Makalah ini membahas tentang konsep negara dan masalah kenegaraan di Indonesia. Makalah ini menjelaskan pengertian negara, tujuan negara, unsur-unsur negara, teori terbentuknya negara, dan teori hubungan agama dan negara dalam perspektif Islam.
Ini berisi file Word yang membahas alasan mengapa sebagai peserta kuliah ilmu negara perlu membahas unsur dan fungsi negara dan bagaimana manfaatnya.
Note : Koreksi untuk alasan dan manfaat.
Dengan mengertahui bagaimana pembagian organisasi negara maka kita bisa mewujudkan negara yang semestinya.
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Negara di Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 2013
Fakultas Hukum
Mohon maaf,tulisan ini bersifat kesubjektifan penulis :)
Selamat membaca semoga bermanfaat.
Ini berisi file Word yang membahas alasan mengapa sebagai peserta kuliah ilmu negara perlu membahas unsur dan fungsi negara dan bagaimana manfaatnya.
Note : Koreksi untuk alasan dan manfaat.
Dengan mengertahui bagaimana pembagian organisasi negara maka kita bisa mewujudkan negara yang semestinya.
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Negara di Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 2013
Fakultas Hukum
Mohon maaf,tulisan ini bersifat kesubjektifan penulis :)
Selamat membaca semoga bermanfaat.
J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni,serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungn di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.
J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni,serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungn di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan kebudayaan yang beragam. Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan keragaman suku bangsa, ras, agama dan budaya. Namun keragaman ini menimbulkan konflik dimana-mana. Keadaan seperti ini menggambarkan bahwa unsur-unsur yang ada di Indonesia belum berfungsi secara satu kesatuan. Yang menjadi pemasalahan sekarang adalah bagaimana membuat unsur-unsur yang ada di Indonesia menjadi suatu system yaitu adanya jalinan kesatuan antara satu unsur dengan unsur yang lain, atau bagaimana membuat Bangsa Indonesia dapat terintegrasi secara nasional
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Di Indonesia, berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan kebudayaan yang beragam. Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan keragaman suku bangsa, ras, agama dan budaya. Namun keragaman ini menimbulkan konflik dimana-mana. Keadaan seperti ini menggambarkan bahwa unsur-unsur yang ada di Indonesia belum berfungsi secara satu kesatuan. Yang menjadi pemasalahan sekarang adalah bagaimana membuat unsur-unsur yang ada di Indonesia menjadi suatu system yaitu adanya jalinan kesatuan antara satu unsur dengan unsur yang lain, atau bagaimana membuat Bangsa Indonesia dapat terintegrasi secara nasional
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.
Dalam hubungan pengertian negara sebagai suatu persekutuan hidup bersama dari masyarakat, adalah memiliki kekuasaan politik, mengatur hubungan-hubungan, kerja-sama dalam masyarakat untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang hidup dalam suatu wilayah tertentu.
Suatu masyarakat disebut negara, jikalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh kelompok ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat mengikat dan memaksa.
Ini berisi file Word yang membahas alasan mengapa sebagai peserta kuliah ilmu negara perlu membahas unsur dan fungsi negara dan bagaimana manfaatnya.
Note : Koreksi untuk alasan dan manfaat.
Dengan mengertahui bagaimana pembagian organisasi negara maka kita bisa mewujudkan negara yang semestinya.
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Negara di Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 2013
Fakultas Hukum
Mohon maaf,tulisan ini bersifat kesubjektifan penulis :)
Selamat membaca semoga bermanfaat.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
Makalah PKN Kelompok 4
1. MAKALAH
KONSEP NEGARA DAN PROBLEM KENEGARAAN DI
INDONESIA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Bakhrul Huda, M.E.I
Disusun Oleh
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
ILMU EKONOMI (B)
2019/2020
1. Arifah Anisaturrobiah (G71219052)
2. Rina Ramadhani (G71219053)
3. Rizqon Abdillah (G71219055)
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun judul dari makalah ini adalah “Konsep Negara dan Problem
Kenegaraan di Indonesia”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah yang bersangkutan yang telah memberikan tugas terhadap kami. Dan kami
berterima kasih juga kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan
makalah iniyang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan
langkah yang baik dari studi sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu
dan kemampuan penyusun, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa
dibutuhkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami, khususnya pihak lain
yang berkepentingan pada umumnya.
Surabaya, 27 Februari 2020
Penyusun
3. iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A Pengertian Negara ..................................................................................3
B. Tujuan Negara ........................................................................................4
C. Unsur-Unsur Negara ...............................................................................8
D. Teori Terbentuknya Negara ..................................................................13
E. Teori Hubungan Agama dan Negara ....................................................21
F. Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam ...............................24
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................29
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak latar kebudayaan yang berbeda secara kontras, baik
cara berpikir dan sifatnya dalam berkehidupan, memiliki ribuan pulau dan wilayah
yang sangat luas. Dimana kebudayaan dari ribuan pulau dan wilayah tersebut menjadi
satu Negara dengan diwadahi dalam sebuah konsep kenegaraan. Konsep atau bentuk
negara, unsur dan tujuan yang merupakan pendasaran berjalannya sistem yang ada
pada suatu negara. Bentuk negara menyatakan struktur organisasi sebagai suatu
keseluruhan yang meliputi semua unsurnya atau negara dalam wujudnya sebagai suatu
organisasi. Indonesia pernah menjalankan dua konsep atau bentuk negara pada saat
transisi pasca berdaulat.
Pengetahuan tentang konsep negara terutama bagi masyarakat awam di
Indonesia sangat penting. Dalam problematika yang di negara ini sepatutnya kita
mengkoreksi kembali kekurangan-kekurangan sistem yang diciptakan bersama selama
beberapa fase ke belakang, tentunya berdasarkan pengalaman, konsep, dan sejarah
yang telah diketahui.
Sejatinya definisi menurut M. Tahir Azhari, beliau mendefinisikan negara
sebagai suatu kehidupan berkelompok manusia yang mendirikannya bukan saja atas
dasar perjanjian bermasyarakat (contract social), tetapi juga atas dasar fungsi manusia
sebagai khalifah Allah di bumi yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya.1
Sedangkan konsep negara atau state sebagaimana digunakan Weber dapat
diartikan sebagai sebentuk entitas yang abstrak berupa institusi yang memiliki aparat
tersendiri, memiliki otoritas membuat aturan secara terpusat pada suatu wilayah
tertentu, memiliki perbedaan hierarkis di antara individu dalam kepada kekuasaan dan
sumber-sumber yang dikukuhkan melalui pemaksaan yang terlembagakan baik dalam
bentuk perpajakan maupun militer serta biasanya diikuti dengan melemahnya struktur
kesukuan.2
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
negara dan
1
M. Tahir Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Kencana, 2004, hIm. 17.
2
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah (Salah Paham Negara Islam), Jakarta: PustakaAlvabet, 2011, hIm.21
5. 2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari negara?
2. Apa tujuan dan fungsi dari adanya suatu negara?
3. Apa saja unsur-unsur dari negara?
4. Bagaimana teori terbentuknya negara?
5. Bagaimana teori hubungan agama dan negara dan relasinya dalam perspektif
islam?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang negara.
2. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi dari suatu negara.
3. Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur dari negara.
4. Untuk menjelaskan teori tentang terbentuknya suatu negara.
5. Untuk menjelaskan teori tentang hubungan agama dan negara serta relasinya
dalam perspektif.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Negara
Dalam sehari-hari kita sering mengucapkan atau mendegar kata atau istilah “Negara”
walaupun begitu akrab dalam kehidupan kita sebenarnya istilah ini bersifat abstrak ,kita
tidak pernah melihat negara seperti apa ,yang kita lihat hanyalah bendera suatu negara
,orangnya, lambangnya ,atau mendengar bahasa nasional ,lagu kebangsaan ,atau hanya
mengetahui ideologinya.
Secara literasi istilah negara merupakan terjemahan dari kata-kata bahasa asing yaitu
“Staat” (bahasa belanda dan jerman),”state” (bahasa inggris), ”etat” (bahasa prancis ),
”statum atau status” (bahasa latin ) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau suatu
yang dimiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.3
Karena pertumbuhan negara modern dimulai dari banua Eropa pada abad ke-17,sudah
sepantasnya jika kita mengkaji asal-usul dan pemakaian kata asing itu dari benua Eropa,
walaupun istilah itu sudah lazim dipergunakan dalam indonesia jauh sebelum abad itu .
Kata” status” atau “statum”lazim diartikan sebagai standing atau station
(kedudukan).Istilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia,yang
juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae. Dari kata latin ini dialihkan
beberapa istilah lainnya seperti “estate” dalam arti “real estate” atau” personal estate”dan
juga “estate” dalam arti dewan atau perwakilan golongan sosial .Dalam arti yang belakang
inilah kata “status”semula diartikan dan baru dalam abad ke-16 kata itu dipertalikan
dengan kata “Negara”.
Secara etimologi, negara di artikan dengan organisasi tertinggi di antara
satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu ,hidup didalam daerah
tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat .Pengertian ini mengandung nilai
konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsurdalam sebuah negara ,yakni adanya
masyarakat (Rakyat) ,adanya wilayah (daerah)dan adanya pemerintah yang berdaulat . Menurut
Roger H.Soltau ,negara didefinisikan dengan alat (agency)atau wewenang (authority)
yang mengatur atau mengendalikan.4
persoalan-persoalan bersama,atasnamamasyarakat.
3
Ubaidillah , dkk 2000.pendidikan kewarganegaraan ,demokrasi hak asasi manusia dan masyarakat madani ,
IAIN Syaripudin Hidayatullah:Jakarta
4
Dede Rosyanda, dkk. 2003 pendidika kewarganegaraan hak asasi manusia ,masyarakat madani.ICCE UIN
Jakarta :hal 42
7. 4
Lain halnya dengan dengan apa yang dikemukakanHarold J. Laski. Menurutnya negara
merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa dan secara sah lebih agung dari pada individu atau kelempok yang merupakan
bagian darimasyarakat itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup danbekerja
sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Sejalan dengan
Harold J. Laski, Max Weber pun mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah. Sedangkan dalam konsep Robert M. Mac Iver, negara diartikan dengan asosiasi
yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah
dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang
untuk maksud tersebut diberikan kekuasaan memaksa.
B. Tujuan Negara
Setiap pembahasan mengenai tujuan dan fungsi negara sesungguhnya sudah secara
implisit mengadakan pemisahan warga negara ke dalam dua golongan, pertama golongan
yang menetapkan tujuan dan yang melaksanakan fungsi negara itu dan kedua, golongan
untuk siapa tujuan dan fungsi itu di adakan. Dengan pembahasan ini, negara sudah secara
tegas dipandang sebaga ialat dan bukan sebagai tujuan tersendiri.5
Hal ini disebabkan
tujuan manusia hidup adalah untuk mencapai kesejahteraan, sedangkan alat yang
digunakan untuk mencapai kesejahteraan dapat bermacam-macam yang salah satunya
manusia membentuk sebuah organisasi masyarakat yang kemudian disebut dengan
negara.
Namun secara teoretis teori mengenai tujuan negara dapat digolongkan menurut
zamannya, yaitu:
1. Teori Tujuan Negara Klasik
a. Teori tujuan negara dari Lord Shang
Menurut Lord Shang tujuan utama dari negara adalah satu
pemerintahan yang berkuasa penuh terhadap rakyat dengan jalan melemahkan
dan membodohkan rakyat. Teori ini didasarkan atas pendapat bahwa menurut
Lord Shang pada setiap negara selalu terdapat dua subjek yang saling
berhadapan dan saling bertentangan, yaitu pemerintah dan rakyat, artinya kalau
5
Ni’matul Huda, Ilmu Negara. (Jakarta: Rajagrafindo, 2010). hlm 53
8. 5
rakyat kuat, kaya dan pintar, maka negara akanmelemah, sedang sebaliknya bila
rakyat lemah dan bodoh,miskin, maka negara akan kuat.6
b. Teori tujuan negara menurut Machiavelli
Teori tujuan Negara menurut Machiavelli dalam bukunya II Principle
pemerintahan itu sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan dan menjalankan
kekuasaan. Ia tidak setuju dengan moral kebudayaan,agama, dan sebagainya
karena semuanya akan melemahkan raja dalam memerintah negaranya.
Penguasa sebagai pemimpin negara harus mempunyai sifat sebagai serigala dan
singa. Sebagai serigala ia dapat mengetahui dan membongkar rahasia yang bisa
merobohkan negara karena kelicikannya. Sebagai isinya kita bisa menaklukkan
binatang-binatang buas lainnya.7
c. Teori tujuan negara menurut Julius Caesar
Menurut Caesar, tujuan negara pada awalnya adalah pertahanan (defensive),
tapi kemudian berubah menujuk eserangan (ofensif). Sehingga dalam teori ini
munculah ada gium yang berbunyi “Si vis pacem para bellum” (kalau
menghendaki perdamaian siapkanlah diriuntuk peperangan). Maka tidak heran
negara di era Julius Caesar sering kali melakukan peperangan baik itu untuk
mempertahankan kekuasaan maupun memperluas area kekuasaan.
d. Teori tujuan negara menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali bahwa tujuan suatu negara yang didalamnya terdapat
Lembaga pemerintahan adalah melaksanakan syariat agama, mewujudkan
kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan dunia dan urusan agama.
Teori tujuan negara menurut Al-Ghazali ini mengisyaratkan pergabungan
antara agama dan negara. Jadi hubungan antara agama dan negara adalah
integral tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini kemudian disebut dengan negara
agama, yaitu negara yang menjadikan salah satu agama sebagai resmi negara.
2. Teori Tujuan Negara Modern
a. Teori tujuan negara menurut Emmanuel Kant
Tujuan negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum. Yang
hendak menjamin kedudukan hukumdari individu-individu di dalam masyarakat.
Jaminan itu meliputi kebebasan daripada negaranya yang berarti tidak boleh ada
paksaan daripada pihak penguasa agar warga megaranya tunduk pada undang-
6
Dewa GedeAtmadja, Ilmu Negara. (Jakarta: Setara Press, 2012). hlm 51
7
Ni’matul Huda, Ilmu Negara. (Jakarta: Rajagrafindo, 2010). hlm 55
9. 6
undang yang belum disetujui. Selain itu, juga berarti bahwa setiap warga negara
mempunyai kedudukan hukum sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-
wenang oleh pihak penguasa.8
Dengan demikian, untuk mewujudkan kesetaraan
hokum antara warga negara dengan negara, maka dibutuhkan yang Namanya
pembatasan dan pemencaran kekuasaan.
b. Teori tujuan negara menurut Montesquieu
Tujuan negara adalah agar tetap memiliki wilayah yang akan dimanfaatkan
bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat sehingga mereka dapat hidup
tentram dan bahagia. Hal ini yang kemudian disebut sebagai negara
kesejahteraan (welfanstate). Di dalam negara hokum kesejahteraan ini, tugas
pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam dan tidak boleh pasif tetapi harus
aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua
orang terjamin.
c. Teori tujuan negara menurut Miriam Budiardjo
Tujuan negara adalah bonum publicum, common god, common weal
(menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya Hal ini terkait tujuan manusia hidup
di dunia adalah untuk mencapai kebahagiaan dan ketentraman. Maka untuk
mengatur manusia dalam mencapai tujuannya tersebut, manusia membutuhkan
negara sebagai Lembaga tertinggi dan yang berdaulat.9
Dari uraian para ahli mengenai tujuan negara, maka jika dihubungkan dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka dapat ditegaskan tujuan
negaranya adalah sebagai berikut:
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskankehidupanbangsa;
4) Mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kepada, perdamaianabadi dan
keadilan social.10
C. Fungsi Negara
Pada millennium ketiga (abad ke-21), Francis Fukuyama, mengutip Laporan Bank
Dunia, tentang Pembangunan Dunia, dalam rangka lingkup serta kekuatan atau
8
Ibid., hlm. 56.
9
Miriam budiarjo dalam Isrok dan Diah Al-Uyun, Ilmu Negara. (Malang: UB Press, 2008), hlm.24.
10
Pembukaan UUD 1945
10. 7
kemampuan negara menangani “pasar bebas” (free market), mengemukakan 3 (tiga)
fungsi utama negara meliputi:
1. Fungsi minimal, menyediakan kebutuhan publik, meningkatkan keadilan terdiri
atas:
a. Pertanahan, melindungikaum miskin dalam program anti kemiskinan
b. Hukum dan ketertiban, program bantuan berencana;
c. Kesejahteraan masyarakat
2. Fungsi menengah, menangani persoalan-persoalan eksternal, mengatur monopoli,
memperbaiki kualitas informasi, dan menyediakan asuransi social, kegiatannya
mencakup:
a. Pendidikan;
b. Perlindungan lingkungan;
c. Pengaturan prasarana umum;
d. Pengaturan anti monopoli;
e. Regulasi keuangan;
f. Asuransi social;
g. Redistribusi dana pensiun;
h. Perlindungan konsumen;
3. Fungsi aktivis, mengoordinasi aktivitas swasta, redistribusi asset, meliputi tiga
aktivitas, yaitu:
a. Mendorong pasar;
b. Melakukan redistribusi aset;
c. Mengumpulkan inisiatif.
Hal berbeda disampaikan oleh Wolf gang Friedmann, bahwa dalam tugas
pemerintahan untuk melaksanakan tujuan negara sebagai organisasi kekuasaan, maka negara
dapat berfungsi sebagai:
1. Previder, yaitu negara bertanggung jawab dan menjamin suatu standar minimum
kehidupan secara keseluruhan, dan memberikan jaminan social lainnya;
2. Regulator, yaitu negara membentuk aturan hokum dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;
3. Entrepreneur, yaitu negara menjalankan sector ekonomi melalui badan usaha milik
negara/daerah (BUMN/BUMD), dan mengusahakan kondisi kondusif untuk
berkembangnya dunia usaha;
11. 8
4. Umpire, yaitu negara menetapkan standar-standar yang adil bagi pihak yang bergerak
di sector ekonomi, terutama antara sector swasta atau bidang-bidang usaha tertentu.
Menurut Mirriam Budiardjo, fungsi minimal yang mutlak perlu diselenggarakan oleh
negara adalah:
1. Melaksanakan penertiban (law and order), untuk mencapai tujuan Bersama dan
mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan
penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai “stabilisator”.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini
dianggap penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan ini di Indonesia
tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui rentetan repelita
(rencana pembangunan lima tahun);
3. Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk
ini negara dilengkapi dengan alat pertahanan;
D. Unsur-Unsur Negara
Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang diperlukan bagi terbentuknya suatu negara
(elemen daripada negara) maka berikut akan dibahas unsur-unsur dari negara. Dimana
seperti yang disebutkan pada pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Rights
and Duties of States of 1933 unsur-unsur negara ditentukan sebagai berikut.11
1. Penduduk/ Rakyat Tertentu
Setiap negara mempunyai penduduk dan kekuasaan negara menjangkau semua
penduduk di dalam wilayahnya. Penduduk dalam suatu negara biasanya menunjukkan
beberapa ciri khas yang membedakan dari bangsa lain. Perbedaan ini tampak,
misalnya dalam kebudayaannya, nilai-nilai politiknya, atau identitas nasionalnya.
Yang dimaksud dengan rakyat yaitu sekumpulan manusia dari kedua jenis kelamin
yang hidup bersama sehingga merupakan masyarakat, meskipun mereka ini mungkin
berasal dari keturunan, kepercayaan, dan kulit yang berlainan. Syarat penting untuk
unsur ini rakyat atau masyarakat harus terorganisasi dengan baik (organized
population). Beberapa istilah yang erat pengertiannya dengan rakyat adalah:12
a. Rumpun
11
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Cetakan kedua, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm.2.
12
Moh. Kusnardi dan Bintan R, Saragih , Ilmu Negara, Cetakan Ketiga, Edisi Revisi , (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995), hlm 103
12. 9
Rumpun diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu
kesatuan karena mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang sama. Misalnya, warna
kulit, rambut, bentuk badan, bentuk muka dan sebagainya.
b. Bangsa
Bangsa diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan satu kesatuan
karena memiliki persamaan kebudayaan. Misalnya, bahasa, adat kebiasaan,
agama, dan sebagainya.
c. Natie
Natie diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan
karena mempunyai satu kesatuan politik yang sama.
Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara.
Status kewarnegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan
negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya.
Karena hak itu maka kedudukan seorang warga negara dapat disimpulkan dalam
empat hal yang disebut sebagai berikut.13
a. Status Positif
Status positif warga negara ialah memberi hak kepadanya untuk menuntut
tindakan positif daripada negara mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik,
kemerdekaan, dan sebagainya. Untuk itu, maka negara membentuk badan-badan
peradilan, kepolisian, dan kejaksaan, dan sebagainya yang akan melaksanakan
kepentingan warga negaranya dalam pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan
dengan hal-hal tersebut.
b. Status Negatif
Status negatif seorang warga negara akan memberi jaminan kepadanya bahwa
negara tidak boleh campur tangan terhadap hak-hak asasi warga negaranya.
Campur tangan negara terhadap hak-hak asasi warga negaranya terbatas untuk
mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang daripada negara. Walaupun
demikian, dalam keadaan tertentu negara dapat melanggar hak-hak asasi rakyat jika
tindakannya ditunjukkan untuk kepentingan umum.
13
Ibid,. hlm 105-107
13. 10
c. Status Aktif
Status aktif ini memberi hak kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam
pemerintahan. Untuk mewujudkan hak ini setiap warga negara diberi hak untuk
memilih dan dipilih sebagai anggota dalam DPR.
d. Status Pasif
Status pasif ini merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk menaati
dan tunduk pada segala perintah negaranya. Misalnya, apabila negara dalam
keadaan perang maka semua warga negara menurut syarat-syarat tertentu wajib
memanggul senjata untuk membela negara.
Berdasarkan empat kedudukan tersebut di atas, maka seseorang asing itu
dibedakan dari seseorang asing itu dibedakan dari seorang warga negara, karena bagi
warga asing tidak ada ikatan hak dan kewajiban terhadap bukan negaranya.
a. Kewarganegaraan
Mengenai soal kewarganegaraan masing-masing negara menganut asas
kewarganegaraan dan lainnya adalah campuran dari kedua asas itu. Adapun kedua
asas tersebut yakni:
1) Asas Ius Sanguinis (law of the blood), yaitu suatu asas yang menentukan
kewarganegaraan berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat
kelahiran.
2) Asas Ius Soli (law of the soil), yaitu suatu asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran.
Yang disebut dengan campuran yaitu bilamana dua asas tersebut sekaligus
diperlakukan. Dalam praktik banyak dijumpai kesulitan-kesulitan yang berkaitan
dengan masalah kewarganegaraan ini. Kesulitan-kesulitan ini dapat membawa akibat
seorang memperoleh kewarganegaraan lebih dari satu (dwi kewarganegaraan)
1) Dwi Kewarganegaraan
Menurut syarat kewarganegaraan Inggris seorang yang dilahirkan di dalam
wilayah Inggris sebagai British Citizen walaupun orang tuanya itu berwarga
negara Belanda. Walaupun ia dilahirkan di luar wilayah negeri Belanda
walaupun ia dilahirkan di luar wilayah negeri Belanda. Dengan demikian, timbul
keadaan bahwa orang mempunyai dua macam kewarganegaraan.
2) Tanpa Kewarganegaraan Inggris
14. 11
Menurut syarat kewarganegaraan Inggris seorang yang dilahirkan di luar
wilayah United Kingdom dari keluarga British Citizen dan setelah 20 tahun tidak
melaporkan diri tentang kewarganegaraan pada perwakilan Inggris setempat dan
batas waktu untuk melaporkan itu sudah lewat 12 bulan, maka orang itu akan
kehilangan kewarganegaraannya sebagai British Citizen dan juga tidak memiliki
kewarganegaraan lain sehingga ia menjadi tanpa kewarganegaraan atau a patride
(stateless).
b. Kewarganegaraan dalam Islam
Meskipun negara Islam merupakan negara ideologis, tetapi negara ini
membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal di
wilayahnya atau berimigrasi ke dalam wilayahnya. Negara Islam bukan negara
ekstrateritorial. Sebagaimana yang tertera pada surat Al-Anfal ayat 72:
“Sesungguhnya orang yang beriman, berhijrah meninggalkan negerinya,
berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa raganya di jalan Allah, dan
orang-orang yang memberikan suaka dan pertolongan kepada orang-orang yang
berhijrah tersebut, mereka satu sama lain sudah terikat dalam ikatan setia kawan.
Dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi tidak berhijrah, kamu tidak
terikat apa-apa dengan mereka dalam ikatan setia kawan sampai mereka
berhijrah (ke negara Islam). Tetapi seandainya mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam urusan agama dari serangan kaum kafir, kamu wajib menolong
mereka, kecuali jika antara kamu dengan kaum kafir itu terikat oleh perjanjian
tidak saling menyerang. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan”
Menurut Al-Maududi ada dua jenis kewargenegaraan yang dianut oleh negara
Islam, yakni:14
1) Kaum Muslim
Ada dua persyaratan dasar kewarganegaraan, yaitu beriman dan merupakan
penduduk asli suatu negara Islam, atau berdomisili di negara Islam. Seseorang
walaupun beragama Islam, belum menghentikan ketaatannya terhadap negara
non-Islam dan belum berhijrah ke negara Islam, bukan dan tidak dapat menjadi
warga negara Islam. Sebaliknya, semua orang yang beriman, apakah mereka
dilahirkan di negara Islam atau telah berhijrah ke negara Islam, merupakan warga
negara dan menjadi saudara satu sama lainnya.
14
Ibid, hlm.269
15. 12
2) Kaum Dzimmy
Adalah kaum nonmuslim yang bersedia tetap setia dan taat kepada negara
Islam yang dijadikan tempat tinggal untuk mencari nafkah, tanpa memedulikan di
negara mana mereka dilahirkan. Islam memberi jaminan perlindungan kehidupan,
nafkah dan kekayaan, serta jaminan kebudayaan, keimanan dan martabat. Tidak
asa diskriminasi antara kaum muslim dengan dzimy. Kaum dzimmy dikecualikan
dari tanggung jawab negara, yang hanya dikhususkan sepenuhnya bagi semua
warga negara muslim.
2. Wilayah
Yang dimaksud dengan wilayah tertentu (a defined territory) ialah batas
wilayah dimana kekuasaan negara itu berlaku. Setiap negara harus memiliki
wilayah atau territorial yang tampak nyata dengan batas-batas yang dapat dikenali
dengan baik dalam arti nyata factual maupun yuridis. Dalam arti factual yaitu
kenyataan, bahwa negara yang bersangkutan menguasai dan menjalankan
kekuasaan atas wilayah tersebut. Tetapi, sesuatu yang factual belum tentu benar
secara yuridis. Misalnya, wilayah yang diduduki secara paksa atau wilayah yang
disengketakan. Maka yang dimaksud arti dari yuridis adalah wilayah yang tidak
secara nyata dikuasai dan dijalankan kekuasaan pada wilayah tersebut.
Meskipun menurut hukum internasional, berdasarkan prinsip the sovereign
equality of nations, semua negara sama martabatnya, tetapi dalam kenyataan
negara kecil sering mengalami kesukaran untuk mempertahankan kedaulatannya,
apalagi kalau tetangganya negara besar. Negara-negara kecil selalu berkepentingan
baik untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya, agar
kemerdekaannnya tetap normal. Di lain pihak, negara yang luas wilayahnya
menghadapi bermacam-macam masalah, apalagi kalau mencakup berbagai suku
bangsa, ras, dan agama. Juga faktor geografis, seperti iklim dan sumber alam
merupakan perbatasan alamiah (laut, sungai, gunung), apakah negara itu
merupakan benua atau nusantara. Indonesia memelopori gagasan „Wawasan
Nusantara‟ bahwa semua perairan antara pulau-pulau beserta selat dan muara
sungai dianggap perairan pedalaman (internal waters), dimana kedaulatan
Indonesia berlaku sepenuhnya.
3. Pemerintah yang Berdaulat
Menurut Lauterpacht, pemerintah adalah merupakan syarat yang utama
(terpenting) untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut secara hukum
16. 13
atau secara faktanya menjadi negara boneka atau negara setelit dari satelit dari
suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak digolongkan sebagai negara.15
Demikian pula pengakuan dari negara lain sering didasarkan atas kestabilan
daripada pemerintah dan apakah pemerintahanyang dijalankan itu benar-benar
efektif. Karena itu, pada permulaan negara merdeka tidak jarang pengakuan
terhadap negara itu mula-mula bersifat sementara sampai pada saat tertentu negara
itu sudah mempunyai pemerintah yang stabil dan efektif.
Sedangkan menurut Bagir Manan, keberadaan negara sebagai kenyataan, tidak
digantungkan pada kemampuan berhubungan dengan negara lain. Yang lebih
utama adalah menjalankan pemerintahan secara efektif dalam wilayah negara yang
bersangkutan. Kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain, bukan
merupakan syarat konstitutif keberadaan negara.16
4. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
Unsur ini merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu negara, karena unsur ini
bukan merupakan unsur pembentuk bagi badan negara melainkan hanya bersifat
menerangkan tentang adanya negara. Jadi hanya deklaratif, bukan konstitutif.
Tanpa pengakuan dari negara lain suatu negara tetap dapat berdiri. Misalnya,
Indonesia memproklamasikan kemerdekannya pada 17 Agustus 1945, padahal
waktu itu belum ada satu pun negara yang mengakui, sedangkan pengakuan dari
Belanda pun baru diumumkan pada 1949. Tetapi tidak ada yang membantah sejak
17 Agustus 1945 telah ada negara Indonesia dan pemerintahannya mempunyai
kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain.
E. Teori Terbentuknya Negara
1. Pandangan Pemikir Barat
Teori-teori terbentuknya negara terbagi menjadi dua golongan besar
diantaranya yaitu teori-teori yang spekulatif dan teori-teori yang historis atau teori-
teori yang evolusionistis.
a. Teori Perjanjian Masyarakat
Menganggap bahwa perjanjian sebagai dasar negara dan masyarakat. Teori
ini dipandang tertua dan terpenting. Setiap perenungan mengenai negara dan
15
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Cetakan kedua, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm.4-5.
16
Bagir Manan, Hukum Kewarganegaran Menurut UU No.12 Tahun 2006, (Yogyakarta: FH UII Press, 2009),
hlm.3
17. 14
masyarakat, mau tidak mau menghasilkan paham-paham yang mendasarkan
adanya negara dan masyarakat itu pada persetujuan anggota-anggotanya.
Persetujuan itu dapat dinyatakan secara tegas atau dianggap telah diberikan
secara diam-diam.
Teori ini terbukti dapat memengaruhi pemikiran politik di benua Eropa
sejak abad pertengahan sampai ke zaman renaissance dan terus sampai abad
ke-18. Diantara penganut teori perjanjian masyarakat yaitu; Richard Hooker,
Hugo de Groot (Grootius), Benedictus de Spinoza, Samuel Pufendorf, Thomas
Hobbes, John Locke, dan JJ. Rosseau. Teori-teori perjanjian masyarakat
didasarkan atas paham, bahwa kehidupan manusia bernegara dan zaman
sesudah manusia memasuki kehidupan bernegara, atau zaman yang disebut
Melamed sebagai Staatlosen Zustand dan Staatzustan.17
1) Hugo de Groot (Grutius)
Menurut Grotius, sebelum ada negara, kehidupan rakyat pada suku-
suku primitive misalnya, sangat kacau. Hal ini disebabkan karena
setiap orang bebas untuk melakukan apa saja sesuai dengan
kehendaknya. Masyarakat menjadi tidak tertib. Karena alasan inilah
maka negara kemudian didirikan dengan kekuasaan yang mutlak.
Grotius mengatakan:
“Negara terjadi karena suatu persetujuan, karena tanpa negara
orang tak dapat menyelamatkan dirinya dengan cukup. Dari
persetujuan itu lahirlah kekuasaan untuk memerintah. Kekuasaan
tertinggi untuk memerintah ini dinamakan kedaulatan. Kedaulatan itu
dipegang oleh orang yang tunduk pada kekuasaan orang lain, sehingga
ia tidak dapat diganggu gugat oleh kemauan manusia. Negara adalah
berdaulat.”18
2) Thomas Hobbes
Sebelum negara didirikan, manusia hidup dalam keadaan pra
masyarakat, yang dalam literature filsafat disebut “keadaan alamiah”
(state of nature). Setiap individu merupakan ancaman bagi individu
yang lain. Manusia hidup seperti serigala bagi manusia lainnya dan
17 17
F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan 9, (Jakarta: Binacipta, 1992). Hlm.136-139
18
J.J von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sarjan, 1965) hlm. 173-174
18. 15
keadaan ini dikenal dengan bellum omnium contra omnes (perang
antara semua melawan semua)19
Maka dari itu diadakan perjanjian masyarakat yang didalamnya
raja (negara) tidak diikutsertakan. Jadi perjanjian tersebut terjadi antara
rakyat dengan rakyat sendiri. Individu-individu menyerahkan hak-hak
asasinya kepada suatu kolektivitas yaitu suatu kesatuan dari individu-
individu yang diperolehnya melalui pactum uniones, maka disini
kolektivitas itu menyerahkan hak-haknya atau kekuasaannya kepada
raja dalam pactum subjectiones tanpa syarat pun. Raja sama sekali ada
di luar perjanjian, dan oleh karenanya raja mempunyai kekuasaan yang
mutlak setelah hak-hak rakyat diserahkan kepadanya (monarchie
absolut)20
Namun Thomas Hobbes hanya mengambil satu macam perjanjian
yaitu pactum subjectionis atau perjanjian pemerintahan dengan jalan
segenap individu berjanji menyerahkan semua hak-hak kodrat mereka
yang dimiliki ketika hidup dalam keadaan alamiah, perjanjian saja
belum cukup. Orang atau sekelompok orang yang ditunjuk harus
diberikan kekuasaan. Negara harus diberi kekuasaan mutlak sehingga
kekuasaan negara tidak dapat ditandingo dan disaingi oleh kekuasaan
apapun. Schmid mengurai pikiran Hobbes sebagai berikut:
“Sang daulat tak mungkin melanggar perjanjian, karena ia tidak
mengikat perjanjian itu, jadinya ia tidak melepaskan hak-haknya.
Karena itu ia tak mungkin bertindak tidak adil terhadap rakyatnya.
Memang ia dapat bertindak tidak sepatutnya, tetapi ia dapat bertindak
berlawanan dengan hukum. Jadi rakyatnya pun tak dapat menuduh
bahwa ia telah berbuat demikian atau telah melanggar perjanjian,
selebihnya rakyat juga tak dapat menyatakan kehendak mereka untuk
melakukan perlawanan. Kedaulatan ialah kekuasaan tanpa batas untuk
kepentingan-kepentingan tujuan negara.”21
19
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999) hlm. 206-207
20
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995) hlm. 67
21
Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996)
hlm.12
19. 16
3) John Locke
Dasar kontraktual dari negara dikemukakan oleh Locke sebagai
peringatan bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak, tetapi
selalu terbatas. Karena dalam mengadakan perjanjian dengan seorang
atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan seluruh
hak-hak alamiah mereka. Ada hak-hak alamiah yang merupakan hak
asasi yang tidak dapat dilepaskan, juga tidak oleh individu itu sendiri.
Locke menyatakan, yang dilakukan pertama kali dalam
membentuk negara adalah dengan suatu pactum unions yaitu
mengadakan perjanjian masyarakat untuk membentuk suatu masyarakat
politik atau negara.
Selanjutnya Locke menyatakan bahwa suatu pemufakatan yang
dibuat berdasarkan suara terbanyak dapat dianggap sebagai tindakan
seluruh masyarakat itu, karena peraetujuan-persetujuan itu membentuk
negara, mewajibkan individu-individu lain untuk menaati negara yang
dibentuk dengan suara terbanyak itu. Negara tersebut tidak dapat
mengambil hak-hak milik manusia dan hak-hak lainnya yang tidak
dapat diasingkan.22
Ada dua implikasi penting yang Locke paham yaitu pertama,
ialah bahwa “kekuasaan politis pemerintahan negara bukan lain halnya
kekuasaan para negara yang bersatu membentuk tubuh politis,
kekuasaan politis pemerintahan negara yang bersatu membentuk tubuh
politis, kekuasaan mana mereka percayakan kepada orang-orang
politis masyarakat.”
Kedua, motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu
menjamin hak-hak asasinya, terutama miliknya, menjadi tujuan negara.
Maka kewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan
hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga
negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang
penuh ketakutan itu. 23
4) Jean Jacques Roussea
22
W. Friedman, Legal Theory, (London: Stevens&Sons Limited, 1960) hlm.45
23
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999) hlm. 222
20. 17
Rousseau hanya mengenal satu jenis perjanjian saja yaitu
pactum unionis, perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Rosseau
adalah seorang peletak dasar paham kedaulatan rakyat atau untuk
menyesuaikannya dengan keadaan pada waktu itu, ajaran Rosseau
menghasilkan jenis negara yang demokratis, dimana rakyat berdaulat
dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil rakyat.
Dalam paham Rosseau, kedaulatan rakyat mengimplikasikan
dua anggapan. Pertama, penolakan terhadap segala wewenang di atas
rakyat yang tidak dari rakyat. Kedua, tuntutan, agar segala kekuasaan
yang ada mesti identik dengan kehendak rakyat. Jadi negara tidak
berhak untul meletakkan kewajiban atau pembatasan apa pun pada
rakyat. Rakyat berwenang penuh untuk menentukan dirinya sendiri,
maka tidak ada pihak apa pun yang mempunyai wewenang terhadap
rakyat.24
b. Teori Ketuhanan
Doktrin ketuhanan lahir sebagai resultante-resultante kontroversial dari
kekuasaan politik dalam abad pertengahan. Kaum monarchomach, yaitu mereka yang
berpendapat bahwa raja yang berkuasa secara tiranik dapat diturunkan dari
mahkotanya, bahkan dapat dibunuh, menganggap sumber kekuasaan adalah rakyat,
sedangkan raja-raja pada waktu itu menganggap sumber kekuasaan mereka diperoleh
dari Tuhan. Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk
oleh Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin negara hanya bertanggung jawab kepada
Tuhan dan tidak pada siapapun.
Teori ketuhanan dibagi menjadi dua, yaitu teori ketuhanan langsung dan teori
ketuhanan yang tidak langsung. Pengertian teori ketuhanan langsung adalah untuk
menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam negara itu adalah tuhan secara langsung.
Dan adanya negara di dunia ini atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah
tuhan.
Yang menjadi persoalan adalah apakah adanya negara itu atas kehendak raja
yang sama dengan Tuhan atau atas kehendak raja yang bukan Tuhan. Persoalan ini
berpusat pada kepercayaan rakyat terhadap rajanya yang disebut sebagai Tuhan.
Misalnya pada perang dunia II banyak prajurit jepang yang gugur dengan berkamikase
24
Ibid, hlm. 241
21. 18
oleh pengorbanan mereka didasari dengan keyakinan untuk kepentingan rajanya yang
dianggap sebagai Tuhan.
Ajaran tersebut itu dimaksudkan untuk menanamkan kepercayaan pada
rakyatnya, dan kepercayaan itu akan membuat rakyat bersatu menjadi suatu bangsa
yang kuat. Raja yang merupakan alat pemersatu dan untuk itu ia dipuja sebagai Tuhan
sebagai Tuhan agar tetap berwibawa.25
c. Teori Kekuatan
Negara terbentuk dari dominasi yang kuat dari kelompok yang kuat terhadap
kelompok yang lemah. Negara merupakan resultante positif dari sengketa dan
penaklukan. Negara dilahirkan karena pertarungan kekuatam dan yang keluar sebagai
pemenang adalah pembentuk negara itu.
Menurut Marx, yang menganggap bahwa negara itu adalah alat kekuasaan bagi
segolongan manusia didalamnya untuk menindas golongan lainnya guna mencapai
tujuannya. Marx menganggap ada pertentangan kelas di dalam masyarakat karena
adanya perbedaan kekuatan ekonomi.
Doktin kekuatan merupakan hasil analisis antropososiologis dari pertumbuhan
suku-suku bangsa dimasa lampau, terutama suku-suku bangsa yang masih primitif. 26
d. Teori Patriakal
Digambarkan bahwa ayahlah yang berrkuasa dalam keluarga dan garis
keturunan ditarik dari pihak ayah. Keluarga berkembang biak dan terjadilah beberapa
keluarga yang kesemuanya dipimpin oleh ayah. Lambat laun keluarga-keluarga
merupakan kesatuan yang etnis yang besar dan terjadilah suku patriarkal (gens) yang
pertama. Kepala-kepala suku merupakan Iprimus interpares, sampai sekarang
dibentuk semacam pemerintahan yang disentralisasi. Suku-suku inilah yang kemudian
menjadi persekutuan yang bercorak ragam, dan inilah benih pertama dari negara.
e. Teori Organis
Negara dianggap atau dipersamakan dengan makhluk hidup, manusia atau
binatang. Individu yang merupakan komponen-komponen negara dianggap sebagai
sel-sel dari makhluk hidup itu.
Nicholas da Cusa (1401-1464) mengemukakan bahwa kehidupan corporal dari
negara dapat disamakan dengan anatomi makhluk hidup, yakni bahwa pemerintah
25
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995) hlm. 61
26
Ni’matul Huda, Ilmu Negara Edisi Satu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016)hlm. 45
22. 19
dapat disamakan dengan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai
urat syaraf, raja sebagai kepala, dan para individu sebagai daging makhluk hidup itu.
Fisiologi negara sama dengan fisiologi makhluk hidup dengan kelahirannya,
pertumbuhan, perkembangan,dan kematiannya.27
f. Teori Patrimonial
Raja mempunyai hak milik terhadap daerahnya, maka semua penduduk
didaerahnya itu harus tunduk kepadanya. Sebagai contoh, yaitu negara-negara pada
abad pertengahan dimana hak memerintah dan menguasai timbul dari pemberian
tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima
bantuan dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari serangan-
serangan musuh dari luar. Jika perang sudah selesai dengan kemenangan si Raja, maka
sebagai tanda jasa para bangsawan yang ikut membela dan membantunya mendapat
sebidang tanah sebagai hadiah.
Pemberian sebidang tanah kepada para bangsawan, maka berpindah semua hak
atas tanah itu kepada mereka, sehingga mereka mendapatkan hak untuk memerintah
terhadap semua yang ada di atas tanah itu. 28
g. Teori Alamiah
Menurut Aristoteles negara adalah ciptaan alam. Kodrat manusia
membenarkan adanya negara, karena manusia pertama-tama adalah makhluk politik
dan baru kemudian makhluk sosial. Karena kodrat itu, maka manusia ditakdirkan
untuk hidup bernegara.29
h. Teori Historis
Intisari dari teori historis atau teori evolusionistis atau gradualistic theory ialah
bahwa lembaga-lembaga sosial tidak dibuat, tapi tumbuh secara evolusioner sesuai
dengan kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang diperuntukkan guna
memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari
pengaruh tempat, waktu, dan tuntutan-tuntutan zaman.30
2. Pandangan Pemikir Islam
a. Ibnu Abi Rabi’
27
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan 9, (Jakarta: Binacipta, 1992)hlm. 136
28
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995) hlm.66
29
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan 9, (Jakarta: Binacipta, 1992) hlm. 160
30
Ibid, hlm 160
23. 20
Manusia tidak mungkin dapat mencukupi kebutuhan alaminya sendiri tanpa
bantuan orang lain, sehingga mereka saling memerlukan. Hal itu mendorong mereka
saling membantu dan berkumpul serta menetap di satu tempat. Dari proses itu maka
tumbuhlah kota-kota.31
b. Al-Farabi
Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan
alami untuk bermasyarakat, karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya
sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dari pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat
itu tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk
menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia
kebahagiaan.
c. Al-Mawardi
Gagasan ketatanegaraan Mawardi ialah hubungan antar Ahl al-‘Aqdi wa al-
Halli atau Ahl al-Ikhtiar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara
dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau
persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar
timbal balik. Oleh karena itu imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk
menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban yang
harus dipenuhi terhadap rakyatnya.
d. Imam Ghazali
Manusia itu makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendiri dikarenakan dua faktor.
Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia-hal itu
hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga.
Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian dan pendidikan
anak.
Untuk itu semua diperlukan kerja sama dan saling membantu antar sesama
manusia, antara lain dengan membangun pagar-pagar tinggi di sekeliling pusat
perumahan, dan di sanalah lahir negara karena dorongan kebutuhan bersama.
e. Ibnu Khaldun
Adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup
manusia. Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan
suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan
31
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1960), hlm 43-44
24. 21
pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota
masyarakat. Tokoh yang mempunyai kekuasaan dan wibawa yang memungkinkannya
bertindak sebagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim itu adalah raja atau kepala
negara.
F. Teori Hubungan Agama dan Negara
Sebagai negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat) maka sudah
menjadi keharusan bagi semua penyelenggara negara dan pemerintahannya untuk selalu
mendasarkan kebijakan yang diambil pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi negara dengan paham negara agama (teokrasi) yang hanya mendasarkan
ideologinya pada agama tertentu, maka pembuatan peraturan perundang-undangan harus
mengacu kitab suci agama tertentu yang menjadi agama negara.
Hal mana menurut paham teokrasi, negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, dijalankan berdasarkan firman-firmanTuhan, sehingga tata
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dengan titah Tuhan dalam
kehidupan umat manusia. Oleh karenaitu, paham ini melahirkan konsep “negara agama”
atau agama resmi, dan dijadikannya agama resmi tersebut sebagai hokum positif. Konsep
negara teokrasi ini sama dengan paradigm integralistik, yaitu paham yang beranggapan
bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dan
tidak juga beraliran agama sekuler yang tidak memedulikan agama.
Namun berbeda halnya jika mengacu pada negara yang menjadikan relasi antara
agama dan negara dikemas secara sinergis bukan dikotomis yang memisahkan antara
keduanya. Agama dan negara merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya
dipahami saling membutuhkan secara timbal balik, yakni agama membutuhkan negara
sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama, sebaliknya negara
juga membutuhkan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan
moral, etika dan spiritualitas. Pemahaman seperti ini disebut dengan “paradigma
simbiotik”.
Suatu negara yang menganut keragaman agama, pengakuan kebebasan beragaman
memberikan rasa aman bagi rakyatnya, artinya tidak ada satu agama yang dijadikan
agama resmi negara serta tidak juga satu agama tertentu yang dijadikan sumber moral dan
hukum. Hubungan antara negara dan agama antara lain diwujudkan dengan dibentuknya
Kementrian Agama dalam struktur organisasi pemerintahan. Bentuk lain keikut sertaan
pemerintah dalam persoalan agama adalah adanya pengakuan terhadap beberapa agama
yang tumbuh dan berkembang di wilayah negara tersebut.
25. 22
Salah satu contoh bentuk pengakuan ini melalui keluarnya Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri No.447/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: agama yang diakui
pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.
Pemerintah juga membentuk Lembaga-lembaga sepertiMUI, WALUBI, PGI, KWI dan
HINDU DHARMA. Walaupun negara Indonesia mengakui agama-agama tersebut di atas
dan dijabarkan dalam bentuk pelayanan organ negara, akan tetapi jaminan kepada tiap-
tiap orang memeluk agama diluar agama-agama tersebut tetap memperoleh perlindungan.
Selain daripada itu, legitimasi keberagaman agama diwilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing, dilindungi secara konstitusional. Hal ini terbukti dengan
bunyi Pasal 29 UUD 1945 sebagai berikut:
1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang MahaEsa;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaan nyaitu.
Jaminan keberagaman ini di pertegas lagi dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN), sebagai landasan operasionalnya. Hal ini bertujuan untuk memantapkan fungsi,
dalam penyelenggaraan negara, serta mengupayakan agar segala peraturan perundang-
undangan tidak bertentangan dengan moral-moral agama.32
Namun hal berbeda diungkapan oleh M.Tahir Azhary, yang menyatakan bahwa
hubungan agama, negara dan hokum dalam perspektif al-dinul Islami, agama, negara dan
hokum merupakan satu totalitas yang tidak mungkin dipisahkan. Agama adalah inti dari
negara hukum dan sekaligus pula mengatur kehidupan negara dan merupakan sumber
hokum bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengikat masyarakat.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan dalam konteks Indonesia, Islam adalah agama
yang dianut mayoritas bangsa. Maka sesuai dengan teori kepentingan (public interest
theory) dalam hukum tata negara, salah satu tugas dan kewajiban negara adalah
mengakomodasi dan memerhatikan keinginan dan kepentingan para warganya dalam hal
ini antara lain keinginan dan kepentingan umat islam di Indonesia supaya hukum Islam
berlaku secara kafah (sempurna) di Negara Republik Indonesia.
32
A, Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor: Ghalia,2006), hlm.2.
26. 23
Namun hal berbeda diungkapkan oleh K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur) beliau
mengungkapkan bahwa islam harus bertindak sebagai factor komplemen teruntuk
mengembangkan system sosio-ekonomi dan politik, bukan sebagai factor alternatif yang
dapat membawa dampak disintegratif terhadap kehidupan bangsa secara keseluruhan.
Dalam artian Islam harus dipandang dari fungsinya sebagai sebuah falsafah hidup yang
menekankan kesejahteraan rakyat, “rahmatanlil ‘alamin”, tanpa melihat system politiknya.
Jadi pendapatnya Islam dapat berfungsi secara penuh dalam kehidupan masyarakat melalui
pengembangan nilai-nilaidasarnya sebagai etika dalam masyarakat. Fungsi ini bukanlah
bentuk tertentu dari negara, tetapi sebuah system etika social yang ditujukan untuk
membimbing masyarakat dan negara sesuai dengan martabat manusia33
Dari perdebatan pola relasi agama dan negara tersebut memunculkan tiga teori, yaitu
pertama paradigm integralistik (unified paradigm) yaitu paradigma yang menyatakan
hubungan antara agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik
atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya
menurut paradigm ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan
politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (divine sovereignty),
karena pendukung paradigm ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada ditangan
tuhan34
Hal ini yang kemudian disebut sebagai negara teokrasi.35
Dalam teori teokrasi,
disebutkan bahwa urusan negara tidak dapat dipisahkan dari urusan keagamaan. Negara
berdasarkan atas ketuhanan menurut suatu agama tertentu. Negara selalu mengatur urusan
agama dan mewajibkan warga negara untuk melaksanakan. Negara diatur oleh syariat
agama (negara agama). Konsep negara dan agama tersebut teraplikasi dalam konsep tahta
suci Vatikan, Negara Iran.
Sedangkan paham atau teori yang kedua adalah paradigm simbiotik (symbiotic
paradigm) yaitu teori atau paradigma yang menyatakan agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan.
Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat
berkembang. Sebaliknnya negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara
dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.36
33
Ibid, hlm. 28-29.
34
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhzab Negara, Yogyakarta:LkiS, 2001, hlm. 23-24.
35
Rahmat Rosyadi, Op.Cit., hlm.178.
36
Marzuki Wahid, Op.Cit., hlm. 26.
27. 24
Kemudian paham yang ketiga adalah menganut paradigm sekularistik (secularistic
paradigm) yaitu paradigma yang mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara
dan pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak
mendasarkan negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada
bentuk tertentu dari negara
Hal ini yang kemudian dinamakan negara sekuler adalah apabila negara memisahkan
secara diametral antara urusan agama dan negara. Negara tidak ikut campur samasekali
terhadap urusan agama dan negara. Negara tidak ikut campur sama sekali terhadap urusan
agama baik materi dalam artian memberikan dana khusus untuk pengembangan agama
maupun non materi dalam hal pemikiran atau kebijakan yang pada akhirnya
mempermudah atau melindungi agama. Jadi dalam negara sekuler urusan agama
dikembalikan kepada hakin dividu masing-masing anggota masyarakat.
Sedangkan Gede Atmadja menjelaskan negara sekuler adalah negara yang tidak
berdasarkan ketuhanan dan tidak berdasarkan pada agama, serta memisahkan urusan
agama dari negara. Negara tidak ikut campur atau memasuki domain kebebasan beragama.
Warga negara bebas melaksanakan agamanya masing-masing atau tidak beragama
sekalipun.
G. Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam
Seluruh praktik penyelenggaraan negara tidak saja mempunyai dimensi kepentingan
sesaat, akan tetapi hendaklah memiliki pandangan yang jauh ke depan. Kepentingan ke
depan itu harus selalu didasarkan pada pertimbangan kepentingan pelaksanaan nilai-nilai
ajaran Islam, karena pelaksanaan ajaran Islam pada dasarnya tidak hanya penting bagi
umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi keluhuran sifat dasar kemanusiaan. Secara
umum pembuatan peraturan perundangan-undangan di Indonesia harus mengacu kepada
kaidah “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan”
(tasharraf al imam „ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah). Secara lebih khusus lagi,
sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashid al syari‟at), maka semua peraturan
perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya syari‟at.
Pertama, hifz al din. Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan
ajaran Islam, oleh karena kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan kepada
ajaran Islam. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
hakikat ajaran Islam malah justru semua undang-undang haruslah bertujuan memperkuat
28. 25
komitmen semua umat beragama terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu pertimbangan
untuk kepentingan syari‟at haruslah ditempatkan di atas segala-galanya. Semua peraturan
perundang-undangan hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya
tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S. Ali „Imran [3]:83).
Mengingat agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap
undang-undang hendaklah memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan
ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat
lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut, setiap
undang-undang tidak boleh bertentangan dengan semangat spiritual yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia.
Kedua, hifz al nafs. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara
kelangsungan hidup manusia, oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan
yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Seluruh peraturan perundang-
undangan harus dapat menjaga kelangsungan kehidupan dan melindungi kehormatan umat
manusia. Tidak dibenarkan adanya undang-undang yang merendahkan martabat manusia
karena manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S.
Al Isra‟ [17]: 33).
Ketiga, hifz al nasl. Seluruh perundang-undangan harus dapat memelihara
kelangsungan berketurunan, oleh karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan
atau pemutusan keturunan atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas
perusakan lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup
manusia. Seluruh produk perundang-undangan hendaklah bertujuan memuliakan manusia
(Q.S. Al Isra‟ [17]: 31).
Keempat, hifz al mal. Seluruh perundang-undangan hendaklah dapat memelihara
kepemilikan harta, baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun
kepemilikan tak sempurna (milk naaqish) dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk
hak cipta maupun budaya bangsa. Islam menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan
kepemilikan syirkah, namun harta yang dimiliki itu memiliki nilai ibadah dan sosial yang
ditunaikan melalui zakat, infak dan shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).
Kelima, hifz al aql. Peraturan perundang-undangan hendaklah memuliakan manusia
sebagai makhluk Allah yang mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir
yang baik dan benar, terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta
menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan
bahagia (Qs. 17:70). Hal ini dapat terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak
29. 26
terkotori pengaruh narkotika dan obat-obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal
secara dewasa. Berdasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut, maka produk peraturan
perundangan hendaklah dapat: (1) melindungi semua golongan; (2) berkeadilan; (3) sesuai
dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di
Indonesia; (4) sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak
bertentangan dengan agama; (5) selalu memiliki wawasan ke depan. Penyerapan hukum
Islam dalam hukum nasional adalah suatu keniscayaan, karena sebagian besar masyarakat
Indonesia beragama Islam di mana ada bagian-bagian dari hukum Islam yang dapat
terlaksana secara paripurna memerlukan peranan dan dukungan negara. Oleh karena itu,
penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional dapat diwujudkan sejalan dengan
semangat bhineka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
disebabkan karena hukum Islam adalah semuanya membawa kemaslahatan bagi umat
manusia dan alam semesta, sehingga tidak akan terjadi diskriminasi terhadap warga negara
yang berbeda budaya maupun agama. Pola penyerapan itu dapat dilakukan dalam tiga hal
yaitu formal, substansial, dan esensial, tergantung pada materi dan ruang lingkup
berlakunya. Pertama, pola formal (rasmiah). Formal artinya penyerapan hukum Islam pada
hukum nasional secara formal. Ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam
hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam, seperti zakat, wakaf,
peradilan agama, dan haji. Kedua, substansial (dzatiah). Ajaran Islam adalah ajaran
universal (rahmatan lil alamin), untuk itu NU berupaya agar nila-inilai ajaran Islam dapat
dirasakan kemaslahatannya bukan hanya oleh bangsa Indonesia saja akan tetapi oleh
seluruh umat manusia. Karena sistem sosial politik bangsa Indonesia belum
memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka memperjuangkan nilai-nilai
substansi dalam peraturan perundang-undangan, seperti masalah pornografi, perjudian,
penyalahgunaan narkoba dan lain-lain. Ketiga, esensial (ruhiah). Hal ini terkait dengan
kebinekaan bangsa Indonesia dan mendukung tegaknya NKRI. Karena itu dalam
penerapan syariah, perlu menggunakan pola tadriji untuk menghindarkan penolakan
masyarakat yang berakibat kontraproduktif bagi perkembangan sosialisasi syariah pada
masa depan. Hukum Islam yang belum memungkinkan diterapkan, diupayakan untuk
memasukkan esensi Hukum Islam ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia.
Seperti dalam hukum pidana Islam, belum perlu mendorong berlakunya hukum jinayat
Islam secara formal ataupun substansial, tetapi mengupayakan terserapnya esensi hukum
jinayah. Misalnya pidana terhadap pelaku zina (ghairu muhson) yang dalam KUHP tidak
dianggap sebagai pidana harus diperjuangkan menjadi delik pidana dengan hukuman ta‟zir.
30. 27
Relasi negara dan Islam di Indonesia diwarnai oleh ketegangan dan moderasi. Dengan
demikian relasi negara dan Islam di Indonesia tidak selalu ditempuh melalui jalur
ketegangan yang berwatak kekerasan, namun ketegangan itu dapat dikelola secara kreatif
melalui jalur moderasi dan toleransi.37
BAB III
PENUTUP
37
Hasyim Asy’ari, S.H., M.Si., Ph.D., Relasi Agama dan Negara di Indonesia. RechtsVinding Online.
31. 28
Simpulan
1. Konsep dasar tentang negara
2. Ditegaskan tujuan negaranya adalah sebagai berikut:
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. Memajukan kesejahteraan umum;
c. Mencerdaskankehidupanbangsa;
d. Mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kepada, perdamaianabadi dan
keadilan social
3. Fungsi negara secara umum ada empat, yakni untuk melaksanakan ketertiban dan
keamanan, fungsi kemakmuran dan kesejahteraan, fungsi pertahanan dan keamanan
serta fungsi menegakkan keadilan. Berikut merupakan penjelasan fungsi-fungsi
negara secara umum.
4. Unsur-unsur pembentuk suatu negara yaitu:
a. Wilayah (Daerah Kekuasaan)
b. Rakyat atau Penduduk.
c. Pemerintah yang berdaulat.
d. Pengakuan dari Negara Lain (Unsur deklaratif)
5. Teori terbentuknya negara terbagi menjadi dua yaitu menurut pemikir barat dan
pemikir islam
6. Teori hubungan agama dan negara
Hal mana menurut paham teokrasi, negara dan agama dipahami sebagai dua
hal yang tidak dapat dipisahkan, dijalankan berdasarkan firman-firmanTuhan,
sehingga tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dengan titah
Tuhan dalam kehidupan umat manusia.
7. Relasi agama dan negara dalam perspektif islam
a. Paradigma simbiotik mutualistic yaitu hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan.
b. Paradigma intregralistik yaitu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
c. Paradigma sekuleristik yaitu pemisahan (disparitas) agama atas negara dan
pemisahan negara atas agama.
DAFTAR PUSTAKA
32. 29
Adolf, Huala. 1996. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Cetakan kedua.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Azhari, Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum, Jakarta: Kencana.
Aziz, Abdul. 2011. Chiefdom Madinah (Salah Paham Negara Islam), Jakarta: Atmadja, Dewa
Budiarjo, Miriam. 2008. Ilmu Negara. Malang: UB Press. Gede. 2012. Ilmu Negara.
Jakarta: Setara Press.
Budiman, Arif. 1996. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Hasyim Asy‟ari, S.H., M.Si., Ph.D., Relasi Agama dan Negara di Indonesia. RechtsVinding
Isjwara, F. 1992. Pengantar Ilmu Politik, Cetakan 9. Jakarta: Binacipta.
Huda, Ni‟matul. 2010. Ilmu Negara. Jakarta: Rajagrafindo
Online Manan, Bagir. 2009. Hukum Kewarganegaran Menurut UU No.12 Tahun 2006.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Yogyakarta: FH UII Press.
Rumadi, Marzuki Wahid. 2001. Fiqh Madhzab Negara. Yogyakarta:LkiS.
Sjadzali, Munawir. 1960. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI
Press.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
.