Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
Hukum Menikahi Wanita Hamil
1. MENIKAHI WANITA HAMIL DAN NASAB
ANAK DI LUAR KAWIN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah: Masailul Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Dr. Ali Trigiyatno, M.Ag
Disusun Oleh:
1. M. Akbar Mizandin (2021113304)
2. Elok Nadlifah (2021114013)
3. Eka Mufida Saeri (2021114019)
4. Eka Fatma Novianti (2021114022)
Kelas: B
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016
2. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah
melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Menikahi Wanita Hamil dan Nasab
Anak di Luar Kawin”. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw., sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga
yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan terkait
pengertian, hukum menikahi wanita hamil dan status anak yang akan dilahirkan
atau hukum status anak zina. Makalah ini disajikan sebagai bahan materi
dalam diskusi mata kuliah Masailul Fiqhiyah STAIN Pekalongan.
Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini
jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba
mengembangkan dari beberapa referensi mengenai sumber materi yang
saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan
kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis dengan
senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca yang budiman. Amin yaa robbal ‘alamin.
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................2
A. Hukum Menikahi Wanita Hamil ...............................................................2
B. Status Hukum Anak Zina ..........................................................................9
BAB III PENUTUP ..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehamilan dapat terjadi melalui perkawinan yang legal, maupun melalui
hubungan akibat perkosaan, atau hubungan suka-sama suka diluar nikah yang
disebut dengan perzinahan/prostitusi. Apalagi pergaulan bebas antara muda
mudi , seperti yang terjadi saat ini, seringkali membawa hal-hal yang tidak
dikehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat dilakukan
pernikahan. Dengan demikian hamil sebelum diadakan akad nikah telah
menjadi problema yang membutuhkan pemecahan,sehingga terjadi kegelisahan
dikalangan masyarakat maupun para Ulama, yang ditangan merekalah terletak
tanggung jawab yang sangat besar, terlebih lagi menyangkut masalah hukum
islam/syari’at.
Kebiasaan orang tua yang merasa malu karena putrinya hamil diluar
nikah , mereka biasanya berusaha menikahkan putrinya dengan laki-laki yang
menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya.Sekarang ini menikahi
wanita hamil karena zina bukanlah masalah baru karena pada zaman rasulullah
juga pernah terjadi. Padahal Islam menganjurkan nikah dan melarang
zina,karena zina adalah sumber kehancuran.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil?
2. Bagaimana status anak yang akan dilahirkan atau hukum status anak zina?
5. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Menikahi Wanita Hamil
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pernikahan merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, pernikahan juga mendirikan keluarga yang sakinah,
mawaddah dan wa rahmah. Di dalam pernikahan adanya saling memelihara
dan menjaga satu sama lain untuk terjaganya keutuhan keluarga dari hal-hal
yang membawa kemudharatan dan menghindarkan dari api neraka.
Wanita hamil secara tekstual dapat dipahami dengan dua makna, yakni
wanita hamil akibat oleh suami yang sah dan wanita hamil dengan akibat zina.1
Perkataan ini ditetapkan dalam hukum Islam sebagai istilah (ﺑﺎﻟﺤﺎﻣﻞ )ﺍﻟﺘﺰﻭﺝ
yang dapat diartikan sebagai perkawinan seorang pria dengan seorang wanita
yang sedang hamil. Hal ini terjadi dua kemungkinan yaitu dihamili dulu baru
dikawini atau dihamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan
menghamilinya.2
Ada beberapa alasan yang bisa dijadikan landasan terjadinya pernikahan
dengan wanita hamil, diantaranya adalah:
1. Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal
Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwa:
1 Koirudin Nasution, Hukum Pernikahan 1: Dilengkapi perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, (Yogyakarta:ACADEMIA & TAZZAFA,2005), hal 37.
2 Mahjuddin, Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2012), hlm. 48.
6. 3
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(beribadah) 4 bulan 10 hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S.
Al-baqarah: 234)
Laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil,
hukumnya yaitu sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Thalaq ayat: 4
yaitu:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopouse)
diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah 3 bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. (Q.S. Al-Thalaq: 4)
Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah sebelum
janin yang dikandungya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu demi
menghormati sperma suaminya yang suci karena telah menikah.
7. 4
2. Menikahi Wanita hamil karena Zina
Ada beberapa ketentuan hukum, yang dapat dikemukakan dalam
pembahasan ini, antara lain mengenai sah atau tidaknya perkawinan keduanya,
boleh atau tidaknya melakukan sanggama, dan kedudukan nashab (keturunan)
bayi yang dilahirkannya.
Sepakat Ulama Mazhab yang empat menetapkan bahwa perkawinan
keduanya sah, dan boleh mengadakan sanggama bila laki-laki itu sendiri yang
menghamilinya baru ia mengawininya. Tetapi Ibnu Hazm mengatakan:
Keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan sanggama bila ia telah
bertaubat dan mengalami hukuma dera (cambuk) karena keduanya telah
berzina. Pendapat ini berdasarkan pada keputusan hukum yangtelah diterapkan
oleh Sahabat Nabi kepada orang-orang yang telah berbuat seperti itu, antaralain
diriwayatkan:
1. Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan dua
orang yang telah berzina, maka ia berkata: Boleh mengawinkannya, asalkan
keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
2. Seorang lelaki tua mengajukan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar,
lalu berkata: Hai Amirul Mu’minin, putriku telah dikumpuli oleh tamuku,
dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan. Ketika itu, Khalifah
memerintahkan kepada Sahabat lain untuk melakukan hukuman dera kepada
keduanya, kemudian dikawinkannya.
Dan yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama Hukum Islam,
adalah kepastian hukum tentang pernikahan lelaki dengan perempuan yang
dihamili oleh orang lain:
1. Imam Abu Yusuf mengatakan; keduanya tidak boleh dikawinkan karena
bila dikawinkan, maka perkawinannya fasid atau batal. Pendapat ini
berdasarkan pada sebuah ayat dan keterangan sebuah Hadits yang
bersumber dari Sa’id bin Musayab yang berturut-turut disebutkan:
8. 5
Artinya:Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min. (QS.An-
Nuur:3)
Kemudian dari Hadits yang lain juga mengatakan: Bahwasanya
seorang laki-laki mengawini seorang perempaun, maka ketika ia
mengumpulinya, ia mendapatkannya dalam keadaan hamil. Lalu ia
melaporkannya kepada Nabi Saw, maka Nabi menceraikan keduanya dan
memberikan kepada perempuan itu mas kawin, kemudian didera sebanyak
seratus kali.
Pendapat ini pula yang diikuti oleh Ibnu Qudamah, dengan
menambahkan bahwa seorang laki-laki tidak halal mengawini perempuan
yang diketahuinya bahwa ia telah berzina dengan orang lain, kecuali melalui
dua syarat:
a. Perempuan tersebut telah melahirkan kandungannya bila ia hamil.
b. Perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera, baik ia hamil maupun
tidak.
2. Imam Muhammad bun Al Hasan Al- Syaibany mengatakan, perkawinannya
sah, tetapi diharamkan baginya mengadakan sanggama, hingga bayi yang
dikandungnya itu lahir. Pendapat ini berdasarkan padaHadits yang berbunyi:
.ﺗﻀﻊ ﻻﺗﻮﻃﺂﺣﺎﻣﻼﺣﺘﻰ :ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻠﻬﻌﻠﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻳﻘﻮﻝ
Artinya:Sabda Nabi SAW; Janganlah engkau mengumpuli wanita yang
hamil hingga lahir (kandungannya).
3. Sepakat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengatakan; Perkawinan
seorang laki-laki dengan wanita yang telah dihamili oleh orang lain adalah
sah, karena tidak terikat dari perkawinan orang lain. Dan boleh pula
mengumpulinya karena tidak mungkin nashab (keturunan) bayi yang
9. 6
dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Maka bayi tersebut tetap
bukan keturunan orang yang mengawini ibunya.3
Para Ulama berbeda berpendapat mengenai hukum menikahi wanita yang
hamil diluar nikah, apakah mereka dikenakan had (hukuman) atau tidak,
sebagian ulama berpendapat dikenakan had dan sebagian lagi tidak.4
Selain itu diantara ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil
karena zina ada masa Iddahnya, dan juga ada yang berpendapat tidak.
Lebih jelasnya menurut pendapat para ulama tentang masalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali,
membolehkan menikah dengan perempuan yang sedang hamil karena zina,
asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya sebab
hamil yang semacam ini tidak menyebabkan haramnya dinikahi.
2. Abu Yusuf dan Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa tidak boleh
menikahi wanita yang hamil karena zina, sebelum ia melahirkan, agar
nutfah (darah) suami tidak bercampur dengan tanaman orang lain.
3. Abu Hanifah menguraikan bahwa pernikahan dengan perempuan berzinah
yang hamil, sah, tetapi tidak boleh melakukan coitus/hubungan badan
sebelum janinnya lahir5
4. Imam Muhammad Al-Syaibani menerangkan bahwa pernikahan dengan
wanita yang dihamili laki-laki lain hukumnya sah, tetapi haram baginya
melakukan hubungan badan hingga bayi yang dikandungnya lahir.
5. Ibn Qudamah mengutarakan pendapatnya yang sejalan dengan Imam
Muhammad Al-Syabani, namun beliau menambahkan bahwa wanita itu
harus terlebih dahulu dengan pidana cambuk.
6. Abdul Halim Mahmud menjabarkan bahwa akad nikah perempuan yang
hamil diluar nikah sah. Apabila rukun syaratnya pernikahan terpenuhi
3 Ibid., hal. 49-53
4 Cut Anwar, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1999),
hal 52.
5 M. Anshary MK, Hukum Pernikahan di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial, (Jakarta:
Pustaka Belajar, 2010), hal 58.
10. 7
seperti wali, saksi dan mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum
akad adalah hubungan zina, berdosa dan pelanggaran hukum. Bagi laki-laki
dan perempuan yang melakukannya, hukuman dan sanksinya disesuaikan
dengan pelaku perzinahan6
3. Menikahi wanita hamil yang bukan dengan ayah janin
Berdasarkan sebab turunnya surat An-Nur ayat 3, dapat diketahui bahwa
Allah mengharamkan seseorang laki-laki yang bukan menghamilinya menikahi
wanita yang hamil karena zina. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan
laki-laki yang beriman7
Ketentuan ini diatur juga oleh undang-undang pernikahan maupun KHI
pasal 53 yang berbunyi:
1. Seorang wanita yang hamil diluar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Pernikahan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran janinnya.
3. Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan pernikahan ulang setelah janin yang dikandungnya lahir.
Dari ketentuan pasal 53 diatas, KHI secara tegas mengatur bahwa
pernikahan hamil dapat dilakukan asalkan yang menikahinya adalah laki-laki
yang menghamilinya. Ketentuan ini juga sejalan dengan ketentuan yang
terdapat dalam QS.An-Nur:3
Kemudian persyaratan dipertegas lagi oleh Allah SWT dalam surat Al-
Baqarah ayat 221:
6 Yusuf Qardhawi, Ensiklopedia Muslimah Modern, (Depok: Pustaka Iman,2009), hal 81.
7 Ibid,. hal.82.
11. 8
Artinya: “ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-Baqarah: 221)
Bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil
diharamkan oleh Allah untuk menikahinya. Pernikahan semacam ini juga tidak
perlu menunggu habis masa Iddah wanita hamil tersebut, dan tidak diperlukan
pernikahan ulang setelah janin yang dikandungnya lahir.
Kemudian menurut pendapat para ulama tentang masalah ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Imam Abu Yusuf menjelaskan bahwa pernikahannya fasid (batal). Hal ini
didasarkan kepada ayat 3 surat An-Nur sebagaimana disebutkan diatas.
2. Imam Malik dan Imam Ahmad beragumen bahwa tidak sah menikah dan
tidak boleh bergaul, dimana wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak
sah akad nikahnya, karena tidak halal menikahi wanita hamil sebelum
melahirkan8
3. Abu Yusuf dan Zafar berpendapat bahwa karena wanita itu hamil dari
hubungan dengan lelaki lain, maka haram menikahinya sebagaimana haram
menikahi wanita hamil lainnya, karena hamil itu mencegah bersetubuh,
maka juga mencegah akad nikah, sebagaimana hamil yang ada nasabnya.
Oleh karena tujuan menikah itu menghalalkan hubungan badan dan apabila
tidak berhubungan badan maka pernikahan itu tidak ada artinya.
Pendapat ini mendasarkan argumennya pada dua sabda Nabi Muhammad
SAW:Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka
janganlah menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. (H.R. Abu Dawud).
8 Cut Anwar,. Op,.Cit., hal 54.
12. 9
Perempuan hamil dilarang sampai ia melahirkan. (H.R. Abu Dawud)
Cut Anwar mengatakan bahwa tidak sah menikah karena larangan-
larangan yang dikemukakan ayat Al-Qur’an yang secara tegas melarangannya,
dilihat dari sudut biologis dengan menikahi yang tidak halal digauli (untuk
sementara) menjadi kesulitan bagi laki-laki membendung syahwat, apalagi
mereka tinggal serumah. Ia juga khawatir apabila si laki-laki tergelincir
melakukan larangan itu. Maka menurutnya lebih baik tidak menikah dari pada
menikah tapi tidak bisa berkumpul.
B. Status Hukum Anak Zina
Anak zina menurut pandangan Islam, adalah suci dari segala dosa, karena
kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut, tetapi kepada kedua
orang tuanya (yang tidak sah menurut hukum).
Di dalam hadits disebutkan:
(ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻣﻮﻟﻮﺩﺇﻻﻳﻮﻟﺪﻋﻠﻰ ﻣﺎﻣﻦ
Artinya:“Tidak setiap anak dilahirkan kecuali suci bersih (menurut fitrah)”
(HR. Bukhari).
Di dalam al-Qur’an Allah berfirman:
Artinya: (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain (an-Najm:38).9
Bayi yang lahir dari wanita yang dihamili tanpa dikawini lebih dahulu,
disebut oleh Ahli hukum Islam sebagai istilah ﺍﻟﺰﻥ ﺍﺑﻦ (anak zina) atau ﺍﺑﻦ
ﺍﻟﻤﻼﻋﻨﺔ (anak dari orang yang terlaknat). Jadi istilah tersebut, bukan nama bayi
yang lahir itu, tetapi istilah yang dinisbatkan kepada kedua orang tuanya yang
telah berbuat zina, atau melakukan perbuatan yang terlaknat. Sedangkan bayi
yang dilahirkannya, tetapi suci dari dosa dan tidak mewarisi perbuatan yang
telah dilakukan oleh orang tuanya.10
9 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer
Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 80-82.
10 Mahjuddin, Op.Cit,. hal. 48.
13. 10
Oleh sebab itu, anak hasil zina pun harus diperlakukan secara
manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna
untuk bekal hidupnya di masa depan.
Tanggung jawab mengenai segala keperluan anak itu, baik materiil
maupun spiritual adalah ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya itu.
Sebab, anak zina hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja. Demikian juga
halnya dengan hak waris mewarisi, sebagimana dinyatakan dalam hadits
Bukhari dan Abu Daud menyatakan bahwasanya: “Dari Ibnu Umar, bahwa
seorang laki-laki telah meli’an istrinya di zaman Nabi SAW. Dan dia tidak
mengakui anak istrinya (sebagai anaknya), maka Nabi menceraikan antara
keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada si istri.”
Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:
1. Menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang lahir setelah enam bulan
dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.
2. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada
ibunya.
3. Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami
ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si
ibu.11
Sepakat Ulama Hukum Islam menetapkan bahwa status anak itu
termasuk anak zina bila laki-laki yang mengawininya bukan orang yang
menghamilinya. Tetapi yang mengawini itu termasuk orang yang
menghamilinya, maka terjadi dua macam pendapat di kalangan Ulama Hukum,
yaitu:
1. Ada yang menetapkan bahwa bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya
dikawini setelah kandungannya berumur 4 bulan ke atas, bila kurang dari
umur kandungannya tersebut, maka bayi yang dilahirkannya termasuk anak
suaminya yang sah.
2. Ada lagi yang menetapkan bahwa bila ibunya sudah hamil meskipun
kandungannya baru beberapa hari, kemudian dikawini oleh orang yang
11 M. Ali Hasan,Op.Cit., hal. 80-82.
14. 11
menghamilinya, maka bayi yang dilahirkannya bukan anak suaminya yang
sah. Karena keberadaannya dalam kandungan, mendahului perkawinan
ibunya; maka bayi tersebut termasuk anak zina12
Ibnu Hazm menegaskan, anak yang lahir akibat perzinaan hanya ada
hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya, ia juga hanya memiliki
hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan ke-mahram-an
dan berbagai macam ketentuan hukum lain dengan ibu kandungnya saja. Anak
zina tidak dapat mewarisi dari seorang yang telah membuahi ibu kandungnya,
ia juga tidak memiliki hubungan saling mewarisi dengan bapak kandungnya
dan berbagai hak lain seperti hak perlakuan baik, nafkah, dan hubungan ke-
mahram-an dengan ayah kandungnya dan berbagai macam hak lain. Bahkan
kedudukan anak zina sebagai orang lain sama sekali dengan ayah biologisnya.
Dr Abdul Aziz Al-Fauzan berkata, para ulama sepakat menyatakan
bahwa jika ada seorang wanita bersuami atau seorang budak melahirkan anak,
lalu si suami atau sang tuan/majikan itu tidak menyangkal tentang nasab anak
yang dilahirkannya itu, lalu jika tiba-tiba ada lelaki lain yang pernah berzina
dengan wanita besuami atau budak itu mengklaim anak yang dilahirkan itu
sebagai anaknya, maka pengakuan itu sama sekali tidak bisa diterima dan bayi
itu tetap bernasab kepada suami atau majikan dan tidak mungkin bernasab
dengan laki-laki yang mengaku pernah menzinainya.
Ibnu Abdul Barr berkata bahwa umat atau ulama telah sepakat
menyatakan bahwa setiap anak yang lahir dari seorang wanita yang bersuami,
pasti anak itu bernasab dengan ayah kandungnya, apa pun alasannya, kecuali
memang sang suami menyangkal nasab anak tersebut melalui tata cara yang
telah diatur dalam pembahasan li’an.13
Apabila anak dilahirkan secara tidak sah, maka ia dapat dihubungkan
dengan bapaknya (tidak sah), kecuali hanya kepada ibunya saja. Dalam hukum
Islam, anak tersebut tetap dianggap sebagai anak yang tidak sah dan berakibat:
12 Mahjuddin, Op,. Cit,. hal. 53.
13 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH, 2013),
hal.118-119
15. 12
1. Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya
(secara tidak sah).
2. Tidak ada saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi
dengan ibunya saja.14
Perlu ditambahkan, bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari
perkawinan, maka “sang ayah” berhak menolak keabsahan anak itu menjadi
anaknya, sebab masa hamil yang paling sedikit berdasarkan al-Qur’an QS.al-
Baqarah: 233 dan QS.al-Ahqaf: 15 adalah 6 bulan.15 Jadi anak yang lahir
sebelum 6 bulan dalam kandungan, tidak bisa mengikuti nasab laki-laki yang
dinikahi oleh ibunya.
14 M. Ali Hasan,. Op,. Cit,. hal 83.
15 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), hal. 40.
16. 13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal yaitu harus
menunggu sampai lepas masa iddah selesai. Masa iddahnya itu sendiri yaitu
sampai anak dalam kandungannya lahir.
Hukum menikahi wanita hamil sebab zina yaitu terjadi perbedaan
pendapat diantara para ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada pula
yang mengatakan tidak boleh. Namun pada surat An-Nur ayat 3 sudah
dijelaskan bahwa wanita pezina harus menikah dgn laki-laki pezina dan hukum
nya haram jika seorang mukmin menikahi laki-laki pezina tersebut.
Pada dasarnya nasab anak zina hanya dihubungkan dengan
ibunya.Sesuai dengan hadits Nabi”al-walidu lil-firsasyi” yaitu seorang anak
hanya milik ibunya. Namun terjadi beberapa perbedan pendapat untuk masalah
ini.
B. Saran-Saran
Pepatah Arab mengatakan "ﺍﻟﻨﺴﻴﺎﻥ ﻭ ﺍﻟﺨﻄﺎﺀ ﻣﺤﻞ "ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ yang berarti
“Manusia adalah tempatnya salah dan lupa”. Begitu pula dengan penulisan
makalah ini pastilah tak lekang dari berbagai kesalahan dan kekurangan, baik
yang kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang ada dalam
penulisan makalah ini. Sangat kami harapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kami dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
17. 14
DAFTAR PUSTAKA
Anshary, M. 2010. Hukum Pernikahan di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial,
Jakarta: Pustaka Belajar.
Anwar, Cut. 1999. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Hasan ,M. Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Irfan, Nurul. 2013. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta:
AMZAH.
Mahjuddin. 2012. Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam.
Jakarta: Kalam Mulia.
Mihrom, M. Hammam. 2013. Santri Lirboyo Menjawab: Majmu’ah Keputusan
Bahtsul Masaiel. Kediri: Pustaka Gerbang Lama.
Nasution, Koirudin. 2005. Hukum Pernikahan 1: Dilengkapi perbandingan UU
Negara Muslim Kontemporer. Yogyakarta:ACADEMIA &
TAZZAFA.
Qardhawi, Yusuf. 2009. Ensiklopedia Muslimah Modern. Depok: Pustaka Iman.
Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Toko Gunung Agung.