Teks tersebut merangkum cerita rakyat tentang Batu Belida Ajaib di Desa Kutaringin yang dianggap sebagai pertanda kedatangan Islam. Cerita ini menceritakan tentang keajaiban seekor ikan belida dan batu belida yang dapat berbicara serta mengabulkan permintaan penduduk untuk mengakhiri kemarau panjang. Teks tersebut juga membahas dua versi sejarah tentang asal usul Kyai Gede yang dianggap sebagai pelopor penyebaran ag
1. TUGAS MATA KULIAH FOLKLOR JAWA
Batu Belida Ajaib:
Isyarat Kedatangan Islam di Tanah Dayak
Oleh Alfisyahr Izzati / 3401412012
PENDAHULUAN
Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari kata Inggris folklore, yang berasal dari kata
folk dan lore. Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri
pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Lore
adalah tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaanya, yang diwariskan secara turun-temurun
secara lisan melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device). Jadi, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja ( Danandjaja, 1984:1).
Folklor mempunyai beberapa ciri yang akan membedakannya dengan kebudayaan lain.
Ciri-ciri tersebut adalah :
1. Penyebaran dan pewarisannya disampaikan secara lisan.
2. Bersifat tradisional yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar
diantara kolektif tertentu dalam waktu cukup lama (paling sedikit dua generasi).
3. Cara penyampaian folklor secara lisan, sehingga menyebabkan folklor ada dalam versi-versi
dan varian-varian.
4. Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
5. Mempunyai bentuk berumus dan berpola.
6. Folklor mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan kolektif.
7. Folklor bersifat pralogis, artinya ia mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum.
8. Milik bersama dari satu kolektif tertentu (Danandjaya, 1984:3-4).
Menurut Ashworth dan Tunbridge (1990), peninggalan sejarah adalah salah satu dari
sekian banyak potensi wisata dalam pariwisata kota. Kota Pangkalan Bun yang merupakan kota
dari Kabupaten Kotawaringin Barat mempunyai sumber daya yang potensial untuk
dikembangkan sebagai pariwisata kota, dilihat dari corak kehidupan masyarakat dan peninggalan
sejarah dari Kerajaan Kutaringin. Salah satu cagar budaya peninggalan sejarah di Kotawaringin
2. adalah Makam Kyai Gede. Masyarakat mempunyai cara sendiri dalam menceritakan sejarah
keberadaan makam dan cerita awal masuknya agama Islam di daerah Kotawaringin. Makam
Kyai Gede hingga kini masih ramai dikunjungi atau diziarahi oleh jamaah Islam dari berbagai
daerah. Makam Kyai Gede dan Masjid Kotawaringin Lama (masjid pertama di Kotawaringin)
menjadi salah satu potensi wisata di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat.
ISI CERITA RAKYAT
Pada zaman dahulu kala di desa Kutaringin, ada sekelompok orang yang hidup dengan
serba kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka berkebun. Di desa kutaringin
ini ada sebuah sungai besar dan panjang. Sungai ini terkenal dengan nama sungai Lamandau.
Sungai Lamandau ini selain digunakan sebagai tempat mandi oleh para penduduk, sungai ini
juga di jadikan sebagai sumber mata penceharian mereka.
Suatu hari ada salah satu dari penduduk mandi di sungai Lamandau pada saat matahari
terbenam. Ketika ia mandi datanglah seekor ikan balida menemui penduduk tersebut. Kejadian
yang serupa terjadi pula pada penduduk yang lain. Bahkan setiap mereka mandi ikan balida
tersebut selalu datang menemui mereka. Seiring berjalannya waktu, di desa Kutaringin ini
mengalami perubahan musim. Hujan tak kunjung turun. Air di sungai Lamandau pun hampir
kering. Kemarau yang berlarut-larut membuat penduduk resah. Ikan belida yang sering datang
menemui mereka pun kini tidak pernah menemui mereka lagi.
Selama tujuh tahun kemarau, air yang mengalir begitu indah berkelok-kelok mengikuti
arus sepanjang sungai kini mengering dan menjadi sebuah daratan. Penduduk pada saat ini
sangat menderita. Karena kekeringan berkepanjangan, tanaman-tanaman kebun yang dijadikan
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari kini telah mati. Sungai yang dijadikan sebagai
sumber mata pencaharian mereka kini telah menjadi daratan.
Salah satu dari warga menyusuri sungai yang menjadi daratan tersebut. Ia pergi ke daerah
hulu. Selama diperjalanan ia berharap menemukan sumber air agar penderitaan yang dialami
oleh penduduk bisa teratasi. Setelah beberapa lama menyusuri sungai itu, ia menemukan seekor
ikan tapah yang besar. Ia pun mendekati ikan tersebut dan ternyata ikan itu masih hidup.
Penduduk ini pun terkejut lalu lari dan berteriak memberitahu penduduk yang lain bahwa ada
seekor ikan tapah besar. Lalu mereka bersama-sama mendatangi ikan tersebut. “kenapa ikan ini
masih hidup, bukankah di desa kita ini kekeringan air?”, kata seorang penduduk. “Bagaimana
3. kalau kita mengangkat ikan ini, siapa tahu ada mata air dibawah ikan ini”. Lalu mereka bersama-sama
mengangkat ikan tapah ini, akhirnya pun dugaan mereka benar. Ternyata ikan tapah ini
bisa hidup karena ia berada di atas sebuah mata air. Penduduk pun senang akhirnya mereka
menemukan sumber air. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari mereka bergotong-royong
mengambil air dari bawah perut ikan tapah. Mengambil air dibawah perut tapah ini
sangat sulit, sebab ikannya besar dan menutupi mata air yang ada, sehingga mereka harus bekerja
sama. Ada yang memegang bagian kepala ikan tapah, bagian perut, dan bagian ekornya.
Bertahun-tahun sudah mereka merasakan penderitaan. Para penduduk berdoa dan
memuja kepada benda-benda yang dianggap mereka sebagai Tuhan untuk meminta supaya turun
hujan. Akhirnya doa mereka dikabulkan, hujan yang begitu deras mengguyur desa mereka
penduduk pun bersuka cita melihat air hujan yang begitu deras. Tanaman mereka pun tumbuh
kembali.
Keesokan harinya, seorang penduduk menemukan ikan belida yang sering menemui
penduduk telah terbujur kaku di sungai yang menjadi daratan tersebut. Ikan belida ini
menghilang selama musim kemarau terjadi. Setelah sekian lama, akhirnya ikan ini ditemukan
telah menjadi batu. Batu belida ini dibawa ke permukiman penduduk.
Batu belida ini tiba-tiba bisa bicara. Batu belida memberikan isyarat secara gaib bahwa di
desa Kutaringin ini suatu saat akan kedatangan seorang ulama yang akan menyebarkan agama
Islam. Lalu batu belida ini pun berbicara, “apa yang kalian inginkan di desa ini?”, kata batu
belida. “Aku bisa mengabulkan permintaan yang kalian inginkan” lanjutnya. Penduduk pun
menjadi terkejut. Batu belida yang terbujur kaku ini bisa berbicara. “kamu bisa berbicara?, kata
seorang penduduk. Batu itu pun mengangguk. “Apa benar kau bisa mengabulkan permintaan
kami?, jika benar turunkanlah hujan terus-menerus sehingga kekeringan yang melanda desa kami
ini bisa berakhir”, kata seorang penduduk desa. “Baiklah, aku akan mengabulkan itu”, jawab
batu belida. Tiba-tiba cuaca yang sangat cerah menjadi mendung, tidak lama kemudian suara
petir pun bergema lalu turun hujan yang begitu deras secara terus menerus sehingga air
memenuhi sungai Lamandau yang menjadi daratan selama bertahun-tahun. Ikan tapah yang
menutupi mata air pun akhirnya menghilang begitu saja.
Pada zaman penjajahan, masuklah Belanda menjajah penduduk desa Kutaringin ini.
Mereka tidak percaya akan keajaiban batu ikan belida. Lalu mereka menumbuk belikang batu
belida itu. Kata terakhir yang diucapkan batu belida tersebut adalah “ALLAH HUAKBAR !”. Lalu
juragan Belanda berkata, “Apa? tidak ada yang keramat!”. Penduduk pun tidak bisa berbuat apa-
4. apa, hanya bisa mengucapkan “Allah huakbar !” mengikuti perkataan batu belida tadi. Setelah
juragan Belanda menghancurkan batu belida tersebut, mereka segera meninggalkan desa
Kutaringin. Pada saat mereka berlayar, diperjalanannya, pengawal juragan Belanda ini mati
semua, hanya juragan Belanda sendirilah yang masih hidup di dalam kapal tersebut.
Batu belida yang ditumbuk oleh juragan Belanda sudah tidak bisa berbicara bahkan
memberikan isyarat secara gaib pun batu ini tidak bisa. Lalu datanglah seorang ulama yang
bernama Kyai Gede alias Abdul Qodir Assegaf. Kyai Gede datang ke desa Kutaringin diutus
oleh Syekh Arsyad Al Banjary atau Datuk Kalampayan di Kalimantan Selatan untuk menyebarkan
agama Islam. Kyai Gede datang ke Kutaringin dengan didampingi pengawalnya sebanyak 40
orang. Sebagian penduduk Dayak di Kutaringin ini setiap aktivitasnya selalu diawali dengan
mengucapkan “allah huakbar” meskipun saat itu masyarakat belum memeluk agama Islam. Ini
semua karena batu belida tersebut, batu belida ini pun sudah tidak bisa berbicara sampai saat ini.
Belanda yang pernah menjajah desa Kutaringin ini takut kembali lagi setelah Kyai Gede
menduduki jabatan sebagai Mangkubumi di Kerajaan Kutaringin.
-SELESAI-
5. ANALISIS CERITA RAKYAT
Cerita tentang batu ikan balida yang ajaib ini telah dikenal luas oleh masyarakat
Kotawaringin, terutama bagi mereka yang sering atau pernah berziarah ke makam Kyai Gede di
Kotawaringin Lama.
Sebenarnya, cerita sejarah kedatangan Islam yang masuk di bawa oleh Kyai Gede di
pedalaman Kalimantan Tengah khususnya daerah Kutaringin (sekarang: Kotawaringin) ini
memiliki dua versi yang saling bertentangan dan masing-masing mengklaim kebenaran
ceritanya.
Versi Pertama :
Abdullah Sani (penjaga makam Kyai Gede) memaparkan kalau Kyai Gede adalah ulama
yang berasal dari Demak. Namun karena sikap membangkangnya, akhirnya diusir dan dibuang dari
kerajaan. Oleh Raja Demak ketika itu, Kyai Gede beserta pengikutnya dilarang melakukan
peperangan pada hari Jumat. Namun perintah raja ini malah tak diindahkan. Ketika melakukan
peperangan, pasukannya kalah. Akhirnya dia harus menanggung konsekuensinya, di buang jauh
dari kerajaan dan akhirnya terdampar di Kerajaan Banjar setelah sebelumnya sempat melalui
Gresik.
Pada masa itu, kerajaan Banjar dibawah kekuasaan Pangeran Suriansyah yang sebelum
masuk Islam bergelar Pangeran Suryanata. Oleh Pangeran Suriansyah, Kyai Gede dengan
didampingi khatib Dayan diutus untuk menyebarkan Islam ke Kotawaringin Barat, kala itu tahun
1595 M. Dengan pengikut tak kurang dari 40 orang disertai khatib Dayan, berangkatlah Kyai Gede
menyusuri Sungai Arut hingga ke pedalaman Sungai Lamandau dan Balantik, Nanga Bulik,
Sukamara. Dalam perjalanannya menyebarkan Islam, akhirnya Kyai Gede bertemu dengan
Pangeran Adipati Anta Kasuma putra Sultan Musta'inubillah, Raja Kerajaan Banjar. Selanjutnya
berdirilah kerajaan Kotawaringin dengan Kyai Gede sebagai Mangkubumi pertamanya
mendampingi Pangeran Adipati Anta kasuma.
Versi Kedua :
Dipaparkan Gusti Djendro Suseno, Kyai Gede tidak lain adalah Kyai Gade putra asli
Kotawaringin, bukan berasal dari Demak. Dari catatan sejarah yang dimilikinya, Kyai Gade dan
Pangeran Adipati Anta Kasuma keberadaannya tidaklah sejaman.
6. Berabad-abad jaraknya, dan ini bisa dibuktikan dengan penelusuran sejarah mulai Sultan
Suriansyah berkuasa yang kemudian katanya mengutus Kyai Gede ke Kotawaringin. Masjid Djami
Kotawaringin dapat dijadikan bukti keberadaan Kyai Gede atau Gade. Masjid yang menurutnya
memang dibangun Kyai Gede, benar memiliki sebuah bedug bertuliskan huruf Jawa. bukti lain
lanjutnya, berdasar kebiasaan, seorang ulama atau penyebar agama Islam di daerah ini biasa disebut
"Syekh". Sedang gelar “Kyai” biasa diperuntukkan bagi seseorang yang memiliki keahlian atau
ilmu di bidang tertentu.
Di belakang makam Kyai Gede pun menurut Djendro, terdapat semacam batu pemujaan
terhadap nenek moyang atau menhir. Menhir ini sebagai petunjuk bahwa dahulunya Kyai Gede
adalah orang Kotawaringin yang juga penganut agama nenek moyang. Sejalan perubahan waktu,
batu pemujaan ini pun mengalami perubahan nama sesuai dengan orang-orang sekitarnya.
Keberadaan Kyai Gede sebagai penduduk asli Kotawaringin semakin diperkuat dengan banyaknya
peziarah bukan dari kalangan muslim semata, tapi juga dari penduduk yang bukan beragama Islam.
Yang menurut Djendro Suseno, tentu ini mereka lakukan karena merasa memiliki hubungan darah
dengan beliau.
Masyarakat yang tidak ingin dibingungkan oleh dua cerita sejarah ini, yang entah cerita
mana yang benar dan yang salah, oleh sebab itu mereka mengembangkan cerita sendiri yang
konon katanya diceritakan secara turun temurun. Cerita rakyat yang dikembangkan menunjukkan
adanya indikasi yang sama dengan cerita sejarah masuknya Islam di Kutaringin (atau
Kotawaringin). Tokohnya yang dianggap nyata yaitu Kyai Gede yang makamnya hingga kini
selalu ramai diziarahi orang. Peran folklor disini tampak menjadi agen penengah yang mengatasi
dua versi cerita sejarah. Dua versi cerita sejarah yang diungkapkan oleh dua tokoh masyarakat
yang berbeda sudut pandang ini sangat besar kemungkinan akan membuat masyrakat mengalami
kebingungan akan sejarahnya sendiri. Oleh sebab itu, folklore yang berwujud cerita rakyat dan
dikembangkan secara turun temurun mengambil posisi sebagai penengah dan penghapus
kebingungan di masyarakat (mediasi sosial).
7. Peta perjalanan Kyai Gede dan Makam Kyai Gede di Kotawaringin (doc. Hamsi Ali)
Posisi cerita ikan balida dan ikan tapah dapat saja menjadi pengantar cerita sejarah
tersebut karena ikan balida sangat banyak ditemukan di sepanjang sungai Arut, sungai Lamandau
dan seterusnya. Buktinya adalah daerah Kotawaringin Barat dan Lamandau memang terdapat
banyak usaha industri rumahan yang memproduksi kerupuk ikan balida dan kerupuk kuku macan
yang kesemuanya berbahan dasar ikan balida.
Dalam cerita rakyat tentang keajaiban batu belida ini, folklore memilki fungsi dalam
kehidupan masyarakat. William R. Bascom (dalam Danandjaja, 1994: 19) mengemukakan fungsi
folklor, terutama folklor lisan, adalah (1) sebagai sitem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin
angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan anak, dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Cerita rakyat batu belida
ajaib ini menurut saya masuk ke dalam kategori fungsi folklor sebagai alat pengesahan pranata-pranata
dan lembaga-lembaga kebudayaan, yaitu pranata dan lembaga agama. Agar pranata dan
lembaga agama Islam yang masuk ke desa Kutaringin diterima oleh masyarakat Dayak setempat,
maka dibuatlah cerita batu belida ini. Masyarakat Dayak dulu memang masih memegang
kepercayaan dinamisme.
Menhir yang diceritakan oleh Djendro Suseno pada cerita versi kedua hingga kini masih
dipercaya merupakan wujud pecahan dari batu belida yang diceritakan oleh tetua-tetua
masyarakat Kotawaringin.
8. SIMPULAN
Masyarakat Kutaringin pda zaman sebelum datangnya Islam masih menganut
kepercayaan dinamisme, yaitu kepercayaan yang menganggap bahwa benda-benda tertentu
misalnya batu dan pohon besar memiliki kekuatan dan keajaiban. Agama Islam datang dengan
damai dibawa oleh seorang ulama yang bernama Kyai Gede utusan dari Kerajaan Banjar.
Kedatangan Kyai Gede dengan damai dan menghargai kepercayaan masyarakat setempat
mendapat tempat di hati masyarakat, berbeda dengan kedatangan Belanda yang bertujuan
menjajah masyarakat. Agar pranata-pranata dan lembaga Islam dapat diterima oleh masyarakat
secara luas, maka masyarakat menciptakan suatu cerita yang berkembang dari mulut ke mulut.
Batu belida yang memberikan isyarat tentang kedatangan seorang ulama yang menyebarkan
agama Islam di Kutaringin menjadi tanda bagi masyarakat bahwa kekuatan gaib dalam batu
belida telah merestui masuknya hal baru ke dalam struktur masyarakat.
Selain itu, hadirnya berbagai spekulasi dan dua versi sejarah mengenai sejarah Islam di
Tanah Dayak Kutaringin agaknya membingungkan bagi masyarakat. Disinilah peran cerita
rakyat sebagai media mediasi sosial dan agen penengah ketidakpastian hadir di tengah-tengah
masyrakat untuk menghapus kegalauan sejarah identitas masyarakat tersebut. Mudahnya,
masyarakat akan lebih percaya pada cerita nenek moyang daripada cerita sejarah yang banyak
versinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ashworth, G. J. dan Tunbridge, J. E. 1990. The Tourist-Historic City. Belhaven Press,
London & New York.
Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain- lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti
9. Batu Belida Ajaib:
Isyarat Kedatangan Islam di Tanah Dayak
(Cerita Rakyat Sejarah Kedatangan Islam di Kabupaten Kotawaringin Barat,
Kalimantan Tengah)
CERITA RAKYAT
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Harian Mata Kuliah Folklor Jawa
Dosen Pengampu Nugroho Trisnu Brata, M. A
Oleh
Alfisyahr Izzati
NIM 3401412012
JURUSAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014