Dokumen tersebut membahas tentang perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan. Perlindungan terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual meliputi sanksi pidana bagi pelaku, restitusi, dan konseling bagi korban. Sedangkan perlindungan terhadap anak pelaku kejahatan dilakukan melalui diversi, restorative justice, serta sanksi berupa pidana atau tindakan rehabilit
Eksploitasi Seksual Anak (ESA) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi anak yang mendasar yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan oleh PBB, lebih dari 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki mengalami pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual termasuk ESA setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak oleh komisi perlindungan anak Indonesia, dari tahun 2011 sampai dengan 2019 tercatat sebanyak 2.385 anak Indonesia menjadi korban trafficking dan eksploitasi, termasuk di dalamnya eksploitasi anak.
Anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual akan menghadapi persoalan yang kompleks di kemudian hari. Kekerasan fisik yang dialami bersamaan dengan eksploitasi seksual terhadap anak dapat mengakibatkan luka, rasa sakit dan rasa takut. Di samping itu, anak-anak juga lebih rentan terhadap infeksi menular seksual dan kemungkinan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Selain berdampak pada kesehatan secara fisik, eksploitasi seksual yang dialami oleh anak juga akan membawa masalah psikologis yang cukup serius. Eksploitasi seksual dapat menimbulkan rasa bersalah, rasa rendah diri dan depresi. Kasus yang dialami oleh korban ESA dapat menimbulkan perasaan tidak berharga, yang mengakibatkan perilaku menyakiti diri, termasuk di dalamnya overdosis, percobaan bunuh diri, dan gangguan makan.
ABSTRAK
Sebagaimana pernah dimuat di media massa tentang beberapa kasus yang dilakukan oleh anak di bawah umur serta perlakuan dari aparat penegak hukum. Sebagai contoh, pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju yang menganiaya temannya. Raju yang baru berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma pada dirinya dan pada tanggal 29 Mei 2009, penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Metro Bandara Soekarno-Hatta terhadap 10 (sepuluh) orang anak yang saat itu bermain judi dengan taruhan Rp 1.000 per anak di kawasan bandara. Contoh lain di Bandar Lampung bahwa pada tahap penyidikan, sebagian besar anak ditahan dan ditempatkan bersama-sama dengan orang dewasa dalam sel tahanan. Pemeriksaan oleh penyidik juga tidak dalam suasana kekeluargaan, dan hak untuk mendapat bantuan hukum tidak diberi tahukan kepada anak yang diperiksa oleh penyidik. Untuk itu rumusan masalah yang diajukan adalah : Apakah perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta untuk mengetahui dan menguraikan kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Selanjutnya dipergunakan guna memecahkan masalah dan kemudian disimpulkan.
Terdapat perbedaa pendapat sehubungan dengan pelaksanaan perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam prakteknya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (UU Perlindungan Anak) misalnya Pidananya sudak tidak dicampur adukkan. Petugas pengawas untuk dewasa dan anak-anak sudah dibedakan atau dipisahkan. Perlakuannyapun sudah berbeda. Petugas pengadilan anak tidak memakai toga, namun ada pula yang mengatakan bahwa belum sepenuhnya dilaksanakan, sebagaimana sering disaksikan di media masa tentang prktek-praktek beberapa oknum aparat keamanan dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
Perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana, dalam prakteknya sering menemui berbagai kandala yaitu faktor orang tua, rumah tahanan serta penjara atau sel khusus anak di Yogyakarta belum ada.
Materi yang dibuat oleh Apong Herlina, S.H.,M.H., sebagai pembicara saat kegiatan Criminal Defense Law Forum, Jumat, 15 Agustus 2014, diLembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan AnakDudi Aprillianto
Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Support by: Media Pramuka Pangkalpinang
https://www.instagram.com/media_pramuka_pgk/
https://www.bit.ly/MediaPramukaYouTubeChannel
Eksploitasi Seksual Anak (ESA) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi anak yang mendasar yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan oleh PBB, lebih dari 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki mengalami pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual termasuk ESA setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak oleh komisi perlindungan anak Indonesia, dari tahun 2011 sampai dengan 2019 tercatat sebanyak 2.385 anak Indonesia menjadi korban trafficking dan eksploitasi, termasuk di dalamnya eksploitasi anak.
Anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual akan menghadapi persoalan yang kompleks di kemudian hari. Kekerasan fisik yang dialami bersamaan dengan eksploitasi seksual terhadap anak dapat mengakibatkan luka, rasa sakit dan rasa takut. Di samping itu, anak-anak juga lebih rentan terhadap infeksi menular seksual dan kemungkinan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Selain berdampak pada kesehatan secara fisik, eksploitasi seksual yang dialami oleh anak juga akan membawa masalah psikologis yang cukup serius. Eksploitasi seksual dapat menimbulkan rasa bersalah, rasa rendah diri dan depresi. Kasus yang dialami oleh korban ESA dapat menimbulkan perasaan tidak berharga, yang mengakibatkan perilaku menyakiti diri, termasuk di dalamnya overdosis, percobaan bunuh diri, dan gangguan makan.
ABSTRAK
Sebagaimana pernah dimuat di media massa tentang beberapa kasus yang dilakukan oleh anak di bawah umur serta perlakuan dari aparat penegak hukum. Sebagai contoh, pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju yang menganiaya temannya. Raju yang baru berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma pada dirinya dan pada tanggal 29 Mei 2009, penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Metro Bandara Soekarno-Hatta terhadap 10 (sepuluh) orang anak yang saat itu bermain judi dengan taruhan Rp 1.000 per anak di kawasan bandara. Contoh lain di Bandar Lampung bahwa pada tahap penyidikan, sebagian besar anak ditahan dan ditempatkan bersama-sama dengan orang dewasa dalam sel tahanan. Pemeriksaan oleh penyidik juga tidak dalam suasana kekeluargaan, dan hak untuk mendapat bantuan hukum tidak diberi tahukan kepada anak yang diperiksa oleh penyidik. Untuk itu rumusan masalah yang diajukan adalah : Apakah perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta untuk mengetahui dan menguraikan kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Selanjutnya dipergunakan guna memecahkan masalah dan kemudian disimpulkan.
Terdapat perbedaa pendapat sehubungan dengan pelaksanaan perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam prakteknya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (UU Perlindungan Anak) misalnya Pidananya sudak tidak dicampur adukkan. Petugas pengawas untuk dewasa dan anak-anak sudah dibedakan atau dipisahkan. Perlakuannyapun sudah berbeda. Petugas pengadilan anak tidak memakai toga, namun ada pula yang mengatakan bahwa belum sepenuhnya dilaksanakan, sebagaimana sering disaksikan di media masa tentang prktek-praktek beberapa oknum aparat keamanan dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
Perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana, dalam prakteknya sering menemui berbagai kandala yaitu faktor orang tua, rumah tahanan serta penjara atau sel khusus anak di Yogyakarta belum ada.
Materi yang dibuat oleh Apong Herlina, S.H.,M.H., sebagai pembicara saat kegiatan Criminal Defense Law Forum, Jumat, 15 Agustus 2014, diLembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan AnakDudi Aprillianto
Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Support by: Media Pramuka Pangkalpinang
https://www.instagram.com/media_pramuka_pgk/
https://www.bit.ly/MediaPramukaYouTubeChannel
2. DEFINISI
Dalam UU No. 17 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih didalam
kandungan.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
3. PRINSIP PERLINDUNGAN ANAK
Non
diskriminasi
Kepentingan
terbaik bagi
anak
Kelangsungan
hidup & tumbuh
kembang anak;
Penghargaan
terhadap anak
4. HAK ANAK
Hak Hidup tumbuh berkembang dan berpartisipasi
secara wajar dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Memperoleh pendidikan dan pengajaran
Mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi
eksploitasi baik ekonomi maupun seksual penelantaran
kekejaman dan penganiayaan ketidakadilan dan
perlakuan salah lainnya termasuk kebutuhan khusus
lainnya.
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan hukum.
5. KEWAJIBAN ANAK
Menghormati orangtua, wali, dan
guru
Mencintai keluarga, masyarakat, dan
menyayangi teman
Mencintai tanah air bangsa dan
negara
Menunaikan ibadah sesuai dengan
ajaran agamanya
Melaksanakan etika dan akhlak mulia
7. KEKERASAN TERHADAP ANAK
(SEBAGAI KORBAN)
Menurut Undang-undang Perlindungan anak No 23 Tahun
2002, Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan
penelantaran anak adalah semua bentuk perlakuan
menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan
seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi
lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun
potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup
anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak-anak atau
kekuasaan.
8. BENTUK-BENTUK KEKERASAN PADA ANAK
Kekerasan fisik: Tindakan yang yg langsung
menyakitkan tubuh anak yg menyebabkan rasa
sakit dan atau luka ditubuhnya
Kekerasan Seksual: Setiap perbuatan yg berupa
pemaksaan hubungan seksual dgn cara tdk wajar
dan/atau tdk disukai, pemaksaan hubungan
seksual dgn org lain utk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu
Kekerasan Emosional: Tindakan- tindakan yg
menyebabkan perasaan/emosi anak tertekan.
Pengabaian: Terjadi ketika ortu, wali atau orang
dewasa lain tdk menyiapkan hal-hal penting utk
pengembangan jasmani dan mental anak
9. BENTUK KEKERASAN SEKSUAL
Pemerkosaan, incest, sodomi, pencabulan,
penjualan anak utk layanan seksual, eksploitasi
seksual anak untuk pelacuran dan eksploitasi
seksual anak melalu pernikahan anak.
Cakupan : mempekerjakan, menggunakan,
membujuk, menawarkan/menjanjikan,
memaksa anak terlibat dalam setiap prilaku
seksual yg eksplisit/simulasi dari prilaku
seksual dengan tujuan memproduksi
penggambaran visual dari penggambaran tsb.
10. Siapa pelaku kekerasan seksual pada anak?
Justru orag yang memiliki hubungan dekat dengan
anak (orang tua, kakak/adik, keluarga, tetangga,
teman sepermainan, teman sekolah, guru
pembimbing di lingkungan rumah dan guru
disekolah
Apa yang menjadi faktor penyebabnya?
o Mudahnya mengakses pornografi melalui
perangkat teknologi seperti internet, media cetak
mapun media elektronik (hp, game on line),
o Era kebebasan pers
o Media-medai sosial seperti facebook, twiter,
skype, what’s app, dan sebagainya
11. Dampak Kekerasan Seksual bagi Anak
• Jangka pendeknya akan mengalami mimpi-mimpi
buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain,
dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan
berdampak pada kesehatan.
• Jangka panjangnya, ketika dewasa nanti dia akan
mengalami phobia pada hubungan seks atau
bahkan yang parahnya lagi dia akan terbiasa
dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan
seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak
tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan
kepadanya semasa
12. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH
UMUR SEBAGI KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL
Secara preventif, yaitu hak atas rasa aman, hak atas
kebebasan pribadi, sosialisasi hak-hak korban dan akses
terhadap APH/keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya
diberikan hukuman seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat
tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku, tujuan
pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan
tindak pidana dan motif korban.
Pasal 81 (1) UU No. 23 Tahun 2002 mengatur ketentuan
pidana bagi pelaku yang melakukan persetubuhan di luar
perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun dan
maksimum 15 tahun. Adanya pidana tambahan berupa
ganti kerugian. Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak
pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara
penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana
(Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP)
13. Secara Represif diperlukan perlindungan hukum
berupa pemberian restitusi dan kompensasi
bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami
oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana
diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Konseling
diberikan kepada anak sebagai korban
perkosaan yang mengalami trauma berupa
rehabilitasi serta perlindungan identitas dari
pemberitaan media massa dan untuk menghindari
labelisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3)
UU Perlindungan Anak, dan Pasal 90 UU Sistem
Peradilan Pidana Anak.
14. ANAK SEBAGAI PELAKU KEJAHATAN
Definisi
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa
berkontak dengan sistem peradilan pidana karena:
a) disangka, didakwa atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar
hukum (anak nakal), atau
b) telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran yang
dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/Negara terhadapnya,
atau
c) telah melihat, mendengar, merasakan atau mengetahui suatu
peristiwa pelanggaran hukum.
Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan.
15. BATAS USIA
Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun
1997, mengatur mengenai batas usia minimum seorang anak
yang dapat diajukan ke sidang anak, yaitu :
Dalam pasal 4 ayat (1):
“Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak
adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai 18 (delapan belas) tahun.”
Pada Penjelasan Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 disebutkan
bahwa batas umur 8 tahun bagi anak nakal untuk dapat
diajukan ke Sidang Anak didasarkan pada pertimbangan
sosiologis, psikologis, dan pedagogis. Anak yang belum
mencapai umur 8 tahun dianggap belum dapat
mempertanggungjawabkannya.
16. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM
A. Diversi
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu
kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang
yang baik kembali melalui jalur non formal dengan
melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya
memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah
terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat
penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.
Diversi bertujuan untuk:
a) Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b) Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan
c) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
e) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
17. Namun terhadap diversi sebagaimana dimaksud,
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:
a) Diancam dgn pidana penjara dibawah 7 (tujuh)
tahun; dan
b) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dgn
melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban
dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
18. B. Restorative Justice
Restorative justice adalah suatu proses ketika
semua pihak yang berhubungan dengan tindak
pidana tertentu, duduk bersama-sama untuk
memecahkan masalah dan memikirkan
bagaimana mengatasi akibat dimasa mendatang.
Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan
fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan
korban serta memperhitungkan pula dampak
penyelesaian perkara pidana tersebut dalam
masyarakat.
19. SANKSI BAGI ANAK NAKAL
Putusan hakim dalam sidang pengadilan anak dapat
berupa menjatuhkan:
A. Pidana atau
B. Tindakan kepada terdakwa anak nakal.
A. Menurut Pasal 23 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
pidana, dapat berupa:
1. Pidana penjara;
2. Pidana kurungan;
3. Pidana denda; atau
4. Pidana pengawasan.
Namun dalam hal ini, hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
anak setengah dari hukuman orang dewasa
Disamping pidana pokok, juga dapat dihukum dengan
pidana tambahan berupa:
1. Perampasan barang-barang tertentu; dan/atau
2. Pembayaran ganti kerugian.
20. B. Sedangkan dalam Pasal 24 Undang-Undang No.3
Tahun 1997 tindakan yang dijatuhkan kepada
anak nakal, dapat berupa:
Mengembalikan anak kepada:
a) Orangtua;
b) Wali; atau
c) Orangtua asuh
• Menyerahkan anak kepada Negara (anak
Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja;) atau
• Menyerahkan anak nakal kepada Departemen
Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan
yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja.
21. Pohon yang kuat tidak tumbuh dari tunas yang
lemah,
lindungi anak sejak dini, agar kelak tumbuh
menjadi generasi bangsa yang kuat dan
mandiri.