- Masa Rasul dan Khulafa Ar-Rasyidin menandai awal mula terbentuknya peradaban Islam melalui pembangunan Masjid Nabawi, pengaturan sistem sosial dan politik dalam Piagam Madinah, serta penyebaran agama Islam melalui dakwah dan perang-perang yang dipimpin Rasulullah.
Sejarah peradaban islam Masa Bani AbbasiyahMahad Alzaytun
Setiap masa ada peradaban yang hidup jaya, dan ada juga terkubur tanpa sisa maka contoh peradaban yang masih bisa dilihat keberadaannya adalah mesti kita syukuri dan pelajari supaya kita bisa mengambil pelajarn dari ada dan ketiadaannya. semoga bermanfaat
- Masa Rasul dan Khulafa Ar-Rasyidin menandai awal mula terbentuknya peradaban Islam melalui pembangunan Masjid Nabawi, pengaturan sistem sosial dan politik dalam Piagam Madinah, serta penyebaran agama Islam melalui dakwah dan perang-perang yang dipimpin Rasulullah.
Sejarah peradaban islam Masa Bani AbbasiyahMahad Alzaytun
Setiap masa ada peradaban yang hidup jaya, dan ada juga terkubur tanpa sisa maka contoh peradaban yang masih bisa dilihat keberadaannya adalah mesti kita syukuri dan pelajari supaya kita bisa mengambil pelajarn dari ada dan ketiadaannya. semoga bermanfaat
1. Menjelaskan sejarah hidup Nabi Muhammad SAW mulai dari kelahiran hingga menerima wahyu pertama.
2. Menguraikan misi Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia dan menjadikannya rahmatan lil 'alamin.
3. Memaparkan perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah hingga hijrah ke Madinah.
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi dan Al-Tabari adalah tiga kitab tafsir yang sangat penting. Mereka menggunakan metode yang sama yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, hadis, kata-kata sahabat dan ulama salaf. Tafsir Ibnu Katsir sangat banyak mengutip hadis, Al-Qurtubi lebih menekankan hukum-hukum syariat, sedangkan Al-Tabari memuat pendapat ulama
Tafsir sufi dibagi menjadi 2 jenis yakni tafsir nazhari dan isyari. Tafsir nazhari sejalan dengan tasawuf nazhari sedangkan tafsir isyari sejalan dengan tasawuf isyari. Beberapa karya tafsir sufi antara lain Tafsir al-Qur'an al-'Adzim karya Sahl bin 'Abdillah at-Tustari yang membahas beberapa ayat secara terpisah, Haqaiq al-Tafsir karya Abu '
ruang lingkup ilmu kalam adalah tentang mengesakan tuhan yang diperkuat dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqidah - aqidah yang menyimpang
the scope of theology is about the Oneness of God reinforced with rational arguments to avoid deviating Aqeedah
Email: fadrymuhammad50@gmail.com
Dokumen tersebut membahas tentang tafsir Al-Quran dan tokoh-tokoh tafsir yang terkenal. Ia menjelaskan bahwa tafsir berarti menjelaskan makna Al-Quran, termasuk arti harfiah dan arti tersembunyi (ta'wil). Kemudian disebutkan beberapa ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang terkait dengan ilmu tafsir. Selanjutnya disebutkan tokoh-tokoh salaf yang terkenal dalam bidang tafsir seperti I
Pendidikan Islam mengalami kemajuan besar pada masa Abbasiyah. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi membuat sumbangan besar pada bidang kedokteran, matematika, dan ilmu pengetahuan lainnya. Pendidikan berkembang melalui lembaga seperti madrasah, perpustakaan, dan rumah sakit yang mendorong terjemahan buku-buku Yunani dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Perpindahan Ibu Kota Dinasti Abbasiyah Dari Kuffah Ke Baghdad.Hikmah Didirikannya Dinasti Abbasiyah.Perjalanan Hidup Abul Abbas As-Saffah
itu yang dirangkum dalam ppt ini supaya bisa lbih spesifik lagi untuk memahaminya.
Dokumen tersebut membahas tentang Pertempuran Badar antara umat Islam melawan musuh-musuhnya dari Mekkah. Pertempuran ini terjadi pada tahun 624 M dengan pasukan Muslim yang berjumlah 313 orang mengalahkan pasukan Mekkah yang jauh lebih besar berjumlah 1000 orang. Pertempuran ini sangat berarti bagi umat Islam awal sebagai bukti kemenangan atas musuh-musuh mereka.
Dokumen tersebut merangkum perkembangan Islam di kota Madinah pada masa Nabi Muhammad saw. Beberapa poin pentingnya adalah hijrah Nabi saw beserta pengikutnya ke Madinah untuk menghindari ancaman kaum Quraisy di Mekkah, upaya Nabi saw dalam membangun masyarakat Islam di Madinah melalui pembangunan masjid, perjanjian antar suku, dan penyusunan aturan, serta strategi dakwah Nabi saw dengan mencontoh
Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembaniHamuza Hamuza
Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani adalah salah satu kunci pembuka perkembangan intelektualisme Islam Nusantara abad 18. Ia lahir di Palembang dan menimba ilmu di berbagai tempat seperti Kedah, Pattani, Mekkah, dan Madinah. Karya-karyanya memengaruhi perjuangan melawan kolonialisme dan menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Riwayat hidupnya masih sedikit diketahui namun kontribus
1. Menjelaskan sejarah hidup Nabi Muhammad SAW mulai dari kelahiran hingga menerima wahyu pertama.
2. Menguraikan misi Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia dan menjadikannya rahmatan lil 'alamin.
3. Memaparkan perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah hingga hijrah ke Madinah.
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi dan Al-Tabari adalah tiga kitab tafsir yang sangat penting. Mereka menggunakan metode yang sama yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, hadis, kata-kata sahabat dan ulama salaf. Tafsir Ibnu Katsir sangat banyak mengutip hadis, Al-Qurtubi lebih menekankan hukum-hukum syariat, sedangkan Al-Tabari memuat pendapat ulama
Tafsir sufi dibagi menjadi 2 jenis yakni tafsir nazhari dan isyari. Tafsir nazhari sejalan dengan tasawuf nazhari sedangkan tafsir isyari sejalan dengan tasawuf isyari. Beberapa karya tafsir sufi antara lain Tafsir al-Qur'an al-'Adzim karya Sahl bin 'Abdillah at-Tustari yang membahas beberapa ayat secara terpisah, Haqaiq al-Tafsir karya Abu '
ruang lingkup ilmu kalam adalah tentang mengesakan tuhan yang diperkuat dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqidah - aqidah yang menyimpang
the scope of theology is about the Oneness of God reinforced with rational arguments to avoid deviating Aqeedah
Email: fadrymuhammad50@gmail.com
Dokumen tersebut membahas tentang tafsir Al-Quran dan tokoh-tokoh tafsir yang terkenal. Ia menjelaskan bahwa tafsir berarti menjelaskan makna Al-Quran, termasuk arti harfiah dan arti tersembunyi (ta'wil). Kemudian disebutkan beberapa ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang terkait dengan ilmu tafsir. Selanjutnya disebutkan tokoh-tokoh salaf yang terkenal dalam bidang tafsir seperti I
Pendidikan Islam mengalami kemajuan besar pada masa Abbasiyah. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi membuat sumbangan besar pada bidang kedokteran, matematika, dan ilmu pengetahuan lainnya. Pendidikan berkembang melalui lembaga seperti madrasah, perpustakaan, dan rumah sakit yang mendorong terjemahan buku-buku Yunani dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Perpindahan Ibu Kota Dinasti Abbasiyah Dari Kuffah Ke Baghdad.Hikmah Didirikannya Dinasti Abbasiyah.Perjalanan Hidup Abul Abbas As-Saffah
itu yang dirangkum dalam ppt ini supaya bisa lbih spesifik lagi untuk memahaminya.
Dokumen tersebut membahas tentang Pertempuran Badar antara umat Islam melawan musuh-musuhnya dari Mekkah. Pertempuran ini terjadi pada tahun 624 M dengan pasukan Muslim yang berjumlah 313 orang mengalahkan pasukan Mekkah yang jauh lebih besar berjumlah 1000 orang. Pertempuran ini sangat berarti bagi umat Islam awal sebagai bukti kemenangan atas musuh-musuh mereka.
Dokumen tersebut merangkum perkembangan Islam di kota Madinah pada masa Nabi Muhammad saw. Beberapa poin pentingnya adalah hijrah Nabi saw beserta pengikutnya ke Madinah untuk menghindari ancaman kaum Quraisy di Mekkah, upaya Nabi saw dalam membangun masyarakat Islam di Madinah melalui pembangunan masjid, perjanjian antar suku, dan penyusunan aturan, serta strategi dakwah Nabi saw dengan mencontoh
Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembaniHamuza Hamuza
Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani adalah salah satu kunci pembuka perkembangan intelektualisme Islam Nusantara abad 18. Ia lahir di Palembang dan menimba ilmu di berbagai tempat seperti Kedah, Pattani, Mekkah, dan Madinah. Karya-karyanya memengaruhi perjuangan melawan kolonialisme dan menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Riwayat hidupnya masih sedikit diketahui namun kontribus
Konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldunLtfltf
Makalah ini membahas tentang konsep klasifikasi ilmu menurut Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu tradisional (naqliyah) yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah, dan ilmu-ilmu rasional (aqliyah) yang diperoleh melalui penggunaan akal. Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai bapak sosiologi Islam karena kontribusinya dalam bidang
Buku ini membahas lima mazhab fiqih (hukum Islam) utama yang dianut oleh mayoritas umat Islam, yaitu mazhab Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Ahmadi. Buku ini merupakan terjemahan dari karya Muhammad Jawad Mughniyah yang diterbitkan pada tahun 1960, yang menjelaskan pandangan para imam mazhab secara gamblang.
Dokumen tersebut merangkum biografi singkat dua imam mazhab fiqih utama dalam Islam, yaitu Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi dan Imam Malik pendiri mazhab Maliki. Keduanya hidup pada abad pertama hijriah dan berasal dari wilayah Persia (Imam Abu Hanifah) dan Madinah (Imam Malik). Mereka berjasa besar dalam pengembangan fiqih Islam dengan masing-masing mendirikan mazhabnya sendiri.
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...desi_aoi
Dokumen tersebut membahas sejarah berbagai mazhab fiqh yang berkembang pada abad ke-2 sampai ke-4 Hijriyah. Munculnya berbagai mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali dengan pendirinya masing-masing. Dokumen juga menjelaskan dasar-dasar hukum setiap mazhab tersebut.
Makalah ini membahas tentang tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Secara singkat, dibahas tentang latar belakang penulisan tafsir Al-Manar yaitu situasi sosial, politik, dan budaya di Mesir dan negara-negara Arab pada saat itu. Selanjutnya dibahas metode dan corak penafsiran tafsir Al-Manar yang menekankan fungsi kehidayahan Al-Qur'an untuk manusia.
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IMAM AL SYAIBANI
Konsep Teori yang Dikemukakan Imam Al-Syaibani
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IMAM AL MAWARDI
Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi
Dokumen tersebut membahas konsep fatwa dalam Islam, meliputi definisi fatwa dari sudut bahasa dan istilah, sejarah pengeluaran fatwa sejak zaman Nabi Muhammad hingga zaman modern, perbandingan antara fatwa dan ijtihad, serta peranan fatwa dalam masyarakat.
Imam Malik bin Anas lahir pada tahun 93-94 H di Madinah. Ia adalah pendiri mazhab Maliki dan dikenal sebagai sosok ulama besar yang memiliki pengaruh luas. Imam Malik mendalami ilmu agama Islam di bawah bimbingan guru-guru besar di Madinah. Karya monumentalnya, Kitab Al-Muwaththa', merupakan kitab hadis pertama yang disusun secara sistematis.
Imam Malik bin Anas lahir pada tahun 93-94 H di Madinah. Ia adalah pendiri mazhab Maliki dan dikenal sebagai sosok ulama besar yang memiliki pengaruh luas. Imam Malik mendalami ilmu agama di bawah bimbingan guru-guru besar di Madinah seperti Rabi'ah al-Ra'yu dan Yahya bin Sa'id. Karya monumentalnya, Kitab Al-Muwaththa', merupakan kitab hadis pertama yang disusun secar
1. Biografi singkat Al-Ma'mun sebagai khalifah ke-8 Daulah Abbasiyah yang terkenal dengan kebijaksanaan dan kesabaran dalam mengelola pemerintahan.
2. Kontroversi utama selama masa kepemimpinannya adalah dukungannya terhadap pandangan Mu'tazilah yang menyatakan Al-Qur'an sebagai makhluk ciptaan.
3. Jasanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mendirikan Baitul H
Similar to Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m) (20)
1. Tiga kelompok silat (Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai) berkumpul di puncak gunung untuk bertemu dengan guru sakti mereka, Bu Kek Siansu.
2. Mereka mendengar nyanyian Bu Kek Siansu dari jauh, menimbulkan pertanyaan apakah dia penganut agama To atau Buddha.
3. Perbedaan pendapat muncul tentang latar belakang agama Bu Kek Siansu.
1. Anak laki-laki berusia tujuh tahun bernama Kwa Sin Liong tinggal sendirian di Hutan Seribu Bunga setelah orang tuanya dibunuh oleh pencuri.
2. Sin Liong dikenal oleh penduduk setempat sebagai anak ajaib karena kemampuannya mengobati penyakit hanya dengan tanaman obat.
3. Asal usul Sin Liong dan kejadian pembunuhan orang tuanya diungkap.
Constructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuriesSyamsul Noor
Constructing the polity of Sriwijaya in the 7th – 8th centuries: The view according to the inscriptions No. 9
Anton O. Zakharov
Institute for Oriental Studies, Russian Academy of Sciences
Lakon Pada Suatu Hari karya Arifin C. Noer menceritakan tentang sepasang suami istri tua yang saling mengingat masa lalu bersama sambil menunggu kedatangan tamu. Kakek dan Nenek terlihat masih saling menggoda walaupun sudah tua. Kemudian tamu yang datang adalah seorang janda bernama Nyonya Wenas yang dulu dekat dengan Kakek. Interaksi antara ketiganya menimbulkan berbagai kesalahpah
Buku ini membahas tentang berpikir besar dan bagaimana hal itu dapat membawa keberhasilan, kebahagiaan, dan kepuasan dalam hidup. Bab pertama menjelaskan bahwa kepercayaan diri yang kuat pada kemampuan diri sendiri sangat penting untuk meraih kesuksesan, dan bagaimana orang dapat melatih diri untuk berpikir positif.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran di Indonesia yang dilakukan dalam satu sistem penyiaran nasional yang terdiri dari lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu. Undang-undang ini membentuk Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga independen yang mengatur penyiaran dan mewakili kepentingan masyarakat serta menjamin masyarakat memperoleh informasi yang benar.
Undang-undang ini mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia. Pemerintahan daerah diberi otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus urusan daerah sesuai dengan prinsip desentralisasi. Undang-undang ini juga mengatur tentang pembentukan daerah baru, hubungan antar pemerintah pusat dan daerah, serta keuangan daerah.
Tenggelamnya kapal van der wijck hamkaSyamsul Noor
Cerita ini menceritakan tentang seorang anak muda bernama Zainuddin yang tinggal di kota Mengkasar. Ia teringat pesan ayahnya sebelum meninggal yang mengatakan bahwa tanah kelahirannya sebenarnya jauh di seberang laut, bukan di Mengkasar. Cerita kemudian memfokuskan pada asal usul Zainuddin, di mana ayahnya bernama Pandekar Sutan yang berasal dari desa di Padang Panjang. Pande
Negara gagal mengelola_konflik_novri susanSyamsul Noor
Buku ini membahas tentang gagalnya negara Indonesia dalam mengelola berbagai konflik yang terjadi di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Konflik-konflik tersebut meliputi konflik sumber daya, konflik horizontal dan terorisme, konflik politik dalam pemilu dan pilkada, serta konflik elit politik. Buku ini menawarkan perspektif tata kelola konflik dan menganalisis bagaimana konflik-konflik tersebut dapat ditransform
Meadows of gold and mines of gems by el mas'udiSyamsul Noor
This document is the preface to a translation of El-Mas'ud's Historical Encyclopaedia titled "Meadows of Gold and Mines of Gems" from Arabic to English. The preface discusses El-Mas'ud's importance as a historian and compares him to Herodotus. It also discusses the value of Oriental studies and defending their usefulness in broadening perspectives and furthering understanding of human societies and history.
05 a modern history of the islamic worldSyamsul Noor
This document provides an overview of a book titled "A Modern History of the Islamic World" by Reinhard Schulze. It includes front matter such as a dedication, preface, contents, acknowledgements, and lists of maps and illustrations. The preface discusses the September 11th terrorist attacks and provides context on Osama bin Laden and al-Qaeda. It notes that extremists like bin Laden represent a very small fraction of Muslims and explores the relationship between Islam and politics. The preface argues that Islam represents a means for interpreting the world rather than determining social or political activity. It traces the evolution of Islamic ideologies in the 20th century from seeking social utopias to emphasizing cultural identity in the face of globalization
1. Perempuan tua dan penyair berbincang di taman malam hari sambil memperhatikan pasangan-pasangan muda yang duduk di bangku taman.
2. Perempuan tua beranggapan bahwa pasangan-pasangan itu sudah mati meski masih hidup, sementara penyair menghargai romantisme dan impian masa muda mereka.
3. Perdebatan berlanjut mengenai arti kehidupan dan penuaan.
1. HALAMAN1
Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M)
Filsuf dan Ulama Tassawuf
dari Palembang
Oleh
Syamsul Noor Al-Sajidi
Halaqah Melayu
Sebangsa-Secita-Setuturan
2015
2. HALAMAN2
Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M)
Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang
Oleh Syamsul Noor Al-Sajidi
yaikh Abdus Samad Al-Palimbani dilahirkan pada 1116 Hijriyah (1704 Masehi) di
Palembang. Di dalam buku Ensiklopedi Islam nama lengkap beliau ditulis Abdus Samad Al-
Jawi Al-Palimbani. Di dalam sumber-sumber berbahasa Melayu, sebagaimana dikutip oleh
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), nama lengkap beliau dituliskan Abdul Samad bin
Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani.
Masih menurut Azyumardi, bila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap beliau adalah
Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi Al-Palimbani. Azyumardi berpendapat nama
terakhir yang lebih mendekati kebenaran, yaitu Syeikh Abdus Samad. Sebagaimana tradisi
penyebutan nama orang di Arab dan Timur Tengah yang biasanya ditautkan dengan asal atau tempat
kelahiran, karena beliau berasal dari Palembang ditambahkanlah Al-Palembani pada akhir nama
beliau sehingga menjadi Abdus Samad Al-Palimbani .
Al-Palimbani lahir dari pasangan Syeikh Abdul Jalil bin Syaikh Abdul Wahab bin Syaikh Ahmad
Al-Mahdani dengan Radin Ranti. Ayahnya (Syaikh Abdul Jalil) adalah mubaligh asal Yaman yang
pada abad ke-18 menjabat sebagai Mufti di Kesultanan Kedah. Sedangkan ibunya (Radin Ranti)
adalah perempuan asal Palembang. Sebelum menikahi Radin Ranti, Syaikh Abdul Jalil sudah
memperisteri Wan Zainab putri Sultan Kedah, yaitu Dato Sri Maharaja Dewa.
Dari pernikahan dengan putri dari Kedah itu – berdasarkan sumber-sumber Melayu – Syaikh Abdul
Jalil mendapatkan dua anak, yaitu Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir. Dari pernikahan dengan
Radin Ranti, Syeikh Abdul Jalil mendapatkan seorang anak bernama Abdus Samad. Puluhan tahun
kemudian pemikiran tasawuf filosofis Abdus Samad Al-Palimbani inilah yang berhasil menembus
batasan-batasan teritorial di dunia Islam, baik pada masanya maupun sekarang.
Ensiklopedi Islam yang beredar di Arab, Timur Tengah, dan Barat menempatkan kepopuleran Al-
Palimbani setara dengan Bung Karno Presiden ke-1 Republik Indonesia. Nama Al-Palimbani di
kalangan umat Islam di Arab dan Timur Tengah sangat dihormati dan disegani. Dalam data sejarah
di Masjid Al-Haram, Mekkah tercatat nama Al-Palimbani sebagai satu-satunya ulama dari
Nusantara yang mendapatkan kehormatan sebagai imam besar Masjid Al-Haram.
Beberapa kitab karangan Al-Palimbani sampai sekarang masih menjadi salah satu kitab pokok
tentang tassawuf yang dipelajari di berbagai pesantren di Thailand bagian selatan (terutama Patani)
dan Malaysia. Di Arab, Timur Tengah, Barat, dan Semenanjung Malaya ketenaran nama Al-
Palimbani sebagai ulama tassawuf boleh dianggap melampaui Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,
Abdul Rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari, dan sebagainya.
S
3. HALAMAN3
Pendidikan
Al-Palimbani sejak balita hingga remaja mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syaikh
Abdul Jalil di Palembang. Dalam usia sekitar 14 tahun, Al-Palimbani sudah fasih berbahasa Arab
dan hafal Kitabullah Alquran. Dalam usia itu pula Al-Palimbani sudah terbiasa membahas kitab-
kitab tassawuf karangan para ulama terkemuka, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani, Syaikh Abdul
Rauf Singkel, Nuruddin Al-Raniri, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan lain-lain. Melihat minat,
kesungguhan, dan kecerdasan sang anak, Syaikh Abdul Jalil lalu mengantarkan Al-Palimbani
bersama saudara-saudaranya ke suatu pondok pesantren di Patani, Thailand. Pada masa itu Patani
memang cukup terkenal sebagai tempat yang kondusif untuk mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman
melalui sistem pendidikan berpola pondok pesantren.
Beberapa peneliti sejarah ke-Islaman menduga kuat Al-Palimbani bersama saudaranya seayah, yaitu
Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah mendapatkan gemblengan di pondok-pondok terkenal di
Patani, seperti Pondok Bendang Gucil di Kerisik atau Pondok Kuala Bekah atau pun Pondok
Semala.
Salah seorang guru Al-Palimbani di Patani yang dapat diketahui adalah Syaikh Abdur Rahman bin
Abdul Mubin Pauh Bok. Para sesepuh Kampung Pauh Bok itu menuturkan perihal keutamaan Al-
Palimbani yang berasal dari Palembang sebagai murid dari Syaikh Abdur Rahman. Penuturan itu
sesuai dengan pernyataan yang tertulis dalam kitab terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa versi Syaikh
Abdus Samad bin Qunbul Al-Pathani. Menurut kitab itu Syaikh Abdur Rahman Pauh Bok
menganjurkan/merekomendasikan Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani untuk melanjutkan
pendidikan ke Mekah dan Madinah. Data berkaitan dengan hal ini belum ditemukan pada sumber-
sumber tertulis lain.
Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syaikh Muhammad bin Samman, selain mendalami
kitab-kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani (dua ulama
ternama dari Nangroe Aceh). Sejak kecil Al-Palimbani memang lebih banyak mempelajari tasawuf.
Tidak mengherankan bila sejarah mencantumkan Al-Palimbani sebagai pemikir dan ulama yang
memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam tassawuf.
Saat masih menuntut ilmu di Patani, di mata para guru, teman-temannya, dan masyarakat yang
mengenalnya, Al-Palimbani dianggap alim. Dia mendapat amanat sebagai kepala thalaah (tutor) di
pondoknya. Dari Patani Al-Palimbani lalu melanjutkan pendidikannya ke Masjid Al-Haram di
Mekkah.
Di Mekkah dia bertemu dan bergaul dengan para pelajar/ulama lain dari berbagai pelosok
Nusantara. Teman seperguruan dia dalam menuntut ilmu yang berasal dari Nusantara, antara lain
Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud
Al-Fatani. Bersama teman-temannya di Mekah, Al-Palimbani menurut Azyumardi, selalu
memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak belajar di Mekkah, Al-Palimbani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas
dan spiritualitas. Beliau mendapatkan pencerahan-pencerahan dari para gurunya. Beberapa guru
yang sangat berpengaruh dalam menempa intelektualitas dan spiritualitas Al-Palimbani, antara lain
Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-
4. HALAMAN4
Mun´im Al-Damanhuri. Sejarah mencatat Al-Palimbani juga berguru kepada Ibrahim Al-Rais,
Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Memberantas Wujudiyah Mulhid
Pada pertengahan abad ke-18 di Palembang menyebar paham atau tarikat wujudiyah mulhid (WM).
Paham yang menyimpang dari Alquran dan Alhadits ini telah lebih dulu berkembang di Nangroe
Aceh pada akhir abad ke-17. Berkat usaha-usaha dakwah para ulama terutama Syaikh Nuruddin Al-
Raniri, umat Islam di Nangroe Aceh berhasil dibersihkan dari segala pengaruh wujudiyah mulhid.
Tak dinyana di belakang hari praktik WM ini telah pula ditemukan menyebar dan berkembang di
Palembang. Al-Palimbani yang bermukim di Mekah mengetahui di kota kelahirannya telah
berkembang paham WM. Beberapa pelajar dan jemaah haji asal Palembang menemui beliau dan
melaporkan perkara paham yang dapat menyesatkan umat Islam tersebut.
Penguasa Kesultanan Palembang Darussalam ketika itu berhasrat kuat memberantas paham WM
sedini mungkin sebelum menyebar lebih luas. Sultan yang memerintah pada saat itu diduga kuat
adalah Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862) mengirim surat kepada Al-Palimbani melalui
jemaah haji. Sultan meminta fatwa kepada Al-Palimbani selaku ulama tasawuf tentang perkara WM
dan bagaimana ikhtiar umat Islam dalam mengatasinya.
Atas dasar tanggung sebagai ulama sekaligus berdasarkan permintaan sultan Palembang selaku
umara, pada tahun 1188 H bertepatan dengan tahun 1774 M Al-Palimbani menyelesaikan penulisan
kitab, berjudul Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Ḥaqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat
al-Murtaddin. Di dalam kitab ini Al-Palimbani menyampaikan hujjah dan targib kepada seluruh
umat Islam agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran
tarikat yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen), paham wujudiyah mulhid.
Di dalam kitab ini Al-Palimbani juga menyatakan penulisan kitab tersebut atas permintaan sultan
Palembang.
Di Palembang ketika itu sebenarnya terdapat beberapa ulama yang dalam bidang fiqh, asbab al-
nuzul, asbab al-wurud, qiyas, bayan, dan lain-lain boleh dibilang juga sangat mumpuni. Para ulama
itu, antara lain Syihabudin bin Abdullah Muhammad (menulis kitab Haqiqat Al-Bayan), Muhammad
Muhyiddin bin Syihabuddin (mengarang Hikayat Syeikh Muhamad Saman), Kemas Fakhruddin
(menulis Fath Al-Rahman), dan Muhammad Ma‘ruf bin Abdullah (khatib Palembang yang menulis
Tariqah yang Dibangsakan kepada Qadariyah dan Nakshabandiyah).
Beberapa kitab berikut ini adalah karangan Al-Palimbani yang berhasil didata oleh para peneliti:
1. Zahrah Al-Murid fi Bayani Kalimah Al-Tauhid, selesai ditulis pada 1178 H atau 1764 M.
2. Risalah tentang Sebab-sebab yang Diharamkan untuk Pernikahan, selesai ditulis pada 1179 H
atau 1765 M.
3. Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Ḥaqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat al-
Murtaddin, selesai ditulis pada 1188 H atau 1774 M;
4. Hidayatus Salikin fi Suluki Maslakil Muttaqin, selesai ditulis pada 1192 H/1778 M.
5. Kitab Mi’raj, selesai ditulis pada 1201 H/1786 M;
6. Sairus Salikin ila ‘Ibadati Rabb Al-‘Alamin, selesai ditulis pada 1194 H/1780 M-1203 H/1788
M.
7. Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
5. HALAMAN5
8. Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
9. Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al-
Mujtahidina fi Sabilillah.
10. Al-Risalatu fi Kaifiyat Al-Ratib Lailatil Jum’ah
11. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
12. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabb Al-‘Alamin
13. Ilmut Tasawuf
14. Mulkhish At-Tuhbat Al-Mafdhah min Al-Rahmat Al-Mahdah ‘Alaihis Shalatu wa Al-Salam
15. Anis Al-Muttaqin
16. Puisi Kemenangan Kedah.
Beberapa kitab karya Al-Palimbanu yang kini menjadi monumental, terutama Sairus Salikin dan
Hidayatus Salikin diketahui tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Beberapa kitab lainnya
disimpan dan dirawat di Perpustakaan Nasional di Jakarta.
Kitab Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al-
Mujtahidina fi Sabilillah, sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan
penjajah Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya
Tengku Cik Ditiro merupakan kutipan dari kitab tersebut. Masalah jihad fi sabililiah memang sangat
banyak dibicarakan Al-Palimbani.
Pada 1772 M, Al-Palimbani mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hameng-kubuwono
I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka. Al-Palimbani secara arif dan bijaksana
mengimbau para pemimpin di Mataram agar secara terus-menerus melaksanakan jihad fi sabilillah
melawan kompeni Belanda.
Pokok Ajaran Tasawuf
(Telaah terhadap Kitab Sairus Salikin)
Pada abad ke-7 hingga abad ke-9 Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran agama Budha, maka
sejak abad ke-18 Palembang menjadi pusat ilmu dan syiar Islam (Faille, 1997 dan Gajahnata, 1986).
Dalam perkembangan berikutnya Palembang menjadi salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai
pengetahuan ke-Islaman di dunia Melayu, baik sastra maupun agama. Hal ini dibuktikan dari
banyaknya naskah keagamaan yang asal usulnya merujuk ke Palembang baik penulis maupun
scriptoriumnya. Karya-karya tersebut umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga abad ke-19.
Islam dengan aksara Arab merupakan gelombang budaya kedua yang memperkaya khasanah sastra
Nusantara. Sebagian masyarakat Nusantara mengeskpresikan pikirannya dalam suatu sistem tulisan,
mengadopsi sistem aksara baru (Arab) - disamping tetap menggunakan yang lama - dengan
menyesuaikannya dengan sistem bunyi dan keperluan masing-masing daerah. Adopsi tulisan Arab
dengan bunyi bahasa daerah di Nusantara ini disebut Pegon (Jawa dan Sunda), Jawi (Melayu),
Hurupa (Bugis-Makasar) dan sebagainya (Pudjiastuti, 2005).
Setelah kedatangan Islam di Palembang, kesusastraan di kawasan itu mengalami kelahiran kembali
dengan menggunakan tulisan Jawi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Iskandar (1995: 440)
mengatakan kesusastraan Palembang hidup kembali dan mengalami masa keemasannya setelah
Islam datang.
6. HALAMAN6
Tidak dapat dipungkiri pendorong timbulnya generasi baru ulama dan produktivitas keilmuan di
Palembang adalah Kesultanan Palembang dan ulama–ulama Arab yang diundang untuk mengajar
berbagai cabang studi Islam. Sejak awal abad ke 17 para Sultan Palembang telah menunjukkan
minat khususnya pada bidang keagaman Islam. Menjelang pertengahan abad ke 18 di kesultanan
Palembang telah hadir beberapa ulama Arab yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan
tradisi Islam di Palembang (Azra, 1994: 244). Lebih dari pada itu, mereka memberi kontribusi
terhadap munculnya istana Palembang sebagai pusat pengetahuan keislaman dan tempat koleksi
besar karya-karya keagamaan.
Catatan ini mencoba mengemukakan kembali ajaran tasawuf yang telah dituangkan oleh Al-
Palimbani dalam kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin. Kiranya dapatlah dimaklumi catatan ini
akan hanya menyentuh perkara-perkara mubtadi (dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih
berada di maqam permulaan atau awam).
Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga dalam Sair al-Salikin (Sairus
Salikin), ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta mengklasifikasinya menurut isi masing-
masing kitab tersebut. Ada yang dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat
permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan
(mutawassith) dan ada pula yang hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat
penghabisan (muntahi) saja.
Tasawuf mengistilahkan kemajuan dalam kehidupan spritual sebagai suluk dan sang pencari Allah
sebagai salik (penempuh jalan spiritual). Makna leteral suluk adalah menempuh jalan, yang
merupakan suatu tindakan fisik dan bisa dipandang sebagai gerakan dalam dimensi ruang. Tetapi
secara transversal, makna yang dimaksud suluk adalah “perjalanan spritual” dan bukan
tindakan/gerakan dalam dimensi ruang.
Al-Palimbani mengambil sanad dalam Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al-
Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri tarekat sammaniyah. Dalam tulisan-
tulisannya, khususnya dalam Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin, ia selalu menyebut dirinya
sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani.
Pokok-pokok ajaran tasawuf Al-Palimbani dekat dengan Al-Ghazali dalam Al-Arbain fi Ushul Al-
Dien, meliputi aspek sebagai berikut:
(a) Taubat
Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang harus diambil oleh setiap orang
yang ingin menempuh jalan tasawuf. Menurut dia, taubat merupakan jalan bagi orang salik yang
menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang menyampaikan kepada makrifah
Allah. Di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat yakni “Suatu makna yang bersusun dari
tiga perkara: ilmu, hal, dan fi’il, yakni perbuatan”.
Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang
melakukan perbuatan dosa. Untuk mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan
tiga hal :
Pertama, “bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah
dan kepada manusia”.
7. HALAMAN7
Kedua, harus diingat “betapa beratnya siksaan Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang
yang berbuat maksiat”.
Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk “menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat”
nanti (Al-Palimbani, Jilid IV: 7 – 8).
Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan:
Pertama, taubat orang awam;
Kedua, taubat orang khawash;
Ketiga, taubat orang khawash al-khawash.
Taubat dari “maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh,
merampas, mencuri, dan sebagainya; orang khawash taubat dari “maksiat batin”, seperti ujub, ria,
takabur, hasad, dan sebagainya; sedangkan orang khawash al-khawash, taubat dari segala yang
terlintas di dalam hatinya yang lain dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir
hati kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu dengan dzikrullah (ingat
kepada Allah) di dalam hati dan syuhud (memandang dalam hati) akan Allah Ta’ala.
Tingkat taubat yang ketiga ini bukan lagi “permulaan jalan bagi orang yang salik” karena orang
yang bertaubat dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang khawash al-
khawas, yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat
pada tingkat ketiga ini adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak makrifah yang berada di
ujung jalan orang sufi, yang hanya dicapai oleh seorang salik yang telah menempuh perjalanan
panjang.
Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang salik hanya meliputi taubat orang
awam dan taubat orang khawash, yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan
diri dari “maksiat lahir” dan “maksiat batin.” Tetapi perjuangan ini pun belum dapat dirampungkan
pada maqam taubat, karena maksiat batin hanya terhapus setelah seorang salik berada pada maqam
zuhud.
Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin “tersimpan” dalam sepuluh perkara sebagai berikut :
1 Banyak makan
2 Banyak berkata-kata,
3 Pemarah,
4 Dengki,
5 Kikir dan cinta harta
6 Cinta kemegahan dan kebesaran
7 Cinta dunia,
8 Tinggi hati,
9 Uzub,
10 Ria
Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar yang ada di dalam hati. Di samping
itu ada empat macam dosa besar yang termasuk dalam dosa bathin yaitu :
1 Menyekutukan Allah,
2 Mengekalkan berbuat maksiat,
3 Putus asa dari rahmat Allah,
4 Tidak takut siksa Allah.
8. HALAMAN8
Perasaan “Cinta dunia” itu akan terhapus setelah seorang salik mencapai maqam zuhud; tetapi
sebelum sampai ke sana ia harus melewati maqam takut dan harap, yang erat hubungannya dengan
kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan.
(b) Takut dan Harap
Pada tahap tertentu, takut dan harap sangat dominan dalam diri seorang salik sehingga merupakan
maqamnya. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana halnya dengan maqamat yang
lain, takut dan harap ini pun menurut dia masing-masing dikatakan maqam bagi seorang salik
apabila perasaan-perasaan ini mantap di dalam dirinya; kalau hanya dirasakan pada saat-saat tertentu
saja, hal itu termasuk ahwal.
Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai dirinya, semakin tinggi pula rasa
takutnya kepada Allah. Rasa takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada yang
lain, bahkan melahirkan suatu kepribadian yang disegani oleh semua orang. Dalam hal ini, Al-
Palimbani mengutip hadits Nabi SAW : “Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia
oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada Allah niscaya takut ia daripada tiap-
tiap sesuatu”.
Lebih penting lagi, rasa takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk banyak berzikir kepada
Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala” membanyakkan dzikir akan melazimkan
mahabbah (cinta) Allah” yang membawa jinak hati kepada Allah Taala; semuanya itu membawa
kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan mulia di dunia dan di akhirat melainkan
makrifah akan Allah Taala. Dengan kata lain, takut kepada Allah adalah suatu maqam yang
melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang salik kepada makrifah.
Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada tahap tertentu dapat menguasai
perasaan seorang salik sehingga ia memiliki maqam harap (raja’).
Tetapi dua maqam ini menurut Al-Palimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. “Khauf
(takut) dan raja’ (harap) menurutnya seperti roti dan air; jikalau sangat dahaga, maka air lebih
afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat Allah, maka raja’ lebih afdhal baginya. Mana yang
lebih utama antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang bersangkutan.
Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang
dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut,
demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW:
“Jangan mati seseorang melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala” yakni membanyakkan
harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian, harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang
lebih tinggi dari pada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta (mahabbah).
Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun dianggap lahir dari ilmu. Kalau yang
pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap
ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah
Taala” yang tidak terhingga banyaknya. Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni
ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
9. HALAMAN9
Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif, berada di maqam cinta (mahabbah),
tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Qur’an “Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka pun
tiada bersedih”. Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepada Allah itu masih ada beberapa maqam
lagi yang harus dilalui; diantaranya adalah maqam zuhud.
(c) Zuhud
Al-Ghazali mengibaratkan hati manusia seperti sebuah bejana yang penuh dengan air; untuk
mengisinya dengan cuka, air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan sebesar volume cuka yang
akan dimasukkan. Kalau seluruh bejana itu akan diisi dengan cuka, seluruh air yang ada di dalamnya
harus dikeluarkan lebih dahulu. Demikianlah halnya cinta kepada Allah itu tidak mungkin
memasuki hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk mencintai Allah dengan
sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati. Karena itu,
seperti yang terdapat dalam uraian Al-Palimbani mengenai taubat, cinta harta, cinta kebesaran atau
kemegahan dan cinta dunia, semuanya dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap
salik. Zuhud pada hakikanya adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya.
Karena itu sikap seseorang yang “meninggalkan kasih akan dunia” karena menginginkan “sesuatu di
dalam akhirat,” dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi, menurut dia, ialah
meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap sesuatu yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan
gemar daripada sesuatu yang di dalam akhirat”.
Dengan demikian, pengertian zuhud itu ada tiga macam: Pertama, meninggalkan sesuatu karena
menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya; Kedua, meninggalkan keduniaan karena
mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan; dan Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain
Allah karena mencintai-Nya.
Al-Palimbani menjelaskan ada tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik
dalam menempuh kehidupan zuhud, yakni:
Pertama, zuhud “orang mubtadi” (permulaan) yang baru menjalani jalan yang menyampaikan
(kepada) makrifah akan Allah itu, “yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan
cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsunya.
Kedua, “orang yang mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang telah mudah hatinya
meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia sangat kasih akan dunia itu”.
Ketiga, orang yang muntahi, yakni ‘arifin (orang-orang arif), yang bagi mereka dunia itu “seperti
kotoran saja”, tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang “meninggalkan daripada hatinya
yang lain daripada Allah Taala,” baik dunia maupun akhirat.
Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah satu maqam dalam perjalanan seorang
salik yang menurut Al-Palimbani terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal.
Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-batas kebutuhan duniawi yang boleh
dipenuhi oleh seorang zahid. Patokan yang digunakannya adalah “bahwa orang yang zuhud, dalam
mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar darurat hajatnya yang mendirikan
akan dia pada kehidupan badannya”. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi
kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak mungkin dihindari untuk
menyangga kelangsungan hidupnya. Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga
tingkatan : “Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang terbawah (rendah).
10. HALAMAN10
Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki makanan untuk satu kali makan saja, tidak
mempunyai simpanan untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar minimal
untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh
hari, atau lebih jarang lagi. Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan atau
kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya hanya di pojok-pojok mesjid atau di
tempat gurunya memberikan pelajaran. Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin,
sepanjang perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya kepada Tuhan.
Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud yang pertengahan dan yang paling
rendah. Seorang zahid pada tingkat yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk
keperluan pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali sehari, meskipun dalam ukuran
sederhana sekali; ia boleh memakai seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan
sapu tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja; dan ia boleh memiliki
rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan.
Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak
menginginkan sesuatu selain Allah. Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara : 1) Ia tidak
gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu. 2) Orang yang memuji
dan orang yang mencelanya dianggapnya sama saja. 3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa
lezat dalam mentaati-Nya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99).
Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi
sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini,
nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seorang muslim
yang selalu memandang Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi, sebelum
mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati, yaitu maqam sabar.
(d) Sabar
Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam
kedatangan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi.
Sabar terbagi dalam tiga tingkatan:
Pertama, sabar “orang awam” yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu “menanggung
kesusahan dan menahan kesakitan” dalam menerima hukum Allah;
Kedua, sabar “orang yang menjalani tarikat,” yaitu “jadi biasa ia dengan bersifat dengan sabar
telah mudah atasnya segala yang susah yang datang akan dia itu”.
Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu “bersedap-
sedap dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiar (pilihan) Tuhannya.
Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang tertinggi bagi maqam sabar ini pun hanya
dicapai oleh orang yang sampai ke tingkat makrifah; ada pun maqam bagi orang-orang salik yang
belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat pertama dan tingkat kedua.
Menurut Al-Palimbani, maqam sabar ini pun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan
dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung “maslahat di
dalam agama” dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang
11. HALAMAN11
selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang sabar menghadapi segala
penderitaan yang dialaminya.
Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya
di maqam zuhud, karena untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya
diperlukan kesabaran yang tinggi.
(e) Syukur
Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah “engkau ketahui tiada yang memberi nikmat itu
melainkan Allah Ta’ala jua, kemudian engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah
atasmu di dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala yang engkau
berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu, niscaya di dalam hatimu suka dengan Allah dan
nikmat-Nya dan dengan anugerah-Nya atasmu”.
Bagi kaum sufi memandang Allah dalam kesenangan lebih sukar daripada memandang-Nya dalam
penderitaan. Karena itu, orang sufi yang sudah berani hidup mewah, seperti Haris Al-Muhasibi,
misalnya dianggap mencapai maqam yang tinggi dalam kesufiannya. Al-Qur’an pun mengatakan
bahwa “Jikalau mereka ditimpa kesusahan, manusia selalu berdoa kepada Allah dan menyerahkan
diri kepada-Nya; tetapi setelah mereka mendapat kesenangan banyaklah di antara mereka yang
menyekutukan-Nya”.
Orang yang berada pada maqam zuhud merasakan kemesraan hubungan dengan Tuhan dalam
kehidupan bathin yang bebas dari segala keinginan duniawi, dan yang berada di maqam sabar
merasa berhubungan dengan Tuhannya melalui segala penderitaan yang ditakdirkan atasnya, orang
yang sudah mencapai maqam syukur ini malahan memandang wajah Tuhan melalui segala nikmat
yang dilimpahkan kepadanya.
Rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus dilahirkan dalam bentuk amal, baik yang dilakukan
dengan hati atau diucapkan dengan lidah maupun yang dilakukan dengan anggota.
Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini memerlukan amal perbuatan yang
mengandung kebaikan bagi semua manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik
membelakangi kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada maqam ini ia
harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal
ini memerlukan keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu mencapai
tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu, sebagaimana halnya maqam zuhud tadi
diiringi oleh maqam sabar, maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.
(f) Ikhlas
Ikhlas bagi al-Palimbani adalah suatu maqam yang harus dilalui oleh seorang salik dalam
perjalannya kepada Allah. Maqam ikhlas adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau
makrifah yang menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan permulaannya mungkin
telah dicapai pada maqam syukur tadi.
Dalam penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani mengutip sebuah Hadits Nabi
SAW yang menerangkan bahwa apabila seorang hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah
selama empat puluh hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya melalui lisannya.
12. HALAMAN12
(g) Tawakkal
Al-Palimbani membagi tawakal dalam tiga tingkatan :
Pertama, menyerah diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasaan kepada
wakilnya dalam suatu perkara.
Kedua, menyerahkan diri kepada-Nya seperti anak kecil menyerahkan segala persoalan kepada
ibunya;
Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.
Pada tingkat yang pertama orang yang bertawakkal itu masih berusaha dalam batas-batas tertentu
untuk mencapai tujuan yang diingininya, seperti halnya orang yang berwakil masih harus melakukan
usaha tertentu, menurut permintaan atau perintah dari wakilnya, untuk memenangkan perkaranya.
Pada tingkat yang kedua orang yang bertawakal itu tidak lagi melakukan usaha selain meminta apa
yang diingininya kepada Allah, seperti anak kecil meminta dan mengadu kepada ibunya.
Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tawakal yang ketiga tidak lagi berusaha dalam bentuk
apapun juga, bahkan tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, “karena ia telah berpegang kepada
kurnia Allah dan percaya ia akan Allah Taala bahwa Ia memberi akan sekalian hajatnya itu”
Dalam hal ini Al-Palimbani tidak memaksudkan bahwa orang yang bertawakal sama dengan
seorang fatalis yang menyerah diri kepada nasib saja, tanpa berusaha. Menurut dia, dugaan bahwa
orang yang bertawakal itu tidak berusaha sama sekali, baik secara fisik maupun pemikiran adalah
dugaan orang jahil yang tersesat atau kepercayaan Jabariah yang tidak sesuai dengan ajaran syariat
Islam; orang yang bertawakal juga berusaha mencapai apa yang diperlukannya menurut batas-batas
yang wajar, seperti menjangkau makanan yang terletak di hadapannya, bahkan seperti bercocok
tanam, berniaga, memelihara diri dan hartanya secara wajar, seperti membawa perbekalan dalam
perjalanan, menghindari binatang buas, memakai senjata dalam perang, menutup pintu rumah,
mengembala hewan ternak dan sebagainya.
Hanya dalam kesemuanya itu, ia tidak merasa mempunyai tempat pergantungan selain kepada
Allah, sehingga dalam menghadapi semua tantangan, kesukaran, kerugian dan sebagainya ia tidak
merasa sedih dan susah, di samping berusaha mengatasinya menurut cara yang wajar dalam batas
kemampuan yang ada padanya. Di samping itu, semua usaha yang dilakukannya tidak sampai ke
batas yang menyebabkan ia terganggu mengingat Allah.
Al-Palimbani menganggap tawakal itu suatu maqam yang terdiri dari ilmu, hal dan amal. Ilmu yang
dipandang sebagai sumber dari tawakal itu ialah inti tauhid tingkat ketiga, yakni tauhid orang
muqarrabin yang memandang bahwa segala sesuatu dalam alam ini terbit dari Yang Maha Satu. Inti
tauhid tersebut, bukan suatu konsep ketuhanan yang dicapai dan mungkin dijelaskan dengan daya
bahasa akal, karena pandangan tersebut dikatakan hanya dicapai dengan pancaran Nur Al-Haq
dalam hati orang-orang tertentu.
(h) Mahabbah
Cinta kepada Tuhan dalam pandangan Al-Palimbani seperti halnya Al-Ghazali adalah maqam yang
terakhir dan derajat yang paling tinggi; segala maqam yang sesudahnya adalah buah dari segala
13. HALAMAN13
maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapainya. Di samping itu ia juga
menambahkan bahwa “tiada derajat yang di atas mahabbah itu melainkan martabat makrifah Allah
Taala; dan dengan derajat mahabbah Allah Taala itu sampai kepada makrifah Allah; dan itulah
kesudahan martabat orang yang salik. Rasa cinta kepada Allah sudah bergerak dalam hati seorang
salik ketika ia mulai mengenal dirinya dan itulah daya penggerak yang mendorong seseorang
bertaubat dari segala dosanya. Dalam perjalanan seorang salik melalui apa yang disebut maqamat itu
satu persatu, perasaan cinta itu mungkin terlindung di balik perasaan-perasaan lain seperti takut,
harap dan sebagainya. Tetapi pada tahap tertentu perasaan itu menguasai seluruh kesadaran
batinnya, sehingga ia dikatakan berada pada maqam cinta.
Makrifah yang hakiki lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu
hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang
masing-masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang benar-benar mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda
sebagai berikut :
Kasih ia akan mati;
Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Taala itu atas sekalian yang dikasihi dan menjauhi ia
akan mengikuti hawa nafsunya; -Senantiasa ia melazimkan zikir Allah;
Jinak dengan bersunyi sendiri, munajat akan Allah, berzikir, membaca Al-Qur’an dan mengekali
ia atas sembahyang tahajjud di malam yang sunyi;
Tidak menyesal kehilangan “sesuatu yang lain daripada Allah Taala”
Sedap dengan berbuat taat akan Allah Taala -Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin
dan benci akan orang kafir-yaitu seteru Allah;
Adalah ia kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia; -Menyembunyikan ia akan kasihnya
akan Allah Taala itu dari pada orang yang bukan ahlinya;
Senantiasa jinak hatinya itu kepada Allah Ta’ala dan ridha ia akan Allah Ta’ala di dalam sekalian
yang diperbuat Allah Ta’ala akan Dia. (Al-Palimbani, Jilid IV: 124 – 130).
Al-Palimbani memandang cinta yang merupakan maqam tertinggi itu suatu cinta sadar yang
melahirkan dirinya melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan
syathahat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Orang yang berada pada
maqam mahabbah ini menurut keterangan di atas, selalu berzikir, munajat, mengerjakan
sembahyang tahajjud, membaca Al-Qur’an, dengan rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan
hawa nafsunya, sehingga ia merasa lezat mentaati semua ajaran syariat, kasih kepada semua yang
dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci-Nya.
(i) Ridha
Al-Palimbani menganggap ridha sebagai maqam tertinggi yang merupakan buah dari mahabbah.
Menurutnya, arti ridha itu “tidak menyangkali akan segala perbuatan yang diperlakukan Allah
atasnya dan atas orang yang lain padanya; karena sekalian perbuatan yang wuqu’ (terjadi) di dalam
dunia ini perbuatan-Nya dan wajib ia ridha akan perbuatannya. Dalam hubungan ini, antara lain ia
mengutip sebuah cerita bahwa Rabi’ah Al-Adawiyyah pernah ditanya, “Bilakah seorang hamba
Allah ridha kepada-Nya?” Jawabnya, “apabila kegembirannya menerima musibah sama dengan
kegembirannya menerima nikmat.”
14. HALAMAN14
Dengan demikian, maqam ridha itu mencerminkan puncak ketenangan jiwa seorang sufi yang tidak
lagi digoncangkan oleh apapun juga, karena bagi dia segala yang terjadi di alam ini adalah
perbuatan Allah, lahir dari qudrat dan iradat-Nya yang mutlak, yang harus diterima dengan gembira.
Maqam ridha ini lebih tinggi dari maqam sabar, karena pengertian sabar itu masih terkandung di
dalamnya pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan orang yang sudah
berada di maqam ridha ini tidak membedakan lagi antara apa yang disebut musibah dan yang
disebut nikmat, semuanya diterima dengan gembira, karena semuanya adalah perbuatan Tuhan.
Al-Palimbani juga memperingatkan pembacanya bahwa ridha kepada Tuhan itu tidak berarti bahwa
seseorang harus ridha pula menerima kemaksiatan dan kekafiran. Menurutnya, hal itu harus
dipandang dari dua segi; segi pertama “kufur dan maksiat itu jadi daripada qadha Allah Taala dan
daripada qudrat-Nya” yang harus kita ridhai, tetapi dari segi lain, “kufur dan maksiat itu sifat bagi
hamba-Nya” yang tiada disuruh oleh Allah Taala” dan karena itu tidak boleh pula kita terima
dengan ridha.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ridha terhadap semua
yang diridhai Allah, sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dengan kata lain, pada maqam
tertinggi ini segala kehendak dan keinginan yang mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah
terhapus dalam kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya.
Menurut Al-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah pintu yang amat besar
yang merupakan jalan masuk kepada makrifah Allah Ta’ala, dan merupakan maqam yang terlebih
tinggi, maqam orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat kepada Allah Ta’ala.
(j) Makrifah
Al-Palimbani menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya di dunia ini, karena
hal itu menurut dia adalah “surga”, “barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia akan
surga yang di akhirat” nanti. Semua maqamat yang tersebut itu, dari taubat sampai kepada ridha
dianggapnya sebagai jalan yang menyampaikan kepada makrifah Allah Ta’ala. Intisari makrifah
hanya dapat dicapai setelah seorang salik melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua
maqam ini dianggapnya sebagai “jalan” menuju makrifah.
Mengenai tujuan tingkatan nafs, ia menerangkan bahwa orang yang sudah mencapai tingkat nafs ar-
radliyah – tingkat nafs yang kelima – ridha dengan segala yang terjadi, karam dalam memandang
keindahan Allah yang mutlak dan “Syuhud (memandang di dalam hati) akan zat (esensi) Allah. Dari
penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan yang sama dengan di atas; bahwa makrifah yang menjadi
tujuan akhir seorang sufi itu hanya dicapai setelah melewati maqam yang tertinggi.
(k) Fana dan Baqa
Menurut Al-Palimbani, pandangan batin bahwa yang ada hanya Allah itu dikatakan “fana dalam
tauhid,” karena orang yang sudah mencapai pandangan itu “karam ia dengan syuhud akan Tuhan
Yang Maha Esa Yang Sebenarnya”. Dalam tasawuf, istilah fana digunakan dalam arti “gugurnya
sifat-sifat tercela” dan istilah Baqa dalam arti “berdirinya sifat-sifat terpuji” orang yang sudah fana
(terhapus dari dirinya sifat-sifat tercela, lahir padanya sifat-sifat terpuji. Dalam kata lain, fana dan
baqa itu adalah dua istilah yang mengungkapkan keadaan atau pengalaman seorang sufi dari dua
aspek yang berbeda.
15. HALAMAN15
Dengan demikian, istilah fana dan baqa yang bertalian dengan makrifah meliputi tiga tingkatan.
Pertama, fananya segala perbuatan makhluk dalam perbuatan Tuhan; kedua, fananya sifat-sifat
makhluk dalam perbuatan Tuhan; dan ketiga, fananya wujud makhluk dalam wujud Tuhan.
Al-Palimbani dalam hal ini memberikan suatu penjelasan, menurutnya orang yang sudah mencapai
tingkat nafs al-muthma’innah, fana segala sifatnya dan syuhud ia akan sifat Allah Taala; dan orang
yang sudah sampai ke tingkat nafs-ar-radiyah “fana dirinya (dan) segala sifat basyariah (nya) di
dalam syuhud akan Ahadiyah Allah Taala.
Bagi orang yang telah berada pada tingkat nafs al-mulhamah ia memandang segala yang terjadi di
alam semesta ini perbuatan Allah, sehingga dalam pandangannya telah fana semua perbuatan yang
lain.
Dengan demikian, fana dan baqa itu tercapai dalam waktu yang sama, karena hal itu adalah dua
aspek dari keadaan atau pengalaman yang sama. Orang yang telah fana dari perbuatan makhluk baqa
dengan perbuatan Tuhan; dan yang telah fana dari wujud dan yang lain baqa dengan Tuhan.
Makrifah dalam arti memandang esensi Tuhan yang mutlak secara langsung, nampaknya hanya
tercapai dalam keadaan fana tingkat yang terakhir ini, ketika wujud diri orang arif telah terhapus di
dalam syuhud akan ahadiyah Allah Taala yang menurut Al-Palimbani itulah puncak makrifah
tertinggi, yang dicapai oleh Rasulullah SAW. Pada puncak perjalanan mikraj-nya.
Selain itu, dua istilah di atas juga digunakan dalam arti dua keadaan yang dialami oleh seorang salik
dalam waktu yang beriringan. Baqa merupakan keadaan yang mengiringi fana; orang yang dalam
keadaan fana segala perbuatannya diatur dan dikuasai oleh Allah, karena ia dalam keadaan tidak
mampu membedakan antara sesuatu barang dengan yang lain; tetapi orang yang dalam keadaan baqa
sesudah fana segala perbuatannya sesuai dengan garis keridhaan Allah, karena segala perbuatannya
tidak lagi untuk kepentingan dirinya sendiri.
Untuk suluk dan dapat mencapai insan kamil manusia harus mampu menaklukkan hawa nafsunya,
sehingga jiwanya terbebas dan dapat berada sedekat mungkin di sisi Allah. Untuk dapat berada di
sisi Tuhan, tulis Al-Palimbani, manusia harus dapat mengendalikan tujuh hawa nafsu yang ada di
dalam dirinya, yaitu nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthma’innah,
nafs al-radliyah, nafs al-mardliyah, dan nafs al-kamilah.
Kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin tidak dapat disebut sebagai terjemahan dari kitab karya
Al-Ghazali, yaitu Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat. Para peneliti yang pernah
membaca dua kitab monumental karya Al-Ghazali itu tentu dapat secara kontras membedakannya
dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin.
Al-Palimbani dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin telah secara sangat cerdas mengupas
Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat karya Al-Ghazali. Al-Palimbani tidak menempuh
jalur kritik kepada kelemahan-kelemahan karya Al-Ghazali, melainkan dia menyatakan kekaguman
kepada sang ulama ahli tasawuf akhlaqi yang masyhur itu. Untuk kekaguman itulah Al-Palimbani
menyempurnakan beberapa kelemahan itu, misalnya menjelaskan status Alhadits yang dipakai Al-
Ghazali sebagai dalil naqli di dalam dua kitab tersebut.
16. HALAMAN16
Patut pula diingat, pada zaman itu tak banyak ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang
asbab al-wuruz (ilmu tentang latar belakang atau asal-usul keberadaan suatu Alhadits Rasulullah
SAW). Sampai hari ini ulama yang paling popular dan diakui keakuratannya oleh banyak ulama lain
di bidang Alhadits adalah Al-Bukhari dan Muslim. Ulama yang pakar/mumpuni di bidang Alhadits
lazim disebut sebagai Al-Muhaditsin Alama. Di bidang Alhadits, melalui Sairus Salikin dan
Hidayatus Salikin paling tidak cukup membuktikan kemampuan Al-Palimbani sudah tidak lagi dapat
diragukan.
Selain itu, pilihan menerima sekaligus menyempurnakan membuktikan Al-Palimbani memiliki sikap
menghormati dan santun kepada sesame ulama. Boleh juga disetarakan dengan sikap Al-Bukhari
setiap kali menjumpai Alhadits palsu. Al-Bukhari tidak mengecam, melainkan menyatakan,
“Alhadits ini tidak dikenal.” Sungguh stereotype ulama besar yang sangat arif dan bijaksana.
Faktor lain yang juga tidak boleh diabaikan pada Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin adalah
sumbangan berharga Al-Palimbani dalam mempertemukan dan mendamaikan dua perbedaan
mendasar antara ajaran tasawuf akhlaqi ala Al-Ghazali dan ajaran tasawuf filosofi ala Ibnu Arabi.
Dalam konteks ini kembali Al-Palimbani menunjukkan posisinya sebagai ulama yang berhikmat
kepada sesama ulama. Al-Palimbani melakukan rekonstruksi dan revitalisasi terhadap ajaran Al-
Ghazali dan secara sekaligus bisa menerima secara tertib/bersyarat untuk lalu membahas secara
sistematis dan komprehensif hakikat ajaran wahdah al-wujud yang berinti pada tasawuf filofis
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Arabi.
Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah
Al-Palimbani adalah ulama yang pertama kali yang mengenalkan tarekat Al-Sammaniyah di
Indonesia, yang juga mengikuti tarekat Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad Abd. Al-Karim Al-
Samman Al-Madani. (1132-1189 H/17181775 M). (Muhammad Marwan, 1999:51) Tarekat
Khalwatiyah merupakan cabang tarekat Suhrawardiyah menurut silsilah tarekat Khalwatiyah. Syekh
Muhammad Abd. Karim Al-Samman Al-Madani adalah murid Syekh Ibn Kamal Bakri Al-Dimasyqi
yang menerima ijazah darinya. Kemudian Syekh al-Samman pergi ke Mesir yang dilanjutkan ke
Madinah dan mempelajari tarekat hingga tarekat ini dikenal dengan namanya. Al-Palimbani yang
mengikuti tarekat ini terkadang menyebutkan Khalwatiyah, padahal yang dimaksud adalah Al-
Sammaniyah atau sebaliknya. Akan tetapi, dia mengenalkan tarekat ini di Indonesia dengan nama
Al-Sammaniyah (Alwi Shihab, 2009: 205-206).
Dalam sejarah perkembangan tarekat di Nusantara ini tidak bisa dipisahkan dengan peran tokoh
seorang ulama besar Al-Palimbani sebagai pelopor tarekat al-Sammaniyah di Indonesia. Namun, apa
dan bagaimana peranan al-Palimbani dalam penyebaran tarekat al-Sammaniyah ini. Hal ini menarik
perhatian penulis untuk mempelajarinya lebih lanjut tentang riwayat hidup serta latar belakang
kehidupan al-Palimbani serta karya tulis dan ajarannya, khususnya peranan Al-Palimbani di dalam
pengembangan dan penyebaran ajaran tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia.
Menurut Snouck Hurgronje yang dikutib oleh Alwi Shihab bahwa, ratib samman ini sangat terkenal
di Indonesia, namun telah mengelami modifikasi, terutama dalam pembacaan ism Allah dan kata
ganti ketiga (Huw. Ratib Samman ini tidak banyak berbeda dengan ratib tarekat lain. Perbedaannya
hanya terletak pada gerakan-gerakan anggota badan ketika membacanya. Misalnya, Al-Ghazali
tidak mensyaratkan pada pembaca terpenuhinya gerakan badan dan ketenangan jiwa.
17. HALAMAN17
Al-Palimbani sangat dipengaruhi oleh ajaran Syaikh Muhammad Al-Saman Al-Madani, melalui Al-
Palimbanilah tarekat Al-Sammaniyah mendapat lahan subur bukan hanya di Palembang, tetapi juga
di bagian-bagian lain di wilayah Nusantara. Al-Samani dan tarekat Al-Sammaniyah menjadi subjek
utama dalam tulisan-tulisan para ulama Palembang sesudahnya. Hal ini sesuai apa yang
diungkapkan oleh Muhammad Chotib Quzwaini dalam penelitiannya untuk mencapai gelar doctor
bahwa Al-Palimbani adalah orang pertama kali memperkenalkan Syaikh Muhammad Al-Samman
dan tarekat Al-Sammaniyah ke dalam literatur Melayu. Kemudian baru muncul Muhammad
Muhyiddin bin Syaikh Syihabuddin dan Kemas Muhammad bin Ahmad menerjemahkan kitab
Makib Syaikh Muhammad al-Samman. Sejak itulah berkembang tarekat Al-Sammaniyah di
Indonesia, yang sampai sekarang masih banyak ditemukan para pengikutnya.
Selain di Palembang, tarekat Sammaniyah juga menyebar ke daerah Kalimantan Selatan melalui M.
Nafis Al-Banjari. Beliau tidak sempat belajar langsung kepada Syaikh Al-Samman Al-Madani
karena beliau sampai di Hijjaz sesudah tahun 1775 M. Ia sempat belajar dengan Mahmud Al-Kurdi,
salah seorang tokoh tarekat Khalwatiyah yang terkenal dan mendapatkan ijazah dari guru yang sama
dengan Syaikh Al-Samman Al-Madani. Adapun Muhammad Arsyad Al-Banjari, salah seorang
teman dari al-Palimbani waktu belajar di Makkah, tampaknya bukan orang yang bersinggungan
langsung untuk menyebarkan tarekat Al-Sammaniyah, meskipun ia murid dari Syaikh Al-Samman
Al-Madani. Kecuali itu, Muhammad Arsyah Al-Banjari memang telah mempopulerkan qasidah
pujian Syaikh Al-Samman yang sampai sekarang masih dipakai. (Sri Mulyati,2004: 194)
Tarekat Al-Sammaniyah juga dapat ditemukan di Banten yang dibawa oleh Nawawi Al-Bantani
yang hidup satu abad sesudah Al-Palimbani. Ia pernah berguru dengan murid-murid al-Palimbani.
Seiring perjalanan waktu, tarekat Al-Sammaniyah di Banten sudah mulai dilupakan orang dan
banyak beralih kepada tarekat Rifa’iyyah, Naqsyabandiyah, dan Qadariyah wa Naqsyabandiyyah.
Selain itu tarekat Al-Sammaniyah yang masih meriah hingga kini adalah di wilayah Sulawesi
Selatan. Pengikutnya berasal dari komunitas Bugis dan Makassar yang bermukin di Kalimantan
Timur, Riau, Ambon, Papua dan Malaysia. Mereka selalu mempraktikkan ajaran tarekat Al-
Sammaniyah ini, dimana pusat gerakan tarekat ini terdapat di Sulawesi Selatan. Walaupun bagi
masyarakat Sulawesi Selatan tarekat Al-Sammaniyah lebih populer dengan nama tarekat
Khalwatiyah Sammaniyah, yang dipelopori oleh Syaikh Yusuf Al-Makasari (1627-1699) dan Abdul
Bashir Tuang Rappang (wafat 1723) dengan nama tarekat Khalwatiyah Yusuf, yang muncul sejak
abad ke-17. Sementara Khalwatiyah Samman masuk ke wilayah Sulawesi Selatan pada awal abad
ke-19, dibawa oleh Abdullah Al-Munir, seorang bangsawan Bugis dari Bone.
Ketika tarekat Khalwatiyah Yusuf mengalami kemunduran, antara lain disebabkan oleh kurangnya
tokoh-tokohnya, tarekat Khalwatiah Samman muncul. Sebagainama perkembangan tarekat
Khalwatiyah Yusuf, Tarekat Al-Sammaniyah disambut baik oleh para bangsawan Bugis dan
Makassar, serta para peguasa setempat. Selain itu, pendekatan sosial keagamaan turut dipergunakan
dengan tetap mempertahankan ritus tradisional yang sebelumnya berlaku. Juga strategi yang
dipergunakan dalam penyeberan tarekat ini dilakukan melalui proses perkawinan.
Dengan demikian Tarekat al-Sammaniyah ini masih ada pada sebagian daerah di Indonesia, seperti
disebutkan diatas. Tarekat ini telah digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah, namun ratib
syaikh tarekat Muhammad alSamman masih tetap dibacakan di banyak wilayah di Indoinesia,
terlepas dari afiliasi yang bersangkutan kepada suatu tarekat.
18. HALAMAN18
Wafat
Para ahli sejarah sampai saat ini belum sepakat tentang kapan dan di mana Al-Palimbani wafat. Ada
pula pendapat yang menyatakan beliau belum wafat tetapi diangkat langsung oleh Allah ke surga
sesaat setelah berjihad bersama pasukan umat muslim di Kedah dan Patani melawan pasukan kafir
dari Siam.
Keberadaan makam di perbatasan Kampung Sekom dengan Cenak dalam kawasan Tiba, di Utara
Patani, yang disebut-sebut oleh beberapa penulis dari Melayu (Malaysia, Singapura, dan Thailand)
sebagai makam Al-Palimbani juga belum dapat dianggap sebagai akhir dari perbedaan pendapat di
kalangan para peneliti sejarah.
Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Al-Palimbani ada di Palembang. Tetapi Dr.
Azyumardi Azra secara tidak langsung menyangkal Quzwain dengan menyatakan, ““Walaupun Al-
Baythar tidak menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal
di Arabia.”
Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200/1785 dan “… kemungkinan besar
setelah 1203/1789, yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya terakhir dan paling masyhur,
Sairus Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, Al-Palimbani berusia 85 tahun.”
Referensi:
1. Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII
dan XVIII: Melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan
2. Quzwain, M. Chatib, 1985, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh
Abdus-Samad al-Palimbani, Jakarta: Bulan Bintang
3. Noor, Hasni, AJARAN SULUK SYEKH ABD AL SAMAD AL-PALIMBANI (Telaah
terhadap Kitab Sayr al-Salikin), Makalah, IAIN (DPK) Universitas Islam Kalimantan Selatan
Banjarmasin Fakultas Agama Islam.
4. Marwan, Muhammad, (1999), Manakib Syekh Muhammad Samman al-Madani Ratib, Tawasul
dan Wasiatnya, Kandangan Kal.Sel: TB. Sahabat.
5. Ahmad, M. Kursani, 2010, Abd. Al-Shamad Al-Palimbani: Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah
di Indonesia, Itjihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8 No.13 April 2010.
6. Shihab, Alwi, (2009), Akar Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia,
Depok: Pustaka IIMaN.
7. Mulyati, Sri, (et.al), (2004), Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
Dalam Tulisan Ahmad Abrori, Tarekat Sammaniyah Sejarah Perkembangan Ajarannya, Jakarta:
Kencana.
8. Behrend, T.E (ed) 1998, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara: Naskah Perpustakaan
Nasional RI, Jakarta: Yayasan Obor.
9. Pudjiastuti, Titik, Memandang Palembang dari khazanah naskahnya, Makalah, Departemen
Ilmu Susastra FIB-UI.
10. Ekadjati, Edi, S, 2005, Pengetahuan Geografi Masyarakat Sunda: Tinjauan Berdasarkan
Naskah Sunda Kuna dan Catatan Perjalanan Orang Portugis, makalah disajikan dalam
Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara, Buton
19. HALAMAN19
11. Gajahnata, KHO, 1986, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI
Pres
12. Hanafiah, Djohan, 1995, Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
13. Ikram, Achadiati dkk, 2004, Katalog Naskah Palembang. Jakarta/Tokyo: Yayasan Naskah
Nusantara dan Tokyo University of Foreign Studies
14. Iskandar, Teuku, 1986, Palembang Kraton manuscripts in A Man of Indonesian Letters in
Honour of Prof. Teeuw. Dordrecht: Foris Publication Series
15. Mulyadi, SWR, 1994, Kodikologi Melayu di Indonesia. edisi Khusus Lembaran Sastra No.
24. Jakarta: FSUI
16. Sedyawati, Edi dkk, 2004, Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
17. Sutaarga, Amir dkk, 1973, Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional
18. Sutyani, Titut, 2000. Naskah Palembang Koleksi Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia: Sebuah Tinjauan Kodikologis, Skripsi, Depok: FSUI
19. Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo : Ramadhani, 1994) Cet. Ke-10
20. ----------------------- , Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994, cet. Ke-8
21. Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Bandung: Mizan, 1992
22. An-Najar, Amin, Ilmu Jiwa dalam Tasawauf, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001
23. Next Magazine, Vol. 3