Berdasarkan data kriminalitas di Sumatera Utara antara tahun 2007-2009:
1. Jumlah kasus prioritas meningkat namun tingkat penyelesaiannya menurun
2. Kasus narkoba dan judi merupakan jenis kejahatan dengan jumlah terbanyak
3. Tingkat penyelesaian kasus narkoba dan judi masih di atas 90%
semester 6. ini adalah tugas matkul perumahan dan permukiman.
Ini tugasnya intinya nyariin desain perumahan yang layak buat masyarakat yang belum punya rumah sendiri. Lokasi dimana (udah dipatok maksimal 10 km dari UNDIP), rumahnya tipe berapa, denahnya (siteplan) gimana, buat bayarnya nyicil berapa tahun dan sebulannya berapa. Disini jumlah yang harus dibayarin per bulan itu harus tidak lebih dari 30% dari pemasukan perbulannya. Kalo sama biaya transport, ga boleh lebih dari 40%, gitu-gitu.
Perkim Kelompok 4:
Mazaya Ghaizani Nadiantika
Dhanna Prasetya Nusantara
Muhammad Hafidz Satria Pratama
Reksa Istiana
Yonika Evidonta Meilala Boru Sembiring
Aku.
semester 6. ini adalah tugas matkul perumahan dan permukiman.
Ini tugasnya intinya nyariin desain perumahan yang layak buat masyarakat yang belum punya rumah sendiri. Lokasi dimana (udah dipatok maksimal 10 km dari UNDIP), rumahnya tipe berapa, denahnya (siteplan) gimana, buat bayarnya nyicil berapa tahun dan sebulannya berapa. Disini jumlah yang harus dibayarin per bulan itu harus tidak lebih dari 30% dari pemasukan perbulannya. Kalo sama biaya transport, ga boleh lebih dari 40%, gitu-gitu.
Perkim Kelompok 4:
Mazaya Ghaizani Nadiantika
Dhanna Prasetya Nusantara
Muhammad Hafidz Satria Pratama
Reksa Istiana
Yonika Evidonta Meilala Boru Sembiring
Aku.
Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Maret 2012Oswar Mungkasa
Berisikan perkembangan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman terutama yang terkait dengan kegiatan Kementerian Perumahan Rakyat Edisi Maret 2012. Diterbitkan oleh Biro Perencanaan dan naggaran Kemnterian Perumahan Rakyat setiap 3 bulan.
Pembangunan Perdesaan sebagai Basis Ketahanan Nasional (pangan, tenaga kerja, bahan baku ekspor) pola penanganannya dilaksanakan dengan pendekatan pada kekuatan kelompok tani perdesaan untuk mengembangkan sistem agribisnis yang mampu melayani, mendorong, menarik kegiatan pembangunan pertanian wilayah sekitarnya serta percepatan pertumbuhan perdesaan.
Terciptanya suatu kawasan argopolitan akan dapat mensejahteraan demi kemaslahatan masyarakat perdesaan yang sama dengan masyarakat perkotaan. Potensi desa perlu digali dan dikembangkan ke arah peningkatan pendapatan masyarakat.
Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1) Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan DARI KEGIATAN kegiatan pertanian (agribisnis)
2) Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan-pertanian atau agribisnis termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agibisnis hulu (saran pertanian dan permo-dalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
3) Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdepensi/tibal balik yang harmonid, dan saling membutuhkan, di mana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on form) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengelohan hasil dan penampungann (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian.
4) Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota kerana keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Kupang 2011darikupang
Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Kupang 2011 merupakan kelanjutan penerbitan seri publikasi yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Penerbitan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang keadaan dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Kupang.
Dengan demikian diharapkan dari penerbitan buku ini dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat maupun sebagai acuan dalam penelitian Lainnya.
Data yang disajikan dalam publikasi ini merupakan rangkuman dari berbagai data dasar yang bersumber dari survei yang dilakukan oleh BPS serta data-data yang bersifat sekunder dari instansi/dinas terkait lingkup pemerintah Kota Kupang.
Dokumen ini bisa didownload melalui situs bappeda kota kupang pada link berikut :
http://bappedakotakupang.info/warta-bappeda-kota-kupang/232-indikator-kesra-kota-kupang-2011.html
Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Maret 2012Oswar Mungkasa
Berisikan perkembangan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman terutama yang terkait dengan kegiatan Kementerian Perumahan Rakyat Edisi Maret 2012. Diterbitkan oleh Biro Perencanaan dan naggaran Kemnterian Perumahan Rakyat setiap 3 bulan.
Pembangunan Perdesaan sebagai Basis Ketahanan Nasional (pangan, tenaga kerja, bahan baku ekspor) pola penanganannya dilaksanakan dengan pendekatan pada kekuatan kelompok tani perdesaan untuk mengembangkan sistem agribisnis yang mampu melayani, mendorong, menarik kegiatan pembangunan pertanian wilayah sekitarnya serta percepatan pertumbuhan perdesaan.
Terciptanya suatu kawasan argopolitan akan dapat mensejahteraan demi kemaslahatan masyarakat perdesaan yang sama dengan masyarakat perkotaan. Potensi desa perlu digali dan dikembangkan ke arah peningkatan pendapatan masyarakat.
Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1) Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan DARI KEGIATAN kegiatan pertanian (agribisnis)
2) Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan-pertanian atau agribisnis termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agibisnis hulu (saran pertanian dan permo-dalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
3) Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdepensi/tibal balik yang harmonid, dan saling membutuhkan, di mana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on form) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengelohan hasil dan penampungann (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian.
4) Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota kerana keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Kupang 2011darikupang
Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Kupang 2011 merupakan kelanjutan penerbitan seri publikasi yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Penerbitan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang keadaan dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Kupang.
Dengan demikian diharapkan dari penerbitan buku ini dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat maupun sebagai acuan dalam penelitian Lainnya.
Data yang disajikan dalam publikasi ini merupakan rangkuman dari berbagai data dasar yang bersumber dari survei yang dilakukan oleh BPS serta data-data yang bersifat sekunder dari instansi/dinas terkait lingkup pemerintah Kota Kupang.
Dokumen ini bisa didownload melalui situs bappeda kota kupang pada link berikut :
http://bappedakotakupang.info/warta-bappeda-kota-kupang/232-indikator-kesra-kota-kupang-2011.html
Salinan Peraturan Menteri PANRB Nomor 80 Tahun 2012 tentang Pedoman Tata Nask...Rizki Malinda
Tata naskah dinas sebagai salah satu unsur administrasi umum meliputi, antara lain, pengaturan tentang jenis dan penyusunan naskah dinas, penggunaan lambang negara, logo dan cap dinas, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, pengurusan naskah dinas korespondensi, kewenangan, perubahan, pencabutan, pembatalan produk hukum, dan ralat.
Buku laporan pptppo 2015 trafficking report indonesiaECPAT Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang menjadi negara asal, transit, dan tujuan perdagangan orang. Guna mengurangi dampak kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), Pemerintah bekerjasama dengan pemerintah
daerah, organisasi masyarakat, dunia usaha, dan organisasi internasional melalui pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Menteri
Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai Ketua Umum Gugus Tugas sedangakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Ketua Harian dan beranggotakan 19 (sembilan belas) Kementerian/ Lembaga. Guna memudahan tugas Ketua Harian
dibantu oleh Sekretariat Gugus Tugas yang dipimpin oleh Seorang Kepala Sekretariat.
3. DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................. 1
Tujuan dan Sasaran ......................................................................................... 2
Keluaran dan Evaluasi ..................................................................................... 3
BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 .............................. 4
A. MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI ......................... 4
1. Indeks Kriminalitas ................................................................................ 4
2. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional ................... 6
3. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional .................. 7
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS 9
Indikator Pelayanan Publik ....................................................................... 9
1. Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani ......................................... 9
2. Persentase Kabupaten / Kota yang Memiliki Perda Satu Atap ............. 12
3. Persentase SKPD Provinsi yang Memiliki Pelaporan WTP .................. 15
Demokrasi ................................................................................................... 18
1. Gender Development Index (GDI) .......................................................... 18
2. Gender Empowerment Measurement (GEM) ......................................... 21
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ...................... 23
1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ..................................................... 23
Pendidikan .................................................................................................. 24
1. Angka Partisipasi Murni SD/MI ............................................................... 25
2. Angka Partisipasi Kasar SD/MI .............................................................. 26
3. Rata-Rata Nilai Akhir SMP/MTs ............................................................. 27
4. Rata-Rata Nilai Akhir SMA/SMK/MA ...................................................... 28
5. Angka Putus Sekolah SD ....................................................................... 30
6. Angka Putus Sekolah SMP/MTs ............................................................ 31
Keluarga Berencana .................................................................................. 32
1. Persentase Penduduk ber-KB ................................................................ 32
2. Persentase Pertumbuhan Penduduk ..................................................... 34
3. Total Fertility Rate .................................................................................. 35
4. Rekomendasi Kebijakan ......................................................................... 36
Kesehatan ................................................................................................... 37
1. Umur Harapan Hidup ............................................................................ 37
2. Angka Kematian Bayi (AKB) ................................................................... 38
3. Angka Kematian Ibu ............................................................................... 40
4. Prevelensi Gizi Buruk ............................................................................. 41
5. Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk ...................................... 42
6. Total Fertility Rate .................................................................................. 44
ii
4. Ekonomi Makro .......................................................................................... 44
1. Laju Pertumbuhan Ekonomi ................................................................... 44
2. Persentase Ekspor Terhadap PDRB ...................................................... 51
3. Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB ................................... 54
4. Pendapatan per Kapita ........................................................................... 56
5. Laju Inflasi .............................................................................................. 57
Investasi ...................................................................................................... 59
1. Pertumbuhan PMA ................................................................................ 59
2. Pertumbuhan PMDN .............................................................................. 62
3. Rekomendasi Kebijakan ......................................................................... 66
Infrastruktur ................................................................................................ 68
1. Jalan Nasional ........................................................................................ 68
2. Jalan Provinsi ......................................................................................... 70
Pertanian ..................................................................................................... 71
1. Nilai Tukar Petani (NTP) ........................................................................ 71
2. PDRB Sektor Pertanian .......................................................................... 73
Kehutanan ................................................................................................... 75
1. Persentase Luas Lahan Rehabilitasi Dalam Hutan Terhadap Lahan Kritis 75
Kelautan ...................................................................................................... 76
1. Jumlah Tindak Pidana Perikanan ........................................................... 76
2. Luas Kawasan Konservasi Laut ............................................................. 77
Kesejahteraan Sosial ................................................................................. 78
1. Capaian Indikator ..................................................................................... 78
BAB III RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI ..................... 81
1. Pengantar .................................................................................................... 81
2. Relevansi ..................................................................................................... 82
3. Rekomendasi ............................................................................................... 83
4. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi 2009-2013 .................................. 83
5. Rekomendasi Terhadap RPJMN 2010-2014 ................................................ 84
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 102
1. Kesimpulan .................................................................................................. 102
2. Saran ........................................................................................................... 109
iii
5. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dan Tujuan
Pembangunan daerah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan
nasional, pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas daerah
dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi daerah tersebut khususnya bagi
masyarakat dalam semua lapisan dan bagian wilayah. Karena tanggung jawab utama
keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah berada pada Pemerintah Daerah maka
kepada setiap Pemerintah Daerah diberikan kewenangan sesuai dengan kebutuhannya
untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan di daerahnya masing-masing
seperti dinyatakan oleh UU No. 32 Tahun 2004. Namun demikian, peran Pemerintah Pusat
dalam pembangunan daerah juga tidak kalah pentingnya yaitu menjamin bahwa
pembangunan di daerah-daerah akan tetap terintegrasi satu dengan yang lain dalam koridor
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk pencapaian kondisi yang demikian, Pemerintah
Pusat menyusun berbagai rencana berskala nasional yang menjadi pemersatu seluruh
rencana pembangunan yang disusun oleh masing-masing Pemerintah Daerah.
Salah satu rencana pembangunan yang disusun oleh Pemerintah Pusat ialah Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Provinsi Sumatera Utara
yang merupakan salah satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah pula
memiliki RPJMD Tahun 2003-2008 yang salah satu rujukan utamanya ialah Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Seyogianya penyusunan RPJMD 2003-2008
tersebut juga harus mengacu kepada RPJMN disamping dokumen-dokumen perencanaan
lain seperti RTRW Sumatera Utara dan lain-lain. Seyogianya penyusunan RPJMD 2003-2008
tersebut juga harus mengacu kepada RPJMN, tetapi sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan bahwa RPJMD disusun setelah Gubernur baru dilantik maka periodesasi RPJMD
berbeda dengan RPJMN yaitu RPJMD mempunyai periode 2003-2008 sedangkan RPJMN
mempunyai periode 2004-2009. Perbedaan ini tentu menimbulkan kesulitan dalam
mengevaluasi relevansi antara ke dua rencana pembangunan jangka menengah tersebut.
Implementasi RPJMN Tahun 2004-2009 kini telah berjalan selama 5 tahun sesuai dengan
seluruh tahapannya. Evaluasi terhadap capaian / keberhasilan implementasi RPJMN Tahun
1
6. 2004-2009 di setiap Provinsi termasuk Provinsi Sumatera Utara hingga tahun ke empat telah
dilakukan yaitu mulai tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008. Derajad capaian kinerja
pembangunan setiap tahun telah berhasil dievaluasi dan berbagai masalah dan isu-isu
strategis juga telah diidentifikasi.
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2010 di Provinsi Sumatera Utara
dilaksanakan untuk menilai relevansi kinerja pembangunan Daerah Sumatera Utara dalam
rentang waktu 2004-2009 secara utuh. Evaluasi ini dilakukan untuk melihat apakah
pelaksanaan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara telah sinkron dengan rencana
pembangunan nasional serta mencapai tujuan / sasaran yang diharapkan dan apakah
masyarakat dalam semua lapisan dan bagian wilayah benar-benar telah mendapatkan
manfaat dari pembangunan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam tujuan pembangunan
nasional.
Seperti halnya dengan evaluasi tahun-tahun lalu, evaluasi ini secara kuantitatif diharapkan
akan memberikan informasi penting yang berguna sebagai alat untuk membantu pemangku
kepentingan dan pengambil keputusan pembangunan dalam memahami, mengelola dan
memperbaiki apa yang telah dilakukan selama lima tahun terakhir. Hasil evaluasi ini akan
digunakan sebagai bahan rekomendasi yang spesifik sesuai dengan kondisi Sumatera Utara
guna mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah
Sumatera Utara untuk periode berikutnya termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Konsentrasi (Dekon) bagi Daerah Sumatera Utara.
B. Tujuan dan Sasaran
Berdasarkan uraian pada latar belakang diadakannya evaluasi kinerja pembangunan daerah
tahun 2010 ini, tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kegiatan ini ialah untuk
mendapatkan gambaran yang jelas dan akurat tentangan tingkat capaian hingga tahun ke
lima pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 di Daerah
Sumatera Utara dengan sasaran sebagai berikut:
1) Tersedianya data dan informasi yang akurat dan objektif tentang evaluasi kinerja
pembangunan hingga tahun ke lima RPJMN 2004-2009 di Provinsi Sumatera Utara
2) Teridentifikasinya sinkronisasi arah dan tujuan pembangunan daerah Sumatera Utara
dan pembangunan nasional
3) Teridentifikasinya isu-isu strategis daerah Sumatera Utara
2
7. 4) Tersusunnya berbagai rekomendasi tindak lanjut dalam perumusan kebijakan nasional
dan daerah.
C. Keluaran Evaluasi
Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2010 ini meliputi:
1) Data dan informasi serta analisis tentang upaya, capaian dan permasalahan dalam
pelaksanaan tahun ke lima RPJMN Tahun 2004-2009 di Sumatera Utara
2) Identifikasi konsistensi arah dan tujuan pembangunan Sumatera Utara dengan
pembangunan nasional
3) Isu-isu strategis daerah Sumatera Utara
4) Rekomendasi tindak lanjut untuk perbaikan pelaksanaan tahun ke lima RPJMN 2004-
2009 dan bahan masukan untuk penyusunan RPJMN 2010-2014
3
8. BAB II
HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
Evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dilakukan dengan menggunaan acuan tiga agenda
besar yaitu a) Agenda pembangunan Indonesia yang aman dan damai, b) Agenda
pembangunan Indonesia yang adil dan demokratis dan c) Agenda peningkatan
kesejahteraan rakyat. Evaluasi pada masing-masing agenda digunakan mencakup sejumlah
indikator kinerja. Berikut ini adalah hasil evaluasi pada masing-masing agenda.
A. MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
Terwujudnya Indonesia yang aman dan damai dapat dilihat dari tiga indikator utama yaitu
indeks kriminalitas, penyelesaian kasus kejahatan konvensional dan penyele-saian kasus
kejahatan transnasional. Capaian RPJMN 2004-2009 dalam ke tiga indikator tersebut di
Sumatera Utara adalah sebagai berikut:
1. Indeks Kriminalitas
Kriminalitas di Sumatera Utara dapat dibedakan atas 30 jenis tetapi berdasarkan kebijakan
Kapolri, ada 11 jenis kejahatan yang dipandang serius dan digunakan sebagai barometer
keamanan dan kedamaian. Tindak kejahatan tersebut ialah perjudian, narkotika dan obat
berbahaya (narkoba), premanisme, penyalahgunaan (lahgun) BBM, penyeludupan, illegal
logging, traficking, korupsi, penyalahgunaan senjata api (lahgun senpi), illegal fishing dan
illegal minig. Berdasarkan data yang tersedia di Bagian Reserse dan Kriminal, Kepolisian
Daerah Sumatera Utara, jumlah tindak pidana dan penyelesaian tindak pidana berturut-turut
dalam tahun 2007, 2008 dan 2009 dalah seperti terlihat dalam Tabel-1.
4
9. Tabel-1 : Perkembangan Jumlah Tindakan Pidana (JTP) dan Penyelesaian Tindakan
Pidana (PTP) di Wilayah Polda Sumatera Utara
Tahun 2007-2009
2007 2008 2009
No. Kasus Prioritas
JTP PTP % JTP PTP % JTP PTP %
1 JUDI 959 873 91.03 1,538 1,460 94.93 2,890 2,686 92.94
2 NARKOBA 2,933 2,911 99.25 2,641 2,485 94.09 2,704 2,508 92.75
3 PREMANISME 612 608 99.35 316 269 85.13 243 181 74.49
4 LAHGUN BBM 50 58 116.00 71 46 64.79 11 11 100.00
5 PENYELUNDUPAN 71 64 90.14 39 26 66.67 25 21 84.00
6 ILLEGAL LOGGING 215 191 88.84 116 91 78.45 181 146 80.66
7 TRAFICKING 3 3 100.00 6 6 100.00 17 13 76.47
8 KORUPSI 15 15 100.00 11 8 72.73 20 8 40.00
9 LAHGUN SENPI 23 21 91.30 27 10 37.04 7 8 114.29
10 ILLEGAL FISHING 16 18 112.50 15 15 100.00 5 4 80.00
11 ILLEGAL MINING - - 0.00 1 2 200.00 - - 0.00
Jumlah 4,897 4,762 97.24 4,781 4,418 92.41 6,103 5,586 91.53
Gambar-1: Persentase (%) Indeks Kriminalitas
Data di atas menunjukkan bahwa bentuk kriminalitas terbesar di Sumatera Utara ialah tindak
pidana narkoba dan perjudian, premanisme dan illegal logging. Dalam periode 2007-2009,
5
10. tindak pidana narkoba dan illegal logging sedikit mengalami penurunan sedangkan
premanisme menurun secara tajam. Tetapi tindak pidana perjudian meningkat secara tajam.
Secara agregat jumlah tindak pidana dalam 11 tindak pidana prioritas meningkat dari 4.897
pada tahun 2007 menjadi 6.103 pada tahun 2009. Dengan demikian, indeks kriminalitas
Sumatera Utara dalam periode 2007-2009 mengalami kenaikan.
Ditinjau dari capaian penyelesaiannya, secara agregat juga menunjukkan penurunan karena
pada tahun 2007, penyelesaian tindak pidana kriminalisme di Sumatera Utara mencapai
97.24 %, kemudian merosot menjadi 92.41 % pada tahun 2008 dan merosot lagi menjadi
91.53 %. Jenis tindak pindana yang paling rendah penyelesaannya pada tahun 2009 ialah
korupsi, premanisme, traficking sedangkan perjudian dan narkoba relatif tinggi masing-
masing mencapai 92.94 % dan 92. 75 %. Dari uraian diatas terlihat bahwa capaian kinerja
RPJMN 2004-2009 dalam menurunkan indeks kriminalitas relatif masih rendah.
2. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional
Tindakan kejahatan konvensional terdiri dari berbagai bentuk yaitu pencurian dengan
kekerasan (curas), pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor
(curanmor), penganiayaan berat (anirat), judi dan pemerasan/pengancaman. Perkembangan
jumlah tindakan pidana (JTP) dan penyelesaian tindakan pidana (PTP) dalam periode 2007-
2009 di Sumatera Utara dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel-2: Perkembangan Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional Tahun 2007 -
2009
2007 2008 2009
No. Kasus
JTP PTP % JTP PTP % JTP PTP %
1 CURAS 790 386 48.86 854 382 44.73 964 436 45.23
2 CURAT 6133 3566 58.14 5996 3426 57.14 6153 3253 52.87
3 CURANMOR 2469 326 13.20 2324 260 11.19 3046 327 10.74
4 ANIRAT 4627 3264 70.54 4081 2693 65.99 3558 2453 68.94
5 JUDI 959 873 91.03 1538 1460 94.93 2890 2686 92.94
6 PERAS/ANCAM 873 704 80.64 725 543 74.90 588 387 65.82
Jumlah 15851 9119 57.53 15518 8764 56.48 17199 9542 55.48
6
11. Gambar-2: Persentase (%) Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan
Konvensional
Tabel-2 menunjukkan bahwa jumlah tindak pidana konvensional juga menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan dari 15.851 pada tahun 2007 menjadi 17.199 pada tahun
2009. Hampir semua jenis kejahatan mengalami kenaikan kecuali kejahatan dalam bentuk
pemerasan dengan ancaman. Jenis kejahatan yang paling menonjol ialah pencurian dengan
pemberatan, penganiayaan berat dan pencurian kendaraan bermotor.
Ditinjau dari sudut penyelasian kejahatan konvensional, capaian kinerja dalam periode 2007-
2009 terlihat cukup rendah. Tingkat penyelesaian rata-rata pada tahun 2007 hanya mencapai
57.53 %, dan turun lagi menjadi 56.48 % pada tahun 2008 dan kemudian menjadi 55.48 %
pada tahun 2009. Jenis kejahatan konvensional yang paling rendah capaian
penyelesaiannya ialah pencurian kendaraan bermotor, menyusul pencurian dengan
kekerasan. Sedangkan jenis kejahatan yang paling tinggi persentase penyelesaiannya ialah
perjudian yang mencapai 92.94 %.
3. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
Jenis kejahatan transnasional relatif mirip dengan kejahatan konvensional ditambah dengan
tindak pidana penyeludupan. Secara agregat, jumlah tindak pidana kejahatan transnasional
7
12. mengalami penurunan walaupun relatif kecil. Pada tahun 2007, jumlah kejahatan
transnasional di Sumatera Utara adalah 3.326 menurun menjadi 2.927 pada tahun 2008 dan
menurun lagi menjadi 2.719 pada tahun 2009 seperti terlihat dalam Tabel-3. Jenis kejahatan
transnasional yang paling menonjol ialah narkoba yang mencapai sekitar 80-95 % dari
seluruh kejahatan transnasional.
Tabel-3: Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
di Sumatera Utara Tahun 2007-2009
2007 2008 2009
No. Kasus Prioritas
JTP PTP % JTP PTP % JTP PTP %
1 NARKOBA 2,933 2,911 99.25 2,641 2,485 94.09 2,704 2,508 92.75
2 LAHGUN BBM 50 58 116.00 71 46 64.79 11 11 100.00
3 PENYELUNDUPAN 71 64 90.14 39 26 66.67 25 21 84.00
4 ILLEGAL LOGGING 215 191 88.84 116 91 78.45 181 146 80.66
5 TRAFICKING 3 3 100.00 6 6 100.00 17 13 76.47
6 KORUPSI 15 15 100.00 11 8 72.73 20 8 40.00
7 LAHGUN SENPI 23 21 91.30 27 10 37.04 7 8 114.29
8 ILLEGAL FISHING 16 18 112.50 15 15 100.00 5 4 80.00
9 ILLEGAL MINING - - 0.00 1 2 200.00 - - 0.00
Jumlah 3,326 3,281 98.65 2,927 2,689 91.87 2,970 2,719 91.55
8
13. Gambar-3: Persentase (%) Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan
Transnasional
Ditinjau dari sudut penyelesain kasus kejahatan transnasional, terlihat capaian yang relatif
cukup baik walaupun belum pernah dicapai penyelesaian sampai 100 %. Pada tahun 2007,
tingkat penyelesaian mencapai titik paling tinggi yaitu 98.65 % tetapi pada tahun 2008 dan
2009 turun menjadi 91.87 % dan 91.55 %. Seperti terlihat dalam tabel, penyelesaian kasus
terbanyak yaitu kejahatan narkoba mencapai 99.25 % pada tahun 2007, 94.09 % pada tahun
2008 dan 92.75 % pada tahun 2009.
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
INDIKATOR PELAYANAN PUBLIK
1. Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani
Korupsi oleh berbagai pihak dipandang sebagai salah satu faktor yang menyebabkan
keterpurukan dan ketertinggalan bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu,
salah satu agenda prioritas pembangunan Pemerintah Republik Indonesia periode 2004 –
2009 adalah pemberantasan korupsi. Agenda prioritas pembangunan nasional tersebut
tentunya juga menjadi agenda pemerintahan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota. Kebijakan dan program pemberantasan korupsi dibuat oleh
9
14. pemerintah dengan harapan kasus-kasus korupsi dapat dieliminir dan dapat diproses sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku.
Untuk melihat capaian kinerja pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam hal
penanggulangan dan penangan kasus korupsi, antara lain dapat dilihat dari indikator
presentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan untuk kurun
waktu 2004 – 2009 seperti yang ditunjukkan dalam grafik pada Gambar 4.
Sumber: Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, 2010
Gambar-4 : Grafik Kasus Korupsi yang Tertangani Dibandingkan
dengan yang Dilaporkan
Data pada Gambar 4. menunjukkan bahwa jumlah kasus korupsi yang dilaporkan kepada
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada periode tahun 2004 – 2006 masih relatif sedikit dan
terjadi fluktuatif persentasenya dari tahun ke tahun dengan kecenderungan terus meningkat
sejak tahun 2006 - 2008. Relatif sedikitnya kasus korupsi yang dilaporkan kepada Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara pada periode 2004 – 2006 antara lain disebabkan masih rendahnya
kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus korupsi kepada aparat hukum,
ketidaktahuan masyarakat dalam prosedur pelaporan kasus-kasus korupsi yang ia ketahui,
dan ketakutan masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi.
Upaya-upaya yang terus dilakukan oleh pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi
ternyata telah berimbas pada kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melaporkan
10
15. kasus-kasus korupsi kepada aparat penegak hukum. Hal ini terlihat dari meningkatnya kasus
korupsi yang dilaporkan kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dari tahun 2007 – 2008,
dimana terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2008, yaitu dari 53 kasus pada
tahun 2007, menjadi 121 kasus pada tahun 2008. Namun pada tahun 2009 telah terjadi
penurunan yang juga cukup signifikan kasus korupsi yang dilaporkan, yaitu dari 121 kasus
pada tahun 2008 menjadi 56 kasus pada tahun 2009. Penurunan ini tidak terlepas dari
upaya-upaya yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya
pemberantasan korupsi, khususnya yang terkait dengan penegakan hukum. Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara juga mampu menangani seluruh kasus korupsi yang dilaporkan setiap
tahunnya (100 persen), meskipun sebagian dari kasus tersebut masih dalam proses (sedang
ditangani), dan sebagian lainnya sudah divonis. Seluruh kasus yang dilaporkan ke Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara dijatuhi hukuman (mendapat vonis) kecuali 1 kasus yang divonis
bebas pada tahun 2006.
Meskipun suara-suara sumir seperti yang dilontarkan oleh ICW masih didengar, bahwa
Sumatera Utara merupakan daerah yang paling korup di Indonesia, namun upaya
pemberantasan korupsi terus dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun oleh
pemerintah pusat. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus
korupsi juga terus dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh para NGOs.
Kondisi ini tentunya belum menggembirakan kita sebab data aktual mengenai tindak korupsi
yang ada di lembaga penegak hukum seperti polisi maupun kejaksaan, hanya mewakili
kasus-kasus korupsi yang dilaporkan. Sedangkan kasus yang terjadi dalam keseharian yang
terkadang dianggap hal yang biasa masih banyak terjadi. Jadi ibarat “gunung es” maka akan
sangat banyak kasus-kasus lain yang harus segera diungkapkan untuk membersihkan
negara ini dari berbagai tindakan korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Aspek sosial budaya dalam pemberantasan korupsi memang merupakan isu yang sangat
menarik dalam konteks pemberantasan korupsi. Ia ibarat pedang bermata dua. Dengan
adanya semangat otonomi daerah aspek sosial budaya yang dimiliki masyarakat menjadi
kebijakan lokal (local wisdom) dalam mengawal pemerintah agar dapat tercipta pemerintahan
yang transparan dan akuntabel terutama dalam hal penanganan korupsi. Namun disisi lain
sering kali aspek sosial budaya dan tradisi ini menjadi legitimasi untuk kepentingan penguasa
kearah yang negatif yang berujung pada perilaku korup para penguasa.
11
16. 2. Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Perda Satu Atap
Sesuai dengan Permendagri nomor 24 tahun 2006, setiap kabupaten/kota diharuskan
membentuk Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Selain itu Pemerintah juga
menetapkan berbagai kebijakan untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik
dengan menetapkan standard pelayanan minimum (SPM), dengan PP Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM. Sementara itu, untuk perbaikan iklim
investasi, Pemerintah menetapkan Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan
Iklim Investasi, dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pemerintah juga
menetapkan PP Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian
Kemudahan Penanaman Modal di Daerah dan Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tentang PTSP
di Bidang Penanaman Modal sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 25 Tahun 2007. Regulasi-
regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat tersebut menunjukkan komitmen pemerintah
pusat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya yang terkait dengan sistem
perizinan dalam rangka menumbuhkan iklim investasi. Harapannya tentu pemerintah daerah,
provinsi dan kabupaten/kota dapat menindaklanjuti regulasi tersebut di daerahnya. Melalui
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) diharapkan akan dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga pelayanan dapat
menjadi lebih efisien dan efektif.
Untuk melihat kinerja pemerintah pada periode 2004 – 2009 dalam hal peningkatan kualitas
pelayanan publik ini antara lain dapat dilihat melalui indikator persentase kabupaten/kota
yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Untuk Provinsi Sumatera Utara,
kabupaten/kota yang telah memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap dapat dilihat pada
grafik Gambar 5.
12
17. Sumber: Biro Organisasi Setda Provsu, 2009
Gambar-5 : Grafik Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di
Lingkungan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara
Data pada grafik Gambar 5. menunjukkan bahwa sebelum Permendagri nomor 24 tahun
2006 yang mengharuskan setiap kabupaten/kota membentuk Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PPTSP), sudah ada kabupaten yang menyelenggarakan PPTSP, yaitu
Kabupaten Asahan dengan Perda No.3 Tahun 2003. Namun kabupaten/kota yang lain belum
mengikuti regulasi yang dibuat tersebut sehingga pada tahun 2005 tidak ada kabupaten/kota
yang mengikuti kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Asahan. Barulah pada
tahun 2006 setelah keluarnya Permendagri No. 24 Tahun 2006 beberapa kabupaten/kota
yang lain menyelenggarakan PPTSP tersebut, yaitu dua kabupaten/kota pada tahun 2006,
meningkat tajam pada tahun 2007 dan 2008 yaitu masing-masing 9 kabupaten/kota, dan 2
kabupaten/kota lagi pada tahun 2009. Total kabupaten/kota yang telah menyelenggarakan
PPTSP di Sumatera Utara adalah 23 kabupaten/kota dari 33 kabupaten/kota yang ada.
Dari 33 kabupaten/kota yang ada, 10 kabupaten/kota (30,30 persen) belum
menyelenggarakan PPTSP. Ada beberapa alasan mengapa ke-10 kabupaten/kota tersebut
belum menyelenggarakan PPTSP, diantaranya adalah daerah tersebut merupakan
kabupaten/kota yang baru dibentuk dalam proses pemekaran kabupaten/kota yaitu
Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara,
Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, dan Kota Gunung Sitoli. Sedangkan
kabupaten/kota lainnya yang belum menyelenggarakan PPTSP adalah Kabupaten Labuhan
13
18. Batu, Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kota Pematang Siantar
dengan alasan antara lain menunggu pelaksanaan PP 41 Tahun 2007 dan sedang dalam
proses pembentukan. Kurangnya komitmen pemerintah/kota dalam meningkatkan kualitas
pelayanan publik khususnya di bidang perizinan merupakan faktor penyebab mengapa di
kabupaten/kota tersebut, khususnya kabupaten/kota yang sudah lama mekar dan bahkan
merupakan kabupaten/kota induk belum juga membentuk PPTSP. Padahal sesungguhnya
peningkatan jumlah PPTSP di daerah merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam hal
melayani masyarakat dalam hal perizinan secara terpadu dan dapat menghemat waktu dan
biaya.
Komitemen pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya
dalam hal perizinan sudah sangat kuat yang dapat dilihat dari regulasi yang dikeluarkan
seperti Permendagri No. 24 Tahun 2006 dan SK Pelimpahan Kewenangan kepada PTSP
dalam Penataan Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan PP No. 41/2007. Dengan
adanya kewenangan ini dapat mendukung pelaksaan PTSP terutama yang berkaitan dengan
dasar hukum terkait dengan pelaksanaan perizinan dan non perizinan antara lain:
pendelegasian kewenangan, pelimpahan wewenang, penjabaran fungsi dan tugas, serta
pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Secara keseluruhan terdapat 10 kabupaten/kota yang
telah memiliki SK Pelimpahan Kewenangan ini, yaitu : Kabupaten Mandailing Natal,
Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupateen Serdang Bedagai, Kabupaten Tapanuli Utara, Kota
Binjai, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, dan
Kabupaten Pakpak Bharat.
Penyederhanaan prosedur pelayanan dilakukan dengan dikeluarkannya kebijakan tentang
penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dengan sasaran terwujudnya
pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau, serta
meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.
Temuan yang cukup menggembirakan dari riset yang dilakukan oleh Tranparency Indonesia
tahun 2008 adalah bahwa di daerah-daerah yang sudah menerapkan pelayanan satu atap,
menyatakan bahwa ada perbaikan yang cukup signifikan dari kinerja pelayanan publik, dan
juga hampir meniadakan praktek pungutan liar. Perkembangan yang menggembirakan ini
harus dipertahankan dan dikembangkan sehingga pelayanan publik dapat menjadi semakin
efisien dan profesional.
14
19. Meskipun PPTSP sudah menunjukkan kualitas pelayanan publik, di sisi yang lain dalam
pelaksanaannya PPTSP masih mengalami berbagai kendala diantaranya adalah masih
minimnya sarana dan prasarana yang tersedia, terbatasnya dana operasional, jumlah
personil pegawai yang sangat terbatas pemahaman staf terhadap kualitas perizinan, masih
menggunakan system data base yang bersifat manual dan belum terintegrasi dan
komputerisasi, masih belum baiknya koordinasi antar SKPD Teknis sehingga masih ada
SKPD yang mengeluarkan izin, dan belum tingginya kesadaran masyarakat untuk mengurus
perizinan di Kantor PTSP.
3. Persentase SKPD Provinsi yang Memiliki Pelaporan WTP
Salah satu tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah melaksanakan pemeriksaan
keuangan. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan yang
bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa
laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi
komprehensif lainnya.
Laporan keuangan merupakan suatu laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan yang bertujuan menyajikan
informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus kas, dan kinerja keuangan
suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi para pengguna dalam membuat dan
mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya.
Pentingnya pemeriksaan laporan keuangan dilakukan oleh pihak yang independen
dikarenakan informasi dalam laporan keuangan memiliki konsekuensi ekonomis yang
substansial dalam pengambilan keputusan. Selain itu para pengguna laporan keuangan
memerlukan pihak yang independen tersebut untuk mendapatkan penjelasan tentang
kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
Pemeriksaan atas laporan keuangan dilakukan dalam rangka memberikan pendapat/opini
atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan berdasarkan
pada (a) kesesuaian dengan standar akuntansi; (b) kecukupan pengungkapan (adequate
disclosure); (c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan (d) efektivitas
sistem pengendalian intern. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan,
15
20. selain memberikan opini atas laporan keuangan, BPK juga melaporkan hasil pemeriksaan
atas sistem pengendalian intern, dan laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan.
Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa atas pemeriksaan laporan keuangan.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa.
• Opini Wajar Tanpa Pengecualian – WTP (unqualified opinion); opini wajar tanpa
pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan
secara wajar dalam semua hal yang material dan informasi keuangan dalam laporan
keuangan dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan.
• Opini Wajar Dengan Pengecualian – WDP (qualified opinion); opini wajar dengan
pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan
secara wajar dalam semua hal yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang
berhubungan dengan yang dikecualikan, sehingga informasi keuangan dalam laporan
keuangan yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa dapat digunakan oleh para
pengguna laporan keuangan.
• Opini Tidak Wajar – TW (adverse opinion); opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan
keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material,
sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para
pengguna laporan keuangan.
• Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat – TMP
(disclaimer of opinion); pernyataan menolak memberikan opini menyatakan bahwa laporan
keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan. Dengan kata lain,
pemeriksa tidak dapat memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan bebas dari salah
saji material, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan
oleh para pengguna laporan keuangan.
Grafik pada Gambar 6 berikut akan menunjukkan opini laporan keluangan pemerintah
Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2006 – 2009.
16
21. Sumber: BPK RI, 2010
Gambar-6 : Grafik Pada Gambar 3 Berikut Akan Menunjukkan Opini Laporan Keluangan
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
dari Tahun 2006 – 2009
Data pada Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi opini penilaian laporan keuangan
pada kabupaten/kota di Sumatera Utara. Pada tahun 2006 terdapat 16 daerah yang
mendapat opini WDP, 3 daerah dengan opini TW, dan 1 daerah dengan opini TMP.
Keadaan ini ternyata menurun pada tahun 2007 dimana hanya 8 daerah. Untuk tahun 2008
dan 2009 opini penilaian laporan keuangan menunjukkan perbaikan dimana terjadi
peningkatan daerah yang mendapat opini WDP yaitu menjadi 12 daerah dan 14 daerah pada
tahun 2009. Sementara itu terjadi penurunan daerah yang mendapat opini TMP dari 14
daerah pada tahun 2008 menjadi 13 daerah pada tahun 2009 (www.bpk-ri.go.id).
Hasil laporan keuangan kabupaten/kota tersebut di atas berpengaruh terhadap opini laporan
keuangan di tingkat provinsi. Karena itu, opini laporan keuangan Provinsi Sumatera Utara
juga mengalami perbaikan sejalan dengan laporan keuangan di kabupaten/kota. Opini
laporan keuangan Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2006 – 2009 tercatat sebagai berikut :
tahun 2006 (TMP), tahun 2007 (TMP), tahun 2008 (WDP), dan tahun 2009 (WDP). Sampai
saat ini belum ada kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang meraih opini
WTP, termasuk pada tingkat provinsi.
17
22. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab opini laporan keuangan Provinsi Sumatera
Utara sehingga belum mencapai WTP dan hal itu dicatat dalam Ikstisar Hasil Pemerikasaan
(IHP) yang dilakukan BPK untuk Provinsi Sumatera Utara, yaitu : dalam hal pencatatan yang
belum atau tidak dilakukan secara akurat berkaitan dengan asset tetap, dan belum
lengkapnya bukti-bukti yang mendukung. Keadaan ini mengindikasikan reformasi manajemen
keuangan negara sesuai UU No 13/2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan PP No
25/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) masih belum berhasil sepenuhnya
memperbaiki fungsi perencanaan, pengelolaan, dan pelaporan keuangan pemerintah.
Faktor lain yang menjadi penyebabnya adalah: Pemda belum sigap untuk menetapkan
anggaran secara tepat waktu dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi
yang baru; sistem anggaran dan pelaporan pertanggungjawaban pemerintah yang berlaku
masih terlalu kompleks dan ambisius dibandingkan daya dukung dan upaya peningkatan
profesionalisme sumber daya manusia bidang manajemen anggaran dan akuntansi yang
masih rendah.
Opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang berfluktuatif tersebut
menggambarkan bahwa hampir belum ada kemajuan yang signifikan dalam peningkatan
tranparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Karena itu masih cukup banyak
permasalahan dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang perlu
diperbaiki.
DEMOKRASI
1. Gender Development Index (GDI)
Permasalah gender yang dihadapi sampai saat ini adalah masih rendahnya kualitas hidup
perempuan dan masih adanya kesenjangan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya peringkat Gender-related
Development Index (GDI) Indonesia yang diukur dari variable angka harapan hidup, angka
melek huruf, angka partisipasi sekolah dan GDP riil per-kapita antara laki-laki dan
perempuan. Perkembangan persentase GDI Provinsi Sumatera Utara selama periode 2004
sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Gambar 7.
18
23. Sumber: Bappenas, 2009
Gambar-7 : Grafik Gender Develepment Index (GDI) Provinsi Sumatera Utara
Grafik pada Gambar 7. menunjukkan bahwa angka Gender Development Index (GDI)
Provinsi Sumatera Utara terus mengalami peningkatan dari tahun 2004 – 2009. Artinya ada
peningkatan angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi sekolah dan GDP riil
per-kapita antara laki-laki dan perempuan di Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari angka
GDI pada tahun 2004 yaitu 61,70 persen, meningkat menjadi 62,96 persen (2005),
meningkat menjadi 63 persen (2006), meningkat menjadi 63,50 persen (2007), meningkat
menjadi 64 persen (2008), dan 64,4 persen (2009) Pada tahun 2005, Sumatera Utara
menduduki peringkat 7 GDI nasional, dan pada tahun 2006 telah naik menduduki peringkat 4
nasional.
Peningkatan secara terus menerus angka GDI ini tidak terlepas dari berbagai
kebijakan/program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun
Provinsi Sumatrera Utara, khususnya yang terkait dengan program kesehatan dan
pendidikan, terutama bagi perempuan. Di Sumatera Utara terdapat 57 unit rumah sakit umum
dan 112 rumah sakit yang dikelola oleh swasta. Untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan
pelayanan terpadu terdapat 18.003 unit. Tenaga medis juga merupakan dukungan yang
semakin memperkuat pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Jumlah Dokter, Dokter
Gigi dan Spesialis yang ada berjumlah 2.932 orang dibantu oleh 16.192 orang bidan dan
perawat.
19
24. Untuk variabel angka harapan hidup, Provinsi Sumatera Utara masih menunjukkan bahwa
angka harapan hidup laki-laki masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan perempuan.
Sampai dengan tahun 2007 angka harapan hidup perempuan masih dikisaran 67,2 tahun
sedangkan laki-laki mencapai umur 71,1. tahun.
Indikator lain dalam pencapaian kesetaraan gender dan pembangunan perempuan adalah
angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Angka melek huruf perempuan tahun 2007
adalah 95,2 persen, dan masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki yang sudah
mencapai 98,3 persen. Kelompok penduduk usia sekolah ini adalah kelompok penduduk usia
produktif, sebagai sumber daya pembangunan yang seharusnya memiliki pendidikan yang
memadai dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Oleh karena itu,
dianggap penting untuk melihat perkembangan kemajuan indikator ini. Secara rata-rata, buta
huruf perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Dalam aspek ini, baik perempuan dan laki-
laki kelompok umur 15-24 tahun membutuhkan intervensi pemerintah dan masyarakat agar
mereka tidak buta huruf dan mampu mengakses lapangan pekerjaan. Faktor kultural yang
masih memandang perempuan tidak perlu sekolah karena hanya mengurusi dapur dan
rumah tangga merupakan salah satu faktor penyebab masih tingginya angka melek haruf
kaum perempuan. Untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah
dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan, dapat dilihat dari penduduk yang masih sekolah
pada umur tertentu yang lebih dikenal dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS). APS
berkecenderungan meningkat pada semua kelompok umur baik anak laki-laki maupun anak
perempuan. Sampai dengan tahun 2007 APS Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pencapaian yang nyata antara
laki-laki dan perempuan disemua jenjang pendidikan, bahkan pada kelompok usia 7-12 thn
dan 16-18 tahun anak perempuan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.
Tabel 4 : Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Usia Sekolah tahun 2007
Laki-Laki Perempuan
7-12 thn 13-15 thn 16-18 thn 7-12 thn 13-15 thn 16-18 thn
98,53 90,97 63,36 98,78 90,80 67,87
Sumber: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2008
20
25. 2. Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement/ GEM) meliputi variabel
partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. Artinya,
bagaimana tingkat partisipasi perempuan pada ketiga bidang tersebut. Perkembangan GEM
di Provinsi Sumatera Utara selama periode 2004 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada
Gambar 8.
Sumber: Bappenas, 2009
Gambar-8 : Grafik Gender Empowerment Meassurement (GEM) Provinsi Sumatera
Utara
Gambar 8. menunjukkan bahwa angka Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun (2004-2009), yaitu 49,49
persen (2004); 51,21 persen (2005); 54,8 persen (2006); 56,50 persen (2007); dan 58 persen
(2008); dan 60 persen pada tahun 2009. Artinya, tingkat partisipasi perempuan pada bidang
ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan di Sumatera Utara juga mengalami
peningkatan (perbaikan).
Dalam bidang politik, keterlibatan perempuan dilakukan melalui upaya affirmative action,
yaitu mendorong keterwakilan perempuan dalam politik yang telah mengatur kuota 30 persen
perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif)
serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk
21
26. memenuhi kuota 30 persen bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan
rakyat.
Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurangkurangnya
30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah
satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu
Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30 persen
keterwakilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan
KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan
perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik
nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan
pembentukan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal
20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang
memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 persen. Ketetapan kuota 30
persen sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan
dan tuntutan dari para aktivis perempuan.
Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi perempuan (melawan politik
patriarki), karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki
bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan
perempuan dalam partai politik dan parlemen.
Di Sumatera Utara terdapat 79 orang laki-laki dan 6 orang perempuan yang duduk dalam
DPRD Provinsi Sumatera Utara. Untuk seluruh kabupaten/kota yang ada di Sumtera
berjumlah 850 orang laki-laki dan 74 orang perempuan dari 924 orang jumlah keseluruhan
anggota DPRD yang ada di kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan keterlibatan perempuan
dalam bidang politik semakin membaik.
Keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif juga menjadi tolak ukur pemberdayaan
perempuan. Untuk melihat pemberdayaan perempuan di lembaga eksekutif dilihat dari
perempuan yang telah menduduki jabatan struktural dan jabatan fungsional, yaitu mulai dari
eselon IV, III, II dan I, dan sementara jumlah yang menduduki jabatan fungsional belum dapat
dikumpulkan.
22
27. Seorang pegawai untuk menduduki Jabatan baik struktural maupun fungsional sangat
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan pegawai. Meskipun tidak berbanding lurus
pendidikan dan jabatan namun latar belakang pendidikan merupakan faktor penting bagi
perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan tertentu.
AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan gambaran komprehensif mengenai tingkat
pencapaian pembangunan manusia di suatu daerah sebagai dampak dari kegiatan
pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Perkembangan angka IPM memberikan
indikasi peningkatan atau penurunan kinerja pembangunan manusia disuatu daerah. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Daerah melakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM di wilayahnya, baik dari aspek fisik (kesehatan), aspek
intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (daya beli), serta aspek moralitas
(iman dan ketaqwaan). Berikut ini perkembangan tingkat capaian IPM Sumatera Utara
selama periode 2004 – 2009 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9 di bawah.
Gambar-9 : Perkembangan IPM Sumatera Utara Periode 2004 – 2009
23
28. Berdasarkan Gambar 9. di atas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan IPM
Sumatera Utara selama periode 2004 – 2009 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Peningkatan IPM ini seiring dengan perkembangan ekonomi Sumatera Utara selama periode
tersebut. Pada tahun 2004, tingkat IPM Sumatera Utara mencapai angka 71,40 dan
meningkat menjadi 73,40 pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan sebesar 2,00 poin
selama periode tersebut. Peningkatan IPM Propinsi Sumatera Utara mengindikasikan bahwa
tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Sumatera Utara cenderung semakin
membaik seiring dengan kinerja penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Sumatera Utara
yang terus menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini ditandai
dengan bertambahnya usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan meningkatnya
konsumsi (daya beli) per kapita masyarakat Sumatera Utara selama periode tersebut.
PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Selain itu, pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup
individu, masyarakat dan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin
baik kualitas sumber dayanya. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia
terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman. Penduduk dengan
kemampuannya sendiri diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam berbagai
kegiatan, sehingga di masa mendatang mereka dapat hidup lebih layak.
Berdasarkan amanat undang-undang, pembangunan pendidikan lebih diarahkan pada
peningkatan akses dan kesempatan masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan.
Bahkan peningkatan akses pendidikan masyarakat tersebut juga diikuti dengan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan terutama untuk kelompok masyarakat yang kurang
mampu. Beberapa indikator yang biasa dipakai untuk mengevaluasi keberhasilan dalam
pembangunan bidang pendidikan, antara lain adalah :
1. Angka Partisipasi Kasar (APK) Untuk Tingkat SD/MI
Angka partisipasi kasar (APK) menunjukkan proporsi anak sekolah baik laki-laki maupun
perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai
dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum
mengenai jumlah anak yang menerima pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu dan
biasanya tidak memperhatikan umur siswa.
24
29. Berdasarkan Gambar 10 di bawah menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan di
Propinsi Sumatera Utara selama periode 2004 – 2009 ditandai oleh semakin
meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh
angka partisipasi kasar (APK) untuk jenjang pendidikan SD/MI dari 101,57 persen pada
tahun 2004 menjadi 106,55 persen tahun 2005 dan 109,98 pada tahun 2006. Begitupun
pada tahun 2007, APK untuk jenjang pendidikan SD/MI mengalami peningkatan hingga
mencapai 110,01 persen, akan tetapi pada tahun 2008 terjadi sedikit penurunan pada
nilai APK menjadi 109,36 persen. Untuk tahun 2009, melalui berbagai program yang
dilakukan pemerintah Propinsi Sumatera Utara, nilai APK mengalami peningkatan
kembali hingga mencapai 110,52 persen dan ini menunjukkan bahwa pada tahun 2009
terdapat sekitar 111 orang yang bersekolah dijenjang pendidikan SD/MI dalam 100
penduduk yang berusia 7 – 12 tahun. Besarnya nilai APK untuk jenjang pendidikan SD/MI
ini menunjukkan masih adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah SD/MI,
yakni yang lebih muda ataupun yang lebih tua.
Gambar-10 : Perkembangan Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD/MI
di Sumatera Utara Periode 2004 – 2009
2. Angka Partisipasi Murni (APM) Untuk Tingkat SD/MI
Angka Partisipasi Murni (APM) adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk
yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah
pada jenjang pendidikan tersebut. Oleh karena itu nilai APM membatasi usia siswa sesuai
25
30. dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya selalu lebih kecil
dibandingkan nilai APK.
Secara umum, kondisi tingkat pendidikan di Sumatera Utara berdasarkan nilai APM
menunjukkan perkembangan yang fluktuatif. Pada tahun 2004, nilai APM untuk tingkat
SD/MI di Sumatera Utara sebesar 90,21 persen dan meningkat menjadi 90,99 persen
pada tahun 2005. Begitupun pada tahun 2006, nilai APM terus meningkat hingga
mencapai 94,70 persen dan menjadi 95,15 persen pada tahun 2007. Peningkatan ini
terjadi seiring dengan semakin besarnya komitmen pemerintah daerah dalam bidang
pendidikan. Program-program pemerintah yang strategis ini dapat memberikan kontribusi
bagi masyarakat dalam menikmati layanan pendidikan yang dibutuhkan, sehingga anak-
anak usia sekolah dapat bersekolah sesuai dengan layanan yang diberikan melalui
program bantuan operasional sekoalah (BOS). Dengan adanya program pemerintah
tersebut diharapkan tidak ada anak usia SD/MI yang tidak bisa sekolah karena alasan
tidak mampu membayar uang sekolah.
Gambar-11 : Perkembangan Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI
di Sumatera Utara Periode 2004 – 2009
Namun pada tahun 2008, nilai APM untuk tingkat SD/MI mengalami penurunan menjadi
92,41 persen dan kembali mengalami peningkatan pada tahun 2009 menjadi 92,90
persen. Penurunan ini menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang bersekolah di
jenjang pendidikan SD/MI pada tahun 2008 dan 2009 relatif mengalami penurunan.
26
31. Penurunan ini disebabkan adanya kecenderungan usia masuk untuk jenjang pendidikan
SD/MI semakin muda (kurang dari 7 tahun). Kecenderungan usia masuk yang semakin
muda ini menyebabkan nilai APM semakin menurun karena anak usia 6 tahun yang ada
di SD/MI dan anak usia 12 tahun yang sudah bersekolah di SMP/MTs tidak terhitung
dalam menentukan APM. Namun demikian, kondisi ini membuktikan bahwa tingkat
partisipasi penduduk usia sekolah untuk jenjang pendidikan SD/MI di Sumatera Utara
relatif mengalami perkembangan yang berfluktuatif selama periode 2004 – 2009.
3. Rata-Rata Nilai Akhir
Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan
acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta
didik. Salah satu kriteria yang digunakan untuk indikator bidang pendidikan tersebut
adalah rata-rata nilai akhir untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA.
Berdasarkan Tabel -5 di dibawah, bahwa rata-rata nilai akhir untuk jenjang pendidikan
SMP/MTs di Sumatera Utara mengalami peningkatan selama periode 2004 – 2009. Untuk
tahun 2004, rata-rata nilai akhir untuk jenjang pendidikan SMP/MTs sebesar 5,51 dan
sedikit mengalami penurunan pada tahun 2005 hingga tahun 2007 menjadi sebesar 5,48.
Akan tetapi pada tahun 2008 – 2009, rata-rata nilai akhir pada jenjang pendidikan
SMP/MTs mengalami peningkatan dari rata-rata sebesar 6,78 pada tahun 2008 menjadi
rata-rata 7,00 pada tahun 2009. Peningkatan ini menunjukkan adanya peningkatan
kualitas dari lulusan jenjang pendidikan SMP/MTs di Sumatera Utara dari tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari berbagai program yang dilakukan oleh
pemerintah Propinsi Sumatera Utara melalui peningkatan alokasi anggaran pendidikan
pada APBD tahun anggaran 2009.
27
32. Tabel 5. Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA
di Sumatera Utara Periode 2004 – 2009
Tahun SMP/MTs SMA/SMK/MA
2004 5,51 4,85
2005 5,48 6,00
2006 5,48 6,12
2007 5,48 6,66
2008 6,78 6,73
2009 7,00 6,94
Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMA/SMK/MA di Sumatera Utara selama periode
2004 – 2009 menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2004,
besarnya rata-rata nilai akhir untuk jenjang pendidikan SMA/SMK/MA sebesar 4,85 dan
meningkat menjadi 6,00 pada tahun 2005 serta 6,12 pada tahun 2006. Begitupun pada
tahun 2007, rata-rata nilai akhir untuk jenjang SMA/SMK/MA terus menunjukkan
peningkatan dari 6,66 menjadi 6,73 pada tahun 2008 dan meningkat kembali pada tahun
2009 menjadi rata-rata sebesar 6,94. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode
tersebut, rata-rata nilai akhir pada jenjang pendidikan SMA/SMK/MA mengalami
peningkatan yang signifikan. Kondisi ini tidak terlepas dari visi dan misi gubernur
Sumatera Utara agar rakyat Sumatera Utara tidak bodoh yang diimplementasikan melalui
peningkatan alokasi anggaran pendidikan dalam APBD Sumatera Utara dari tahun ke
tahun dan adanya komitmen pemerintah Propinsi Sumatera Utara untuk mewujudkan
arah dan tujuan bidang pendidikan secara nasional.
4. Angka Putus Sekolah (APS)
Salah satu indikator capaian kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah untuk urusan
pendidikan adalah Angka Putus Sekolah (APS). Berdasarkan Tabel-6 di bawah
menunjukkan bahwa pada tahun 2004, persentase APS di Propinsi Sumatera Utara untuk
jenjang SD/MI mencapai 3,76 persen dan memperlihatkan tren yang terus menurun
sampai tahun 2008 hingga mencapai 1,23 persen. Penurunan angka putus sekolah ini
disebabkan kebijakan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara yang memberikan beasiswa
terarah dan adanya bantuan operasional sekolah (BOS) untuk semua jenjang pendidikan
28
33. sehingga melalui kebijakan ini diharapkan akan menekan persentase angka putus
sekolah.
Tabel 6. Perkembangan APS Tingkat SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA
di Sumatera Utara Periode 2004 – 2009
Tahun SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA
2004 3,76 3,04 4,76
2005 3,33 2,94 3,87
2006 1,80 3,23 3,53
2007 1,27 4,85 1,79
2008 1,23 7,41 2,98
2009 na Na Na
Sedangkan angka putus sekolah (APS) untuk jenjang pendidikan SMP/MTs menunjukkan
perkembangan yang meningkat selama periode 2004 – 2008, walaupun pada tahun 2005
terjadi sedikit penurunan dari tahun sebelumnya. Untuk tahun 2004, angka putus sekolah
mencapai 3,04 persen dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 2,94
persen. Namun pada tahun 2006, angka putus sekolah untuk jenjang SMP/MTs kembali
menunjukkan peningkatan menjadi 3,23 persen dan terus meningkat menjadi 4,85 pada
tahun 2007 dan tahun 2008 mencapai 7,41 persen. Tingginya persentase APS untuk
jenjang SMP/MTs di Sumatera Utara umumnya lebih disebabkan pada alasan-alasan
faktor ekonomi keluarga.
Sementara itu, untuk angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SMA/SMK/MA di
Sumatera Utara menunjukkan kecenderungan yang menurun selama periode 2004 –
2008, walaupun pada tahun 2008 terjadi peningkatan yang signifikan dari tahun
sebelumnya. Berdasarkan Tabel 2 di atas, APS untuk jenjang pendidikan SMA/SMK/MA
di Sumatera Utara sebesar 4,76 persen dan menurun menjadi 3,87 tahun 2005.
Begitupun pada tahun 2006 dan 2007 telah terjadi penurunan angka APS yang signifikan
dari 3,53 persen tahun 2006 menjadi 1,79 persen pada tahun 2007 walaupun pada tahun
2008 terjadi peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya menjadi 2,98 persen.
Namun demikian, keberhasilan untuk menekan angka putus sekolah pada jenjang
SMA/SMK/MA di Sumatera Utara tidak terlepas dari visi gubernur Propinsi Sumatera
Utara yang mengupayakan agar masyarakat tidak bodoh dengan meningkatkan alokasi
29
34. anggaran pendidikan pada APBD dan adanya program bantuan operasional sekolah
(BOS) pada jenjang pendidikan SMA/SMK/MA.
5. Angka Melek Aksara 15 Tahun Keatas
Kemampuan membaca dan menulis tercermin dari angka melek huruf yang didefinisikan
sebagai persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis
huruf latin maupun huruf lainnya. Semakin tinggi persentase melek huruf disuatu daerah
maka semakin tinggi mutu sumber daya manusia di daerah tersebut.
Gambar-12 : Perkembangan Angka Melek Aksara di Sumatera Utara
Periode 2004 – 2009
Secara rata-rata angka melek huruf di Sumatera Utara selama periode 2004 – 2009
menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2004, angka melek aksara di
Sumatera Utara mencapai 96,60 persen dan terus mengalami peningkatan hingga
mencapai 97,95 persen pada tahun 2009. Hal ini berarti masih terdapat 2,05 persen
penduduk usia 15 tahun ke atas di Sumatera Utara yang masih buta huruf, terutama
untuk penduduk usia tua. Gambaran ini mengindikasikan bahwa kualitas mutu
pembangunan untuk bidang pendidikan di Sumatera Utara dari indikator angka melek
aksara menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik. Sebaliknya untuk indikator
angka buta huruf menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun.
30
35. Sementara itu, dilihat dari kualitas SDM yang ada di Sumatera Utara, pada umumnya di
daerah perkotaan cenderung relatif lebih baik dibandingkan daerah perdesaan. Hal ini
dikarenakan akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan masyarakat, terutama yang
berhubungan dengan pendidikan lebih mudah diperoleh. Disamping itu, kondisi ekonomi
masyarakat diperkotaan masih cenderung lebih baik sehingga kesempatan untuk
meningkatkan kualitas SDM lebih terbuka bagi penduduk yang berada diperkotaan.
6. Persentase Jumlah Guru yang Layak Mengajar
Persentase jumlah guru yang layak mengajar menggambarkan angka relatif banyaknya
guru yang memenuhi tingkat pendidikan atau ijazah yang dimiliki dan kompetensi
mengajar dibandingkan dengan jumlah guru yang ada disuatu daerah. Berdasarkan Tabel
3 di bawah, persentase jumlah guru yang layak mengajar pada jenjang pendidikan
SMP/MTs di Sumatera Utara menunjukkan tren perkembangan yang meningkat dari
tahun ke tahun selama periode 2004 – 2008. Hal ini terlihat dari persentase jumlah guru
yang layak mengajar di Sumatera Utara pada tahun 2004 mencapai 74,16 persen dan
meningkat menjadi 86,28 persen pada tahun 2008 atau mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 4,13 persen per tahun.
Tabel 7. Jumlah Guru yang Layak Mengajar SMP/MTs dan SMA/SMK/MA
di Sumatera Utara Periode 2004 – 2009
Tahun SMP/MTs SMA/SMK/MA
2004 74,16 61,65
2005 74,50 65,32
2006 72,46 77,75
2007 84,94 78,29
2008 86,28 79,46
Selanjutnya, untuk jenjang pendidikan SMA/SMK/MA di Sumatera Utara bahwa jumlah
guru yang layak mengajar menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun selama periode
2004 – 2008. Pada tahun 2004, persentase jumlah guru yang layak mengajar sekitar
61,65 persen, meningkat menjadi 65,32 persen tahun 2005 dan 77,75 persen pada tahun
2006. Begitupun tahun 2007 terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi 78,29
persen dan meningkat kembali tahun 2008 hingga mencapai 79,46 persen. Dengan
31
36. demikian, selama periode 2004 – 2008, persentase jumlah guru yang layak mengajar
untuk jenjang pendidikan SMA/SMK/MA di Sumatera Utara mengalami peningkatan rata-
rata sebesar 6,79 persen per tahun. Peningkatan persentase guru yang layak mengajar
ini, baik untuk jenjang SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA dikarenakan adanya upaya
serius dari pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik
melalui penambahan pengalokasian anggaran untuk guru-guru yang akan disertifikasi.
KELUARGA BERENCANA
Program Keluarga Berencana (KB) yang mempunyai slogan 2 anak cukup! Dicanangkan
pemerintah sebagai usaha untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk serta meningkatkan
kesehatan ibu dan anak. Dengan KB, keluarga Indonesia atau pasangan usia subur didorong
untuk merencanakan kehamilan/kelahiran, menjarangkan kelahiran agar kualitas kesehatan
anak, ibu dan keluarga mencapai hasil yang maksimal.
1. Persentase Penduduk ber-KB
Untuk urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera umumnya diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembudayaan pola keluarga kecil
berkualitas dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Untuk tingkat
prevalensi peserta KB aktif dinilai berdasarkan proporsi jumlah peserta program KB aktif
dengan jumlah pasangan usia subur (PUS) yang ada disuatu daerah. Perkembangan
persentase penduduk yang mengikuti program KB di Sumatera Utara dapat dilihat pada
Gambar -13.
32
37. Sumber : BKKBN Sumut
Gambar-13 : Persentase Penduduk ber-KB di Sumatera Utara
Periode 2004 – 2009
Berdasarkan Gambar-13 di atas menunjukkan bahwa persentase penduduk ber-KB di
Sumatera Utara mengalami perkembangan yang berfluktuatif dari tahun ke tahun selama
periode 2004 – 2009. Pada tahun 2004 – 2005, jumlah penduduk ber-KB di Sumatera
Utara sebesar 62,90 persen pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 63,91 persen pada
tahun 2005. Akan tetapi pada tahun 2006, jumlah penduduk ber-KB mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 62,94 persen dan meningkat kembali pada
tahun 2007 menjadi sebesar 63,64 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari 100
pasangan usia subur (PUS) tersebut sekitar 63 – 64 pasangan usia subur yang telah
menjadi KB aktif.
Begitupun pada tahun 2008 – 2009 terjadi pola perkembangan yang sama dengan tahun-
tahun sebelumnya, yakni menurun dari tahun 2007 menjadi 61,28 persen pada tahun
2008 dan meningkat kembali pada tahun 2009 menjadi sebesar 62,11 persen.
Berfluktuasinya persentase penduduk ber-KB di Sumatera Utara selama kurun waktu
tersebut dikarenakan jumlah PUS yang meningkat lebih besar dibandingkan dengan
tingkat kesadaran dari PUS yang menjadi peserta KB aktif. Hal ini menunjukkan bahwa
kesadaran dari PUS untuk mengikuti program keluarga berencana dengan sedikit anak
akan lebih baik masih perlu ditingkatkan dan disosialisasikan secara intensif sebagai
33
38. upaya meredam laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara yang relatif masih tinggi
dibandingkan rata-rata laju pertumbuhan penduduk nasional.
2. Persentase Laju Pertumbuhan Penduduk
Dalam pelaksanaan pembangunan, penduduk merupakan faktor yang sangat dominan
karena penduduk tidak saja menjadi pelaku pembangunan tetapi juga menjadi sasaran
atau tujuan dari pembangunan itu sendiri. Oleh sebab itu, guna menunjang keberhasilan
pembangunan maka perkembangan penduduk perlu diarahkan sehingga mempunyai ciri-
ciri atau karakteristik yang menguntungkan pembangunan. Pembangunan kependudukan
diarahkan pada pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk
dan pengarahan mobilitas penduduk sebagai potensi sumber daya manusia agar menjadi
kekuatan pembangunan bangsa dan ketahanan nasional.
Berdasarkan Gambar 14 di bawah, selama periode 2004 – 2009 memperlihatkan bahwa
laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang
fluktuatif dan masih lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk secara
nasional. Untuk tahun 2004, laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara relatif sama
dengan tahun 2005 yakni sebesar 1,57 persen. Begitupun tahun 2006 yang menunjukkan
sedikit penurunan dari tahun sebelumnya yakni sebesar 1,37 persen dan relatif tidak
terjadi perubahan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2007. Namun pada tahun
2008, laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara kembali menunjukkan peningkatan
yang relatif signifikan pertumbuhannya dari tahun sebelumnya dan cenderung sama
pertumbuhannya dengan tahun 2008 yakni sebesar 1,58 persen per tahun.
34
39. Sumber : BPS Sumut
Gambar-14 : Laju Pertumbuhan Penduduk di Sumatera Utara
Periode 2004 – 2009
Kondisi ini menggambarkan bahwa program KB yang dijalankan di Sumatera Utara belum
menunjukkan keberhasilannya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk selama
periode 2004 – 2009. Tingginya laju pertumbuhan penduduk ini tidak hanya disebabkan
belum berhasilnya program keluarga berencana, akan tetapi dipengaruhi oleh
perkembangan jumlah pasangan usia subur (PUS) yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Sementara itu, berdasarkan rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun di
Sumatera Utara (1,51 persen) relatif masih lebih tinggi dari rata-rata laju pertumbuhan
penduduk secara nasional (1,29 persen).
3. Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate = TFR)
Salah satu indikator kesehatan penduduk yang digunakan untuk mengukur derajat
kesehatan adalah angka kelahiran total (Total Fertility Rate = TFR). Angka ini
menunjukkan banyaknya bayi lahir dalam keadaan hidup per 1000 penduduk dan tinggi
rendahnya angka ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi kesehatan,
perumahan, pendidikan, penghasilan, agama maupun sikap terhadap besarnya anggota
keluarga.
35
40. Sumber : BPS Sumut
Gambar-15 : Angka Kelahiran Total (TFR) Sumatera Utara
Tahun 2004 – 2009
Berdasarkan Gambar 15 di atas menunjukkan bahwa angka kelahiran total di Sumatera
Utara selama periode 2004 – 2009 menunjukkan perkembangan yang cenderung
menurun dari tahun ke tahun. Besarnya angka kelahiran total di Sumatera Utara pada
tahun 2004 adalah sebesar 2,96 per mil dan menurun secara signifikan pada tahun 2005
menjadi sebesar 2,63 per mil. Untuk tahun 2006, angka kelahiran total kembali
mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sebesar 2,58 per mil dan
tahun 2007 menjadi 2,52 per mil. Begitupun kondisi pada tahun 2008 dan 2009 yang
menunjukkan penurunan dari 2,49 per mil pada tahun 2008 menjadi 2,47 per mil tahun
2009. Kondisi ini mencerminkan bahwa secara rata-rata selama periode 2004 – 2009
terdapat 2 bayi yang dilahirkan oleh seorang wanita di Sumatera Utara pada usia subur
antara 15 – 49 tahun. Penurunan angka kelahiran total ini seiring dengan semakin
bertambahnya kesadaran para pasangan usia muda untuk mengatur jarak kelahiran dan
semakin meningkatnya usia perkawinan.
4. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Sumatera Utara melalui rekomendasi
kebijakan yang antara lain :
36
41. 1. Perlu dilakukan pemerataan kualitas sumber daya manusia (IPM) melalui perluasan
kesempatan sekolah yang seluas-luasnya bagi masyarakat sehingga tidak terjadi
ketimpangan kualitas SDM antar kabupaten/kota di Sumatera Utara.
KESEHATAN
Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk sekaligus
indikator keberhasilan program pembangunan. Kesehatan berimplikasi pada produktifitas
perorangan dan kelompok, sehingga pembangunan dan berbagai upaya di bidang kesehatan
diharapkan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat serta tidak diskriminatif dalam
pelaksanaannya, baik program kesehatan untuk laki-laki maupun perempuan haruslah sama.
Berdasarkan UU No. 23/1992 tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang tinggi. Salah satu program pemerintah dalam mewujudkan derajat kesehatan
bagi seluruh penduduk adalah peningkatan pelayanan kesehatan yang didukung oleh sarana
dan prasarana kesehatan yang memadai di tiap kecamatan. Selain itu, hal pokok yang juga
harus diperhatikan adalah perluasan akses kesehatan, khususnya kepada rakyat miskin dan
perempuan di seluruh kelurahan. Untuk itu pembangunan kesehatan merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari pembangunan manusia.
1. Umur Harapan Hidup
Angka harapan hidup adalah rata-rata lamanya hidup yang akan dicapai oleh penduduk.
Dengan diketahuinya angka kematian pada setiap kelompok umur penduduk, maka dapat
diketahui rata-rata umur harapan hidup. Berdasarkan Tabel 8 di bawah diperlihatkan
bahwa selama periode tahun 2004 – 2009, angka harapan hidup di Sumatera Utara
cenderung mengalami peningkatan. Angka harapan hidup di Sumatera Utara meningkat
dari 68,20 tahun pada tahun 2004 menjadi 69,63 tahun pada tahun 2008 dan 69,96 pada
tahun 2009. Seiring dengan teori yang ada, angka harapan hidup berbanding terbalik
dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah 1 tahun, kematian anak
di bawah lima tahun dan kematian ibu). Makin tinggi kualitas kesehatan menyebabkan
makin rendahnya angka kematian dan berakibat kepada meningkatnya harapan untuk
hidup.
37
42. Tabel 8. Perkembangan Umur Harapan Hidup di Sumatera Utara
VS Nasional Periode 2004 – 2009
Umur Harapan Hidup 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumut 67,30 68.70 68.90 69,10 69,20 69,96
Nasional 67,60 - 68,50 - 70,50 -
Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa umur harapan hidup masyarakat Propinsi Sumatera
Utara lebih tinggi berbanding umur harapan hidup masyarakat Indonesia secara nasional.
Secara teori, umur harapan hidup yang tinggi dapat dicapai jika kualitas kehidupan
masyarakat khususnya kualitas konsumsi hariannya tergolong baik di samping faktor
penentu lainnya. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa dari tahun 2005 sampai 2008,
umur harapan hidup masyarakat Sumatera Utara terjadi tren peningkatan yang harmonis
karena tidak terjadi fluktuasi. Sebaliknya, tren peningkatan umur harapan hidup secara
nasional mengalami sedikit fluktuasi walaupun keduanya tetap menunjukkan peningkatan
keberhasilan.
2. Angka Kematian Bayi (AKB)
Tingkat kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu merupakan gambaran
perkembangan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat
digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan
program pembangunan kesehatan baik di tingkat propinsi maupun tingkat nasional.
Tingkat kematian secara umum berhubungan erat dengan tingkat kesakitan yang dialami
penduduk. Biasanya, kematian merupakan akumulasi akhir dari berbagai penyebab
terjadinya kematian baik langsung maupun tidak langsung. Proses pembangunan
dianggap berhasil jika tingkat kematian ini dapat diminimalkan di samping keberhasilan
berbagai indikator-indikator lainnya.
Berkaitan dengan faktor di atas, salah satu indikator untuk menilai keberhasilan program
pembangunan kesehatan di Sumatera Utara yang telah dilaksanakan adalah mengukur
perkembangan angka kematian bayi dari tahun ke tahun. Angka kematian bayi ini harus
dapat diturunkan dengan melakukan berbagai program dan kebijakan kesehatan yang
berkesinambungan dengan memaksimalkan fungsi dan peranan semua pihak.
38
43. 40
36.7
35
30 29.6 28.2 26.9 25.8
25 24.75
20
15
10
5
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Kematian Bayi
Gambar-16 : Perkembangan Angka Kematian Bayi di Sumatera Utara
Periode 2004 – 2009
Berdasarkan data BPS, angka kematian bayi pada tahun 2004 di Sumatera Utara adalah
sebesar 36,70 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 angka kematian bayi
sudah berhasil ditekan hingga mencapai 25,80 bayi per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan
untuk tahun 2009, angka kematian bayi sebesar 24,75 bayi per 1000 kelahiran hidup.
Artinya sepanjang rentang waktu enam tahun angka kematian bayi mengalami penurunan
yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan terutama
pembangunan sektor kesehatan. Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir
tersebut memberi gambaran adanya peningkatan kualitas hidup dan peningkatan
pelayanan kesehatan masyarakat di Propinsi Sumatera Utara. Penurunan AKB tersebut
antara lain disebabkan oleh peningkatan cakupan imunisasi bayi yang dilakukan secara
terprogram dan berkesinambungan dan juga intensifikasi upaya kesehatan yang
berdampak kepada penurunan angka kematian. Selain itu, keberhasilan ini diyakini
sebagai keberhasilan peningkatan cakupan pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan
dan ditunjang dengan program penempatan tenaga kesehatan seperti para bidan di
daerah pedesaan.
39
44. 3. Angka Kematian Ibu (AKI)
Keberhasilan proses pembangunan sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas
sumber daya manusia baik pria maupun wanita. Dalam hal ini, perhatian terhadap
eksistensi sumber daya wanita harus setara dengan kaum pria karena peranan kaum
wanita dalam proses pembangunan ternyata sangat signifikan. Di berbagai negara maju,
sumber daya wanita yang berkualitas merupakan andil besar terhadap keberhasilan
pembangunan. Secara teori, salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya
wanita adalah melalui peningkatan derajat kesehatan kaum wanita itu sendiri.
Pembangunan di bidang kesehatan khususnya pelayanan untuk kaum wanita,
seharusnya tidak boleh tertinggal dibandingkan pembangunan di sektor lain. Secara
nasional, permasalahan kesehatan kaum wanita masih sangat kompleks dan
memerlukan penanganan yang menyeluruh.
Salah satu indikator yang dapat dijadikan alat untuk mengukur kualitas kesehatan kaum
wanita adalah dengan melihat dan membandingkan angka kematian ibu setiap tahun.
Masalah kesehatan ini terutama berkaitan dengan program-program kesehatan
reproduksi kaum ibu. Faktor ini dianggap sangat penting sehingga tidak mengherankan
jika para ahli berpendapat bahwa kematian ibu merupakan salah satu indikator yang
membedakan suatu negara apakah sudah tergolong sebagai negara maju atau masih
tergolong sebagai negara berkembang atau bahkan negara terbelakang. Biasanya aspek-
aspek yang dapat dijadikan sebagai gambaran indikator tinggi / rendahnya angka
kematian kaum ibu antara lain berkaitan dengan kehamilan, melahirkan dan masa nifas.
Menyadari akan pentingnya penanganan masalah ini, Pemerintah Propinsi Sumatera
Utara juga terus memberikan perhatian melalui program peningkatan kesehatan yang
berkesinambungan. Keberhasilan penanggulangan Angka Kematian Ibu di Propinsi
Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 17.
40
45. Gambar-17 : Perkembangan Angka Kematian Ibu
di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, pada tahun 2004
tercatat sebanyak 322 orang ibu yang meninggal karena melahirkan. Angka kematian ini
mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 302 orang. Salah satu faktor penyebab
tingginya angka kematian ibu ini adalah masih rendahnya kesadaran kaum ibu untuk
memeriksakan kesehatannya selama kehamilan. Indikator angka kematian ibu di
Sumatera Utara relatif masih tinggi bila dibandingkan dengan angka kematian ibu untuk
tingkat nasional. Untuk tahun 2004, angka kematian ibu secara nasional mencapai 307
orang dan pada tahun 2008, angka kematian ibu dapat diturunkan menjadi 218 orang.
Kondisi ini memberi gambaran yang jelas bahwa angka kematian ibu di Propinsi
Sumatera Utara berada di atas rata-rata secara nasional dan pemerintah Propinsi
Sumatera Utara dihadapkan pada tugas penanggulangan yang serius.
4. Prevelensi Gizi Buruk
Indikator ini menggambarkan persentase jumlah balita yang memiliki status gizi buruk,
yang pengukurannya didasarkan pada jumlah balita dengan status gizi buruk dibagi
dengan total jumlah balita yang ada. Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara
menunjukkan bahwa mulai tahun 2007 sampai tahun 2009 Prevalensi Gizi Buruk berada
pada kondisi yang konstan atau tidak mengalami perubahan. Hal yang sama juga berlaku
terhadap Prevalensi gizi kurang. Lebih jelas, kondisi kedua hal ini dapat dilihat dalam
Tabel 9.
41
46. Tabel 9. Prevalensi Gizi Buruk dan Prevalensi Gizi Kurang
Di Propinsi Sumatera Utara
TAHUN
ITEM 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Prevalensi Gizi Buruk (%) - 8,82 8,1 4,4 4,4 4,4
Prevalensi Gizi Kurang
- 15,78 20,82 18,8 18,8 18,8
(%)
Sumber: Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa data Prevalensi Gizi Buruk dan Prevalensi Gizi
Kurang untuk tahun 2004 tidak ada karena laporan dari Bagian Program Gizi baru ada
mulai tahun 2005. Usaha memperbaiki kondisi gizi masyarakat Sumatera Utara
menunjukkan hasil yang relative baik pada tahun 2007 karena persentase penurunannya
cukup signifikan walaupun untuk tahun-tahun sesudahnya terlihat konstan. Hasil
pencapaian yang relatif konstan mulai tahun 2007 sampai 2009 terjadi karena program
yang dijalankan relatif sama setiap tahunnya dan jumlah tenaga kesehatan yang terlibat
dalam usaha ini juga relatif sama.
5. Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk
Pemenuhan akan kebutuhan tenaga kesehatan merupakan salah satu hal yang penting
dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional khususnya Propinsi
Sumatera Utara. Pemenuhan tenaga kesehatan yang handal dan profesional tidak hanya
dilakukan melalui penambahan jumlah tenaga tetapi juga melalui pemerataan dengan
distribusi tenaga kesehatan yang rasional serta pendayagunaan tenaga kesehatan itu
sendiri guna memenuhi kebutuhan dalam pencapaian tujuan. Oleh karenanya diperlukan
suatu perencanaan kebutuhan tenaga yang efektif dan efisien baik secara kualitas
maupun kuantitas guna pelaksanaan tugas dan terutama untuk menjawab tantangan
dimasa depan.
Berdasarkan data yang ada, tahun 2004 tenaga kesehatan kategori dokter di Sumatera
Utara berjumlah 1.812 orang. Dari jumlah ini sebanyak 1.018 orang merupakan dokter
umum, 510 orang dokter gigi dan 423 orang dokter spesialis. Jumlah ini terus meningkat
42
47. pada tahun-tahun selanjutnya sejalan dengan pertumbuhan penduduk Sumatera Utara
yang meningkat. Tahun 2006 misalnya jumlah dokter umum bertambah menjadi 1.328
orang, dokter gigi 510 dan dokter spesialis sebanyak 423 orang. Selain itu, tenaga
kesehatan lain berupa bidang dan perawat pada tahun 2006 masing-masing berjumlah
6.410 orang dan 8.368 orang.
Jika jumlah setiap kategori tenaga kesehatan ini dibandingkan dengan kondisi jumlah
penduduk Propinsi Sumatera Utara dari tahun 2004 sampai tahun 2009, maka terlihat
kondisi yang agak bervariasi satu sama lain. Lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel-
10 berikut:
Tabel 10. Persentase Tenaga Kesehatan Per 100.000 Penduduk
Di Propinsi Sumatera Utara 2004 – 2009
TAHUN
Kategori Tenaga
Kesehatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009
14,68 16,70 14,76
Dokter Umum - - 15,83
Turun Naik Turun
4,26 4,80 5,19
Dokter Gigi - - 4,66
Turun Naik Naik
4,96 5,30 5,81
Dokter Spesialis - - 5,66
Turun Naik Naik
63,88 58,90 84,47
Bidan - - 53,00
Naik Turun Naik
61,90 59,30 81,18
Perawat - - 73,53
Turun Turun Naik
Sumber : Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.
Tabel 10 menunjukkan bahwa data perbandingan tenaga kesehatan dengan jumlah
penduduk Sumatera Utara untuk tahun 2004 dan 2005 tidak ada. Pegawai Dinas
Kesehatan menyebutkan bahwa pengumpulan data laporan tahunan dimulai sejak tahun
2006. Berdasarkan Tabel 3 juga dapat ketahui bahwa rasio jumlah tenaga kesehatan per
100.000 penduduk Propinsi Sumatera Utara untuk tahun 2009 menunjukkan peningkatan
yang relatif baik kecuali untuk kategori dokter umum. Penurunan rasio ini perlu mendapat
43
48. perhatian pemerintah Propinsi Sumatera Utara sehingga rasio tersebut semakin baik
pada tahun-tahun berikutnya.
6. Total Fertility Rate
Selain beberapa faktor di atas, tingkat rata-rata kelahiran dikalangan pasangan usia
subur juga mendapat perhatian dan penanganan yang berterusan dari Pemerintah
Propinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk Sumatera Utara ke arah tingkat pertumbuhan yang dianggap ideal. Pada tahun
2004, TFR di Sumatera Utara sebesar 2,96 dan pada tahun 2005 dan 2006 turun masing-
masing menjadi 2,63 dan 2,58. Tahun 2007 TFR di Sumatera Utara juga menunjukkan
penurunan menjadi 2,52 dan pada tahun 2009 turun menjadi 2,38. Kondisi angka TFR
yang terus menurun ini terjadi karena penyuluhan pemerintah dalam bidang Keluarga
Berencana memperoleh sambutan yang relative baik dikalangan masyarakat Sumatera
Utara terutama kalangan Pasangan Usia Subur.
EKONOMI MAKRO
1. Laju Pertumbuhan ekonomi
Berdasarkan hasil evaluasi kinerja pembangunan di sektor ekonomi seperti dilaporkan dalam
EKPD 2009, pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 6,2 %,
mengalami peningkatan sebesar 13,13 % dari pertumbuhan ekonomi tahun 2005.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 ini dapat dilihat dari PDRB tahun 2006 dimana sektor
pengangkutan dan komunikasi mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 11,91 %,
diikuti oleh sektor bangunan sebesar 10,33 % dan sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan sebesar 9,87%. Secara grafis, laju pertumbuhan ekonomi selama periode 2005-
2009 adalah seperti terlihat dalam Gambar-18.
44
49. 7
6
% 5
4
3
2
1
0
2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
% Pertumbuhan Ekonomi
Gambar-18: Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara
Tahun 2005-2009.
Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 6,39 %, meningkat dari
tahun-tahun sebelumnya. Terhadap besarnya sumbangan masing-masing sektor
perekonomian dalam menciptakan laju pertumbuhan ekonomi disumbang oleh sektor
pertanian sebesar 1, 45 %, sektor perdagangan, hotel dan restoran 1,13 %, sektor jasa 0,91
%, sektor pengangkutan dan komunikasi 0,81 %, sektor keuangan, persewaaan dan jasa
perusahaan 0,76 %, sektor industri pengolahan 0,69 %, , sektor bangunan 0,53 %, sektor
pertambangan dan penggalian 0,08 % dan sektor listrik, gas dan air bersih 0,03 %.
Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara mengalami perlambatan sebesar
0,65 % dibanding tahun 2008, menjadi 5,07 %. Pencapaian pertumbuhan ekonomi ini
didukung oleh sektor pertanian yang memberi sumbangan sebesar 1,15 %, disusul oleh
sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 1,00 %, sektor pengangkutan dan
komunikasi 0,70 %, sektor jasa-jasa 0,66 %, sektor industri pengolahan 0,63 %, dan sisanya
oleh keempat sektor lainnya. Sedangkan perlambatan pertumbuhan ekonomi ini terjadi pada
sektor pertambangan dan sekitor bangunan dan konstruksi
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara berdasarkan atas dasar harga konstan 2000 pada
Semester I tahun 2010 meningkat 6,28 %. Pertumbuhan ini terjadi pada semua sektor
perekonomian dengan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor keuangan, persewaan, dan
jasa perusahaan 12,43 %, disusul oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 8,20 %, sektor
45
50. perdagangan, hotel, dan restoran 6,79 %, sektor listrik, gas, dan air bersih 5,93 %, dan sektor
bangunan 5,90 %. Sedangkan 4 (empat) sektor lain di bidang ekonomian hanya berhasil
mencapai laju pertumbuhan sedikit lebih rendah masing-masing dibawah 5,5 %.
Tabel 11: PDRB Sumatera Utara ADH Konstan 2000 Menurut Penggunaan
Tahun 2005 – 2009 (Jutaan Rupiah)
Jenis
No
Penggunaan
2005 2006 2007 2008 2009
Konsumsi
1. Rumah 50.139.162,20 53.771.629,72 58.935.863,77 63.566.633,01 68.475.416,56
Tangga
Lembaga
2. 452.001,77 463.176,76 492.513,51 515.495,75 538.711,94
Swasta
Konsumsi 7.130.188,86 7.066.407,41 8.527.041,89 9.367.413,96 10.365.668,72
3.
Pemerintah
Pembentukan 14.647.517,62 16.603.713,89 18.809.371,68 20.902.176,32 22.308.844,51
4.
Modal
Perubahan (2.996.199,54) 1.413.862,62 1.000.850,16 1.095.211,41 705.296,67
5.
Stok
6. Ekspor 45.077.495,88 43.407.873,90 47.422.843,61 52.347.862,23 51.851.799,18
7. Impor 26.552.375,58 29.379.259,92 35.396.211,36 41.622.432,59 42.686.512,78
PDRB 87.897.791,21 93.347.404,38 99.792.273,27 106.172.360,10 111.559.224,81
Sumber : BPS, 2010
Pada Semester I tahun 2010, sektor pertanian memiliki peran terbesar terhadap struktur
PDRB Sumatera Utara dengan 23,33 %, diikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar
22,67 %, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran 19,05 %. Sedangkan 6 (enam) sektor
perekonomian lainnya berperan masing-masing dibawah 11 %. Sumber pertumbuhan
ekonomi Sumatera Utara dalam Semester I tahun 2010 yang mencapai 6,28 % adalah
pengeluaran konsumsi rumah tangga 5,21 %, pengeluaran konsumsi pemerintah 0,84 %, dan
pembentukan modal tetap bruto yang besarnya mencapai 0,6 %.
46