KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Laporan World Watch ttg kontribusi peternakan 51% terhadap gas rumahkacasuman sutra
Laporan WorldWatch Oleh Robert Goodland dan Jeff Anhang: Hewan ternak telah dikenal sebagai penyumbang emisi GRK. “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow)”, laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2006 yang telah dikutip secara luas, memperkirakan emisi sebesar 7.516 juta metrik ton ekuivalen CO2 (CO2e) per tahun, atau 18 persen emisi GRK dunia setiap tahun, dihasilkan oleh hewan ternak sapi, kerbau, domba, kambing, unta, kuda, babi, dan unggas. Dengan jumlah sebesar itu, peternakan sangat jelas memenuhi syarat untuk mendapat perhatian besar dalam mencari cara-cara untuk menangani perubahan iklim. Tetapi analisa kami memperlihatkan bahwa peternakan dan hasil sampingnya sebenarnya bertanggung jawab atas setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2e per tahun, atau 51 persen dari seluruh emisi GRK dunia setiap tahun.
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Laporan World Watch ttg kontribusi peternakan 51% terhadap gas rumahkacasuman sutra
Laporan WorldWatch Oleh Robert Goodland dan Jeff Anhang: Hewan ternak telah dikenal sebagai penyumbang emisi GRK. “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow)”, laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2006 yang telah dikutip secara luas, memperkirakan emisi sebesar 7.516 juta metrik ton ekuivalen CO2 (CO2e) per tahun, atau 18 persen emisi GRK dunia setiap tahun, dihasilkan oleh hewan ternak sapi, kerbau, domba, kambing, unta, kuda, babi, dan unggas. Dengan jumlah sebesar itu, peternakan sangat jelas memenuhi syarat untuk mendapat perhatian besar dalam mencari cara-cara untuk menangani perubahan iklim. Tetapi analisa kami memperlihatkan bahwa peternakan dan hasil sampingnya sebenarnya bertanggung jawab atas setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2e per tahun, atau 51 persen dari seluruh emisi GRK dunia setiap tahun.
Sebagai salah satu pertanggungjawab pembangunan manusia di Jawa Timur, dalam bentuk layanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Untuk mempercepat pencapaian sasaran pembangunan pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur telah melakukan banyak terobosan yang dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Salah satunya adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Luar Biasa Provinsi Jawa Timur tahun ajaran 2024/2025 yang dilaksanakan secara objektif, transparan, akuntabel, dan tanpa diskriminasi.
Pelaksanaan PPDB Jawa Timur tahun 2024 berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 47/M/2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, dan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru pada Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah Luar Biasa. Secara umum PPDB dilaksanakan secara online dan beberapa satuan pendidikan secara offline. Hal ini bertujuan untuk mempermudah peserta didik, orang tua, masyarakat untuk mendaftar dan memantau hasil PPDB.
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
Ringkasan buku 2 k. raja and harry f. climate change and global crop productivity 3
1. Pengolahan dan proses panen terhitung memiliki proporsi konsumsi bahan bakar terbesar dalam sistem pertanian inten
K.RAJA AND HARRY F.
2000.CLIMATE CHANGE AND
GLOBAL CROPPRODUCTIVITY
Ringkasan Buku 2 Bagian 3
10 Desember 2013
Bismillah..
2. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Penggunaan bahan bakar fosil di pertanian.
Energy dibutuhkan dalam semua proses pertanian.
Pertanian intensif skala modern membutuhkan
jauh lebih banyak input energy dibandingkan
pertanian tradisional, karenanya sangat
tergantung pada penggunaan bahan bakar fosil
untuk pengolahan, transportasi dan pengeringan
gabah, untuk pabrik pupuk, pestisida dan alat –
alat yang digunakan untuk input dan kebutuhan
listrik pada pertaniaan itu sendiri (Frye, 1984).
Perkiraan awal pemanfaatan bahan bakar fosil di
sector pertanian, berupa bahan bakar minyak dan
listrik, berkisar hanya 3-4% dari total konsumsi
Negara berkembang (Cast, 1992; Enquete
Commision, 1995).
Untuk menyediakan data terkait kontribusi
pertanian, emisi C dari penggunaan bahan bakar
fosil di Amerika tahun 1996 dilaporkan sekitar
286,7 ; 229,9 ; 477,5 ; dan 445,5 MMTCE untuk
kebutuhan pokok, komersial, industry dan sector
transportasi (EPA,1998).
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
3. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Pengolahan dan proses panen terhitung
memiliki proporsi konsumsi bahan bakar
terbesar dalam sistem pertanian intensif
(Frye,1984).
Kebutuhan bahan bakar tersebut sekitar 55
dan 78% digunakan untuk sistem
konvensional. Kem dan Johnson (1993)
menghitung bahwa konversi 76% lahan tanam
yang dibudidayakan di Amerika dengan
sistem pengolahan konservasi bisa menyita
sebanyak 286 hingga 468 MMTCE selama
lebih 30 tahun dan menyimpulkan bahwa
pertanian Amerika menjadi jaring pemasok C.
Lal (1997) memaparkan perkiraan global for
kandungan C dari konservasi pertanian
konvensional sama tinggi hingga 2020.
Kombinasi untuk mengurangi biaya bahan
bakar dan keuntungan lingkungan menjadi
pengolahan konservasi merupakan hal positif
untuk pertanian yang meminimalkan emisi C
ke atmosfir.
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
4. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Pimentel (1984) mengindikasi bahwa 17% dari
total energy yang digunakan di sector ekonomi
Amerika berasal dari sistem pangan, dengan 6%
untuk produksi produk pertanian, 6% untuk
pengolahan dan pengemasan dan 5% untuk
distribusi dan persiapan. 17% ini
menggambarkan penggunaan energy di
Amerika per pendapatan per tahun, sekitar 1500
liter bahan bakar hanya untuk pangan.
Mengambil kandungan C bahan bakar berkisar
0.73 kg C per liter dan menggandakan dengan
perkiraan populasi penduduk Amerika 270 juta di
pertengahan 1998 memaparkan bahwa produksi
pangan, pengolahan dan persiapannya saja akan
menghasilkan emisi berkisar 296 MMTCE per
tahun di Amerika atau sekitar 20% dari total
keseluruhan (Houghton et al., 1996).
Bahan bakar fosil merupakan kebutuhan sector
pangan secara keseluruhan dari pengolahan,
pengawetan, penyimpanan dan distribusi yang
terhitung sebesar 10-20% dari konsumsi total
(Pimenter et al., 1990; Cast, 1992). Kemudian,
mitigasi energy dari sector pertanian seharusnya
11 % untuk area non produksi sehingga dapat
menjadi solusi dalam pengurangan jumlah CO2
dari pertanian.
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
5. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Management karbon di dalam tanah
Konversi lahan hutan menjadi pertanian atau
pemukiman menyebabkan perubahan dalam
emisi C tanah sebagai CO2. Ditambahkan bahwa
biomassa tanaman dan hutan sebagai akibat dari
tanah yang menjadi penyimpan CO2 (Raich dan
Potter, 1995).
Pertanian dan pengolahan intensif telah
menyebabkan penurunan antara 30 – 50% dalam
C tanah karena tanah telah diubah menjadi lahan
pengolahan selama lebih dari 100 tahun lalu
(Schlesinger, 1986 ; Houghton, 1995).
Hal ini seharusnya menjadi perhatian penting
dalam proses – proses pengolahan, untuk
meminimalkan kehilangan C dan bagaimana
kehilangan C dapat berkaitan dengan
produktivitas tanah, kualitas tanah,
penyimpanan C, dan terutamanya produksi
tanaman.
Penelitian jangka panjang terhadap C tanah
memiliki fungsi pengolahan intensif dan
management residu dalam C tanah (Lal, 1997;
Paul et al., 1997; Pautrian et al., 1997b) ;
meskipun, nilai data – data ini memiliki masalah
dengan ketidakpastian jumlah dan distribusi C
tanah antara wilayah lahan
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
6. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Paustian et al. (1998) memperkirakan management
global yang baik, pemulihan lahan terdegradasi, dan
pemanfaatan lahan basah yang digunakan untuk
pertanian bisa menyimpan 400 dan 900 MMTCE per
tahun di dalam tanah. Mereka memperhatikan bahwa
tanah dengan kemampuan terbatas untuk menyimpan C
yang diketahui selama 50 hingga 100 tahun. Potensi
untuk pengolahan yang lebih baik memberikan harapan
bahwa pertanian bisa mengurangi emisi GHG.
Pertanian berkelanjutan memerlukan teknologi –
teknologi baru untuk pemanfaatan biomassa C yang
efisien.
Residu tanaman adalah sumber yang terperbaharui dan
penting dalam input utama penyimpanan C tanah. Lal
(1997) memperkirakan bahwa berat lahan dunia sekira
1,4’109 ha per tahun menghasilkan 3.44’109 Mg residu
tanaman.
Dengan rata – rata kandungan C 45 g/kg residu, total
asimilasi C sekitar 1500 MMTCE per tahun. Di lain pihak,
sejumlah besar residu C dari tanaman didaur ulang
menjadi CO2 melalui dekomposisi mikroba ketika residu
tersebut bercampur dengan tanah melalui pengolahan,
sisanya kembali sebagai humus yang memiliki kontribusi
jangka panjang dalam tanah.
Residu C dari tanaman pertanian hanya berkisar 1% dari
total C yang terfiksasi dalam fotosintesis, meskipun
begitu, hal ini sangat sesuai dengan management tanah.
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
7. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Padi dan Produksi Gas Metan
Pertanian sebagai sumber penghasil CH4 memiliki peran
serta 1/3 dari total komposisi gas di atmosfir, bagian
signifikan hasil pengolahan padi. Perkiraan baru – baru ini
bahwa CH4 yang dihasilkan dari padi (beras) adalah 60 Tg
per tahun (Houghton et al., 1992).
Emisi metan dari lahan padi adalah hasil proses bakteri
dalam keadaan anaerob dan aerop. Penggenangan lahan
padi memacu fermentasi anaerob sumber C yang
disuplay dari tanaman padi dan bahan organic lainnya,
menghasilkan formasi CH4.
Proses yang ditentukan oleh sekelompok indicator yang
kompleks menghubungakan fisik dan biologi lingkungan
tanah dengan metode penerapan pertanian yang
spesifik.
Kondisi dalam menghasilkan CH4 di lahan padi yang
tergenang dapat dibedakan menjadi enam bagian,
keadaan air, Eh,suplay karbon, suhu, tekstur dan mineral
serta keasaman tanah (Neue, 1997). Produksi metan
dipengaruhi oleh reduksi yang terjadi di dalam tanah dan
substrat bahan organic (Gaunt et al.,1997) dan tekstur
(Parashar et al.,1991;Chen et al.,1993). Sass et al.(1994)
menemukan hubungan kuat antara emisi CH4 musiman
dan persentase pasir didalam bahan pasir, liat, debu dari
tiga tanah di Texas. Secara umum, tanah pasir tinggi
bahan organic C sehingga memproduksi lebih banyak
CH4 dibandingkan tanah liat dengan kandungan C yang
sama atau lebih rendah (Neue dan Sass, 1994).
Penurunan signifikan emisi CH4 dapat dilihat dalam
tanah melalui laju perkolasi (Inubushi et al.,1992). .
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
8. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Laju emisi metan sangat berkaitan dengan
management air. drainase di sistem padi irigasi,
sebuah metode pengolahan yang umum di Jepang,
menghasilkan penurunan emisi CH4 yang signifikan
(Yagi et al.,1996; Cai et al.,1997).
Irigasi curah hujan mengurangi emisi CH4 sebesar 36%
dibandingkan dengan yang berasal dari bawah
permukaan tanah (Shin et al.,1996). Di Filipina,
cekaman selama dua minggu di masa tanam
pertengahan dapat menahan laju CH4 sampai 60%.
Namun. Laju N2O meningkat selama masa drainase
(Bronson et al.,1997).
Sass et al., (1992) menemukan bahwa musim
pertengahan mengurangi laju emisi CH4 sekitar 50%
dan periode drainase jangka pendek dapat
mengurangi emisi CH4 menjadi jumlah yang kecil.
Pilihan mitigasi untuk sector pertanian
Apa yang bisa dilakukan sector pertanian untuk
mengurangi emisi GHG (Green House Gasses) telah
diperkirakan oleh Cole et al. (1997), dimana perkiraan
potensi reduksi radioaktif memaksa sector pertanian
dari 1150 hingga 3300 MMTCE per tahun dari total
reduksi global emisi gas rumah kaca. Berkisar 32%
berasal dari reduksi CO2, 42% C dari produksi biofuel
dari 15% keberadaan lahan tanam, 16% dari reduksi
emisi CH4 dan 10% dari emisi N2O.
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
9. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Pertanian dapat memberikan kontribusi pengurangan
adanya perubahan iklim dengan mengadopsi metode
penyimpanan CO2 sebagai C di dalam tanah,
biomassa tanaman dan pohon, serta menggantikan
penggunaan bahan bakar fosil yang diperlukan untuk
pengolahan, bahan dan alat pabrik dan operasi panen
padi (Cole et al., 1996 : Paustian et al., 1998).
Untuk sector pertanian, pengurangan gas rumah kaca
melalui konsumsi bahan bakar lebih kecil
dibandingkan dengan aspek lain. Namun penurunan
lebih tinggi dapat dicapai.
Dengan menggabungkan pengolahan lahan dengan
metode management terbaik untuk meningkatkan
produksi tanaman, Lal et al. (1998) menyarankan
penyimpanan C tanah berpotensi berkisar 126 MMTCE
per tahun. Jauh lebih besar dari pengolahan
konservasi dan management residu tanaman. Strategi
lain termasuk menghilangkan pengosongan lahan
dengan tanaman penutup, meningkatkan jadwal
irigasi, meningkatkan kesuburan tanah, managemen
pupuk dan panen dengan pengurangan penggunaan
lahan.
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>
10. Chapter 3:Kontribusi Sektor
Pertanian
Pengoptimalan pupuk N secara efisien, mendapat
hasil panen per unit area dan menggunakan
pengolahan konservasi memberikan jaminan kuat
untuk pengurangan emisi N2O dan CO2.
Penurunan emisi CH4 dari pertanian akan
membutuhkan managemen pemupukan di kondisi
aerob dan peningkatan produksi padi.
Metode – metode yang akan memberikan dampak
terbesar terhadap gas rumah kaca dalam produksi
padi adalah management air dan karbon, seleksi
varietas dan tanah, jumlah dan jenis pupuk dan
persiapan lahan.
Pemahaman global terhadap metode – metode kritis
ini akan memberikan peningkatan management
tanah dan tanaman serta pengembangan teknologi
baru sebagai hasil dalam meningkatkan produksi
pangan secara efisien dengan dampak minimum pada
kualitas lingkungan dan gas rumah kaca.
Kesadaran pilihan ini tergantung pada luasan produksi
pertanian berkelanjutan dan kombinasi aspek social,
ekonomi dan keuntungan lingkungan.
<Ringkasan Buku 2 K.Raja dan Harry F.>