Farmakologi (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)Surya Amal
Â
Pengaruh berbagai faktor yang mempengaruhi respons penderita terhadap obat dan efikasi pengobatan menyebabkan regimen dosis obat perlu disesuaikan. Penyesuaian dosis sesuai perhitungan ataupun perkiraan (“scientific guess”), sebagai langkah awal yang masih memerlukan penyesuain dosis berdasarkan respons klinik dan atau kadar obat plasma.
Farmakologi (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)Surya Amal
Â
Pengaruh berbagai faktor yang mempengaruhi respons penderita terhadap obat dan efikasi pengobatan menyebabkan regimen dosis obat perlu disesuaikan. Penyesuaian dosis sesuai perhitungan ataupun perkiraan (“scientific guess”), sebagai langkah awal yang masih memerlukan penyesuain dosis berdasarkan respons klinik dan atau kadar obat plasma.
Pada wanita total pasif, dia merasa tidak perlu tahu tentang kehamilannya. Dia tidak tahu harus bagaimana dan harus bersikap seperti apa. Semua hal tentang kehamilannya dianggap tidak ada gunanya. Suami atau ibunya yang harus mengurus semua ini karena batinnya dapat terganggu kalau dia harus mengurus kehamilannya. Reaksi yang terjadi adalah dia akan mengikuti semua nasehat orang lain. Semua hal yang disarankan orang lain akan selau dilakukan. Fokus wanita total pasif adalah pada usaha mengenyahkan segala kekuatannya dan dia tidak tau-menau ada kesakitan dijasmaniah pada dirinya.
I. pengantar farmakologi (Buku Farmakologi UI)Syifa Dhila
Â
Bab 1 buku farmakologi UI
Buku ini berisi tentang farmakologi dari obat. Untuk Bab selanjutnya akan di upload secara berurutan.
Don't forget to like, comment, and follow me:)
Thank You^^
Antibiotika merupakan golongan obat yang banyak digunakan terutama di negara-negara yang masih memiliki permasalahan penyakit karena infeksius bakteri. Materi ini menjelaskan tentang pengertian antibiotika dan golongan-golongannya. Termasuk faktor-faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam memilih antibiotika.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Â
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
More Related Content
Similar to Farmakokinetik_and_Farmakodinamik_Terapi.doc
Pada wanita total pasif, dia merasa tidak perlu tahu tentang kehamilannya. Dia tidak tahu harus bagaimana dan harus bersikap seperti apa. Semua hal tentang kehamilannya dianggap tidak ada gunanya. Suami atau ibunya yang harus mengurus semua ini karena batinnya dapat terganggu kalau dia harus mengurus kehamilannya. Reaksi yang terjadi adalah dia akan mengikuti semua nasehat orang lain. Semua hal yang disarankan orang lain akan selau dilakukan. Fokus wanita total pasif adalah pada usaha mengenyahkan segala kekuatannya dan dia tidak tau-menau ada kesakitan dijasmaniah pada dirinya.
I. pengantar farmakologi (Buku Farmakologi UI)Syifa Dhila
Â
Bab 1 buku farmakologi UI
Buku ini berisi tentang farmakologi dari obat. Untuk Bab selanjutnya akan di upload secara berurutan.
Don't forget to like, comment, and follow me:)
Thank You^^
Antibiotika merupakan golongan obat yang banyak digunakan terutama di negara-negara yang masih memiliki permasalahan penyakit karena infeksius bakteri. Materi ini menjelaskan tentang pengertian antibiotika dan golongan-golongannya. Termasuk faktor-faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam memilih antibiotika.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Â
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
1. 1
Farmakokinetik & Farmakodinamik Terapi Antibiotik
Bagus Nugroho
Usman Hadi
PENDAHULUAN
Farmakokinetik mempelajari dinamika obat melewati sistem biologi meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Informasi farmakokinetik berguna
untuk memperkirakan dosis obat dengan tepat dan frekuensi pemberiannya, juga
untuk mengatur dosis obat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi (Archer,
2005).
Farmakodinamik mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme
kerjanya melalui interaksi antara obat dengan sel target atau reseptor.
Farmakodinamik antibiotik mempelajari hubungan antara konsentrasi antibiotik di
serum dan jaringan serta minimum inhibitory concentration (MIC) pertumbuhan bakteri
(Ross, 1996).
Prinsip dasar terapi adalah menjamin keamanan dan kemanjuran obat
terhadap populasi. Keamanan dan kemanjuran suatu obat terhadap setiap individu
pasien tidak pernah dijamin. Setiap pasien mempunyai respons yang bervariasi
terhadap obat. Dasar ilmiah terapi berasal dari data uji klinik selama pengembangan
obat dan pengalaman postmarketing. Individualisasi terapi pada pasien membutuhkan
dasar pemahaman tentang farmakokinetik dan farmakodinamik. Monitoring
konsentrasi obat dalam plasma dapat membantu memahami variabilitas
farmakokinetik. Sedangkan monitoring variabilitas farmakodinamik membutuhkan
perhatian seksama respons penderita dengan menilai kemanjuran dan toksisitas yang
masih dapat ditoleransi (Nies, 1996).
Antibiotik adalah substansi yang dihasilkan oleh berbagai species
mikroorganisme (bakteri, fungi, actinomycetes) yang menekan pertumbuhan
mikroorganisme lain dan akhirnya menghancurkannya. Saat ini istilah antibiotik
termasuk didalamnya antibakteri sintetik seperti sulfonamide dan quinolone yang
bukan merupakan produk mikroba. Antibiotik berbeda dalam hal fisik, kimia dan sifat
farmakologi, spektrum antibakteri dan mekanisme kerjanya. Pengetahuan tentang
mekanisme molekular replikasi bakteri, jamur dan virus membantu upaya menemukan
senyawa yang dapat menghambat daur hidup mikroorganisme (Chambers, 1996).
Tinjauan Pustaka Bagian-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSU Dr.Soetomo
Surabaya, 24 Februari 2006
2. 2
PRINSIP TERAPI ANTIBIOTIK
Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi, terdapat tiga aspek yang
sangat berkaitan erat, yaitu aspek antibiotik itu sendiri, aspek kuman, dan aspek
pejamu (host). Terapi antibiotik merupakan terapi kausal yang ditujukan untuk
melawan kuman penyebab infeksi. Keputusan memberikan antibiotik pada penderita
perlu mempertimbangkan :
1. keluhan dan gejala tersebut disebabkan oleh suatu infeksi
2. kemungkinan kuman penyebab
3. kemampuan antibiotik mencapai tempat infeksi dengan kadar yang cukup
4. jenis antibiotik berikut cara, dosis dan lama pemberian
Penggunaan antibiotik yang rasional dilaksanakan secara “Empat Tepat Satu
Waspada” yaitu dengan (1) Indikasi yang tepat, untuk (2) Penderita yang tepat,
dengan (3) Jenis Obat yang tepat dan diberikan dengan (4) Rejimen Dosis yang
tepat serta senantiasa (5) Waspada efek samping (Usman Hadi, 2005; Worokarti,
2005).
FARMAKOKINETIK
Profil farmakokinetik antibiotik dinyatakan dalam konsentrasi di serum dan
jaringan terhadap waktu dan mencerminkan proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Karakteristik penting farmakokinetik meliputi peak &
trough konsentrasi di serum, waktu paruh (T1/2), bersihan (clearance) dan volume
distribusi. Data farmakokinetik berguna untuk memperkirakan dosis antibiotik yang
tepat, frekuensi pemberian dan mengatur dosis pada pasien dengan gangguan fungsi
ekskresi (Cunha, 2002; Archer, 2005).
Absorpsi antibiotik menunjukkan nilai dan besarnya bioavailability obat setelah
pemberian secara oral atau suntikan. Bioavailability diartikan sebagai besarnya
persentase dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik dari tempat masuknya. Obat
harus melewati beberapa membran untuk mencapai tempat kerjanya. Membran-
membran yang spesifik tersebut tergantung pada tempat kerja dan route of
administration. Absorpsi obat melewati membran dipengaruhi oleh ukuran molekul,
kelarutan dalam lemak, derajat ionisasi dan pH. Sebagian besar obat larut dalam air
dan juga lemak. Dikatakan bahwa semakin tinggi ratio kelarutan dalam lemak
dibanding air semakin cepatlah absorpsi pasif obat tersebut. Kelarutan obat dalam
lemak disebut lipophilicity sedangkan kelarutan dalam air disebut hydrophilicity. Di
dalam larutan, obat berada dalam bentuk yang disebut interchangeable forms yaitu
larut-air (bentuk ion) dan larut-lemak (nonion). Semakin lipophilic suatu obat, semakin
mudah menembus membran. Sedangkan yang hydrophilic akan cenderung berada
3. 3
dalam darah. Ketika dilarutkan, sebagian molekul obat akan terionisasi yang
persentasenya ditentukan oleh keasaman obat dan keasaman pelarutnya serta pKa
yaitu pH saat 50% molekul obat terionisasi. Persentase molekul nonionized
menentukan jumlah molekul yang diabsorpsi sehingga menentukan rate of absorption
(Chambers, 1996; Cunha, 2002).
Sebagian besar infeksi terjadi di ekstravaskular dan antibiotik harus mampu
mencapai tempat tersebut. Jika infeksi terletak di lokasi yang terlindung dimana
penetrasi obat menjadi rendah seperti cairan serebrospinal, mata, prostat, vegetasi
jantung yang terinfeksi dibutuhkan dosis antibiotik yang tinggi dan jangka waktu lebih
lama untuk terapi. Sebagian besar bakteri penyebab infeksi pada manusia berada
ekstraselular. Pathogen intraselular seperti Legionella, Chlamydia, Brucella,
Salmonella dan Mycobacteria mampu bertahan dan menimbulkan kekambuhan jika
diobati dengan antibiotik yang tidak bisa masuk sel. Pada umumnya, antibiotik β-
laktam, vankomisin dan aminoglikosida penetrasinya ke sel rendah sedangkan
makrolid, tetrasiklin, kloramfenikol, rifampisin, co-trimoksazol dan quinolon
penetrasinya ke sel baik (Archer, 2005).
Sebagian besar antibiotik dalam tubuh akan mencapai keseimbangan di
jaringan dan plasma. Penelitian menunjukkan bahwa proses distribusi antibiotik
ditandai adanya variabilitas antar individu dan antar jaringan. Kadar obat di tempat
infeksi berbeda dengan kadar di plasma. Kadar dibawah MIC dapat memicu terjadinya
resistensi. Hal ini perlu diperhatikan jika terdapat ketidaksesuaian antara respons
klinis dan hasil tes kepekaan. Hambatan penetrasi jaringan oleh antibiotik paling baik
ditunjukkan pada infeksi sistem saraf pusat (SSP). Mekanisme barrier di SSP dan
organ lain merupakan pompa transport aktif sehingga obat dapat masuk ke tempat
infeksi. Dalam keadaan keseimbanganpun, konsentrasi antibiotik di tempat infeksi
lebih rendah daripada di plasma. Mekanisme ini sudah terbukti secara in vitro dan in
vivo (Muller, 2004).
Selain infeksi SSP, ada beberapa situasi yang menghambat penetrasi obat
sehingga bisa menimbulkan kegagalan terapi antibiotik misalnya infeksi jaringan
lunak, osteomyelitis, endokarditis, emboli septik, infeksi berkaitan dengan benda asing
dan kateter, hematom, abses, granuloma-inducing infections, solid malignancies, dan
lain-lain. Mekanisme barrier dipengaruhi oleh derajat keasaman/ pH obat dan
resistensi struktural dinding kapiler akibat perubahan aliran darah lokal, permeabilitas
kapiler, koefisien difusi interstisial dan gradien tekanan onkotik dan osmotik
transkapiler. Permeabilitas kapiler juga dipengaruhi oleh besarnya berat molekul (BM)
obat. Antibiotik dengan BM rendah mempunyai permeabilitas lebih tinggi. Faktor lain
4. 4
adalah kelarutan obat dalam lemak. Semakin lipophilic suatu obat maka semakin
mudah menembus kapiler (Muller, 2004).
Saat ini, dengan adanya teknik yang baru dimungkinkan untuk mengukur
distribusi obat di jaringan perifer. Microdialysis (MD) telah digunakan untuk mengukur
farmakokinetik berbagai antibiotik di jaringan tubuh manusia sehat yang menjadi
sukarelawan. Setelah publikasi pertama pada tahun 1995, MD banyak membantu riset
antibiotik dan menjelaskan berbagai pertanyaan seperti pengaruh ikatan protein,
parameter PK-PD di jaringan dan distribusi antibiotik di jaringan. Parameter PK-PD
seperti t > MIC, rasio AUC/MIC, rasio Cmax/MIC yang awalnya dikembangkan
berdasarkan nilai di serum selanjutnya dapat diperluas menjadi parameter di jaringan
perifer dengan bantuan alat ini (Muller, 2004).
Antibiotik mengalami eliminasi di hati, ginjal atau keduanya baik dalam bentuk
yang tidak berubah atau metabolitnya. Untuk antibiotik yang eliminasinya terutama di
ginjal, bersihan suatu obat berkorelasi linear dengan creatinine clearance. Sedangkan
antibiotik yang eliminasinya terutama di hati tidak ada petanda yang bisa dipakai
untuk mengatur dosis pada pasien dengan penyakit hati (Archer, 2005). Pada pasien
dengan insufisiensi ginjal dibutuhkan pengaturan dosis. Penggunaan antibiotik
aminoglikosida, vankomisin atau flusitosin harus lebih hati-hati karena eliminasi obat
tersebut di ginjal dan toksisitasnya seiring dengan konsentrasinya di plasma dan
jaringan. Obat-obat yang metabolisme atau ekskresinya oleh hepar (eritromisin,
kloramfenikol, metronidazol, klindamisin) dosisnya harus diturunkan pada pasien
dengan kegagalan fungsi hepar (Chambers, 1996).
Peak serum level adalah konsentrasi puncak di serum (mcg/ml) setelah
pemberian dosis biasa (usual dose). Ini berguna untuk menghitung “kill ratio” yaitu
rasio kadar puncak di serum terhadap MIC suatu organisme. Semakin tinggi “kill ratio”
semakin efektif antibiotik tersebut. Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan oleh
konsentrasi plasma atau jumlah obat dalam tubuh berkurang separuhnya. Bersihan
merupakan ukuran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat. Konsep ini penting
dipertimbangkan terutama saat permberian regimen obat yang rasional dalam periode
yang lama. Kadar tunak (Steady-state concentration) akan tercapai ketika laju
eliminasi obat setara dengan pemberiannya. Volume distribusi obat berbanding lurus
dengan jumlah obat di dalam tubuh dan berbanding terbalik dengan konsentrasi obat
di plasma. Volume distribusi sangat bervariasi tergantung pKa obat, besarnya ikatan
dengan protein plasma, koefisien partisi obat terhadap lemak. Volume distribusi juga
dipengaruhi oleh usia, gender, penyakit dan komposisi tubuh (Benet,1996; Cunha,
2002).
5. 5
Mekanisme kerja antibiotik dibagi sebagai berikut (Chambers, 1996):
1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri yaitu golongan penisilin dan
sefalosporin yang secara struktural mirip .
2. Agen yang bekerja secara langsung pada membran sel mikroorganisme,
meningkatkan permeabilitas sehingga terjadi kebocoran senyawa
intraseluler.
3. Agen yang mengganggu fungsi ribosom subunit 30 S atau 50 S yang
menyebabkan hambatan reversibel sintesis protein. Obat bakteriostatik ini
termasuk kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin.
4. Agen yang mengikat ribosom subunit 30 S dan mengganggu sintesis
protein yang mengakibatkan kematian sel seperti aminoglikosida.
5. Agen yang menghambat metabolisme asam nukleat seperti rifampisin yang
menghambat DNA-dependent RNA polymerase dan quinolone yang
menghambat DNA gyrase & topoisomerase IV.
6. Antimetabolik seperti trimethoprim dan sulfonamide yang menghambat
biosintesis asam folat yang penting bagi mikroorganisme.
7. Analog asam nukleat seperti berbagai antiviral yang menghambat enzim
virus yang penting untuk sintesis DNA sehingga menghentikan replikasi
virus.
Uji kepekaan in vitro umumnya berdasarkan konsentrasi obat dalam plasma
yang dapat diterima dengan aman. Hal ini tidak mencerminkan konsentrasi di tempat
infeksi maupun faktor lokal yang mempengaruhi aktivitas obat. Obat dengan rasio
konsentrasi toksik-terapetik yang rendah sulit untuk digunakan dalam klinik (Delacher,
2000).
Bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik karena:
1. Obat gagal mencapai target
2. Obat mengalami inaktivasi
3. Target menjadi berubah
Beberapa bakteri menghasilkan enzim yang berada pada permukaan sel dan
menginaktivasi obat. Bakteri lainnya memiliki membran sel yang impermeabel
sehingga mencegah influx obat. Antibiotik yang hidrofilik melintasi membran luar sel
mikroba melalui saluran aqueous berupa protein spesifik yang disebut porins. Bakteri
yang memiliki sedikit saluran ini dapat menjadi resisten terhadap beberapa obat.
Sementara bakteri lainnya kekurangan sistem transport yang dibutuhkan bagi
masuknya obat kedalam bakteri. Banyak antibiotik merupakan asam organik sehingga
penetrasinya tergantung pH, selain itu permeabilitas juga dipengaruhi osmolalitas atau
berbagai kation di external milieu. (Chambers, 1996).
6. 6
Resistensi dapat terjadi oleh karena mutasi secara vertikal melalui seleksi sel
anak. Tetapi pada umumnya resistensi didapat melalui transfer horisontal determinan
resistensi dari sel donor, seringkali dari bakteri lain melalui transformasi, transduksi
atau konjugasi. Resistensi yang didapat dari transfer horisontal berkembang cepat
dan luas melalui penyebaran clonal strain resisten atau melalui pertukaran gen
diantara strain resisten dan yang masih peka misalnya pada methicillin- resistant
Staphylococcus aureus (Chambers, 1996).
Pemilihan antibiotik yang bijaksana membutuhkan pengetahuan farmakologi
dan faktor-faktor mikrobiologi. Keputusan menggunakan antibiotik seringkali tanpa
memandang mikroorganisme penyebab potensial atau gambaran farmakologi obat.
Antibiotik digunakan melalui dua cara yaitu sebagai terapi empiris atau initial dan
sebagai terapi definitif. Antibiotik untuk terapi empiris harus mencakup banyak
pathogen karena mikroorganisme penyebab belum diketahui. Setelah mikroorganisme
penyebab infeksi teridentifikasi, terapi antibiotik definitif diberikan dengan spektrum
sempit dan toksisitas rendah (Archer, 2005).
Keberhasilan terapi tergantung tercapainya efek antibakteri di tempat infeksi
tanpa menimbulkan toksisitas yang berarti pada pasien. Untuk itu beberapa faktor
farmakokinetik dan faktor host perlu dievaluasi. Konsentrasi obat minimal di tempat
infeksi sebaiknya paling tidak setara dengan MIC untuk mikroorganisme tersebut
tetapi ada bukti bahwa konsentrasi dibawah MIC mampu meningkatkan fagositosis.
Penetrasi obat menuju tempat infeksi hampir selalu secara difusi pasif. Kecepatan
penetrasi adalah proporsional dengan konsentrasi obat bebas dalam plasma atau
cairan ekstrasel. Obat yang terikat kuat protein memiliki penetrasi lebih rendah dan
sebaliknya dengan yang ikatannya lemah. Hanya fraksi obat yang tidak terikat yang
bebas berinteraksi dengan targetnya (Barger, 2003).
Salah satu faktor determinan efektifitas terapi antibiotik adalah status
fungsional mekanisme host defense. Imunitas seluler dan humoral keduanya
memegang peran penting. Kualitas dan kuantitas immunoglobulin yang tidak
adequat, perubahan sistem imun seluler atau defek kualitatif atau kuantitatif sel-sel
fagositik bisa menimbulkan kegagalan terapi walaupun telah menggunakan obat-obat
yang tepat dan efektif. Seringkali, keberhasilan terapi pada immunocompetent host
sudah bisa diperoleh dengan menghentikan multiplikasi mikroorganisme (efek
bakteriostatik). Jika host defense terganggu / inadequat diperlukan antibiotik
bakterisidal untuk terapi misalnya pada pasien yang netropeni. Pada pasien AIDS,
terapi infeksi opportunistik biasanya hanya memberi efek supresi dan bukan kuratif
(Archer, 2005).
7. 7
FARMAKODINAMIK
Berdasarkan sifat farmakodinamik dan konsentrasi penghambatan minimal
(MIC), antibiotik dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu time-dependent atau
concentration-independent dan concentration-dependent. Pada antibiotik kelompok
time-dependent seperti β-laktam, glikopeptide, makrolide, klindamisin dengan
meningkatnya konsentrasi antibiotik hanya menunjukkan sedikit atau tidak ada
peningkatan efek terapi sedangkan antibiotik kelompok concentration-dependent
seperti aminoglikosida dan quinolon menunjukkan peningkatan aktivitas seiring
dengan peningkatan konsentrasi. International Society for Anti-infective Pharmacology
(ISAP) membuat definisi parameter farmakokinetik (PK) dan farmakodinamik (PD).
Untuk kelompok time-dependent biasanya menggunakan parameter farmakologi
t > MIC yaitu persentase kumulatif waktu selama periode 24 jam saat konsentrasi
obat diatas MIC, sedangkan kelompok concentration-dependent biasanya
menggunakan parameter AUC/MIC (area dibawah kurva konsentrasi-waktu selama
24 jam dibagi MIC) dan Cmax/MIC (kadar konsentrasi puncak dibagi MIC) (Barger,
2003).
Antibiotik juga memiliki perbedaan sifat postantibiotic effect (PAE). Pada
umumnya, golongan concentration-dependent mempunyai PAE lebih lama dibanding
golongan time-dependent. Untuk antibiotik concentration-dependent rasio Cmax/ MIC
kurang lebih sepuluh dikaitkan dengan keberhasilan klinis. Oleh karena itu,
konsentrasi yang tinggi menjadi tujuan terapi. Hal ini dapat dicapai melalui pemberian
dosis tinggi sekali sehari. Antibiotik concentration-independent akan lebih efektif jika
durasi konsentrasi di serum lebih tinggi dari MIC pathogen dengan interval dosis yang
proporsional. Pemberian dosis yang sering atau dengan infus kontinyu dapat
meningkatkan t > MIC. Optimalisasi pemberian regimen antibiotik berdasarkan prinsip
farmakodinamik dapat menurunkan terjadinya resistensi antibiotik (Burgess, 1999).
Penelitian PK-PD terbaru diarahkan pada resistensi antibiotik oleh organisme
penghasil β-laktamase spektrum luas (ESBL-producing organisms). Penelitian
SENTRY Antimicrobial Surveillance Study tentang nosokomial pneumonia di Amerika
Utara terhadap 2700 pasien melaporkan bahwa 45% kasus disebabkan basil gram
negatif. Spesies tunggal tersering adalah Pseudomonas aeruginosa dan famili
terbanyak adalah Enterobacteriaceae (20%) dan 50-80% diantaranya adalah
penghasil ESBL. Studi surveilens tersebut mengidentifikasi adanya penurunan
kepekaan Enterobacteriaceae dan peningkatan MIC untuk ceftazidim dan ceftriakson
≥ 2 mg/L (Andes, 2005).
Demikian pula untuk antibiotik β-laktam, determinan atau prediktor penting
kemanjuran terapi adalah durasi konsentrasi di serum yang melampaui MIC. Jadual
8. 8
pemberian dosis untuk golongan ini harus mempertahankan konsentrasi diatas MIC
bagi bakteri pathogen paling tidak 50% dari interval dosis demi tercapainya efikasi
terapetik dan mencegah munculnya resistensi. Hal ini merupakan kriteria dasar efikasi
klinik untuk β-laktam (Auckenthaler, 2002).
Antibiotik golongan fluoroquinolon terdiri dari sejumlah obat yang berbeda
karakteristik farmakokinetik dan aktivitas farmakodinamiknya. Aktivitas in vitro masing-
masing obat bervariasi yang ditunjukkan oleh MIC-nya. Parameter farmakologi
Cmax/MIC dan AUC/MIC yang dikenal sebagai area dibawah kurva penghambatan
(AUIC) merupakan prediktor eradikasi bakteri, efikasi klinis, munculnya substrain
resisten dan dampak ekonomis (Paladino, 2003).
Pendekatan kill-curve dan MIC
Keberhasilan terapi antibiotik ditentukan oleh interaksi kompleks antara obat,
host dan mikroorganisme penyebab infeksi. Kompleksitas interaksi tersebut
dipengaruhi oleh besarnya variabilitas hubungan dosis-respons. Untuk memperkecil
variabilitas, karakteristik antibiotik, host dan agen penyebab infeksi harus
diperhitungkan sehingga diperoleh antibiotik dengan dosis yang tepat. Saat ini
pemilihan obat dan dosisnya terutama berdasarkan parameter in vitro statis yaitu MIC
dan konsentrasi obat dalam serum. Kondisi statis tersebut ternyata tidak
mencerminkan situasi di target organ yang kondisinya dinamis. Konsentrasi obat
dalam serum tidak mencerminkan konsentrasi obat bebas di target organ (Muller,
2004).
9. 9
Penelitian Lacy et al dengan model in vitro, time-kill curves menunjukkan efek
bakterisidal terhadap pneumococcus yang cepat dari ampisilin dosis 1000 mg IV
setiap 6 jam (Cmax 25 ÎĽg/ml) dan levofloksasin 500 mg IV setiap 24 jam (Cmax 6,4
ÎĽg/ml). Sedangkan dengan ciprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam (Cmax 4,6 ÎĽg/ml)
tampak pertumbuhan kembali bakteri setelah 24 jam. Streptococcus pneumoniae
merupakan salah satu bakteri utama penyebab pneumonia di masyarakat yang
sering menimbulkan problem resistensi terhadap antibiotik (Lacy, 1999).
Penentuan dosis dan interval dosis antibiotik seharusnya berdasarkan PK-PD
yang dinamis. Saat ini ada dua model PK-PD; pertama berdasarkan MIC (statis) dan
kedua berdasarkan pendekatan kill-curve (dinamis). Pada model MIC (statis),
pengaturan dosis bertujuan untuk mencapai kadar dalam plasma diatas MIC bagi
pathogen itu. MIC merupakan kadar terendah yang dapat menghambat secara
menyeluruh pertumbuhan organisme yang muncul setelah periode inkubasi 24 jam
dengan standar inoculum 105 cfu/ml. Kadar bakterisidal minimal (MBC) adalah kadar
antibiotik terendah yang mampu menghancurkan secara menyeluruh pathogen.
Kelemahan model MIC adalah mengabaikan faktor ikatan protein dan distribusi di
jaringan. Ikatan protein perlu diperhatikan karena hanya obat yang tidak terikat yang
dapat memberikan efek farmakologi. Demikian pula distribusi di jaringan karena
sebagian besar infeksi tidak terjadi di plasma tetapi di ruang interstisial di jaringan.
Model MIC juga tidak menerangkan tentang aktivitas tambahan antimikroba seperti
10. 10
efek postantibiotik atau efek sub-MIC. Dengan demikian pendekatan MIC / statis tidak
mencerminkan skenario in vivo hal mana bakteri tidak terpapar dengan kadar
antibiotik yang konstan tetapi berubah-ubah. Kurva time-kill menunjukkan
pertumbuhan dan kematian mikroba sebagai fungsi waktu dan kadar antibiotik. Kadar
antibiotik dapat diatur sehingga mirip profil kadar in vivo di plasma atau di tempat
infeksi. Pengaturan ini melalui proses dilusi atau difusi. Hasil kill-curves selanjutnya
dianalisis dengan model PK-PD yang tepat untuk menentukan dosis regimen secara
rasional dan ilmiah (Muller, 2004).
SUMMARY
Pharmacokinetics (PK) of antibiotics refers to what the body does to the drug
after its administration. It reflects the processes of absorption, distribution,
metabolism, and excretion. Important characteristics include clearance, distribution
volume, half-life, bioavailability, and protein binding. Pharmacodynamics (PD) of
antibiotics refers to what the drug does to the body. Parameters of PK-PD include time
above the MIC, peak / MIC and area under the curve. Based on these parameters,
antibiotics were divided into time-dependent and concentration dependent killing.
Efficacy of antibiotics therapy was determined by complex interactions among
drug, host and infecting microorganism, besides there are variability of PK-PD that
influence individual response. A dynamic PK-PD approach based on kill curves is a
more rational approach to describe drug-bacteria interactions than the classical MIC. It
is expected that this issue will gain more attention in the future.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andes D, Craig W A (2005). Treatment of infection with ESBL-producing
organisms: pharmacokinetic and pharmacodynamic considerations. Clin
Microbiol Infect 11 (Suppl.6): 10-17.
2. Archer GL, Polk RE (2005). Treatment and prophylaxis of bacterial infection. In:
Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. Vol.1. McGraw-Hill, New York,
pp790-794.
3. Auckenthaler R (2002). Pharmacokinetics & pharmacodynamics of oral β-lactam
antibiotics as a two dimensional approach of their efficacy. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 50, p13-17.
4. Barger A, Fuhst C, Wiedemann B (2003). Pharmacological indices in antibiotic
therapy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 52, 893-898.
11. 11
5. Benet LZ, Kroetz DL, Sheiner LB (1996). Pharmacokinetics. The dynamics of
drug absorption, distribution, and elimination. In: Goodman Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 9th ed. McGraw-Hill, New York,pp 20-21.
6. Burgess DS (1999). Pharmacodynamic principle of antimicrobial therapy in the
prevention of resistance. Chest 115:19s-23s.
7. Chambers HF, Sande MA (1996). Antimicrobial agents. In: Goodman & Gilman’s
The Pharmacological Basis of Therapeutics. 9th ed. McGraw-Hill, New York, pp
1029-1032.
8. Cunha BA (2002). Antibiotics Essentials. Physicians’ Press. pp 252-253.
9. Delacher S et al (2000). A combined in vivo pharmacokinetic-in vitro
pharmacodynamic approach to stimulate target site pharmacodynamics of
antibiotics in human. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 46, 733-739.
10. Lacy MK et al (1999). Pharmacodynamic comparisons of levofloxacin,
ciprofloxacin, and ampicillin against Streptococcus pneumoniae in an in vitro
model infection. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, Mar. p, 672-677.
11. Muller M, de la Pena A, Derendorf H (2004). Minireview. Issues in
pharmacokinetics & pharmacodynamics of anti-infective agents: Kill curves vs
MIC. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol 48 no 2. pp 369-377.
12. Muller M, de la Pena A, Derendorf H (2004). Minireview. Issues in
pharmacokinetics & pharmacodynamics of anti-infective agents: Distribution in
tissue.vol 48 no 5 pp 1441-1453.
13. Nies AS, Spielberg SP (1996). Principle of therapeutics. In: Goodman & Gilman’s
The Pharmacological Basis of Therapeutics. 9th ed. McGraw-Hill, New York, pp
43-47.
14. Paladino JA, Callen WA (2003). Fluoroquinolone benchmarking in relation to
pharmacokinetics & pharmacodynamics parameters. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy 51, suppl s1, 43-47.
15. Ross EM (1996). Pharmacodynamics. In: Goodman & Gilman’s. The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 9th ed. McGraw-Hill, New York, pp 29-31.
16. Usman Hadi (2005). Manajemen Penggunaan Antibiotika di Rumah Sakit.
Dalam: Simposium penyakit infeksi dan problem resistensi antimikroba 30 April
2005 Surabaya, editor: Usman Hadi, Nasronudin, Kuntaman hlm 46-54.
17. Worokarti (2005). Peran Farmasis Dalam Pengelolaan Penderita Penyakit Infeksi
Untuk Mencegah Timbulnya Resistensi Antimikroba. Dalam: Simposium
penyakit infeksi dan problem resistensi antimikroba 30 April 2005 Surabaya,
editor: Usman Hadi, Nasronudin, Kuntaman hlm 55-69.