La psicología del ateísmo - Paul C. VitzRicardo Villa
El propio concepto de la “psicología del ateísmo” podría sonar extraño a muchos de ustedes. Sin duda, mis colegas psicólogos lo habrán encontrado extraño e incluso, me permitiría añadir, un poco molesto. Después de todo, la psicología, desde su fundación hace aproximadamente un siglo, a menudo se ha centrado en el tema opuesto, es decir, en la psicología de la creencia religiosa. De hecho, en muchos aspectos, el origen de la psicología moderna se halla íntimamente unido a los psicólogos que propusieron explícitamente interpretaciones para la creencia en Dios.
Tanto Williams James como Sigmund Freud, por ejemplo, se encontraban personal y profesionalmente involucrados, de manera muy profunda, en el tema. Recordemos “The Will to Believe” de James, y su obra todavía famosa, “Varieties of Religious Experience”. Esas dos obras se consagran a un intento de comprender la creencia como resultado de causas psicológicas, es decir, naturales. James podría sentir simpatía por la religión, aunque sus propios escritos eran parte de la labor general de la psicología por socavar la fe religiosa.
Y respecto a Sigmund Freud, sus críticas contra la religión, en particular contra el Cristianismo, son muy conocidas y serán comentadas más adelante con mayor detalle. Por ahora baste recordar lo profundamente implicados que se vieron Freud y sus pensamientos en la cuestión de Dios y la religión.
Debido a la estrecha implicación entre la fundación de gran parte de la psicología y una interpretación crítica de la religión, no debería resultar sorprendente que la mayoría de los psicólogos observen con cierta alarma cualquier intento de proponer una psicología del ateísmo. Por lo menos, un proyecto de esa naturaleza coloca a los psicólogos en una postura defensiva y les da una cierta dosis de su propia medicina. Los psicólogos siempre observan e interpretan al prójimo, por lo que ya era hora de que algunos de ellos aprendieran con experiencias propias qué significa ser analizado por el microscopio de la teoría y el experimento psicológicos.
La psicología del ateísmo - Paul C. VitzRicardo Villa
El propio concepto de la “psicología del ateísmo” podría sonar extraño a muchos de ustedes. Sin duda, mis colegas psicólogos lo habrán encontrado extraño e incluso, me permitiría añadir, un poco molesto. Después de todo, la psicología, desde su fundación hace aproximadamente un siglo, a menudo se ha centrado en el tema opuesto, es decir, en la psicología de la creencia religiosa. De hecho, en muchos aspectos, el origen de la psicología moderna se halla íntimamente unido a los psicólogos que propusieron explícitamente interpretaciones para la creencia en Dios.
Tanto Williams James como Sigmund Freud, por ejemplo, se encontraban personal y profesionalmente involucrados, de manera muy profunda, en el tema. Recordemos “The Will to Believe” de James, y su obra todavía famosa, “Varieties of Religious Experience”. Esas dos obras se consagran a un intento de comprender la creencia como resultado de causas psicológicas, es decir, naturales. James podría sentir simpatía por la religión, aunque sus propios escritos eran parte de la labor general de la psicología por socavar la fe religiosa.
Y respecto a Sigmund Freud, sus críticas contra la religión, en particular contra el Cristianismo, son muy conocidas y serán comentadas más adelante con mayor detalle. Por ahora baste recordar lo profundamente implicados que se vieron Freud y sus pensamientos en la cuestión de Dios y la religión.
Debido a la estrecha implicación entre la fundación de gran parte de la psicología y una interpretación crítica de la religión, no debería resultar sorprendente que la mayoría de los psicólogos observen con cierta alarma cualquier intento de proponer una psicología del ateísmo. Por lo menos, un proyecto de esa naturaleza coloca a los psicólogos en una postura defensiva y les da una cierta dosis de su propia medicina. Los psicólogos siempre observan e interpretan al prójimo, por lo que ya era hora de que algunos de ellos aprendieran con experiencias propias qué significa ser analizado por el microscopio de la teoría y el experimento psicológicos.
Banyak faktor sosial ekonomi, seperti: usia, ukuran keluarga, pendapatan rumah tangga, pendidikan, jenis kelamin, dan ukuran kepemilikan tanah, berdampak pada partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan. Selain faktor-faktor yang dapat diamati, modal sosial juga dipandang sebagai faktor yang tidak terlihat yang memengaruhi partisipasi rumah tangga petani ke lembaga keuangan di pedesaan. Dalam makalah ini, tinjauan lembaga
keuangan pedesaan penyalur pinjaman di Indonesia dan karakteristik partisipasi pasar yang terbatas, intervensi pemerintah, dan segmentasi telah ditunjukkan dengan jelas. Beberapa faktor penentu berbeda dari partisipasi terhadap lembaga keuangan pedesaan Indonesia dari beberapa studi juga
disajikan.
Para petani miskin dengan pendapatan utama mereka dari kegiatan
pertanian kemungkinan besar tidak memenuhi kriteria dari lembaga
keuangan formal. Ini disebabkan oleh kegiatan pertanian yang rentan dan tidak efisien dalam kebijakan pertanian. Karenanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa partisipasi petani atas kredit, khususnya akses formal mendapat perhatian khusus dan subsidi dari pemerintah, dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan.
Hasil penelusuran literatur memiliki sejumlah implikasi, yang dapat
membantu para pembuat keputusan, terutama di Indoensia. Kebijakan pinjaman harus dapat disesuaikan dengan berbagai kelompok petani. Untuk petani-solusi utama dari beberapa studi merujuk pada perluasan jaringan pinjaman lembaga keuangan melalui asosiasi sosial-politik lokal sebagai penjamin dan peminjam yang berkumpul dalam kelompok. Partisipasi dalam kelompok-kelompok ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan akses
ke program kredit formal, mengurangi biaya transaksi, karena informasi asimetris turun secara efektif.
Lembaga keuangan perlu mengubah pola pikir mereka tentang klien
sasaran. Bank komersial sekarang hanya fokus pada "nasabah besar" dibandingkan nasabah petani kecil. Keputusan pemberian pinjaman bank kemungkinan besar akan difokuskan pada kelompok tertentu, bukan umum.
Bank harus mengalokasikan modal ke sektor pertanian, mempermudah prosedur pinjaman, dan mengurangi biaya pinjaman.
Intervensi pemerintah dalam pasar kredit pedesaan harus ditentukan untuk memastikan daya saing pasar. Kredit bersubsidi cenderung semakin tidak efektif di ekonomi yang tumbuh cepat. Pinjaman tepat waktu dengan prosedur yang mudah dan biaya transaksi yang rendah harus memenuhi permintaan petani. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tentang kredit perlu memastikan keberlanjutan dan pembangunan dalam jangka panjang, tidak
hanya berfokus pada pinjaman bersubsidi dalam jangka pendek. Selain itu, pemerintah harus memiliki kebijakan untuk memperluas kegiatan lembaga keuangan pedesaan, menjangkau kelas miskin terutama di daerah pedesaan.
Motivating Teens In EFL, TESOL France 2011Paul Maglione
Teens have great potential as language learners, but we need to adapt to "English 2.0" ways of thinking and teaching. Motivation is key, and there are specific ways to achieve it.
Banyak faktor sosial ekonomi, seperti: usia, ukuran keluarga, pendapatan rumah tangga, pendidikan, jenis kelamin, dan ukuran kepemilikan tanah, berdampak pada partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan. Selain faktor-faktor yang dapat diamati, modal sosial juga dipandang sebagai faktor yang tidak terlihat yang memengaruhi partisipasi rumah tangga petani ke lembaga keuangan di pedesaan. Dalam makalah ini, tinjauan lembaga
keuangan pedesaan penyalur pinjaman di Indonesia dan karakteristik partisipasi pasar yang terbatas, intervensi pemerintah, dan segmentasi telah ditunjukkan dengan jelas. Beberapa faktor penentu berbeda dari partisipasi terhadap lembaga keuangan pedesaan Indonesia dari beberapa studi juga
disajikan.
Para petani miskin dengan pendapatan utama mereka dari kegiatan
pertanian kemungkinan besar tidak memenuhi kriteria dari lembaga
keuangan formal. Ini disebabkan oleh kegiatan pertanian yang rentan dan tidak efisien dalam kebijakan pertanian. Karenanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa partisipasi petani atas kredit, khususnya akses formal mendapat perhatian khusus dan subsidi dari pemerintah, dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan.
Hasil penelusuran literatur memiliki sejumlah implikasi, yang dapat
membantu para pembuat keputusan, terutama di Indoensia. Kebijakan pinjaman harus dapat disesuaikan dengan berbagai kelompok petani. Untuk petani-solusi utama dari beberapa studi merujuk pada perluasan jaringan pinjaman lembaga keuangan melalui asosiasi sosial-politik lokal sebagai penjamin dan peminjam yang berkumpul dalam kelompok. Partisipasi dalam kelompok-kelompok ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan akses
ke program kredit formal, mengurangi biaya transaksi, karena informasi asimetris turun secara efektif.
Lembaga keuangan perlu mengubah pola pikir mereka tentang klien
sasaran. Bank komersial sekarang hanya fokus pada "nasabah besar" dibandingkan nasabah petani kecil. Keputusan pemberian pinjaman bank kemungkinan besar akan difokuskan pada kelompok tertentu, bukan umum.
Bank harus mengalokasikan modal ke sektor pertanian, mempermudah prosedur pinjaman, dan mengurangi biaya pinjaman.
Intervensi pemerintah dalam pasar kredit pedesaan harus ditentukan untuk memastikan daya saing pasar. Kredit bersubsidi cenderung semakin tidak efektif di ekonomi yang tumbuh cepat. Pinjaman tepat waktu dengan prosedur yang mudah dan biaya transaksi yang rendah harus memenuhi permintaan petani. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tentang kredit perlu memastikan keberlanjutan dan pembangunan dalam jangka panjang, tidak
hanya berfokus pada pinjaman bersubsidi dalam jangka pendek. Selain itu, pemerintah harus memiliki kebijakan untuk memperluas kegiatan lembaga keuangan pedesaan, menjangkau kelas miskin terutama di daerah pedesaan.
Motivating Teens In EFL, TESOL France 2011Paul Maglione
Teens have great potential as language learners, but we need to adapt to "English 2.0" ways of thinking and teaching. Motivation is key, and there are specific ways to achieve it.
http://www.stagerightinc.com/continuing_education/venue-contract-negotiation/ This is an event for meeting planners in which a Miami lawyer explains how to negotiate certain things into your venue contract.
What's the Problem? Policy Analysis of 1996 US Welfare ReformJulie Graber
This paper uses Bacchi's "What’s the Problem" policy analysis tool to examine the problem representations reflected in the 1996 US welfare reform as it was enacted and the implications of that representation in the development and implementation