SlideShare a Scribd company logo
Penelitian Kebijakan:
MemastikanTerpenuhinyaHak-HakPerempuanPascaPerceraian:
StudiKasusGugatCeraidi WilayahPA-PTASulawesi Selatan
Lies Marcoes
Fadilla Dwianti Putri
Rumah Kita Bersama
2015
Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraianii
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian iii
Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraianiv
Daftar isi v
Daftar istilah vi
BagianSatu:
Latar belakang dan konteks
Pendahuluan 03
Latar belakang penelitian 04
Tujuan penelitian 05
Penelitian terdahulu 06
Metodologi 10
BagianDua:
Temuan Penelitian
Prevalensi kasus perceraian di wilayah PA 14
Situasi umum putusan pengadilan terhadap hak ekonomi perempuan
pasca percerain 22
Studi kasus dan analisis putusan 32
Good practice pemenuhan hak istri pasca perceraian 31
BagianTiga:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan 35
Rekomendasi 37
Lampiran 1
Referensi
Daf t ar Isi
Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian v
42
43
Contempt of court : Ucapan atau perbuatan yang dapat menghilangkan kehormatan dan
kewibawaan lembagaperadilan
Ceraigugat : Gugatan cerai yang diajukan oleh istri kepada suami
Ceraitalak : Gugatan cerai yang diajukan oleh suami kepada istri
Duplik : Jawaban tergugat atas replik, meneguhkanjawaban
Ex aequo et bono : Kewenangan hakim dalam mengembangkan putusan demi
mewujudkan rasakeadilan
Ex officio : Kewenangan hakim atas jabatannya untuk menciptakan keadilan
FIK-KSM : Forum Informasi Komunikasi Kelompok Swadaya Masyarakat
Hadhanah : Hak pengasuhan anak
HWDI : Himpunan Wanita DisabilitasIndonesia
ICJ : Institute of CommunityJustice
Iddah : Nafkah wajib yang diberikan oleh suami kepada istri selama 3 bulan
pascaperceraian
Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraianvi
Iwadh : Harta yang diambil oleh suami dari istri pasca perceraian
Khulu’ : Permintaan tebusan karena perceraian diajukanistri
LBH Apik : Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan
Mut’ah : Uang penghibur dari suami kepada istri atasperceraian
Nusyuz : Pembangkangan
PEKKA : Pemberdayaan Perempuan KepalaKeluarga
Replik : Jawaban penggugat balik terhadap jawaban penggugat, mematahkan
alasan
WCC : Women’s CrisisCenter
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian vii
Daftar Istilah
01 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Bagian Satu:
LatarBelakangdanKonteks
Pertahanan perempuan dalam melawan kemiskinan
membutuhkan dukungan formal. Perubahan ke arah
perbaikan sistem dan produk hukum yang dijiwai keadilan
gender penting diusahakan agar gelombang kesadaran
perempuan atas hak-hak mereka memiliki
pijakan hukum.
Lies Marcoes, Menolak Tumbang, hal. 272
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 02
ni adalah hasil penelitian kualitatif tentang hak ekonomiperempu-
an pasca perceraian, utamanya dalam cerai gugat di wilayah hukum
IPengadilan Agama (PA) Sulawesi Selatan dan Pengadilan Tinggi
Agama (PTA)Makassar.
Kegiatan ini merupakan lanjutan dari penelitian tentang Gender,
Kemiskinan, dan Keadilan yang dipublikasikan dalam bentuk buku
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan1.
Dalam area kerja AIPJ, penelitian ini merupakan bagian dari “penguat-
an hak-hak hukum dan keadilan bagi perempuan miskin”.
Penelitian Gender, Kemiskinan, dan Keadilan menyimpulkan ba-
hwa pemiskinan terkait erat dengan kekerasan terhadap hak-hak dasar
manusia yang seharusnya dilindungi hukum. Pertanyaannya adalah,
apakah sistem hukum dapat diandalkan untuk menopang ketahanan
perempuan dalam menolak dan melawan pemiskinan2”?
1 Lies Marcoes. Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan, INSIST,
2014.
2 Ibid, hal.268.
03 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
I. Pendahuluan
Sebagaimana tergambar dalam tren di tingkat nasional, praktik
perceraian merupakan peristiwa hukum yang paling banyak dita-
ngani PA Sulawesi Selatan dan PTA Makassar dibandingkan peristi-
wa hukum lainnya. Sejalan dengan itu, mitra-mitra AIPJ Sulawesi Se-
latan, terutama LBH APIK, ICJ, dan Pengadilan Agama, seringkali
mendapatkan pengaduan soal pelaksanaan hak-hak ekonomi perem-
puan pasca perceraian, utamanya untuk kasus gugat cerai.
Karenanya, penelitian ini pada dasarnya merupakan policy research
untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terbangunnya me-
kanisme-mekanisme hukum formal dan non-formal yang dapat men-
dorong pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak ekonomi perem-
puan pasca cerai.
II. Latar belakang penelitian
Status perkawinan perempuan sangat berpengaruh pada kemiskinan.
Dalam stuktur masyarakat yang memberi tempat lebih utama dan ter-
buka kepada lelaki, kemiskinan perempuan merupakan penanda paling
akurat atas kondisi kemiskinan masyarakat. Dengan peran gendernya
sebagai anak perempuan, istri atau ibu di keluarga, rumah tangga, dan
masyarakat, perempuan terhubung langsung dengan ekonomi.
Ketika lajang, mereka bekerja dengan upah yang bisa sama atau le-
bih rendah dari lelaki. Namun, sudah pasti hasil yang didapat selalu di-
bagi dengan keluarga orangtuanya.
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 04
Ketika bersuami, secara umum mereka diasumsikan sebagai pen-
cari nafkah tambahan dan atau dianggap mendapatkan nafkah dari su-
aminya, tak peduli bahwa secara de facto mereka merupakan tulang
punggung keluarga. Apalagi ketika menjanda, beban tanggung jawab
anak-anak secara de facto seringkali ditanggung oleh mereka.
Banyak perempuan masuk ke dalam pasar tenaga kerja namun ha-
nya menempati posisi-posisi kurang strategis akibat latar belakang
pendidikan, pengalaman, dan beban kerja mereka di rumah tangga.
Karenanya, mereka kerap lebih dulu tergusur tatkala terjadi guncangan
ekonomi dan pengurangan tenaga kerja dan masuk ke sektor–sektor
informal. Jasa keuangan yang secara normatif bersifat netral gender
pada kenyataanya sulit diakses perempuan terutama jika berstatus jan-
da3. Hampir pasti perceraian mengurangi sumber ekonomi perempuan
atau anak-anak. Dengan tidak adanya tanggung jawab dari mantan
suami, perceraian seringkali menjadi perangkap bagi perempuan ma-
suk ke dalam kurungan kemiskinan.
Pilihan tema ini merupakan hasil diskusi mitra AIPJ untuk program
yang secara umum merupakan salah satu mandat AIPJ, yaitu gender,
pemberdayaan perempuan, dan disabilitas. Diskusi AIPJ Sulsel akhir
tahun 2014 dengan FIK-KSM, LBH Apik, ICJ, HWDI, dan staf AIPJ
Sulsel merekomendasikan untuk melakukan studi pendalaman atas
tema ini.
II.1 Tujuan Penelitian
Studi ini mengidentifikasi peluang-peluang bagi perempuan untuk
mendapatkan hak ekonominya pasca putusan perceraian serta mem-
berikan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat perlindungan
hak-hak ekonomi perempuan pasca cerai berdasarkan analisis terhadap
ketetapan dan praktik yang berlaku saat ini. Analisis ini mencakupi:
• Data makro kasus perceraian, dengan melihat perbandingan data ce-
rai gugat, cerai talak, dan perkara hukum lain yang terkait dengan
hak ekonomi perempuan secara nasional dan di wilayah Sulawesi
Selatan.
• Mendalami kajian putusan tentang penetapan pemenuhan hak-hak
istri pasca perceraian, baik dalam cerai talak maupun cerai gugat
dan logika hukum yang mendasarinya.
• Mengidentifikasi elemen-elemen kelembagaan yang memungkinkan
terlaksananya eksekusi hasil putusan pengadilan.
• Mengidentifikasi peran-peran kelembagaan seperti Pengadilan Aga-
ma dalam mengontrol/mengawasi putusan dan menerapkan sita ja-
minan atau strategi “paksaan” yang sesuai dengan mekanisme hu-
kum.
3 Menolak Tumbang,ibid.
05 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
• Mempelajari good practice baik di wilayah penelitian ini atau di
wilayah lain dalam kaitannya dengan proses perceraian dan per-
lindungan hak-hak ekonomi perempuan, serta mengidentifikasi ele-
men-elemen kelembagaan untuk pelaksanaan eksekusi.
II.2 Penelitian terdahulu
Studi Stijn van Huis4 tentang perceraian di Cianjur berangkat dari
pengamatannya tentang studi-studi lembaga Peradilan Agama di Indo-
nesia yang umumnya menghasilkan pandangan positif tentang fungsi
Peradilan Agama dalam memberikan perlindungan hukum. Kesimpu-
lan itu bersifat terbatas karena ditarik dari kajian tentang teks putusan
pengadilan tanpa menghubungkan dengan pelaksanaannya di lapang-
an.
Van Huis menyimpulkan bahwa kajian serupa itu kurang bisa
membuktikan terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak pasca per-
ceraian. Menurutnya, terkait hak-hak itu, kajian tentang lembaga Per-
adilan (Agama) sering jatuh pada kesimpulan yang rata-rata sama,
yaitu; tunjangan istri dan anak merupakan hak yang dapat melindungi
perempuan dan anak-anaknya; perempuan perlu memiliki akses ke
proses pengadilan yang layak; dan putusan pengadilan memiliki keku-
atan pemaksa yang dapat memastikan putusan pengadilan dapat diek-
sekusi. Namun, di tingkat pelaksanaannya, ketiganya tidak terbukti.
Studi yang dilakukan sendiri oleh para hakim di lingkungan Mahka-
mah Syar’iyah Aceh membenarkan temuan van Huis. Mereka me-
nyatakan bahwa upaya hakim untuk memberikan perlindungan itu
mereka lakukan dengan segala cara termasuk memanfaatkan kewe-
nangan melakukan ex aequo et bono, yaitu mengembangkan putusan
demi mengejawantahkan rasa keadilan itu. Setidaknya hal ini dapat
dilihat dari dokumen perkara-perkara yang mereka putus di sejumlah
kantor Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Namun, mereka tak dapat me-
mastikan bahwa putusan itu benar-benar dieksekusi, apalagi untuk
tuntutan yang berjangka waktu panjang, seperti pemberian hadhanah
pasca perceraian. Mereka merasa kewajibannya sebagai hakim telah
selesai begitu ikrar talak dibacakan dengan asumsi secara normatif
hak-hak istri dan anak telah disetujui untuk dilaksanakan pihak
suami5.
Pada kenyataanya, sebagaimana dijumpai dalam penelitian van
Huis, pemenuhan hak pasca perceraian itu jauh lebih kompleks. Ia
mengajukan dua argumen yang menyatakan bahwa temuan tentang
keutamaan berperkara di PA itu memerlukan penelitian lanjutan.
Pertama, hubungan kausal antara akses pada Pengadilan Agama bagi
janda cerai dan perlindungan bagi mereka melalui pemenuhan hak itu
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 06
4 van Huis, S. J., “Rethinking the Implementation of Child Support Decisions: Post-
divorce Rights and Access to the Islamic Court in Cianjur, Indonesia?, 2010(1) Law,
Social Justice & Global Development Journal (LGD).
5 Rusjdi Ali Muhammad,SH. (eds) Kumpulan Refernsi StandarEvaluasi Hakim dalam Mene-
rapkan Sensitivitas Gender di Mahkamah Syar’iyahAceh, MahkamahSyar’iyahAceh, Banda
Aceh, 2009.
6 Informasi diperoleh melalui korespondensi dengan PO Rifka Annisa, Haerony, 5 Maret
2015.
07 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
tidak terbukti. Kedua, agar dapat memahami apakah janda cerai
mengalami ketidakadilan, dapat dipelajari cara-cara mereka meng-
upayakan ganti rugi dan cara mereka mengakses keadilan di luar jalur
hukum formal. Dan untuk itu, van Huis merekomendasikan perlunya
penelitian empiris (sosio-legal) yang melihat tindak lanjut putusan.
Studi WCC Rifka Annisa mengenai Putusan PA di Jakarta Timur,
PA Wonosari Yogya, PA Kota Makasar, PA Maros, dan MSy Banda
Aceh tahun 2010 menunjukkan bahwa bahkan dalam amar putusan
pun hak ekonomi perempuan dalam gugat cerai nyaris tidak ada. Dari
150 perkara yang mereka periksa, hanya 1 yang secara eksplisit men-
cantumkan tuntutan ekonomi perempuan dalam gugat cerai mereka6.
Berdasarkan temuan Rifka Annisa dan van Huis, serta pengalaman
langsung para hakim di Mahkamah Syar’iyah Aceh, studi ini berasum-
si bahwa karena kekuasaan lembaga peradilan seperti PA/Mahkamah
Syar’iyah dan lembaga-lembaga formal yang ada di dalamnya memi-
liki keterbatasan jangkauan dalam melakukan eksekusi putusan, maka
seharusnya ada kelembagaan dan kebijakan lain yang dapat memas-
tikan hak-hak perempuan pasca perceraian dapat terpenuhi.
Box I: Pengertian cerai gugat dan cerai talak
Salah satu alasan lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1/74
adalah rendahnya perlindungan hukum kepada perempuan terkait
status perkawinannya. Dalam UU itu juga terdapat kepastian hukum
tentang perceraian. Selain menegaskan keharusan pembacaan ikrar
talak di depan pengadilan, undang-undang juga menjamin hak-hak
perempuan dalam dan pasca perceraian.
Pengaturan perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam
UUP No. 1/74 tentang Perkawinan serta Peraturan Pemerintah No.
9/75 tentang Pelaksanaan UUP No. 1/74. Berdasarkan Pasal 38 UUP,
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas ke-
putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP menyebutkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan melalui
proses mediasi namun tidak berhasil.
Terkait siapa yang berhak menceraikan, secara normatif, sebagai-
mana fiqh tradisional, hak talak ada pada lelaki. Namun, UUP mem-
beri hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan gugat-
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 08
an perceraian, baik secara langsung atau melalui kuasanya di daerah
hukum tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1]
PP 9/1975).
Undang-Undang no 1/74 tentang perkawinan Jo UU no 7/89
tentang Peradilan Agama juga mengatur masalah perceraian. Dalam
peraturan perundang-undangan tersebut ditegaskan bahwa hak untuk
cerai dibe-rikan kepada suami atau istri. Perbedaan terletak pada
mekanisme yurisprudensinya. Bilamana talak diajukan pihak
perempuan, maka pe-rempuan harus memohon kepada lembaga
peradilan menjadi para pi-hak yang menjatuhkan talak. Sebaliknya,
jika talak diajukan pihak lelaki, ikrar talak diucapkan langsung oleh
pihak suami karena secara fikih hak talak ada pada suami. Lembaga
peradilan berfungsi sebagai pencatat legalitas perceraian.
Namun di luar UUP, hak untuk cerai juga diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam7. Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, per-
ceraian diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku ber-
dasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam KHI, istilah cerai
gugat ternyata berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP
9/1975. Jika dalam UUP 1/74 dan PP 9/1975 disebutkan bahwa
gugatan cerai dapat diajukan oleh baik suami atau istri, dalam KHI
gugatan cerai hanya diajukan oleh istri sebagaimana tertera dalam
Pasal 132 ayat (1) KHI: “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau
kuasanya pada Pengadilan Agama, kecuali istri meninggalkan tempat
kediaman tanpa izin suami.”
Frasa “istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami” dalam
bahasa yurisprudensi Islam seringkali dimaknai sebgai tindakan
nusyuz (pembangkangan). Di pengadilan, frasa ini menjadi pasal karet
yang menghukum secara pukul rata kepada perempuan yang
melakukan gugat cerai sebagai perbuatan nusyuz—apapun latar
belakang penyebab istri mengajukan gugatan. Dengan definisi itu,
seringkali perempuan yang menggugat cerai secara otomatis tak
melakukan tuntutan lainnya selain cerai.
Alasan gugat cerai umumnya karena istri sudah tak sanggup men-
jalani rumah tangga dengan berbagai alasan, seperti tidak mendapat-
kan nafkah, terjadi percekcokan yang terus menerus, suami selingkuh/
menikah secara sirri, dan meninggalkan rumah tangga tanpa kabar.
Alasan-alasan itu pada dasarnya dibenarkan sebagai landasan bercerai
sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Misalnya, penjelasan
UUP 1/74 pasal 39 huruf F dan dalam KHI pasal 116 huruf F tentang
alasan perceraian8.
7
8
Marzuki Wahid, Fiqih Indonesia: KHI dan Counter Legal Draft KHI dalam Bingkai
Politik Hukum Indonesia, ISIF & Marka, Bandung 2014.
Rusjdi Ali Muhammad, SH (eds) ibid.
09 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Apapun bentuk perceraian dan penyebabnya, pasal 115 KHI me-
ngatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dengan demikian, gu-
gat cerai adalah mekanisme legal yang paling optimal yang dapat di-
lakukan pihak istri untuk mendapatkan hak-hak ekonominya.
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 10
III. Metodologi
Studi kualitatif ini mendasarkan pilihan kasusnya pada studi lite-
ratur dan data kuantitatif. Literatur utama yang digunakan adalah
hasil penelitian van Huis di Cianjur9 yang memiliki karak-teristik
serupa dengan di Makassar; bahwa putusan pengadilan terkesan
sudah memberikan perlindungan ekonomi secara hukum pada pe-
rempuan meski pada proses eksekusinya perlindungan tersebut
tidak terjadi. Sejalan dengan rekomendasi penelitian tersebut,
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan
pendekatan sosio-legal untuk memberikan rekomendasi kebijakan
terkait hak ekonomi perempuan pasca cerai.
Data-data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam
semi-struktur dengan sejumlah pihak. Untuk lingkup lembaga per-
adilan, kedinasan, dan LSM, kami mewawancarai 14 orang informan
yang memberikan data-data penting terkait hak ekonomi perem-
puan pasca cerai (lihat Lampiran 1). Di Pengadilan Agama Sula-
wesi Selatan, informan utama kami adalah Ibu Dra. Hj. Harijah
Damis, M.H. (Wakil Ketua PA). Ibu Harijah tak hanya menyediakan
dokumen putusan dan memberikan penjelasan lanjutan atas studi
kasus, tetapi juga menghubungkan dengan pencari keadilan yang ia
tangani dalam cerai talak, dan memberikan umpan balik dari hasil
temuan yang dipresentasikan di AIPJ Makassar.
Kami juga menganalisis 8 dokumen putusan Sidang Pengadilan
yang diperoleh dari Kantor Pengadilan Agama Sulawesi Selatan yang
meliputi 6 dokumen kasus Cerai Talak dan 2 dokumen kasus Cerai
Gugat. Untuk pendalaman studi kasus, diperoleh 3 kasus perempuan
yang sedang berperkara di pengadilan. Wawancara dan pendalaman
dilakukan dengan 1 orang perempuan yang berperkara, sejumlah ka-
langan, baik praktisi hukum, akademisi yang secara langsung mela-
kukan studi, aktivis pendamping hukum, dan peneliti tentang janda
dan survival strategy mereka pasca perceraian. Terkait dengan isu
makro, wawancara dilakukan dengan Ibu Nursyahbani Katjasung-
kana dan Bapak Wahyu Widiana, konsultan AIPJ, serta sejumlah
hakim dari berbagai daerah yang sedang melakukan studi serupa.
9 Van Huis, S.J., ibid.
Untuk data kuantitatif, sumber utama kami adalah data dari
Badilag yang diolah atas bantuan Ahmad Cholil dari Pengadilan Agama
Bekasi serta data-data yang diperoleh dari media. Data lainnya diper-
oleh dari Prof. Mark Cammack, terutama untuk data 10 tahun terakhir
gugat cerai secara nasional. Untuk data kuantitatif di Sulawesi Selatan,
data diperoleh dari Pengadilan Agama Sulawesi Selatan dan PTA
Makassar. Sementara data kemiskinan diperoleh dari survei PEKKA
dan TNP2K. Data-data kuantitatif tersebut menunjukkan kecenderung-
an untuk wilayah Makassar dan Sulawesi Selatan, angka perceraian
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan adanya korelasi
antara perceraian dengan pemiskinan terhadap perempuan.
Temuan penelitian dikelola dengan prinsip triangulasi sumber in-
formasi dengan melakukan silang informasi kepada para pihak. Selain
itu, dilakukan observasi di persidangan dan penelusuran kasus untuk
pendalaman.
11 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 12
“Kalau rumah tangga rukun tentram tak akan ada pe-
rempuan yang mau cerai. Tapi kalau tak bisa diperatah-
kan, malah kita menderita mau bagaimana lagi. Untung
kami bisa gugat, kalau tidak, dia yang mati atau saya
yang bunuh diri.“
Fitrah, 24 tahun, Makassar
Bagian Dua:
Temuan Penelitian
13 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
I. Prevalensi kasus perceraian di Makassar
Box II: Kerangka hukum perceraian di wilayah
peradilan agama
Secara normatif, hak ekonomi perempuan cerai telah dijamin
dalam UU Perkawinan dan KHI. Hak itu meliputi:
• Pelunasan mas kawin jika belum dibayar tunai
• Penggantian nafkah di masa lampau yang belum dibayarkan
• Nafkah iddah 3 bulan
• Uang mut’ah (penghiburan dari suami atas perce-raiannya)
sejumlah yang disepakati
• Hak pemeliharaan anak sampai usia dewasa
• Semua hak-hak ini secara normatif merupakan hak istri dan
anak yang harus dipenuhi suaminya kecuali jika terbukti istri
melakukan nusyuz (pembangkangan)
Sejumlah studi tentang kemiskinan telah melihat proses-proses
kemiskinan yang terhubung dengan status perkawinan mereka.
Survey Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas
(SPKBK) PEKKA menunjukkan signifikasi data statistik yang ber-
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 14
bicara bahwa status pernikahan memiliki korelasi erat dengan tingkat
kesejahteraan sebuah keluarga. Seperti yang tertera pada Figur 1, 40%
perempuan dengan status bercerai berada di 20% keluarga termiskin
yang disurvey. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, proposinya bahkan
lebih tinggi, yaitu sekitar 47% dari 102 perempuan yang bercerai ter-
masuk ke dalam kelompok 20% termiskin, dibandingkan perempuan
menikah dari kelompok sama hanya sebesar 10%.
12%
19%
22% 23% 24%
40%
27%
15%
10%
7%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
1 2 3 4 5
Kuintil kemiskinan
(1= 20 persen termiskin, 5= 20 percent terkaya)
Married and living together Divorced
Figur 1: Data (SPKBK) PEKKA
15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Hampir dipastikan, melalui perceraian perempuan dalam sebuah
rumah tangga mengalami goncangan ekonomi dan psikologis. Ini
karena status janda bukanlah “jabatan” yang mendapat tempat di ma-
syarakat, bahkan sebaliknya, menurunkan status sosial mereka. Buku
Menolak Tumbang, yang mendokumentasikan narasi pengalaman pe-
rempuan berhadapan dengan kemiskinan di delapan provinsi, men-
catat hubungan antara diskriminasi berbasis gender, pelanggaran hu-
kum, pelanggaran HAM, dan pemiskinan. Kisah-kisah itu juga me-
negaskan bahwa pemiskinan perempuan tak bisa dipahami hanya me-
lalui statistik kemiskinan atau pendekatan ekonomi secara tunggal.
Lembaga peradilan diharapkan dapat diandalkan perempuan untuk
menjamin hak ekonominya meski tak dapat memperbaiki status sosial-
nya sebagai janda di mata umum. Namun setidaknya, status janda yang
diperoleh melalui proses pengadilan dapat memberikan kepastian hu-
kum dan membantu mereka menuntut hak-hak ekonomi dan hak-hak
lainnya. Karenanya, persidangan di pengadilan, termasuk Pengadilan
Agama merupakan arena yang dapat diandalkan untuk mencapai rasa
keadilan, termasuk hak-hak ekonomi perempuan sebagai janda.
Menurut data dari Departemen Agama, setiap tahun ada 2 juta per-
kawinan dan dari jumlah itu sepuluh persennya bubar. Itu hanya data
resmi yang ada di Peradilan Agama, sementara perceraian lainnya yang
tak dicatatkan bisa lebih banyak jumlahnya. Cerai gaib (suami pergi
tanpa kabar selama bertahun-tahun) adalah fenomena umum dan
menyebabkan status perkawinan perempuan menggantung mengikuti
hak-hak ekonominya. Apalagi bagi perempuan yang kawin tanpa
dicatatkan, pada mereka tuntutan untuk mendapatkan hak-haknya tak
mungkin diperoleh secara legal di pengadilan. Demikian halnya jika
cerai yang dilakukan dengan cara-cara ilegal, seperti lewat SMS atau
melalui perantara perangkat desa tanpa ikrar talak di depan pengadil-
an. Jumlah kejadian serupa itu tak dapat direkam jumlahnya.
“Setiap bulan kami menyidangkan perkara 250 perkara, 70% di
antaranya perkara gugat cerai”. Pernyataan ini disampaikan Ibu
Harijah Damis M. H., Wakil Ketua Pengadilan Agama Sulawesi Selatan,
yang dibenarkan oleh Ketua Pengadilan Agama Sulawesi Selatan, Ba-
pak Moh. Yasya M. H. Pernyataan ini sejalan belaka dengan data kuan-
titatif baik secara nasional maupun di wilayah Sulawesi Selatan.
Pada kenyataannya, dari tahun ke tahun jumlah perkara perceraian
yang diputus di kantor-kantor Pengadilan Agama di seluruh Indonesia
terus naik, tak terkecuali di PA Sulawesi Selatan. Di antara perkara
yang ditangani PA di seluruh Indonesia, angka perceraian yang diaju-
kan pihak perempuan atau biasa disebut “gugat cerai” berjumah lebih
tinggi daripada angka cerai talak yang diajukan pihak laki-laki.
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 16
Figur 2: Angka Perkara yang Ditangani PA dalam
Lima Tahun Terakhir (2009-2014)
Figur 3: Presentase perkara cerai dari perkara masuk
dan presentase perkara cerai gugat dari perkara cerai
yang masuk di PA tahun 2009-2014 (dalam %)
Badilag, 2014
Badilag, 2014
17 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Sebagaimana tergambar dalam statistik di atas, dalam lima tahun
terakhir (2009–2014), secara kumulatif perceraian merupakan perkara
paling banyak ditangani PA di seluruh Indonesia meskipun terdapat
kecenderungan menurun; 91% di tahun 2009, menjadi 84% di tahun
2014. Dari perkara cerai itu, angka cerai gugat yang diajukan perem-
puan jauh lebih banyak dibandingkan cerai talak dengan kecenderung-
an meningkat; dari 66% di tahun 2009, naik menjadi 70% di tahun
2014. Data gugat cerai dalam periode lebih panjang (10 tahun) di-
kumpulkan Prof. Marck Kammack10 menunjukkan indikasi kenaikan
itu dari 56,2% di tahun 2000 menjadi 68,9% di tahun 2011.
Data serupa dikemukakan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan
Kementerian Agama, Anwar Saadi, Jumat (ROL Republika, 14/11/14)
yang menyatakan dalam lima tahun terakhir kira-kira 10% dari per-
kawinan pada tiap tahunnya berakhir dengan perceraian.
Figur 4: Perbandingan Angka Pernikahan dan Perceraian
dalam Lima Tahun (2009- 2013)
Figur 4 di atas memperlihatkan bahwa jumlah permohonan cerai
cenderung meningkat, dari 216.286 di tahun 2009 menjadi 324.527 di
tahun 2013, meskipun angka perkawinan hanya mengalami kenaikan
sedikit dari 2.162.268 268 di tahun 2009 menjadi 2.218.130.
Figur 5: Perkara yang Disidangkan di PTA Makasar (2010-
2014)
10 Marck Cammack mengolah sendiri datanya berdasarkan data dari web Badilag. Data
lain diperoleh dari Badilag atas bantuan Bapak Abdul Cholil (Choliluna) staf peneliti di
Badilag.
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 18
19 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
10650
12465
14246
15539
18581
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
2010 2011 2012 2013 2014
Perkara yang disidangkan
Perkara yang disidangkan
Dalam data tahun 2010-2014, Pengadilan Tinggi Agama Makassar
menangani jumlah perkara tertinggi di luar Jawa atau tertinggi ke-4 di
Seluruh PTA di Indonesia setelah Surabaya, Semarang, dan Bandung.
Perkara yang diterima dari tahun ke tahun mengalami kenaikan stabil
dari 10.650 pada tahun 2010 menjadi 18.851 di tahun 2014. Jika
menggunakan asumsi bahwa perkara perceraian sekitar 90% dari
perkara yang masuk, maka perkara perceraian yang ditangani PTA
Makassar pada tahun 2014 adalah 17.000 perkara, dan dari jumlah itu
bisa diperkirakan 70%-nya adalah gugat cerai atau sekitar 14.000
perkara.
Di Pengadilan Agama Makassar, perkara gugat cerai juga men-
dominasi perkara yang masuk ke Pengadilan Agama dengan sebab
yang macam-macam. Namun, alasan paling umum adalah penelan-
taran dan kekerasan dalam rumah tangga. Atas data itu, kita bersetuju
dengan temuan penelitian van Huis bahwa Pengadilan Agama telah
berhasil memberikan kepastian hukum kepada perempuan pencari
keadilan melalui mekanisme gugat cerai.
Sejalan dengan kecenderungan di tingkat nasional, laporan per-
kara yang diputus oleh 24 kantor PA di seluruh Sulawesi Selatan pada
tahun 2014 memperlihatkan tingginya perkara perceraian dibanding-
kan dengan perkara-perkara lainnya. Perceraian yang diajukan pihak
istri (gugat cerai) merupakan perkara paling tinggi dari keseluruhan
perkara yang diputus.
Tabel 1: Data Kumulatif dari Perkara Perceraian dan
Jenisnya di Pengadilan Agama Sulawesi Selatan Tahun 2014
Badilag, 2014
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 20
21 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Tabel 2: Data Perkara yang Masuk Dibandingkan Perkara
Cerai dan Cerai Gugat di PTA Makassar dalam 5 Tahun
Terakhir (2010-2014)
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa meskipun perkara cerai
dalam lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun,
dari 84% atas perkara yang masuk di tahun 2010, menjadi 70% atas
perkara yang masuk di tahun 2014, namun gugat data cerai menun-
jukkan hal yang sebaliknya, dari 73% di tahun 2010 menjadi 77% di ta-
hun 2014 atas perkara yang masuk.
Sebagaimana dikutip Syamuddin Simmau (2013), data resmi per-
kara perceraian di Pengadilan Agama Makassar tahun 2011 berdasar-
kan data Pusat Bantuan Hukum (PUSBAKUM) menunjukkan bahwa
perkara gugat cerai sisa tahun 2010 sebanyak 147 perkara, dan 127
kasus untuk cerai talak. Data ini bisa menggambarkan bahwa tingkat
kesulitan untuk memutus perkara cerai talak jauh lebih berat dan
bertele-tele dibandingkan dengan perkara cerai gugat. Para hakim
umumnya menganggap bahwa jika istri telah mengajukan cerai gugat
maka pada dasarnya mereka hanya tinggal mengetok palu untuk me-
ngesahkan perceraian karena secara de facto perceraian telah terjadi.
Tahun
Perkara
Masuk
Perkara
Cerai
Cerai
Gugat
Cerai
Talak
2010 10.650 8.908 (84%) 6.497 (73%) 2.411 (27%)
2011 12.465 10.327 (83%) 7.666 (74%) 2.661 (26%)
2012 14.246 11.739 (82%) 8.762 (75%) 2.977 (25%)
2013 15.539 12.328 (79%) 9.286 (75%) 3.042 (25%)
2014 18.581 13.034 (70%) 10.003 (77%) 3.031 (23%)
Nama Kantor
PA/Daerah Gugat Cerai Cerai Talak
PA Makassar 1.170 447
PA Watampone 911 231
PA Sengkang 798 312
PA Pinrang 594 140
PA Palopo 307 127
Sumber diolah dari data tahunan perkara di PTA Makassar, 2014
Sumber: Badilag, 2014
II. Situasi umum putusan pengadilan
terhadap hak ekonomi perempuan pasca
perceraian
Jika mengacu pada pasal 38 UUP 1/74, suami atau istri pada dasarnya
berhak menggugat cerai. Konsekuensinya, sebagaimana suami, istri
juga mendapatkan hak-haknya sebagai mantan istri. Namun, gagasan
yang lumayan mendudukkan suami-istri itu secara setara dalam per-
ceraian ini nampaknya tidak sama dengan ketentuan yang tercantum
dalam KHI pasal 132 tentang frasa “istri meninggalkan kediaman
tanpa izin suami” yang dimaknai sebagai nusyuz. Padahal nusyuz bagi
hakim adalah “semacam tendangan pinalti yang menghukum istri ke-
hilangan hak-haknya, bahkan hak untuk asuhan anak.”11
Padahal dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang ke-
kuasaan Peradilan Agama, istri juga berhak untuk mengajukan gu-
gatan komulasi, yaitu mengajukan gugatan perceraian sekaligus me-
mohon penguasaan atas asuhan anak, mendapatkan nafkah anak,
11 Istilah “tendangan pinalti” disampaikan oleh Pak Soufyan Saleh, ketua Mahkamah
Syar’iyah Aceh ketika menunjukkan perbedaan hakim yang telah mendaatkan pelatihan
gender dan yang belum. Menurutnya, sebelum pelatihan hakim dengan serta merta
memberikan “tendangan finalti” kepada istri yang menggugat ceraia sebagai perbuatan
nusyuz. Setelah pelatihan mereka berusaha mencari tahu asal usul dan penyebab gugatan
cerai.
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 22
15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
nafkah istri, dan harta bersama—gono gini. Secara teknis, hak-hak itu
dapat diajukan bersamaan dengan gugatan cerai atau sesudah putusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Demikian juga suami dapat mengajukan permohonan talak seka-
ligus dengan permohonan lainnya (komulasi). Misalnya, penguasaan
anak dan pembagian harta bersama. Tuntutannya dapat diajukan ber-
sama ketika mengajukan cerai talak atau setelah pelaksanaan ikrar
talak suami kepada istri.
Namun pada kenyataanya, gugatan komulasi hanya biasa ditemui
dalam perkara cerai talak dan bukan cerai gugat. Alasannya sangat
sederhana; karena cerai gugat biasanya dilakukan tatkala suami telah
pergi (cerai gaib), atau tak ada harta yang ditinggalkan, dan pihak
perempuan umumnya memang hanya menuntut cerai. Satu-satunya
hal yang diperebutkan biasanya terkait pengasuhan anak.
Dalam hal perceraian, di mana permohonan cerai talak diajukan
suami kepada istri, pasal 149 dan pasal 158 KHI mewajibkan suami
untuk memberi mut’ah yang layak kepada bekas istri, nafkah masa
lampau yang belum dibayar, pakaian dan uang kebutuhan makan
selama dalam masa iddah, melunasi mahar jika masih terhutang, dan
biaya hadhanah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
23 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Masalahnya, dalam peristiwa hukum cerai gugat, undang-undang
maupun KHI tidak mengatur hak-hak istri seperti yang diatur pasal
149 dan 158 KHI bilamana yang menceraikan adalah pihak suami.
Dengan pertimbangan bahwa yang dituntut oleh istri adalah cerai,
para hakim umumnya juga tidak membebankan kewajiban kepada
suami atas hal-hal yang menjadi hak istri, seperti mut’ah, iddah, dan
nafkah lampau.
Tentu saja, ada sejumlah pengecualian di mana cerai gugat meng-
hasilkan putusan yang memberikan hak-haknya kepada istri sebagai-
mana dalam peristiwa cerai talak. Dan itu bisa terjadi karena hakim
melakukan perannya sebaga penafsir atas peristiwa perceraian yang
menyebabkan istri menggugat cerai (lihat studi kasus dari Aceh).
Sebagai bahan analisis, pada bagian ini disajikan beberapa kasus,
baik gugat cerai atau cerai talak dengan menekankan pada keragaman
isu dalam aspek tuntutan ekonominya dan putusan yang dijatuhkan
oleh pengadilan. Kami juga melacak pelaksanaan putusan itu dari satu
kasus cerai talak untuk mengetahui sejauh mana putusan itu diek-
sekusi.
Untuk perbandingan, di sini juga disajikan satu kasus yang dia-
mbil dari Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam cerai gugat yang tun-
tutanya berubah menjadi perkara fasakh (tuntutan tebusan dari sang
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 24
suami). Kasus ini dipilih untuk memperlihatkan betapa besar kewe-
nangan hakim sebagai ex officio dalam menafsir hukum yang bisa
menjadi terobosan untuk memenuhi rasa keadilan. Beberapa terobosan
yang dilakukan MA juga disertakan di sini sebagai pembelajaran terbaik
(best practice) dalam upaya memberikan perlindungan kepada perem-
puan12.
II.1 Studi kasus dan analisis putusan
Kasus I: Cerai Gugat tanpa Tuntutan Hak Ekonomi
Kasus cerai diajukan perempuan PNS setelah pernikahan berlang-
sung 20 tahun dan telah mempunyai anak 2 orang. Alasan yang
diajukan, rumah tangga tidak harmonis dan sering terjadi perteng-
karan. Dalam gugatannnya, ia tak menuntut apa-apa selain cerai.
Bahkan hak asuh anak pun diserahkan kepada pilihan anak-anaknya
karena dianggap telah mumayiz (dapat memilih/dewasa). Gugatan
disetujui dan salah satu anaknya memilih untuk tinggal bersamanya.
12 Untuk menjaga kerahasiahan kasus, kami hanya membuat ringkasan yang kami anggap
relevan untuk studi ini.
25 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Kasus II: Cerai Gugat dengan Tuntutan Hak Ekonomi
Kasus cerai gugat dilakukan seorang perempuan yang telah menja-
lani perkawinan enam tahun dan punya tiga anak. Ini perkawinan
dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda meskipun yang
perempuan pindah agama mengikuti agama suami. Suami di mata
istrinya malas bekerja sementara dirinya sangat aktif mencari nafkah.
Terjadi banyak percekcokan dan sebagai buntutnya suami membawa
lari anak dan menghalanginya untuk bertemu anak-anak. Di persi-
dangan sang suami membantahnya yang dikuatkan saksi-saksi. Suami
keberatan atas gugatan itu dan alasan membawa pulang anaknya ke
rumah orangtuanya untuk melindungi dari percekcokan dan khawatir
atas pengaruh keyakinan yang berbeda. Dalam gugatan cerai ini, istri
menuntut biaya kumulatif sebesar Rp 40 juta dan tak menuntut
hadhanah karena ia merelakan kedua anaknya diasuh keluarga
suaminya. Dalam putusan, ia sama sekali tidak mendapatkan hak apa-
apa, kecuali hak asuh anak pertama dan itupun tanpa hadhanah.
Kasus III: Cerai Talak dengan Tuntutan Ekonomi dan
Perawatan Anak Berkebutuhan Khusus
Kasus cerai talak diajukan suami dengan alasan rumah tangga
tidak harmonis. Istri meminta hak-haknya yang meliputi nafkah ter-
tunggak/lampau sebesar Rp 15.000.000, nafkah iddah Rp
15.000.000 melingkupi nafkah 3 bulan, nafkah mut’ah sebesar Rp
15.000.000, dan hadhanah sebesar Rp 6.375.000 per bulan. Angka
hadanah itu merupakan perincian biaya satu-satunya anak mereka
dengan kondisi berkebutuhan khusus.
Majelis mengabulkan permohonan suami untuk menjatuhkan
talak dan menjatuhkan hukuman membayar nafkah iddah sebesar
Rp 7.500.000, nafkah mut’ah Rp 10.000.000, dan biaya hadhanah
sebesar Rp 2.500.000/bulan sampai anak dewasa. Sementara itu,
permohonan istri untuk nafkah tertunggak Rp 15.000.000 tidak
dikabulkan majelis.
Kasus IV: Cerai Talak dan Tuduhan Nusyuz
Kasus cerai talak diajukan suami berprofesi dokter kepada
istrinya yang juga berpenghasilan sebagai pengusaha. Mereka telah
menikah selama 5 tahun dan dikaruniai anak perempuan usia 2 yang
masih balita.
Tuntutan cerai diajukan karena istri dianggap nusyuz, melakukan
keke-rasan menampar suami di depan umum dan tidak menghargai
suami. Bagi suku tertentu itu perbuatan lancang yang tak terampuni.
Pihak istri membantah tuduhan suaminya dan tindakan
kekerasannya disebabkan perbuatan suaminya yang mengaku
selingkuh.
Istri bersetuju cerai dengan menuntut nafkah lampau sebesar Rp
10.000.000 per bulan selama 6 bulan, uang mut’ah Rp 50.000.000,
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 26
27 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
iddah Rp 10.000.000 per bulan selama 3 bulan, dan hadhanah Rp
6.000.000/ bulan hingga dewasa.
Suami menolak tuntutan istri dengan alasan ia hanya pegawai negeri
dengan gaji pokok Rp 3.650.000. Ia menuduh istrinya nusyuz
berupa tindakan kekerasan dan selingkuh. Suami menyatakan istri-
nya tidak berhak atas uang iddah. Saksi bisa membuktikan suaminya
mendapatkan penghasilan ekstra buka klinik, dan nusyuz tidak
terbukti. Tidak ada tuntutan soal harta gono-gini karenanya tak ada
pembahasan soal itu.
Majelis memutuskan menerima tuntutan suami untuk cerai. Istri
mendapat hak asuh anak dan hadanah Rp 5.000.000/bulan, nafkah
lampau sebesar Rp 36.000.000, iddah sebesar Rp 9.000.000, dan
mut’ah Rp 10.000.000.
Kasus V: Cerai Talak dan Pembagian Harta Gono-Gini
Cerai talak diajukan seorang supir yang lebih dari 1 tahun tak per-
nah pulang. Mereka punya anak 1 masih balita. Majelis mengabulkan
talak suami karena keduanya sudah lama tidak serumah. Dalam tun-
tutannya, istri meminta nafkah mut’ah 5 gram emas, nafkah iddah Rp
500.000 seti ap bulan selama 3 bulan, nafkah lampau Rp 3.000.000
untuk 1 tahun tidak diberi nafkah, hadanah Rp 750.000, dan jumlah
itu akan bertambah seiring dengan pertumbuhan anaknya hingga
dewasa, pembagian hasil penjualan rumah Rp 10.000.000, dan pem-
15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
bagian hasil penjualan motor sport sebesar Rp 4.000.000. Majelis
memutuskan suami wajib membayar nafkah iddah Rp 500.000 setiap
bulan untuk 3 bulan, nafkah anak hingga dewasa se-besar Rp
500.000/bulan, uang pembagian rumah sebesar Rp 5.000.000, uang
pembagian motor sebesar Rp 3.000.000, dan nafkah mut’ah berupa 5
gram emas.
Kasus VI: Cerai karena Perkawinan Terpaksa
Kasus cerai talak ini menjadi preseden lumayan berat bagi majelis
yang memutus perkara. Cerai talak diajukan suami kepada istrinya
yang sejak awal rumah tangga itu dibangun hanya untuk memper-
tanggungjawabkan kehamilan. Setelah menikah tak satu kalipun sang
suami menengoknya. Ia hanya datang untuk menengok anaknya
ketika lahir di rumah sakit dan setelah tak pernah datang lagi sampai
umur anak 9 bulan lalu mengajukan cerai talak. Pihak istri meng-
ajukan tuntutan berupa nafkah iddah 3 juta/bulan untuk 3 bulan,
nafkah lampau tertunggak 33 juta, uang mut’ah 20 juta dan hadanah
anak 2 juta/bulan. Setelah melalui proses replik-duplik, majelis hakim
memutuskan untuk menghukum penggugat berupa nafkah iddah Rp
4.500.000 untuk 3 bulan, nafkah lampau Rp 10.000.000, uang mut’-
ah Rp 5.000.000, serta uang hadanah Rp 1.000.000/bulan.
Majelis menghukum penggugat untuk membayar kewajibannya
sebelum talak diikrarkan dalam dalam jangka waktu 6 bulan. Namun,
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 28
29 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
oleh pengacaranya, putusan ini dipertanyakan ke MK terkait dasar
hukum penundaan pembacaan ikrar bersyarat itu. Majelis sangat
menyadari bahwa ikrar talak adalah urusan majelis yang seharusnya
diucapkan begitu putusan diketuk palu, sementara urusan eksekusi
adalah wewenang ketua pengadilan. Nafkah iddah, nafkah lampau,
dan uang mut’ah, serta uang hadanah anak tidak boleh digunakan se-
bagai syarat untuk ikrar talak. Dan untuk menghindari contempt of
court, majelis akhirnya memutuskan pembacaan ikrar talak sebelum
semua tuntutan dipenuhi.
Untuk mengetahu perkembangan kasus, kami menelusuri dan
bertemu dengan mantan istri dalam perkara ini. Ia mengakui bahwa
perkawinan terpaksa diselenggarakan karena ia telah hamil. Menurut
pengakuannya, setelah pesta suaminya sama sekali tak pernah datang
kembali. Ia mengatakan setelah ikrar talak, suaminya membayar uang
20 juta sesuai putusan yang dikirim melalui pengacara suaminya.
Namun untuk kelanjutan nafkah anak ia mengatakan, “Saya merasa
seperti perempuan nakal, tiap kali harus menuntut agar mantan
suami membayar uang susu anak. Tapi sudah tiga bulan ini dia tak
memberi apa-apa”.
Kasus 1 merupakan kasus yang paling umum terjadi dalam
perkara gugat cerai. Pihak istri hanya menuntut cerai agar ia memiliki
status perkawinan yang jelas secara hukum. Tuntutan serupa ini diaju-
kan istri setelah suami menghilang selama beberapa bulan atau tahun
tanpa memberikan nafkah. Dalam bahasa awam proses perceraian di
mana suami tidak jelas tempat tinggalnya disebut cerai gaib. Kebu-
tuhan untuk mendapatkan status hukum diperlukan para perempuan
ini tak selalu untuk tujuan kawin lagi. Seorang perempuan yang
berperkara di PA Makassar mengatakan ia membutuhkan status itu
untuk memperoleh kepastian hukum dan karena orangtua telah me-
ninggal dengan meninggalkan sedikit warisan. Ia ingin meyakinkan
diri bahwa warisan yang ia peroleh bukanlah harta yang diperoleh
dalam perkawinan yang setiap saat bisa digugat pihak suami atau
keluarga suami. Padahal secara de facto mereka telah berpisah.
Meskipun tak secara langsung disebutkan sebagai kasus nusyuz di
mana istri dianggap sering melakukan tindakan kasar kepada suami,
pada Kasus 2 hakim telah menafsirkan bahwa sang istri melakukan
nusyuz dan karenanya semua tuntutannya ditolak. Demikian halnya
dengan hadhanah anak—yang salah satunya ikut sang ibu—dianggap
tidak bisa dipenuhi karena suami tidak memiliki pekerjaan pasti dan
menanggung dua anak dari perkawinan mereka. Sementara itu, istri-
nya memiliki usaha yang dianggap dapat membiayai hidup dengan
anaknya.
Kasus 3 memberi gambaran yang berbeda dari dua kasus di atas-
nya. Dalam kasus ini cerai diajukan oleh pihak suami (cerai talak).
Hak-hak ekonomi istri dalam tuntutannya relatif dipenuhi terutama
untuk mut’ah (penghiburan/hadiah suami kepada istri). Namun dari
sisi nilainya, majelis hanya menyetujui separuh dari yang dituntut
istri. Biaya hadhanah hanya dikabulkan hampir sepertiga dari tun-
tutan istri. Alasannya karena anak menjadi tanggungan bersama di
mana istri juga berpenghasilan.
Dalam Kasus 4 hak istri atas hak-haknya dipenuhi. Meskipun
alasan suami menceraikan karena istri melakukan nusyuz, namun
majelis tetap menghukum suami selaku yang mengajukan cerai talak
untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Dan berbeda dari Kasus 3
di mana uang penghiburan sepenuhnya dipenuhi, dalam kasus ini
justru mut’ah hanya dikabulkan 1/5 nya saja dengan alasan istri me-
miliki usaha yang memadai.
Berbeda dari empat kasus di atas, dalam Kasus 5 cerai talak ini
istri tak hanya menuntut hak-haknya berupa uang iddah, nafkah ter-
tunggak, , mut’an dan hadhanah, tetapi juga menuntut harta gono gini
atas rumah dan kendaraan yang mereka peroleh dalam perkawinan.
Meskipun begitu dari segi jumlah yang diputus majelis jauh lebih
rendah dari yang dituntut istri.
Kasus 6 memperlihatkan tentang perbedaan antara putusan dan
eksekusinya atas cerai talak. Hakim menahan ikrar talak sampai batas
maksimal waktu yang dibenarkan Undang-Undang yaitu selama 6 bu-
lan dengan harapan suami dapat memenuhi kewajibannya. Cara ini
menurut Ketua PA Sulawesi Selatan merupakan upaya hakim dengan
menyandera putusan ikrar talak untuk memastikan terpenuhinya hak
isti dan anak pasca perceraian. Terdapat berbagai cara yang dilakukan
hakim agar suami memenuhi kewajibannya, antara lain:
• Suami melaksanakan ikrar talak di depan pengadilan dengan
perjanjian akta cerainya ditahan oleh Panitera Pengadilan. Peme-
nuhan putusan menjadi prasyarat diperolehnya akta cerai.
• Menunda pelaksanaan ikrar talak sampai terpenuhinya hak-hak
yang disepakati dalam persidangan. Dalam konteks ini, hakim bi-
asanya berpedoman pada batas waktu 6 bulan pengucapan ikrar
talak sesuai dengan Undang-Undang.
• Penambahan klausul putusan bahwa pihak suami harus membayar
semua kewajibannya ditambahkan dalam jangka waktu sebelum
ikrar talak diucapkan.
Tingginya gugat cerai ini bisa dimaknai bahwa kesadaran perem-
puan atas identitas yang terkait dengan status perkawinanya cukup
tinggi. Mereka ingin mendapatkan kejelasan secara hukum. Namun,
ini juga bisa dimaknai bahwa mendapatkan “status perkawinan”
merupakan tujuan optimal dari tindakan perempuan melakukan gugat
cerai. Tujuan berikutnya adalah mendapatkan hak asuh anak dan
terakhir memperoleh hak ekonomi sebagai janda.
Dari 6 kasus di atas, baik cerai talak apalagi cerai gugat, perem-
puan tak benar-benar mendapatkan haknya sesuai yang mereka tun-
tut. Untuk semua kasus gugat cerai, perempuan tak mendapatkan apa-
apa meskipun ada beberapa kasus istri yang menggugat cerai tetap
mengajukan hak-haknya sebagaimana dalam cerai talak.
Baik dalam cerai gugat maupun cerai talak, hak anak senantiasa
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 30
31 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
dipertimbangkan namun tak selalu dipenuhi dalam putusan. Meski-
pun sangat jarang istri yang melakukan gugatan cerai tetap menuntut
hak-haknya. Namun sangat jarang tuntutan itu dipenuhi, begitu juga
hak untuk anak.
Secara umum cerai gugat dianggap perempuan meminta suami
untuk melakukan pembatalan perkawinan (fasakh) dan atas dasar itu
secara umum juga dimaknai bahwa istri tak menuntut apa-apa. Bah-
kan dalam sejumlah kasus, jika belum terjadi hubungan seksual istri
berkewajiban mengembalikan mas kawinnya.
Namun, terdapat indikasi bahwa gugat cerai juga diajukan pihak
istri atas kesepakatan/pihak suami agar proses perceraian dapat
berlangsung dengan cepat meskipun dengan risiko istri tidak menda-
patkan hak-hak ekonominya.
III. Good practice pemenuhan hak istri pasca
perceraian
Sebagai pembanding, kami ambil dua pembelajaran baik dari Mahka-
mah Syar’iyah Aceh Besar dan Mahkamah Agung di mana putusan
majelis menghukum suami untuk membayar hak-hak istri meskipun
perkaranya gugat cerai.
Kasus A: Cerai Gugat Berubah Menjadi Tuntutan Khulu’
(tebusan) dari Suami
Kasus ini disidangkan di Mahkamah Syariyah Jantho tahun 2010.
Istri mengajukan gugat cerai karena suami gemar judi dan mabuk
serta pelaku kekerasan fisik. Gagal dalam mediasi, istri melanjutkan
perkara. Selaku tergugat suami keberatan atas gugatan istri malah
sebaliknya mengajukan khulu’ (tebusan) 16 mayam mas atau (ketika
itu senilai 14 juta rupiah) sebagai pengganti ikrar talak yang secara
sukarela akan dilakukan suami di depan pengadilan (iwadh).
Ketika suami mengajukan khulu’, sang istri semula menyerah saja
dan bersetuju. Namun hakim melanjutkan gugatan cerai istri dengan
memanggil saksi-saksi yang membenarkan gugatan istri. Atas dasar
itu, hakim menerima gugatan cerai istri dengan tetap menghukum su-
ami membayar uang mut’ah, iddah dan hadanah yang menjadi asuhan
pihak istri.
Kasus B: Cerai Gugat, Hak Ekonomi Istri Diluluskan di
Tingkat MA
Putusan Mahkamah Agung No. 328 K/Ag/2008, 17 September
2008 mengajukan pertimbangan sebagai berikut: “Bahwa sesuai
ketentuan Pasal 41 huruf (c) UUP jo. Pasal 159 KHI, meskipun gu-
gatan diajukan oleh pihak istri, akan tetapi tidak terbukti istri telah
melakukan nusyuz, maka Mahkamah Agung berpendapat Tergugat
(suami) harus dihukum membayar nafkah, maksan, dan kiswah
selama masa iddah kepada Penggugat, dengan alasan karena istri
menjalani iddah dan tujuan iddah adalah untuk istibra (berpikir
ulang) dan istibra tersebut menyangkut kepentingan suami”. Terkait
jumlah madhiyah (nafkah tertnunggak) dan biaya hadhanah,
ukurannya adalah memenuhi kebutuhan hidup minimal, nilai kepatut-
an dan keadilan, sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan hu-
kum Putusan MA No. 434 K/Ag/2002 25 Juni 2004 yang mem-
perbaiki jumlah nafkah tertunggak dari 250.000/bulan sebagaimana
putusan Mah. Syariyah menjadi Rp 500.000. Ukuran yang sama juga
ditetapkan untuk jenis tuntutan lainnya13.”
13 Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad at al (eds), Kumpulan Referensi Standar Evaluasi Ha-
kim Dalam Penerapan Sensitivitas Gender di Mahkamah Syar’iyah Aceh, Mahkamah Syar’iyah
Aceh, 2009.
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 32
33 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
“Setiap bulan kami menyidangkan perkara 250 perkara,
70% di antaranya perkara gugat cerai”.
Ibu Harijah Damis M. H.,
Wakil Ketua Peradilan Agama SulawesiSelatan
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 34
Bagian Tiga:
Kesimpulan dan Rekomendasi
I. Kesimpulan
Ingginya gugat cerai secara pasti menunjukkan peningkatan ke-
sadaran perempuan akan hak-haknya, termasuk hak atas statusTperkawinannya. Namun kesadaran perempuan akan haknya itu mem-
butuhkan dukungan hukum agar mekanisme putusan dapat mem-
berikan perlindungan menyeluruh, terutama hak ekonomi dan rasa
keadilan. Anak-anak yang diasuh oleh perempuan dalam situasi
miskin akan lebih buruk, terutama anak perempuan. Ini terbukti dari
studi Gender, Kemiskinan, dan Keadilan bahwa dalam keluarga
miskin, anak perempuan mengambil alih pekerjaan orangtuanya.
Bahkan dalam beberapa kasus menjadi korban inses ketika ibunya
bekerja jauh dari rumah.
Lebih buruk dari penelitian Stijn van Huis di Cianjur, bahkan
sejak di tingkat putusan, hak-hak istri yang terkait dengan tuntutan
ekonomi dari pihak istri pada kasus cerai talak apalagi cerai gugat
jarang dipenuhi. Pada kasus cerai talak maksimal yang disetujui ber-
nilai separuh atau kurang dari separuh, sementara untuk cerai gugat
secara rata-rata tak ada hak lain yang bisa dituntut istri kecuali
hadhanah.
19 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian35 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Di tingkat ekseskusi, putusan sulit untuk diketahui dan dilacak
bagaimana putusan itu dilaksanakan, dan peran Pengadilan Agama
pada dasarnya tidak sampai pada pengawasan putusan. Penelitian kami
menunjukkan bahwa di tingkat implementasi sangat sulit bagi perem-
puan untuk mendapatkan hak-haknya, bahkan untuk hak anak yang
seharusnya masih menjadi tanggung jawab suami.
Karena kelembagan Pengadilan Agama bersifat pasif, sulit bagi
mereka untuk pro-aktif mendorong perempuan untuk menuntut hak-
hak ekonomi mereka dan memastikan terjadinya eksekusi. Upaya ha-
kim dengan menunda ikrar talak sebagai cara untuk menuntut hak-hak
istri kepada pihak suami tidak dapat dijadikan mekanisme hukum
karena tidak ada kekuatan hukum yang dapat dijadikan landasan, bah-
kan bisa dianggap contempt of court.
Kami melihat kelembagaan yang ada di Peradilan Agama seperti
PUSBAKUM dapat ditingatkan perannya menjadi pendamping lan-
jutan bagi para pihak dalam kaitannya dengan pelaksanaan eksekusi.
Namun peran itu harus dikuatkan dengan keputusan MA tentang ke-
wenangan PUSBAKUM di luar pengadilan.
Kewenangan juru sita secara normatif merupakan kekuatan pe-
maksa yang legal untuk mengeksekusi hukuman. Namun selama ini,
peran mereka lebih terfokus pada soal perebutan harta warisan dan
atau gono-gini. Sangat jarang juru sita dilibatkan untuk memaksa pu-
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 20Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 36
tusan pengadilan terkait hak-hak ekonomi perempuan pasca perce-
raian, apalagi yang berjangka panjang. Oleh karena itu, harus ada pe-
nguatan kewenangan dan tugas juru sita manakala putusan tidak diin-
dahkan pihak mantan suami.
Kelembagaan lain yang bisa dilibatkan dengan mandat yang jelas
dari MA adalah lembaga-lembaga bantuan hukum, seperti LBH Apik
dan ICJ. Mereka cukup berpengalaman mendampingi perempuan
dalam gugat cerai atau cerai talak. Secara rata-rata mereka akui untuk
cerai talak ada hak yang dipenuhi meskipun hanya separuh. Namun di
pelaksanaannya eksekusi tak bisa dikontrol karena tak ada kekuatan
pemaksa lain setelah ikrar talak diucapkan.
Sejumlah hakim di PA Sulawesi Selatan menyatakan bahwa kesu-
litan bagi hakim adalah dalam kewenangan eksekusi. Untuk kasus
warisan, eksekusi bisa dilakukan dengan bantuan aparat dan kasus bisa
selesai dalam sekali tindakan. Namun untuk kasus cerai, terutama
terkait hak anak (hadhanah), Pengadilan Agama mengalami kesulitan
untuk mengawasinya karena berlangsung berpuluh tahun. Sita jaminan
dengan menahan ikrar talak tak dapat dilakukan karena tak ada
ketentuan hukumnya. Bahkan sebaliknya, penundaan ikrar talak itu
dapat membuat hakim dipersoalkan.
Namun, semua pendekatan ini masih merupakan diskresi hakim
yamg dibangun melalui penemuan hukum atau inisiatif hakim secara
ad hoc dan bukan ada payung hukum yang secara legal disahkan oleh
Undang-Undang. Penelitian ini memperlihatkan perlunya upaya hu-
kum lanjutan agar putusan dapat dieksekusi dan hak perempuan ter-
penuhi.
II. Rekomendasi
Rekomendasi 1
Meningkatkan kapasitas hakim dalam menginterpretasikan teks-
teks hukum yang sensitif gender dan meningkatkan kapasitas sistem
internal lembaga Peradilan Agama. Pihak utama yang menjalankan pe-
nguatan kapasitas ini adalah Badilag yang didukung oleh lembaga
peradilan dan lembaga terkait.
Rekomendasi program dan partner:
• Training penguatan kapasitas hakim dalam isu gender. Aktivitas ini
dapat dilaksanakan dengan melakukan penyusunan modul dan
rancangan belajar. Dalam jangka pendek, training dapat disam-
paikan secara ad hoc di wilayah terpilih. Dalam jangka panjang, mo-
dul dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum Diklat Mahkamah
37 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Agung atau training Calon Hakim. Modul dapat juga mengintegrasikan
konten-konten hukum keluarga dalam perspektif Islam dan gender
yang dikembangkan oleh ALIMAT.
Partner: Pengadilan Agama, Mahkamah Agung, dan jaringan NGO.
• Konsistensi dalam pengambilan keputusan dalam kasus-kasus
hukum keluarga, termasuk kasus perceraian. PERMA mengenai pan-
duan putusan telah diterbitkan. Upaya ini dapat ditunjang dengan
meningkatkan dukungan dari jaringan untuk memastikan konsisten-
si dari panduan putusan tersebut.
Partner: Pengadilan Agama, Mahkamah Agung, dan jaringan NGO.
• Penelitian ini mengindikasikan bahwa peran dari Pusat Bantuan
Hukum (Pusbakum) sangat signifikan dalam memberikan masukan
mengenai hak-hak perempuan dalam kasus gugat cerai. Masukan
yang menjerumuskan, misalnya, perempuan yang mengajukan gugat
cerai tidak dapat memperoleh hak-haknya karena dia dikatakan
nusyuz, menghalangi perempuan dalam mengajukan tuntutan di
depan persidangan. Program yang dapat memperketat seleksi petu-
gas Pusbakum dapat memastikan kualitas mereka.
Partner: Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung.
Rekomendasi 2
Kolaborasi lintas sektor dan perumusan kebijakan dan regulasi yang
mendorong terjadinya eksekusi pasca putusan. Dalam hal ini, Badilag
memegang peran kunci yang didukung oleh lembaga peradilan terkait.
Dalam tingkat pelaksanaan, terdapat PP No 10/1983 yang kemudian
diperbaharui menjadi PP No 45/1990 yang mengatur pernikahan dan
perceraian pegawai negeri sipil. Peraturan ini menetapkan bahwa 1/3
gaji dari PNS yang bercerai wajib diserahkan kepada mantan istri dan
1/3 lainnya diberikan untuk anak-anaknya. Namun, peraturan ini tidak
berlaku ketika perceraian diajukan oleh pihak perempuan (gugat cerai).
Rekomendasi program dan partner:
• Membangun diskusi lintas sektor dengan Kementerian Pendaya-
gunaan Aparatur Negara, Kementerian Agama, dan Mahkamah
Agung untuk menyusun PP yang serupa untuk seluruh karyawan,
bukan hanya PNS. Adanya PP ini berpotensi mendorong putusan
pengadilan lebih ditegakkan.
• Dalam jangka waktu panjang, adanya upaya untuk penyusunan hu-
kum prosedur yang spesifik membahas kasus-kasus perceraian.
• Meninjau kembali peran mediasi dalam kasus perceraian. Sebagian
besar pasangan yang datang ke pengadilan telah memutuskan untuk
berpisah. Dalam kasus ini, mediasi dapat lebih berfokus pada diskusi
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 38
39 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
pembagian harta gono-gini dan hak asuh anak. Indikator mediasi
tidak dinilai dari jumlahnya pasangan yang rujuk, tetapi dari jumlah
penggugat/pemohon yang puas dengan proses mediasi.
Rekomendasi 3
Meningkatkan peran civil society dalam mendorong pemenuhan
hak-hak perempuan pasca cerai.
Rekomendasi program dan partner:
• Civil society mengawal regulasi-regulasi daerah yang sudah dise-
pakati.
• Merumuskan dan menyosialisasikan good practice oleh hakim atau
institusi lain pasca cerai sehingga bisa menjadi regulasi.
• CSO dan lembaga-lembaga peradilan terkait bisa mendorong pe-
menuhan hak-hak perempuan dengan sistem jaminan kepada
suami atau negara.
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 40
Lampiran dan Referensi
41 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
Lampiran 1
Daftar Informan
No Nama Lembaga
1 Drs. H. Hasan Bisri,
S.H., M.H.
Ketua Pengadilan Tinggi
Agama Sulawesi Selatan
2 Drs. Moh. Yasya,
S.H.,M.H.
Ketua Pengadilan Agama
Makassar
3 Dra. Hj. Harijah Damis,
M.H.
Wakil Ketua Pengadilan
Agama Makassar
4 Dra. Hj. Murni Djuddin Hakim PA Makassar
5 Dra. Hj. Siti Aminah Hakim PA Makassar
6 Malik, M.H. Kepala Bagian Data PTA
Makassar
7 Aisyah Bagian Data PTA Makassar
8 La Heru Kepala Bidang
Kebencanaan Dinas Sosial
Makassar
9 Husaimah Husain Koordinator AIPJ Sulawesi
Selatan
10 Ruri Syailendrawati Asisten Koordinator AIPJ
Sulawesi Selatan
11 Rosmiati Sain Direktur LBH Apik
Makassar
12 Sri Wahyuningsih Direktur Institute of
Community Justice
13 Ibrahim Bando, S.H. Advokat dan Konsultan
Hukum
14 Syamsuddin Simmau Akademisi dan Dosen
Universitas Hasanuddin
Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 42
Referensi
Marcoes, Lies. 2014. Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan
Pemiskinan. Jogjakarta: INSIST.
Muhammad, Rusjdi Ali, SH (eds). 2009. Kumpulan Refernsi Standar
Evaluasi Hakim dalam Menerapkan Sensitivitas Gender di
Mahkamah Syar’iyah Aceh. Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh.
van Huis, S. J. 2010(1). “Rethinking the Implementation of Child
Support Decisions: Post-divorce Rights and Access to the Islamic
Court in Cianjur, Indonesia?”. Law, Social Justice & Global
Development Journal (LGD).
Wahid, Marzuki. 2014. Fiqih Indonesia: KHI dan Counter Legal Draft
KHI dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia. Bandung: ISIF &
Marka.
43 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian

More Related Content

Viewers also liked

PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘AsymāwīPEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
Episteme IAIN Tulungagung
 
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan PemiskinanMenolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Yayasan Rumah Kita Bersama
 
Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI
Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHIInpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI
Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI
tmbaitussalam junwangi
 
Surat Tuntutan Claim Kenderaan Insurans
Surat Tuntutan Claim Kenderaan InsuransSurat Tuntutan Claim Kenderaan Insurans
Surat Tuntutan Claim Kenderaan Insurans
Mat Yus
 
Surat permohonan dan permintaan
Surat permohonan dan permintaanSurat permohonan dan permintaan
Surat permohonan dan permintaan
blewly
 
207677667 pengetahuan-dasar-piping
207677667 pengetahuan-dasar-piping207677667 pengetahuan-dasar-piping
207677667 pengetahuan-dasar-piping
Nico Domli
 
Makalah talak
Makalah talakMakalah talak
Makalah talak
Septian Muna Barakati
 
KHI Buku I
KHI Buku  IKHI Buku  I

Viewers also liked (9)

PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘AsymāwīPEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
 
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan PemiskinanMenolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
 
Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI
Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHIInpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI
Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI
 
Surat Tuntutan Claim Kenderaan Insurans
Surat Tuntutan Claim Kenderaan InsuransSurat Tuntutan Claim Kenderaan Insurans
Surat Tuntutan Claim Kenderaan Insurans
 
Contoh surat rasmi.
Contoh surat rasmi.Contoh surat rasmi.
Contoh surat rasmi.
 
Surat permohonan dan permintaan
Surat permohonan dan permintaanSurat permohonan dan permintaan
Surat permohonan dan permintaan
 
207677667 pengetahuan-dasar-piping
207677667 pengetahuan-dasar-piping207677667 pengetahuan-dasar-piping
207677667 pengetahuan-dasar-piping
 
Makalah talak
Makalah talakMakalah talak
Makalah talak
 
KHI Buku I
KHI Buku  IKHI Buku  I
KHI Buku I
 

Similar to Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian

Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13
Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13
Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13
Afrizal Bob
 
2 Presentation Biru.pptx
2 Presentation Biru.pptx2 Presentation Biru.pptx
2 Presentation Biru.pptx
RicaSugandi
 
Psm
PsmPsm
Gender dan Pembangunan
Gender dan PembangunanGender dan Pembangunan
Gender dan Pembangunan
Irenty Helena
 
Bimtek Paralegal.pdf
Bimtek Paralegal.pdfBimtek Paralegal.pdf
Bimtek Paralegal.pdf
Irawan Setyabudi
 
ALMARIS 1.ppt
ALMARIS 1.pptALMARIS 1.ppt
ALMARIS 1.ppt
RicaSugandi
 
Modul 4 etikologial
Modul 4 etikologialModul 4 etikologial
Modul 4 etikologial
pjj_kemenkes
 
Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...
Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...
Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...
ECPAT Indonesia
 
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
pjj_kemenkes
 
ASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptx
ASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptxASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptx
ASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptx
SukriHakim1
 
ASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptx
ASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptxASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptx
ASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptx
DlacxNy
 
Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang Disab...
Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang  Disab...Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang  Disab...
Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang Disab...
Tasya Andiana Putri
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Operator Warnet Vast Raha
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Operator Warnet Vast Raha
 
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencanaKonsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Linda Meliati
 
Perlindungan perempuan 2
Perlindungan perempuan 2Perlindungan perempuan 2
Perlindungan perempuan 2
Afrizal Bob
 
PPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptx
PPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptxPPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptx
PPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptx
DediAura
 
Pengaruh 3
Pengaruh 3Pengaruh 3
Pengaruh 3
agungkris4
 

Similar to Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian (20)

Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13
Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13
Bahan perlindungan perempuan tgl 11 4-13
 
2 Presentation Biru.pptx
2 Presentation Biru.pptx2 Presentation Biru.pptx
2 Presentation Biru.pptx
 
Psm
PsmPsm
Psm
 
Gender dan Pembangunan
Gender dan PembangunanGender dan Pembangunan
Gender dan Pembangunan
 
Bimtek Paralegal.pdf
Bimtek Paralegal.pdfBimtek Paralegal.pdf
Bimtek Paralegal.pdf
 
ALMARIS 1.ppt
ALMARIS 1.pptALMARIS 1.ppt
ALMARIS 1.ppt
 
ppt.pptx
ppt.pptxppt.pptx
ppt.pptx
 
Modul 4 etikologial
Modul 4 etikologialModul 4 etikologial
Modul 4 etikologial
 
Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...
Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...
Menguji Euforia Kebiri. Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri bagi Pel...
 
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
 
ASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptx
ASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptxASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptx
ASPEK-ETIK-LEGAL-DALAM-PRAKTIK-KEPERAWATAN-2019-JF.pptx
 
ASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptx
ASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptxASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptx
ASPEK ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN.pptx
 
Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang Disab...
Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang  Disab...Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang  Disab...
Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang Disab...
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencanaKonsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
 
Kti tiwi
Kti tiwiKti tiwi
Kti tiwi
 
Perlindungan perempuan 2
Perlindungan perempuan 2Perlindungan perempuan 2
Perlindungan perempuan 2
 
PPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptx
PPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptxPPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptx
PPT Kelompok 3 advokasi (1) (1).pptx
 
Pengaruh 3
Pengaruh 3Pengaruh 3
Pengaruh 3
 

Recently uploaded

slip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contoh
slip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contohslip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contoh
slip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contoh
projecttomarss
 
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
pelestarikawasanwili
 
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdfPPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
adminguntur
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
pelestarikawasanwili
 
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfCERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
Zainul Ulum
 
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptxRapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
ApriyandiIyan1
 
Berita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdf
Berita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdfBerita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdf
Berita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdf
DenniPratama2
 
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakkRencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
DwiSuprianto2
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
MuhaiminMuha
 

Recently uploaded (9)

slip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contoh
slip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contohslip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contoh
slip gaji karyawan contoh slip gaji karyawan contoh
 
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
 
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdfPPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
 
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfCERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
 
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptxRapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
 
Berita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdf
Berita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdfBerita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdf
Berita Resmi Statistik materi-brs-2023-10-16.pdf
 
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakkRencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
 

Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian

  • 2. Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraianii
  • 3. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian iii
  • 4. Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraianiv
  • 5. Daftar isi v Daftar istilah vi BagianSatu: Latar belakang dan konteks Pendahuluan 03 Latar belakang penelitian 04 Tujuan penelitian 05 Penelitian terdahulu 06 Metodologi 10 BagianDua: Temuan Penelitian Prevalensi kasus perceraian di wilayah PA 14 Situasi umum putusan pengadilan terhadap hak ekonomi perempuan pasca percerain 22 Studi kasus dan analisis putusan 32 Good practice pemenuhan hak istri pasca perceraian 31 BagianTiga: Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 35 Rekomendasi 37 Lampiran 1 Referensi Daf t ar Isi Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian v 42 43
  • 6. Contempt of court : Ucapan atau perbuatan yang dapat menghilangkan kehormatan dan kewibawaan lembagaperadilan Ceraigugat : Gugatan cerai yang diajukan oleh istri kepada suami Ceraitalak : Gugatan cerai yang diajukan oleh suami kepada istri Duplik : Jawaban tergugat atas replik, meneguhkanjawaban Ex aequo et bono : Kewenangan hakim dalam mengembangkan putusan demi mewujudkan rasakeadilan Ex officio : Kewenangan hakim atas jabatannya untuk menciptakan keadilan FIK-KSM : Forum Informasi Komunikasi Kelompok Swadaya Masyarakat Hadhanah : Hak pengasuhan anak HWDI : Himpunan Wanita DisabilitasIndonesia ICJ : Institute of CommunityJustice Iddah : Nafkah wajib yang diberikan oleh suami kepada istri selama 3 bulan pascaperceraian Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraianvi
  • 7. Iwadh : Harta yang diambil oleh suami dari istri pasca perceraian Khulu’ : Permintaan tebusan karena perceraian diajukanistri LBH Apik : Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Mut’ah : Uang penghibur dari suami kepada istri atasperceraian Nusyuz : Pembangkangan PEKKA : Pemberdayaan Perempuan KepalaKeluarga Replik : Jawaban penggugat balik terhadap jawaban penggugat, mematahkan alasan WCC : Women’s CrisisCenter Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian vii Daftar Istilah
  • 8. 01 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 9. Bagian Satu: LatarBelakangdanKonteks Pertahanan perempuan dalam melawan kemiskinan membutuhkan dukungan formal. Perubahan ke arah perbaikan sistem dan produk hukum yang dijiwai keadilan gender penting diusahakan agar gelombang kesadaran perempuan atas hak-hak mereka memiliki pijakan hukum. Lies Marcoes, Menolak Tumbang, hal. 272 Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 02
  • 10. ni adalah hasil penelitian kualitatif tentang hak ekonomiperempu- an pasca perceraian, utamanya dalam cerai gugat di wilayah hukum IPengadilan Agama (PA) Sulawesi Selatan dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA)Makassar. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari penelitian tentang Gender, Kemiskinan, dan Keadilan yang dipublikasikan dalam bentuk buku Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan1. Dalam area kerja AIPJ, penelitian ini merupakan bagian dari “penguat- an hak-hak hukum dan keadilan bagi perempuan miskin”. Penelitian Gender, Kemiskinan, dan Keadilan menyimpulkan ba- hwa pemiskinan terkait erat dengan kekerasan terhadap hak-hak dasar manusia yang seharusnya dilindungi hukum. Pertanyaannya adalah, apakah sistem hukum dapat diandalkan untuk menopang ketahanan perempuan dalam menolak dan melawan pemiskinan2”? 1 Lies Marcoes. Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan, INSIST, 2014. 2 Ibid, hal.268. 03 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian I. Pendahuluan Sebagaimana tergambar dalam tren di tingkat nasional, praktik perceraian merupakan peristiwa hukum yang paling banyak dita- ngani PA Sulawesi Selatan dan PTA Makassar dibandingkan peristi-
  • 11. wa hukum lainnya. Sejalan dengan itu, mitra-mitra AIPJ Sulawesi Se- latan, terutama LBH APIK, ICJ, dan Pengadilan Agama, seringkali mendapatkan pengaduan soal pelaksanaan hak-hak ekonomi perem- puan pasca perceraian, utamanya untuk kasus gugat cerai. Karenanya, penelitian ini pada dasarnya merupakan policy research untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terbangunnya me- kanisme-mekanisme hukum formal dan non-formal yang dapat men- dorong pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak ekonomi perem- puan pasca cerai. II. Latar belakang penelitian Status perkawinan perempuan sangat berpengaruh pada kemiskinan. Dalam stuktur masyarakat yang memberi tempat lebih utama dan ter- buka kepada lelaki, kemiskinan perempuan merupakan penanda paling akurat atas kondisi kemiskinan masyarakat. Dengan peran gendernya sebagai anak perempuan, istri atau ibu di keluarga, rumah tangga, dan masyarakat, perempuan terhubung langsung dengan ekonomi. Ketika lajang, mereka bekerja dengan upah yang bisa sama atau le- bih rendah dari lelaki. Namun, sudah pasti hasil yang didapat selalu di- bagi dengan keluarga orangtuanya. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 04
  • 12. Ketika bersuami, secara umum mereka diasumsikan sebagai pen- cari nafkah tambahan dan atau dianggap mendapatkan nafkah dari su- aminya, tak peduli bahwa secara de facto mereka merupakan tulang punggung keluarga. Apalagi ketika menjanda, beban tanggung jawab anak-anak secara de facto seringkali ditanggung oleh mereka. Banyak perempuan masuk ke dalam pasar tenaga kerja namun ha- nya menempati posisi-posisi kurang strategis akibat latar belakang pendidikan, pengalaman, dan beban kerja mereka di rumah tangga. Karenanya, mereka kerap lebih dulu tergusur tatkala terjadi guncangan ekonomi dan pengurangan tenaga kerja dan masuk ke sektor–sektor informal. Jasa keuangan yang secara normatif bersifat netral gender pada kenyataanya sulit diakses perempuan terutama jika berstatus jan- da3. Hampir pasti perceraian mengurangi sumber ekonomi perempuan atau anak-anak. Dengan tidak adanya tanggung jawab dari mantan suami, perceraian seringkali menjadi perangkap bagi perempuan ma- suk ke dalam kurungan kemiskinan. Pilihan tema ini merupakan hasil diskusi mitra AIPJ untuk program yang secara umum merupakan salah satu mandat AIPJ, yaitu gender, pemberdayaan perempuan, dan disabilitas. Diskusi AIPJ Sulsel akhir tahun 2014 dengan FIK-KSM, LBH Apik, ICJ, HWDI, dan staf AIPJ Sulsel merekomendasikan untuk melakukan studi pendalaman atas tema ini. II.1 Tujuan Penelitian Studi ini mengidentifikasi peluang-peluang bagi perempuan untuk mendapatkan hak ekonominya pasca putusan perceraian serta mem- berikan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat perlindungan hak-hak ekonomi perempuan pasca cerai berdasarkan analisis terhadap ketetapan dan praktik yang berlaku saat ini. Analisis ini mencakupi: • Data makro kasus perceraian, dengan melihat perbandingan data ce- rai gugat, cerai talak, dan perkara hukum lain yang terkait dengan hak ekonomi perempuan secara nasional dan di wilayah Sulawesi Selatan. • Mendalami kajian putusan tentang penetapan pemenuhan hak-hak istri pasca perceraian, baik dalam cerai talak maupun cerai gugat dan logika hukum yang mendasarinya. • Mengidentifikasi elemen-elemen kelembagaan yang memungkinkan terlaksananya eksekusi hasil putusan pengadilan. • Mengidentifikasi peran-peran kelembagaan seperti Pengadilan Aga- ma dalam mengontrol/mengawasi putusan dan menerapkan sita ja- minan atau strategi “paksaan” yang sesuai dengan mekanisme hu- kum. 3 Menolak Tumbang,ibid. 05 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 13. • Mempelajari good practice baik di wilayah penelitian ini atau di wilayah lain dalam kaitannya dengan proses perceraian dan per- lindungan hak-hak ekonomi perempuan, serta mengidentifikasi ele- men-elemen kelembagaan untuk pelaksanaan eksekusi. II.2 Penelitian terdahulu Studi Stijn van Huis4 tentang perceraian di Cianjur berangkat dari pengamatannya tentang studi-studi lembaga Peradilan Agama di Indo- nesia yang umumnya menghasilkan pandangan positif tentang fungsi Peradilan Agama dalam memberikan perlindungan hukum. Kesimpu- lan itu bersifat terbatas karena ditarik dari kajian tentang teks putusan pengadilan tanpa menghubungkan dengan pelaksanaannya di lapang- an. Van Huis menyimpulkan bahwa kajian serupa itu kurang bisa membuktikan terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak pasca per- ceraian. Menurutnya, terkait hak-hak itu, kajian tentang lembaga Per- adilan (Agama) sering jatuh pada kesimpulan yang rata-rata sama, yaitu; tunjangan istri dan anak merupakan hak yang dapat melindungi perempuan dan anak-anaknya; perempuan perlu memiliki akses ke proses pengadilan yang layak; dan putusan pengadilan memiliki keku- atan pemaksa yang dapat memastikan putusan pengadilan dapat diek- sekusi. Namun, di tingkat pelaksanaannya, ketiganya tidak terbukti. Studi yang dilakukan sendiri oleh para hakim di lingkungan Mahka- mah Syar’iyah Aceh membenarkan temuan van Huis. Mereka me- nyatakan bahwa upaya hakim untuk memberikan perlindungan itu mereka lakukan dengan segala cara termasuk memanfaatkan kewe- nangan melakukan ex aequo et bono, yaitu mengembangkan putusan demi mengejawantahkan rasa keadilan itu. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari dokumen perkara-perkara yang mereka putus di sejumlah kantor Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Namun, mereka tak dapat me- mastikan bahwa putusan itu benar-benar dieksekusi, apalagi untuk tuntutan yang berjangka waktu panjang, seperti pemberian hadhanah pasca perceraian. Mereka merasa kewajibannya sebagai hakim telah selesai begitu ikrar talak dibacakan dengan asumsi secara normatif hak-hak istri dan anak telah disetujui untuk dilaksanakan pihak suami5. Pada kenyataanya, sebagaimana dijumpai dalam penelitian van Huis, pemenuhan hak pasca perceraian itu jauh lebih kompleks. Ia mengajukan dua argumen yang menyatakan bahwa temuan tentang keutamaan berperkara di PA itu memerlukan penelitian lanjutan. Pertama, hubungan kausal antara akses pada Pengadilan Agama bagi janda cerai dan perlindungan bagi mereka melalui pemenuhan hak itu Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 06 4 van Huis, S. J., “Rethinking the Implementation of Child Support Decisions: Post- divorce Rights and Access to the Islamic Court in Cianjur, Indonesia?, 2010(1) Law, Social Justice & Global Development Journal (LGD). 5 Rusjdi Ali Muhammad,SH. (eds) Kumpulan Refernsi StandarEvaluasi Hakim dalam Mene- rapkan Sensitivitas Gender di Mahkamah Syar’iyahAceh, MahkamahSyar’iyahAceh, Banda Aceh, 2009.
  • 14. 6 Informasi diperoleh melalui korespondensi dengan PO Rifka Annisa, Haerony, 5 Maret 2015. 07 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian tidak terbukti. Kedua, agar dapat memahami apakah janda cerai mengalami ketidakadilan, dapat dipelajari cara-cara mereka meng- upayakan ganti rugi dan cara mereka mengakses keadilan di luar jalur hukum formal. Dan untuk itu, van Huis merekomendasikan perlunya penelitian empiris (sosio-legal) yang melihat tindak lanjut putusan. Studi WCC Rifka Annisa mengenai Putusan PA di Jakarta Timur, PA Wonosari Yogya, PA Kota Makasar, PA Maros, dan MSy Banda Aceh tahun 2010 menunjukkan bahwa bahkan dalam amar putusan pun hak ekonomi perempuan dalam gugat cerai nyaris tidak ada. Dari 150 perkara yang mereka periksa, hanya 1 yang secara eksplisit men- cantumkan tuntutan ekonomi perempuan dalam gugat cerai mereka6. Berdasarkan temuan Rifka Annisa dan van Huis, serta pengalaman langsung para hakim di Mahkamah Syar’iyah Aceh, studi ini berasum- si bahwa karena kekuasaan lembaga peradilan seperti PA/Mahkamah Syar’iyah dan lembaga-lembaga formal yang ada di dalamnya memi- liki keterbatasan jangkauan dalam melakukan eksekusi putusan, maka seharusnya ada kelembagaan dan kebijakan lain yang dapat memas- tikan hak-hak perempuan pasca perceraian dapat terpenuhi.
  • 15. Box I: Pengertian cerai gugat dan cerai talak Salah satu alasan lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1/74 adalah rendahnya perlindungan hukum kepada perempuan terkait status perkawinannya. Dalam UU itu juga terdapat kepastian hukum tentang perceraian. Selain menegaskan keharusan pembacaan ikrar talak di depan pengadilan, undang-undang juga menjamin hak-hak perempuan dalam dan pasca perceraian. Pengaturan perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UUP No. 1/74 tentang Perkawinan serta Peraturan Pemerintah No. 9/75 tentang Pelaksanaan UUP No. 1/74. Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas ke- putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan melalui proses mediasi namun tidak berhasil. Terkait siapa yang berhak menceraikan, secara normatif, sebagai- mana fiqh tradisional, hak talak ada pada lelaki. Namun, UUP mem- beri hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan gugat- Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 08
  • 16. an perceraian, baik secara langsung atau melalui kuasanya di daerah hukum tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975). Undang-Undang no 1/74 tentang perkawinan Jo UU no 7/89 tentang Peradilan Agama juga mengatur masalah perceraian. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut ditegaskan bahwa hak untuk cerai dibe-rikan kepada suami atau istri. Perbedaan terletak pada mekanisme yurisprudensinya. Bilamana talak diajukan pihak perempuan, maka pe-rempuan harus memohon kepada lembaga peradilan menjadi para pi-hak yang menjatuhkan talak. Sebaliknya, jika talak diajukan pihak lelaki, ikrar talak diucapkan langsung oleh pihak suami karena secara fikih hak talak ada pada suami. Lembaga peradilan berfungsi sebagai pencatat legalitas perceraian. Namun di luar UUP, hak untuk cerai juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam7. Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, per- ceraian diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku ber- dasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam KHI, istilah cerai gugat ternyata berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP 1/74 dan PP 9/1975 disebutkan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh baik suami atau istri, dalam KHI gugatan cerai hanya diajukan oleh istri sebagaimana tertera dalam Pasal 132 ayat (1) KHI: “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.” Frasa “istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami” dalam bahasa yurisprudensi Islam seringkali dimaknai sebgai tindakan nusyuz (pembangkangan). Di pengadilan, frasa ini menjadi pasal karet yang menghukum secara pukul rata kepada perempuan yang melakukan gugat cerai sebagai perbuatan nusyuz—apapun latar belakang penyebab istri mengajukan gugatan. Dengan definisi itu, seringkali perempuan yang menggugat cerai secara otomatis tak melakukan tuntutan lainnya selain cerai. Alasan gugat cerai umumnya karena istri sudah tak sanggup men- jalani rumah tangga dengan berbagai alasan, seperti tidak mendapat- kan nafkah, terjadi percekcokan yang terus menerus, suami selingkuh/ menikah secara sirri, dan meninggalkan rumah tangga tanpa kabar. Alasan-alasan itu pada dasarnya dibenarkan sebagai landasan bercerai sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Misalnya, penjelasan UUP 1/74 pasal 39 huruf F dan dalam KHI pasal 116 huruf F tentang alasan perceraian8. 7 8 Marzuki Wahid, Fiqih Indonesia: KHI dan Counter Legal Draft KHI dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, ISIF & Marka, Bandung 2014. Rusjdi Ali Muhammad, SH (eds) ibid. 09 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 17. Apapun bentuk perceraian dan penyebabnya, pasal 115 KHI me- ngatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dengan demikian, gu- gat cerai adalah mekanisme legal yang paling optimal yang dapat di- lakukan pihak istri untuk mendapatkan hak-hak ekonominya. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 10 III. Metodologi Studi kualitatif ini mendasarkan pilihan kasusnya pada studi lite- ratur dan data kuantitatif. Literatur utama yang digunakan adalah hasil penelitian van Huis di Cianjur9 yang memiliki karak-teristik serupa dengan di Makassar; bahwa putusan pengadilan terkesan sudah memberikan perlindungan ekonomi secara hukum pada pe- rempuan meski pada proses eksekusinya perlindungan tersebut tidak terjadi. Sejalan dengan rekomendasi penelitian tersebut, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan sosio-legal untuk memberikan rekomendasi kebijakan terkait hak ekonomi perempuan pasca cerai. Data-data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam semi-struktur dengan sejumlah pihak. Untuk lingkup lembaga per- adilan, kedinasan, dan LSM, kami mewawancarai 14 orang informan yang memberikan data-data penting terkait hak ekonomi perem- puan pasca cerai (lihat Lampiran 1). Di Pengadilan Agama Sula- wesi Selatan, informan utama kami adalah Ibu Dra. Hj. Harijah Damis, M.H. (Wakil Ketua PA). Ibu Harijah tak hanya menyediakan dokumen putusan dan memberikan penjelasan lanjutan atas studi kasus, tetapi juga menghubungkan dengan pencari keadilan yang ia tangani dalam cerai talak, dan memberikan umpan balik dari hasil temuan yang dipresentasikan di AIPJ Makassar. Kami juga menganalisis 8 dokumen putusan Sidang Pengadilan yang diperoleh dari Kantor Pengadilan Agama Sulawesi Selatan yang meliputi 6 dokumen kasus Cerai Talak dan 2 dokumen kasus Cerai Gugat. Untuk pendalaman studi kasus, diperoleh 3 kasus perempuan yang sedang berperkara di pengadilan. Wawancara dan pendalaman dilakukan dengan 1 orang perempuan yang berperkara, sejumlah ka- langan, baik praktisi hukum, akademisi yang secara langsung mela- kukan studi, aktivis pendamping hukum, dan peneliti tentang janda dan survival strategy mereka pasca perceraian. Terkait dengan isu makro, wawancara dilakukan dengan Ibu Nursyahbani Katjasung- kana dan Bapak Wahyu Widiana, konsultan AIPJ, serta sejumlah hakim dari berbagai daerah yang sedang melakukan studi serupa. 9 Van Huis, S.J., ibid.
  • 18. Untuk data kuantitatif, sumber utama kami adalah data dari Badilag yang diolah atas bantuan Ahmad Cholil dari Pengadilan Agama Bekasi serta data-data yang diperoleh dari media. Data lainnya diper- oleh dari Prof. Mark Cammack, terutama untuk data 10 tahun terakhir gugat cerai secara nasional. Untuk data kuantitatif di Sulawesi Selatan, data diperoleh dari Pengadilan Agama Sulawesi Selatan dan PTA Makassar. Sementara data kemiskinan diperoleh dari survei PEKKA dan TNP2K. Data-data kuantitatif tersebut menunjukkan kecenderung- an untuk wilayah Makassar dan Sulawesi Selatan, angka perceraian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan adanya korelasi antara perceraian dengan pemiskinan terhadap perempuan. Temuan penelitian dikelola dengan prinsip triangulasi sumber in- formasi dengan melakukan silang informasi kepada para pihak. Selain itu, dilakukan observasi di persidangan dan penelusuran kasus untuk pendalaman. 11 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 19. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 12
  • 20. “Kalau rumah tangga rukun tentram tak akan ada pe- rempuan yang mau cerai. Tapi kalau tak bisa diperatah- kan, malah kita menderita mau bagaimana lagi. Untung kami bisa gugat, kalau tidak, dia yang mati atau saya yang bunuh diri.“ Fitrah, 24 tahun, Makassar Bagian Dua: Temuan Penelitian 13 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 21. I. Prevalensi kasus perceraian di Makassar Box II: Kerangka hukum perceraian di wilayah peradilan agama Secara normatif, hak ekonomi perempuan cerai telah dijamin dalam UU Perkawinan dan KHI. Hak itu meliputi: • Pelunasan mas kawin jika belum dibayar tunai • Penggantian nafkah di masa lampau yang belum dibayarkan • Nafkah iddah 3 bulan • Uang mut’ah (penghiburan dari suami atas perce-raiannya) sejumlah yang disepakati • Hak pemeliharaan anak sampai usia dewasa • Semua hak-hak ini secara normatif merupakan hak istri dan anak yang harus dipenuhi suaminya kecuali jika terbukti istri melakukan nusyuz (pembangkangan) Sejumlah studi tentang kemiskinan telah melihat proses-proses kemiskinan yang terhubung dengan status perkawinan mereka. Survey Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) PEKKA menunjukkan signifikasi data statistik yang ber- Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 14
  • 22. bicara bahwa status pernikahan memiliki korelasi erat dengan tingkat kesejahteraan sebuah keluarga. Seperti yang tertera pada Figur 1, 40% perempuan dengan status bercerai berada di 20% keluarga termiskin yang disurvey. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, proposinya bahkan lebih tinggi, yaitu sekitar 47% dari 102 perempuan yang bercerai ter- masuk ke dalam kelompok 20% termiskin, dibandingkan perempuan menikah dari kelompok sama hanya sebesar 10%. 12% 19% 22% 23% 24% 40% 27% 15% 10% 7% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 1 2 3 4 5 Kuintil kemiskinan (1= 20 persen termiskin, 5= 20 percent terkaya) Married and living together Divorced Figur 1: Data (SPKBK) PEKKA 15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 23. Hampir dipastikan, melalui perceraian perempuan dalam sebuah rumah tangga mengalami goncangan ekonomi dan psikologis. Ini karena status janda bukanlah “jabatan” yang mendapat tempat di ma- syarakat, bahkan sebaliknya, menurunkan status sosial mereka. Buku Menolak Tumbang, yang mendokumentasikan narasi pengalaman pe- rempuan berhadapan dengan kemiskinan di delapan provinsi, men- catat hubungan antara diskriminasi berbasis gender, pelanggaran hu- kum, pelanggaran HAM, dan pemiskinan. Kisah-kisah itu juga me- negaskan bahwa pemiskinan perempuan tak bisa dipahami hanya me- lalui statistik kemiskinan atau pendekatan ekonomi secara tunggal. Lembaga peradilan diharapkan dapat diandalkan perempuan untuk menjamin hak ekonominya meski tak dapat memperbaiki status sosial- nya sebagai janda di mata umum. Namun setidaknya, status janda yang diperoleh melalui proses pengadilan dapat memberikan kepastian hu- kum dan membantu mereka menuntut hak-hak ekonomi dan hak-hak lainnya. Karenanya, persidangan di pengadilan, termasuk Pengadilan Agama merupakan arena yang dapat diandalkan untuk mencapai rasa keadilan, termasuk hak-hak ekonomi perempuan sebagai janda. Menurut data dari Departemen Agama, setiap tahun ada 2 juta per- kawinan dan dari jumlah itu sepuluh persennya bubar. Itu hanya data resmi yang ada di Peradilan Agama, sementara perceraian lainnya yang tak dicatatkan bisa lebih banyak jumlahnya. Cerai gaib (suami pergi tanpa kabar selama bertahun-tahun) adalah fenomena umum dan menyebabkan status perkawinan perempuan menggantung mengikuti hak-hak ekonominya. Apalagi bagi perempuan yang kawin tanpa dicatatkan, pada mereka tuntutan untuk mendapatkan hak-haknya tak mungkin diperoleh secara legal di pengadilan. Demikian halnya jika cerai yang dilakukan dengan cara-cara ilegal, seperti lewat SMS atau melalui perantara perangkat desa tanpa ikrar talak di depan pengadil- an. Jumlah kejadian serupa itu tak dapat direkam jumlahnya. “Setiap bulan kami menyidangkan perkara 250 perkara, 70% di antaranya perkara gugat cerai”. Pernyataan ini disampaikan Ibu Harijah Damis M. H., Wakil Ketua Pengadilan Agama Sulawesi Selatan, yang dibenarkan oleh Ketua Pengadilan Agama Sulawesi Selatan, Ba- pak Moh. Yasya M. H. Pernyataan ini sejalan belaka dengan data kuan- titatif baik secara nasional maupun di wilayah Sulawesi Selatan. Pada kenyataannya, dari tahun ke tahun jumlah perkara perceraian yang diputus di kantor-kantor Pengadilan Agama di seluruh Indonesia terus naik, tak terkecuali di PA Sulawesi Selatan. Di antara perkara yang ditangani PA di seluruh Indonesia, angka perceraian yang diaju- kan pihak perempuan atau biasa disebut “gugat cerai” berjumah lebih tinggi daripada angka cerai talak yang diajukan pihak laki-laki. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 16
  • 24. Figur 2: Angka Perkara yang Ditangani PA dalam Lima Tahun Terakhir (2009-2014) Figur 3: Presentase perkara cerai dari perkara masuk dan presentase perkara cerai gugat dari perkara cerai yang masuk di PA tahun 2009-2014 (dalam %) Badilag, 2014 Badilag, 2014 17 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 25. Sebagaimana tergambar dalam statistik di atas, dalam lima tahun terakhir (2009–2014), secara kumulatif perceraian merupakan perkara paling banyak ditangani PA di seluruh Indonesia meskipun terdapat kecenderungan menurun; 91% di tahun 2009, menjadi 84% di tahun 2014. Dari perkara cerai itu, angka cerai gugat yang diajukan perem- puan jauh lebih banyak dibandingkan cerai talak dengan kecenderung- an meningkat; dari 66% di tahun 2009, naik menjadi 70% di tahun 2014. Data gugat cerai dalam periode lebih panjang (10 tahun) di- kumpulkan Prof. Marck Kammack10 menunjukkan indikasi kenaikan itu dari 56,2% di tahun 2000 menjadi 68,9% di tahun 2011. Data serupa dikemukakan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan Kementerian Agama, Anwar Saadi, Jumat (ROL Republika, 14/11/14) yang menyatakan dalam lima tahun terakhir kira-kira 10% dari per- kawinan pada tiap tahunnya berakhir dengan perceraian. Figur 4: Perbandingan Angka Pernikahan dan Perceraian dalam Lima Tahun (2009- 2013) Figur 4 di atas memperlihatkan bahwa jumlah permohonan cerai cenderung meningkat, dari 216.286 di tahun 2009 menjadi 324.527 di tahun 2013, meskipun angka perkawinan hanya mengalami kenaikan sedikit dari 2.162.268 268 di tahun 2009 menjadi 2.218.130. Figur 5: Perkara yang Disidangkan di PTA Makasar (2010- 2014) 10 Marck Cammack mengolah sendiri datanya berdasarkan data dari web Badilag. Data lain diperoleh dari Badilag atas bantuan Bapak Abdul Cholil (Choliluna) staf peneliti di Badilag. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 18
  • 26. 19 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian 10650 12465 14246 15539 18581 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 2010 2011 2012 2013 2014 Perkara yang disidangkan Perkara yang disidangkan Dalam data tahun 2010-2014, Pengadilan Tinggi Agama Makassar menangani jumlah perkara tertinggi di luar Jawa atau tertinggi ke-4 di Seluruh PTA di Indonesia setelah Surabaya, Semarang, dan Bandung. Perkara yang diterima dari tahun ke tahun mengalami kenaikan stabil dari 10.650 pada tahun 2010 menjadi 18.851 di tahun 2014. Jika menggunakan asumsi bahwa perkara perceraian sekitar 90% dari perkara yang masuk, maka perkara perceraian yang ditangani PTA
  • 27. Makassar pada tahun 2014 adalah 17.000 perkara, dan dari jumlah itu bisa diperkirakan 70%-nya adalah gugat cerai atau sekitar 14.000 perkara. Di Pengadilan Agama Makassar, perkara gugat cerai juga men- dominasi perkara yang masuk ke Pengadilan Agama dengan sebab yang macam-macam. Namun, alasan paling umum adalah penelan- taran dan kekerasan dalam rumah tangga. Atas data itu, kita bersetuju dengan temuan penelitian van Huis bahwa Pengadilan Agama telah berhasil memberikan kepastian hukum kepada perempuan pencari keadilan melalui mekanisme gugat cerai. Sejalan dengan kecenderungan di tingkat nasional, laporan per- kara yang diputus oleh 24 kantor PA di seluruh Sulawesi Selatan pada tahun 2014 memperlihatkan tingginya perkara perceraian dibanding- kan dengan perkara-perkara lainnya. Perceraian yang diajukan pihak istri (gugat cerai) merupakan perkara paling tinggi dari keseluruhan perkara yang diputus. Tabel 1: Data Kumulatif dari Perkara Perceraian dan Jenisnya di Pengadilan Agama Sulawesi Selatan Tahun 2014 Badilag, 2014 Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 20
  • 28. 21 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian Tabel 2: Data Perkara yang Masuk Dibandingkan Perkara Cerai dan Cerai Gugat di PTA Makassar dalam 5 Tahun Terakhir (2010-2014) Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa meskipun perkara cerai dalam lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun, dari 84% atas perkara yang masuk di tahun 2010, menjadi 70% atas perkara yang masuk di tahun 2014, namun gugat data cerai menun- jukkan hal yang sebaliknya, dari 73% di tahun 2010 menjadi 77% di ta- hun 2014 atas perkara yang masuk. Sebagaimana dikutip Syamuddin Simmau (2013), data resmi per- kara perceraian di Pengadilan Agama Makassar tahun 2011 berdasar- kan data Pusat Bantuan Hukum (PUSBAKUM) menunjukkan bahwa perkara gugat cerai sisa tahun 2010 sebanyak 147 perkara, dan 127 kasus untuk cerai talak. Data ini bisa menggambarkan bahwa tingkat kesulitan untuk memutus perkara cerai talak jauh lebih berat dan bertele-tele dibandingkan dengan perkara cerai gugat. Para hakim umumnya menganggap bahwa jika istri telah mengajukan cerai gugat maka pada dasarnya mereka hanya tinggal mengetok palu untuk me- ngesahkan perceraian karena secara de facto perceraian telah terjadi. Tahun Perkara Masuk Perkara Cerai Cerai Gugat Cerai Talak 2010 10.650 8.908 (84%) 6.497 (73%) 2.411 (27%) 2011 12.465 10.327 (83%) 7.666 (74%) 2.661 (26%) 2012 14.246 11.739 (82%) 8.762 (75%) 2.977 (25%) 2013 15.539 12.328 (79%) 9.286 (75%) 3.042 (25%) 2014 18.581 13.034 (70%) 10.003 (77%) 3.031 (23%) Nama Kantor PA/Daerah Gugat Cerai Cerai Talak PA Makassar 1.170 447 PA Watampone 911 231 PA Sengkang 798 312 PA Pinrang 594 140 PA Palopo 307 127 Sumber diolah dari data tahunan perkara di PTA Makassar, 2014 Sumber: Badilag, 2014
  • 29. II. Situasi umum putusan pengadilan terhadap hak ekonomi perempuan pasca perceraian Jika mengacu pada pasal 38 UUP 1/74, suami atau istri pada dasarnya berhak menggugat cerai. Konsekuensinya, sebagaimana suami, istri juga mendapatkan hak-haknya sebagai mantan istri. Namun, gagasan yang lumayan mendudukkan suami-istri itu secara setara dalam per- ceraian ini nampaknya tidak sama dengan ketentuan yang tercantum dalam KHI pasal 132 tentang frasa “istri meninggalkan kediaman tanpa izin suami” yang dimaknai sebagai nusyuz. Padahal nusyuz bagi hakim adalah “semacam tendangan pinalti yang menghukum istri ke- hilangan hak-haknya, bahkan hak untuk asuhan anak.”11 Padahal dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang ke- kuasaan Peradilan Agama, istri juga berhak untuk mengajukan gu- gatan komulasi, yaitu mengajukan gugatan perceraian sekaligus me- mohon penguasaan atas asuhan anak, mendapatkan nafkah anak, 11 Istilah “tendangan pinalti” disampaikan oleh Pak Soufyan Saleh, ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh ketika menunjukkan perbedaan hakim yang telah mendaatkan pelatihan gender dan yang belum. Menurutnya, sebelum pelatihan hakim dengan serta merta memberikan “tendangan finalti” kepada istri yang menggugat ceraia sebagai perbuatan nusyuz. Setelah pelatihan mereka berusaha mencari tahu asal usul dan penyebab gugatan cerai. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 22
  • 30. 15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian nafkah istri, dan harta bersama—gono gini. Secara teknis, hak-hak itu dapat diajukan bersamaan dengan gugatan cerai atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian juga suami dapat mengajukan permohonan talak seka- ligus dengan permohonan lainnya (komulasi). Misalnya, penguasaan anak dan pembagian harta bersama. Tuntutannya dapat diajukan ber- sama ketika mengajukan cerai talak atau setelah pelaksanaan ikrar talak suami kepada istri. Namun pada kenyataanya, gugatan komulasi hanya biasa ditemui dalam perkara cerai talak dan bukan cerai gugat. Alasannya sangat sederhana; karena cerai gugat biasanya dilakukan tatkala suami telah pergi (cerai gaib), atau tak ada harta yang ditinggalkan, dan pihak perempuan umumnya memang hanya menuntut cerai. Satu-satunya hal yang diperebutkan biasanya terkait pengasuhan anak. Dalam hal perceraian, di mana permohonan cerai talak diajukan suami kepada istri, pasal 149 dan pasal 158 KHI mewajibkan suami untuk memberi mut’ah yang layak kepada bekas istri, nafkah masa lampau yang belum dibayar, pakaian dan uang kebutuhan makan selama dalam masa iddah, melunasi mahar jika masih terhutang, dan biaya hadhanah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun. 23 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 31. 15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian Masalahnya, dalam peristiwa hukum cerai gugat, undang-undang maupun KHI tidak mengatur hak-hak istri seperti yang diatur pasal 149 dan 158 KHI bilamana yang menceraikan adalah pihak suami. Dengan pertimbangan bahwa yang dituntut oleh istri adalah cerai, para hakim umumnya juga tidak membebankan kewajiban kepada suami atas hal-hal yang menjadi hak istri, seperti mut’ah, iddah, dan nafkah lampau. Tentu saja, ada sejumlah pengecualian di mana cerai gugat meng- hasilkan putusan yang memberikan hak-haknya kepada istri sebagai- mana dalam peristiwa cerai talak. Dan itu bisa terjadi karena hakim melakukan perannya sebaga penafsir atas peristiwa perceraian yang menyebabkan istri menggugat cerai (lihat studi kasus dari Aceh). Sebagai bahan analisis, pada bagian ini disajikan beberapa kasus, baik gugat cerai atau cerai talak dengan menekankan pada keragaman isu dalam aspek tuntutan ekonominya dan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Kami juga melacak pelaksanaan putusan itu dari satu kasus cerai talak untuk mengetahui sejauh mana putusan itu diek- sekusi. Untuk perbandingan, di sini juga disajikan satu kasus yang dia- mbil dari Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam cerai gugat yang tun- tutanya berubah menjadi perkara fasakh (tuntutan tebusan dari sang Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 24
  • 32. suami). Kasus ini dipilih untuk memperlihatkan betapa besar kewe- nangan hakim sebagai ex officio dalam menafsir hukum yang bisa menjadi terobosan untuk memenuhi rasa keadilan. Beberapa terobosan yang dilakukan MA juga disertakan di sini sebagai pembelajaran terbaik (best practice) dalam upaya memberikan perlindungan kepada perem- puan12. II.1 Studi kasus dan analisis putusan Kasus I: Cerai Gugat tanpa Tuntutan Hak Ekonomi Kasus cerai diajukan perempuan PNS setelah pernikahan berlang- sung 20 tahun dan telah mempunyai anak 2 orang. Alasan yang diajukan, rumah tangga tidak harmonis dan sering terjadi perteng- karan. Dalam gugatannnya, ia tak menuntut apa-apa selain cerai. Bahkan hak asuh anak pun diserahkan kepada pilihan anak-anaknya karena dianggap telah mumayiz (dapat memilih/dewasa). Gugatan disetujui dan salah satu anaknya memilih untuk tinggal bersamanya. 12 Untuk menjaga kerahasiahan kasus, kami hanya membuat ringkasan yang kami anggap relevan untuk studi ini. 25 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 33. Kasus II: Cerai Gugat dengan Tuntutan Hak Ekonomi Kasus cerai gugat dilakukan seorang perempuan yang telah menja- lani perkawinan enam tahun dan punya tiga anak. Ini perkawinan dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda meskipun yang perempuan pindah agama mengikuti agama suami. Suami di mata istrinya malas bekerja sementara dirinya sangat aktif mencari nafkah. Terjadi banyak percekcokan dan sebagai buntutnya suami membawa lari anak dan menghalanginya untuk bertemu anak-anak. Di persi- dangan sang suami membantahnya yang dikuatkan saksi-saksi. Suami keberatan atas gugatan itu dan alasan membawa pulang anaknya ke rumah orangtuanya untuk melindungi dari percekcokan dan khawatir atas pengaruh keyakinan yang berbeda. Dalam gugatan cerai ini, istri menuntut biaya kumulatif sebesar Rp 40 juta dan tak menuntut hadhanah karena ia merelakan kedua anaknya diasuh keluarga suaminya. Dalam putusan, ia sama sekali tidak mendapatkan hak apa- apa, kecuali hak asuh anak pertama dan itupun tanpa hadhanah. Kasus III: Cerai Talak dengan Tuntutan Ekonomi dan Perawatan Anak Berkebutuhan Khusus Kasus cerai talak diajukan suami dengan alasan rumah tangga tidak harmonis. Istri meminta hak-haknya yang meliputi nafkah ter- tunggak/lampau sebesar Rp 15.000.000, nafkah iddah Rp 15.000.000 melingkupi nafkah 3 bulan, nafkah mut’ah sebesar Rp 15.000.000, dan hadhanah sebesar Rp 6.375.000 per bulan. Angka hadanah itu merupakan perincian biaya satu-satunya anak mereka dengan kondisi berkebutuhan khusus. Majelis mengabulkan permohonan suami untuk menjatuhkan talak dan menjatuhkan hukuman membayar nafkah iddah sebesar Rp 7.500.000, nafkah mut’ah Rp 10.000.000, dan biaya hadhanah sebesar Rp 2.500.000/bulan sampai anak dewasa. Sementara itu, permohonan istri untuk nafkah tertunggak Rp 15.000.000 tidak dikabulkan majelis. Kasus IV: Cerai Talak dan Tuduhan Nusyuz Kasus cerai talak diajukan suami berprofesi dokter kepada istrinya yang juga berpenghasilan sebagai pengusaha. Mereka telah menikah selama 5 tahun dan dikaruniai anak perempuan usia 2 yang masih balita. Tuntutan cerai diajukan karena istri dianggap nusyuz, melakukan keke-rasan menampar suami di depan umum dan tidak menghargai suami. Bagi suku tertentu itu perbuatan lancang yang tak terampuni. Pihak istri membantah tuduhan suaminya dan tindakan kekerasannya disebabkan perbuatan suaminya yang mengaku selingkuh. Istri bersetuju cerai dengan menuntut nafkah lampau sebesar Rp 10.000.000 per bulan selama 6 bulan, uang mut’ah Rp 50.000.000, Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 26
  • 34. 27 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian iddah Rp 10.000.000 per bulan selama 3 bulan, dan hadhanah Rp 6.000.000/ bulan hingga dewasa. Suami menolak tuntutan istri dengan alasan ia hanya pegawai negeri dengan gaji pokok Rp 3.650.000. Ia menuduh istrinya nusyuz berupa tindakan kekerasan dan selingkuh. Suami menyatakan istri- nya tidak berhak atas uang iddah. Saksi bisa membuktikan suaminya mendapatkan penghasilan ekstra buka klinik, dan nusyuz tidak terbukti. Tidak ada tuntutan soal harta gono-gini karenanya tak ada pembahasan soal itu. Majelis memutuskan menerima tuntutan suami untuk cerai. Istri mendapat hak asuh anak dan hadanah Rp 5.000.000/bulan, nafkah lampau sebesar Rp 36.000.000, iddah sebesar Rp 9.000.000, dan mut’ah Rp 10.000.000. Kasus V: Cerai Talak dan Pembagian Harta Gono-Gini Cerai talak diajukan seorang supir yang lebih dari 1 tahun tak per- nah pulang. Mereka punya anak 1 masih balita. Majelis mengabulkan talak suami karena keduanya sudah lama tidak serumah. Dalam tun- tutannya, istri meminta nafkah mut’ah 5 gram emas, nafkah iddah Rp 500.000 seti ap bulan selama 3 bulan, nafkah lampau Rp 3.000.000 untuk 1 tahun tidak diberi nafkah, hadanah Rp 750.000, dan jumlah itu akan bertambah seiring dengan pertumbuhan anaknya hingga dewasa, pembagian hasil penjualan rumah Rp 10.000.000, dan pem-
  • 35. 15 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian bagian hasil penjualan motor sport sebesar Rp 4.000.000. Majelis memutuskan suami wajib membayar nafkah iddah Rp 500.000 setiap bulan untuk 3 bulan, nafkah anak hingga dewasa se-besar Rp 500.000/bulan, uang pembagian rumah sebesar Rp 5.000.000, uang pembagian motor sebesar Rp 3.000.000, dan nafkah mut’ah berupa 5 gram emas. Kasus VI: Cerai karena Perkawinan Terpaksa Kasus cerai talak ini menjadi preseden lumayan berat bagi majelis yang memutus perkara. Cerai talak diajukan suami kepada istrinya yang sejak awal rumah tangga itu dibangun hanya untuk memper- tanggungjawabkan kehamilan. Setelah menikah tak satu kalipun sang suami menengoknya. Ia hanya datang untuk menengok anaknya ketika lahir di rumah sakit dan setelah tak pernah datang lagi sampai umur anak 9 bulan lalu mengajukan cerai talak. Pihak istri meng- ajukan tuntutan berupa nafkah iddah 3 juta/bulan untuk 3 bulan, nafkah lampau tertunggak 33 juta, uang mut’ah 20 juta dan hadanah anak 2 juta/bulan. Setelah melalui proses replik-duplik, majelis hakim memutuskan untuk menghukum penggugat berupa nafkah iddah Rp 4.500.000 untuk 3 bulan, nafkah lampau Rp 10.000.000, uang mut’- ah Rp 5.000.000, serta uang hadanah Rp 1.000.000/bulan. Majelis menghukum penggugat untuk membayar kewajibannya sebelum talak diikrarkan dalam dalam jangka waktu 6 bulan. Namun, Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 28
  • 36. 29 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian oleh pengacaranya, putusan ini dipertanyakan ke MK terkait dasar hukum penundaan pembacaan ikrar bersyarat itu. Majelis sangat menyadari bahwa ikrar talak adalah urusan majelis yang seharusnya diucapkan begitu putusan diketuk palu, sementara urusan eksekusi adalah wewenang ketua pengadilan. Nafkah iddah, nafkah lampau, dan uang mut’ah, serta uang hadanah anak tidak boleh digunakan se- bagai syarat untuk ikrar talak. Dan untuk menghindari contempt of court, majelis akhirnya memutuskan pembacaan ikrar talak sebelum semua tuntutan dipenuhi. Untuk mengetahu perkembangan kasus, kami menelusuri dan bertemu dengan mantan istri dalam perkara ini. Ia mengakui bahwa perkawinan terpaksa diselenggarakan karena ia telah hamil. Menurut pengakuannya, setelah pesta suaminya sama sekali tak pernah datang kembali. Ia mengatakan setelah ikrar talak, suaminya membayar uang 20 juta sesuai putusan yang dikirim melalui pengacara suaminya. Namun untuk kelanjutan nafkah anak ia mengatakan, “Saya merasa seperti perempuan nakal, tiap kali harus menuntut agar mantan suami membayar uang susu anak. Tapi sudah tiga bulan ini dia tak memberi apa-apa”. Kasus 1 merupakan kasus yang paling umum terjadi dalam perkara gugat cerai. Pihak istri hanya menuntut cerai agar ia memiliki status perkawinan yang jelas secara hukum. Tuntutan serupa ini diaju- kan istri setelah suami menghilang selama beberapa bulan atau tahun tanpa memberikan nafkah. Dalam bahasa awam proses perceraian di mana suami tidak jelas tempat tinggalnya disebut cerai gaib. Kebu- tuhan untuk mendapatkan status hukum diperlukan para perempuan ini tak selalu untuk tujuan kawin lagi. Seorang perempuan yang berperkara di PA Makassar mengatakan ia membutuhkan status itu untuk memperoleh kepastian hukum dan karena orangtua telah me- ninggal dengan meninggalkan sedikit warisan. Ia ingin meyakinkan diri bahwa warisan yang ia peroleh bukanlah harta yang diperoleh dalam perkawinan yang setiap saat bisa digugat pihak suami atau keluarga suami. Padahal secara de facto mereka telah berpisah. Meskipun tak secara langsung disebutkan sebagai kasus nusyuz di mana istri dianggap sering melakukan tindakan kasar kepada suami, pada Kasus 2 hakim telah menafsirkan bahwa sang istri melakukan nusyuz dan karenanya semua tuntutannya ditolak. Demikian halnya dengan hadhanah anak—yang salah satunya ikut sang ibu—dianggap tidak bisa dipenuhi karena suami tidak memiliki pekerjaan pasti dan menanggung dua anak dari perkawinan mereka. Sementara itu, istri- nya memiliki usaha yang dianggap dapat membiayai hidup dengan anaknya. Kasus 3 memberi gambaran yang berbeda dari dua kasus di atas- nya. Dalam kasus ini cerai diajukan oleh pihak suami (cerai talak). Hak-hak ekonomi istri dalam tuntutannya relatif dipenuhi terutama untuk mut’ah (penghiburan/hadiah suami kepada istri). Namun dari sisi nilainya, majelis hanya menyetujui separuh dari yang dituntut istri. Biaya hadhanah hanya dikabulkan hampir sepertiga dari tun-
  • 37. tutan istri. Alasannya karena anak menjadi tanggungan bersama di mana istri juga berpenghasilan. Dalam Kasus 4 hak istri atas hak-haknya dipenuhi. Meskipun alasan suami menceraikan karena istri melakukan nusyuz, namun majelis tetap menghukum suami selaku yang mengajukan cerai talak untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Dan berbeda dari Kasus 3 di mana uang penghiburan sepenuhnya dipenuhi, dalam kasus ini justru mut’ah hanya dikabulkan 1/5 nya saja dengan alasan istri me- miliki usaha yang memadai. Berbeda dari empat kasus di atas, dalam Kasus 5 cerai talak ini istri tak hanya menuntut hak-haknya berupa uang iddah, nafkah ter- tunggak, , mut’an dan hadhanah, tetapi juga menuntut harta gono gini atas rumah dan kendaraan yang mereka peroleh dalam perkawinan. Meskipun begitu dari segi jumlah yang diputus majelis jauh lebih rendah dari yang dituntut istri. Kasus 6 memperlihatkan tentang perbedaan antara putusan dan eksekusinya atas cerai talak. Hakim menahan ikrar talak sampai batas maksimal waktu yang dibenarkan Undang-Undang yaitu selama 6 bu- lan dengan harapan suami dapat memenuhi kewajibannya. Cara ini menurut Ketua PA Sulawesi Selatan merupakan upaya hakim dengan menyandera putusan ikrar talak untuk memastikan terpenuhinya hak isti dan anak pasca perceraian. Terdapat berbagai cara yang dilakukan hakim agar suami memenuhi kewajibannya, antara lain: • Suami melaksanakan ikrar talak di depan pengadilan dengan perjanjian akta cerainya ditahan oleh Panitera Pengadilan. Peme- nuhan putusan menjadi prasyarat diperolehnya akta cerai. • Menunda pelaksanaan ikrar talak sampai terpenuhinya hak-hak yang disepakati dalam persidangan. Dalam konteks ini, hakim bi- asanya berpedoman pada batas waktu 6 bulan pengucapan ikrar talak sesuai dengan Undang-Undang. • Penambahan klausul putusan bahwa pihak suami harus membayar semua kewajibannya ditambahkan dalam jangka waktu sebelum ikrar talak diucapkan. Tingginya gugat cerai ini bisa dimaknai bahwa kesadaran perem- puan atas identitas yang terkait dengan status perkawinanya cukup tinggi. Mereka ingin mendapatkan kejelasan secara hukum. Namun, ini juga bisa dimaknai bahwa mendapatkan “status perkawinan” merupakan tujuan optimal dari tindakan perempuan melakukan gugat cerai. Tujuan berikutnya adalah mendapatkan hak asuh anak dan terakhir memperoleh hak ekonomi sebagai janda. Dari 6 kasus di atas, baik cerai talak apalagi cerai gugat, perem- puan tak benar-benar mendapatkan haknya sesuai yang mereka tun- tut. Untuk semua kasus gugat cerai, perempuan tak mendapatkan apa- apa meskipun ada beberapa kasus istri yang menggugat cerai tetap mengajukan hak-haknya sebagaimana dalam cerai talak. Baik dalam cerai gugat maupun cerai talak, hak anak senantiasa Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 30
  • 38. 31 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian dipertimbangkan namun tak selalu dipenuhi dalam putusan. Meski- pun sangat jarang istri yang melakukan gugatan cerai tetap menuntut hak-haknya. Namun sangat jarang tuntutan itu dipenuhi, begitu juga hak untuk anak. Secara umum cerai gugat dianggap perempuan meminta suami untuk melakukan pembatalan perkawinan (fasakh) dan atas dasar itu secara umum juga dimaknai bahwa istri tak menuntut apa-apa. Bah- kan dalam sejumlah kasus, jika belum terjadi hubungan seksual istri berkewajiban mengembalikan mas kawinnya. Namun, terdapat indikasi bahwa gugat cerai juga diajukan pihak istri atas kesepakatan/pihak suami agar proses perceraian dapat berlangsung dengan cepat meskipun dengan risiko istri tidak menda- patkan hak-hak ekonominya. III. Good practice pemenuhan hak istri pasca perceraian Sebagai pembanding, kami ambil dua pembelajaran baik dari Mahka- mah Syar’iyah Aceh Besar dan Mahkamah Agung di mana putusan majelis menghukum suami untuk membayar hak-hak istri meskipun perkaranya gugat cerai. Kasus A: Cerai Gugat Berubah Menjadi Tuntutan Khulu’ (tebusan) dari Suami Kasus ini disidangkan di Mahkamah Syariyah Jantho tahun 2010. Istri mengajukan gugat cerai karena suami gemar judi dan mabuk serta pelaku kekerasan fisik. Gagal dalam mediasi, istri melanjutkan perkara. Selaku tergugat suami keberatan atas gugatan istri malah sebaliknya mengajukan khulu’ (tebusan) 16 mayam mas atau (ketika itu senilai 14 juta rupiah) sebagai pengganti ikrar talak yang secara sukarela akan dilakukan suami di depan pengadilan (iwadh). Ketika suami mengajukan khulu’, sang istri semula menyerah saja dan bersetuju. Namun hakim melanjutkan gugatan cerai istri dengan memanggil saksi-saksi yang membenarkan gugatan istri. Atas dasar itu, hakim menerima gugatan cerai istri dengan tetap menghukum su- ami membayar uang mut’ah, iddah dan hadanah yang menjadi asuhan pihak istri. Kasus B: Cerai Gugat, Hak Ekonomi Istri Diluluskan di Tingkat MA Putusan Mahkamah Agung No. 328 K/Ag/2008, 17 September 2008 mengajukan pertimbangan sebagai berikut: “Bahwa sesuai
  • 39. ketentuan Pasal 41 huruf (c) UUP jo. Pasal 159 KHI, meskipun gu- gatan diajukan oleh pihak istri, akan tetapi tidak terbukti istri telah melakukan nusyuz, maka Mahkamah Agung berpendapat Tergugat (suami) harus dihukum membayar nafkah, maksan, dan kiswah selama masa iddah kepada Penggugat, dengan alasan karena istri menjalani iddah dan tujuan iddah adalah untuk istibra (berpikir ulang) dan istibra tersebut menyangkut kepentingan suami”. Terkait jumlah madhiyah (nafkah tertnunggak) dan biaya hadhanah, ukurannya adalah memenuhi kebutuhan hidup minimal, nilai kepatut- an dan keadilan, sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan hu- kum Putusan MA No. 434 K/Ag/2002 25 Juni 2004 yang mem- perbaiki jumlah nafkah tertunggak dari 250.000/bulan sebagaimana putusan Mah. Syariyah menjadi Rp 500.000. Ukuran yang sama juga ditetapkan untuk jenis tuntutan lainnya13.” 13 Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad at al (eds), Kumpulan Referensi Standar Evaluasi Ha- kim Dalam Penerapan Sensitivitas Gender di Mahkamah Syar’iyah Aceh, Mahkamah Syar’iyah Aceh, 2009. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 32
  • 40. 33 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 41. “Setiap bulan kami menyidangkan perkara 250 perkara, 70% di antaranya perkara gugat cerai”. Ibu Harijah Damis M. H., Wakil Ketua Peradilan Agama SulawesiSelatan Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 34 Bagian Tiga: Kesimpulan dan Rekomendasi
  • 42. I. Kesimpulan Ingginya gugat cerai secara pasti menunjukkan peningkatan ke- sadaran perempuan akan hak-haknya, termasuk hak atas statusTperkawinannya. Namun kesadaran perempuan akan haknya itu mem- butuhkan dukungan hukum agar mekanisme putusan dapat mem- berikan perlindungan menyeluruh, terutama hak ekonomi dan rasa keadilan. Anak-anak yang diasuh oleh perempuan dalam situasi miskin akan lebih buruk, terutama anak perempuan. Ini terbukti dari studi Gender, Kemiskinan, dan Keadilan bahwa dalam keluarga miskin, anak perempuan mengambil alih pekerjaan orangtuanya. Bahkan dalam beberapa kasus menjadi korban inses ketika ibunya bekerja jauh dari rumah. Lebih buruk dari penelitian Stijn van Huis di Cianjur, bahkan sejak di tingkat putusan, hak-hak istri yang terkait dengan tuntutan ekonomi dari pihak istri pada kasus cerai talak apalagi cerai gugat jarang dipenuhi. Pada kasus cerai talak maksimal yang disetujui ber- nilai separuh atau kurang dari separuh, sementara untuk cerai gugat secara rata-rata tak ada hak lain yang bisa dituntut istri kecuali hadhanah. 19 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian35 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 43. Di tingkat ekseskusi, putusan sulit untuk diketahui dan dilacak bagaimana putusan itu dilaksanakan, dan peran Pengadilan Agama pada dasarnya tidak sampai pada pengawasan putusan. Penelitian kami menunjukkan bahwa di tingkat implementasi sangat sulit bagi perem- puan untuk mendapatkan hak-haknya, bahkan untuk hak anak yang seharusnya masih menjadi tanggung jawab suami. Karena kelembagan Pengadilan Agama bersifat pasif, sulit bagi mereka untuk pro-aktif mendorong perempuan untuk menuntut hak- hak ekonomi mereka dan memastikan terjadinya eksekusi. Upaya ha- kim dengan menunda ikrar talak sebagai cara untuk menuntut hak-hak istri kepada pihak suami tidak dapat dijadikan mekanisme hukum karena tidak ada kekuatan hukum yang dapat dijadikan landasan, bah- kan bisa dianggap contempt of court. Kami melihat kelembagaan yang ada di Peradilan Agama seperti PUSBAKUM dapat ditingatkan perannya menjadi pendamping lan- jutan bagi para pihak dalam kaitannya dengan pelaksanaan eksekusi. Namun peran itu harus dikuatkan dengan keputusan MA tentang ke- wenangan PUSBAKUM di luar pengadilan. Kewenangan juru sita secara normatif merupakan kekuatan pe- maksa yang legal untuk mengeksekusi hukuman. Namun selama ini, peran mereka lebih terfokus pada soal perebutan harta warisan dan atau gono-gini. Sangat jarang juru sita dilibatkan untuk memaksa pu- Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 20Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 36
  • 44. tusan pengadilan terkait hak-hak ekonomi perempuan pasca perce- raian, apalagi yang berjangka panjang. Oleh karena itu, harus ada pe- nguatan kewenangan dan tugas juru sita manakala putusan tidak diin- dahkan pihak mantan suami. Kelembagaan lain yang bisa dilibatkan dengan mandat yang jelas dari MA adalah lembaga-lembaga bantuan hukum, seperti LBH Apik dan ICJ. Mereka cukup berpengalaman mendampingi perempuan dalam gugat cerai atau cerai talak. Secara rata-rata mereka akui untuk cerai talak ada hak yang dipenuhi meskipun hanya separuh. Namun di pelaksanaannya eksekusi tak bisa dikontrol karena tak ada kekuatan pemaksa lain setelah ikrar talak diucapkan. Sejumlah hakim di PA Sulawesi Selatan menyatakan bahwa kesu- litan bagi hakim adalah dalam kewenangan eksekusi. Untuk kasus warisan, eksekusi bisa dilakukan dengan bantuan aparat dan kasus bisa selesai dalam sekali tindakan. Namun untuk kasus cerai, terutama terkait hak anak (hadhanah), Pengadilan Agama mengalami kesulitan untuk mengawasinya karena berlangsung berpuluh tahun. Sita jaminan dengan menahan ikrar talak tak dapat dilakukan karena tak ada ketentuan hukumnya. Bahkan sebaliknya, penundaan ikrar talak itu dapat membuat hakim dipersoalkan. Namun, semua pendekatan ini masih merupakan diskresi hakim yamg dibangun melalui penemuan hukum atau inisiatif hakim secara ad hoc dan bukan ada payung hukum yang secara legal disahkan oleh Undang-Undang. Penelitian ini memperlihatkan perlunya upaya hu- kum lanjutan agar putusan dapat dieksekusi dan hak perempuan ter- penuhi. II. Rekomendasi Rekomendasi 1 Meningkatkan kapasitas hakim dalam menginterpretasikan teks- teks hukum yang sensitif gender dan meningkatkan kapasitas sistem internal lembaga Peradilan Agama. Pihak utama yang menjalankan pe- nguatan kapasitas ini adalah Badilag yang didukung oleh lembaga peradilan dan lembaga terkait. Rekomendasi program dan partner: • Training penguatan kapasitas hakim dalam isu gender. Aktivitas ini dapat dilaksanakan dengan melakukan penyusunan modul dan rancangan belajar. Dalam jangka pendek, training dapat disam- paikan secara ad hoc di wilayah terpilih. Dalam jangka panjang, mo- dul dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum Diklat Mahkamah 37 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 45. Agung atau training Calon Hakim. Modul dapat juga mengintegrasikan konten-konten hukum keluarga dalam perspektif Islam dan gender yang dikembangkan oleh ALIMAT. Partner: Pengadilan Agama, Mahkamah Agung, dan jaringan NGO. • Konsistensi dalam pengambilan keputusan dalam kasus-kasus hukum keluarga, termasuk kasus perceraian. PERMA mengenai pan- duan putusan telah diterbitkan. Upaya ini dapat ditunjang dengan meningkatkan dukungan dari jaringan untuk memastikan konsisten- si dari panduan putusan tersebut. Partner: Pengadilan Agama, Mahkamah Agung, dan jaringan NGO. • Penelitian ini mengindikasikan bahwa peran dari Pusat Bantuan Hukum (Pusbakum) sangat signifikan dalam memberikan masukan mengenai hak-hak perempuan dalam kasus gugat cerai. Masukan yang menjerumuskan, misalnya, perempuan yang mengajukan gugat cerai tidak dapat memperoleh hak-haknya karena dia dikatakan nusyuz, menghalangi perempuan dalam mengajukan tuntutan di depan persidangan. Program yang dapat memperketat seleksi petu- gas Pusbakum dapat memastikan kualitas mereka. Partner: Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung. Rekomendasi 2 Kolaborasi lintas sektor dan perumusan kebijakan dan regulasi yang mendorong terjadinya eksekusi pasca putusan. Dalam hal ini, Badilag memegang peran kunci yang didukung oleh lembaga peradilan terkait. Dalam tingkat pelaksanaan, terdapat PP No 10/1983 yang kemudian diperbaharui menjadi PP No 45/1990 yang mengatur pernikahan dan perceraian pegawai negeri sipil. Peraturan ini menetapkan bahwa 1/3 gaji dari PNS yang bercerai wajib diserahkan kepada mantan istri dan 1/3 lainnya diberikan untuk anak-anaknya. Namun, peraturan ini tidak berlaku ketika perceraian diajukan oleh pihak perempuan (gugat cerai). Rekomendasi program dan partner: • Membangun diskusi lintas sektor dengan Kementerian Pendaya- gunaan Aparatur Negara, Kementerian Agama, dan Mahkamah Agung untuk menyusun PP yang serupa untuk seluruh karyawan, bukan hanya PNS. Adanya PP ini berpotensi mendorong putusan pengadilan lebih ditegakkan. • Dalam jangka waktu panjang, adanya upaya untuk penyusunan hu- kum prosedur yang spesifik membahas kasus-kasus perceraian. • Meninjau kembali peran mediasi dalam kasus perceraian. Sebagian besar pasangan yang datang ke pengadilan telah memutuskan untuk berpisah. Dalam kasus ini, mediasi dapat lebih berfokus pada diskusi Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 38
  • 46. 39 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian pembagian harta gono-gini dan hak asuh anak. Indikator mediasi tidak dinilai dari jumlahnya pasangan yang rujuk, tetapi dari jumlah penggugat/pemohon yang puas dengan proses mediasi. Rekomendasi 3 Meningkatkan peran civil society dalam mendorong pemenuhan hak-hak perempuan pasca cerai. Rekomendasi program dan partner: • Civil society mengawal regulasi-regulasi daerah yang sudah dise- pakati. • Merumuskan dan menyosialisasikan good practice oleh hakim atau institusi lain pasca cerai sehingga bisa menjadi regulasi. • CSO dan lembaga-lembaga peradilan terkait bisa mendorong pe- menuhan hak-hak perempuan dengan sistem jaminan kepada suami atau negara.
  • 47. Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 40
  • 48. Lampiran dan Referensi 41 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian
  • 49. Lampiran 1 Daftar Informan No Nama Lembaga 1 Drs. H. Hasan Bisri, S.H., M.H. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Selatan 2 Drs. Moh. Yasya, S.H.,M.H. Ketua Pengadilan Agama Makassar 3 Dra. Hj. Harijah Damis, M.H. Wakil Ketua Pengadilan Agama Makassar 4 Dra. Hj. Murni Djuddin Hakim PA Makassar 5 Dra. Hj. Siti Aminah Hakim PA Makassar 6 Malik, M.H. Kepala Bagian Data PTA Makassar 7 Aisyah Bagian Data PTA Makassar 8 La Heru Kepala Bidang Kebencanaan Dinas Sosial Makassar 9 Husaimah Husain Koordinator AIPJ Sulawesi Selatan 10 Ruri Syailendrawati Asisten Koordinator AIPJ Sulawesi Selatan 11 Rosmiati Sain Direktur LBH Apik Makassar 12 Sri Wahyuningsih Direktur Institute of Community Justice 13 Ibrahim Bando, S.H. Advokat dan Konsultan Hukum 14 Syamsuddin Simmau Akademisi dan Dosen Universitas Hasanuddin Laporan Penelitian Hak Ekonomi Pasca Perceraian 42
  • 50. Referensi Marcoes, Lies. 2014. Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan. Jogjakarta: INSIST. Muhammad, Rusjdi Ali, SH (eds). 2009. Kumpulan Refernsi Standar Evaluasi Hakim dalam Menerapkan Sensitivitas Gender di Mahkamah Syar’iyah Aceh. Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh. van Huis, S. J. 2010(1). “Rethinking the Implementation of Child Support Decisions: Post-divorce Rights and Access to the Islamic Court in Cianjur, Indonesia?”. Law, Social Justice & Global Development Journal (LGD). Wahid, Marzuki. 2014. Fiqih Indonesia: KHI dan Counter Legal Draft KHI dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia. Bandung: ISIF & Marka. 43 Laporan Penelitian Hak Ekonomi PascaPerceraian