1. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
EDITORIAL
Salam dari Redaksi
Syukur Alhamdulillah penerbitan Volume II Nomor 2 ini dapat dilaksanakan tepat pada bulan
April 2011. Pada nomor ini diterbitkan hasil penelitian rekan-rekan peneliti dari Magetan,
Madiun, Kediri, Jember, Yogyakarta, serta Banda Aceh.
Artikel-artikel yang ditampilkan merupakan hasil penelitian dalam bidang kesehatan
lingkungan, kesehatan masyarakat, kesehatan anak, keperawatan, kebidanan, serta
pendidikan dalam bidang kesehatan.
Seperti editorial-editorial terdahulu, kami senantiasa mengajak Para Pembaca untuk
mengunjungi jurnal ini dalam versi online di www.suaraforikes.webs.com. Selanjutnya kami
ucapkan terimakasih kepada seluruh Pembaca dan selamat berjumpa pada Volume II Nomor
3, Juli 2011.
Redaksi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
2. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
DAFTAR ISI
PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DEMAM BERDARAH DENGUE DI 66-74
KOTA BANDA ACEH
T. Alamsyah
PENGARUH FAKTOR PETUGAS DIARE PUSKESMAS TERHADAP KUALITAS 75-81
PENATALAKSANAAN DIARE PADA BALITA DI KABUPATEN MAGETAN
Mujiyono
HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL ORANG TUA DENGAN KEKERASAN 82-90
FISIK PADA ANAK UMUR 3-6 TAHUN DI KABUPATEN JEMBER
Gumiarti
PERBEDAAN KEJADIAN ABORTUS BERDASARKAN PARITAS DI RSIA AURA 91-96
SYIFA KABUPATEN KEDIRI
Koekoeh Hardjito, Temu Budiarti, Yuni Mada Nurika
STUDI TENTANG SANITASI RUMAH PENDERITA TB PARU DI WILAYAH 97-104
PUSKESMAS KARANGREJO KABUPATEN MAGETAN TAHUN 2009
Mujiyono, Tiya Rahmawati
HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN KEHAMILAN POST TERM 105-108
Agung Suharto, Evi Nindyasari, Rahayu Sumaningsih
STUDI TENTANG SANITASI RUMAH PENDERITA ISPA DI DESA PAKIS BARU 109-115
KECAMATAN NAWANGAN KABUPATEN PACITAN
Mujiyono, Farida Ririn Anggraini
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG KODE 116-121
ETIK KEPERAWATAN DAN HUKUM KESEHATAN DENGAN KINERJA PERAWAT
DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT PKU
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2009
Fitri Arofiati, Wahyuni
EFEKTIFITAS PELATIHAN KELAS IBU HAMIL UNTUK MENINGKATKAN 122-134
PENGETAHUAN, SIKAP, KETERAMPILAN DAN KUNJUNGAN ANTENATAL
CARE
Puji Sri Hastuti, Heru Santoso Wahito Nugroho, Nana Usnawati
DESKRIPSI KUALITAS INTERNET KAMPUS SECARA MULTI DIMENSI DI 135-138
KAMPUS KEBIDANAN MAGETAN POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
Heru Santoso Wahito Nugroho, Rumpiati
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
3. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DEMAM BERDARAH DENGUE
DI KOTA BANDA ACEH
T. Alamsyah*
ABSTRAK
Demam berdarah hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Jangkitan demam berdarah dengue (DBD) mulai menyerang
sejumlah daerah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan meluas dan merambah ke
daerah endemis baru. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran besarnya masalah
KLB DBD di empat kecamatan (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya, dan Baiturahman).yang
menjadi kecamatan endemis dalam Kota Banda Aceh.
Metode penelitian meliputi penentuan wilayah cakupan (4 kecamatan di Kota Banda
Aceh), pemastian diagnosis (kriteria diagnosis DBD oleh WHO tahun 1997 dan uji IgM Elisa),
pengumpulan data sekunder (rumah sakit, puskesmas, laboratorium, Dinkes Kota, dan data
penunjang lain), pengumpulan data primer (kuesioner penjaringan kasus DBD), penelitian
kasus, dilanjutkan analisis data (deskriptif retrospektif dengan pengumpulan data secara active
case finding yaitu dengan melakukan Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) untuk mengetahui
jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat DBD dan dianalisa menggunakan statistik
epidemiologi yaitu Attack Rate dan Case Fatality Rate).
Simpulan penelitian adalah: telah terjadi KLB DBD di Kota Banda Aceh pada bulan
November, dengan tipe propagated, Kecamatan Baiturahman memiliki jumlah kasus
terbanyak, kasus terbanyak pada umur di atas 15 tahun, dampak gempa dan tsunami
merupakan salah satu faktor determinan, dan sistem surveilans oleh Dinkes Kota Banda Aceh
dan jajarannya belum optimal. Saran: perlu penyuluhan tentang pencegahan dan penanganan
DBD dan berprilaku hidup sehat, Perlu sistem surveilans yang lebih optimal dan terpadu agar
penanganan dan pencegahan KLB DBD dapat terdeteksi secara dini, perlu peningkatan
kerjasama secara lintas sektoral guna penanganan KLB DBD.
Keyword: Surveilans, Malaria,
* = Politeknik Kesehatan Kemenkes Banda Aceh
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam berdarah hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Jumlah penderita cenderung meningkat serta semakin meluas dari
waktu ke waktu baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Jangkitan demam
berdarah dengue (DBD) mulai menyerang sejumlah daerah di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sejak bulan oktober dan terus meluas dan merambah ke daerah endemis baru.
Kasus pertama yang diduga sebagai kasus DBD muncul pada 27 september 2005 yang
menimpa seorang anak yang masih duduk di kelas II SD yang bernama Muhammad Arif Rifat
yang meninggal dunia di RS Harapan Bunda Banda Aceh.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 66
4. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Menurut keterangan dokter yang menangani pasien, pasien datang dengan gejala
muntah dengan cairan kehitaman dan dalam kondisi kritis sehingga dokter memperkirakan
bahwa anak tersebut mengalami (DBD) namun sebelum pemastian diagnosa dengan uji
laboratorium dilakukan, anak tersebut telah meninggal dunia. Korban merupakan penduduk
Lorong gelatik Kampung Surabaya Banda Aceh. Berdasarkan laporan tersebut, Dinas
Kesehatan Kota Banda Aceh mulai melakukan respon akan munculnya waban DBD di Kota
Banda Aceh. Kasus kasus yang memiliki gejala penyakit DBD di anjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium sehingga penegakan diagnosan dapat dilakukan dengan pasti.
Angka insidensi DBD hingga bulan november 2005 telah mengalami peningkatan yaitu
75 kasus dengan CFR 1,33% bila dibandingkan dengan tahun 2004 maka telah terjadi
peningkatan jumlah kasus. Peningkatan kasus paling banyak terjadi pada bulan November
yaitu 48 kasus baru di bandingkan pada bulan November tahun lalu 10 kasus maka
peningkatan kasus telah 4 kali. Hal ini dapat di kategorikan bahwa untuk bulan November Kota
Banda Aceh telah mengalami KLB deman berdarah (DBD) untuk tahun 2005.
Kecamatan yang menjadi daerah endemis di dalam kota Banda Aceh dalam tahun 2005
meliputi Kecamatan Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya dan.Baiturahman. Jumlah desa
endemis dalam Kota Banda Aceh untuk tahun 2005 adalah 10 desa. Kesepeluh desa endemis
dalam wilayah Kota Banda Aceh antara lain adalah ; Desa Lamlagang, Setui, Sukadamai,
Peuniti, Ateuk Pahlawan, Kuta Alam, Kampung Keramat, Banda Baru dan Kampung Pineung.
Tujuan dan Hipotesis
Secara umum tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran besarnya masalah KLB
DBD di empat kecamatan endemis DBD (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya, dan
Baiturahman). Sedangkan tujuan secara khusus adalah: 1) memperoleh kepastian terjadinya
KLB DBD, 2) memperoleh gambaran deskripsi KLB DBD, 3) menetapkan sumber dan cara
penularan KLB DBD, 4) evaluasi program penanggulangan KLB DBD, dan 5) merumuskan
saran, cara penanggulangan, dan pengendalian KLB DBD.
Hipotesis penelitian: Telah terjadi KLB DBD di Kota Banda Aceh tahun 2005.
BAHAN DAN METODE PENELTIAN
Batasan Wialayah Pelacakan
Wilayah cakupan penelitian ini adalah 4 kecamatan endemis di Kota Banda Aceh yaitu;
Kecamatan Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya, dan Baiturahman.
Pemastian Diagnosis
Pemastian diagnosis DBD dilakukan dengan melihat gejala klinis dari pasien serta hasil
uji laboratorium yang dilakukan. Penegakan diagnosis tersebut di dasarkan pada kriteia
diagnosis DBD yang dikeluarkan oleh WHO tahun 1997 dan didukung oleh uji IgM Elisa
(Mac Elisa). Uji ini bertujuan untuk mengetahui kandungan Igmdalam serum pasien, dimana
biasanya pada hari ke 4-5 infeksi virus dengue maka akan timbul IgM dan diikuti oleh IgG.
Pengumpulan Data Sekunder
Untuk menetapkan adanya kejadian KLB dan untuk mengetahui pelaksanaan sistem
surveilans yang telah berlangsung, dilakukan pengkajian terhadap data sekunder meliputi:
1. Data Rumah Sakit
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 67
5. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Berupa data laporan bulanan rumah sakit (RL2a), data laporan kasus rawat inap penderita
DBD di rumah sakit, meliputi tanggal masuk dan keluar dari rumah sakit serta keadaan
pasien sehat atau meninggal setelah menjalani proses perawatan.
2. Data Puskesmas
Berupa data laporan Puskesmas yaitu laporan mingguan (W2), laporan bulanan DBD (W1),
data kasus per desa. Di kumpulkan juga data tentang sarana puskesmas dan tenaga
kesehatan di Puskesmas. Di Samping itu dilakukan juga wawancara dengan petugas DBD
mengenai sistem pencatatan dan pelaporan, tindak lanjut penenmuankasus dan fogging.
3. Data Laboratorium
Data Laboratorium diambil dari catatan medik rumah sakit pada lembar hasil pemeriksaan
Laboratorium berupa pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan jumlah trombosit.
4. Data Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh
Data yang diambil adalah data kasus DBD mingguan, data bulanan selama satu tahun, per
desa dalam wilayah pusksesmas di Kota Banda Aceh. Wawancara terhadap petugas P2
DBD tentang oencatatan, pelaporan dan umpan balik laporan rumah sakit dan puskesmas.
5. Data penunjang Lain
Data ini mengenai kependudukan, geografi dan demografi.
Pengumpulan Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun ditujukan
untuk penjaringan kasus DBD dengan pewawancara dari Puskesmas dan karyasiswa.
Penelitian Kasus
1. Batasan Kasus
Kasus adalah semua penderita yang dirawat dan didiagnosa oleh puskesmas dan rumah
sakit sebagai penderita DBD yang ditemukan pada bulan November 2005 sampai dengan
awal Desember 2005. Kriteria diagnosis sesuai dengan kriteria WHO 1997 (minimal 2
gejala klinis dan 2 gejala laboratoris), atau suspek bila tanpa disertai gejala laboratorium.
2. Batasan Operasional
Kasus DBD adalah semua penderita yang didiagnosis DBD oleh puskesmas dan rumah
sakit berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan bertempat tinggal di wilayah kecamatan
endemis (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya dan.Baiturahman) di Kota Banda Aceh.
Cara Analisa Data
Penyajian data dilakukan secara diskriptif retrospektif untuk mengetahui pola
epidemiologi KLB DBD di Kecamatan Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya dan Baiturahman
dengan pengumpulan data secara active case finding yaitu dengan melakukan Surveilans Aktif
Rumah Sakit (SARS) untuk mengetahui jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat DBD
dan dianalisa menggunakan statistik epidemiologi (Attack Rate dan Case Fatality Rate).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pemastian Diagnosis
Pemastian diagnosis pada KLB DBD didasarkan kepoada gejala klinis yang dialami oleh
kasus dan di pastikan dengan hasil uji laboratorium yang dilakukan di rumah sakit perawatan.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 68
6. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan dengan pemeriksaan serologis dengan test Dengue
Blot Kit (Teknik Elisa) untuk mendeteksi IgM Dengue. Gejala klinis penderita DBD di 4
kecamatan endemis yang diperoleh dari 30 orang penderita adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Distribusi Gejala Klinis Penderita KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005
No Gejala Klinis Jumlah Penderita Persentase (n=30)
01. Demam 30 100.0
02. Pusing / Sakit Kepala 23 76.6
03. Sakit Perut 11 36.6
04. Muntah 30 100.0
05 Bercak Merah di Kulit 5 16.6
Gejala klinis utama yang dialami oleh kasus adalah demam, muntah, pusing/sakit kepala, sakit
perut dan bercak merah di kulit. Hasil pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan oleh rumah
sakit tempat perawatan menunjukkan bahwa seluruh penderita yang dirawat mendukung
diagnosa terkena DBD.
Penetapan KLB
Penetapan kejadian KLB dilakukan dengan melihat adanya peningkatan kasus yang
terjadi untuk bulan November 2005 di Kota Banda Aceh khususnya di Kecamatan Kuta Alam,
Syiah Kuala, Banda Raya dan Baitussalam. Jika di bandingkan dengan bulan November pada
tahun 2004 maka peningkatan kasus sudah mendekati angka 4 kali lipat.
Gambar 1. Jumlah Kasus Penyakit DBD berdasarkan Bulan Kejadian Di
Kota Banda Aceh Tahun 2004-2005
60
2004
50
2005
40
Jumlah
30
20
10
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2004 9 14 18 3 2 1 1 2 6 0 10 7
2005 0 0 1 0 1 3 4 5 6 7 48 5
Bulan
Deskripsi Kasus Menurut Orang
Jumlah kasus pada KLB DBD di empat kecamatan endemis dalam Kota Banda Aceh untuk
priode bulan November 2005 ditemukan 30 kasus berdasarkan umur dan jenis kelamin yang
terdistribusi dalam Tabel 5. Tabel ini menunjukkan bahwa golongan umur yang memiliki
frekuensi tertinggi menderita DBD adalah ≥ 15 tahun yaitu 21 orang sedangkan golongan
umur terendah adalah < 1 tahun yaitu 1 orang. Dari tabel diatas didapat informasi bahwa telah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 69
7. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
terjadi transisi golongan umur yang penderita DBD hal ini dimungkinkan bahwa golongan umur
≥ 15 tahun memiliki mobilitas yang relatif tinggi.
Tabel 5. Distribusi Umur dan Jenis Kelamin Penderita KLB DBD
di Kota Banda Aceh Tahun 2005
Umur Jumlah Penderita Total
Laki-Laki Perempuan
0 – 1 Tahun 0 1 1
1 – 4 Tahun 0 2 2
5 – 14 Tahun 4 2 6
≥ 15 Tahun 10 11 21
Total 14 16 30
Deskripsi Kasus Menurut Tempat
Penemuan kasus dilakukan di empat kecamatan endemis, kasus pertama pada bulan
November 2005 ditemukan di kecamatan Syiah Kuala yang menderita sakit pada tanggal 5
November selanjutnya kasus kedua ditemukan di Kecamatan Baiturahman pada tanggal 6
November. Letak kedua Kecamatan tersebut relatif cukup jauh sehingga menimbulkan asumsi
bahwa sumber penyebarannya adalah lebih dari satu.
Tabel 6. Distribusi Jumlah Penderita Berdasarkan Kecamatan pada KLB DBD
di Kota Banda Aceh Tahun 2005
Kecamatan Jumlah Persen
Kuta Alam 7 23.3
Syiah Kuala 5 16.7
Banda Raya 7 23.3
Baiturahman 11 36.7
Total 30 100.0
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa persentase penderita terbanyak ditemukan di
Kecamatan Baiturahman yaitu 30 (36.7%) orang, sedangkan yang terendah pada kecamatan
Syiah Kuala yaitu 5 (16.7%) orang. (spot map terlampir)
Diskripsi Kasus Menurut Waktu
Dari laporan W1 Puskesmas menunjukkan bahwa pada bulan November kasus pertama
terjadi pada tanggal 5 November. Untuk bulan November puncak kasus terjadi pada tanggal 7
(minggu ke 1) dan 17 November (minggu ke 3) dengan jumlah kasus 4 orang. Kurva epidemik
(Gambar 2) dengan interval satu hari menunjukkkan gambaran kurva type propagated, dimana
kurva tersebut memiliki beberapa puncak. Hal ini dapat menggambarkan bahwa sumber
penular bukan merupakan vaktor tunggal dangan kata lain bahwa sumber penular lebih dari
satu atau dari orang ke orang.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 70
8. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Gambar 2. Kurva Epidemik KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005
Identifikasi Sumber dan Cara Penularan
1. Sumber Penularan
Sumber penularan diperkirakan tidak hanya satu tetapi ada beberapa sumber. Kasus
pertama untuk bulan November ditemukan di Kecamatan Syiah Kuala yaitu pada tanggal 5
November 2005, kasus adalah seorang laki-laki yang berusia 45 tahun, sedangkan kasus
kedua ditemukan di Kecamatan Baiturahman yang menimpa anak perempuan berusia 6
tahun. Kedua Kecamatan tersebut merupakan dua kecamatan yang relatif berjauhan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap kasus pertama bahwa sebelum menderita sakit
kasus pernah berkunjung ke luar kota yang merupakan daerah endemis berjangkitnya
DBD. Kasus ke dua yang terjadi tanggal 6 November pada seorang anak berusia 6 tahun
yang berasal dari Kecamatan Baiturahman merupakan sumber penular bagi kasus ke tiga
yang merupakan orang tua dari kasus ke dua. Namun hal ini bisa dimungkinkan
sebaliknya, karena daya tahan tubuh anak lebih rendah sehingga anak lebih dahulu
terserang di bandingkan orang tuanya. Selanjutnya penyebaran kasus dimungkinkan terjadi
hal ini dikarenakan keempat kecamatan ini merupakan kecamatan endemis yang ada di
dalam Kota Banda Aceh.
2. Faktor Kebiasaan dan Lingkungan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus dan Vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia oleh
nyamuk Aedes Aegypti. Cara penularan diperkirakan melalui gigitan nyamuk yang berada
di lingkungan rumah penderita, atau di lingkungan sekitar rumah penderita. Berdasarkan
hasil pengamatan, di lingkungan rumah penderita sangat memungkinkan menjadi tempat
perindukan nyamuk dimana banyak ditemukan kaleng dan ember bekas di sekitar rumah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 71
9. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
yang digenangi air. Di samping itu kondisi lingkungan yang kurang sehat yaitu masih
banyak sampah dan ilalang di sekitar rumah merupakan tempat yang disukai nyamuk .
Hasil wawancara dengan responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner ditemukan
ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya peningkatan vektor diantarannya
kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut:
Tabel 7. Distribusi Hasil Wawancara dengan Kasus Penderita KLB DBD
di Kota Banda Aceh Tahun 2005
No Wawancara Ya Tidak
01. Apakah tempat penempungan air di kuras tiap minggu ? 22 8
02. Apakah tempat penempungan air diberi Abate ? 0 30
03. Apakah ada timbunan sampah disekitar rumah ? 17 13
04. Apakah ada timbunan kaleng bekas / ban bekas ? 15 15
05. Apakah ada tonggak bambu patah disekitar rumah ? 10 20
06. Apakah disekitar rumah pernah dilakukan pengasapan (fogging)? 0 30
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa pemberian bubuk abate pada tempat penampungan air
dan pelaksanaan pengasapan (fogging) tidak pernah dilakukan dilakukan selama 3 (tiga)
bulan terakhir khususnya stelah tsunami.
Hasil pengamatan terhadap lingkungan tempat tinggal responden dengan menggunakan
alat bantu kuesioner juga ditemukan ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya
peningkatan vektor diantarannya sebagai berikut :
Tabel 8. Distribusi Hasil Observasi Terhadap Lingkungan Penderita KLB DBD
di Kota Banda Aceh Tahun 2005
No Observasi Ya Tidak
01. ada / tidak baju yang bergantungan 30 0
02. ada / tidak sampah di sekitar rumah 17 13
03. ada / tidak kaleng bekas / ban bekas 15 15
04. ada / tidak tonggak bambu patah 10 20
05. ada / tidak jentik / larva di bak penempungan air (gunakan senter) 18 12
Tabel 8 menunjukkan bahwa kebiasaan menggantung baju terutama di kamar tidur adalah
kebiasaan yang sangat sering dilakukan berdasarkan hasil pengamatan 30 (100%) kasus.
Hal ini merupakan kebiasaan yang seharusnya tidak dilakukan karenan bisa menjadi
tempat perlindungan nyamuk, walaupun saat dilakukan penyemprotan anti nyamuk.
3. Penelusuran Data sekunder
Pengamatan penyakit DBD di Puskesmas meliputi kegiatan pencatatan dan pelaporan
data. Data laboran mingguan (W2) biasanya tidak dilaporkan tiap minggu. Proses
pelaporannya dilakukan setiap satu bulan sekali, ata pada desempatan tertentu bila ada
orang puskesmas yang datang ke Dinas Kota.
Hasil wawancara dengan petugas surveilans di Dinas Kota menyebutkan bahwa pelacakan
kasus DBD umumnya di lakukan di Rumah Sakit perawatan, hasil pelacakan kasus tersebut
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 72
10. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
baru di konfirmasi kembali ke Puskesmas dan di buatkan Laporan Kasus KLB (W1). Hal ini
merupakan suatu kendala yang masih ditemukan di lapangan sehingga proses antisipasi
terhadap peningkatan kasus sukar untuk dilakukan.
Pelaksanaan pengasapan (fogging) hanya dilakukan pada saat ditemukan kasus, dan
dilakukan hanya untuk 40 rumah di lingkungan sekitar rumah ditemukan kasus. Di samping
pelaksaaan fogging, Dinas Kesehatan juga melakukan penyuluhan lingkungan dan
melaksanakan gotong royong massal di lingkungan sekitar.
Hasil wawancara dengan petugas di Dinas Kota Banda Aceh juga mengungkapkan bahwa
dalam tahun ini kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) tidak pernah dilakukan. Hal ini
merupakan faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya KLB DBD untuk tahun 2005 di
Kota Banda Aceh.
Pembahasan
Penyelidikan KLB yang dilakukan di Kota Banda Aceh ini masih banyak mempunyai
kelemahan diantaranya adalah tidak dilakukan penelitian dengan menggunakan kasus-kontrol
yang bertujuan untuk mengetahui factor resiko penyebab terjadinya KLB-DBD tersebut.
Penegakan diagnosis pada kasus KLB DBD di Kota Banda Aceh dilakukan dengan
pemeriksaan serologis (Dengue Blot) untuk mengetahui IgM Dengue. Penggunaan metode ini
dengan alasan karena lebih cepat dan mudah dilakukan serta memiliki sensitifitas yang tinggi.
Hasil pemeriksaan terhadap semua kasus menunjukkan bahwa semua kasus positif terkena
DBD. Hasil uji laboratorium ini merupakan hasis diagnosa pada Rumah sakit tempat pasien
mendapatkan perawatan.
Penetapan adanya KLB DBD untuk kota Banda Aceh dilakukan dengan membandingkan
data jumlah kasus pada priode bulan November tahu 2004 dengan priode bulan yang sama
pada tahun 2005. Dibandingkan jumlah kasus bulan November 2004 dengan bulan November
tahun 2005 jumlah adalah 4 kali lipat, peningkatan ini dapat dipakai sebagai indikator
terjadinya KLB DBD di Kota Banda Aceh.
Gambaran kurva epidemik dengan interval satu hari menunjukkan kurva yang terbentu
adalah type propagated, dimana menunjukkan beberapa puncak kasus dalam satu bulan.
Sumber penularan KLB ini diperkirakan berasal lebih dari satu sumber dikarenakan lokasi
kejadian kasus pertama dan kedua berada terpisah relatif jauh. Hal ini berarti bahwa
penyebaran kasus DBD adalah berasal dari orang ke orang. Hasil wawancara dengan
Pelaksana Program DBD (P2DBD) didapat informasi bahwa Kota Banda Aceh merupakan
daerah endemis DBD di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dampak musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004 yang lalu menyebabkan
rendahnya kualitas lingkungan masyarakat. Hasil investigasi yang dilakukan melalui
wawancara dan observasi terhadap lingkungan tempat tinggal kasus menunjukkan bahwa
kualitas lingkungan masih rendah. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya sampah yang
berserakan di lingkungan sekitar, yang memungkinkan menjadi tempat perindukan nyamuk
Aedes aegypty yang merupakan nyamuk penular DBD. Faktor inilah yang menyebabkan
terjadinya peningkatan jumlah kasus DBD dalam masyarakat.
Di samping itu, terbatasnya dana dan sumberdaya untuk melakukan pemantauan jentik,
pelaksanaan fogging dan sistem sulveilans yang belum optimal juga menjadi salah satu faktor
yang penanganan KLB DBD sukar untuk diatasi.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 73
11. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Telah terjadi KLB DBD di empat kecamatan endemis (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya
, dan Baiturahman) dalam Kota Banda Aceh propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Kejadian KLB DBD di Kota Banda Aceh terjadi pada bulan November dengan pola KLB
adalah type propagated, yaitu sumber penularan lebih dari satu.
3. Kecamatan Baiturahman adalah kecamatan yang memiliki jumlah kasus terbanyak yaitu 11
kasus dari 30 kasus yang diinvestigasi.
4. Kasus terbanyak adalah golongan umur diatas 15 tahun yaitu 21 orang.
5. Dampak Gempa dan Tsunami merupakan salah satu factor determinan terjadinya KLB DBD
di Kota Banda Aceh.
6. Sistem surveilans yang dilakukan oleh Dinkes Kota Banda Aceh dan jajarannya masih
belum optimal.
Saran
1. Perlunya dilakukan penyuluhan tentang pencegahan dan penanganan DBD serta selalu
menjaga kebersihan lingkungan dan berprilaku hidup sehat.
2. Perlunya dilakukan sistem surveilans yang lebih optimal dan terpadu sehingga proses
penanganan dan pencegahan KLB DBD dapat terditeksi secara dini
3. Perlunya melibatkan dan meningkatkan kerjasama secara lintas sektoral guna penaganan
KLB DBD.
DAFTAR PUSAKA
Badan Pusat Statistik. (2003). Banda Aceh Dalam Angka Angka 2003, Badan Pusat Statistik
Kota Banda Aceh.
Berkow. R, 1999, The Merck Manual, Bina Rupa Aksara, Jakarta
Chin. J, 2000, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Center for Diseases Control adn
Prevention, Atlanta USA
Depkes RI, 2000, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengus dan Demam
Berdarah Dengue, WHO dan Depkes RI
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. (2003). Profil Kesehatan Kota Banda Aceh Tahun 2003,
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh.
Djallalluddin, dkk, Gambaran Penderita KLB DBD di Kabupaten Banjar dan Kota Banjar Baru
Tahun 2001. http://dexa-medica.com
Rezeki. S, Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Depkes RI, Jakarta
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 74
12. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
PENGARUH FAKTOR PETUGAS DIARE PUSKESMAS TERHADAP
KUALITAS PENATALAKSANAAN DIARE PADA BALITA
DI KABUPATEN MAGETAN
Mujiyono*
ABSTRAK
Penyakit diare merupakan salah satu masalah penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Kebijaksanaan teknis dalam
pemberantasan diare adalah tatalaksana kasus diare yang tepat dan efektif. Tatalaksana
kasus diare yang efektif dan efisien di sarana kesehatan mempunyai potensi besar untuk
mempercepat upaya penyembuhan dan mengurangi resiko kematian akibat diare.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis kualitas tatalaksana diare pada balita
di Puskesmas. Jenis penelitian adalah penelitian penjelasan dan evaluatif karena dalam
penelitian ini menekankan hubungan antar variabel penelitian dan menguji hipotesis yang
telah dirumuskan sebelumnya. Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Magetan dengan
sampel sebanyak 21 responden yang di ambil secara total sampling. Untuk mengetahui
hubungan antar variabel digunakan uji statistik regresi ganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tatalaksana diare pada balita sebagian
besar 13 (62%) kualitas tatalaksanya dalam kategori baik, lama kerja sebagian besar 9 (43%)
lama kerja antara 11- 21 tahun, pendidikan responden sebagian besar 12(57%) pendidikannya
Sekolah Perawat Kesehatan, sikap terhadap tatalaksana diare pada balita sebagian besar 13
(62%) sikapnya dalam kategori baik, tidak ada hubungan antara lama kerja petugas dengan
kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas, tidak ada hubungan antara pendidikan
petugas dengan kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas, tidak ada hubungan
antara pengetahuan petugas dengan kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas,
tidak ada hubungan sikap petugas dengan kualitas tatalaksana diare pada balita di
Puskesmas.
Kata kunci: Pendidikan, Lama kerja, Pengetahuan, Sikap dan Kualitas tatalaksana diare
*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Madiun
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah
masyarakat utama di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan tingginya angka kesakitan dan
kematian yang disebabkan oleh diare, khususnya pada bayi dan anak balita. Berdasarkan
hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 2004), angka kesakitan diare pada semua
golongan umur saat ini adalah 280/1000 penduduk, pada golongan balita episode diare adalah
1,5 kali pertahun. Sedangkan angka kesakitan bila diproyeksikan pada penduduk Indonesia
tiap tahunnya terdapat 112.000 kematian pada semua golongan umur (54/1000 penduduk)
pada balita terjadi 55.000 kematian (2.5/1000 balita). Hal ini disebabkan antara lain masih
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 75
13. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
rendahnya penduduk yang memanfaatkan jamban dan air bersih serta tatalaksana diare di
rumah tangga dan masyarakat.
Survey Morbiditas dan tatalaksana penderita diare dari 40 Puskesmas di 10 Propinsi
Sumatera Utara, Jogjakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Utara dengan hasil antara lain angka kesakitan diare semua golongan
umur meningkat dari 28/100 tahun 1996 menjadi 1,28 kali kali/balita/tahun.
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare di antaranya faktor lingkungan, gizi,
kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat. Penularan
penyakit diare terjadi melalui kontaminasi tangan, alat makan serta melalui makanan oleh
kuman penyebab yang terdapat dalam tinja penderita, kebiasaan hidup yang tidak mengikuti
kaidah kebersihan akan meningkatkan resiko kejadian penyakit diare. Sedangkan kesehatan
lingkungan, penyediaan air bersih dan pemanfaatan jamban keluarga yang tidak saniter dapat
berperan mendukung kehidupan dan penyebaran kuman penyebab diare.
Kebijakan teknis dalam pemberantasan penyakit diare adalah tata laksana kasus diare
yang tepat dan efektif melalui upaya rehidrasi oral dengan oralit dan cairan rumah tangga,
meneruskan makanan sedikit demi sedikit tapi berulang-ulang selama diare dan makanan
ekstra sesudah diare. ASI juga diteruskan, cairan intravena hanya untuk dehidrasi berat. Salah
satu prioritas utama pemerintah dalam pengembangan pemberantasan penyakit diare adalah
meningkatkan efektifitas penatalaksanaan diare pada anak balita, termasuk upaya rehidrasi
oral. Kematian akibat diare akut sering disebabkan oleh kehilangan banyak cairan dan garam
yang sering disebut dehidrasi. Kebijakan program pemberantasan diare merupakan
tatalaksana kasus diare yang efektif dan efisien di sarana kesehatan dan mempunyai potensi
besar untuk mempercepat penyembuhan. Oleh karena itu peranan petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan terhadap balita penderita diare akut sesuai standar sangat diharapkan.
Berdasarkan urutan sepuluh penyakit terbanyak di Kabupaten Magetan tahun 2006
penyakit diare menduduki peringkat ke-8 dari seluruh jumlah kunjungan puskesmas dan
urutan ke-2 untuk penyakit menular dan belum pernah dilukan evaluasi tentang kualitas
tatalaksana diare oleh petugas kesehatan
Dengan melihat masih tingginya angka kesakitan diare yang terjadi pada bayi dan
balita khususnya di Kabupaten Magetan, perlu dilakukan penelitian tentang penatalaksanaan
diare akut yang dilakukan oleh petugas kesehatan Puskesmas di Kabupaten Magetan guna
mendapatkan data dasar untuk evaluasi terhadap program pemberantasan diare yang
dilaksanakan dan untuk menentukan intervensi program pemberantasan diare selanjutnya.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara perilaku
petugas ( Pendidikan, lama kerja, pengetahuan dan sikap ) dengan kualitas tatalaksana diare
akut pada balita yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas di Kabupaten Magetan
Propinsi Jawa Timur.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis hubungan tingkat pendidikan petugas dengan kualitas penatalaksanaan
standar diare pada balita di Puskesmas
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 76
14. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
2. Menganalisis hubungan lama kerja petugas dengan kualitas penatalaksanaan standar
diare pada balita di Puskesmas
3. Menganalisis hubungan pengetahuan petugas dengan kualitas penatalaksanaan standar
diare pada balita di Puskesmas
4. Menganalisis hubungan sikap petugas dengan kualitas penatalaksanaan standar diare
pada balita di Puskesmas
5. Menganalisis kualitas tatalaksana standar diare pada Balita di Puskesmas meliputi ;
ketepatan diagnosa, penetapan derajat dehidrasi, cara merawat penderita diare dengan
dehidrasi ringan, sedang dan berat serta diare tanpa dehidrasi
METODE PENELITIAN
Sesuai tujuan, jenis penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory) dan evaluatif.
Variabel bebas penelitian adalah tingkat pendidikan, lama kerja, pengetahuan, sikap,
sedangkan Kualitas penatalaksanaan standar diare akut di Puskesmas merupakan variabel
terikat. Populasi penelitian adalah tenaga kesehatan yang bertugas di bagian pengobatan
Puskesmas di seluruh wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan sejumlah 21 orang.
Penelitian ini menerapkan analisis univariat berbentuk distribusi frekuensi untuk
mendeskripsikan semua variabel. Analisis bivariat digunakan untuk menguji hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat. Uji statistik yang digunakan adalah uji regresi ganda
dengan bantuan SPSS for Window versi 12.00, dengan tujuan untuk menguji hipotesis
penelitian. Penerimaan H0 ditentukan jika signifikansi koefisien regresi dari konstanta dan
masing-masing variabel dengan uji t lebih besar dari 0,05, sebaliknya penerimaan H 1
ditentukan jika signifikansi koefisien regresi dari konstanta dan masing-masing variabel lebih
kecil atau sama dengan 0,05 yang berarti kualitas tatalaksana diare pada balita berpengaruh
terhadap masing masing variabel yaitu lama kerja, pendidikan, pengetahuan dan sikap.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Skoring terhadap hasil observasi kualitas penatalaksanaan diare menunjukkan bahwa
skor tertinggi dan terendah masing-masing 22 dan 10. Sedangkan skor rata-rata adalah 17.
Ada 13 (62%) orang dengan skor di atas rata-rata, diklasifikasikan dalam kategori baik dalam
melakukan penatalaksanaan diare terhadap balita yang datang ke Puskesmas. Data kualitas
penatalaksanaan diare menurut lama kerja, pendidikan, pengetahuan, dan sikap disajikan
sebagai berikut.
Tabel 1. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Lama Kerja
Kualitas Tatalaksana
No. Lama kerja Baik % Kurang % Jumlah %
1. < 10 Th 4 19 3 14 7 33
2. 11 – 20 Th 6 29 3 14 9 43
3. 21 - 30 Th 3 14 2 10 5 24
Jumlah 13 62 8 38 21 100
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 77
15. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Tabel 2. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Pendidikan Petugas
Kualitas Tatalaksana
No Pendidikan Baik % Kurang % Jml %
1. SPK 8 38 4 19 12 57
2. Bidan 1 5 3 14 4 19
3. Akper 4 19 1 5 5 24
Jumlah 13 62 8 38 21 100
Tabel 3. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Tingkat Pengetahuan Petugas
No. Pengetahuan Kualitas Tatalaksana Jumlah %
Baik % Kurang %
1. Baik 9 43 2 10 11 53
2. Kurang 4 19 6 28 10 47
Jumlah 13 62 8 38 21 100
Tabel 4. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Sikap Petugas
No Sikap Kualitas Tatalaksana Jumlah %
Baik % Kurang %
1. Tepat 8 38 4 19 12 57
2. Kurang Tepat 5 24 4 19 9 43
Jumlah 13 62 8 38 21 100
Tabel 5. Ringkasan Hasil Uji Regresi Ganda
Indikator Nilai
R 0,657
R Square 0,432
Adjusted R Square 0,290
Standard Error of the Estimate ( SEE ) 8,42833
Hasi uji F ( Anova ) 3,038
Durbin Watson 1.781
Koefisien regresi masing-masing prediktor
- Konstanta -5,188( lambang : a )
- X1 = Prediktor I ( Lama kerja ) 0,314 ( lambang : b1)
- X2 = Prediktor II ( Penddikan ) 0,290 ( lambang :b2)
- X3 = Prediktor III ( Pengetahuan ) 0,659 ( lambang : b3)
- X4 = Prediktor IV ( Sikap ) -0,159 ( lambang : b4)
Hasil uji t untuk masing-masing prediktor
- Konstanta -0,215 ( signifikansi : 0,832 )
- X1 = Prediktor I ( Lama kerja ) 1,390 ( signifikansi : 0,184 )
- X2 = Prediktor II ( Penddikan ) 1,258 ( signifikansi : 0,226 )
- X3 = Prediktor III ( Pengetahuan ) 3,356 ( signifikansi : 0,004 )
- X4 = Prediktor IV ( Sikap ) -0,779 ( signifikansi : 0,447 )
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 78
16. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Hasil uji regresi ganda disajikan pada Tabel 5, dengan interpretasi sebagai berikut :
1) Nilai R = 0,657 berarti sebenarnya ada korelasi antara lama kerja, pendidikan, pengetahuan
dan sikap dengan kualitas tatalaksana diare
2) Nilai Adjusted R Square 0,290 menunjukkan bahwa hanya 29% variasi dari kualitas
tatalaksana diare disebabkan oleh variasi lama kerja, pendidikan, pengetahuan dan sikap
3) Nilai uji anova adalah 3,038 dengan signifikansi 0,048 (< 0,05) sehingga model regresi
dapat digunakan untuk prediksi.
Pembahasan
Pengaruh Lama Kerja Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare di Puskesmas
Lama kerja seseorang petugas dalam suatu bidang berhubungan dengan tingkat
pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang yang ditangani, lama kerja ikut menentukan hasil
kerja seseorang dan juga akan menambah pengalaman seseorang dalam menjalankan
pekerjaan sehari hari. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh lama
kerja terhadap kualitas tatalaksana diare. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak
terdapat perbedaan antara responden yang lama kerjanya lebih dari 10 tahun dengan yang
kerjanya kurang dari 10 tahun. Hal ini terjadi karena pada umumnya responden dalam
tatalaksana diare menggunakan buku pedoman yang sama dan mendapat pelatihan
tatalaksana dengan materi yang sama dan dituntut untuk menangani secara profesional dalam
menangani kasus diare karena program tatalaksana diare merupakan program utama Dinas
Kesehatan seluruh Indonesia.
Adanya responden yang mempunyai masa kerja lebih dari 20 tahun namun kualitas
tatalaksanya dalam kategori kurang, barangkali disebabkan oleh adanya kejenuhan dalam
kerja, sehingga mereka bekerja tidak sesuai prosedur yang ada. Untuk itu diperlukan suatu
penyegaran agar mereka dapat bekerja lebih baik.
Pengaruh Tingkat Pendidikan Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare
Latar belakang yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap cara berfikir,
merencanakan dan melaksanakan suatu kegiatan serta dalam menghadapi suatu
permasalahan, demikian juga halnya dengan latar belakang pendidikan petugas kesehatan
dalam penatalaksanaan diare pada balita di puskesmas. Dapat diasumsikan bahwa tingkat
pendidikan merupakan salah satu pendukung dalam pelaksanaan tugas dengan baik.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh pendidikan petugas
terhadap kualitas tatalaksana diare. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan antara responden yang yang berpendidikan SPK, Bidan maupun Akper.
Menurut Ardhana, pengetahuan seseorang yang akan membentuk tindakan dalam
suatu kegiatan tidak hanya didapat dari pendidikan formal saja, pengetahuan ini bisa saja
didapat dari berbagai sumber seperti media masa, buku petunjuk, media poster atau dari
media elektronik. Dengan demikian, responden yang berpendidikan SPK mungkin saja
mempunyai pengetahuan yang relatif sama bahkan lebih dengan yang berpendidikan Bidan
maupun Akper. Di samping itu, motivasi responden untuk melakukan penanganan yang baik
pada penderita diare merupakan keharusan yang dilaksanakan sesuai petunjuk pedoman
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 79
17. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
tatalaksana diare yang di terbitkan oleh Departemen Kesehatan. Di samping itu, responden
juga mendapat pelatihan dalam tatalaksana dengan materi yang sama dan selalu ada
supervisi dari Dinas Kesehatan Kabupaten maupun Provinsi untuk mengurangi angka
kematian akibat diare.
Pengaruh Tingkat Pengetahuan Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare
Pengetahuan merupakan salah satu dari komponen pikiran dan perasaan yang dapat
menetukan apakah seseorang akan bertindak. Pengetahuan merupakan bagian dari faktor
predisposing atau faktor dari diri sendiri yang merupakan pemacu motivasi untuk berperilaku
dan bertingkah laku.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh pengetahuan petugas
terhadap kualitas tatalaksana diare. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan antara responden yang yang berpengetahuan baik maupun yang berpengetahuan
kurang. Hal ini mungkin karena tatalaksana diare merupakan program yang sudah ditetapkan
oleh Departemen Kesehatan, dengan pedoman yang harus diikuti oleh petugas kesehatan
dalam penanganan kasus diare dan setiap tahunnya selalu ada pelatihan dan supervisi dari
Dinas Kesehatan.
Pengaruh Sikap Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare
Sikap merupakan respon evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif. Hal ini
berarti bahwa dalam sikap terkandung adanya preferensi atau rasa suka dan tak suka
terhadap sesuatu sebagi obyek sikap.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh sikap petugas
terhadap kualitas tatalaksana diare di Puskesmas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tidak terdapat perbedaan antara responden yang yang bersikap tepat maupun yang bersikap
kurang tepat dalam tatalaksana diare.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan penelitian adalah:
1. Sebagian besar petugas memiliki kualitas tatalaksana diare dalam kategori baik
2. Sebagian besar petugas memiliki lama kerjanya 11–21 tahun
3. Sebagian besar petugas berpendidikan Sekolah Perawat Kesehatan
4. Sebagian besar petugas memiliki pengetahuan dalam kategori baik
5. Sebagian besar petusa memiliki sikap dalam kategori baik
6. Tidak ada pengaruh lama kerja petugas terhadap kualitas tatalaksana diare
7. Tidak ada pengaruh pendidikan petugas terhadap kualitas tatalaksana diare
8. Ada pengaruh pengetahuan petugas terhadap kualitas tatalaksana diare
9. Tidak ada pengaruh sikap petugas terhadap kualitas tatalaksana diare
Saran
1. Perlu meningkatkan bimbingan teknis, motivasi, pemantauan, dan umpan balik kepada
petugas kesehatan di Puskesmas tentang kualitas tatalaksana diare pada saat pertemuan
rutin atau secara tertulis
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 80
18. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
2. Perlu dilakukan penyegaran kembali atau pelatihan terhadap petugas kesehatan di
Puskesmas dalam hal tatalaksana diare
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, J, 1989, Teknik Penyusunan Skala Pengukuran, Pusat Penelitian Kependudukan
UGM, Jogjakarta
Badan Pusat Statistik, 2005, Magetan Dalam Angka, BPS Magetan, Magetan
Depkes RI, 1993, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare Dalam Pelita V , Ditjen PPM
& PLP, Jakarta
Depkes RI, 1989, Kebijaksanaan Teknis Pemberantasan Penyakit Diare Dalam Pelita V ,
Ditjen PPM & PLP, Jakarta
Depkes RI, 2000, Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare di Puskesmas, Ditjen PPM
& PLP, Depkes RI, Jakarta
Depkes RI, 2001, Survey Morbiditas dan Tatalaksana Penderita Diare, Ditjen PPM &PLP
Depkes RI, Jakarta
Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan, 2005, Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan
Tahun 2005, Magetan
Dinas Kesehatan Kab. Magetan, 2005, Laporan Tahunan Penyakit Diare Tahun 2005
Gurendro Putro, 2005, Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Ibu dan Penggunaan
Sarana Air Bersih Terhadap Kejadian Diare Pada Balita, Buletin Penelitian RSU Dr.
Soetomo Vol 7 no. 2, Bidang Penelitian dan Pengembangan RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Gunawan, 2002, Studi Tentang Evaluasi Tatalaksana Diare di Puskesmas Kabupaten Sragen
Jawa Tengah, Skripsi, Prodi Kesling Madiun.
Gibson et.all, 1990 Organisasi Jilid I, Erlangga, Jakarta
Joko Irianto,dkk, 1996, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Anak Balita,
Buletin Penelitian Kesehatan 24( 2&3) : 92 -95
Karno, 2002, Etika Profesi dan Perilaku, Prodi Kesling Madiun.
Mar’at, 1981, Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya, Gholia Indonesia, Bandung
Muhammad Nasir, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Masri Singarimbun dan sofyan Effendi, 1997, Metodologi Penelitian survey, LP3ES, Jakarta
Petrus Andrianto, 1992, Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, Edisi 2 ECG, Jakarta
Raharjo Marwati, 1984, Pendidikan dan Masyarakat Pendidikan sebagai Sarana Pendapatan,
CSIS, Jakarta.
Santoso Singgih, 2001, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, Elex Media Komputindo,
Jakarta
Sutanto dan Indriyono, 1993, Strategi dan Pengembangan Pemberantasan Diare di Indonesia,
Medika 6 : 62 – 67,
Sukijo Notoatmodjo, 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan,
Andi Offset, Jogjakarta.
Sukijo Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Sugiyono, 2000, Statistika Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 81
19. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL ORANG TUA
DENGAN KEKERASAN FISIK PADA ANAK UMUR 3-6 TAHUN DI KABUPATEN JEMBER
The Relationship Between Parents’ Social Status
And Child Abuse Among Children 3-6 Years Of Age In Jember District
Gumiarti *
ABSTRACT
Child abuse is defined as any intentional act or series of acts by a parent or other
caregivers that results in harm or threat of harm to a child. Under-three children are prone to
receive any form of abuses due to the fact that they are entering periods of temper tantrum
and egocentrics. In these periods, children usually gets angry easily and cannot control their
emotion as well as pose destructive behavior when what they want cannot be fulfilled by their
parents. Consequently, this can become a trigger for parents to do physical abuse to their
children. In addition, child abuse brings about hazardous effects such as physical injuries and
psycopathology.
This was an observational study with a cross-sectional study design. Samples were 164
persons. The independent variable was parents’ social status, the dependent variable was
child physical abuse, and the extraneous variables were age, marital status, history of
receiving abuses from parents, and child’s status. Data were collected through questionnaire
and in-depth interview towards four mothers. The data were then analyzed with univariate
analysis using statistic descriptive test, bivariate analysis using chi-square test, and
multivariate analysis using logistic regression.
There was a significant relationship between parents’ education and child physical abuse
(RP=1.3 and CI=1.08-1.57), meaning that the prevalence of child abuse was 1.3 greater in
parents with lower educational level than with the higher one. Parents’ occupation was also
significantly related with child physical abuse (RP=1.61 and CI=1.04-2.48), meaning that the
prevalence of child abuse was greater in children who had parents with lower occupational
level than with higher one. Meanwhile, there was no significant relationship between parents’
income and child abuse (RP=1.08 CI=0.92-1.27). The extraneous variables having risks
toward child abuse were parents’ marital status and history of receiving abuses from parents.
Parents’ social statuses that were significantly related with child physical abuse were
education and occupation. Forms of abuses received by children were being pinched, being
beaten, being hit or being tweaked.
Keywords: Parents’ social status, child abuse
* = Poltekkes Kemenkes Malang, Jurusan Kebidanan, Kampus Jember
PENDAHULUAN
Kekerasan pada anak/ child abuse/ child maltreatment adalah tindakan yang sengaja
dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak, bentuk kekerasan pada anak bisa berupa
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 82
20. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
kekerasan fisik, seksual, emosional, dan penelantaran anak. Setiap orang tua sekali waktu
pasti pernah marah dalam menghadapi sikap dan perilaku anak yang menyulitkan tersebut.
Banyak orang tua yang lepas kendali sehingga melakukan tindakan kekerasan fisik atau
mengatakan sesuatu yang menyakiti serta membahayakan anak tersebut.
Pelaku dan korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang
rendah, faktor kemiskinan, tekanan hidup yang meningkat, kemarahan pada pasangan dan
ketidak berdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang mengalami stress
yang berkepanjangan, menjadi sangat sensitif, mudah marah karena kelelahan fisik, sehingga
mudah meluapkan emosinya pada anak-anak.
Di Indonesia belum banyak data yang menggambarkan kekerasan yang terjadi pada
anak. Kekerasan pada anak di Jawa Timur, menurut Lembaga Perlindungan Anak Jawa
Timur, mengalami peningkatan, pada tahun 2002 terdapat 81 kasus kekerasan seksual, 47
kasus berkaitan dengan hukum dan kenakalan remaja, 38 kasus kekerasan fisik, 11 kasus
kekerasa psikis, 4 kasus anak dibuang orang tuanya dan 2 kasus perdagangan perempuan.
Data tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es, faktanya bisa sepuluh kali bahkan
seribu kalinya. Di Kabupaten Jember terjadi peningkatan kejadian, tercatat mulai tahun 2004
sampai tahun 2007 tercatat 170 kasus, dengan berbagai tindak kekerasan pada anak.
Penganiayaan fisik merupakan kategori paling umum yang terjadi di masyarakat,
walaupun kebanyakan bukan hal yang serius. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
dampak negatif terhadap pertumbuhan anak..Penganiayaan fisik secara dini memprediksi
permasalahan tingkah laku anak remaja, karena semua tindakan yang diterima anak-anak
akan direkam dan terus sepanjang hidupnya. Dampak kekerasan fisik tidak hanya
menimbulkan bekas fisik, namun juga psikologis dan sosial, yang disebut post traumatic stress
disorder (PTSD). Keparahan dampak yang terjadi tergantung dari mulainya dan lamanya
mendapat kekerasan. Semakin kecil usia mulainya, semakin parah dampak yang ditimbulkan.
Studi pendahuluan melalui wawancara di Kecamatan Patrang, menunjukkan bahwa lebih
dari 80% ibu-ibu mencubit, memukul dengan tangan kosong bila anak-anak dianggap nakal
atau tidak mau menuruti perintah orang tuanya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan rancangan cross
sectional, dilengkapi dengan pendekatan kualitatif untuk mengetahui alasan orang tua
melakukan tindakan kekerasan pada anaknya. Populasi penelitian adalah ibu-ibu yang
mempunyai anak umur 3-6 tahun di Kecamatan Patrang. Pemilihan subyek penelitian secara
purposif, dengan teknik pengambilan sampel incidental sampling.
Variabel bebas penelitian adalah status sosial orang tua pada pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, variabel luar adalah usia orang tua, status perkawinan orang tua, riwayat
mendapat kekerasan pada orang tua, dan status anak dalam keluarga, sedangkan variabel
terikat adalah kekerasan fisik pada anak. Analisa data dilakukan secara univariat, bivariat
dengan Chi Square Test, dan multivariat dengan Uji Regresi Logistik dengan convidence
interval 95% dan tingkat kemaknaan ρ<0,05..
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 83
21. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Analisa secara univariat disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1.Karakteristik Responden
Karakteristik N=164 %
Pendidikan orang tua: - Tinggi 59 35,98
- Rendah 105 64,02
Pekerjaan: - Tinggi 19 11,59
- Rendah 145 88,41
Penghasilan: - 640.000 atau lebih 65 39,63
- 640.000 atau lebih 99 60,37
Umur ibu: - < 35 th 68 41.46
- ≥ 36 th 96 58.54
Status Perkawinan: - Kawin 113 68.90
- Janda/ duda 51 31.10
Riwayat mendapat kekerasan: -Tidak 46 28.05
-Ya 118 71.95
Status anak dalam keluarga: -Kandung 161 98.17
-Angkat 3 1.83
Anak yang mendapat kekerasan fisik: -Tidak 31 18,90
-Ya 133 81,10
Tabel 2. Jenis Kekerasan Fisik yang Diterima oleh Anak
Jenis kekerasan N=164 %
Dicubit Tidak 40 24.39
Ya 124 75.61
Dipukul dengan tangan kosong Tidak 52 31.71
Ya 112 68.29
Dipukul dengan alat (ikat pinggang,sapu) Tidak 142 86.59
Ya 22 13.41
Diguyur/disiram dengan air Tidak 146 89.02
Ya 18 10.98
Dikunci didalam kamar mandi Tidak 160 97.56
Ya 4 2.44
Dijewer Tidak 75 45.73
Ya 89 54.27
Ditampar Tidak 159 96.95
Ya 5 3.05
Ditendang Tidak 162 98.78
Ya 2 1.22
Disundut dengan rokok, benar kena Tidak 160 97.56
Ya 4 2.44
-Sekedar ditakut-takuti Tidak 156 95.12
Ya 8 4.88
Digigit Tidak 160 97.56
Ya 4 2.44
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 84
22. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Analisis secara bivariat disajikan pada Tabel 3 sampai Tabel 7 (Catatan: Keterangan:
RP= rasio prevalensi, CI= interval kepercayaan, dan P= p value, signifikan p<0,05).
Tabel 3. Hubungan Antara Status Sosial Orang Tua dengan Kekerasan Fisik Pada Anak
Variabel Kekerasan Pada Anak X2(df) RP CI P
Tidak (%) Ya (%)
Pendidikan
-tinggi 19 (32,20) 40 (67,80) 10,64(1) 1,3 1,08-1,57 0,001
-rendah 12 (11,43) 93 (88,57)
Pekerjaan
-tinggi 9 (47,37) 10 (52,63) 11,36(1) 1,61 1,04-2,48 0,000
-rendah 22 (15,17) 123 (84,83)
Penghasilan
->=640.000 15 (23,08) 50 (76,92) 1,22 (1) 1,08 0,92-1,27 0,268
-< 640.000. 16 (16,16) 83 (83,84)
Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel status sosial yang berhubungan dengan kekerasan fisik
pada anak adalah pendidikan dan pekerjaan.
Tabel 4. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawinan,
Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Pendidikan Orang Tua
Variabel Pendidikan Orang Tua X2(df) RP CI P
Tinggi Rendah
Umur
-≤35 th 27 (39,71) 41 (60,29) 0,70(1) 0,10 0,87-1,40 0,40
-≥36 th 32 (33,33) 64 (66,67)
Status perkawinan
orang tua
-Kawin 40 (35,40) 73 (64,60) 3,31(1) 0,97 0,75-1,24 0,81
-Janda/duda 19(37,25) 32 (62,75)
Riwayat mendapat
kekerasan
-Tidak 21 (45,65) 25 (54,35) 2,60(1) 1,24 0,93-1,67 0,10
-Ya 38 (32,20) 80(67,80)
Status anak dalam
keluarga
-Kandung 57 (35,40) 104(64,60) 1,25(1) 0,51 0,10-2,56 0,26
-Angkat 2 (66,67) 1(33,33)
Tabel 4 menunjukkan bahwa umur ibu, status perkawinan orang tua, riwayat mendapat
kekerasan dan status anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan pendidikan orang tua.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 85
23. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Tabel 5. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawinan,
Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Pekerjaan Orang Tua
Variabel Pekerjaan Orang Tua X2(df) RP CI P
Tinggi Rendah
Umur
-≤35 th 10 (14,71) 58 (85,29) 1,10(1) 1,06 0,94-1,19 0,29
-≥36 th 9 (9,38) 87 (90,63)
Status perkawinan orangtua
-Kawin 14 (12,39) 99 (87,61) 0,23(1) 1,02 0,91-1,15 0,63
-Janda/duda 5(9,80) 46 (90.20)
Riwayat kekerasan
-Tidak 6 (13,04) 40 (86,96) 0,13(1) 1,02 0,89-1,16 0,71
-Ya 13 (11,02) 105(88,98)
Status anak dalam keluarga
-kandung 17 (10,56) 144 (89,44) 9,05(1) 0,37 0,07-1,84 0,20
-angkat 2 (66,67) 1 (33,33)
Tabel 5 menunjukkan bahwa umur, status perkawinan orang tua, riwayat mendapat kekerasan
dan status anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan pekerjaan orang tua.
Tabel 6. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawainan,
Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Penghasilan Orang Tua
Variabel Penghasilan Orang Tua X2(df) RP CI P
Tinggi Rendah
Umur
-≤35 th 24 (35,29) 44 (64,71) 0,91(1) 0,88 0,69-1,13 0,33
-≥36 th 41 (42,71) 55 (57,29)
Status perkawinan orangtua
-Kawin 44 (38,94) 69 (61,06) 0,07(1) 0,96 0,73-1,26 0,78
-Janda/duda 21(41,18) 30 (58,82)
Riwayat kekerasan
-Tidak 18 (39,13) 28 (60,87) 0,01(1) 0,98 0,75-1,30 0,93
-Ya 47 (39,83) 71(60,17)
Status anak dalam keluarga
-kandung 63 (39,13) 98(60,87) 0,93(1) 0,54 0,11-2,72 0,33
-angkat 2 (66,67) 1(33,33)
Tabel 6 menunjukkan bahwa umur, status perkawinan orang tua, riwayat mendapat
kekerasan, dan status anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan penghasilan orang tua.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 86
24. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Tabel 7. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawinan,
Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Kekerasan Fisik Pada Anak
Variabel Kekerasan pada Anak X2(df) RP CI P
Ya Tidak
Umur
-≤35 th 11(16,18) 57(83,82) 0,56(1) 0,94 0,81-1,09 0,45
-≥36 th 20(20,83) 76(79,17)
Status perkawinan
-Kawin 26(23,01) 87(76,99) 4,00(1) 1,17 1,02-1,34 0,04
-Janda/duda 5(9,80) 46(90,20)
Riwayat kekerasan
-Tidak 15(32,61) 31(67,39) 7,83(1) 1,28 1,03-1,58 0,005
-Ya 16(13,56) 102(86,44)
Status anak
-kandung 30(18,63) 131(81,37) 0,42(1) 0,81 0,36-1,82 0,51
-angkat 1(33,33) 2(66,67)
Tabel 7 menunjukkan bahwa status perkawinan orangtua dan riwayat mendapat kekerasan
fisik pada orang tua berhubungan secara bermakna dengan kekerasan fisik pada anak.
Analisis multivariat (Tabel 8) memilih model terbaik dalam menentukan hubungan status
sosial orang tua dengan kekerasan fisik pada anak dengan memasukkan variabel luar. Hasil
uji regresi logistik menunjukkan bahwa dari keempat model, model yang baik adalah model 4,
disebabkan dengan memasukkan seluruh variabel tersebut dapat diketahui perubahan nilai
besarnya rasio prevalensi dan nilai R2 tertinggi, sehingga bisa memprediksi dengan tepat
seberapa besar pengaruh variabel tersebut terhadap prevalensi kekerasan fisik pada anak.
Tabel 8. Hasil Uji Regresi Logistik Status Sosial Orang Tua dengan Kekerasan Fisik
pada Anak, Status Perkawinan Orang Tua, Riwayat Mendapat Kekerasan
Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
RP (95%CI) RP (95%CI) RP (95%CI) RP (95%CI)
Status Sosial OrangTua:
Pendidikan 3,3 3,3 2,8 3,0
(1,32-8,27) (1,35-8,51) (1,13-7,29) (1,18-7,71)
Pekerjaan 4,7 4,4 4,9 4,6
(1,32-16,98) (1,22-16,44) (1,33-18,20) (1,22-17,30)
Penghasilah 0,5 0,5 0,5 0,6
(0,17-1,55) (0,19-1,67) (0,19-1,73) (0,21-1,88)
Status perkawinan 2,8 2,9
(0,98-8,40) (0,96-8,78)
Riwayat kekerasan 2,8 2,8
(1,20-6,86) (1,18-6,88)
R2 0,10 0,12 0,13 0,16
Devian 142,84 138,54 137,23 133,13
N 164 164 164 164
Dalam analisa secara kualitatif, hasil wawancara terhadap 4 ibu dengan status sosial
berbeda, alasan melakukan tindakan kekerasan fisik pada anak adalah: ingin agar anak
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 87
25. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
menuruti kemauan orangtua, lebih disiplin, tidak nakal, tidak mengulangi tindakan yang salah
menurut orang tua. Kutipan hasil wawancara tersebut antara lain sebagai berikut :
” Ya gimanalah Bu..., abis nakalnya minta ampun, kalau udah di cubit gitu dia kan ngerti,
nanti kalau dia nakal lagi, kalau tangan saya udah kuangkat gini (ibu memperagakan
mengangkat tangannya) dia akan ngerti kalau itu tidak boleh dilakukan, biasanya dia
bilang gini Bu.. ma.. gak boleh ya ma..., iya adik gak boleh nakal” (Ny.If).
”Anak Saya itu kalau dikasih tahu Bu... mbantah terus, ndak ngerti-ngerti, sekali-kali
kalau tindakannya salah, dia nakal ya diberi peringatan yang jelas dan tegas, kalau
dipukul kan sakit, biar ndak mengulang lagi, biar disiplin Bu” (Ny.WS).
Kutipan hasil jawaban apa pendapat ibu bila melakukan hal tersebut di atas, sebagai berikut :
” Ya ndak apa-apa kan hanya sekali aja, tapi akhirnya dia ngerti kalau dia ndak
boleh nakal” (Ny.If).
” Kan masih dalam batas kewajaran Bu”(Ny.WS).
Pembahasan
Analisa bivariat membuktikan bahwa status sosial orang tua khususnya pendidikan
berhubungan secara bermakna dengan kejadian kekerasan fisik pada anak. Prevalensi
kekerasan fisik pada anak lebih tinggi pada pendidikan orang tua yang rendah. Orang tua
dengan tingkat pendidikan tertentu akan mempengaruhi pola pengasuhan kepada anak-
anaknya. Pendidikan orang tua menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan
memahami pengetahuan tentang pengasuhan anak, pendidikan orang tua juga sangat
berpengaruh dalam memberikan kebutuhan psikologis anak-anaknya. Bila pengetahuan orang
tua rendah mengenai kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan serta cara pengasuhan
yang benar, orang tua akan mudah mengalami mispersepsi dalam menerima masukan atau
pengetahuan tentang kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan anak selama masa tumbuh
kembangnya, atau akan mudah terjadi miskomunikasi karena keterbatasan pengetahuan
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, sehingga orang tua mudah memperlakukan
salah dan menelantarkan anak-anaknya. Hasil di atas hampir sama dengan penelitian
Shojaeizadeh (2001), orang tua lebih mudah melakukan tindak kekerasan fisik pada anak atau
mengurung anak-anak di dalam rumah, tidak mengijinkan anak bermain diluar rumah bila
orang tua sedang marah, tindakan ini disebabkan karena pendidikan orang tua yang rendah.
Pekerjaan orang tua dengan kekerasan fisik pada anak juga berhubungan secara
bermakna. Pekerjaan dan penghasilan yang rendah akan memberikan stressor tersendiri bagi
orang tua. Orang tua yang sudah bekerja seharian di luar rumah berdampak pada kelelahan
fisik, bila harus menghadapi tingkah laku anak-anaknya yang dinilai nakal, orang tua menjadi
tidak sabar, mereka tidak lagi menggunakan kata-kata dalam memberi tahu anak-anaknya,
mudah meluapkan emosi kepada anak-anaknya dengan langsung menggunakan kekerasan
fisik. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Lancford..
Orang tua dengan pekerjaan yang tinggi mengajarkan anak-anaknya bersemangat
belajar, mencintai dan terbuka pada orang tua, gembira serta bekerja sama, orang tua lebih
memperhatikan dinamika diri si anak, bila anak berbuat kesalahan bukan hukuman fisik yang
diberikan oleh orang tuanya. Berbeda dengan orang tua dengan status sosial yang rendah,
dalam mendidik anaknya lebih cenderung untuk mematuhi aturan-aturan yang diberikan dari
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 88
26. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
luar/berdasarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat, orang tua takut kalau anak-
anaknya dinilai salah oleh orang lain, bila anak salah orang tua langsung menghukum anak
tanpa melihat sebab-sebabnya dan hukuman yang diberikan sering berbentuk hukuman fisik.
Variabel luar yang berhubungan secara bermakna dengan kekerasan fisik pada anak
adalah status perkawinan orang tua. Status orang tua tunggal atau anak-anak dirawat oleh
ayah atau ibu tiri, mudah memberikan stimulus emosi orang tua yang akan dilampiaskan
kepada anak-anaknya. Orang tua tunggal memiliki peluang tinggi untuk melakukan tindakan
kekerasan fisik pada anak-anaknya. Keadaan ini sesuai dengan teori Mann et al.
Riwayat mendapat kekerasan pada orang tua juga berhubungan secara bermakna
dengan kekerasan fisik pada anak. Orang tua yang mempunyai pengalaman disakiti atau
mengalami kekerasan pada masa kecilnya akan tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai
kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang pernah dilakukan terhadap dirinya kepada
orang lain, yaitu anak-anaknya. Semua tindakan kekerasan yang diterima pada masa kanak-
kanaknya akan direkam dalam alam bawah sadar dan akan dibawa sampai pada masa
dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Anak-anak yang mendapat kekerasan dari orang
tuanya akan menjadi sangat agresif dan ketika menjadi orang tua, akan menjadi orang tua
yang kasar pula kepada anak-anaknya. Seperti hasil penelitian Coohey, orang tua dengan
riwayat mendapat kekerasan/paparan agresi dari orang tuanya, akan menjadikan pengalaman
masalalunya model dalam mendidik anak-anaknya.
Umur ibu tidak berhubungan dengan tindakan kekerasan fisik pada anak. Hasil ini
bertolak belakang dengan teori Bethea, bahwa orang tua yang masih muda, belum matang
secara emosi, belum mempunyai pengalaman dalam merawat anak, tidak memahami akan
kebutuhan tumbuh kembang anaknya dan kemungkinan akan menolak perannya sebagai
orang tua, yang berakibat pada penolakan kehadiran anaknya, sehingga menimbulkan
tindakan perlakuan salah dan penelantaran anak-anaknya.
Status anak dalam keluarga juga tidak berhubungan secara bermakna dengan
kekerasan fisik. Status anak dalam keluarga seperti anak anak angkat atau anak yang tidak
ada hubungan secara biologis dengan orang tua, akan cenderung diperlakukan sama dengan
anak yang hidup dengan ayah atau ibu tiri. Kondisi ini mudah memicu tindak kekerasan fisik
dan psikis. Bila stress, orang tua mudah menghardik, memukul, melecehkan anak. Orang tua
akan susah memberikan kehangatan kepada anak dengan sekedar bercanda, memeluk anak
pada saat gelisah dan membutuhkan ketentraman batinnya, apalagi jika orang tua berfikir
bahwa anak bukan darah dagingnya, sehingga anak menjadi tempat pelampiasan stress.
Hasil wawancara tentang alasan orang tua melakukan tindakan kekerasan fisik pada
anaknya adalah agar anak-anaknya lebih disiplin, tidak nakal, menuruti perintah orang tuanya.
Orang tua tak menyadari bahwa larangan itu tak hanya membatasi kebebasan anak, tetapi
juga berdampak secara psikologis, anak menjadi ragu dan takut untuk melakukan sesuatu,
rasa ingin tahunya ditekan karena takut mendapat hukuman fisik. Inisiatif dan kreasinya
menjadi tumpul karena harus menunggu persetujuan orang tua bila ingin melakukan sesuatu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1) Prevalensi kekerasan fisik pada anak lebih tinggi pada
pendidikan dan pekerjaan orang tua yang rendah, 2) Tidak ada hubungan bermakna antara
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 89
27. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
penghasilan orang tua dengan kekerasan fisik pada anak, 3) Kekerasan fisik yang banyak
diterima anak adalah: dicubit, dipukul dengan tangan kosong, dijewer, dipukul dengan alat ada
sebagian kecil disundut dengan rokok, 4) Faktor luar yang berhubungan dengan kekerasan
fisik pada anak adalah status perkawinan orang tua dan riwayat mendapat kekerasan pada
orang tua, 5) Alasan orang tua melakukan tindakan kekerasan fisik pada anak adalah
menegakkan disiplin, agar tidak nakal, dan mau menuruti perintah.
Saran berdasarkan hasil penelitian adalah: 1. Bagi Pusat Perlindungan Perempuan dan
Anak agar meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kekerasan fisik pada anak, baik
bentuk kekerasan, risiko terhadap kekerasan, dampak dari kekerasan, bisa melalui
penyuluhan lewat media cetak, elektronik maupun penyuluhan kelompok, 2) Bagi guru,
lembaga pemerhati kesejahteraan dan perlindungan anak, agar peka terhadap tanda-tanda
anak mengalami tindak kekerasan fisik, sehingga dapat dicegah sedini mungkin, 3) Bagi
Pemerintah Daerah dan Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak lebih menggalakkan
sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga masyarakat paham bahwa anak
mereka terlindungi secara hukum dari bentuk kekerasan apapun dan oleh siapapun.
DAFTAR PUSTAKA
McDonald KC. Child Abuse: Approach and Management, American Academy of Family
Physicians. 2007. www.aafp/afp (15 Januari 2007)
Littell JH, Girvin H. Correlate of problem recognition and intentions to change among
caregivers of abused and neglected children, Child Abuse & Neglect; 2006;
30:1381-1399.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007) Kekerasan pada Anak
Dilakukan Terselubung. 2007. (11 September 2007)
Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak. 2007.
Gibbons J, Galagher B, Bell C, Gordon D. Medicine and books Development after Physical
Abuse in Early Childhood. BMJ, 1995;311:1175 .
Lanncford JE. A 12-Year Prospective Study of Early Child Physical Maltreatment on
Psychological, Behavioral, and Academic Problem in Adolescence. Arch Pediatric
Aolescent Med. 2002; 156:824-830.
Tell SJ, Pavkov T, Hecker L, Fontaine KL. Adult Survivors of Child Abuse: An Application of
John gottman’s Sound Marital House Theory, Contemp Fam Ther, 2006;28:225-238.
Su’adah. Sosiologi Keluarga. Malang; 2005.
Mann D, Corell AP, Dobson CL, Perry BD. Physical abuse of children, Encyclopedia, Child
Trouma Academy; 2001.
Coohey C, Braun N. Toward an Integrated Framework for Understanding Child Physical
Abuse, Child Abuse & Neglect. 1997; 21 (11): 1081-1094.
Bethea L. Primary Prevention of Child Abuse. American Family Phisicion. 1999.
Shojaeizadeh D. Child Abuse in the Family: An Analytical Study. Dept. of Public Health
Administration, School of Public Health and Institute of Public Healh Researchs, Tehran
University of Medical Sciences. 2001
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 90
28. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
PERBEDAAN KEJADIAN ABORTUS BERDASARKAN PARITAS DI RSIA AURA SYIFA
KABUPATEN KEDIRI
Koekoeh Hardjito*, Temu Budiarti*, Yuni Mada Nurika*
ABSTRACT
Mortality and morbidity at pregnant woman and birthing is a big problem in developing
countries. Sometime pregnancy end ahead of schedule and sometimes exceed the normal
time. Abortus off the cuff is abortus that happened naturally without external intervention
(brand) to terminate the pregnancy. There are some the factors of the happening of abortus,
for example mother age and parity factor, have the major effect. As for intention of this
research is to know difference of occurence abortus pursuant to parity in RSIA Aura Syifa
Kabupaten Kediri in January up to December 2009. This research of the survey having the
character of analytic (analytical) with retrospective study that trying look backward to.
Population is all data record the natural pregnant patient sis abortus in RSIA Aura Syifa
Kabupaten Kediri at period of 1 January up to 31 December 2009 counted 177 cases. Sampel
is some of data record the natural mother sis abortus in RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri at
period of 1 January up to 31 December 2009 equal to 123 cases. And result off natural mother
parity abortus at most happened at nullipara, sequence hereinafter primipara, multipara, and
grandemultipara. Type Abortus a lot happened at parity zero (nullipara) come up with the parity
≥ 4 (Grandemultipara) are abortus incomplete. With result analyse x2 count bigger than x2 the
tables of so that is difference of occurence abortus pursuant to parity.
Keyword: Abortus, Parity
* = Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, Jurusan Kebidanan, Kampus Kediri
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Kematian ibu adalah masalah yang kompleks (Saifudin, dkk. 2002). Menurut WHO, di
negara-negara miskin dan sedang berkembang, kematian ibu antara 750-1.000 per 100.000
kelahiran hidup. Sedangkan di negara-negara maju, angka kematian maternal berkisar 5-10
per 100.000 kelahiran hidup (Widyastuti & Dina, 2008). Angka Kematian Ibu di Indonesia
masih menempati posisi tertinggi di negara ASEAN. AKI di Indonesia (2002) sebesar 307 per
100.000 kelahiran. Berdasarkan hasil berbagai survei, di Provinsi Jawa Timur, pada tahun
2003 tercatat sekitar 446 kasus kematian maternal dan jumlah ini turun menjadi 326 kasus
pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik Jawa Timur 2008). AKI di Indonesia masih di
dominasi oleh sebab perdarahan (42%), eklamsi (13%) dan infeksi (10%) (BKKBN 2005).
Masalah abortus dikemukakan kaitannya dengan tingginya angka kematian ibu
melahirkan (Supriyanto Khafid, 2007). Menurut data WHO persentase kemungkinan terjadinya
abortus cukup tinggi. Sekitar 15–40%, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif hamil,
dan 60–75% abortus terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu (Lestariningsih
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 91
29. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
2008). Menurut Siswanto, lebih dari 90% abortus di negara-negara sedang berkembang
dilakukan tidak aman, sehingga berkontribusi 11-13% terhadap kematian maternal di dunia.
Di Indonesia, diperkirakan 2 – 2,5 % juga mengalami keguguran setiap tahun, sehingga
secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi 1,7 pertahunnya (Manuaba, 2001).
Menurut Pangkahila, abortus di Indonesia masih cukup tinggi dibanding dengan negara-
negara maju di dunia, yakni 2,3 juta abortus per tahun. Sulit untuk mengidentifikasi dengan
tepat seberapa sering keguguran terjadi (Henderson, 2005). Hal ini diperkirakan merupakan
bagian kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan pelayanan
kedokteran modern yang ditandai oleh kesenjangan informasi (Widyastuti & Dina, 2008).
Menurut Cunningham (2000) ada beberapa faktor predisposisi terjadinya abortus,
misalnya faktor paritas dan usia ibu, mempunyai pengaruh besar. Frekuensi meningkat
bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas, 6% kehamilan pertama atau kedua
berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ketiga dan
seterusnya (Llewellyn-Jones, Derek 2001). Menurut Warburton Frases & Wilson, resiko
abortus kelihatannya semakin meningkat dengan bertambahnya paritas disamping dengan
semakin lanjutnya usia ibu serta ayah (Cunningham 2005).
Dari studi pendahuluan di RSIA Aura Syifa Kediri tanggal 23 November sampai dengan
12 Desember 2009, terdapat 16 kasus abortus, 6 kasus di antaranya terjadi pada primigravida
(37,5%), 7 kasus pada multipara (43,75) dan 3 (18,75%) pada grandemultipara.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan kejadian abortus berdasarkan
paritas di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan rancangan studi retrospektif.
Penelitian dilaksanakan di RSIA Aura Syifa pada bulan Mei 2010. Populasi penelitian adalah
seluruh data rekam medik pasien ibu hamil yang mengalami abortus di RSIA Aura Syifa
Kabupaten Kediri pada periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2009 sebanyak 177
kasus, dengan sampel sebesar 123. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random
sampling. Data diperoleh dengan cara studi dokumentasi dari catatan medik. Analisis
menggunakan Uji Chi Kuadrat satu sampel untuk mengestimasi atau mengevaluasi frekuensi
yang diselidiki atau menganalisa hasil observasi untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan yang signifikan pada penelitian yang menggunakan data nominal.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas abortus terjadi pada nullipara. Tabel 2
menyajikan perbedaan kejadian abortus berdasarkan paritas. Hasil Uji Chi Kuadrat
menunjukkan X2 hitung 43,14, dengan taraf kesalahan 5% dan dk=3. Nilai tersebut > X 2 Tabel
(7,815). Dengan demikian Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan kejadian abortus
berdasarkan paritas di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri .
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 92
30. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Tabel 1. Distribusi frekuensi kejadian abortus berdasarkan paritas ibu
No. Paritas Frekuensi Persentase
1. Nullipara 50 40,65
2. Primipara 42 34,15
3. Multipara 29 23,56
4. Grandemultipara 2 1,63
Jumlah 123 100
Tabel. 2 Jenis Abortus Berdasarkan Paritas
No Jenis Abortus Nullipara Primipara Multipara Grandemultipara
f % f % f % f %
1 Abortus Imminens 12 24 10 23,81 4 13,79 0 0
2 Abortus Insipiens 6 12 2 4,76 1 3,44 1 50
3 Abortus Inkomplit 31 62 29 69,04 23 79,32 1 50
4 Abortus Komplit 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Abortus Habitualis 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Missed Abortion 1 2 1 2,38 1 3,44 0 0
Jumlah 50 100 42 100 29 100 2 100
Pembahasan
Banyaknya kasus abortus yang dirawat di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri sesuai
dengan dengan pernyataan Pangkahila bahwa abortus di Indonesia masih cukup tinggi
dibanding dengan negara-negara maju di dunia, yakni mencapai 2,3 juta abortus per tahun
(Widyastuti & Dina 2008). Menurut WHO 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus.
Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah
sebabnya mengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan
kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis (Azhari, 2002 dalam Nisa, 2009).
Pada Tabel 1 disebutkan frekuensi tertinggi abortus terjadi pada Nullipara (paritas 0)
yaitu sebesar 50 kasus (40,65%) dan yang terendah pada Grandemultipara (paritas ≥ 4)
sejumlah 2 kasus (1,63%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa risiko abortus semakin besar dengan bertambahnya paritas dan semakin besar dengan
bertambahnya usia ibu dan ayah. Menurut Cunningham (2000) ada beberapa faktor yang
merupakan predisposisi terjadinya abortus, misalnya faktor paritas dan usia ibu, mempunyai
pengaruh besar.
Teori lain menyebutkan bahwa frekuensi abortus meningkat bersamaan dengan
meningkatnya angka graviditas, 6% kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus,
angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ketiga dan seterusnya (Llewellyn-Jones,
Derek 2001). Menurut Warburton Frases & Wilson, resiko abortus nampaknya semakin
meningkat dengan bertambahnya paritas di samping dengan semakin lanjutnya usia ibu dan
ayah (Cunningham 2005).
Dalam kenyataan di RSIA Aura Syifa Kediri, frekuensi abortus kecenderungannya paling
banyak terjadi pada Nullipara. Faktor paritas memang bukan satu-satunya predisposisi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 93
31. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
terjadinya abortus karena abortus disebabkan oleh faktor yang kompleks. Jadi, meskipun
seorang wanita hamil berada pada paritas yang menguntungkan atau berada pada kondisi
paritas yang baik (resiko rendah), kemungkinan bisa juga terjadi abortus karena faktor lain.
Faktor paritas mungkin tidak begitu berpengaruh sebagai pencetus terjadinya abortus di
RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri karena dari hasil yang didapat menyatakan bahwa tertinggi
insidennya pada Nullipara. Banyaknya Nullipara dibandingkan dengan Grandemultipara, dapat
dipahami sebagai fenomena yang bisa kita temui pada zaman sekarang. Pada zaman dulu
sering dijumpai banyak ibu-ibu dengan anak banyak, namun pada saat ini kesadaran ibu akan
program Keluarga Berencana sudah baik dan prinsip banyak anak banyak rezeki sudah mulai
luntur, karena biaya hidup juga semakin tinggi. Maka dari itu, ibu berpikir untuk membatasi
jumlah anak sehingga jumlah ibu dengan banyak anak sekarangpun mulai berkurang. Oleh
sebab itu, bisa dimengerti jika kejadian abortus tertinggi pada Nullipara karena kuantitas
Grandemultipara yang masih produktif untuk hamil pada zaman sekarang ini jarang ditemui.
Menurut hasil penelitian lain, wanita primigravida akan mengalami gugurnya kehamilan
sebesar 5,6 % dan wanita yang telah memiliki anak akan terjadi abortus sebesar 2,2% pada
kehamilan berikutnya (Darmayanti 2009 dalam Nisa 2009). Dari penelitian tersebut, terdapat
kesamaan dengan hasil penelitian di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri yang menyatakan
bahwa kejadian abortus paling banyak terjadi pada wanita Nullipara.
Dari Tabel 2 didapatkan hasil yang menyatakan bahwa klasifikasi atau jenis abortus
yang frekuensinya paling banyak pada nullipara sampai pada grandemultipara adalah abortus
inkomplit (pada grandemultipara seimbang dengan abortus insipiens). Kebanyakan abortus
yang terjadi mengarah pada gejala abortus inkomplit dengan salah satu tanda bahwa buah
kehamilan tidak dikeluarkan seutuhnya. Jaringan janin di dalam rahim yang tidak keluar
sempurna itulah yang membahayakan nyawa ibu karena potensi perdarahannya lebih besar
sehingga resiko kematian maternalnya juga lebih besar.
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, diikuti dengan
perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah
implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan pervaginam. Buah
kehamilan terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing
dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu,
terjadi pendorongan benda asing itu keluar rahim (ekspulsi) (Sastrawinata, 2004).
Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal sekedar menempel di kanalis
servikalis dan dapat dikeluarkan dari os eksterna yang terpapar dengan forceps cincin atau
ovum. Wanita dengan tahap kehamilan lebih lanjut, atau yang mengalami perdarahan besar
harus dirawat inap dan jaringan yang tertinggal segera dikeluarkan (Darmayanti, 2009 dalam
Nisa, 2009).
Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini
disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam
desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke-10-12 korio tumbuh
dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut
sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal jika terjadi abortus (Sulaiman Sastrawinata 2004).
Abortus 80% terjadi pada kehamilan trimester pertama dan insiden menurun sejalan dengan
meningkatnya umur kehamilan (Cunningham 2005 dalam Nisa 2009).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 94
32. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
Hasil uji Chi Kuadrat satu sampel menunjukkan bahwa ada perbedaan kejadian abortus
berdasarkan paritas. Karakteristik yang dimiliki Nullipara (wanita yang pertama kali hamil atau
belum pernah melahirkan bayi aterm) umumnya belum memiliki pengalaman yang matang
terhadap kehamilannya. Untuk wanita yang baru pertama kali mengandung, pengalaman
langsung terhadap kehamilannya sama sekali belum dimiliki karena wanita tersebut baru
menjalani kehamilannya yang pertama. Sedangkan wanita yang pernah hamil tetapi ditengah
pertumbuhan kehamilannya mengalami gangguan sehingga belum pernah melahirkan bayi
aterm, setidaknya telah memiliki satu pengalaman langsung. Akan tetapi, pengalaman
kehamilan itu tidak mempunyai manfaat yang berarti jika wanita hamil tidak mempunyai cukup
wawasan tentang segala sesuatu terkait dengan kehamilan yang sehat. Sehingga bisa
menyebabkan kecerobohan yang merugikan kehamilannya sendiri. Salah satu contoh adalah
aktivitas berhubungan seksual ibu hamil yang dilakukan pada Trimester I. Pada saat
berhubungan seksual, sel sperma mengandung hormone prostaglandin yang merangsang
kontraksi uterus sehingga bisa mengancam gugurnya buah kehamilan. Selain itu, faktor
pekerjaan, tempat tinggal dan paparan zat-zat berbahaya juga berpengaruh terhadap
terjadinya abortus pada nullipara.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa frekuensi terendah kejadian abortus terjadi pada
Grandemultipara dimana secara teori justru paritas ≥ 4 ini mempunyai prognosis buruk
terhadap kehamilannya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanti, Grande
multiparitas memiliki risiko kematian ibu maupun janin yang lebih tinggi, sehingga sedapat
mungkin angka kejadian grande multiparitas harus ditekan. Karakteristik ibu terutama paritas
berpengaruh terhadap pemilihan jenis persalinan dan luaran bayinya. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa paritas tinggi meningkatkan kejadian SC sebesar 33%, forseps 27%, dan
vakum 22%. Hasil ini diperkuat oleh Oxorn dalam penelitiannya pada tahun 2006 memperoleh
bahwa grande multiparitas meningkatkan angka kejadian seksio sesarea sebesar 3,2 kali lipat.
Tingginya kejadian grande multiparitas dipengaruhi pula oleh faktor sosial. Asumsi masyarakat
atau anggapan masyarakat terhadap banyak anak banyak rezeki akan sangat mempengaruhi
terhadap keinginan suami istri mengenai pengaturan jumlah anak, sehingga seringkali
kehamilan dianggap hal yang mudah, biasa saja, dan umum, terutama di daerah pedesaan
akan dianggap tidak lumrah bila sebuah keluarga memiliki anak sedikit (Armawan. 2008).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1) Terdapat perbedaan kejadian abortus berdasarkan
paritas, 2) Kejadian abortus berdasarkan paritas di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri
frekuensi tertinggi terdapat pada Nullipara (paritas 0), frekuensi tertinggi kedua adalah
Primipara, urutan berikutnya Multipara, dan angka kejadian paling rendah Grandemultipara.
Saran yang diajukan adalah: 1) Diharapkan setelah mengetahui fenomena di atas, pihak
rumah sakit dapat lebih waspada dan meningkatkan pelayanan kesehatannya terutama
terhadap penanganan abortus, mengingat angka kejadian abortus masih tinggi dan banyak
faktor yang menjadi penyebabnya, 2) Diharapkan peneliti selanjutnya yang melakukan
penelitian mampu menggunakan variabel lebih luas untuk menjangkau faktor-faktor
predisposisi kejadian abortus.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 95
33. Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari Saifudin, dkk. (2006) Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
A. Aziz Alimul Hidayat. (2007) Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2001) Maternity Nursing, Mari A. Wijayarini & Peter I. Anugerah.
(2004) (Alih Bahasa), Jakarta: EGC.
Budiman Chandra. (2008) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC.
Cunningham, F. Garry. (2005) Obstetri William (vol2). Jakarta: EGC.
Dorland. (2002) Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC.
Edwin Armawan. “Gambaran Jenis Persalinan Dan Hasil Luaran Bayi pada Grandemultipara.”
2008.
Ema Wahyu Ningrum, dkk. “Hasil Luaran Janin pada Ibu Pasca Abortus di Rumah Sakit dr.
Hasan Sadikin Bandung Tahun 2004“. 24 Januari 2008.
<http://rofiqahmad.wordpress.com> diakses tanggal 7 Pebruari 2010 pukul 14.30 WIB.
Hacker & Moore. (2001) Essentials of Obstetrics and Gynecology, Edy Nugroho. (2001) (Alih
Bahasa), Jakarta: Hipokrates.
James, D.K. (2001) High Risk Pregnancy .United Kingdom: W.B.Saunders.
LKI FK UB. “Banyak Anak: Musibah atau Anugerah? Multipara Ditinjau dari Segi Kesehatan
dan Agama Islam.” 23 Maret 2008.
<http://redtea4u.multiply.com/journal/item/57> diakses tanggal 31 Juni 2010 pukul 18.12 WIB.
Llewellyn-Jones, Derek. (2001) Fundamentals of Obstetrics and Gynecology, Hadyanto.
(2001) (Alih Bahasa), Jakarta: Hipokrates.
Manuaba. (2001) Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta:
EGC.
Nisa. “Gambaran Karakteristik Ibu yang Mengalami Abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali”.
26 Juli 2009
<http://nisa.wordpress.com> diakses tanggal 31 Mei 2010 pukul 18.07 WIB.
Nursalam. (2008) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan (Edisi 2).
Jakarta: Salemba Medika.
Sarwono Prawirohardjo. (2006) Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka-Sarwono
Prawirohardjo.
Soekidjo Notoatmodjo. (2005) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sulaiman Sastrawinata. (2004) Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
Varney, Helen. (2007) Varney’s Midwifery (4th ed.), Laily Mahmudah & Gita Trisetyati. (2001)
(Alih Bahasa), Jakarta: EGC.
Walsh, Linda V. (2001) Midwifery Community–Based Care During the Childbearing Year.
United States of America: W.B Saunders Company.
Widyastuti & Dina, “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus”. (2008).
<http://images.arikbliz.multiply.multiplycontent.com/attachment>, diakses tanggal 07 Februari
2010 pukul 21.00 WIB.
Yuni Kusmiyati, dkk. (2008) Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitramaya
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 96