Kritisi matinya fungsi negara akibat neoliberalisme
Pelajar dan mahasiswa pengawas pemilu jadi tumbal demokrasi
1. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Pelajar dan Mahasiswa Pengawas Pemilu Jadi Tumbal Demokrasi?
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/08/pelajar-dan-mahasiswa-pengawas-pemilu-jadi-tumbal-demokrasi/ 1/4
Pelajar dan Mahasiswa Pengawas Pemilu Jadi Tumbal
Demokrasi?
April 8th, 2014 by MHTI
Oleh: dr. Estyningtias P (Lajnah Siyasiyah MHTI)
Pendahuluan
Akhir-akhir ini pembicaraan tentang demokrasi semakin
santer. Apalagi jika dikaitkan dengan pelaksanaan pemilu
9 April mendatang. Salah satu terobosan baru yang
berhasil dilakukan pemerintah dalam mempersiapkan
pemilu mendatang adalah upaya melibatkan pemuda
(pelajar dan mahasiswa) sebagai pengawas pemilu.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad telah menandatangani nota
kesepahaman (MoU) dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad
Nuh tentang Peningkatan Partisipasi Aktif Pelajar dan Mahasiswa dalam Pengawasan Pemilu
2014 pada hari Kamis tanggal 6 Maret 2014 di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Tujuannya selain
untuk meningkatkan kesadaran berpolitik (yakni untuk mengenal substansi demokrasi dan
politik) juga untuk meningkatkan angka partisipasi pemilu.
Perekrutan ini dianggap sangat dibutuhkan karena peran mahasiswa dalam pemilu adalah
sebagai kalangan intelektual yang memiliki idealisme dan semangat yang tinggi sekaligus
sebagai agen perubahan serta agen pengawasan. Karena itu mahasiswa yang terlibat
disyaratkan sudah semester lima, sudah berumur 17 tahun dan berindeks prestasi kumulatif
3.0. Program ini sejalan dengan Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu yang dimotori
oleh Bawaslu. Gerakan ini merupakan terobosan dan implementasi dari program pengawasan
partisipatif. Gerakan ini hendak mentransformasikan gerakan moral (moral force) menjadi
gerakan sosial(social movement). Istilah Sejuta Relawan bukanlah menunjukkan jumlah, namun
menunjukkan betapa besar dan massifnya gerakan ini. Siapapun, terutama mereka yang
mempunyai jiwa sosial dan pengabdian kepada masyarakat, negara, dan bangsanya
diharapkan mendedikasikan dirinya menjadi relawan, karena pada dasarnya setiap orang
mempunyai potensi dan kemampuan. (http://www.bawaslu.go.id)
Bertahan Tanpa Dukungan Rakyat
Berbagai terobosan dibuat oleh pemerintah dan bawaslu, khususnya, untuk mempertahankan
sistem demokrasi yang pelaksanaannya nampak dalam pemilu. Pemerintah telah memasang
target partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 mencapai 75 persen. Survei yang digelar
Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan diklaim telah memetakan
2. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Pelajar dan Mahasiswa Pengawas Pemilu Jadi Tumbal Demokrasi?
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/08/pelajar-dan-mahasiswa-pengawas-pemilu-jadi-tumbal-demokrasi/ 2/4
partisipasi pemilih pada level 73 persen. Dan diharapkan masih bisa meningkat menjadi 75
persen.
Tidak berlebihan jika pemerintah masih berharap angka ini bisa ditingkatkan. Besarnya
harapan ini diletakkan pada pemilih pemula. Sebab dalam pemilu 2014 ini jumlah pemilih
pemula mencapai angka yang cukup besar. Jika pada pemilu 2004, jumlah pemilih pemula
sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih dan pada pemilu 2009 sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta
pemilih, maka data BPS 2010 menunjukkan jumlah penduduk usia 15-19 tahun: 20.871.086
orang, usia 20-24 tahun: 19.878.417 orang. Dengan demikian, jumlah pemilih muda sebanyak
40.749.503 orang. Dalam pemilu, jumlah itu sangat besar dan bisa menentukan kemenangan
partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum. Sementara itu
berdasarkan data yang dirilis KPU, jumlah total pemilih yang telah terdaftar untuk pemilu tahun
2014 adalah sejumlah 186.612.255 orang penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut 20-
30%nya adalah pemilih pemula.
Upaya meningkatkan angka partisipasi pemilu merupakan bagian dari penjagaan terhadap
sistem demokrasi itu sendiri. Ini telah disampaikan Mendikbud M. Nuh di sela acara “Rembuk
Nasional Pendidikan dan Kebudayaan” (RNPK) 2014, ”Bangsa ini telah sepakat mengambil
jalur demokrasi sebagai mekanisme penentuan pemimpin ke depan. Jadi, melek terhadap
pemilu atau politik itu sangat penting. Para pelajar dan mahasiswa perlu mendapat informasi
tentang proses demokrasi, termasuk melibatkan mereka menjadi bagian yang dapat
menyukseskan pemilu.”
Padahal fakta di lapangan menunjukkan semakin turunnya angka partisipasi pemilu. Pasca
reformasi, jumlah pemilih yang tidak ikut memilih dalam Pemilu alias golongan putih (golput)
terus mengalami kenaikan. Jika pada Pemilu 1999 angka golput sekitar 10,21 persen, maka
pada Pemilu 2004 mencapai 23,34 persen, dan pada Pemilu 2009 angkanya meningkat
menjadi 29 persen. (http://www.bawaslu.go.id).
Selain itu hasil survei yang dilakukan pemerintah terkait partisipasi pemilih jauh berbeda
dengan survei-survei yang ada selama ini. Terakhir pada Januari 2014, survei Institut Riset
Indonesia memprediksi tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden 2014 menurun
dibandingkan Pemilu Presiden 2009, menjadi 51,3 persen. Partisipasi pemilih pada pemilu
setelah reformasi terus mengalami penurunan. Berturut-turut, Pemilu 1999 mencatatkan angka
partisipasi 92,74 persen, 2004 mencapai 84,07 persen, 2009 mencapai 79 persen.
(http://nasional.kompas.com)
Tak hanya partisipasi pemilih, ternyata animo masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan
Pemilu juga menurun. Jumlah pemantau pada Pemilu 1999 sebanyak 220.000, tahun 2005
sebanyak 80.000, terus menurun menjadi hanya 3.000 pada Pileg 2009 dan 10.500 pada
Pilpres 2009. Secara kelembagaan, pengawasan masyarakat juga menurun. Contohnya, KIPP
(Komite Independen Pemantau Pemilu) Jakarta tahun 1999 memiliki 13.260 relawan, namun
3. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Pelajar dan Mahasiswa Pengawas Pemilu Jadi Tumbal Demokrasi?
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/08/pelajar-dan-mahasiswa-pengawas-pemilu-jadi-tumbal-demokrasi/ 3/4
hanya memiliki 145 relawan pada 2004 dan sekitar 250 relawan pada tahun 2009.
(http://news.detik.com).
Buah Demokrasi: Merusak Tatanan Masyarakat
Semua data di atas menunjukkan bahwa semangat pemerintah untuk tetap mempertahankan
sistem demokrasi tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat. Masyarakat sudah mulai bisa
menilai dan melihat kebobrokan demokrasi sekalipun ditutup-tutupi dan dikemas dengan
cantik. Demokrasi memang memberikan kebebasan bagi pengusungnya, termasuk
kebebasan untuk membuat hukum. Inilah intisari demokrasi, pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat yang sejatinya adalah menyerahkan urusan membuat hukum dan undang-undang ke
tangan manusia. Fungsi legislatif adalah membuat undang-undang, baik untuk kepentingan
pribadi, partai maupun kepentingan asing yang memungkinkan untuk terjadinya tarik ulur pasal
atau upaya untuk mempermainkan pasal-pasal yang ada untuk suatu tujuan tertentu. Contoh
RUU KKG, UU Migas, UU Minerba, UU Sumber Daya Air dan sebagainya.
Masyarakat sebenarnya sudah muak dengan segala kebobrokan akibat demokrasi. Mahalnya
biaya pemilu membuat celah untuk terjadinya korupsi. Bagaimana tidak melakukan korupsi jika
modal untuk menjadi caleg saja sekitar Rp 1,8 M sampai Rp 8 M, bahkan ada yang harus
merogoh kocek sampai Rp 20 M. (liputan 6.com). Sedangkan gaji anggota legislatif saja
selama 5 tahun menjabat masih kurang untuk menutupi modal yang dikeluarkan. Wajarlah jika
tidak korupsi para caleg harus mencari jalan lain, bahkan sampai melakukan tindakan kriminal
seperti merampok bank.
Disamping korupsi, pemilu juga memicu munculnya konflik-konflik antar kelompok masyarakat
dan antar partai baik secara terbuka maupun tersembunyi melalui paranormal. Bayangkan
pertarungan yang sangat keras akan terjadi antara caleg, sebab dari 200.000 caleg yang
mendaftar hanya 19.000 yang akan jadi. Bisa dipastikan akan ada sekitar 180.000 caleg yang
gagal. Karena itu tak cukup persaingan ini dilakukan sekedar mengandalkan kampanye yang
sudah menguras isi kantong. Sehingga tak tanggung-tanggung para caleg ini menggunakan
jalur lain untuk mendapatkan kemenangan. Mendatangi makam keramat, mandi kembang,
ngalap berkah, menyembah pohon dan sebagainya menjadi ritual baru yang dimunculkan oleh
para caleg. Budaya mistis dan syirik yang harusnya dihilangkan kini ditumbuhsuburkan oleh
calon pemimpin negeri ini. Wajarlah jika kepercayaan masyarakat semakin menurun.
Kepentingan Barat Terhadap Demokratisasi di Indonesia
Jadi harus dipahami bahwa demokrasi bukanlah sekedar pemilu. Wajah demokrasi yang
sebenarnya adalah penyerahan kedaulatan untuk membuat undang-undang ke tangan manusia.
Maka ketika para penguasa negeri ini mengikuti pola pikir demokrasi ala Barat dala
membuatUU dan kebijakan, maka sangat mudah bagi Barat untuk mengeruk kekayaan alam
Indonesia. Di sisi lain, Barat ternyata sangat paiwai membutakan mata penguasa Indonesia
dengan berbagai pujian dan meminta Indonesia untuk tetap berjalan on the track sesuai yang
4. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Pelajar dan Mahasiswa Pengawas Pemilu Jadi Tumbal Demokrasi?
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/08/pelajar-dan-mahasiswa-pengawas-pemilu-jadi-tumbal-demokrasi/ 4/4
diinginkan barat.
Menjelang pemilu 2014 ini, Wakil Kepala Bidang Politik Kedutaan Besar (Kedubes) AS, Graig
L. Hall menyebut Indonesia sebagai teman dekat dalam berdemokrasi. Indonesia merupakan
Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan AS. Karena itu AS ingin belajar
bagaimana cara meningkatkan partisipasi pemilih sebab faktanya angka partisipasi pemilih di
AS sangat rendah, kurang dari 50 persen. (http://www.pikiran-rakyat.com)
Scot Alan Marciel, Dubes AS untuk Indonesia, memuji demokrasi yang berjalan di Indonesia
dewasa ini. Dengan karakter ini, kata Scot, Indonesia mengalami kemajuan pesat selama 10
tahun terakhir ini. Bukan saja di pemerintahan tapi juga dalam segala bidang. Apalagi, kata dia,
Presiden Obama menaruh perhatian besar pada kawasan Asia dan siap menjalin kerjasama
dengan negara-negara di Asia dalam segala bidang, termasuk pertahanan. (detik.com).
Pujian tersebut sekaligus merupakan upaya memastikan Indonesia sebagai mitra demokrasi
yang diharapkan bisa memuluskan upaya penjajahannya di wilayah Asia. Karena itu berbagai
program untuk itu terus diopinikan tak hanya untuk stakeholder tapi juga pada generasi muda
yang akan melanjutkan estafet pembangunan. Hal ini nampak dengan sangat jelasnya pada
tulisan William Blum (mantan staf Kementrian Luar Negeri AS) yang menelanjangi kebobrokan
dan bahaya demokrasi dalam bukunya yang berjudul “America’s Deadliest Export
Democracy” (Demokrasi Racun Amerika Yang Paling Mematikan).
Jadi jika pelajar dan mahasiswa direkrut untuk menjadi pengawas pemilu yang ujung-ujungnya
akan menjadi aktor penjual bangsa atas nama demokrasi, maka adakah sebutan lain untuk
mereka ini selain jadi tumbal demokrasi? Dan jika ini yang kelak bakal terjadi masihkah kita
berharap pada demokrasi? []
Baca juga :
1. Sambut Pemilu, Mahasiswa Muslim Minta RI Tinggalkan Demokrasi
2. Masyarakat Jenuh Ikut Pemilu
3. Jelang Pemilu Transaksi Mencurigakan Naik, Bukti Demokrasi Pangkal Korupsi
4. RUU Pemilu Jadi Kompromi Kepentingan Politik
5. Terjebak Ritual Demokrasi, Pemilu 2014 Umat Pilih Siapa?