Pariwisata seks anak menjadi masalah serius di Indonesia yang berdampak buruk bagi hak dan kesejahteraan anak. Beberapa faktor yang mendorong praktik ini antara lain ketidaksiapan pemerintah dalam mengawasi pariwisata dan lemahnya perlindungan hak anak. Upaya pencegahan dan pemberantasan perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak.
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Penelitian sosial kualitatif
1. PENELITIAN SOSIAL TERSTRUKTUR
DILEMATIS ANTARA KEMAJUAN PARIWISATA DENGAN PENINGKATAN
EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DALAM KASUS CHILD SEX
TOURISM
Disusun Oleh :
Alex Shofihara
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
2. ABSTRAKSI
Selama beberapa tahun terakhir ini ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan
sektor pariwisata sebagai salah satu sektor andalan untuk meningkatkan devisa negara, ada satu hal yang
dilupakan yaitu pemerintah tidak secara jeli melihat hal apa saja yang mungkin muncul dari aspek
kepariwisataan tersebut. Dengan ketidaksiapan pemerintah melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan
dan jaringan kepariwisataan, serta lemahnya benteng keimanan masyarakat menolak berbagai efek negatif
terutama yang berhubungan dengan praktek seksual bagi anak-anak, maka pariwisata seks anak menjadi
kejahatan yang terselubung. Child sex tourism merupakan eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan
oleh laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, baik ke negara
lain ataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya sendiri, dan di tempat tersebut mereka melakukan
hubungan seks dengan anak-anak. Salah satu variasi yang dibuat adalah dengan disediakannya anak-anak di
dunia prostitusi untuk memenuhi hasrat seksual, yang mana hal ini telah menyebabkan banyaknya anak-anak
yang terjerumus ke dalam dunia prostitusi. Hasil akhir dari variasi ini adalah adanya perubahan selera
wisatawan domestik dan internasional dari adult prostitution menuju child prostitution.
Kata Kuci : anak, prostitusi, pariwisata
i
3. DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... .................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB. I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 3
BAB. II. TEMUAN DATA SEKUNDER .......................................................................... 4
A. Ilustrasi Kasus ................................................. ............................................................ 4
BAB. III. KAJIAN LITERATUR DAN KERANGKA PIKIR ......................... ............... 5
A. Definisi Anak ........................................................................................ ....................... 5
B. Perlindungan Anak ........................................................................................ ............. 5
C. Eksploitasi Seksual Komersial Anak ........................................................... ............. 6
D. Instrumen Internasional ............................................................... .............................. 7
BAB IV ANALISIS MASALAH ................................................................... .................... 8
A. Pembahasan .......................................................................................... ....................... 8
BAB V PENUTUP ............................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ................................................................................................... ............... 13
B. Rekomendasi ................................................................................................... ............. 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... ................. 15
ii
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir ini ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya
mengkampanyekan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor andalan untuk meningkatkan
devisa negara, ada satu hal yang dilupakan yaitu pemerintah tidak secara jeli melihat hal apa
saja yang mungkin muncul dari aspek kepariwisataan tersebut. Dengan ketidaksiapan
pemerintah melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan dan jaringan kepariwisataan,
serta lemahnya benteng keimanan masyarakat menolak berbagai efek negatif terutama yang
berhubungan dengan praktek seksual bagi anak-anak, maka pariwisata seks anak menjadi
kejahatan yang terselubung.
Seperti yang telah tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak diartikan
sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun dan termasuk juga bayi yang masih di dalam
kandungungan1. Walaupun batasan belum berusia 18 tahun sudah ditetapkan, namun
konvensi ini masih memberikan peluang bagi setiap negara yang ingin membuat batasan usia
yang lebih longgar dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh konvensi. Kesepakatan
mengggunakan umur sebagai batasan anak memang pada awalnya mendapatkan berbagai
pertanyaan dan menimbulkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra berargumen bahwa
bisa saja seseorang yang telah berusia belum berusia 18 tahun namun sudah lebih dewasa
dibandingkan dengan orang telah berusia lebih dari 18 tahun, sebaliknya bagi kelompok yang
pro dengan batasan usia mengatakan bahwa ketentuan ini berlaku universal, sulit menentukan
batasan kedewasaan jika menggunakan ukuran yang berbeda beda di setiap negara, karena
hal ini akan merugikan anak tersebut. Batasan usia 18 tahun akan memberikan keuntungan
tersendiri bagi anak dimanapun anak tersebut berada.
Menentukan usia yang baku untuk mendefenisikan anak berpengaruh terhadap
bagaimana anak-anak yang menjadi korban diperlakukan oleh hukum. Anak-anak tidak
mungkin memberikan izin untuk dieksploitasi dan didera. Oleh karena itu di depan hukum
mereka harus dianggap sebagai korban bukan sebagai kriminal. Dengan demikian,
membakukan usia 18 tahun sebagai usia tanggung seksual secara internasional akan
memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap anak
1
Pasal 1 Konvensi Hak Anak (Keppres No. 36/1990)
1
5. Anak-anak adalah masa depan bangsa. Bukan hanya untuk dirinya sendiri dan
keluarganya, tetapi juga untuk komunitas, bangsa, dan negaranya. Tidak memperhatikan
kualitas hidup anak sama saja dengan tidak memperhatikan kelangsungan hidup bangsa di
masa depan. Yang patut untuk disayangkan hampir seluruh kajian mengenai kehidupan anak-
anak di berbagai negara terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan
kenyataan yang pahit. Sebagian anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk kekerasan
dan eksploitasi termasuk eksploitasi seks secara komersial
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia telah menjadi
korban-korban perdagangan, sebagian besar di antaranya untuk tujuan seks komersial.
Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010)
menunjukkan berbagai perkara yang ditangani oleh kepolisian RI selama periode 2006-2010
di mana 36 kasus dari 43 kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual telah terungkap dan
53 tersangka berhasil dijerat hukum.
Dalam kajian mengenai wisata seks di Asia Pasifik yang dilaporkan UNICEF pada
tahun 2009, Indonesia merupakan negara ketiga setelah Thailand dan Kamboja sebagai
negara tujuan wisata seks yang melibatkan anak-anak. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan
bahwa baik secara terang-terangan ataupun terselubung, Indonesia telah menjadi negara yang
mengabaikan hak anak-anak, mengeksploitasi mereka dan secara tidak langsung merusak
masa depan bangsa.
Pariwisata seks anak untuk tujuan komersial bukanlah lagi sebuah atau dua buah
kasus, tapi telah menjadi suatu fenomena yang layak untuk diperbincangkan dan
diperkenalkan lebih luas lagi ke publik. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan pengentasan
dan pengorganisasian terhadap anak-anak korban pariwisata seks komersial ini dan juga
terhadap oknum-oknum lain seperti orang-orang dewasa yang terlibat seperti pelaku
kejahatan pariwisata, birokrasi yang lemah, dan juga wisatawan asing yang melakukan
perjalanan wisata untuk tujuan seks. Pariwisata seks komersial anak adalah sub bagian dari
dunia pelacuran, dan dunia pelacuran ini berada pada peringkat ketiga setelah senjata dan
obat-obatan terlarang dalam hal banyaknya orang yang terlibat baik sebagai korban ataupun
pelaku kejahatan. Hal ini disebabkan karena pelacuran dapat memberikan keuntungan materi
yang sangat besar kepada orang-orang yang melakukan eksploitasi.
Banyak hal-hal yang menjadikan pariwisata seks komersial ini semakin lama semakin
marak, misalnya fenomena seks yang disamakan dengan makanan cepat saji (fast food). Di
2
6. mana proses jual beli dapat terlaksana dengan mudah. Permintaan dan penawaran (demand
and supply) yang memberikan keuntungan sangat besar, telah membuat adanya variasi-
variasi yang ditawarkan para prostitution supplier kepada wisatawan. Salah satu variasi yang
dibuat adalah dengan disediakannya anak-anak di dunia prostitusi untuk memenuhi hasrat
seksual, yang mana hal ini telah menyebabkan banyaknya anak-anak yang terjerumus ke
dalam dunia prostitusi. Hasil akhir dari variasi ini adalah adanya perubahan selera wisatawan
domestik dan internasional dari adult prostitution menuju child prostitution.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut, maka pembahasan dalam
makalah ini akan di batasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Apa faktor-faktor yang mendorong terjadinya child sex tourism di Indonesia?
2. Apa saja dampak peningkatan child sex tourism di Indonesia?
3. Bagaimana peran dari pemerintah dalam mengatasi masalah child sex tourism?
3
7. BAB II
TEMUAN DATA SEKUNDER
A. Ilustrasi Kasus
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa dari tahun 2005-2010, mereka telah
mencatat lebih dari 13.703 anak korban eksploitasi seksual di daerah-daerah tujuan wisata di
40 desa di 6 propinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa
Barat dan Jawa Timur. Kompilasi data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
perdagangan anak untuk tujuan seksual, baik untuk pelacuran anak maupun pornografi,
ditemukan di Semarang (Jawa Tengah) dan Indramayu (Jawa Barat). Sementara itu, anak-
anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan pelacuran ditemukan secara merata di
propinsi-propinsi tersebut. Bali dan Nusa Tenggara Barat juga dinyatakan sebagai daerah
tujuan wisata dimana banyak anak menjadi sasaran eksploitasi seksualKejahatan seksual
terhadap anak mengancam industri pariwisata di Indonesia.
Sedangkan menurut Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Terhadap
Anak Sedikitnya ada 60 ribu anak yang menjadi korban pelaku kejahatan pedofil ini. Dari
pengamatan Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak, bahwa untuk
di Bali masih menjadi sasaran empuk wisata seks kaum pedofil. Hal ini terungkap karena
masih adanya pedofil yang tertangkap di Bali.
Direktur Regional Representative Terre Des Hommes Belanda, Frans van Dijk,
menyatakan, eksploitasi seksual pada anak-anak di daerah wisata Bali, Lombok, dan Batam
cukup mengkhawatirkan. Karenanya di tiga daerah wisata Indonesia itu anak-anak korban
eksploitasi seksual penting untuk diberikan advokasi
Program Terre Des Hommes (TDH) Belanda di Indonesia, antara lain, memberikan
bantuan kepada anak-anak korban eksploitasi seksual di tiga daerah wisata tersebut. Menurut
Frans van Dijk, salah satu faktor terjadinya prostitusi anak adalah kondisi kemiskinan dan
keinginan untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Van Dijk juga menambahkan perlu adanya
keberanian pemerintah untuk melindungi anak dari eksploitasi kejahatan seksual. Tentu saja
hal ini harus dibarengi dengan kesadaran masyarakat agar anak-anak terhindar dari pelecehan
dan perdagangan (Disarikan dari http://www.jpnn.com. Senin, 17 Mei 2010)
4
8. BAB III
KAJIAN LITERATUR DAN KERANGKA PIKIR
A. Definisi Anak
Seperti yang telah tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak diartikan
sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun dan termasuk juga bayi yang masih di dalam
kandungungan. Walaupun batasan belum berusia 18 tahun sudah ditetapkan, namun konvensi
ini masih memberikan peluang bagi setiap negara yang ingin membuat batasan usia yang
lebih longgar dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh konvensi.
Kesepakatan mengggunakan umur sebagai batasan anak memang pada awalnya
mendapatkan berbagai pertanyaan dan menimbulkan pro dan kontra2. Bagi kelompok yang
kontra berargumen bahwa bisa saja seseorang yang telah berusia belum berusia 18 tahun
namun sudah lebih dewasa dibandingkan dengan orang telah berusia lebih dari 18 tahun,
sebaliknya bagi kelompok yang pro dengan batasan usia mengatakan bahwa ketentuan ini
berlaku universal, sulit menentukan batasan kedewasaan jika menggunakan ukuran yang
berbeda beda di setiap negara, karena hal ini akan merugikan anak tersebut. Batasan usia 18
tahun akan memberikan keuntungan tersendiri bagi anak dimanapun anak tersebut berada.
B. Perlindungan Anak
Sesuai dengan ketetapan Konvensi Hak Anak, perlindungan hak anak memiliki tiga
3
prinsip yang melekat di dalamnya seperti kepentingan terbaik untuk anak (pasal 3 KHA),
non diskriminasi (pasal 2 KHA), dan pastisipasi (pasal 12 KHA). Kepentingan terbaik untuk
anak maksudnya adalah segala sesuatu yang terbaik seharusnya diberikan kepada anak
seperti pangan, sandang, pendidikan, dan lain-lain. Non diskriminasi maksudnya anak dalam
kesehariannya harus diperlakukan setara tanpa memandang etnis, budaya, dan ras. Partisipasi
maksudnya anak mempunyai hak untuk berperan serta dalam kehidupan masyarakat seperti
hak berkumpul dengan teman sebaya, menyampaikan pendapat, mengikuti kegiatan yang ada
di masyarakat dan lain-lain. Salah satu perlindungan anak adalah perlindungan anak dari
2
ECPAT International. “Global Monitoring Report on the Status of Action against Commercial Sexual
Exploitation of Children: Indonesia”. Bangkok. 2006. http://www.ecpat.net
3
Dalam Konvensi Hak Anak Internasional yang disetujui dalam sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 20
November 1989
5
9. eksploitasi khususnya komersialisasi seks anak dan dalam hal ini yang lebih terfokus pada
masalah eksploitasi seksual anak yang berlindung pada tempat pariwisata
C. Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Untuk mengetahui definisi dan pengertian yang baku terhadap bentuk-bentuk
eksploitasi seksual komersial terhadap anak, Kongres Dunia menentang Seksual Komersial
terhadap Anak (The world Congress for Against Sexual Commercial Exploitation of the
Children) yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia tahun 1996, menetapkan bahwa
semua bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak adalah merupakan pelanggaran
mendasar atas hak-hak anak dan kejahatan terhadap kemanusiaan4. Oleh karena itu, setiap
negara yang menjadi peserta Konvensi Hak Anak (state Party), bila membiarkan semua
bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak tanpa melakukan langkah-langkah
pencegahan, perlindungan maupun pembasmian terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut,
maka negara peserta Konvensi hak Anak (KHA) dapat dianggap melanggar Hak Asasi
Manusia5. Sebab, salah satu hak mendasar yang melekat dalam dari anak adalah hak
mendapat perlindungan (protection Rigths) yang memadai dari negara.
Merujuk ketentuan pasal 34 dan 35 Konvensi Hak Anak (KHA), setiap negara di
dunia yang telah meratifikasi KHA diwajibkan melindungi anak dari semua bentuk
eksploitasi seks dan penyalagunaan seksual6. Kemudian untuk mengimplementasikan
maksud dari pasal 34 dan 35 KHA tersebut, ketentuan KHA mensyaratkan negara-negara
peserta diharuskan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral
guna mencegah bujukan atau pemaksanaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan
seksual, penyalagunaan anak-anak secara eksploitatif dalam bentuk pelacuran atau praktek
seksual lainnya serta pengggunaan anak-anak untuk pertunjukan porno dan bahan-bahan
pornografis.
4
World Vision, “Child Protection: Sexual Exploitation of Children,” Press release, [database
online]://www.worldvision.org/worldvision/wvususfo.nsf/stable/globalissues_childprotection_sexexploit;(diak
ses 29 Desember, 2011)
5
Laura Prewitt, Sexual Exploitation of Children: What is human trafficking and how does it affect children?, on
http://childreninneed.org/magazine/sexual_exploitation.html, (diakses pada 30 Desember 2011)
6
Chidley, Joe et al. 1996. Fighting the child sex trade: New focus on an ancient evil, World Press Review
43(11):6-7, on http://childreninneed.org/magazine/sexual_exploitation.html, (diakses pada 30 Desember
2011)
6
10. D. Instrumen Internasional
Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (ESKA) merupakan instrumen yang pertama mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah
diadopsi oleh 122 pemerintah pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA
yang diadakan di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Dalam deklarasi tersebut telah
disepakati bahwa setiap negara yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi Hak Anak
Internasional (KHA Tahun 1989) harus secara konsisten dan konsekuen melaksanakan setiap
butir dalam pasal konvensi tersebut dalam hal ini khususnya pasal 34 dan 35 yang secara
langsung menentang segala bentuk eksploitasi seksual anak7.
Dalam pasal 34 dan 35 Konvensi Hak Anak (KHA), setiap negara di dunia yang telah
meratifikasi KHA diwajibkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seks dan
penyalagunaan seksual. Kemudian untuk mengimplementasikan maksud dari pasal 34 dan
35 KHA tersebut, ketentuan KHA mensyaratkan negara-negara peserta diharuskan
mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral guna mencegah
bujukan atau pemaksanaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan seksual,
penyalagunaan anak-anak secara eksploitatif dalam bentuk pelacuran atau praktek seksual
lainnya serta pengggunaan anak-anak untuk pertunjukan porno dan bahan-bahan pornografis.
Perjanjian internasional lainnya yang mengatur secara khusus tentang hak-hak anak
diantaranya Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, pelacuran anak
dan pornografi anakdimana didalamnya berisi peraturan-peraturan untuk mencegah, menekan
dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak. Pasal 34 dan pasal
35 Konvensi Hak Anak secara langsung mewajibkan Negara untuk melindungi anak-anak
dari semua bentuk eksploitasi seksual, termasuk pelacuran anak, pornografi anak dan
perdagangan anak8. Pasal-pasal ini merupakan landasarn perlindungan hukum internasional
terhadap anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
7
Campagna, Daniel S. 1988. The Sexual Trafficking in Children: An Investigation of the Child Sex Trade (Dover
MA: Auburn House, on http://www.sp2.upenn.edu/restes/CSEC_Files/CSEC_Bib_August_2001.pdf (diakses
pada 30 Desember 2011)
8
Youth Advocate Program International (YAPI). 1998. Children for Sale: Youth Involved in Prostitution, Pornography and
Sex Trafficking (Washington DC: YAPI), on http://www.sp2.upenn.edu/restes/CSEC_Files/CSEC_Bib_August_2001.pdf
(diakses pada 30 Desember 2011)
7
11. BAB IV
ANALISIS MASALAH
A. Pembahasan
Selama rentang waktu sepuluh terakhir ini pemerintah Indonesia menunjukkan adanya
langkah-langkah serius untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Pada periode itu,
lahir berbagai peraturan perundangan dan kebijakan yang diberlakukan, termasuk pula
meratifikasi berbagai instrumen internasional yang terkait dengan isu hak-hak anak.
Indonesia turut menandatangani Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm (1996) untuk
menghapus Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Karenanya Indonesia terikat secara moral
untuk melakukan langkah-langkah efektif untuk mengatasi persoalan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak.
Eksploitasi seksual komersial dan kekerasan seksual anak sering dilakukan oleh
seseorang yang telah dikenal oleh anak tersebut9, kadang-kadang dilakukan oleh salah
seorang anggota keluarganya. Ketika seseorang menerima eksploitasi seksual maupun
kekerasan seksual biasanya mereka akan ditolak atau menerima stigma dari masyarakat
khususnya jika eksploitasi atau kekerasan seksual tersebut menyebabkan kehamilan atau
diketahui masyarakat umum yang dapat membuat mereka lebih rentan lagi terhadap
perlakuan salah lebih lanjut atau membuat mereka lebih sulit untuk bertahan hidup.
Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan
kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan
modern10.Dari defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial anak,
seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komiditas
yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan
keluarga atau masyarakat. Eksploitasi seksual komersial anak adalah penggunaan seorang
anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku
eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari
9
ECPAT. 1998. Child Pornography on the Internet-Background Papers for Child Pornography on the Internet. A
position Paper for ECPAT International Meeting Lyon, France, May 28-29, http://www.crin.org/iasc/sekiss.htm.
10
Healy, Margaret A., “Child Pornography: An International Perspective,” a working document for the 1996
World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of Children, Stockholm, Sweden, August 27–31, 1996;
Azaola, Elena, Stolen Childhood: Girl and Boy Victims of Sexual Exploitation in Mexico, Mexico City:
Comunicación Gráfica y Representaciones, 2001.(diakases pada 30 Desember 2011)
8
12. eksploitasi seksual pada anak tersebut11. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk
transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan.
Eksploitasi seksual komersial anak mencakup praktek-praktek kriminal yang
merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Deklarasi dan Agenda
Aksi untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrumen
Internasional pertama yang mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai
sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak12. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau
barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut
diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual
komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan
mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. Salah satu bentuk
eksploitasi seksual anak yang paling menjadi fokus perhatian dunia saat ini adalah eksploitasi
seksual anak yang berada di tempat wisata atau lebih dikenal dengan istilah child sex tourism.
Child sex tourism merupakan Eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh
laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, baik
ke negara lain ataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya sendiri, dan di tempat
tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak13. Para wisatawan seks anak
bisa berasal dari wisatawan asing, namun bisa juga berasal dari wisatawanlokal yang sengaja
melakukan perjalanan wisata di dalam negaranya sendiri.
Para wisatawan seks anak ini kebanyakan berasal dari negara-negara maju di mana
kekuatan hukum dinegara mereka sudah sangat kuat dan kepatuhan negara mereka terhadap
berbagai perjanjian tingkatinternasional yang cenderung fanatik karena tidak mau citra negara
maju mereka rusak karenapelanggaran berat atupun ringan terhadap berbagai perjanjian
internasional tersebut. Hal inilah yang menyebabkan para wisatawan tersebut kesulitan
menemukan bentuk pariwisata seks anak di negaramereka yang sudah maju. Oleh karena itu
mereka kerap melakukan perjalanan-perjalanan wisata kenegara-negara berkembang di mana
11
ECPAT, “Child Sex Tourism: Sun, Sand, and Sexual Exploitation,” [database on-line]; available at
http://www.ecpatusa.org/travel_tourism.asp; diakses 30 Desember, 2011
12
Barr, C. W., Clayton, M., Epstein, J., Ingwerson, M., Matloff, J. 1996. Child Sex Trade: Battling a Scourge.
(Boston MA: Christian Science Publishing)
13
Klain, Eva J., 1999. Prostitution of Children and Child-Sex Tourism: An Analysis of Domestic and International
Responses, Washington, DC: National Center for Missing & Exploited Children,
9
13. kekuatan hukum masih lemah14 dan kemungkinan untuk menemukan pariwisata seks anak di
daerah negara berkembang cukup besar.
Tidak peduli apakah seorang anak sepertinya menerima atau secara suka rela turut
serta dalam aktifitas-aktifitas seksual tersebut, tidak pernah ada seorang anak pun yang
mengizinkan dirinya untuk menjadi korban kekerasan apalagi korban eksploitasi seksual.
Mereka mungkin dibohongi, ditipu atau dipaksa oleh situasi-situasi yang berada di luar
kendali mereka seperti kemiskinan atau akibat-akibat dari kondisi masyarakat yang dapat
memaksa anak secara tidak terlihat. Tetapi bagaimana pun anak-anak tersebut tetap
merupakan korban15. Anak-anak berhak atas perlindungan dan membutuhkan perlindungan.
Hal-hal ini adalah tanggung jawab orang dewasa untuk menjamin agar anak-anak tidak
menjadi korban eksploitasi. Pariwisata bukan merupakan penyebab eksploitasi seksual
anak16, tetapi para pelaku eksploitasi anak lah yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang
ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan perjalanan, hotel, penginapan, restoran, penerbangan
dan perusahaan-perusahaan transportasi dan akomodasi lainnya.
Beberapa bisnis mungkin terlibat, misalnya, hotel yang menutup mata terhadap
eksploitasi di dalam fasilitasnya atau para agen perjalanan yang dengan sengaja mengatur
perjalanan seks ke luar negeri.Industri pariwisata memainkan peran penting dan berharga,
jika organisasi-organisasi pariwisataberkomitmen untuk melakukan tindak pencegahan aktif
terhadap wisata seks anak-anak maka akanmempermudah pencegahan terhadap orang-orang
yang ingin memanfaatkan tempat wisata sebagai ruang eksploitasi terhadap anak-anak Ada
banyak faktor yang mempengaruhi mengapa pariwisata seks anak lahir dan terus
meningkatjumlahnya.
Ada dua faktor utama yang mendorong semakin meningkatnya eksploitasi seksual
anak yang khususnya berada di tempat wisata ini. Pertama adalah faktor penarik dimana
merupakan faktor utama penyebab maraknya pariwisata seks anak. Berawal dari adanya
permintaan dari wisatawan-wisatawan asing yang diakibatkan banyaknya promosi yang
14
Klain, Prostitution of Children and Child-Sex Tourism: An Analysis of Domestic and International Responses
(see note 3).on https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/215733.pdf (diakses pada 30 Desember 2011)
15
Ireland, Kevin. 1993. 'Wish you Weren't Here:'The Sexual Exploitation of Children and the Connection with
Tourism and International Travel (London: Save the Children Fund [UK])
16
Hodgson, Douglas. Sex tourism and child prostitution in Asia: Legal responses and strategies, Melbourne
University Law Review 412 (diakses pada 30 Desember 2011)
10
14. dilakukan para prostitution supplier17. Beberapa promosi yang dilakukan oleh prostitution
supplier tersebut antara lain dengan mengatakan bahwa anak-anak lebih aman dari segala
penyakit menular seksual dikarenakan jam terbang ataupun pengalaman anak-anak tersebut di
dunia prostitusi masih minim.
Selain daripada promosi yang diberikan prostitution supplier kepada para wisatawan
seks tersebut, adafaktor penarik lain yang menyebabkan wisatawan memilih anak-anak
dibandingkan orang dewasa, yaitu adanya kepercayaan terhadap mitos bahwa berhubungan
seksual dengan perawan akan memperlancar bisnis dan menjadi obat awet muda untuk
mereka. Untuk mengatasi faktor penarik di atas hanya dapat dilakukan secara mikro artinya
faktor ini cenderung ditangani secara individu per individu, tidak bisa secara menyeluruh atau
sekaligus karena keinginanseksual wisatawan tersebut berbeda-beda dan terselubung18.
Kemudian yang kedua adalah Faktor penarik yang mana merupakan faktor sekunder
penyebab terjadinya pariwisata seks anak karena faktor ini lahir setelah adanya faktor primer
berupa permintaan dari para wisatawan. Faktor ini berdasarkan sudut pandang melalui sisi
anak-anak yang menjadi korban pariwisata seks komersial salah satunya adalah permasalahan
ekonomi19 yang mengakibatkan anak-anak tersebut tidak terpenuhi kebutuhannya secara
finansial. Kebutuhan yang tidak terpenuhi ini dapat berupa hal-hal dasar seperti kurangnya
pendidikan yang pada akhirnya mengakibatkan anak-anak tersebut memiliki kemampuan
intelektual yang rendah sehingga mereka dapat dengan mudah terjerumus ke duni aprostitusi
yang cenderung mengiming-imingi terpenuhinya kebutuhan materi anak-anak tersebut
Dalam Konvensi menentang Ekploitasi seksual anak di Stochlom di mana pariwisata
seks anak merupakan salah satu sub bagiannya, telah banyak dasar-dasar hukum dan kongres-
kongres disepakati ratusan negara di dunia sebagai bentuk komitmen mereka. Namun
ternyata permasalahan ini masih tidak dapat diselesaikan dengan baik. Konvensi PBB
mengenai Hak-Hak Anak (KHA) yang berlaku sejak 2 September 1990 telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui keputusan Presiden No. 36/1990 yang menjadi momentum penting upaya-
upaya pemerintah dan masyarakat madani dalam melindungi hak-hak anak.
17
Staebler, Martin. 1996. Tourism and children inprostitution, paper presented at the World Congress Against
the Sexual Exploitation of Children held at Stockholm, August 27-31).
18
Katz, Nancie L. 1997. Sex tours abroad find US market: Rights group say women are exploited--or still
children, The Boston Globe (June 15):E2. (diakses pada 30 Desember 2011)
19
Seabrook, J. 1997. North-South Relations: The Sex Industry. (Third World Network Features), on
http://www.sp2.upenn.edu/restes/CSEC_Files/CSEC_Bib_August_2001.pdf
11
15. Konvensi ini merupakan sebuah traktat atau perjanjian internasional yang mengatur
pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental dari anak. Dalam
Pasal 32 semua negara harus melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi yang
membahayakan fisik dan moral anak. Pasal 34 secara spesifik mewajibkan semua negara
untuk mengambil tindakan di tingkat nasional, bilateral atau multilateral untuk mencegah
eksploitasi anak untuk tujuan seksual, termasuk pariwisata anak dengan melakukan berbagai
investigasi. Pada tahun 1998 telah lahir sebuah Kode Etik20 Perlindungan Anak-Anak dari
Eksploitasi Seksual dalam Perjalanan dan Pariwisata.
20
Farrior, Stephanie. 1997. The international law on trafficking in women and children for prostitution: making
it live up to its potential, Harvard Human Rights J (Spring), pp. 213 http://www.jstor./334nfm/child-sex-
law.pdf.
12
16. BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak-anak adalah masa depan bangsa karena anak-anak adalah cerminan masa depan,
bangsaIndonesia 20 tahun mendatang dapat disimpulkan dari anak-anaknya pada masa ini..
Dalam kajian mengenai wisata seks di ASEAN yang dilaporkan child wise tourism,
Australia, pada tahun2007, Indonesia dianggap negara ketiga setelah Vietnam dan Kamboja
sebagai negara tujuan wisataseks yang melibatkan anak-anak. Dari hal ini kita dapat
menyimpulkan bahwa baik secara terang-terangan ataupun terselubung, Indonesia telah
menjadi negara yang mengabaikan hak anak-anak,mengeksploitasi mereka, dan secara tidak
langsung merusak masa depan bangsa.
Pariwisata seks anak adalah eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh
laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, baik
ke negara lainataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya sendiri, dan di tempat
tersebut mereka melakukanhubungan seks dengan anak-anak Para wisatawan seks anak bisa
berasal dari wisatawan asing, namun bisa juga berasal dari wisatawan lokal yang sengaja
melakukan perjalanan wisata di dalam negaranyasendiri. Para wisatawan tersebut bisa berasal
dari berbagai jenis latar belakang. Para wisatawan kebanyakan berasal dari negara-negara
maju di mana kekuatan hukum di negaramereka sudah sangat kuat dan kepatuhan negara
mereka terhadap berbagai perjanjian tingkat internasional yang cenderung fanatik karena
tidak mau citra negara maju mereka rusak karena pelanggaran berat atupun ringan terhadap
berbagai perjanjian internasional tersebut.
Hal inilah yangmenyebabkan para wisatawan tersebut kesulitan menemukan bentuk
pariwisata seks anak di negaramereka yang sudah maju. Oleh karena itu mereka kerap
melakukan perjalanan-perjalanan wisata kenegara-negara berkembang di mana kekuatan
hukum masih lemah dan kemungkinan untuk menemukanpariwisata seks anak di daereah
negara berkembang cukup besar.
Dari uraian di atas memang dapat dikatakan bahwa anak-anak Indonesia memang
memilki kecenderungan untuk tidak terlindungi dari eksploitasi seksual. Upaya-upaya masih
harus terus dirancang dan harus ada penguatan birokrasi di Indonesia sehingga nasib anak-
13
17. anak bisa lebih terlindungi. Bagaimanapun anak harus dianggap menjadi korban karena pada
hakekatnya anak tidak punya pilihan kesempatan untuk memilih.
B. Rekomendasi
Pariwisata seks anak merupakan sebuah subbagian dari dunia prostitusi, di mana
dalam penanganannya tidak bisa hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat atau
masyarakat dari suatu level tertentu saja,tapi penanganannya memerlukan partisipasi
masyarakat luas yang berasal dari berbagai level dan latar belakang karena pariwisata seks
anak ini bersifat sangat rahasia, terselubung, dan sulit untuk di deteksi. Namun, ada beberapa
usaha penanganan yang dapat ditempuh unutk mengatasi permasalahan pariwisata seks anak
ini. Secara makro melalui Penegakan hukum oleh pemerintah, tidak hanya sekedar
berkomitmen melalui berbaga ipejanjian internasional ataupun membuat undang-undang
yang terkait dengan masalah ini, tetapi pemerintah juga harus melakukan realisasi secara
bersungguh-sungguh dan melakukanpenegakan birokrasi atas peraturan-peraturan yang telah
ada serta membuat undang-undangdan perjanjian baru jika perlu. Serta Pemerintah sudah
harus mulai memikirkan dan membuat konsep pariwisata ramah terhadap keberadaan anak.
Sedangkan untuk lingkup yang lebih kecil dapat dilakukan dengan pengawasan
terhadap tempat yang beresiko tinggi sebagai tempat wisata seks anak, terutama didaerah
yang masih kurang perhatian pemerintah. Memperketat penegakan hukum di daerahyang
wisatanya sedang berkembang. Daerah wisata yang sedang berkembang secara signifikanbisa
menimbulkan pariwisata seks anak dengan besar juga. .Penyidikan dan proses pengadilan
terhadap para pelaku seks anak yang dilakukan olehpemerintah melalui pihak berwajib.
Bagaimanapun juga, harus ada hukuman nyata bagi parawisatawan seks ataupun prostitution
supplier.
14
18. DAFTAR PUSTAKA
Agustinanto, Fatimana et al., Trafficking of women and children in Indonesia,
International Catholic Migration Commission - American Center for International Labor
Solidarity, Indonesia, 2003. Diakses dari: http://www.icmc.net/pubs/trafficking-women-and-
children-indonesia
Barr, C. W., Clayton, M., Epstein, J., Ingwerson, M., Matloff, J. 1996. Child Sex
Trade: Battling a Scourge. (Boston MA: Christian Science Publishing)
ECPAT, Child Sex Tourism: Sun, Sand, and Sexual Exploitation, [database on-line];
available at http://www.ecpatusa.org/travel_tourism.asp; diakses 30 Desember, 2011 ECPAT
International. “Global Monitoring Report on the Status of Action against Commercial Sexual
Exploitation of Children: Indonesia”. Bangkok. 2006. http://www.ecpat.net
Eva J. Klain, Prostitution of Children and Child Sex Tourism: An Analysis of
Domestic and International Responses, National Center for Missing & Exploited Children,
1999, p.32
Farrior, Stephanie. 1997. The international law on trafficking in women and children
for prostitution: making it live up to its potential, Harvard Human Rights J (Spring), pp. 213
http://www.jstor./334nfm/child-sex-law.pdf.
Healy, Margaret A., Child Pornography: An International Perspective, a working
document for the 1996 World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of
Children, Stockholm, Sweden, August 27–31, 1996; Azaola, Elena, Stolen Childhood: Girl
and Boy Victims of Sexual Exploitation in Mexico, Mexico City: Comunicación Gráfica y
Representaciones, 2001.(diakases pada 30 Desember 2011)
Hodgson, Douglas. Sex tourism and child prostitution in Asia: Legal responses and
strategies, Melbourne University Law Review 412 (diakses pada 30 Desember 2011)
Klain, Eva J., 1999. Prostitution of Children and Child-Sex Tourism: An Analysis of
Domestic and International Responses, Washington, DC: National Center for Missing &
Exploited Children,
15
19. Klain, Prostitution of Children and Child-Sex Tourism: An Analysis of Domestic and
International Responses (see note 3).on https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/215733.pdf
(diakses pada 30 Desember 2011)
RICPQ (1996), Caring for the Future Of Children: A radical agenda for positive
change. Oxford: Oxford University Press.
Save the Children, US (2005). Urban Street Children Empowerment and Support.
Final Report. Jakarta: Save the Children and USAID
Seabrook, J. 1997. North-South Relations: The Sex Industry. (Third World Network
Features), on http://www.sp2.upenn.edu/restes/CSEC_Files/CSEC_Bib_August_2001.pdf
Staebler, Martin. 1996. Tourism and children inprostitution, paper presented at the
World Congress Against the Sexual Exploitation of Children held at Stockholm, August
27-31).
Katz, Nancie L. 1997. Sex tours abroad find US market: Rights group say women are
exploited--or still children, The Boston Globe (June 15):E2. (diakses pada 30 Desember
2011)
World Vision, Child Protection: Sexual Exploitation of Children, Press release,
[databaseonline]://www.worldvision.org/worldvision/wvususfo.nsf/stable/globalissues_child
protection_sexexploit; diakses 29 Desember, 2011
Draft Konggres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak di
Stocholm
UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Fokusmedia, Bandung, 2007
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pradnya Jakarta 1976
16