Kaitkan pemilu dengan teroris, upaya bnpt agar tetap eksis
Membabat politik dagang sapi
1. Membabat Politik Dagang Sapi
March 28th, 2014 by kafi
Oleh: Ali Mustofa Akbar (Pemerhati politik, Kantor Media HTI Soloraya)
Siapa yang bakal memimpin negeri ini selanjutnya InsyaAllah segera terjawab pasca pemilu.
Beberapa Parpol sudah begitu percaya diri mendeklarasikan siapa Capresnya. Hanya ada
satu yang sudah plus cawapres sekaligus, Itulah Partai Hanura dengan Win-HT nya. Sementara
parpol lain masih tampak malu-malu.
Namun malu bukan berarti tak mau. Sadar diri akan reputasi parpolnya teramat mempengaruhi
sikap politik mereka. Sebagian Parpol masih menunggu rekapitulasi hasil pemilu legislatif
sebagai parameter untuk memajukan capres maupun cawapres.
Dalam kamus politik sekulerisme, politik dipandang sebagai seni mendapatkan kekuasaan.
Sayangnya pakem ini juga diilhami oleh para politisi muslim. Ketika politik diilhami seperti itu,
Alhasil berbagai cara pun digunakan untuk memperolehnya. Salah satu caranya ialah adanya
praktek politik dagang sapi.
Politik dagang sapi juga biasa disebut politik transaksional. Deskripsi sederhananya ialah
berupa perjanjian politik antar beberapa pihak dalam usaha menerima serta memperalat
kekuasaan. Politik transaksional cakupannya sangat luas, bisa menyentuh seluruh aktivitas
politik. Bukan hanya Pilpres, melainkan juga terjadi di Pileg, Pilkada, saat pengambilan
kebijakan penguasa, dst.
Namanya juga politik dagang maka ada yang menjual ada yang membeli sehingga dibutuhkan
alat pembayaran jual-beli tersebut. Baik itu berupa jabatan, uang, gratifikasi seks, ataupun yang
lainnya. Jadi dalam pembahasannya, money politik merupakan salah satu bagian dari politik
transaksional ini. Dalam konteks Pilpres, disitu ada Bos Sapi lalu ada yang menjadi Sapi-Sapi.
Pihak yang memiliki reputasi politik bagus, dia akan menjadi Bos Sapi yang bakal diincar
maupun mengincar Sapi-Sapi. Menurut Alwi Syihab (Mantan MenkoKesra 2004-2005), praktek
politik ini mulai subur semenjak berlangsungnya pemilu di tahun 50-an.
Pada pilpres 2009 misalnya, Bos Sapi Demokrat akhirnya keluar menjadi pemenang dan
berhak mendapatkan kursi kepemimpinan. Sebagai imbal balik, sang bos memberikan jatah
jabatan menteri-menteri pada Sapi-Sapinya. Terkadang transaksi ini tidak dituangkan dalam
perjanjian tertulis, melainkan sudah menjadi pakem politik bersama.
Dalam sistem Presidensial, Presiden terpilih akan memberikan jatah-jatah menteri kepada
anggota koalisinya dan tidak diberikan kepada pihak oposisi. Jika sampai oposisi mendapat
jatah menteri, maka dia akan didorong menjadi anggota koalisi baru. Dalam hal ini, penguasa
2. berupaya merangkul banyak kekuatan untuk menjaga eksistensi kekuasaannya. Sebagai
contoh pada kasus kabinet Indonesia bersatu Jilid 2. Ketika golkar mendadak menjadi koalisi
instan meski tidak ikut mengangkat SBYke R1 satu. Upaya ini juga coba ditujukan kepada
PDIP meski gagal, ketika Demokrat mencoba meminang Puan Maharani menjadi Menteri.
Dampak buruk
Politik dagang Sapi memiliki dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di
antaranya. Pertama: Menciptakan Pemimpin transaksional. Kepala negara model ini teramat
doyan mengambil kebijakan-kebijakan berdasar transaksi-transaksi politik, baik itu transaksi
dengan pemilik modal, kolega politik, maupun pihak-pihak lain. Alhasil implementasi kebijakan
dari penguasa ini banyak yang tidak berpihak kepada rakyat. Seperti kebijakan liberalisasi
migas, penjualan aset negara, dsb.
Kedua: Memunculkan pejabat yang tidak berintegritas. Banyak pejabat-pejabat yang sejatinya
tidak layak menduduki jabatan tetapi terpilih terpilih karena didorong adanya politik
transaksional. Hasilnya seperti terlihat dari evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di tahun 2012, yang telah diserahkan kepada
Presiden, banyak lembaga Kementrian yang kinerjanya mendapat raport merah. Terlepas
adanya indikasi motif politik dari lembaga kepresidenan tersebut, namun secara kasat mata
terlihat kinerja para menteri tidak memberikan perubahan yang signifikan bagi kesejahteraan
dan kemajuan masyarakat.
Sesuai dengan sabda Nabi Saw: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka
tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhori)
Ketiga: Menjadikan lemahnya penegakan hukum. Governance World Bank (GWB) tahun 2011
sempat membeberkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. GWB menyoroti kinerja
pemerintah dari beberapa kasus seperti penanganan Bank Century, Cicak-Buaya, mafia
hukum seperti suap para hakim, Lumpur Lapindo yang disinyalir ada politik saling sandera,
dsb. Ini juga merupakan efek dari adanya politik transaksional.
Keempat: Marak korupsi. Lemahnya penegakan hukum akibat politik transaksional tersebut
menjadikan korupsi kian marak. Hari demi hari masyarakat selalu disuguhi pemberitaan
korupsi para pejabat negeri ini. Sistem hukumnya sendiri yakni sistem kufur demokrasi juga
sudah lemah dari lahirnya sehingga mustahil dapat mengatasi persoalan ini. Ketika kekuasaan
dalam politik sekuler ini memerlukan kemampuan finansial yang mumpuni untuk membiayai
transaksi-transaksi politik, implikasinya mereka akan terus berusaha untuk mencari balik
modal.
Pemilu serentak bukan solusi
Beberapa waktu lalu MK telah mengeluarkan putusan bahwa pemilu 2019, akan digelar pemilu
3. serentak. Yakni pemilu legislatif dibarengkan dengan pilpres. Beberapa pengamat mengatakan
hal ini akan menghilangkan politik transaksional.
Padahal ini bukan solusi karena politik transaksional instan pun bisa dilakukan. Sebagaimana
pembahasan sebelumnya bahwa politik transaksional itu cakupannya banyak, aktualisasinya
dapat mencakup seluruh aktivitas politik bukan hanya pilpres.
Satu lain, dalam politik sekuler, transaksi-transaksi politik tidak harus direncanakan dari awal.
Di sini penguasa butuh merangkul banyak kekuatan untuk menjaga dominasi kekuasaannya.
Sebagai contoh kasus kabinet Indonesia bersatu Jilid 2. Ketika Golkar mendadak menjadi
koalisi instan meski tidak ikut mengangkat SBYke R1 satu. Upaya ini juga coba ditujukan
kepada PDIP meski gagal saat itu, ketika Demokrat mencoba meminang Puan Maharani
menjadi Menteri.
Terapkan sistem Islam
Pertama: Mengangkat pemimpin yang kredibel dan amanah. Integritas pemimpin amat
dibutuhkan untuk mengurusi negara sekaligus memberikan keteladanan bagi pejabat dan
rakyatnya menciptakan kehidupan politik yang sehat. Sistem Islam juga tidak mengenal istilah
koalisi maupun oposisi dalam pandangan sistem sekuler. Sebab dukung atau tidak mendukung
atas kebijakan penguasa adalah berpijak pada hukum syara’. Jika pemimpin mengambil
kebijakan sesuai dengan hukum Islam maka wajib di dukung, namun jika kebijakan itu
bertentangan maka wajib diluruskan.
Dalam sirah Ibnu Hisyam (I/404) diceritakan, ketika Rasulullah di baiat oleh kaum Anshar. Saat
itu kaum anshar bertanya kepada Rasulullah Saw. Apa yang akan di dapat oleh mereka jika
mendukung Rasul Saw sebagai kepala Negara. Rasul Saw tidak menjawab dengan janji
pemberian jabatan, uang atau janji duniawi lainnya. Namun Beliau Saw menjawab “Surga”. Dari
situ menunjukkan tidak adanya transaksi imbal balik jabatan maupun materi duniawi dari
Rasulullah Saw.
Kedua: Mengangkat pejabat yang kredibel amanah. Pejabat seperti menjadikan jabatan
sebagai sarana untuk beribadah sehingga mendorongnya menjalankan tugas sebaik-baiknya
dan tidak terlalu terobsesi terhadap kekuasaan. Karena kekuasaan adalah sarana untuk
menerapkan Aturan-Nya. Maka ia tidak tertarik untuk melakukan aktivitas politik yang
melanggar dari syariah-nya. Seperti halnya melakukan suap berupa money politik, berlemah
lembut dengan kekufuran demi meraih jabatan.
Dalam Islam jabatan itu adalah amanah, Tidak semua orang sanggup memikul amanah
tersebut. Itulah kenapa Abu Dzar sempat tidak diterima Rasulullah untuk melamar jabatan
karena pertimbangan tertentu.
“Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya engkau itu orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu
4. adalah amanat, dan jabatan itu akan membuat kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali
orang yang dapat memegang jabatan sebagaimana mestinya dan dapat melaksanakan
jabatan (amanat) yang semestinya”. (HR. Muslim)
Rasul Saw memilih para pejabatnya dalam negara benar-benar berdasar pada kredibilitasnya
dan tidak ada sangkut pautnya dengan transaksi politik. Misalnya Beliau Saw mengangkat Abu
Bakar dan Umar sebagai pembantunya. Sabda Rasulullah : “Adapun dua orang wazirku dari
penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR. An-Nasa’i).
Kemudian Rasul Saw juga mengangkat Wali dan Amil yang bertugas sebagai Penguasa
Wilayah seperti Gubernur di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Dipilih Badzan bin
Sasan sebagai wali di Yaman, Abu Dujanah sebagai Amil di Madinah, dst. Jabatan Qadli
(Hakim), yang bertugas sebagai pemutus perkara-perkara masyarakat diangkat Ali bin Abi
Thalib sebagai qadli di Yaman, Abdullah bin Naufal qadli di Madinah. Rasul juga melantik
pejabat yang bertugas menjaga keamanan dalam negeri dan menjalankan misi jihad, Beliau
mengangkat Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abdul Muthalib, dan Abdullah bin Rawahah,
sebagai komandan pasukan negara kaum muslimin untuk melawan pasukan Romawi pada
perang Mu’tah, dst. Lalu ada pula Pejabat Administrasi, yang mengurus administrasi negara
dan kebutuhan masyarakat, Beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai penulis piagam
gencatan senjata dengan Quraisy, Mu’aiqib bin Abi Fathimahsebagai pencatat harta
ghanimah. Pun lahir anggota Majlis Umat yang pertama bentukan Rasulullah Saw, mereka
diberi tugas melakukan musyawarah dengan kaum muslimin, khususnya dengan 14 orang
sahabat Anshar dan Muhajirin, diantara yang diberi amanah: Hamzah, Abu Bakar, Umar,
Ja’far, dan lainnya.
Ketiga: Penerapan sistem Islam. Sistem politik sekuler-demokrasi terbukti mendorong
maraknya politik dagang sapi. Karena didasari kesalahan dalam memahami hakikat
kekuasaan, mahalnya biaya politik, tidak adanya ruh spiritual, dan lemahnya sistem. Maka
permasalahan itu bisa terjawab dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Sistem Islam
menjadikan Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagai standar kehidupan politik sebuah negara dan
halal-haram sebagai tolak ukurnya. Siapa saja yang melakukan transaksi politik terlarang bakal
dikenai sanksi yang tegas.
Demikianlah penerapan sistem demokrasi tidaklah membawa kebaikan bagi negeri ini. Butuh
penerapan syariah Islam dalam bingkai Negara Khilafah untuk membabat politik dagang sapi.
Menuju Indonesia yang lebih baik. Sistem Islam teramat cocok buat Indonesia karena Indonesia
milik Allah. Wallahu A’lam.[]
Baca juga :
1. Politik Dagang Sapi Demokrasi, Sumber Malapetaka
5. 2. HIP 9 Malang: Politik Dagang Sapi, Hukum di Indonesia
3. Ini Dia 4 Dendeng Babi Berkemasan Sapi
4. Astaghfirullah, Daging Sapi Halal Ternyata Babi
5. KOMENTAR POLITIK: Israel Telah Membuka Kantor Dagang di Ibu Kota Indonesia