Kajian keragaman morfologi, autentikasi molekuler, perkiraan waktu divergensi, dan struktur genetik populasi ikan kerapu (famili Serranidae) dari kawasan perairan Pulau Madura, Jawa Timur, Indonesia
Genetic variation of four local varieties of Indonesian black rice (Oryza sat...
Ringkasan disertasi biologi a.n. Abdul Basith
1. UNIVERSITAS INDONESIA
KAJIAN KERAGAMAN MORFOLOGI, AUTENTIKASI
MOLEKULER, PERKIRAAN WAKTU DIVERGENSI, DAN
STRUKTUR GENETIK POPULASI IKAN KERAPU (FAMILI
SERRANIDAE) DARI KAWASAN PERAIRAN PULAU MADURA,
JAWA TIMUR, INDONESIA
RINGKASAN DISERTASI
ABDUL BASITH
NPM 1606931334
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI
DEPOK
JUNI 2022
2. UNIVERSITAS INDONESIA
KAJIAN KERAGAMAN MORFOLOGI, AUTENTIKASI
MOLEKULER, PERKIRAAN WAKTU DIVERGENSI, DAN
STRUKTUR GENETIK POPULASI IKAN KERAPU (FAMILI
SERRANIDAE) DARI KAWASAN PERAIRAN PULAU MADURA,
JAWA TIMUR, INDONESIA
RINGKASAN DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Biologi
yang dipertahankan di hadapan Sidang Promosi Doktor
Universitas Indonesia
Di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia
Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D.
Pada tanggal 9 Juni 2022 pukul 10.00 WIB
ABDUL BASITH
NPM 1606931334
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI
DEPOK
JUNI 2022
3. ii
PANITIA SIDANG PROMOSI DOKTOR
Ketua Pelaksana
Dede Djuhana, M.Si., Ph.D.
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
Universitas Indonesia
Susunan Dewan Penguji
Promotor : Dr. Drs. Abinawanto, M.Si.
Dosen Tetap Departemen Biologi FMIPA UI, Depok
Ko-promotor 1 : Dr. Eni Kusrini, M.Si.
Peneliti Bidang Genetika dan Bioteknologi, Balai
Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Depok,
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
Ko-promotor 2 : Dr.rer.nat. Yasman, S.Si, M.Sc.
Dosen Tetap Departemen Biologi FMIPA UI
Ketua Program Studi S2 Ilmu Kelautan FMIPA UI
Penguji : Dr. Dra. Noverita Dian Takarina, M.Sc.
Dosen Tetap Departemen Biologi FMIPA UI
Penguji : Astari Dwiranti, M.Eng, Ph.D.
Dosen Tetap Departemen Biologi FMIPA UI
Ketua Program Studi S1 Biologi FMIPA UI
Penguji : Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc.
Dosen Tetap Departemen Manajemen Sumberdaya
Perikanan FPIK IPB
Ketua Program Studi S2 Manajemen Sumberdaya
Perikanan FPIK IPB
Penguji : Dr.rer.nat. Mufti Petala Patria, M.Sc.
Dosen Tetap Departemen Biologi FMIPA UI
4. iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur alhamdulillah atas berkah dan rahmat Allah SWT sehingga
disertasi ini dapat terselesaikan dengan segala keterbatasan waktu dan
kemampuan analisis kami. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tersampaikan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. lah satu landasan
ketertarikan saya dalam memilih tema penelitian tersebut adalah Qur’an Surat
Al Nahl Ayat 14, selain itu alasan lain yang melandasi pentingnya memahami
ayat-ayat Kauniyah (tanda-tanda alam semesta).
Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat
memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan
dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera
berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya,
dan supaya kamu bersyukur (QS. An Nahl: 14)
Tidak ada tugas yang lebih mendesak daripada menyampaikan terima
kasih kepada seluruh pihak yang berpartisipasi dalam penyusunan disertasi
ini. Oleh karena itu terima kasih kami ucapkan kepada Dewan Promotor dan
Kopromotor, Bapak Dr. Drs. Abinawanto, M.Si dan Bapak Dr.rer.nat.
Yasman, M.Sc, selaku Promotor dan Ko-promotor 2 dari Departemen Biologi
FMIPA Universitas Indonesia atas segala bentuk upaya dan proses
pembimbingan dalam suasana kekeluargaan, serta Ibu Dr. Eni Kusrini selaku
Ko-promotor 1 dari Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia. Terima kasih pula kepada para penguji
internal Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia, Ibu Dr. Dra.
5. iv
Noverita Dian Takarina, M.Sc, Ibu Astari Dwiranti, M.Eng., Ph.D dan Bapak
Dr.rer.nat. Mufti Petala Patria, M.Sc. Terima kasih pula kepada penguji
eksternal Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc dari Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih kami sampaikan kepada Dekan FMIPA Universitas
Indonesia, yaitu Bapak Dede Djuhana, Ph.D, Ketua Departemen Biologi
FMIPA UI yaitu Bapak Anom Bowolaksono, M.Sc, Ph.D. dan Ketua Program
Studi Pascasarjana Biologi yaitu Ibu Dr. Dian Hendrayanti, M.Sc. Terima
kasih pula kepada bagian Tata Usaha Pascasarjana Biologi FMIPA UI yang
silih berganti, namun secara keseluruhan memberikan banyak kemudahan dan
banyak bantuan dalam pengurusan administrasi selama studi, yaitu Ibu Evi,
Bapak Dedy, Bapak Arif dan Bapak Turino, serta bagian Tata Usaha FMIPA
Bapak Sulardi yang sangat sabar dan cekatan, terutama dalam membantu
perpanjangan studi.
Terima kasih kepada Bapak almarhum Dr. Wartono Hadie, M.Si dari
Pusat Riset Penelitian Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia, yang sebelumnya telah menjadi Ko-promotor 1 dan
mendampingi saya hingga Ujian Usulan Penelitian. Terima kasih pula kepada
teman-teman Program S2 dan S3 Biologi UI yang telah menjadi teman diskusi
dalam perkuliahan dan penelitian, khususnya Kak Shafa Noer, M.Si
(Universitas PGRI Indraprasta Jakarta), Kak Dr. Niken Dharmayanti, M.Si
(Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta), dan Kak Dr. Uswatun Hasanah,
M.Biomed (UPN Veteran Jakarta).
Terima kasih terbesar dikhususkan kepada Ibunda Dra. Hj. Lathifah
Shohib atas ridlo dan dukungan sepanjang hayat, disertasi ini merupakan
pertanggungjawaban kepada Beliau. Terima kasih kepada seluruh anggota
keluarga yang senantiasa mendukung, keluarga besar KH. Bisri Syansuri
Denanyar Jombang, KH. Anwar Alwy Pacul Gowang Jombang, KH. Abdul
6. v
Karim Lirboyo Kediri, dan H. Sulaiman Keboan Jombang. Terima kasih
terkhusus kepada Adinda M. Zidni Nuuro yang berkenan berkali-kali
mendampingi keliling Pulau Madura dalam rangka pengumpulan spesimen
penelitian, Adinda Ita Fajria Tamim dan keluarga di Sampang Madura yang
berkenan direpoti untuk membantu pengumpulan spesimen penelitian, dan
Bulik Mas’adah Shohib di Sumenep Madura dan keluarga yang berkenan
direpoti untuk membantu pengumpulan spesimen penelitian.
Terima kasih kepada teman-teman yang membantu dalam diskusi dan
analisis dalam penelitian, Kakak Mahrus Ismail, M.Si (Lab. Riset dan
Genetika, UIN Malang) tentang preparasi dan metode laboratorium, Kakak
Dwi Anggorowati, M.Si (Universitas Negeri Surabaya) tentang teknis
implementasi DNA barcode dan rekonstruksi filogenetik, Kanda Kandidat
Doktor Nur Atikah, M.Si (Universitas Negeri Malang) tentang pengujian
statistik, dan Rasyadan Taufiq Probojati, M.Si (Universitas Kadiri, Yayasan
Generasi Biologi Indonesia) tentang analisis Bayesian dan perkiraan
divergensi genetik molekuler, dan Kakak Dr. M. Dliyaul Haq, M.Si tentang
aspek lain dalam penelitian ikan kerapu. Terima kasih pula kepada Azzam,
S.T., Gus Ahmad Munzir, S.T. dan Farahdina Hasan, S.T. yang membantu
dalam penyelesaian ilustrasi saintifik ikan kerapu sebagai bagian dari temuan
penelitian.
Saya menyadari bahwa disertasi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, namun saya juga sangat bangga karena telah berhasil
menyelesaikan disertasi ini dengan sangat baik hingga ujung batas
kemampuan saya. Semoga Allah SWT menjadikan kita senantiasa tawakkal
kepada-Nya dan meridloi serta menjadikan ilmu kita semua bermanfaat
masyarakat, bangsa, dan agama. Amin.
Depok, 9 Juni 2022
Abdul Basith
7. vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
PANITIA SIDANG PROMOSI DOKTOR .............................................. ii
UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................... iii
DAFTAR ISI............................................................................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................ vii
ABSTRACT.............................................................................................. viii
PENDAHULUAN..................................................................................... 1
METODOLOGI PENELITIAN................................................................ 7
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................................... 16
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................. 59
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 62
DISEMINASI HASIL PENELITIAN DALAM PUBLIKASI ILMIAH.. 71
BIOGRAFI PENULIS............................................................................... 72
8. vii
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian terhadap ikan kerapu di kawasan perairan Pulau
Madura, Jawa Timur, Indonesia. Variabel-variabel penelitian secara berturut-
turut meliputi: (1) identifikasi spesies dan penilaian keragaman ikan kerapu
berdasarkan pendekatan morfologi, (2) autentikasi spesies dan penilaian
keragaman genetik berdasarkan pendekatan molekuler menggunakan parsial
sekuen gen CO1, dan (3) perkiraan waktu divergensi dan struktur genetik
populasi (studi kasus pada kerapu sunu Plectropomus maculatus) menggunakan
pendekatan molekuler. Berdasarkan pendekatan morfologi, ikan kerapu
dikelompokkan ke dalam 3 genera, yaitu Plectropomus, Cephalopholis, dan
Epinephelus. Secara rinci genus Plectropomus terdiri dari ikan kerapu P.
maculatus, genus Cephalopholis terdiri ikan kerapu C. cyanostigma dan C.
boenak, dan genus Epinephelus terdiri dari ikan kerapu E. coioides, E. areolatus,
E. bleekeri, E. heniochus, E. fasciatus, E. sexfasciatus, E. erythrurus dan E.
ongus. Pengujian statistik Principle Component Analysis (PCA) terhadap
karakter truss morfometrik ikan kerapu perairan Pulau Madura menunjukkan
bahwa PC 1 dan PC 2 secara berturut-turut berkontribusi sebesar 66,68% dan
14,77% terhadap keragaman morfologi. Terdapat 6 karakter truss yang
berkontribusi terhadap keseluruhan keragaman morfologi. Berdasarkan
pendekatan molekuler, hasil rekonstruksi pohon filogenetik Neighbor-Joining
(NJ), Maximum Likelihood (ML), dan Bayesian Inference (BI) memperlihatkan
topologi yang sama, yaitu menunjukkan kesesuaian antara hasil identifikasi
spesies ikan kerapu berdasarkan karakter morfologi dan molekuler. Sebanyak 3
spesimen ikan kerapu yang dianggap spesies ambigu secara morfologi telah
berhasil diidentifikasi menggunakan DNA barcode, yaitu ikan kerapu E. faveatus,
E. quoyanus, dan E. bleekeri. Keragaman genetik dari sudut pandangan subfamili
Epinephelinae sangat tinggi, dibuktikan dengan nilai Hd= 0,976 dan π= 0,146.
Integrasi pendekatan morfologi dan molekuler berhasil mengidentifikasi
spesimen ikan kerapu pada tingkat spesies sebesar 93,5%. Selanjutnya, waktu
divergensi genetik P. maculatus diperkirakan dimulai pada rentang 5,19-5,02 juta
tahun yang lalu (MYA) dan terakhir kali terjadi pada rentang 4,59-4,44 MYA,
selisih keduanya adalah 750.000 tahun, divergensi genetik tersebut diperkirakan
terjadi pada Zaman Pliosin. Ditemukan pula dua rute migrasi P. maculatus,
migrasi pertama berawal dari perairan Australia menuju perairan Andaman, India
melalui kawasan perairan dangkal pada bagian Selatan perairan Indonesia.
Sedangkan migrasi kedua berawal dari Australia menuju Laut China Selatan
melalui Laut Arafuru dan Laut Jawa. Sebanyak 14 parsial sekuen gen CO1 ikan
kerapu genus Epinephelus perairan Pulau Madura telah berhasil dimasukkan ke
dalam pangkalan data GenBank (NCBI) dan telah teregistrasi dengan nomer
aksesi ON357971 hingga ON357984.
Kata kunci: ikan kerapu, perairan Pulau Madura, identifikasi spesies,
morfologi, DNA barcode, divergensi genetik, struktur genetik
9. viii
ABSTRACT
Research has been carried out on groupers in the waters of Madura Island, East
Java, Indonesia. The research variables sequentially are: (1) species identification
and assessment of grouper diversity based on morphological approach, (2) species
authentication and assessment of genetic diversity based on molecular approach
using a partial sequence of CO1 gene, and (3) estimation of divergence time and
population genetic structure (a case study on coral grouper Plectropomus
maculatus) based on molecular approach. Based on morphological approach,
grouper in the waters of Madura Island were divided into 3 genera, including:
Plectropomus, Cephalopholis, and Epinephelus. Particularly, genus of
Plectropomus consists of P. maculatus, genus of Cephalopholis consists of C.
cyanostigma and C. boenak, and genus of Epinephelus consists of E. coioides, E.
areolatus, E. bleekeri, E. heniochus, E. fasciatus, E. sexfasciatus, E. erythrurus
and E. ongus. Statistical test of Principle Component Analysis (PCA) on the truss
morphometric characters of specimens of grouper in the waters of Madura Island
revealed that PC 1 and PC 2 contributed 66.68% and 14.77%, respectively, to
morphological diversity. There are 6 truss characters that contribute to the overall
morphological diversity. Based on molecular approach, the reconstruction of the
NJ, ML, and BI phylogenetic trees indicated similar topology, depicting the
conformity between the results of grouper species identification based on
morphological and molecular characters. Furthermore, 3 specimens of grouper
which were considered as ambiguous species were identified by implementing
DNA barcodes, namely E. faveatus, E. quoyanus, and E. bleekeri. Based on
perspective of subfamily Epinephelinae, the genetic diversity of grouper were
significantly high, as evidenced by the value of Hd= 0.976 and π= 0.146. The
integration between morphological and molecular approaches has succeeded in
identifying specimens of grouper up to the species level of 93.5% of the total
specimens of grouper in the waters of Madura Island. The time of genetic
divergence of P. maculatus was estimated to have started in the range of 5.19-
5.02 million years ago (MYA) and last time it occurred in the range of 4.59-4.44
MYA, the difference was 750.000 years, the genetic divergence was considered
to have occurred in the Pliocene Epoch. Two migration routes of P. maculatus
were found, the first migration was from Australia waters to Andaman waters in
India through shallow water areas in the Southern part of Indonesian waters.
Meanwhile, the second migration was from Australia to South China Sea through
Arafuru Sea and Java Sea. Partial sequence of CO1 gene of 14 specimens of
grouper from Epinephelus genus have been successfully submitted into the
GenBank (NCBI) database, and have been registered with the accession number
of ON357971 to ON357984.
Key words: grouper, the water of Madura Island, morphology, DNA barcode,
genetic divergence, genetic structure
10. 1
Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi
sumber daya perikanan karang yang besar dengan nilai ekonomis. Salah satu
jenis ikan karang yang banyak diekspor adalah ikan kerapu. Amorim et al.
(2020) atas dasar data FAO 2018 menjelaskan bahwa kontribusi Indonesia
terhadap keseluruhan produksi ikan kerapu tangkap di dunia mencapai 36%.
Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa sebanyak 144.000 ton kerapu
didaratkan di Indonesia sepanjang tahun 2016. Indonesia telah dikenal sebagai
pemasok terbesar ketiga ikan kerapu sejak tahun 1980 dengan tujuan ekspor
ke beberapa negara, diantaranya adalah Singapura, Hong Kong, dan Cina
(Nuraini & Hartati, 2006).
Ikan kerapu adalah salah satu komoditas utama perikanan tangkap di
Pulau Madura. Ikan kerapu di Pulau Madura memiliki musim penangkapan
hampir sepanjang tahun, yaitu pada Bulan Agustus hingga Maret dan puncak
musim terjadi pada Bulan April hingga Juli. Potensi sumber daya ikan kerapu
setiap tahun di perairan Pulau Madura ini mencapai 159,8 ton dengan usaha
penangkapan optimum 1179,166 trip atau pelayaran pulang dan pergi
(Sukandar et al., 2016). Namun demikian, tingkat eksploitasi yang tinggi
dalam penangkapan ikan karang oleh nelayan, terutama di daerah pemijahan
(spawning) dan kerusakan terumbu karang sebagai habitat ikan karang yang
semakin meluas tentu akan menyebabkan stok ikan karang, termasuk ikan
kerapu, akan semakin berkurang dan mungkin akan hilang di perairan (Akmal
et al., 2019; Burke et al., 2002).
Ikan kerapu dapat tumbuh dengan ukuran sampai 2,5 meter dan berat
mencapai 400 kg. Jumlah spesies ikan kerapu yang hidup di perairan Indo-
Pasifik mencapai 110 spesies (Heemstra & Randall, 1993). Kebanyakan ikan
11. 2
Universitas Indonesia
kerapu hidup pada kedalaman air laut kurang dari 100 m dan ikan kerapu tahap
juvenil lebih sering ditemukan pada perairan yang sangat dangkal (Heemstra
& Randall, 1993). Razi et al. (2021) menjelaskan bahwa ikan kerapu di
Indonesia pada rentang tahun 2006-2021 terkelompokkan ke dalam enam
genus, yaitu Variola, Plectropomus, Cephalopholis, Epinephelis,
Cromileptes, dan Anyperodon.
Informasi dasar sangat diperlukan untuk melandasi upaya pengelolaan
dan pemanfaatan ikan kerapu Pulau Madura, terutama untuk menjaga sumber
daya genetik, jenis, dan ekosistem ikan kerapu. Penelitian dasar tentang ikan
kerapu perairan Pulau Madura diawali dengan identifikasi dan inventarisasi
spesies berdasarkan pendekatan morfologi. Dayrat (2005) berpendapat bahwa
pengetahuan dasar tentang morfologi spesies mempunyai kedudukan yang
penting, tidak hanya sekedar untuk inventarisasi spesies, namun untuk
mendasari jawaban atas pertanyaan yang muncul pada bidang keilmuan yang
lain, misalnya biologi evolusi (misalnya tentang proses spesiasi), ekologi
(misalnya untuk pengembangan ekosistem), konservasi (misalnya terkait
prioritas konservasi) dan biogeografi (misalnya terkait proses diversifikasi).
Turan (1998) menjelaskan bahwa karakter morfologi telah lama digunakan
dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan
dalam pengelompokkan atau pengkategorian variasi dalam taksonomi.
Karakter morfologi telah dapat memberikan manfaat dalam identifikasi stok
khususnya dalam suatu populasi yang besar.
Pendekatan karakter morfologi untuk identifikasi spesies ikan kerapu
tidak terlepas dari kekurangan yang sangat berpotensi menyebabkan
kesalahan hasil identifikasi spesies. Kesalahan hasil identifikasi spesies
tersebut disebabkan oleh kebingungan atau ambiguitas pada kemiripan corak
warna dan bentuk tubuh antar spesies ikan kerapu. Ketepatan atau keakuratan
identifikasi spesies ikan kerapu sangat dibutuhkan sebagai pengetahuan dasar
untuk manajemen konservasi dan penelitian-penelitian berikutnya yang
12. 3
Universitas Indonesia
terkait, sehingga pendekatan molekuler diperlukan untuk melengkapi
pendekatan morfologi (Kline et al., 2011, Ma et al., 2016; Kamal et al., 2019).
Cortese et al. (2010) mengemukakan bahwa pendekatan morfologi dan
molekuler perlu dikerjakan secara bersama-sama karena informasi yang
didapatkan dari kedua pendekatan tersebut saling komplemen untuk
meningkatkan kualitas analisis biosistematika spesies dan keragaman genetik.
Pakar biosistematika merekomendasikan parsial sekuen gen
cytochrome c oxidase subunit 1 (CO1) sebagai DNA barcode untuk
identifikasi spesies hewan secara umum, termasuk ikan, terutama seiring
perkembangan proyek internasional the Barcode of Life (iBOL). Berdasarkan
pada berbagai laporan penelitian, penggunaan parsial sekuen gen CO1 untuk
identifikasi spesies ikan di dunia terus mengalami peningkatan. Menurut
Becker et al. (2010) setidaknya sejumlah 31.000 spesies ikan saat ini telah
diketahui status taksonominya, 25% di antaranya telah berhasil diproses,
dengan setidaknya satu spesies dari total 89% famili telah berhasil
diidentifikasi menggunakan DNA barcode.
Parsial sekuen gen CO1 tidak hanya digunakan pada analisis untuk
penentuan posisi taksonomi dan keragaman genetik, namun dapat pula dirinci
untuk analisis perkiraan waktu divergensi, dan struktur genetik populasi,
tentunya seiring perkembangan algoritma dan statistik dalam piranti lunak
terkait (Drummond et al., 2007; Kumar et al. 2019). Informasi tentang
divergensi genetik dan struktur genetik populasi ikan kerapu dibutuhkan
karena berkaitan dengan distribusi, pola ekspansi, dan keragaman strategi
reproduksi masing-masing spesies tersebut di alam, selain itu untuk
mendalami proses evolusi dan divergensi ikan kerapu, terutama disebabkan
karena ikan kerapu merupakan salah satu ikan karang yang mempunyai
kedudukan penting dalam ekosistem (Choat, 2012; Ma et al. 2016).
13. 4
Universitas Indonesia
Kenyataan terkait peningkatan eksploitasi terhadap jenis-jenis ikan
kerapu sebagai komoditas utama di Pulau Madura, menjadi dasar bahwa
penelitian tentang keragaman morfologi dan genetik ikan kerapu (famili
Serranidae) di kawasan perairan Pulau Madura mendesak untuk dilakukan
sebagai dasar informasi untuk penentuan status dan manajemen konservasinya
pada masa mendatang. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi data
penunjang yang penting dalam upaya konservasi sumber daya ikan terutama
konservasi genetik ikan, sesuai penjelasan dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya
Ikan dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 79/KEPMEN-
KP/2016 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia 712 (WPPNRI 712).
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara operasional dibagi menjadi tiga tujuan
yang dituangkan ke dalam tiga topik penelitian. Tiga tujuan operasional
tersebut dirinci berikut ini.
1. Mengidentifikasi spesies ikan kerapu (famili Serranidae) yang spesifik
ditemukan di kawasan perairan Pulau Madura dengan pendekatan
morfologi dan analisis keragaman morfologi menggunakan truss
morfometrik.
2. Mengidentifikasi spesies ikan kerapu (famili Serranidae) dan menganalisis
keragaman genetik pada ikan kerapu yang spesifik ditemukan di kawasan
perairan Pulau Madura berdasarkan parsial sekuen gen COI.
3. Menganalisis dan mendeskripsikan perkiraan waktu divergensi genetik,
struktur genetik populasi dan distribusi geografis ikan kerapu (famili
Serranidae) berdasarkan parsial sekuen gen CO1 dengan pendekatan
penelitian studi kasus.
14. 5
Universitas Indonesia
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian secara teoritis dapat menambah ilmu pengetahuan
tentang biodiversitas ikan kerapu di Indonesia dan dimanfaatkan sebagai
informasi penunjang untuk melengkapi informasi tentang sumber daya
genetik ikan kerapu lokal Pulau Madura sebagai plasma nutfah serta untuk
pengembangan strategi konservasi sumber daya laut. Hal ini sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan dan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 79/KEPMEN-KP/2016 tentang Rencana Pengelolaan
Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 712
(WPPNRI 712). Selain itu, ditinjau dari sudut perumusan masalah, maka
manfaat penelitian dapat dirinci berikut ini:
1. Hasil dari tujuan No. 1 adalah untuk memperoleh informasi tentang jenis-
jenis dan keragaman morfologi ikan kerapu (famili Serranidae) yang
ditemukan di kawasan perairan Pulau Madura.
2. Hasil dari tujuan No. 2 adalah memperoleh informasi tentang jenis-jenis
dan keragaman genetik ikan kerapu (famili Serranidae) yang ditemukan di
kawasan perairan Pulau Madura berdasarkan parsial sekuen gen COI.
3. Hasil dari tujuan No. 3 adalah memperoleh informasi tentang perkiraan
waktu divergensi genetik, struktur genetik populasi, dan distribusi
geografis pada ikan kerapu (famili Serranidae) yang ditemukan di kawasan
perairan Pulau Madura berdasarkan parsial sekuen gen CO1.
4. Hasil penelitian ini secara praktis dapat digunakan sebagai satu landasan
untuk manajemen budidaya ikan kerapu dengan memanfaatkan sumber
daya genetik lokal. Selain itu, parsial sekuen gen CO1 setiap spesies ikan
kerapu yang terkumpul dimasukkan ke dalam pangkalan data online
GenBank (NCBI) untuk melengkapi data sekuen berbagai spesies ikan
kerapu dari kawasan perairan Indonesia.
15. 6
Universitas Indonesia
D. Nilai Kebaruan dalam Penelitian
Beberapa nilai kebaruan dalam penelitian ini dijelaskan berikut ini.
1. Informasi baru dalam bentuk dokumentasi dan analisis hasil identifikasi
spesies dan keragaman morfologi ikan kerapu yang ditemukan di kawasan
perairan Pulau Madura untuk melengkapi inventarisasi spesies ikan kerapu
di Indonesia dan distribusinya.
2. Informasi baru dalam bentuk data DNA barcode parsial sekuen gen CO1
yang akurat untuk identifikasi spesies ikan kerapu yang ditemukan di
kawasan perairan Pulau Madura, termasuk hasil rekonstruksi pohon
filogenetik, keragaman genetik, sekaligus untuk dimasukkan ke dalam
pangkalan data online GenBank (NCBI) dan BOLD system.
3. Evaluasi dan rekomendasi gambar ilustrasi morfologi ikan kerapu
berdasarkan temuan spesimen ikan kerapu perairan Pulau Madura.
4. Informasi baru dan pertama kali di Indonesia, khususnya dalam bidang
Biologi Evolusi, tentang analisis perkiraan waktu divergensi genetik ikan
kerapu menggunakan metode RelTime dan upaya pembandingannya
dengan metode Bayesian dengan memanfaatkan data molekuler parsial
sekuen gen CO1.
5. Rekonstruksi peta dugaan jalur migrasi atau ekspansi ikan kerapu sunu
Plectropomus maculatus yang direkonstruksi berdasarkan hasil analisis
divergensi dan struktur genetik populasi.
16. 7
Universitas Indonesia
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik
pengumpulan spesimen purposive sampling (pengambilan spesimen secara
sengaja), karena spesimen telah diseleksi, ditentukan, dan/atau menjadi target
penelitian (Senam & Akpan, 2014). Berdasarkan penjelasan tersebut,
purposive sampling dilakukan pada populasi ikan kerapu dari kawasan
perairan Pulau Madura, Jawa Timur, Indonesia. Spesimen penelitian
dikumpulkan pada bulan Februari hingga Desember 2019. Spesimen ikan
kerapu didapatkan dari nelayan di masing-masing Pelabuhan Pendaratan Ikan
(PPI) di Pulau Madura sambil dilakukan wawancara untuk memastikan bahwa
spesimen tersebut benar-benar berasal dari perairan setempat.
Dokumentasi dan pengukuran truss morfometrik ikan kerapu
dilakukan segera pada hari yang sama setelah spesimen ikan kerapu
didapatkan. Secara rinci lokasi pengambilan spesimen disajikan dalam peta
yang dikonstruksi menggunakan piranti lunak QGIS versi 3.20. (Tabel 1 dan
Gambar 1.), sebuah fasilitas online geospasial yang dapat diakses secara bebas
pada situs web http://www.qgis.org.
Tabel 1. Lokasi dan koordinat pengambilan spesimen ikan kerapu perairan
Pulau Madura
Titik
Lokasi
Pelabuhan
Pendaratan Ikan
Kabupaten Koordinat Peta
A Banyu Sangkah (BNS) Bangkalan 60
52’59,42” S‒1130
1’45,58” E
B Camplong (CMP) Sampang 70
13’4,61” S‒1130
20’28,83” E
C Ketapang (KTP) 60
53’31,27” S‒1130
16’47,95” E
D Branta Pasisir (BRP) Pamekasan 70
13’26,38” S‒1130
26’55,41” E
E Pasean (PAS) 60
53’31,36” S‒1130
34’32,03” E
F Prenduan (PRD) Sumenep 70
6’34,52” S‒1130
40’35,55” E
G Dungkek (DGK) 60
58’45,36” S‒1140
5’56,12 E
H. Ambunten (AMB) 60
53’16,82” S‒1130
44’17,68 E
17. 8
Universitas Indonesia
Gambar 1. Peta Pulau Madura dan titik lokasi survei
Keterangan: Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI): (A) Banyu Sangkah, (B)
Camplong, (C) Ketapang, (D) Branta Pasisir, (E) Pasean, (F)
Prenduan, (G) Dungkek, (H) Ambunten. Peta direkonstruksi
menggunakan piranti lunak QGIS 3.20.
B. Pendekatan Morfologi
1. Identifikasi Spesies Berdasarkan Karakter Morfologi
Identifikasi spesies ikan kerapu perairan Pulau Madura berdasarkan
karakter morfologi dilakukan menggunakan buku acuan FAO Species
Catalogue. Vol. 16. Groupers of the world (family Serranidae, subfamily
Epinephelinae) (Heemstra & Randall, 1993). Selain itu juga dilakukan
pembandingan dengan hasil identifikasi ikan kerapu dari penelitian
sebelumnya melalui fasilitas online fishbase.se (Froese & Pauly, 2000),
fishesofaustralia.net.au (Bray & Gomon, Tanpa Tahun), dan distribusi
geografis melalui aquamaps.org (Kesner-Reyes et al., 2020).
18. 9
Universitas Indonesia
2. Analisis Keragaman Morfologi Berdasarkan Truss Morfometrik
Pengukuran truss morfometrik dan pengujian statistik dilakukan pada
populasi ikan kerapu yang didapatkan di perairan Pulau Madura. Pengukuran
dilakukan menggunakan jangka sorong digital merek Sigmat Mitutoyo dengan
panjang 200 mm dan tingkat ketelitian 0,01 mm. Karakter pengukuran truss
morfometrik yang digunakan diasumsikan sama pada setiap spesies ikan
kerapu. Titik dan garis truss morfometrik disertai dengan rincian keterangan
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Posisi 10 titik truss yang ditentukan pada garis luar tubuh ikan
kerapu untuk pengukuran truss morfometrik (Sumber: gambar E.
heniochus (Heemstra & Randall, 1993) dimodifikasi dengan
penambahan titik dan garis truss)
Keterangan: Titik truss merujuk pada (1) mulut atas, (2) atas mata/atas operkulum
(3) ujung depan sirip dorsal, (4) ujung belakang sirip dorsal, (5)
batang ekor bagian atas, (6) bagian bawah operkulum, (7) ujung
belakang sirip ventral (8) ujung depan sirip anal, (9) ujung belakang
sirip anal, (10) batang ekor bagian bawah.
Data karakter truss morfometrik ditransformasi terlebih dahulu untuk
mengeliminasi pengaruh perbedaan ukuran, umur, dan jenis kelamin pada
seluruh spesimen ikan kerapu perairan Pulau Madura. Transformasi data truss
morfometrik pada penelitian ini menggunakan rumus allometrik yang
19. 10
Universitas Indonesia
dikembangkan oleh Elliott et al. (1995). Tabulasi dan transformasi data truss
morfometrik menggunakan piranti lunak Microsoft Excel (Held et al., 2018).
Pengujian statistik yang dipilih adalah korelasi linier Pearson untuk
mengetahui tingkat keeratan hubungan antar karakter truss morfometrik dan
multivariat menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principle
Components Analysis (PCA) untuk mengevaluasi dan mengilustrasikan
kontribusi karakter truss morfometrik pada seluruh spesimen ikan kerapu
perairan Pulau Madura. Seluruh pengujian statistik menggunakan piranti
lunak IBM SPSS statistik versi 22 untuk Windows (IBM Corp, 2013).
C. Pendekatan Molekuler
1. Amplifikasi Parsial Sekuen Gen CO1, Purifikasi, dan Sequencing
Ekstraksi DNA total pada spesimen penelitian ini menggunakan
Wizard® Genomic DNA Purification Kit (Promega Corporation) dengan
mengikuti protokol standar. Pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA
yang telah diekstraksi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran
konsentrasi DNA total secara kualitatif menggunakan metode elektroforesis
gel, sedangkan pengukuran kuantitatif menggunakan mesin UV-Vis
spektrofotometer Nanodrop ND-2000 dengan rasio panjang gelombang
260/280 dan 263/260.
Tabel 2. Urutan primer universal untuk amplifikasi parsial sekuen gen CO1
Kode Primer Urutan Primer 5’-3’
Fish F1 5’-TCAACCAACCACAAAGACATTGGCAC-3’
Fish R1 5’-TAGACTTCTGGGTGGCCAAAGAATCA-3’
(Sumber: Ward et al., 2005)
Amplifikasi parsial sekuen gen CO1 dalam penelitian ini
menggunakan primer universal CO1 yang dikembangkan oleh Ward et al.
(2005) (Tabel 2). Amplifikasi parsial sekuen gen CO1 menggunakan teknik
PCR (polymerase chain reaction) dengan menggunakan mesin thermal cycler.
20. 11
Universitas Indonesia
Purifikasi parsial sekuen gen CO1 menggunakan metode ekstraksi gel dengan
GeneJET Gel Extraction and DNA Cleanup Micro Kit (the thermo scientific).
Pengurutan (sequencing) parsial sekuen gen CO1 menggunakan jasa 1st
BASE
(Selangor, Malaysia).
2. Analisis Keragaman Genetik
Parsial sekuen gen CO1 ikan kerapu perairan Pulau Madura yang
telah berhasil didapatkan dibaca menggunakan piranti lunak BioEdit (Hall,
1999). Sekuen dari setiap spesimen selanjutnya divalidasi menggunakan
fasilitas online Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) dalam pangkalan
data GenBank (NCBI) dan Barcode of Life Data System (BOLD System).
Berikutnya adalah pemeriksaan dan penghapusan stop kodon dan pseudogen
pada sekuen dengan cara menerjemahkan parsial sekuen gen CO1 menjadi
sekuen residu asam amino (Song et al., 2008).
Penyejajaran multisekuen (multiple sequences alignment) dilakukan
menggunakan algoritma ClustalW (Thompson et al., 1994) yang terintegrasi
dalam piranti lunak MEGA X versi 10.2.6. (Kumar et al., 2018) dan dilakukan
pula pemotongan bagian ujung depan dan belakang pada seluruh sekuen.
Karakterisasi sekuen dan analisis keragaman genetik intrapopulasi ikan
kerapu perairan Pulau Madura menggunakan piranti lunak DnaSP versi
6.12.03. (Rozas et al., 2017) dan MEGA X versi 10.2.6.
3. Analisis Jarak Genetik dan Rekonstruksi Pohon Filogenetik
Penghitungan jarak genetik dan rekonstruksi pohon filogenetik
menggunakan piranti lunak MEGA X versi 10.2.6. (Kumar et al., 2018) dan
MrBayes versi 3.2. (Ronquist et al., 2012). Metode penghitungan jarak
genetik menggunakan Maximum Composite Likelihood (MCL) (Larribe &
Fearnhead, 2011). Sebanyak 25 sekuen aksesi pembanding untuk rekonstruksi
21. 12
Universitas Indonesia
pohon filogenetik diunduh dari pangkalan data online GenBank (NCBI).
Sebanyak 23 sekuen dipilih sebagai in group dan 2 sekuen dipilih sebagai out
group (Tabel 3).
Rekonstruksi pohon filogenetik yang dipilih dalam penelitian ini
adalah model Neighbor-Joining (NJ), Maximum Likelihood (ML), dan
Bayesian Inference (BI). Rekonstruksi pohon filogenetik NJ menggunakan
pilihan model subtitusi MCL (Tamura et al., 2004; Som, 2009), sedangkan
ML dan BI menggunakan model subtitusi nukleotida Hasegawa-Kishino-
Yano dengan kombinasi Distribusi Gamma dengan Invarian (HKY+G+I)
(Hasegawa et al., 1985). Evaluasi percabangan pada rekonstruksi pohon
filogenetik menggunakan metode bootstrap 1000 ulangan (Felsenstein, 1985).
Tabel 3. Rincian aksesi in group dan out group yang diunduh dari pangkalan
data GenBank (NCBI) untuk rekonstruksi pohon filogenetik
No. Aksesi GenBank Nama spesies Asal spesimen
Aksesi in group
1. FJ583869 P. maculatus Manila, Filipina
2. JN313061 P. maculatus Kedonganan, Bali, Indonesia
3. MN870295 E. fasciatus Ambon, Maluku, Indonesia
4. KJ130969 E. fasciatus Davao, Filipina
5. KJ130971 E. ongus Davao, Filipina
6. MN870143 E. ongus Ambon, Maluku, Indonesia
7. MN708905 E. coioides Loc An, Ba Ria-Vung Tau, Vietnam
8. GU673873 E. coioides Kedonganan, Bali, Indonesia
9. JN312976 E. bleekeri Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia
10. MN708863 E. bleekeri Con Son Island, Vietnam
11. GU673833 E. heniochus Kedonganan, Bali, Indonesia
12. JN208617.1 E. heniochus Kelantan, Malaysia
13. JQ268583 E. quoyanus Thailand
14. JX674974 E. faveatus Laut Andaman, India
15. JX674975 E. faveatus Laut Andaman, India
16. KF809394 C. boenak Samar, Filipina
17. MN708801 C. boenak Con Son Island, Vietnam
18. MN708911 E. erythrurus Con Son Island, Vietnam
19. KP998441 E. erythrurus Pangandaran, Jawa Barat, Indonesia
20. MN708846 E. areolatus Con Son Island, Vietnam
21. MN870146 E. areolatus Ambon, Maluku, Indonesia
22. MN870291 E. merra Ambon, Maluku, Indonesia
23. JX675013 E. merra India
Aksesi out group
24. MN123472 Pseudolabrus luculentus Selandia Baru
25. MN123473 Pseudolabrus miles Selandia Baru
22. 13
Universitas Indonesia
D. Perkiraan Waktu Divergensi dan Struktur Genetik Populasi: Studi
Kasus pada Ikan Kerapu Sunu Plectropomus maculatus
1. Data Penelitian dan Sumbernya
Penelitian ini merupakan studi kasus pada ikan kerapu sunu
Plectropomus maculatus. Data parsial sekuen gen CO1 ikan kerapu sunu dari
beberapa lokasi perairan lainnya diunduh dari pangkalan data GenBank
(NCBI), sedangkan data dari perairan Pulau Madura didapatkan dalam
penelitian ini. Rincian nomer aksesi, lokasi sampel penelitian, dan sumber
data parsial sekuen CO1 dirinci pada Tabel 4.
Tabel 4. Lokasi, nomer aksesi, dan sumber data parsial sekuen gen CO1 ikan
kerapu sunu P. maculatus dalam penelitian ini
No. Lokasi sampel Nomer aksesi Sumber
1. Pulau Madura, Jawa Timur, Indonesia PRD101 Penelitian ini
Koordinat: -7.07°LS-113.28°BT PRD102 Penelitian ini
AMB012 Penelitian ini
2. Kedonganan, Bali, Indonesia GU673821 GenBank
Koordinat: -8.75°LS-115.167°BT JN313061 GenBank
JN313062 GenBank
3. Pulau Con Son, Ba Ria-Vung Tau, Vietnam MN708948 GenBank
Koordinat: 8.68°LS-106.61°BT MN708949 GenBank
MN708950 GenBank
MN708951 GenBank
MN708952 GenBank
4. Manila, Filipina FJ583869 GenBank
Koordinat: 14.25°BT- 120.48°LS
5. Kepulauan Andaman dan Nikobar, India JX123681 GenBank
Koordinat: 10.63°BT-92.73°LS JX123682 GenBank
JX123683 GenBank
JX123684 GenBank
5. Australia Barat, Australia
Tanjung Lambert, koordinat:-20.12°BT-117.1°LS DQ107910 GenBank
DQ107911 GenBank
DQ107912 GenBank
Pulau Legendre, koordinat: -20.27°BT -116.92°LS DQ107913 GenBank
Pulau Barrow, koordinat: -20°47’BT-115.24°LS DQ107920 GenBank
6. Queensland, Australia
Selat Torres, koordinat: -10.91°BT-141.66°LS HQ956485 GenBank
HQ956486 GenBank
Teluk Carpentaria, Bagian Barat Kota Weipa,
koordinat: 12.37°BT-141.52°LS
DQ107909 GenBank
23. 14
Universitas Indonesia
2. Analisis Perkiraan Waktu Divergensi Genetik
a. Kalibrasi Waktu Divergensi
Analisis untuk kalibrasi waktu divergensi menggunakan informasi
yang didapatkan dari fasilitas online The Timescale of Life (TTOL) (Kumar et
al., 2017). TTOL diakses bebas melalui situs web http://www.timetree.org.
Kalibrasi terhadap tetua bersama terdekat atau most recent common ancestor
(MRCA) pada setiap nodus percabangan menggunakan hasil analisis waktu
divergensi berpasangan (pairwise divergence time) dari taksa yang terdekat,
yaitu P. maculatus dan P. leopardus yang didapatkan dari fasilitas online
TTOL. Berdasarkan analisis tersebut, maka kalibrasi yang digunakan
diputuskan pada waktu minimum 2,766 MYA dan waktu maksimum 6,964
MYA (Gambar 3).
Gambar 3. Diagram yang menunjukkan parameter kerapatan kalibrasi untuk
perkiraan waktu divergensi dengan distribusi waktu minimum 2,766
dan waktu maksimum 6,964 MYA
b. Rekonstruksi Pohon Filogenetik Berbasis Waktu Molekuler (Timetree)
Metode yang digunakan untuk rekonstruksi pohon filogenetik
berbasis waktu molekuler (timetree) adalah Maximum Likelihood (ML) dan
Bayesian Inference (BI). ML direkonstruksi menggunakan piranti lunak
24. 15
Universitas Indonesia
MEGA X versi 10.2.6. (Kumar et al., 2018). Selanjutnya, hasil rekonstruksi
pohon filogenetik ML dianalisis menggunakan metode RelTime untuk
memperkirakan waktu divergensi genetik (Tamura et al., 2012; Tamura et al.,
2018; Battistuzzi et al., 2018) menggunakan batasan waktu hasil kalibrasi
yang telah ditentukan sebelumnya melalui informasi dari TTOL.
Analisis perkiraan waktu divergensi genetik berdasarkan pohon
filogenetik BI diawali dengan untuk menghapus data gap atau hilang dalam
sekuen (complete deletion) menggunakan piranti lunak Gblock versi 0.91b
(Castresana, 2000). Selanjutnya, analisis perkiraan waktu divergensi genetik
menggunakan paket piranti lunak BEAST versi 2.4.1. (Bouckaert et al., 2014)
menggunakan batasan waktu hasil kalibrasi yang telah ditentukan sebelumnya
melalui informasi dari TTOL.
3. Analisis Struktur Genetik Populasi
Struktur genetik populasi dan distribusi geografis dianalisis
menggunakan piranti lunak DnaSP versi 6.12.03. (Rozas et al., 2017),
Arlequin versi 3.5.2.2. (Excoffier & Lischer, 2010) dan Network versi 10.2.0.
yang dapat diakses secara online melalui situs jaringan http://www.fluxus-
engineering.com. Distribusi geografis diilustrasikan berdasarkan hasil
rekonstruksi Median-Joining Network (MJN) (Bandelt et al., 1999) yang
kemudian dikombinasikan dengan peta yang direkonstruksi menggunakan
piranti lunak QGIS versi 3.20. yang dapat diakses secara online pada situs
jaringan http://www.qgis.org.
25. 16
Universitas Indonesia
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pendekatan Morfologi
1. Identifikasi Spesies Berdasarkan Karakter Morfologi
Sebanyak 31 spesimen ikan kerapu berhasil didapatkan dari kawasan
perairan Pulau Madura. Identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi
menggunakan acuan utama Heemstra & Randall (1993) telah berhasil
mengelompokkan 31 spesimen ikan kerapu perairan Pulau Madura ke dalam
3 genus, yaitu Plectropomus, Cephalopholis, dan Epinephelus. Secara rinci
genus Plectropomus terdiri dari ikan kerapu P. maculatus, genus
Cephalopholis terdiri ikan kerapu C. cyanostigma dan C. boenak, dan genus
Epinephelus terdiri dari ikan kerapu E. coioides, E. areolatus, E. bleekeri, E.
heniochus, E. fasciatus, E. sexfasciatus, E. erythrurus dan E. ongus (Gambar
4). Ringkasan hasil identifikasi spesies berdasarkan morfologi disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Ringkasan hasil identifikasi spesies ikan kerapu perairan Pulau Madura
berdasarkan karakter morfologi
No. Kode spesimen Spesies No. Kode spesimen Spesies
1. PRD101 Plectropomus maculatus 17. BNS020 E. sexfasciatus
2. PRD102 P. maculatus 18. BNS021 E. sexfasciatus
3. AMB012 P. maculatus 19. PRD225 E. sexfasciatus
4. CMP104 Cephalopholis cyanostigma 20. PAS029 E. sexfasciatus
5. BRP017 C. boenak 21. PAS030 E. sexfasciatus
6. DGK028 C. boenak 22. PAS031 E. sexfasciatus
7. CMP207 Epinephelus coioides 23. BNS022 E. erythrurus
8. KTP011 E. coioides 24. BNS023 E. erythrurus
9. AMB013 E. coioides 25. CMP103 E. fasciatus
10. BRP016 E. coioides 26. CMP105 E. ongus
11. PRD224 E. coioides 27. CMP106 Epinephelus spp.
12. BNS022 E. areolatus 28. BRP015 Epinephelus spp.
13. BNS023 E. areolatus 29. BRP018 Epinephelus spp.
14. CMP208 E. bleekeri 30. BRP019 Epinephelus spp.
15. CMP209 E. heniochus 31. AMB014 Epinephelus spp.
16. KTP010 E. sexfasciatus
26. 17
Universitas Indonesia
Gambar 4. Tampilan morfologi sebagian spesimen ikan kerapu perairan Pulau Madura
yang berhasil diidentifikasi hingga tingkat spesies
27. 18
Universitas Indonesia
Terdapat 5 spesimen ikan kerapu yang tidak dapat diidentifikasi
hingga tingkat spesies yang disebabkan oleh ambiguitas karakter morfologi
sehingga berpotensi mengalami kesalahan identifikasi spesies (Gambar 5).
Selanjutnya, 5 spesimen tersebut disebut spesies ambigu. Hal ini
menunjukkan bahwa autentikasi spesies menggunakan pendekatan molekuler
dibutuhkan dalam identifikasi spesies. Spesimen spesies ambigu pada
penelitian ini adalah contoh spesies yang berpotensi mengalami kesalahan
identifikasi (misidentifikasi) pada ikan kerapu, bahkan oleh peneliti ahli dalam
bidang taksonomi ikan. Selanjutnya, kelima spesimen spesies ikan kerapu
ambigu tersebut disebut sebagai Epinephelus spp.
Gambar 5. Spesimen ikan kerapu retikulata kecil (small reticulated grouper) perairan
Pulau Madura yang dianggap spesies ambigu secara morfologi
Berbeda dengan spesies retikulata kecil diatas, spesimen ikan kerapu
AMB014 sulit untuk identifikasi spesies disebabkan karena tidak mirip
dengan kebanyakan gambar ilustrasi identifikasi spesies oleh Heemstra &
Randall (1993) (Gambar 6). Jika ditinjau dari warna dan distribusi bintik pada
tubuh ikan, maka dapat diduga bahwa spesimen tersebut adalah spesies ikan
kerapu E. timorensis. Ikan kerapu E. timorensis memiliki warna tubuh abu-
abu kecokelatan pucat dengan bintik kuning atau cokelat keemasan pada
28. 19
Universitas Indonesia
bagian kepala, tengkuk dan dada. Deretan bintik coklat kekuning-kuningan di
sepanjang tepi sirip punggung dan sirip dubur yang lembut serta tepi belakang
sirip ekor. Sirip perut dengan garis-garis cokelat kekuningan dan keputihan
dan beberapa bintik cokelat kekuningan di bagian distal (Craig et al., 2011).
Spesies E. timorensis adalah ikan kerapu lokal Indonesia yang sangat
langka, bahkan belum ada data molekuler spesies ini di pangkalan data
GenBank (NCBI). Namun, jika ditinjau berdasarkan karakter khusus, yaitu
dimana distribusi bercak atau bintik yang terdistribusi pada sepertiga bagian
atas di bagian ekor, maka ada potensi bahwa spesimen ikan kerapu AMB014
adalah ikan kerapu E. bleekeri dewasa.
Gambar 6. Spesimen ikan kerapu perairan Pulau Madura yang diduga spesies
Epinephelus timorensis dan Epinephelus bleekeri
Salah satu penyebab ikan kerapu sulit untuk diidentifikasi hingga
tingkat spesies berdasarkan morfologi adalah disebabkan adanya perbedaan
warna antara ikan kerapu segar atau yang masih hidup dengan ikan kerapu
yang telah mati. Penyebab perbedaan atau perubahan warna ikan kerapu yang
menyebabkan kesulitan dalam identifikasi morfologi bisa disebabkan oleh dua
faktor, pertama adalah tenggang waktu atau lama kematian spesimen dan
kedua adalah perlakuan penyimpanan terhadap spesimen ikan kerapu sejak
ditangkap oleh nelayan hingga didaratkan di pelabuhan dan sampai pada
29. 20
Universitas Indonesia
peneliti melakukan analisis morfologi, misalnya apakah spesimen ikan kerapu
disimpan dalam kotak es atau bak air, terpapar udara secara langsung atau
tidak, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan perubahan warna tersebut dan pengaruhnya
terhadap analisis morfologi, Erdağ & Ayvaz (2021) melaporkan bahwa
penelitian pada ikan kakap laut Dicentrarchus labrax yang menggunakan
analisis gambar berbasis komputer (computer-based image analysis)
menunjukkan bahwa lama penyimpanan dan perlakuan terhadap spesimen
penelitian berpengaruh terhadap perubahan warna pada sisik, insang, dan
mata. Kesulitan identifikasi berdasarkan morfologi pada lima spesimen
Epinephelus spp. tersebut melatarbelakangi pentingnya konfirmasi molekuler
sebagai pendamping identifikasi spesies ikan kerapu. Disamping itu, spesimen
ikan kerapu perairan Pulau Madura lainnya yang telah berhasil diidentifikasi
hingga tingkat spesies secara morfologi juga perlu diautentikasi menggunakan
pendekatan molekuler untuk menghindari kesalahan identifikasi.
2. Analisis Keragaman Morfologi Berdasarkan Truss Morfometrik
Sebanyak 31 spesimen ikan kerapu yang ditemukan di perairan Pulau
Madura dianalisis menggunakan teknik truss morfometrik untuk mengetahui
karakter-karakter yang berkontribusi dalam keragaman morfologi. Sebanyak
18 karakter atau landmark dipilih untuk digunakan dalam pengukuran truss
morfometrik ikan kerapu perairan Pulau Madura. Data karakter truss
morfometrik yang didapatkan ditransformasi terlebih dahulu untuk
mengeliminasi pengaruh perbedaan ukuran, umur, dan jenis kelamin pada
seluruh spesimen ikan kerapu (Elliot et al., 1995). Pengujian statistik diawali
dengan uji korelasi dan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan
PCA dengan asumsi penelitian “karakter pengukur truss morfometrik yang
digunakan diasumsikan sama pada setiap spesimen ikan kerapu populasi
perairan Pulau Madura”.
30. 21
Universitas Indonesia
Oliveira et al. (2019) menjelaskan bahwa varian karakter morfometrik
yang terdapat pada setiap komponen utama (Principle Components atau PC)
dinyatakan oleh nilai Eigen. Nilai Eigen terbesar dikaitkan dengan komponen
utama pertama (PC 1), nilai Eigen terbesar kedua dikaitkan dengan (PC 2),
hingga nilai Eigen terkecil dikaitkan dengan komponen utama yang terakhir.
Komponen utama pertama (PC 1) dengan nilai terbesar memiliki kedudukan
yang paling penting karena menjelaskan banyaknya variasi dari yang karakter-
karakter yang diukur.
Komponen utama (PC) disebut bermakna jika memiliki nilai lebih dari
1 (Waluyo et al., 2016). Secara berturut-turut PC 1 dengan nilai Eigen 12,002
berkontribusi terhadap keseluruhan keragaman morfologi sebesar 66,679%
dan PC 2 dengan nilai Eigen 2,658 berkontribusi terhadap keseluruhan
keragaman morfologi sebesar 14,767% (Tabel 6). Kumulasi antara PC 1 dan
PC 2 berkontribusi terhadap 81,446% keseluruhan keragaman morfologi.
Tabel 6. Ringkasan nilai Eigen, persentase variasi, dan persentase kumulasi untuk
karakter truss morfometrik dalam Principle Component Analysis (PCA)
Komponen Nilai Eigen % Variasi Kumulasi
PC 1 12,002 66,679 66,679
PC 2 2,658 14,767 81,446
Karakter yang dianggap berkontribusi besar pada keseluruhan
keragaman adalah karakter dengan nilai vektor Eigen yang tinggi dan positif
dengan rincian: nilai vektor Eigen >0,3 adalah signifikan, >0,4 adalah lebih
signifikan, dan >0,5 adalah sangat signifikan (Lombarte et al., 2012).
Berdasarkan rincian nilai signifikansi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pada PC 1 seluruh karakter truss morfometrik berkontribusi sangat
signifikan terhadap keragaman morfologi (Tabel 7, Gambar 7). Selanjutnya
pada PC 2 secara keseluruhan terdapat 6 karakter yang berkontribusi terhadap
keseluruhan keragaman morfologi, dengan rincian 3 karakter berkontribusi
31. 22
Universitas Indonesia
signifikan, yaitu J, K, dan L dan 3 karakter berkontribusi sangat signifikan,
yaitu M, P, dan R (Tabel 7, Gambar 7).
Tabel 7. Ringkasan nilai vektor Eigen dari setiap karakter truss morfometrik dalam
Principle Component Analysis (PCA)
Karakter
Komponen
PC 1 PC 2
A 0,741 -
B 0,848 -
C 0,843 -
D 0,892 -
E 0,917 -
F 0,908 -
G 0,872 -
H 0,960 -
I 0,945 -
J 0,647 0,315
K 0,860 0,339
L 0,869 0,330
M 0,697 0,629
N 0,941 -
O 0,711 -
P 0,568 0,541
Q 0,765 -
R 0,536 0,759
Keterangan: Nilai vektor yang dicantumkan hanya yang >0,3
Gambar 7. Grafik petak sebar principle component analysis (PCA) yang
mengilustrasikan posisi karakter truss morfometrik ikan kerapu
perairan Pulau Madura terhadap PC 1 dan PC 2
32. 23
Universitas Indonesia
Kombinasi antara PC 1 dan PC 2 menunjukkan bahwa ada 6 karakter
truss morfometrik yang berkontribusi pada keseluruhan keragaman ikan
kerapu perairan Pulau Madura, yaitu J (jarak antara ujung belakang sirip
dorsal dan batang ekor bagian atas), K (jarak antara ujung belakang sirip
dorsal dan ujung belakang sirip anal), L (jarak antara ujung belakang sirip
dorsal dan batang ekor bagian bawah), M (jarak antara batang ekor bagian atas
dan ujung belakang sirip anal), P (jarak antara ujung belakang sirip ventral
dan ujung depan sirip anal), dan R (jarak antara ujung belakang sirip anal dan
batang ekor bagian bawah).
Dikarenakan spesimen ikan kerapu yang dianalisis pada penelitian ini
terdiri dari banyak spesies, maka keragaman truss morfometrik tersebut
menggambarkan keragaman morfologi pada tingkat subfamili Epinephelinae,
bukan keragaman morfologi yang spesifik pada setiap spesies ikan kerapu.
Walaupun demikian, karakter-karakter tersebut tetap direkomendasikan untuk
analisis truss morfometrik yang lebih spesifik pada spesies ikan kerapu
tertentu pada penelitian-penelitian pada masa mendatang.
B. Pendekatan Molekuler
1. Amplifikasi Parsial Sekuen Gen CO1, Purifikasi, dan Sequencing
Visualisasi amplikon gen CO1 pada elektroforesis gel 1%
menunjukkan bahwa panjang sekuen pada kisaran 650-700 basepairs (bp)
(Gambar 8). Hal ini sesuai dengan penjelasan Ward et al. (2005) bahwa primer
universal gen CO1 yang telah dikembangkannya menghasilkan amplikon
sepanjang 655 bp. Setelah melalui proses multiple sequences alignment dan
pemotongan, panjang sekuen yang diputuskan untuk digunakan pada
penelitian ini adalah 617 bp. Sebagai pembanding, Jefri et al. (2015)
menggunakan sekuen sepanjang 526 bp, Basheer et al. (2018) menggunakan
33. 24
Universitas Indonesia
sekuen sepanjang 655 bp, dan Tapilatu et al. (2021) menggunakan sekuen
sepanjang 623 bp dalam analisisnya masing-masing.
Gambar 8. Visualisasi hasil amplikon parsial sekuen gen CO1 menggunakan
elektroforesis pada 1% TBE gel agarosa
Keterangan: M= marker 100 bp DNA ladder, 1-31= spesimen penelitian.
2. Validasi Dua Arah pada Parsial Sekuen Gen CO1 Ikan Kerapu
Analisis terhadap keragaman genetik dalam pendekatan molekuler
diawali dengan langkah penting berupa validasi hasil sequencing. Validasi
parsial sekuen gen CO1 dari spesimen ikan kerapu pada penelitian ini
dilakukan dua arah, pertama adalah dengan mempertimbangkan hasil
identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi yang mengacu pada
Heemstra & Randall (1993) dan kedua adalah pelacakan spesies berdasarkan
parsial sekuens gen CO1 menggunakan fasilitas online BLAST pada GenBank
(NCBI) dan BOLD system (Tabel 8). Selain karakter morfologi, informasi
34. 25
Universitas Indonesia
tentang kondisi biogeografi juga dipertimbangkan. Pola validasi dua arah yang
demikian ini direkomendasikan oleh Song et al. (2008) untuk menghindari
adanya ambiguitas spesies dalam penggunaan DNA barcode untuk identifikasi
spesies.
Tabel 8. Ringkasan hasil validasi spesies ikan kerapu perairan Pulau Madura
berdasarkan parsial sekuens gen CO1 menggunakan fasilitas online BLAST
(NCBI) dan BOLD System
No. Kode
spesimen
Nama spesies
morfologia
GenBank (NCBI) BOLD system Kes.b
Spesies QCb
Spesies Sim.b
1. PRD101 P. maculatus P. maculatus 99 P. maculatus 100 V
2. PRD102 P. maculatus P. maculatus 99 P. maculatus 100 V
3. CMP103 E. fasciatus E. fasciatus 99 E. fasciatus 100 V
4. CMP104 C. cyanostigma E. coioides 99 E. coioides 97 TV
5. CMP105 E. ongus E. ongus 93 E. ongus 94 V
6. CMP106 E. quoyanus E. faveatus 100 E. faveatus 95 V/K
7. CMP207 E. coioides E. coioides 97 E. coioides 100 V
8. CMP208 E. bleekeri E. bleekeri 97 E. bleekeri 99 V
9. CMP209 E. heniochus E. heniochus 97 E. heniochus 100 V
10. KTP010 E. sexfasciatus Tidak cocok - Tidak cocok - TV
11. KTP011 E. coioides E. coioides 97 E. coioides 100 V
12. AMB012 P. maculatus P. maculatus 98 P. maculatus 100 V
13. AMB013 E. coioides E. coioides 96 E. coioides 100 V
14. AMB014 E. timorensis E. bleekeri 98 E. bleekeri 100 V/K
15. BRP015 E. quoyanus E. bleekeri 100 E. bleekeri 100 V/K
16. BRP016 E. coioides E. coioides 87 E. coioides 100 V
17. BRP017 C. boenak E. boenak 98 E. boenak 100 V
18. BRP018 E. quoyanus Tidak cocok - Tidak cocok - TV
19. BRP019 E. quoyanus Tidak cocok - Tidak cocok - TV
20. BNS020 E. sexfasciatus Tidak cocok - Tidak cocok - TV
21. BNS021 E. sexfasciatus Tidak cocok - Tidak cocok - TV
22. BNS022 E. erythrurus E. erythrurus 98 E. erythrurus 100 V
23. BNS023 E. erythrurus E. erythrurus 98 E. erythrurus 100 V
24. PRD224 E. coioides E. coioides 98 E. coioides 99 V
25. PRD225 E. sexfasciatus E. coioides 99 E. coioides 98 TV
26. DGK026 E. areolatus E. areolatus 99 E. areolatus 100 V
27. DGK027 E. areolatus E. areolatus 98 E. areolatus 99 V
28. DGK028 C. boenak C. boenak 97 C. boenak 99 V
29. PAS029 E. sexfasciatus E. areolatus 98 E. areolatus 100 TV
30. PAS030 E. sexfasciatus E. areolatus 98 E. areolatus 98 TV
31. PAS031 E. sexfasciatus E. areolatus 98 E. areolatus 98 TV
Keterangan: a
Penentuan spesies berdasarkan karakter morfologi mengacu pada
Heemstra & Randall (1993); b
QC= query cover (%), Sim.= similaritas
(%), Kes.= kesimpulan; V= valid, TV= tidak valid, K= membutuhkan
konfirmasi.
35. 26
Universitas Indonesia
Pada hasil identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi yang
hanya dapat dilakukan hingga tingkat genus, maka hasil validasi molekuler
berdasarkan parsial sekuen gen CO1 menunjuk pada spesies yang berpotensi
untuk autentifikasi atau penguatan kedudukan status taksonomi spesies
termaksud. Autentikasi molekuler ini dilakukan pada spesimen ikan kerapu
CMP106, BRP015, dan AMB014. Ketiga spesimen tersebut selanjutnya akan
ditulis sebagai Epinephelus spp. yang artinya ada penekanan bahwa hasil
identifikasi hingga tingkat spesies baru akan dipastikan setelah melalui
tahapan rekonstruksi pohon filogenetik pada penelitian ini (Tabel 8).
3. Keragaman Genetik Ikan Kerapu Perairan Pulau Madura
Penyajian hasil analisis terhadap keragaman genetik ikan kerapu
perairan Pulau Madura diawali dengan analisis terhadap komposisi
nukleotida. Komposisi nukleotida pada parsial sekuen gen CO1 spesimen ikan
kerapu perairan Pulau Madura pada penelitian ini menunjukkan angka
persentase yang sangat dekat dengan Teleostei yang dilaporkan Ward e al.
(2005). Persentase nukleotida T, C, A, dan G spesimen ikan kerapu perairan
Pulau Madura secara berturut-turut adalah 29,5 %, 28,2, 24,6%, 17,7%,
sedangkan pada Teleostei adalah 29,38%, 28,75%, 23,58%, dan 18,31%.
Persentase G+C content pada parsial sekuen CO1 ikan kerapu perairan
Pulau Madura adalah sebesar 45.4%, sedangkan persentase G+C content pada
Teleostei yaitu sebesar 47.1%. Angka persentase yang sangat dekat tersebut
menunjukkan bahwa primer universal gen CO1 yang dikembangkan oleh
Ward et al. (2005) telah melalui perhitungan yang akurat dan bekerja sangat
baik pada spesimen ikan kerapu secara umum (famili Serranidae).
Keragaman genetik pada umumnya didasarkan pada nilai keragaman
haplotipe (Hd) (Nei, 1987) dan keragaman nukleotida (π) (Lynch & Crease,
1990). Berdasarkan pada nilai keragaman haplotipe Hd= 0,976 dan keragaman
nukleotida π= 0,14584 maka dapat disimpulkan bahwa keragaman genetik
36. 27
Universitas Indonesia
ikan kerapu di perairan Pulau Madura masih tergolong tinggi (Tabel 9). Nilai
keragaman genetik tersebut tidak jauh berbeda dengan laporan Basheer et al.
(2017) dengan Hd= 0,9830 dan π= 0,14584 pada populasi ikan kerapu di
perairan India.
Tabel 9. Keragaman genetik intrapopulasi ikan kerapu perairan Pulau Madura
berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Parameter Nilai
Keragaman haplotipe (Hd) 0,976
Keragaman nukleotida (π) 0,14584
Jumlah haplotipe (nHap) 17
Variansi keragaman haplotipe 0,00053
Jumlah situs polimorfik (S) 153
Rasio laju transisi/transversi (k1=purin, k2=pirimidin) k1 = 3,646, k2 = 4,141
Bias transisi/transversi (R) 2,145
Perkiraan Distribusi Gamma (G) 0,1745
Analisis keragaman genetik pada penelitian ini dilakukan pada seluruh
spesies ikan kerapu perairan Pulau Madura yang terdiri dari genus
Plectropomus, Cephalopholis, dan Epinephelus. Berdasarkan hal tersebut,
maka hasil analisis menggambarkan keragaman genetik pada ikan kerapu
pada tingkat subfamili Epinephelinae, bukan keragaman genetik setiap spesies
ikan kerapu yang ditemukan. Berdasarkan pada hasil penelitian ini maka
penelitian-penelitian di masa mendatang diharapkan dilakukan analisis
keragaman genetik pada setiap spesies ikan kerapu di perairan Pulau Madura
untuk mendapatkan informasi keragaman genetik yang lebih spesifik.
Nilai subtitusi nukleotida intrapopulasi ikan kerapu perairan Pulau
Madura yang melalui mekanisme transisi cenderung lebih tinggi dibandingkan
mekanisme transversi (Tabel 10). Nilai tersebut sejalan dengan penjelasan
(Keller et al., 2007) bahwa mutasi pada hewan cenderung lebih sering melalui
mekanisme transisi daripada transversi. Hal ini terjadi karena nukleotida
dengan kemiripan struktur molekul dan jumlah ikatan yang sama lebih mudah
37. 28
Universitas Indonesia
tersubstitusi melalui transisi. Disisi lain, perbedaan genetik intraspesies
disebabkan oleh subtitusi (mutasi) titik.
Tabel 10. Matriks berpasangan (pairwise matrix) perkiraan pola subtitusi nukleotida
parsial sekuen gen CO1 intrapopulasi ikan kerapu perairan Pulau Madura
menggunakan metode Maximum Composite Likelihood (MCL)
A T C G
A - 5,07 5 10,83
T 3,79 - 20,69 2,97
C 3,79 21 - 2,97
G 13,82 5,07 5 -
Keterangan: Tingkat substitusi transisi yang berbeda ditampilkan dalam huruf tebal
(bold) dan substitusi transversi ditampilkan dalam huruf miring (italics).
4. Jarak Genetik dan Rekonstruksi Pohon Filogenetik
Perhitungan jarak genetik dan rekonstruksi pohon filogenetik
ditentukan oleh karakteristik sekuen nukleotida yang ada di dalamnya.
Karakteristik parsial sekuen gen CO1 spesimen ikan kerapu perairan Pulau
Madura bersama dengan sekuen in group dan out group yang diunduh dari
pangkalan data GenBank (NCBI) disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Karakteristik parsial sekuen gen CO1 keseluruhan spesimen ikan kerapu
perairan Pulau Madura serta sekuen in group dan out group yang diunduh
dari pangkalan data GenBank (NCBI)
Parameter Jumlah Posisi situs
Jumlah sekuen yang diuji 47
Panjang sekuen CO1 617 bp
Jumlah situs invariabel (monomorfik) 263 situs
Jumlah situs variabel (polimorfik) 153 situs
Jumlah situs parsimoni informatif 147 situs
- Parsimoni informatif (dua varian) 71 19, 22, 36, 39, 45, 54, 64, 67, 123, 126,
144, 165, 172, 186, 189, 198, 207, 231,
252, 253, 258, 291, 312, 318, 319, 331,
333, 336, 339, 342, 357, 358, 366, 369,
373, 378, 379, 388, 390, 399, 408
- Parsimoni informatif (tiga varian) 49 3, 21, 30, 33, 57, 63, 66, 153, 171, 174,
180, 192, 204, 243, 246, 249, 261, 270,
273, 285, 288, 297, 306, 309, 321, 324,
327, 345, 351, 363, 372, 375, 387, 393,
396, 402, 423, 426, 473, 500, 503, 509,
521, 524, 530, 533, 539, 561, 566
- Parsimoni informatif (empat varian) 27 6, 15, 18, 60, 69, 156, 177, 195, 237,
240, 255, 264, 276
Situs variabel singletone 6 150, 169, 178, 235, 541, 543
38. 29
Universitas Indonesia
Sebanyak 47 sekuen dengan panjang 617 bp yang dilibatkan
digunakan dalam penelitian ini mengandung 263 atau 42,6% situs invariabel
(monomorfik), 153 atau 24,8% situs variabel (polimorfik), 147 atau 23,8%
parsimoni informatif, dan 6 atau 0,97% situs variabel singletone. Karakteristik
parsial sekuen gen CO1 tersebut menunjukkan cukup banyak variasi
nukleotida yang menjadi dasar informasi keragaman genetik dan juga
berpotensi sebagai sarana identifikasi spesies yang akurat pada spesimen ikan
kerapu.
Dogan & Dogan (2016) mendeskripsikan jarak genetik sebagai rasio
perbedaan genetik antar spesies atau populasi. Secara ringkas jarak genetik
antar spesimen ikan kerapu perairan Pulau Madura disajikan pada Tabel 12.
Semakin kecil nilai jarak genetik menunjukkan semakin mirip sekuen gen
CO1 yang diperbandingkan antara kedua spesies atau individu spesimen
tersebut. Nei (1972) mengkategorikan jarak genetik berdasarkan nilainya,
yaitu rendah (0,01-0,099), sedang (0,1-0,99), dan tinggi (1,00-2,00). Nilai
jarak genetik diatas 0,1 dianggap sebagai spesies yang berbeda.
Tabel 12. Ringkasan intepretasi matriks jarak genetik berpasangan antar individu
ikan kerapu perairan Pulau Madura berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Nilai jarak genetik Pasangan individu/spesies (pairwise between individual)
Jarak genetik terjauh antar individu
0,371 KTP011 E. coioides vs PRD101 P. maculatus
0,371 KTP011 E. coioides vs PRD102 P. maculatus
0,364 KTP011 E. coioides vs AMB012 P. maculatus
Jarak genetik terdekat antar spesies
0,096 E. erythrurus vs E. ongus
0,111 E. areolatus vs E. beekeri
Jarak genetik terjauh Genus Epinephelus
0,264 E. coioides vs E. areolatus
Jarak genetik terdekat antar individu Epinephelus sp.*
0,079 CMP106 Epinephelus spp. vs CMP105 E. ongus
0,002 AMB014 Epinephelus spp. vs CMP208 E. bleekeri
0,005 BRP015 Epinephelus spp. vs AMB014 Epinephelus sp.
39. 30
Universitas Indonesia
Hasil penelitian ini sekaligus menunjukkan dugaan yang kurang tepat
dari Madduppa et al. (2012) yang menjelaskan bahwa pola hidup ikan kerapu
genus Epinephelus dengan sebaran yang terbatas, soliter, sedentari dan
memiliki teritorial di ekosistem terumbu karang menyebabkan jarak genetik
antar ikan kerapu genus Epinephelus tersebut tidak terlalu jauh. Sebaliknya,
walaupun jarak genetik intrapopulasi ikan kerapu genus Epinephelus perairan
Pulau Madura sebagian besar berada pada rentang kategori rendah dan sedang,
namun secara keseluruhan berada pada rentang rendah hingga tinggi.
Pohon filogenetik adalah diagram yang menggambarkan garis
keturunan evolusioner dari berbagai spesies, organisme, atau gen dari nenek
moyang yang sama. Pohon filogenetik berguna untuk mendeskripsikan
keanekaragaman hayati, menyusun klasifikasi, dan untuk memberikan
wawasan tentang peristiwa yang terjadi selama evolusi (Baum, 2008). Setiap
metode rekonstruksi pohon filogenetik mempunyai kelebihan dan kekurangan
sehingga langkah terbaik adalah membandingkan beberapa metode sekaligus
untuk mendapatkan gambaran yang valid tentang posisi spesies pada beberapa
pohon filogenetik yang terekonstruksi. Metode yang dipilih untuk
rekonstruksi pohon filogenetik dalam penelitian ini adalah Neighbor-Joining
(NJ), Maximum Likelihood (ML) dan Bayesian Inference (BI) (Gambar 9,
Gambar 10, Gambar 11).
Metode NJ membangun pohon filogenetik dengan mengelompokkan
sekuen gen atau DNA secara bertahap, setiap langkah pengelompokan sekuen
ini meminimalkan panjang cabang sekaligus memeriksa beberapa
kemungkinan-kemungkinan topologi (Saitou & Nei, 1987). Metode NJ
dengan algoritma Maximum Composite Likelihood (MCL) teruji paling akurat
dibandingkan metode NJ lainnya (Som, 2009). Metode ML merupakan
metode analisis yang menggunakan prinsip bahwa perubahan yang terjadi
pada seluruh basa nukleotida dianggap memiliki laju yang sama atau
40. 31
Universitas Indonesia
sebanding (Felsenstein, 1981). Metode BI secara umum mirip dengan metode
ML, namun dengan penekanan pada distribusi atau probabilitas prior
menggunakan metode algoritma Marcov Chain Monte Carlo (MCMC) untuk
membangun pohon filogenetik (Huelsenbeck, 2001).
Hasil rekonstruksi pohon filogenetik NJ, ML, dan BI secara umum
memperlihatkan pola topologi yang sama, yaitu kesesuaian posisi
percabangan antara hasil identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi
dengan kelompok spesies in group yang diunduh dari pangkalan data
GenBank (NCBI). Kesesuaian antara hasil identifikasi morfologi dan
molekuler ini secara tegas memperkuat status taksonomi dari spesimen-
spesimen ikan kerapu perairan Pulau Madura dalam penelitian ini. Wiens
(2004) mengemukakan bahwa penggunaan dua pendekatan sekaligus, yaitu
morfologi dan molekuler, akan meningkatkan kualitas hasil penelitian
taksonomi dibandingkan jika kedua pendekatan tersebut digunakan secara
terpisah. Selain itu juga mempertegas bahwa parsial sekuen gen CO1 dapat
digunakan sebagai sarana yang akurat untuk identifikasi spesies.
Kress et al. (2005) menjelaskan bahwa reliabilitas percabangan dapat
diketahui berdasarkan nilai bootstrap yang dikategorikan menjadi kuat
(>85%), moderat (70-85%), lemah (50-69%), dan sangat lemah (<50%).
Berdasarkan pengkategorian tersebut, maka nilai bootstrap pada nodus
percabangan utama hasil rekonstruksi pohon filogenetik NJ, ML, dan BI
menunjukkan dukungan yang moderat hingga kuat (Gambar 9, Gambar 10,
Gambar 11). Hal ini menjelaskan bahwa percabangan utama pada pohon
filogenetik yang telah direkonstruksi terbukti reliabel atau dapat dipercaya.
41. 32
Universitas Indonesia
Gambar 9. Pohon filogenetik Neighbor-Joining (NJ) ikan kerapu perairan Pulau
Madura berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Keterangan: Tanda (*) dan (**) adalah spesimen dalam penelitian ini, angka pada
nodus percabangan adalah nilai bootstrap diatas 50.
42. 33
Universitas Indonesia
Gambar 10. Pohon filogenetik Maximum Likelihood (ML) ikan kerapu perairan Pulau
Madura berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Keterangan: Tanda (*) dan (**) adalah spesimen dalam penelitian ini, angka pada
nodus percabangan adalah nilai bootstrap diatas 50.
43. 34
Universitas Indonesia
Gambar 11. Pohon filogenetik Bayesian Inference (BI) ikan kerapu perairan Pulau
Madura berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Keterangan: Tanda (*) dan (**) adalah spesimen dalam penelitian ini, angka pada
nodus percabangan adalah nilai Bayesian posterior probability (BPP).
Tiga spesimen ikan kerapu genus Epinephelus yang belum
teridentifikasi spesiesnya tersebut adalah spesimen CMP106, AMB014, dan
BRP015. Hasil rekonstruksi pohon filogenetik memposisikan spesimen
CMP106 ke dalam spesies ikan kerapu E. favetaus, BRP015 ke dalam spesies
ikan kerapu E. quoyanus, dan AMB014 ke dalam spesies ikan kerapu E.
bleekeri. Sebelumnya, identifikasi spesies menggunakan karakter morfologi
pada spesimen CMP106 dan BRP015 dikelompokkan sebagai ikan kerapu E.
quoyanus sebagai upaya pendugaan, namun hasil identifikasi spesies
menggunakan sarana molekuler DNA barcode ternyata hanya spesimen
BRP015 yang terkonfirmasi sebagai ikan kerapu E. quoyanus, sedangkan
spesimen CMP106 sebagai ikan kerapu E. faveatus. Keberadaan sekuen ikan
44. 35
Universitas Indonesia
kerapu E. merra dalam in group adalah sebagai salah satu spesies sebagai
hipotesis terhadap spesimen CMP106 dan BRP015 dalam rekonstruksi pohon
filogenetik, namun walaupun sangat mirip secara morfologi, rupanya
percabangan yang terbentuk antara ikan kerapu E. quoyanus, E. merra, dan E.
faveatus terletak berjauhan atau parafiletik. Posisi filogenetik antara ikan
kerapu E. merra dan E. quoyanus dalam penelitian ini sejalan dengan posisi
filogenetik yang dilaporkan oleh Schoelinck et al. (2014) yang menggunakan
parsial sekuen gen CO1 dan dikombinasikan dengan beberapa marka
molekuler lainnya.
Berbeda dengan spesimen CMP106 dan BRP015, spesimen
AMB014 secara morfologi sulit diidentifikasi dan dikelompokkan ke dalam
spesies manapun berdasarkan acuan identifikasi morfologi oleh Heemstra &
Randall (1993). Spesies yang dihipotesiskan untuk AMB014 berdasarkan
kemiripan morfologi adalah ikan kerapu E. timorensis (berdasarkan karakter
diagnostic warna dan pola distribusi bintik pada badan) dan E. bleekeri
(berdasarkan karakter diagnostik pola distribusi bintik pada sepertiga bagian
atas batang ekor). Ikan kerapu E. timorensis adalah spesies langka yang
sekuen DNA barcode-nya belum tersedia dalam pangkalan data GenBank
(NCBI) maupun BOLD system, sehingga hanya sekuen dari ikan kerapu E.
bleekeri yang dimasukkan ke dalam in group sebagai spesies hipotesis
terhadap spesimen AMB014. Hasil rekonstruksi pohon filogenetik NJ, ML,
dan BI berhasil menjawab spesies hipotesis tersebut, yaitu secara tegas
menempatkan spesimen AMB014 sebagai ikan kerapu E. bleekeri.
C. Perkiraan Waktu Divergensi Ikan Kerapu Sunu P. maculatus
Sebelum melakukan analisis perkiraan waktu divergensi genetik,
informasi temporal harus diperoleh untuk mengkalibrasi usia relatif nodus.
Informasi tersebut dibutuhkan supaya metode penanggalan molekuler
45. 36
Universitas Indonesia
(molecular dating method) dapat disesuaikan dengan perkiraan waktu ke skala
absolut tahunan (diilustrasikan dalam skala jutaan tahun lalu atau MYA).
Dengan demikian, usia nodus internal dalam pohon filogenetik yang telah
direkonstruksi menjadi bermakna dan memungkinkan untuk dilakukan
pembandingan yang setara (terstandar) dengan hasil penelitian yang lain
(Mello, 2018).
Metode untuk perkiraan waktu divergensi genetik pada umumnya
menggunakan metode Bayesian yang difasilitasi oleh piranti lunak BEAST
(Bouckaert et al., 2014), sedangkan metode RelTime merupakan metode baru
yang dperkenalkan mulai tahun 2012 (Tamura et al., 2012). Kedua metode
tersebut membutuhkan kalibrasi waktu perkiraan dalam inferensi waktu
divergensi. Metode Bayesian menggunakan berbagai kepadatan probabilitas
untuk mengakomodasi ketidakpastian kalibrasi. Namun, algoritma dan
statistika yang mendasari metode non-Bayesian saat ini, termasuk metode
RelTime, tidak dapat menggunakan secara langsung kepadatan probabilitas
dan tidak menyediakan ketentuan atau prosedur untuk menggabungkan
interaksi di antara batasan kalibrasi tersebut. Oleh karena itu, prosedur baru
dikembangkan untuk digunakan dalam metode RelTime supaya memperoleh
batas kalibrasi dari kepadatan probabilitas yang memperhitungkan
interaksinya tersebut.
Fasilitas online the Timescale of Life (TTOL) dikembangkan oleh
Kumar et al. (2017) untuk memudahkan peneliti mendapatkan informasi
waktu divergensi genetik spesies, sehingga kalibrasi waktu divergensi yang
akurat dapat lebih mudah didapatkan, khususnya dalam penggunaan metode
RelTime. TTOL adalah basis pengetahuan publik untuk informasi tentang
skala waktu evolusioner kehidupan. Data dari ribuan penelitian yang telah
diterbitkan dirangkai menjadi pohon kehidupan yang dapat dicari dan
disesuaikan dengan waktu (berupa pangkalan data TimeTree). Pangkalan data
46. 37
Universitas Indonesia
Timetree akan terus diperbarui (updating) seiring waktu sesuai dengan
perkembangan penelitian-penelitian baru yang diterbitkan.
Gambar 12. Gambar ilustrasi waktu divergensi berpasangan (pairwise divergence time)
antara ikan kerapu sunu P. maculatus dan P. leopardus berdasarkan
fasilitas online TTOL.
Keterangan: Angka menunjukkan pada waktu (MYA), ● menunjukkan posisi
divergensi genetik terhadap waktu berdasarkan tiga sumber penelitian.
47. 38
Universitas Indonesia
Gambar 13. Gambar ilustrasi garis waktu evolusioner ikan kerapu sunu P. maculatus
dan waktu divergensinya berdasarkan fasilitas online TTOL
48. 39
Universitas Indonesia
Berdasarkan analisis terhadap usia nodus (node time) antara P.
maculatus dan P. leoaprdus menggunakan fasilitas online TTOL, waktu
divergensi genetik antar kedua spesies tersebut terjadi pada rentang 2,766-
6,964 MYA dengan median 6,260 (Gambar 12). Rentang waktu divergensi
genetik ini digunakan untuk kalibrasi waktu minimum dan maksimum dalam
analisis perkiraan waktu divergensi pada rekonstruksi pohon filogenetik
berbasis waktu molekuler ML dan BI. Sedangkan perkiraan garis waktu
(timeline) divergensi genetik mengungkap bahwa ikan kerapu sunu P.
maculatus terjadi pada rentang periode geologi akhir Miosin hingga Pliosin
(Gambar 13).
Tamura et al. (2018) menjelaskan bahwa perkiraan waktu divergensi
dalam pohon filogenetik berbasis waktu molekuler (timetree) hanya bermakna
jika hasil rekonstruksi pohon filogenetik cukup kuat atau tegas dan berhasil
menunjukkan hubungan evolusioner antara individu, spesies, atau populasi
yang sedang diteliti. Berdasarkan penjelasan tersebut maka langkah pertama
yang dilakukan adalah membangun pohon filogenetik yang andal dan
kemudian memperkirakan waktu divergensi genetik. Selain itu, interval
kepercayaan yang terkait dengan usia simpul untuk menilai ketepatan
perkiraan waktu juga harus dipertimbangkan sebelum membuat kesimpulan.
Hasil rekonstruksi pohon filogenetik Maximum Likelihood (ML) dan
Bayesian Inference (BI) ikan kerapu sunu P. maculatus secara umum
menunjukkan topologi yang sama, yaitu pengelompokkan kelompok populasi
Perairan Dalam (meliputi populasi perairan Madura, Bali, Vietnam, dan
Filipina), kelompok populasi Perairan Luar (populasi perairan Austalia Barat
dan Queensland) dan populasi perairan Andaman (India) (Gambar 14, Gambar
15). Perbedaan yang ditemukan pada kedua pohon filogenetik tersebut adalah
posisi populasi Perairan Luar dan Perairan Andaman. Pada pohon filogenetik
ML, populasi perairan Andaman memiliki nodus yang berdampingan dengan
49. 40
Universitas Indonesia
populasi Perairan Luar, sedangkan pada pohon filogenetik BI populasi
Perairan Andaman terpisah lebih awal diikuti dengan pemisahan antara
populasi Perairan Luar dan Perairan Dalam.
Terdapat persamaan yang menunjukkan keunikan antara kedua pohon
filogenetik ML dan BI, yaitu posisi sekuen ikan kerapu sunu HQ956485 yang
berasal dari Selat Torres, Queensland yang terpisah dari populasi perairan
Australia Barat dan Queensland justeru mengalami divergensi genetik lebih
awal sebelum terbentuknya populasi perairan Andaman. Posisi percabangan
filogenetik tersebut sesuai dengan penjelasan Sachitanandam et al. (2011)
bahwa spesies dalam genus Pletcropomus di perairan Andaman menunjukkan
hubungan yang erat dengan spesies yang sama di Perairan Australia (Gambar
14, Gambar 15).
Penelitian ini mengungkap bahwa perkiraan waktu divergensi
genetik berdasarkan metode RelTime dan Bayesian menunjukkan
kecenderungan hasil analisis yang sama. Kecenderungan tersebut sesuai
dengan simulasi yang dilakukan oleh Tamura et al. (2018) yang menunjukkan
bahwa antara metode RelTime dan Bayesian menunjukkan hasil yang
cenderung sama. Penelitian ini mendukung penyimpulan Mello et al., (2017)
dan Filipski et al. (2014) bahwa RelTime berkinerja baik untuk
memperkirakan waktu divergensi dalam analisis yang terdiri dari banyak
kumpulan data empiris besar dan kumpulan data simulasi.
Keseluruhan analisis perkiraan divergensi genetik menunjukkan
bahwa waktu divergensi ikan kerapu sunu P. maculatus terjadi pada rentang
4,19 hingga 4,44 MYA, rentang periode tersebut adalah periode geologi
Pliosin. Dowset (1991) menjelaskan bahwa berdasarkan pada analisis
mikrofosil laut, tidak ada perbedaan yang signifikan antara iklim dan geologi
periode Pliosin (5,2 hingga 1,8 MYA) dengan iklim dan geologi bumi saat ini.
50. 41
Universitas Indonesia
Gambar 14. Pohon filogenetik berbasis waktu molekuler (timetree) ikan kerapu sunu
P. maculatus menggunakan metode RelTime dengan penekanan informasi
pada topologi percabangan.
Keterangan: Angka pada nodus percabangan pohon filogenetik menunjukkan
perkiraan waktu divergensi (MYA) antar dua garis keturunan. Tanda
bintang (*) adalah sampel ikan kerapu sunu P. maculatus perairan Pulau
Madura pada penelitian ini.
Gambar 15. Pohon filogenetik berbasis waktu molekuler (timetree) ikan kerapu sunu
P. maculatus menggunakan metode Bayesian dengan penekanan informasi
pada skala waktu divergensi.
Keterangan: Angka pada nodus percabangan pohon filogenetik menunjukkan
perkiraan waktu divergensi (MYA) antar dua garis keturunan yang
didasarkan pada interval highest posterior density (HPD) 95%. Skala di
bawah pohon filogenetik menunjukkan waktu divergensi genetik (MYA)
berdasarkan parsial sekuen gen CO1. Tanda bintang (*) adalah sampel
ikan kerapu sunu P. maculatus perairan Pulau Madura pada penelitian
ini.
51. 42
Universitas Indonesia
Hasil analisis tersebut sekaligus mengungkap bahwa perubahan
biogeografi fauna laut pada periode geologi Pliosin relatif sama dengan saat
ini. Menurut Ma (2014) geologi dan perubahan iklim berperan penting dalam
evolusi makro dan evolusi mikro pada ikan kerapu. Beberapa mekanisme
spesiasi yang menjadi penyebab keanekaragaman ikan kerapu, termasuk
alopatrik, peripatrik dan simpatrik (atau diversifikasi ekologi) dan
prevalensinya dipengaruhi oleh sejarah geologi.
D. Struktur Genetik Populasi Ikan Kerapu Sunu P. maculatus
Secara berurutan struktur genetik populasi ikan kerapu P. maculatus
dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap keragaman genetik, pengujian
netralitas populasi, diferensiasi genetik berdasarkan nilai fiksasi indeks (FST),
dan pada bagian akhir adalah distribusi haplotipe. Hasil rekonstruksi pohon
filogenetik berdasarkan waktu molekuler (timetree) telah mengelompokkan 6
populasi ikan kerapu sunu P. maculatus ke dalam 2 kelompok populasi, yaitu
kelompok Populasi Perairan Dalam yang meliputi Laut Jawa (populasi
Madura dan Bali) dan Laut China Selatan (Vietnam dan Filipina) dan
kelompok populasi Perairan Luar yaitu perairan yang berbatasan langsung
dengan Samudera Hindia (populasi Australia Barat, Queensland, dan India).
Masing-masing kelompok populasi terdiri dari 12 individu atau sekuen. Hasil
pengelompokkan tersebut menjadi dasar dalam analisis struktur genetik
populasi (Tabel 13).
Penyimpulan keragaman genetik dalam penelitian ini didasarkan
nilai keragaman haplotipe (Hd) dan keragaman nukleotida (π).
Pengkategorian nilai Hd menurut Nei (1987) adalah rendah (0-0,4), sedang
(0,5-0,7), dan tinggi (0,8-1,0). Nilai Hd pada populasi perairan Queensland
dan Australia Barat mempunyai nilai sangat dekat 1, artinya populasi tersebut
memiliki keragaman genetik yang tinggi. Populasi perairan Pulau Madura
juga memiliki keragaman yang cukup tinggi dengan nilai 0,667. Populasi
52. 43
Universitas Indonesia
perairan Bali, Vietnam-Filipina, dan India terindikasi memiliki keragaman
genetik yang rendah dengan nilai kurang dari 0,5 dan bahkan 0.
Tabel 13. Ringkasan analisis keragaman genetik dan uji netralitas populasi ikan kerapu
sunu P. maculatus berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Populasi Parameter
Keragaman Genetik Uji Netralitas
n Hd π S Tajima Fu’s & Li
Madura 3 0,667 - 31 - -
Bali 3 0,000 - 0 - -
Vietnam-Filipina 6 0,333 - 2 - -
Australia Barat 5 0,900 - 34 - -
Queensland 3 1,000 - 36 - -
India 4 0,000 - 0 - -
Perairan Dalam 12 0,167 0,00059 - -1,45138s
-1,72038s
Perairan Luar 12 0,818 0,01630 - 0,52693ts
-0,16932s
Keseluruhan Perairan 24 0,862 0,01344 87 -0,12051s
-0,62488s
Keterangan: n= jumlah individu, Hd= keragaman haplotipe, nHap= jumlah haplotipe,
π= keragaman nukleotida, S= situs polimorfis. Populasi Filipina hanya
terdiri dari 1 sekuen sehingga dikelompokkan dengan populasi Vietnam.
*Perairan Dalam= Laut Jawa dan China Selatan, meliputi populasi
Madura, Bali, Vietnam dan Filipina; Perairan Luar= Samudera Hindia,
meliputi populasi dari Perairan Andaman (India), Australia Barat dan
Queensland. s (signifikan)= P<0.05, ts (tidak signifikan)= P > 0.10.
Hasil uji netralitas Tajima’s dan Fu’s & Li menunjukkan nilai negatif
pada kelompok populasi Perairan Dalam, yang mengindikasikan bahwa
kelompok populasi tersebut belum mengalami inbreeding intrapopulasi atau
mengindikasikan terjadinya ekspansi untuk perkawinan interpopulasi. Hasil
uji netralitas pada kelompok populasi Perairan luar menunjukkan hasil yang
berbeda antara uji Tajima’s dan Fu’s & Li. Namun berdasarkan Simonsen et
al. (1995) uji Fu’s & Li lebih sensitif sehingga dapat diambil simpulan bahwa
kelompok populasi Perairan Luar juga terindikasi belum mengalami
perkawinan intrapopulasi dan terindikasi melakukan ekspansi untuk
perkawinan interpopulasi. Nilai negatif keseluruhan populasi dari kedua uji
netralitas tersebut menunjukkan jumlah mutasi langka (misalnya mutasi titik)
dalam populasi, yang mengindikasikan terjadinya ekspansi populasi yang
53. 44
Universitas Indonesia
terjadi terakhir kali. Ekspansi mungkin terjadi walaupun jarak antar populasi
secara geografis sangat berjauhan.
Diferensiasi genetik dianalisis berdasarkan pada nilai FST. Nilai FST
terdistribusi pada rentang 0 hingga 1. Semakin mendekati nilai 1 maka
populasi dianggap mengalami diferensiasi genetik, sebaliknya semakin
mendekati nilai 0 maka populasi dianggap tidak mengalami diferensiasi
genetik. Jika ditemukan nilai negatif maka dimaknai sama dengan nilai 0,
yaitu populasi yang diteliti tidak mengalami diferensiasi genetik (Weir &
Cockerham, 1984). Nilai FST ikan kerapu sunu dalam penelitian ini didapatkan
dari uji AMOVA yang diringkas pada Tabel 14.
Hasil pengujian statistik AMOVA menunjukkan bahwa kontribusi
terbesar keragaman populasi kerapu sunu P. maculatus diperoleh dari luar
populasi dengan persentase 75,68%. Persentase kontribusi tersebut jauh
dibandingkan dengan persentase kontribusi dari dalam populasi
(intrapopulasi) yang hanya 24,32%. Lebih lanjut, nilai FST menunjukkan
angka 0,75676 atau lebih besar dari 0,5 yang bermakna signifikan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa diferensiasi genetik antar populasi ikan kerapu sunu
P. maculatus cukup tinggi dan mengindikasikan terjadinya aliran genetik
(gene flow) akibat ekspansi antar individu atau populasi.
Tabel 14. Ringkasan hasil uji statistik analysis of molecular variance (AMOVA) populasi
ikan kerapu sunu P. maculatus berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Sumber variasi db Jumlah
kuadrat
Komponen
keragaman
Persentase
variasi
FST P-
value
Variasi di antar
populasi
5 78,057 3,66917 75,68 0,75676 0,000
Variasi di dalam
populasi
18 21,229 1,17937 24,32
Total 23 99,286 4,84854 100
Diferensiasi genetik antar populasi berdasarkan nilai FST secara rinci
melalui matriks berpasangan pada Tabel 15. Populasi ikan kerapu sunu P.
maculatus Perairan Dalam (meliputi Madura, Bali, Vietnam, dan Filipina)
54. 45
Universitas Indonesia
tidak mengalami diferensiasi genetik yang ditunjukkan nilai FST 0. Sedangkan
populasi perairan Andaman (India), dengan kisaran nilai FST 0,5-1 merupakan
populasi yang sepenuhnya mengalami diferensiasi genetik dari populasi
Perairan Dalam dan Perairan Australia (meliputi Australia Barat dan
Queensland).
Populasi perairan Australia Barat juga mengalami diferensiasi
genetik dari populasi Perairan Dalam yang ditunjukkan dengan nilai FST diatas
0,8. Sedangkan populasi perairan Queensland, ada potensi memiliki banyak
kesamaan genetik dengan populasi Perairan Dalam yang ditunjukkan dengan
nilai FST kurang dari 0,5. Selain itu, populasi perairan Queensland dan
Australia Barat tidak mengalami diferensiasi genetik yang ditunjukkan dengan
nilai FST 0.
Tabel 15. Matriks berpasangan (pairwise matrix) fiksasi indeks (FST) antar populasi ikan
kerapu sunu P. maculatus berdasarkan parsial sekuen gen CO1
No. Populasi 1 2 3 4 5 6
1. Madura -
2. Bali 0.00000 -
3. Vietnam-Filipina 0.00000 0.00000 -
4. Australia Barat 0.89655 0.89655 0.84783 -
5. Queensland 0.34483 0.34483 0.33333 -0.00971 -
6. India 1.00000 1.00000 0.97674 0.95714 0.51282 -
Keterangan: Populasi perairan Filipina dikelompokkan bersama dengan populasi
perairan Vietnam disebabkan karena hanya ada 1 sekuen, sedangkan
analisis antar populasi minimal harus melibatkan 2 sekuen.
Bagian terakhir dari analisis struktur genetik populasi ikan kerapu
sunu P. maculatus adalah distribusi haplotipe dan rekonstruksi haplotype
network antar populasi. Haplotipe didefinisikan sebagai kombinasi alel untuk
polimorfisme yang berbeda yang terjadi pada kromosom yang sama (Carter et
al., 2013). Sebanyak 24 parsial sekuen gen CO1 ikan kerapu sunu P.
maculatus dalam penelitian ini terbagi menjadi 8 haplotipe, yang dirinci pada
Tabel 16.
55. 46
Universitas Indonesia
Tabel 16. Rincian distribusi haplotipe ikan kerapu sunu P. maculatus
Haplotipe Distribusi Haplotipe (Kode Aksesi) Populasi Jumlah
Individu
H-1 PRD101, PRD102, AMB012
GU673821, JN313061, JN313062
FJ583869, MN708948, MN708949,
MN708951, MN708952
Madura
Bali
Filipina-
Vietnam
11
H-2 JX123681, JX123682, JX123683,
JX123684
India 4
H-3 DQ107910 Australia Barat 1
H-4 DQ107911, DQ107920, HQ956486,
DQ107909
Australia Barat,
Queensland
4
H-5 DQ107912 Australia Barat 1
H-6 DQ107913 Australia Barat 1
H-7 HQ956485 Queensland 1
H-8 MN708950 Vietnam 1
Selanjutnya, hasil analisis distribusi haplotipe pada Tabel 16 dijadikan
dasar rekonstruksi haplotype network untuk mengungkap konektivitas atau
keterhubungan genetik (genetic connectivity) antar populasi melalui pada
Gambar 16. Konektivitas atau keterhubungan genetik yang ditunjukkan oleh
haplotype network berawal dari haploptipe 4 yang terdiri dari populasi
perairan Australia Barat dan Queensland. Mutasi sekuensial atau berurutan
pada haplotipe 4 mengarah pada 4 haplotipe sekaligus, yaitu haplotipe 1, 6,
dan 3.
Haplotipe 1 terdiri dari populasi perairan Madura, Bali, Vietnam, dan
Filipina, kemudian mengarah pada haplotipe 8. Keberadaan haplotipe 8
mengindikasikan proses terjadinya diferensiasi genetik di dalam populasi
perairan Vietnam. Keberadaan haplotipe 6 dan 4 mengindikasikan proses
terjadinya diferensiasi genetik di dalam populasi perairan Australia Barat.
Mutasi sekuensial atau berurutan dari haplotipe 4 mengarah pada haplotipe 2
dan 7 melalui haplotipe 3. Haplotipe 2 sepenuhnya merupakan populasi
perairan Andaman (India) yang berdasarkan arah mutasi sekuensialnya
berasal dari populasi perairan Australia Barat dan/atau Queensland.
56. 47
Universitas Indonesia
Gambar 16. Haplotype network menggunakan metode Median-Joining Network (MJN)
ikan kerapu sunu P. maculatus berdasarkan parsial sekuen gen CO1
Keterangan: Populasi: █ Madura, █ Bali, █ Vietnam, █ Filipina, █ Queensland, █
Australia Barat; ♦ median vektor; H-1 s.d. H-11: haplotipe; ukuran
lingkaran menunjukkan frekuensi/jumlah individu di dalamnya; angka
pada garis tegas menunjukkan posisi mutasi antar haplotipe; garis putus-
putus merah: haplogrup Perairan Dalam, Biru: haplogrup Perairan
Australia, hitam: haplogrup Perairan Andaman.
Kombinasi antara hasil analisis diferensiasi genetik FST dan haplotype
network dapat digunakan untuk menduga aliran genetik yang terbentuk
melalui migrasi atau pola persebaran ikan kerapu sunu P. maculatus (Gambar
17). Populasi awal atau tetua ikan kerapu sunu P. maculatus yang diduga
dalam penelitian ini adalah populasi perairan Australia (Australia Barat dan
Queensland) atau haplotipe 4, khususnya populasi Selat Torres, Queensland.
Asumsi yang digunakan adalah posisi Selat Torres yang termasuk dalam
wilayah Segitiga Terumbu Karang (the Coral Triangle).
57. 48
Universitas Indonesia
Barber (2009) mengungkap bahwa Segitiga Terumbu Karang adalah
episentrum global untuk keanekaragaman hayati laut. Keragaman spesies dari
berbagai taksa memuncak di wilayah ini, dengan gradien keragaman yang
menurun tajam seiring dengan jarak yang semakin jauh dari pusat Segitiga
Terumbu Karang. Cros et al. (2014) menjelaskan bahwa kawasan Segitiga
Terumbu Karang meliputi perairan Indonesia, Filipina, Timor-Leste,
Malaysia, Kepulauan Solomon dan Papua Nugini.
Gambar 17. Distribusi geografis berdasarkan haplotipe dan pendugaan arah migrasi
atau ekspansi ikan kerapu sunu P. maculatus berdasarkan parsial sekuen
gen CO1
Keterangan: Populasi: █ Madura, █ Bali, █ Vietnam, █ Filipina, █ Queensland, █
Australia Barat; ukuran diagram pai merepresentasikan jumlah
sekuen/individu yang ada di dalamnya; → arah migrasi; rekonstruksi
peta menggunakan piranti lunak QGIS versi 3.20.1.
E. Peningkatan Akurasi Identifikasi Spesies Ikan Kerapu Berdasarkan
Integrasi Pendekatan Morfologi dan Molekuler
Pendekatan morfologi dan molekuler DNA barcode berdasarkan
parsial sekuen gen CO1 saling mendukung dalam identifikasi spesies ikan
58. 49
Universitas Indonesia
kerapu perairan Pulau Madura. Berdasarkan pendekatan morfologi, 100%
ikan kerapu Pulau Madura berhasil diidentifikasi hingga tingkat genus dan
83,9% berhasil diidentifikasi hingga tingkat spesies. 16,1% ikan kerapu hanya
dapat diidentifikasi hingga tingkat genus disebabkan karena kemiripan atau
ambiguitas morfologi. Plastisitas morfologi dan fenomena spesies kompleks
diduga menjadi penyebab utama kesalahan identifikasi spesies ikan kerapu
berdasarkan morfologi, selain itu dipengaruhi oleh hal teknis seperti
subyektivitas peneliti dan perlakuan penyimpanan dan selisih antara waktu
tangkap hingga dilakukan pengamatan atau pengukuran karakter morfologi.
Sebanyak 67,7% spesimen ikan kerapu telah berhasil diidentifikasi
menggunakan parsial sekuen gen CO1, namun sebanyak 10 spesimen atau
32,2% tidak berhasil diidentifikasi yang diduga karena beberapa faktor,
diantaranya adalah molekul kontaminan yang mempengaruhi ekstraksi DNA
dan ketidaksesuaian validasi dua arah antara morfologi dan parsial sekuen gen
CO1 berdasarkan fasilitas online BLAST (NCBI) dan BOLD system.
Sebanyak 3 dari 5 spesimen ambigu genus Epinephelus spp. berhasil
diidentifikasi hingga tingkat spesies berdasarkan parsial sekuen gen CO1.
Integrasi antara pendekatan morfologi berhasil mengidentifikasi
spesimen ikan kerapu hingga tingkat spesies sebesar 93.5% dari keseluruhan
spesimen, persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pendekatan
morfologi saja (83,9%) atau molekuler saja (67,7%). Temuan ini
membuktikan bahwa integrasi antara pendekatan morfologi dan molekuler
dapat meningkatkan peluang keberhasilan dan ketepatan dalam identifikasi
spesies dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri (Wiens, 2004; Spasojevic
et al., 2016). Pembandingan persentase keberhasilan identifikasi spesies
disajikan pada Gambar 18.
59. 50
Universitas Indonesia
Gambar 18. Perbandingan persentase ketercapaian hasil identifikasi spesies pada ikan
kerapu menggunakan pendekatan morfologi, molekuler, dan integrasi
antara morfologi dan molekuler
F. Evaluasi dan Rekomendasi Gambar Ilustrasi Morfologi Ikan Kerapu
Hasil identifikasi spesies ikan kerapu berdasarkan karakter morfologi
dan autentikasi molekuler menggunakan DNA barcode pada penelitian ini
menjadi dasar perlunya evaluasi untuk melengkapi gambar ilustrasi morfologi
untuk identifikasi ikan kerapu yang disusun oleh Heemstra & Randall (1993).
Teks kunci identifikasi dan karakter morfologi dalam Heemstra & Randall
(1993) masih sangat mudah dan relevan untuk digunakan sebagai acuan
identifikasi, namun seiring perkembangan penelitian nampaknya gambar
ilustrasi morfologi harus dievaluasi untuk menurunkan subyektivitas antar
peneliti di masa mendatang.
Identifikasi spesies pada 21 spesimen ikan kerapu perairan Pulau
Madura dalam penelitian ini memiliki tingkat akurasi atau kepercayaan tinggi
karena mengintegrasikan pendekatan morfologi dan molekuler DNA barcode.
Kedua pendekatan tersebut merupakan pola validasi dua arah seperti yang
direkomendasikan oleh Song et al. (2008) untuk menghindari adanya
ambiguitas spesies dalam penggunaan DNA barcode untuk identifikasi
spesies.
60. 51
Universitas Indonesia
Berdasarkan pada validasi dua arah diatas, maka evaluasi gambar
ilustrasi morfologi yang direkomendasikan dari penelitian ini adalah pada ikan
kerapu E. coioides, E. bleekeri, dan E. areolatus (Gambar 19, Gambar 20,
Gambar 21) untuk melengkapi gambar ilustrasi oleh Heemstra & Randall
(1993) berdasarkan pada spesimen yang ditemukan pada penelitian ini. Sejauh
ini, penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan DNA barcode dalam
autentikasi molekuler pada spesies ikan kerapu seringkali tidak disertai
dengan komentar atau evaluasi terhadap gambar ilustrasi morfologi pada
acuan identifikasi yang digunakan.
Gambar 19. Pembandingan gambar ilustrasi morfologi ikan kerapu Epinephelus
coioides berdasarkan temuan penelitian
Keterangan: (A) Spesimen E. coioides asal Thailand (atas) (sumber: Froese & Pauly,
2000) dan spesimen KTP011 (bawah) yang diduga individu juvenil; (B)
ilustrasi morfologi E. coioides (sumber: Heemstra & Randall, 1993); (C)
spesimen PRD224 yang diduga individu E. coioides dewasa; dan (D)
ilustrasi morfologi E. coioides dewasa berdasarkan spesimen PRD224
sebagai temuan dalam penelitian ini. Ilustrasi digambar menggunakan
pensil 2B diatas paper arts 100 gram dan diakhiri dengan penyesuaian
menggunakan piranti lunak adobe lightroom (open access).
61. 52
Universitas Indonesia
Menurut Montesanto (2015) penggunaan gambar ilustrasi merupakan
cara yang lebih jelas dan mudah dipahami dibandingkan dengan deskripsi
yang hanya berupa teks. Gambar ilustrasi membantu dalam memahami pesan
dalam teks secara cepat. Pada konteks biosistematika, deskripsi taksa
tumbuhan dan hewan baru selalu digabungkan dengan ilustrasi gambar untuk
menunjukkan bagian anatomi dan detail tubuh. Ahli taksonomi membutuhkan
ilustrasi atau gambar berkualitas baik untuk membantu mendeskripsikan
taksa.
Gambar 20. Pembandingan gambar ilustrasi morfologi ikan kerapu Epinephelus
bleekeri berdasarkan temuan penelitian ini
Keterangan: (A) Spesimen E. bleekeri asal Sri Lanka (atas) (sumber: Froese & Pauly,
2000) dan spesimen CMP208 (bawah), keduanya diduga individu juvenil;
(B) ilustrasi morfologi E. bleekeri (sumber: Heemstra & Randall, 1993);
(C) spesimen AMB014 yang diduga individu E. bleekeri dewasa; dan (D)
ilustrasi morfologi E. bleekeri dewasa berdasarkan spesimen AMB014
sebagai temuan dalam penelitian ini. Ilustrasi digambar menggunakan
pensil 2B diatas paper arts 100 gram dan diakhiri dengan penyesuaian
menggunakan piranti lunak adobe lightroom (open access).
62. 53
Universitas Indonesia
Gambar 21. Pembandingan gambar ilustrasi morfologi ikan kerapu Epinephelus
areolatus berdasarkan temuan penelitian ini
Keterangan: (A) Spesimen E. areolatus asal Terusan Suez (sumber: Osman et al., 2018);
(B) ilustrasi morfologi E. areolatus (sumber: Heemstra & Randall, 1993);
(C) spesimen E. areolatus DGK026 yang diduga individu dewasa; dan (D)
ilustrasi variasi morfologi E. areolatus berdasarkan spesimen DGK026
sebagai temuan dalam penelitian ini. Ilustrasi digambar menggunakan
pensil 2B diatas paper arts 100 gram dan diakhiri dengan penyesuaian
menggunakan piranti lunak adobe lightroom (open access).
Plastisitas fenotip memang menjadi kendala utama dalam identifikasi
ikan kerapu hingga tingkat spesies disamping dugaan keberadaan fenomena-
fenomena lain, misalnya spesies kompleks. Tidak hanya pada ikan kerapu,
kendala identifikasi spesies ini juga terjadi pada biota laut pada umumnya
(Abaad et al., 2015). Walaupun demikian, kedudukan morfologi dalam
identifikasi spesies sangat penting dan tidak dapat digantikan hanya dengan
pendekatan molekuler semata (Wiens, 2004; Lee & Palci, 2015). Peranan
penting karakter morfologi, khususnya untuk identifikasi awal spesies ikan
kerapu, sebaiknya disertai dengan evaluasi untuk memperbaiki atau
melengkapi gambar ilustrasi morfologi yang telah ada dengan tujuan untuk
menghindari kesalahan identifikasi pada masa mendatang.
63. 54
Universitas Indonesia
G. Status Konservasi Ikan Kerapu Perairan Pulau Madura
Kedudukan penting identifikasi spesies adalah untuk
menginformasikan dan mengevaluasi strategi konservasi, seperti pemantauan
kecenderungan populasi, pelaksanaan dan evaluasi rencana manajemen
populasi, penilaian kesehatan ekosistem, dan analisis terhadap kepunahan.
Sebaliknya, kesalahan identifikasi spesies dapat memiliki dampak negatif
yang serius, seperti pemusnahan spesies yang terancam punah secara tidak
sengaja, penurunan yang tidak teramati pada stok ikan yang dianggap penting,
dan sumber daya yang terbuang, seperti penyusunan rencana manajemen yang
tidak tepat sasaran (Austen et al., 2016).
Salah satu perwujudan pentingnya mengetahui identitas suatu spesies
adalah biomonitoring atau pemeriksaan biologis. Salah satu pemeriksaan
biologis terpenting adalah terkait dengan status konservasi spesies termaksud
melalui Daftar Merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau the
International Union for Conservation of Nature’s Red List (IUCN) (IUCN,
2021). Syarat utama untuk pemeriksaan status konservasi Daftar Merah IUCN
adalah pengetahuan tentang identitas spesies (takson), pada penelitian ini
identifikasi spesies ikan kerapu perairan Pulau Madura. Hal ini berguna untuk
memulai penilaian dengan memeriksa apakah takson termaksud telah dinilai
(atau penilaian sedang berlangsung), kapan, dan oleh siapa.
Menurut IUCN (2021) terdapat 9 kategori Daftar Merah IUCN, yaitu
tidak terevaluasi (Not Evaluated/NE), kekurangan data (Data Deficient/DD),
tidak mengkhawatirkan (Least Concern/LC), mendekati terancam (Near
Threatened/NT), rentan (Vulnerable/Vu), terancam berbahaya
(Endangered/EN), terancam kritis (Critically Endangered/CR), punah di alam
(Extinct in the Wild/EW), dan punah (Extinct/Ex). Daftar spesies dan status
konservasi ikan kerapu perairan Pulau Madura disajikan pada Tabel 17.
64. 55
Universitas Indonesia
Tabel 17. Daftar spesies ikan kerapu perairan Pulau Madura dan status konservasi
berdasarkan Daftar Merah IUCN
Spesies Sumber
data
Status
Konservasi
Kecenderungan
jumlah populasi
Plectropomus maculatus Integrasi LC Tidak diketahui
Cephalopholis boenak Integrasi LC Stabil
C. cyanostigma Morfologi LC Stabil
Epinephelus coioides Integrasi LC Menurun
E. bleekeri Integrasi DD Menurun
E. areolatus Integrasi LC Tidak diketahui
E. erythrurus Integrasi LC Tidak diketahui
E. heniochus Integrasi LC Tidak diketahui
E. fasciatus Integrasi LC Tidak diketahui
E. ongus Integrasi LC Tidak diketahui
E. sexfasciatus Morfologi LC Tidak diketahui
E. quoyanus Molekuler LC Tidak diketahui
E. faveatus Molekuler LC Tidak diketahui
Keterangan: Integrasi: integrasi pendekatan morfologi dan molekuler; status
konservasi berdasarkan pada informasi IUCN; LC: Least Concern (tidak
mengkhawatirkan); DD: Data Deficient (kekurangan data).
Sebanyak 12 spesies ikan kerapu perairan Pulau Madura berada dalam
status konservasi LC dan 1 spesies berada dalam status DD. Selanjutnya,
sebanyak 10 spesies tidak diketahui kecenderungan jumlah populasinya,
sebanyak 2 spesies memiliki kecenderungan jumlah populasi yang stabil, dan
2 spesies memiliki kecenderungan populasi yang menurun. Kecenderungan
jumlah populasi ikan kerapu sunu P. maculatus tidak diketahui, padahal
spesies ini memiliki nilai komersial yang tertinggi diantara jenis-jenis ikan
kerapu di perairan Indonesia. Menurut Jarić et al. (2017) spesies yang berada
dalam status LC dan DD justeru membutuhkan perhatian khusus melalui
penilaian ulang dan pengkategorian ulang, karena ketiadaan atau kurangnya
informasi terhadap spesies ini menunjukkan bahwa penelitian terhadap spesies
ini tidak mendapatkan prioritas.
Penilaian ulang terhadap status konservasi suatu spesies meliputi
upaya-upaya yang berfokus pada memperbarui dan meningkatkan penilaian
dan dokumentasi untuk spesies dalam kategori LC dan DD atau menyiapkan