1. 1
BAB I
PENAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya
ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk
rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak
umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui
manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui
pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar.
Banyak orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa
mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka
berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah
berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu dalam makalah ini saya akan membahas
tentang apa itu puasa, tujuan, hikmah puasa dan lain-lain.
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi dan filosofi puasa
2. Macam – Macam Puasa Ala Madzhab Syafiiyah An- Nahdliyah
3. Syarat, Rukun, Dan Yang Membatalkan Puasa Ala Madzhab
4. Hikmah Dan Tujuan Puasa
5. Syirah Nabawiyah 1 Sejarah Puasa
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi dan filosofi puasa
2. Untuk mengetahui Macam – Macam Puasa Ala Madzhab Syafiiyah An- Nahdliyah
3. Untuk mengetahui Syarat, Rukun, Dan Yang Membatalkan Puasa Ala Madzhab
4. Untuk mengetahui Hikmah Dan Tujuan Puasa
5. Untuk mengetahui Syirah Nabawiyah 1 Sejarah Puasa
2. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Dan Filosofi Puasa
Secara bahasa shaum (puasa) bermakna ‘imsaak’ yaitu menahan. Secara syar’I maka
puasa adalah beribadah kepada Allah SWT dengan cara menahan diri dari makan, minum dan
dari segala yang membatalkannya, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Niat puasa
yempatnya adalah dalam hati, tidak boleh melafalkan niat ini secara lisan, sebab melafalkannya
secara lisan adalah perkara bid’ah. Niat ini boleh di niatkan pada waktu kapan pun dalam malam
hari itu, walaupun sudah dekat waktu fajar ketentuan puasa wajib adalah wajib berniat puasa
sebelum fajar. Tentang sifat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
‘setiap orang yang tahu bahwa keesokan harinya adalah awal ramadhan dan ia (dalam hatinya)
berkeinginan untuk berpuasa besoknya maka sudah di anggap sebagai niat, dan ini merupakan
amalan seluruh kaum muslimin”.
Adapun puasa sunat maka boleh di niatkan sebelum waktu zawal (yaitu waktu dimana
matahari tepat berada di tengah langit sekitar 15 menit sebelum adzan dhuhur) dengan syarat
pada pagi hari itu sebelum makan atau minum (sejak fajar). Sebagiamana yang sering di lakukan
oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun puasa sunah yang di khususkan pada waktu tertentu seperti
puasa hari Asyura atau puasa Arafah maka sebagian ulama mensyaratkan agar berniat pada
malam harinya sebelum fajar.
B. Macam– MacamPuasa Ala Madzhab Syafi’iyyah An – Nahdliyah
Di bulan Rajab ini, bermunculan berbagai tulisan pembahasan mengenai hukum
mengerjakan puasa Rajab yang tidak jarang memunculkan polemik. Dimana hal ini selalu
terulang-ulang setiap tahunnya, sedangkan para fuqaha di madzhab empat sendiri sudah
membahas persoalan ini. Marilah kita lihat, bagaimana duduk permasalahannya
sebenarnya menurut mereka.
a. Madzhab Hanafi
Yang disukai dari puasa-puasa ada beberapa macam, yang pertama adalah puasa
Al Muharram, kedua puasa Rajab dan ke tiga adalah puasa Sya’ban dan puasa Asyura’
(Al Fatawa Al Hindiyah, 1/202) Posisi madzhab Hanafi cukup jelas, bahwasannya
mereka menyatakan bahwa puasa di bulan Rajab secara mutlak adalah perkara yang
disukai. Sebagaimana jika seorang bernadzar untuk berpuasa penuh di bulan Rajab, maka
ia wajib berpuasa sebulan penuh dengan berpatokan pada hilalnya. (Syarh Fath Al Qadir,
2/391).
3. 3
b. Madzhab Maliki
Al Lakhmi menyatakan bahwa bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa
setelah Ramadhan adalah tiga, yakni Al Muharram, Rajab dan Sya’ban. (Al Mawahib Al
Jalil, hal. 319)
Ad Dardir menyatatakan bahwasannya disunnahkan puasa bulan Al Muharram, Rajab
dan Sya’ban, demikian juga di empat bulan haram yang dimana paling utama adalah Al
Muharram kemudian Rajab lalu Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. (Syarh Ad Dardir ‘ala
Khalil, 1/513) Dengan demikian, Madzhab Al Maliki berndapat mengenai kesunnahan
puasa di bulan Rajab secara mutlak, meski dengan sebulan penuh.
c. Madzhab Syafi`i
Ulama Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa di bulan Rajab, dimana Imam
An Nawawi berkata,”Telah berkata ashabuna: Dari puasa yang disunnahkan adalah puasa
di bulan-bulan haram, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Al
Majmu’, 6/438) Hal serupa disampaikan di Imam An Nawawi dalam kitab yang lain
(lihat, Raudhah Ath Thalibin, 2/254). Ibnu Hajar Al Haitami juga menyatakan,”Dan
disunnahkan (puasa) di bulan-bulan haram, bahkan ia adalah seutama-utamanya bulan
untuk berpuasa setelah Ramadhan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan
Rajab.” (Minhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 5/804,805)
Dengan demikian, bisa dismpulkan bahwa Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan
puasa Rajab secara mutlak, tanpa memandang bahwa amalan itu dilakukan di sebagian
bulan Rajab atau di seluruh hari-harinya. Imam Asy Syafi’i dalam pendapat qadim
menyatakan makruh menyempurnakan puasa satu bulan di selain bulan Ramadhan, agar
tidak ada orang jahil yang meniru dan mengira bahwa puasa itu diwajibkan, karena yang
diwajibkan hanyalah puasa Ramadhan. Namun ketika unsur itu hilang, Imam Asy
Asyafi’i menyatakan,”jika ia mengerjakan maka hal itu baik.” (Fadhail Al Auqat, 28)
d. Madzhab Hanbali
Al Buhuti menyatakan bahwa mengkhususkan puasa di bulan Rajab hukumya
makruh. Namun Al Buhuti melanjutkan,”Dan hilang kemakruhan dengan berbuka
meskipun hanya sehari, atau berpuasa pada bulan lain di tahun itu.” (Kasyf Al Qina’, hal.
1003) Hal yang sama disampaikan Ibnu Rajab Al Hanbali, bahwa kemakruhan puasa di
bulan Rajab hilang dengan tidak berpuasa penuh di bulan Rajab atau berpuasa penuh
dengan menambah puasa sebulan di bulan lainnya di tahun itu. Sedangkan Imam Ahmad
menyatakan tidak berpuasa Rajab secara penuh kecuali bagi yang berpuasa terus-
menerus. (Lathaif Al Ma’arif, hal. 230)
Dengan demikian, madzhab Hanbali hanya memandang makruh bagi yang
mengkhususkan Rajab untuk berpuasa sebulan penuh, namun ketika hal itu dilakukan
tidak penuh di bulan itu, atau berpuasa penuh namun dengan berpuasa sebulan di bulan
lain maka hilanglah unsur kemakruhan.
4. 4
C. Syarat, Rukun, dan Yang Membatalkan Puasa Ala Madhzab Syafi’iyah An –
Nahdliyah
a) Syarat Wajib Puasa
Syarat wajib adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum melaksanakan
suatu ibadah. Seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib, maka gugurlah tuntutan kewajiban
kepadanya. Sedangkan rukun adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam sebuah ibadah.
Syarat pertama seseorang itu diwajibkan menjalankan ibadah puasa, khususnya puasa
Ramadhan, yaitu ia seorang muslim atau muslimah. Karena puasa adalah ibadah yang
menjadi keharusan atau rukun keislamannya, sebagaimana termaktub dalam hadits yang
diriwayat kan oleh Imam Turmudzi dan Imam Muslim:
ِللا ِدْبَع ِنَمْحَّالر ِدْبَع يِبَأ ْنَعَلاَق اَمُهْنَع ُللا َي ِض َر ِباَّطَخْلا ِْنب َرَمُع ِْنب : وسلم للا صلى ِللا َل ْوُس َر ُتْعِمَس
ُل ْوُقَي: ٍسْمَخ ىَلَع ُمَالْس ِإلْا َيِنُب: ال ُءاَتْيِإ َو ِةَالَّصال ُماَقِإ َو ِللا ُل ْوُس َر ًادَّمَحُم َّنَأ َو ُللا َّالِإ َهَلِإ َال ْنَأُةَداَهَشُّجَح َو ِةاَكَّز
َانَضَمَر ُم ْوَص َو ِتْيَبْلا
“Dari Abi Abdurrahman, yaitu Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab r.a, berkata: saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Islam didirikan dengan lima hal, yaitu
persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, didirikannya shalat,
dikeluarkannya zakat, dikerjakannya hajji di Baitullah (Ka’bah), dan dikerjakannya puasa di
bulan Ramadhan.” (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 7 dan Muslim: 19)
Syarat yang kedua seseorang itu berkewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan,
yaitu ia sudah baligh, dengan ketentuan ia pernah keluar mani dari kemaluannya baik
dalam keadaan tidur atau terjaga, dan khusus bagi perempuan sudah keluar haid. Dan
syarat keluar mani dan haid pada batas usia minimal 9 tahun. Dan bagi yang belum keluar
mani dan haid, maka batas minimal ia dikatakan baligh pada usia 15 tahun dari usia
kelahirannya. Syarat ketentuan baligh ini menegaskan bahwa ibadah puasa Ramadhan
tidak diwajibkan bagi seorang anak yang belum memenuhi ciri-ciri kebalighan yang telah
disebutkan di atas.
Syarat yang ketiga bagi seorang muslim dan baligh itu terkena kewajiban menjalankan
ibadah puasa, apabila ia memiliki akal yang sempurna atau tidak gila, baik gila karena
cacat mental atau gila disebabkan mabuk. Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar
karena mabuk atau cacat mental, maka tidak terkena hukum kewajiban menjalankan
ibadah puasa, terkecuali orang yang mabuk dengan sengaja, maka ia diwajibkan
menjalankan ibadah puasa di kemudian hari (mengganti di hari selain bulan Ramadhan
alias qadha).
5. 5
ىَّتَح ِّىِبَّصال ِنَع َو َْقيِفُي ىّتَح ِن ْوُنْجَملْا ِنَع َو ُظِقْيَتْسَي ىّتَح ِمِئاّنال ْنَع ٍث َالَث ْنَع ُمَلَقلْا َعِفُرَغُلْبَي
“Tiga golongan yang tidak terkena hukum syar’i: orang yang tidur sapai ia terbagngun, orang
yang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak sampai ia baligh.” (Hadits Shahih, riwayat Abu
Daud: 3822, dan Ahmad: 910. Teks hadits riwayat al-Nasa’i)
Syarat keempat adalah kuat menjalankan ibadah puasa. Selain Islam, baligh, dan berakal,
seseorang harus mampu dan kuat untuk menjalankan ibadah puasa. Apabila tidak mampu
maka diwajibkan mengganti di bulan berikutnya atau membayar fidyah. Untuk
keterangan lebih detailnya akan dijelaskan pada fasal selanjutnya yang insyaallah akan
diterangkan pada pasal permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan ibadah
puasa.
Syarat kelima Mengetahui Awal Bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan diwajibkan bagi
muslim yang memenuhi persyaratan yang telah diuraikan di atas, apabila ada salah satu
orang terpercaya (adil) yang mengetahui awal bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal
secara langsung dengan mata biasa tanpa peralatan alat-alat bantu. Dan persaksian orang
tersebut dapat dipercaya dengan terlebih dahulu diambil sumpah, maka muslim yang ada
dalam satu wilayah dengannya berkewajiban menjalankan ibadah puasa. Dan apabila
hilal tidak dapat dilihat karena tebalnya awan, maka untuk menentukan awal bulan
Ramadlon dengan menyempurnakan hitungan tanggal bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
َينِث َالَث َانَبْعَش َةَّدِعواُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َّمُغ ْنِإَف ِهِتَيْؤُرِل واُرِطْفَأ َو ِهِتَيْؤُرِل واُموُص
“Berpuasa dan berbukalah karena melihat hilal, dan apabila hilal tertutup awan maka
sempurnakanlah hitungannya bulan menjadi 30 hari.” (HR. Imam Bukhari)
َلاَق ٍَّاسبَع ِْنبا ِنَع َةَم ِرْكِع ْنَع: َلاَقَف َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُللا ىَّلَص ِّيِبَّنال ىَلِا ُّيِبَرْعَا َءاَج: َلاَقَف َل َالِهلْا ُْتيَاَر يِّنِا: ُدَهْشَتَا
َ ِّالا َهَلِا َال ْنَاَلاَق َللا : َلاَق ،ْمَعَن: َلاَق ؟ِللا ُل ْوُس َر ًادَّمَحُم ْنَا ُدَهْشَتَا: ًادَغ ا ْوُم ْوُصَيْلَف ِاسَّنال ىِف ْنِّذَا ُل َالِب اَي
“Dari ‘Ikrimah, ia dapatkan dari Ibnu Abbas, berkata: datanglah orang Arab Badui menghadap
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata: sesungguhnya aku telah melihat hilal. Nabi
menjawab: apakah kamu akan bersaksi (bersumpah) “sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah”,
orang Arab Badui tadi menjawab; “ia”. Lalu Nabi bertanya lagi: apakah kamu akan bersaksi
(bersumpah) “ sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah”, dan Orang Arab Badui menjawab
“ia”. Lalu Nabi bersabda; “wahai Bilal perdengarkanlah adzan ditengah-tengah kerumunan
manusia, dan perintahkanlah mereka untuk mengerjakan puasa pada esok hari,” (Hadits Shahih
diriwayatkan oleh lima Imam, kecuali Ahmad).
6. 6
b) Rukun Puasa
Adapun rukun puasa hanya dua,
pertama niat. Niat puasa Ramadhan merupakan pekerjaan ibadah yang diucapkan dalam
hati dengan persyaratan dilakukan pada malam hari dan wajib menjelaskan
kefardhuannya didalam niat tersebut, contoh; saya berniat untuk melakukan puasa fardlu
bulan Ramadhan, atau lengkapnya dalam bahasa Arab, sebagai berikut:
َالىَعَتـ ِهّـلِل ِةَـنـَّسال ِهِذَهـ ِانَضَمـَر ِرْهَشـ ِض ْرَفـ ِاءَدَ ا ْـنَع ٍدَغـ َم ْوَص ُْتي َوَنـ
“Saya niat mengerjakan ibadah puasa untuk menunaikan keajiban bulan Ramadhan pada tahun
ini, karena Allah s.w.t, semata.”
Sedangkan dalil yang menjelaskan niat puasa Ramadhan dilakukan pada malam hari adalah
sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:
ُهَل َماَي ِص َالَف ِرْجَفلْا َلْبَق َماَيّ ِالص ِعَمْجَي ْمَل ْنَم
“Siapa yang tidak membulatkan niat mengerjakan puasa sebelum waktu hajar, maka ia tidak
berpuasa,” (Hadits Shahih riwayat Abu Daud: 2098, al-Tirmidz: 662, dan al-Nasa’i: 2293).
Adapun dalil yang menjelaskan waktu mengucapkan niat untuk puasa sunnah, bisa dilakukan
setelah terbit fajar, yaitu:
ْتَلاَق َةَشِئاَع ْنَع: َلاَقَف ٍم ْوَي َاتَذ َمّلَس َو ِهْيَلَع ُللا يِّلَص ِللا ُلوُس َر َّيَّلَع َلَخَد: ؟ ٍءْيَش ْنِم ْمُكَدْنِع ْلَهَال َانْلُقَف
َلاَقَف : مِئاَص ْنًذِا يِّنِاَف. َانْلُقَف ،ََرخَا اًم ْوَي َاناَتَا َّمُث: َلاَقَف ْسيَح َانَل َيِدْهُا ِللا َل ْوُس َارَي: اًمِئاَص ُتْحَبْصَا ْدَقَلَف ِهْيِنْي ِرَا
َلَكَاَف
“Dari Aisyah r.a, ia menuturkan, suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadaku
dan bertanya, “apakah kamu punya sesuatu untuk dimakan?”. Aku menjawab, “Tidak”. Maka
Belaiu bersabda, “hari ini aku puasa”. Kemudian pada hari yang lain Beliau dating lagi
kepadaku, lalu aku katakana kepadanya, “wahai Rasulullah, kami diberi hadiah makanan
(haisun)”. Maka dijawab Rasulullah, “tunjukkan makanan itu padaku, sesungguhnya sejak pagi
aku sudah berpuasa” lalu Beliau memekannya.” (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu
Daud: 2099, al-Tirmidzi; 666, al-Nasa’i: 2283, dan Ahmad: 24549)
Dan rukun kedua adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa. Untuk
detailnya apa-apa yang membatalkan puasa akan dijelaskan pada
َالْا ُطْيَخلْا ُمُكَل ََّنيَبَتَي ىَّتَح ا ُْوبَرْشا َو ا ْوُلُك َو ْمُكَل ُللا َبَتَك اَم ا ْوُغَتْبا َو َّنُه ْوُرِشَاب َنَئلْاَفَنِم ِد َوْسَالْا ِْطيَخلْا َنِم َُُيْب
ِلْيَّلال ىَلِا َماَيّ ِالص ا ْوُمِّتَا َّمُث ِرْجَفلْا
“Maka sekarang campurilah, dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, serta
makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih
7. 7
dan hitam. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai waktu malam tiba...(QS. al-Baqarah, 2:
187)
D. Manfaat Dan Tujuan Puasa
Ibadah puasa yang di syariatkan dan di wajibkan oleh Allah ta’ala atas hamba –
hambanya memiliki hikmah yang agung dan manfaat yang banyak diantarannya :
1. Ia merupakan ibadah yang dilakukan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada diri
kepada rabbnya dengan cara meninggalkan perkara yang ia suka dan gemari secara fitrah
beruapa makanan minum ataupun berhubungan suami istri semua itu ia tinggalkan demi
meraih ridhanya dan mendapatkan surgannya.
2. Ia merupakan ibadah yang menjadi faktor adanya taqwa dalam diri seseorang hamba bila
mana ia melaksanakan kewajiban kewajibanya puasa secara sempurna
3. Dengan berpuasa, seorang yang kaya akan tahu kadar nikmat Allah yang di anugerahkan
atasnya, yang mana Allah memudahkan baginya untuk mendapatkan apa – apa yang ia
inginkan, berupa makan, minum, atau berhubungan suami istri yang dibolehkan oleh
Allah secara syar,i. dengan puasa ini, ia akan bersyukur kepada rabbnya yang mana aka
nada nikmat dan karunia, dan mengingat saudarnya – saudarnya yang miskin yang mana
mereka sangat sulit untuk mendapatkan nikmat dan karunia seperti dirinya, sehingga ia
pun tergerak untuk memberikan mereka sedekah dan harta yang ia miliki.
4. Puasa melatih diri untuk membatasi jiwa (dari syahwat) dan menguasainya agar ia bisa
mengontrol dan mengarahkan jiwanya pada amalan yang berubah kebaikan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta membuat dirinya terjatuhkan dari sifat binatang
yang tidak bisa mengontrol dan menahan dirinya dari hawa nafsu.
5. Puasa bisa membuat seorang sehat jasmani di karenakan sikap tidak banyak makan,
mengistirahatkan kerja sistem pencernaan dalam jeda waktu tertentu, dan keluarnya
semua tinja’ dan kotoran yang berbahaya bagi tubuh dari dalam perut.
E. Sejarah Puasa
Puasa adalah ibadah ruhiyyah yang ada sejak lama; di mana Allâh Azza wa Jalla
mewajibkannya atas banyak umat sebelum umat ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وُقَّتَت ْمُكَّلَعَل ْمُكِلْبَق ْنِم َينِذَّلا ىَلَع َبِتُك اَمَك ُماَي ِالص ُمُكْيَلَع َبِتُك واُنَمآ َينِذَّلا اَهُّيَأ اَيَن
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, [Al-Baqarah/2:183]
Puasa sendiri telah dikenal oleh orang-orang zaman dahulu dari bangsa Mesir dan India.
Juga dikenal oleh bangsa Yunani dan Romawi. Jadi, sejarah puasa sangatlah tua; yang sudah ada
sejak zaman dahulu kala. Ada yang mengatakan bahwa orang-orang paganis (penyembah
patung-patung) dari bangsa India masih terus melestarikan puasa sampai sekarang ini. Hanya
8. 8
saja tentu bukan karena Allâh, namun untuk menenangkan dan mencari keridhaan sesembahan-
sesembahan mereka; bila mereka merasa bahwa mereka telah melakukan hal yang mengundang
murka sesembahan-sesembahan mereka. Begitu pula kaum Yahudi dan Nasrani masih terus
melestarikan puasa hingga saat ini. Dan memang telah nyata pada mereka bahwa para nabi
berpuasa; puasa nabi Musa alaihissalâm , puasa nabi Isa alaihissalâm, dan juga para
Hawariyyun pengikut setia nabi Isa alaihissalâm.
Disyariatkannya ibadah ini kepada semua umat, menunjukkan bahwa ibadah ini di antara
ibadah yang paling agung dalam menyucikan ruhani, membersihkan jiwa, menguatkan
sentimental agama dalam hati, serta untuk melengkapi hubungan antara hamba dengan Rabbnya
Subhanahu wa Ta’ala. Karena orang yang berpuasa, setiap kali dirinya digerakkan dan hendak
dikuasai oleh keinginan syahwatnya kepada makanan, minuman dan nafsunya; ia pun akan ingat
bahwa ia tengah berpuasa. Sehingga ia selalu dalam keadaan ingat kepada Allâh. Dan ingat
kepada Allâh yang terpatri dalam hati hamba, adalah di antara faktor paling besar dalam
memperbaiki seorang hamba.
SEJARAH DIWAJIBKANNYA PUASA ATAS UMAT INI
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa hari Asyura sebelum diwajibkannya puasa
Ramadhan. Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa Asyura di Mekkah
sebelum hijrah ke Madinah. Seperti yang Imam Al-Bukhâri riwayatkan dari Aisyah
Radhiyallahu anhuma bahwa ia berkata:
ِهْيَلَع ُ َّاَّلل ىَّلَص ُّيِبَّنال ََانكَو ِةَّيِلِهاَجْلا يِف ٌْشيَرُق ُهُمُوصَت اًمْوَي َءا َورُشَاع ُمْوَي ََانكَرَمَأ َو ُهَماَص َةَنيِدَمْلا َمِدَق اَّمَلَف ُهُمُوصَي َمَّلَسَو
ُهُمُوصَي ََل َءَاش ْنَمَو ُهَماَص َءَاش ْنَم ََانك ُانَضَمَر َلَزَن اَّمَلَف ِهِامَي ِصِب
“Dahulu, hari Asyura adalah hari di mana kaum Quraisy berpuasa padanya pada masa
jahiliyah. Adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa pada hari Asyura. Tatkala
Beliau datang ke Madinah, Beliau juga berpuasa padanya, dan memerintahkan orang-orang
untuk berpuasa padanya. Lalu ketika turun (wajibnya puasa) Ramadhan, barangsiapa yang mau
ia boleh berpuasa padanya, barangsiapa yang mau ia boleh juga untuk tidak berpuasa
padanya. [HR. Al-Bukhâri]
Karena itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
ُهَكَرَت َءَاش ْنَمَو ُهَماَص َءَاش ْنَم
“Barangsiapa yang mau, ia boleh berpuasa Asyura, atau ia juga boleh untuk
meninggalkannya.” [HR. Muslim]
Hanya saja, puasa Asyura menurut pendapat yang rajih tidaklah diwajibkan atas Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa salam dan kaum Mukminin. Namun hanya sekedar puasa sunnah semata.
Dalilnya adalah seperti riwayat al-Bukhâri dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ia
berkata:
9. 9
َلاَقَف ،َءا َورُشَاع َمْوَي ُمُوصت َدُوهَيْلا ىَأ َرَف ،ةَنيِدَمال وسلم عليه هللا صلى ُّيِبَّنال َمِدَق: واُلاَق اَذه اَم: ُمْوَي اَذه ،ٌحِلاَص ٌمْوَي اَذه
يِئا َْرسِإ يِنَب ُهللا َّىجَنَلاَق ،وسىُم ُهَماَصَف ْمِهِوُدَع ْنِم َل : ِهِامَي ِصِب َرَمَأ َو ُهَماَصَف ْمُكْنِم وسىُمِب ُّقَحَأ اَنَأَف
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam datang (di Madinah), dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam
lihat kaum Yahudi berpuasa Asyura. Beliaupun bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Ini
hari baik. Di mana Allâh menyelamatkan Musa dan bani Israil pada hari tersebut dari kejaran
musuh mereka. Lalu Musa pun berpuasa padanya. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa salam memerintahkan orang-orang untuk berpuasa padanya.
Pada tahun kedua dari Hijrah, pada malam kedua dari Sya’ban, Allâh Azza wa Jalla mewajibkan
puasa atas kaum Muslimin; dengan firman-Nya:
َأ اَيَونُقَّتَت ْمُكَّلَعَل ْمُكِلْبَق ْنِم َينِذَّلا ىَلَع َبِتُك اَمَك ُماَي ِالص ُمُكْيَلَع َبِتُك واُنَمآ َينِذَّلا اَهُّي ﴿٣٨١﴾ َاتدوُدْعَم اًمَّايَأ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
[Al-Baqarah/2: 183-184]
Fiman Allâh: “Telah diwajibkan atas kalian” mengindikasikan bahwa puasa jenis apapun tidak
diwajibkan atas mereka sebelum itu. Karena itulah kebanyakan para ulama berpendapat bahwa
sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, tidak ada puasa yang diwajibkan atas umat ini, sesuai
dengan ayat di atas. Dan juga berdasarkan apa yang diriwayatkan al-Bukhâri dan Muslim dari
Muawiyah Radhiyallahu anhu ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
salam bersabda: “Ini adalah hari Asyura; sedangkan Allâh tidak mewajibkan atas kalian untuk
berpuasa padanya. Namun aku berpuasa (pada hari Asyura). Barangsiapa yang suka, ia boleh
berpuasa,ataupun bisa pula baginya untuk tidak berpuasa.” [Risâlah Ramadhân Syaikh Abu
Bakar Jabir Al-Jazairi, hlm 20-24]
Syaikh Shalih Fauzan berkata dalam Ithâf Ahlil Îmân bi Durûs Syahr Ramadhân: Maka
puasa adalah suatu kewajiban atas semua umat, meski berbeda cara dan waktunya. Sa’id Bin
Jubair rahimahullah berkata: “Puasa orang sebelum kita adalah dari gelapnya malam hingga
malam selanjutnya; sebagaimana pada permulaan Islam.” Al-Hasan rahimahullah berkata,
“Puasa Ramadhan dulunya wajib atas kaum Yahudi. Akan tetapi mereka meninggalkannya, dan
mereka berpuasa satu hari dari satu tahun; di mana mereka menyangka bahwa itu adalah hari
ditenggelamkannya Fir’aun; padahal mereka dusta akan hal itu. Karena hari itu adalah hari
Asyura. Puasa juga wajib atas Nasrani. Akan tetapi setelah mereka berpuasa beberapa waktu
lamanya, lalu bertepatan puasa mereka pada musim yang sangat panas dan terik; dan itu begitu
berat bagi mereka dalam perjalanan mereka, juga saat mereka mencari nafkah. Maka bulatlah
kesepakatan para pemimpin agama dan pemuka mereka untuk memindah puasa mereka pada
suatu musim antara musim dingin dan musim panas. Mereka jadikan puasa mereka pada musim
semi dan mereka jadikan pada waktu yang tidak berubah-ubah lagi waktunya. Kemudian saat
10. 10
mereka merubahnya, mereka mengatakan: tambahlah 10 hari dalam puasa kalian; sebagai
kaffarah (penggugur) dari apa yang mereka perbuat. Sehingga puasanya menjadi 40 hari.
Adapun firman Allâh:
َاتدوُدْعَم اًمَّايَأ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu… [Al-Baqarah/2: 184]
Ada yang mengatakan, itu adalah hari-hari bukan pada bulan Ramadhan; yang berjumlah 3 hari.
Ada lagi yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hari-hari Ramadhan. Karena itu dijelaskan
dalam ayat selanjutnya dalam firman-Nya:
َانَضَمَر ُْرهَش
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, [Al-Baqarah/ 2: 185]
Para ulama mengatakan: bahwa kaum Muslimin dulu pada awalnya, diberi pilihan antara
berpuasa atau memberi fidyah; yaitu berdasarkan firman-Nya:
ينِكْسِم ُماَعَط ٌةَيْدِف ُهَنوُقيُِطي َينِذَّلا ىَلَعَوۖ َعَّوَطَت ْنَمَفُهَل ٌْريَخ َُوهَف ا ًْريَخۖ ْمُكَل ٌْريَخ واُمُوصَت ْنَأ َوۖ َونُمَلْعَت ْمُتْنُك ْنِإ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui. [Al-Baqarah/ 2: 184]
Kemudian adanya pilihan di atas, dihapuskan hukumnya (dinaskh) dengan diwajibkannya puasa
itu sendiri; dengan firman-Nya:
ُهْمُصَيْلَف َْرهَّشال ُمُكْنِم َدَِهش ْنَمَف
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, [Al-Baqarah/ 2: 185]
Dan hikmah dari hal tersebut adalah adanya tahapan (tadarruj; barangsur-angsur, tidak
seketika) dalam menetapkan suatu syariat dan memberikan keringanan pada umat ini. Karena
ketika mereka tidak terbiasa berpuasa, maka ditentukannya puasa atas mereka dari awal mula,
maka itu hal yang begitu berat. Karena itu pada awal mulanya, mereka diberi pilihan antara
berpuasa atau memberi fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka sudah kuat dan jiwa mereka
11. 11
pun telah tenang serta mereka telah terbiasa puasa, maka diwajibkan atas mereka berpuasa saja.
Untuk hal seperti ini ada padanannya dalam berbagai syariat Islam yang terasa berat; di mana itu
disyariatkan dengan berangsur-angsur. Akan tetapi yang shahih adalah bahwa ayat
tersebut mansukh (dihapuskan hukumnya) bagi orang yang mampu untuk berpuasa. Adapun bagi
orang yang tidak mampu berpuasa baik karena telah tua renta, atau sakit yang tak ada harapan
sembuh; maka ayat tersebut tidaklah di-naskh (tidak dihapuskan hukumnya bagi mereka).
Mereka bisa berbuka dan memberi makan untuk setiap harinya seorang miskin. Dan tidak ada
qadha’ atas mereka.
Adapun orang selain mereka, maka yang wajib adalah berpuasa. Bila ia berbuka karena
sakit yang menimpa, atau safar, maka wajib untuk diqadha’. Puasa Ramadhan diwajibkan pada
tahun ke-2 H. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa selama 9 kali Ramadhan. Dan
jadilah puasa ini suatu kewajiban dan rukun di antara rukun Islam. Orang yang mengingkari
kewajibannya berarti ia kafir. Adapun yang berbuka tanpa udzur tanpa mengingkari wajibnya,
maka ia telah berbuat dosa besar yang harus dihukum ta’zir (hukuman sesuai kebijakan hakim)
dan harus dibuat jera. Dan ia harus bertaubat dan mengqadha’ hari yang ia berbuka padanya.
[Ithâf Ahlil Îmân bi Durûs Syahr Ramadhân hal 11-12]
12. 12
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Puasa adalah salah satu rukun islam, maka dari itu wajiblah bagi kita untuk
melaksanakan puasa dengan ikhlas tanpa paksaan dan mengharap imbalan dari orang
lain. Jika kita berpuasa dengan niat agar mendapat imbalan atau pujian dari orang lain,
maka puasa kita tidak ada artinya. Maksudnya ialah kita hanya mendapatkan rasa lapar
dan haus dan tidak mendapat pahala dari apa yang telah kita kerjakan. Puasa ini
hukumnya wajib bagi seluruh ummat islam sebagaimana telah diwajibkan kepada
orang-orang sebelum kita. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya: “Wahai orang-
orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”(Q.S Al-Baqarah)
Berpuasalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah
swt. Allah telah memberikan kita banyak kemudahan(keringanan) untuk mengerjakan
ibadah puasa ini, jadi jika kita berpuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
kami sebutkan diatas, kita sendiri akan merasakan betapa indahnya berpuasa dan betapa
banyak faidah dan manfaat yang kita dapatkan dari berpuasa ini.
Maka dari itu saudara-saudari kami sekalian, janganlah sesekali meninggalkan
puasa, karena puasa ini mempunyai banyak nilai ibadah. Mulai dari langkah, tidur dan
apapun pekerjaan orang yang berpuasa itu adalah ibadah.