadapi desentralisasi fiskal (daerah relatif tertinggal tersisa 21%). Namun demikian, pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan perkapita yang signifikan. Penelitian terkini dilakukan oleh Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri (2009). Setelah dilakukan proses monitoring dan evaluasi perjalanan desentralisasi maka diambil kebijakan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diniati mampu menjawab serangkaian permasalahan yang selama ini terjadi di lapangan. Naskah akademik yang disusun tim ahli bekerjasama dengan Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri merekomendasikan bahwa arah revisi memilah UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi 3 (tiga) paket RUU yakni RUU tentang Pemerintahan Daerah; RUU tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan RUU tentang Desa. Terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah, saat ini telah disusun grand strategy otonomi daerah yang memuat desain besar kebijakan desentralisasi ke depan meliputi aspek urusan pemerintahan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan daerah, Universitas Sumatera Utara
  • 29. perencanaan pembangunan, pelayanan publik maupun pengembangan ekonomi (Depdagri, 2009). 2.5. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas, kerangka pemikiran yang dianut dalam penelitian adalah terdapat hubungan yang erat antara kebijakan pembangunan wilayah dan kebijakan desentralisasi. Hubungan tersebut dapat diamati melalui isu-isu yang berkembang seputar pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional, regional maupun lokal berupa ketimpangan antar wilayah, pengangguran dan kemiskinan, krisis ekonomi maupun pemerasan ganda (double squeeze) oleh kota terhadap desa. Secara visual kerangka pemikiran penelitian ini diformulasikan sebagai berikut (lihat bagan 2.1.): Universitas Sumatera Utara
  • 30. Kebijakan Pembangunan  National Nasional  Masa Lalu  Saat Ini   Munculnya Konglomerat   Desentralisasi   Sentralisasi    Kompetensi Inti Daerah  Perencanaan dari atas    Perencanaan bottom­up  dan top­down Regional Local Desentralisasi dan  Pembangunan Ekonomi  Wilayah  Analisis and Evaluasi Hasil Penelitian Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Universitas Sumatera Utara