Industri perfilman Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan dan peluang. Pemerintah membuka 100% investasi asing di bidang perfilman, diharapkan dapat menambah layar bioskop hingga pelosok nusantara. Namun, hal ini juga dapat meningkatkan dominasi film impor. Untuk itu, diperlukan kebijakan untuk mempromosikan film lokal seperti kuota film lokal minimal 60% di bioskop. Saat ini Indonesia hanya memiliki film independ
2. INDUSTRI PERFILMAN INDONESIA SAAT INI
Pemerintah Indonesia sepakat membuka 100 % kesempatan investasi bagi
asing, tak lagi dibatasi kepemilikan sahamnya hanya 51 %
Penambahan dan pemerataan layar bioskop di seluruh daerah Indonesia
Perbandingan pajak film Indonesia dan film Hollywood yang tayang di
Indonesia (ironi)
Pencabutan Industri Film dari Daftar Negatif Asing (DNI) - beberapa
respon resmi para sineas akan kebijakan DNI
Penonton tergantung pada film-film hollywood (film impor)
VCD atau Video Tape yang dibajak atau pembeli membeli produk film
bajakan
Pembatasan porsi 60 :40 film lokal versus film impor
Indonesia tidak ada industri film seperti di Amerika karena hampir semua
film di Indonesia sesungguhnya adalah film independen (Hanung
Bramatyo)
Subtopik lainnya; dari sisi produksi, dari sisi pemasaran/distribusi, dari sisi
konten/isi, dari regulasi dan kebijakan pemerintah, budaya.
3. 1. MEMBUKA PELUANG BAGI INVESTASI ASING
Belum lama ini, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf
mengatakan, pemerintah Indonesia sepakat membuka 100 % kesempatan
investasi bagi asing di bidang usaha jasa perfilman. Dengan demikian, jaringan
bisnis usaha perfilman dari luar negeri bebas masuk ke Indonesia, tak lagi
dibatasi kepemilikan sahamnya hanya 51 %.
•Syarat pemberlakuan kebijakan ini :
1.Pemerintah mempertimbangkan dampak baik dan buruk (Tanpa Intervensi)
2.Adanya kepastian pihak asing membangun bioskop yang merata di berbagai
daerah. Diketahui selama ini memang banyak daerah di pelosok Indonesia yang
belum memiliki bioskop.
Karena "Tujuan dibukanya keran kerja sama asing agar bioskop muncul di desa-
desa. Jika ini diawasi dan dilakukan, salah satu tujuan kebijakan sudah
terpenuhi," Membuat bioskop gampang, mempertahankannya susah. Bagaimana
membuat bioskop tidak rugi, tetap memutar film sesuai porsi, itu yang sulit,"
4. • Ancaman bagi industri film :
Kebijakan keran kerja sama asing akan membuat Indonesia diserbu dengan
film-film karya sineas asing. Tapi Kemala berharap sineas lokal tidak
berkecil hati dan harus menganggap hal tersebut sebagai tantangan.
• Ancaman tersebut bisa diminimalisir karena:
Harga bioskop di Indonesia termasuk yang termurah di dunia. Menurut Humuch
yang mengumpulkan kisaran harga bioskop dari seluruh dunia, Indonesia ada
di peringkat enam terbawah, persis setelah Malaysia.
Tipe harga bioskop: Jaringan bioskop XXI sendiri memang terus "bersolek."
Selalu ada penambahan fasilitas, baik dari segi suara, visual, maupun
kenyamanan penonton. Saat ini, XXI punya "kelas" reguler, premiere, dan
IMAX. Cakupan harga tiketnya antara Rp30 ribu sampai Rp150 ribu untuk
sekali menonton.
Di Australia, pada 2013 harga tiket bioskop mencapai US$31,94 atau Rp446
ribu. Ada selisih yang cukup jauh dibanding Jepang, yang berada di
peringkat ke-dua tertinggi, dengan harga US$19,91 atau Rp278 ribu. Di
Swiss, harganya US$19,61 atau Rp273 ribu.
5. Harga tiket termurah dipegang Korea Selatan, hanya US$1 atau Rp14 ribu.
Setelah itu ada Iran dengan US$2 (Rp28 ribu), India dengan US$3,27 (Rp45
ribu), juga Afrika Selatan dan Malaysia dengan harga US$3,33 atau setara
dengan sekitar Rp46 ribu. Tiket bioskop di Indonesia rata-rata dibulatkan pada
harga US$4, jika dirupiahkan menjadi Rp5 ribu. Meski pada kenyataannya, ada
tiket yang lebih murah dan mahal, tergantung bioskop dan hari.
Dengan harga itu, bioskop masih menjadi alternatif hiburan termurah bagi
masyarakat. "Setelah kerja, hiburan paling terjangkau ya bioskop," katanya. Ia
juga mengatakan, meski kehidupan ekonomi menurun, secara keseluruhan
orang tetap butuh hiburan.
•Peluang bagi Industri film:
pekerja film lokal untuk mendistribusikan hasil karyanya ke pasar yang lebih
luas. "Kita juga jadi punya kesempatan untuk mendistribusikan film-film kita ke
luar negeri lewat jaringan investor tersebut. "Nasionalis boleh. Tapi kita juga
harus sadar, market kita siapa tahu bukan dalam negeri saja,"
6. 2. PENAMBAHAN DAN PEMERATAAN BIOSKOP
DI INDONESIA
• Peluang bagi indutri film :
Salah satu yang diharapkan dari masuknya investor asing ke dalam industri
perfilman nasional adalah memperbanyak layar-layar bioskop sehingga bisa
tersebar hingga ke seluruh pelosok nusantara.
Kondisi yang ada saat ini, setiap film lokal yang hendak tayang di bioskop hanya
mendapat jatah 60 sampai 70 layar saja, film lokal istimewa mungkin bisa 100
layar. Sementara, film asing, katakanlah yang hanya film horor biasa dengan
sutradara yang tak terkenal, bukan sekelas Star Wars,bisa mendapat 300 layar
sekaligus.
• Problemnya sekarang film Indonesia tidak sampai ke khalayak besar. Film
hanya dinikmati oleh masyarakat kota besar (Jakarta) bukan nusantara.
• Solusi berkaca pada Tiongkok :
industri perfilman di Tiongkok, di mana pemerintahnya memberlakukan kuota
film impor dengan hanya boleh 30 judul film saja setiap tahunnya. Akan
tetapi, Tiongkok membiarkan investor asing membuat film di sana, Itu
industrinya langsung naik 400 persen.
7. Sedangkan acuan harga pendirian
satu layar bioskop : Untuk
membangun sebuah layar, PT
Nusantara Sejahtera Raya, pemilik
Cinema XXI, mengucurkan dana
USD600,000-USD650,000 (sekitar
Rp8,5 miliar). Sementara, PT Graha
Layar Prima mengucurkan dana
sekitar Rp30 miliar untuk
membangun sebuah bioskop
Blitzmegaplex di pusat perbelanjaan.
8. 3. MEREBAKNYA VCD DAN VIDEO TAPE
BAJAKAN – FILM ONLINE
• Sebagai catatan penting, beberapa faktor yang berkontribusi menurunkan
produksi film antara lain krisis ekonomi-sosial-politik tahun 1997-1998, dan
hancurnya prasarana pemutaran film, yakni bioskop di tingkat kabupaten ke
bawah, kecuali di satu dua ibukota kabupaten. Bahkan di Provinsi Papua dan
Maluku, sekarang tidak lagi memiliki bisokop (Kristanto, 2007: xxii). Jika
dua provinsi ini matinya bioskop disinyalir sebagai akibat masalah keamanan
(kerusuhan), hilangnya bioskop di kota-kota kabupaten/kecamatan lain
terjadi karena berbagai faktor, antara lain lamanya pasokan distribusi film
impor akibat masa tayangnya terlalu lama di kota-kota besar; maraknya
televisi swasta, popularitas VCD bajakan, dan murahnya VCD player yang
menjangkau hingga ke desa-desa (Kristanto, 2007: xxii).
Dan Perkembangan Internet, penonton bisa melihat film bahkan mengunduhnya
di Internet.
9. 4. FILM LOKAL DAN IMPOR
Sesuai aturan pada Pasal 32 UU No 33 Tahun 2009 tentang Film yang menyatakan
pelaku usaha pertunjukan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang‐
kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 bulan
berturut turut.‐
Dengan catatan semua pelaku dan pemangku kebijakan bisa merealisasikannya tanpa
intervensi asing.
10. 5. PENONTON BERGANTUNG PADA SELERA
FILM IMPOR (FILM HOLLYWOOD)
Film-film asing memang memiliki beragam keunggulan dibanding film lokal.
Pertama, dari segi teknologi audiovisual yang seolah-olah membuat penonton
berada di tempat kejadian. Kedua, sistem industri yang sudah mapan membuat
film impor dari Hollywood mampu menguasai jalur distribusi dan eksibisi
(bioskop) di seluruh dunia. Ketiga, merchandise film yang dijual di Indonesia
terlihat sangat keren. Dengan jumlah penduduk yang 230 juta orang lebih,
tentunya Indonesia menjadi pasar potensial untuk penjualan merchandise,
apalagi jika orang tersebut sudah sangat menggemari tokoh film.
Karena itu, kabar pembatasan film impor mendapat tentangan keras, tak hanya
dari pengusaha bioskop, tapi juga dari penonton Indonesia. Banyak penonton
yang merasa takut tidak dapat menonton film dengan desain grafis yang
memukau atau film yang dalam, jika kuota film impor dibatasi.
Namun, pembatasan kuota film impor sebenarnya bisa menjadi salah satu bentuk
jika pemerintah berpihak pada film lokal. Saat ini, sudah mulai bermunculan
film-film Indonesia dengan kualitas yang baik, namun kalah pamor dari film-
film Hollywood.
11. 6. INDONESIA HANYA ADA FILM INDEPENDEN
Sutradara Hanung Bramantyo menegaskan film di Indonesia bukan industri
seperti halnya dunia perfilman di Amerika Serikat.
"Film di Amerika sudah ada sistem karena semua jalur mulai pembuatan film
hingga distribusi harus melalui agen," katanya
Dosen Komunikasi Unair IGAK Satrya Wibawa, ia mengatakan pembuat film di
Indonesia bisa langsung meminta artis tanpa melalui agen untuk membintangi
filmnya.
"Atau, mereka bisa langsung meminta kepada manajemen jaringan bioskop untuk
menayangkan filmnya, juga tanpa perantara agen. Sutradara film besar juga tidak
ada bedanya dengan pembuat film pendek," kata dia.
"Makanya pembuat film harus pintar meyakinkan orang," Oleh karena itu, omong
kosong kalau film independen tidak membutuhkan pasar. Pembuat film
independen pun sebenarnya mencari pasar yang bisa menerima ide mereka.
12. Film independen sebenarnya merupakan cara untuk melawan sistem jaringan
bioskop yang menilai film Indonesia itu tidak laku. Juga, sistem pemerintahan
Orde Baru yang mengekang kreativitas sutradara muda.
Akhirnya, jaringan bioskop Indonesia baru sadar bahwa film Indonesia belum
mati dan punya penggemar, kemudian mulailah film Indonesia hidup kembali.
"Dari genre horor yang dimulai oleh film Jelangkung. Kemudian genre film
remaja yang dimulai oleh Ada Apa Dengan Cinta? Lalu muncul genre film
religi yang dimulai dari Ayat-ayat Cinta. Sekarang, genre film action yang
dimulai dari The Raid mulai dilirik oleh penonton Indonesia," katanya.
Sementara itu, mantan wartawan sekaligus pegiat dan pembuat film, Bowo
Leksono, mengatakan film independen itu tidak ingin terikat aturan.
"Film independen bersifat mengkritik fenomena yang ada di masyarakat.
Sekarang anak SMA saja sudah bisa bikin film dokumenter mengenai korupsi.
Itulah jiwa dari film independen,"
13. 7. INDUSTRI FILM INDONESIA HADAPI MEA
Dibutuhkan peran pemerintah dan kebijakan pendamping. Dan kita harus lihat
prospek ke depan. Jangan sibuk sendiri dengan membatasi impor film Amerika,
misalnya. Kita seharusnya bilang, "film Hollywood masuk, tapi film Indonesia
juga harus masuk sana." Daripada sibuk berteriak jatah film Hollywood harus
diturunkan, itu lebih susah. Soalnya filmnya bagus. Sekarang bagaimana kita
bisa penetrate untuk keuntungan kita, termasuk ASEAN. Kita bisa bersatu
menghadapi dunia besar di luar sana. Kalau mau, ASEAN bisa menghadapi
sama-sama, misalnya sekian film Amerika masuk, tapi sekian film Thailand, film
Filipina, dan film Indonesia juga harus masuk ke sana. Itu memperkuat
bargaining power.
Di Indonesia, jika dibandingkan dengan tingkat penetrasi media massa lainnya,
film memiliki tingkat penetrasi yang paling rendah, yaitu 1,8% dari 13.090.000
orang yang mengakses media di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Medan, dan Makasar (Media Scene, 2004-2005). Seperti diketahui, perfilman
Indonesia pernah berjaya di tahun-tahun 1970-an hingga 1980-an, namun
kejayaan ini surut sejak tahun 1990-an hingga awal 2000-an. (Kristanto , 2007 :
xxi)