64 tahun perfilman nasional Indonesia dinilai melalui kiprah Usmar Ismail yang dianggap sebagai bapak perfilman nasional. Walau film bisu pertama diproduksi tahun 1926, momentum lahirnya film nasional yang bercirikan Indonesia ditandai dengan film "Darah dan Doa" karya Usmar Ismail pada 30 Maret 1950 yang diproduksi oleh badan perfilman nasional Indonesia, Perfini.
5. 52014 l Edisi 7 l Kinescope l
i
kinescope edisi 7.indd 5 16/04/2014 21:17:25
6. 6 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
SalamRedaksi
64TAHUNPERFILMANNASIONAL:
SEBUAHEVALUASI
Selamat Hari Film Nasional. Walau
sudah lahir sejak tahun 1926 lewat
‘Loetoeng Kasaroeng’ sebagai
film bisu layar lebar pertama yang
diproduksi di Indonesia, kiprah
Bapak Perfilman Nasional, Usmar
Ismail setelah era kemerdekaan
dalam ‘Darah dan Do’a’ di tanggal
30 Maret 1950 -lah yang dijadikan
momentum lahirnya film nasional
yang benar-benar bercirikan
Indonesia oleh sutradara-produser
serta badan perfilman milik
Indonesia asli (Perfini).
PENASEHATREDAKSI
FaridGaban
TinoSaroengallo
AndiBachtiarYusuf
WandaHamidah
FaisalBasri
PEMIMPINUMUM
Hasreiza
PEMIMPINREDAKSI
ReizaPatters
REDAKTUR
BentarKurniawan
RianSamin
KONTRIBUTOR
ShandyGasella
WellaSherlita
DanielIrawan
DanielRudiHaryanto
Pejred
RohmanSulistiono
NovitaRini
TheaFathanahArbar
SuluhPamuji
ARTDIRECTOR
alFianadha
FOTOGRAFER
HeryYohans
PENJUALAN&PEMASARAN
OlliviaSelagusta
COMMUNITYDEVELOPMENT
JusufAlinLubis
DISTRIBUSI&SIRKULASI
FaisalFadhly
SUBSCRIPTIONS
Level3A,WorldTradeCenter5
Jl.JendralSudirmanKav.29-31
Jakarta12320
Telp.02125985194
www.kinescopeindonesia.com
info@kinescopeindonesia.com
iklan@kinescopeindonesia.com
redaksi@kinescopeindonesia.com
langganan@kinescopeindonesia.com
@KinescopeMagz
S
udah enam edisi kami mencoba berikan sedikit kontribusi
bagi dunia seni, dominannya dunia film Indonesia.
Saat ini, edisi ke tujuh juga sudah tiba di tangan anda,
menunggu untuk dibaca dan diberikan kritik atas hasil
karya jurnalisme ini. Ya, hasil karya yang tidak seberapa ini pun
menunggu untuk kritik dan masukan yang bernilai.
Konstruksi prestasi bagi kami adalah ketika hasil karya ini
diberikan kritik dan masukan tentang perbaikan dan kekurangan
yang dimiliki. Agar kami bisa terus memperbaiki diri dalam
proses produksi karya yang lebih mumpuni. Terkadang evaluasi
dari pihak yang berdiri di luar kami, justru memberikan masukan
yang lebih konstruktif obyektif bagi kami untuk terus melakukan
introspeksi dan implementasi dalam proses pengerjaan karya
jurnalistik ini.
Tidak ada upaya baik apapun yang bisa dianggap sebagai
sebuah prestasi, di saat sebuah hasil karya tidak mendapatkan
apresiasi positif ataupun negatif dari luar dirinya sendiri.
Karena justru apresiasi, baik positif maupun negatif, yang akan
memberikan suntikan besar motivasi untuk terus bergerak
melanjutkan ide dan gagasan besar yang sudah dimulai ini.
Tak akan surut kami melangkah dan mundur adalah
pantangan. Khususnya saat ini, di mana asa masih tersisa dan
energi masih memungkinkan kami untuk berdiri, sendiri dan
semampu kami. Kami percaya, sebesar apapun kontribusi yang
kami berikan, sebesar apapun apresiasi dari publik kepada kami,
selalu akan melecut semangat kami untuk terus berbuat dan
berkontribusi. Amien atas itu, adalah doa dan harapan yang kami
haturkan. Usaha dan kerja keras, yang akan kami persembahkan,
untuk dunia dan kebaikannya. Selamat hari Film Nasional ke 64
tahun!
CoverStory
kinescope edisi 7.indd 6 16/04/2014 21:22:37
7. 72014 l Edisi 7 l Kinescope l
kinescope edisi 7.indd 7 16/04/2014 21:17:26
8. 8 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
PREVIEW
Setelah terbunuhnya suaminya, Sa-
rah (Dominique Diyose) berusaha
mengajarkan ilmu bela diri kepada
anaknya, Marsya (Belinda Camesi),
yang sebenarnya sangat tidak menyu-
kai ilmu bela diri. Ternyata Paquita
(Sarah Carter) dan kelompoknya terus
memburu mereka. Sarah meminta
bantuan Kapten Roy (Nino Fernan-
dez), sahabat suaminya di kepolisian
yang belakangan mengetahui ternyata
juga diburu oleh anak buah Oscar (Tio
Pakusadewo).
Sejak diramalkan indera keenamn-
ya akan terbuka di usia 23 tahun,
Mila menjadi sangat penasaran
dengan dunia gaib. Bersama
ketiga sahabatnya, Panji, Karina, dan
Danang, Mila mencari bukti-bukti
keberadaan aktivitas supernatural
di berbagai tempat sehingga impian
mereka untuk mempunyai acara
investigasi dunia gaib bisa tercapai.
Tapi sayangnya, mereka tidak pernah
berhasil mendapatkan satu bukti
pun. Hingga akhirnya sebuah tantan-
gan dari seorang pemilik mal datang
kepada mereka. Mereka dikurung
selama 24 jam di dalam sebuah
mal yang digosipkan angker. Pada
waktu itu juga umur Mila menjadi
23 tahun.
Tania ( Dinda Dianeersky ),
gadis buta, tidak pernah
menyerah dalam meraih mimpi
untuk melihat dunia bersama
biolanya. Ia bersahabat dengan
Tara (Ferly Putra) sejak kecil.
Tara yang kemudian menjadi
kekasih Tania, selalu berusaha
membantu Tania mewujudkan
mimpinya tersebut meski den-
gan segala keterbatasan yang
ia miliki.
Ibu Tania (Ike Muti) sangat
ingin menyembuhkan kebutaan
anaknya, namun karena ia
hanya bekerja sebagai agen
sebuah MLM yang penghasi-
lannya hanya bisa memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarg-
anya, keinginan itu pun tampak
hanya menjadi impian be-
laka. Hingga muncul lah Genta
(Afdhal Yusman), seorang pria
mapan secara finansial yang
mampu mewujudkan mimpi itu.
Ibu Tania pun tak membuang
kesempatan itu dan segera
menjodohkannya dengan Tania.
MallKlender
Guardian
Tania
kinescope edisi 7.indd 8 16/04/2014 21:17:27
9. 92014 l Edisi 7 l Kinescope l
FilmIndonesiaApril2014
1. Me & You vs The World
Tayang 17 April 2014
2. Kesurupan Setan
Tayang 17 April 2014
3. Jomblo Keep Smile
Tayang 17 April 2014
4. Mall Klender
Tayang 24 April 2014
5. Modal Dengkul
Tayang 24 April 2014
6. Tania
Tayang 24 April 2014
7. Guardian
Tayang 30 April 2014
Jeremy (Rio Dewanto) yang bosan dengan pekerjaan
dan rutinitasnya berubah ketika bertemu dengan
Sera (Dhea Seto) yang juga sedang mencari jati dirinya
dan bosan dengan dunia remaja SMU. Jeremy berontak
dari kantornya dan mengajukan konsep “Menaklukkan
Dunia”. Yang pertama dilakukan adalah membuat acara
Menaklukkan Sungai Citarik dengan Rafting. Heboh.
Jeremy menyelamatkan peserta cewek yang hampir
tenggelam di sungai. Atasan Jeremy (Piyu) menyetujui
rencana Jeremy untuk membuat acara yang cowok
banget.
Jeremy lalu ingin presentasi acara rafting ke sekolah-
sekolah. Di satu sekolah Jeremy dan Baron (Gofar
Hilman), kawannya, bertemu dengan Sera Presentasi
Jeremy ditolak Kepala Sekolah (Joe P Project), karena
dianggap terlalu berbahaya . Sera juga ikut menolak
kegiatan tersebut.
Tapi, tanpa sengaja Sera ikut rombongan Shifa dan
Putri yang berangkat rafting. Padahal, Sera berencana
mengingatkan Shifa dan Putri kalau rafting itu berba-
haya. Setelah seru-seruan rafting dan bermain Pint Ball,
Sera dan Jereny semakin dekat. Sera merasa menemu-
kan kecocokan karena Jeremy sering mangajak Sera
melakukan petualangan dan mengajak menikmati dunia
cowok: panjat tebing sampai off road.
Ternyata Sera ketahuan sering bolos les oleh mama
(Zoya Amirin) dan papanya (Bucek). Sera dilarang main-
main lagi terutama bersama Jeremy yang sudah dewasa.
Kehidupan Sera dan Jeremy semakin kacau ketika Vida
(Manohara), mantan kekasih Jeremy, muncul. Sera dan
Jeremy sama-sama merasa kehilangan.
Dua tahun kemudian, Jeremy pergi berpetualangan
ke India. Di Taj Mahal tanpa sengaja Jeremy bertemu
dengan Sera. Cinta masih ada di hati keduanya.
Me&YouvsTheWorld
Di tengah kesibukan persiapan pernikahan kakaknya, Agus
(Kemal Palevi) jatuh cinta pada teman SMA-nya, Ange-
line (Kimberly Ryder), yang punya ciri khas tertawa ganjil.
Sobatnya, Jo (Reza Aditya) bersedia membantu dengan
segala macam cara.
Karena menduga Angeline cewek materialistis, Agus
berusaha melakukan pendekatan deDi tengah kesibukan
persiapan pernikahan kakaknya, Agus (Kemal Palevi) jatuh
cinta pada teman SMA-nya, Angeline (Kimberly Ryder), yang
punya ciri khas tertawa ganjil. Sobatnya, Jo (Reza Aditya)
bersedia membantu dengan segala macam cara.
Karena menduga Angeline cewek materialistis, Agus
berusaha melakukan pendekatan dengan mengendarai mo-
bil baru yang merupakan kado Bapak (Joe Project P) untuk
kakaknya.
Saking terlalu fokus pada Angeline ia melupakan banyak
hal termasuk mobil kakaknya. Ia minta bantuan bos Mafia
se-Asia Tenggara, Boris (Caisar), untuk memecahkan
masalahnya.ngan mengendarai mobil baru yang merupakan
kado Bapak (Joe Project P) untuk kakaknya. Saking terlalu
fokus pada Angeline ia melupakan banyak hal termasuk mo-
bil kakaknya. Ia minta bantuan bos Mafia se-Asia Tenggara,
Boris (Caisar), untuk memecahkan masalahnya.
JombloKeepSmile
kinescope edisi 7.indd 9 16/04/2014 21:17:28
10. 10 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
COVERSTORY
SEBUAH
EVALUASI
64TAHUNPERFILMANNASIONAL:
Selamat Hari Film Nasional. Walau sudah lahir sejak
tahun 1926 lewat ‘Loetoeng Kasaroeng’ sebagai film bisu
layar lebar pertama yang diproduksi di Indonesia, kiprah
Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail setelah era
kemerdekaan dalam ‘Darah dan Do’a’ di tanggal 30
Maret 1950 -lah yang dijadikan momentum lahirnya
film nasional yang benar-benar bercirikan Indonesia
oleh sutradara-produser serta badan perfilman milik
Indonesia asli (Perfini).
10 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
kinescope edisi 7.indd 10 16/04/2014 21:17:30
DANIELIRAWAN
11. 112014 l Edisi 7 l Kinescope l
D
iwarnai
naik - turun
perkembangannya setelah itu,
bahkan sempat dianggap mati
suri di pengujung tahun 1990,
perfilman kita sudah memasuki
usianya yang ke-64. Kita tentu
harus bangga terhadap setiap
usaha untuk membuatnya bisa
bertahan hingga sekarang, tapi
pertanyaannya, dalam usia
sepanjang itu, sudah seperti apa
wujudnya sekarang?
KEBANGKITANFILM
INDONESIAPASCATAHUN
2000
Tak tepat juga mungkin
mengatakan film Indonesia
benar-benar mati di akhir ‘90an.
Hanya saja, seolah mati suri, satu
dua film yang diproduksi, itupun
ditayangkan secara terbatas di
bioskop, adalah ‘Petualangan
Sherina’ yang kemudian memulai
kembali sepak terjangnya.
Menyusul gerilya ‘Jelangkung’
sebelum diedarkan lebih luas,
‘Ada Apa Dengan Cinta?’ benar-
benar menghidupkan kembali
eksistensinya.
Tahun demi tahun, jumlah
produksinya meningkat. Hingga
sekarang, kita punya rata-rata
dua film nasional baru yang
ditayangkan di bioskop setiap
minggunya kecuali di bulan
puasa. Itu pun bisa lebih dari
dua di waktu-waktu tertentu.
Untuk patokan industri film di
negara-negara Asia Tenggara,
jumlah yang paling tidak 100
film pertahunnya ini, sebenarnya
sudah kelihatan cukup sehat.
Sayangnya, tak begitu adanya
dengan jumlah penontonnya.
Belum lagi soal kondisi
bioskop sebagai ekshibitornya,
dibandingkan jumlah
penduduk kita yang mencapai
240 juta jiwa lebih kurang.
Ditambah dengan keberadaan
jaringan bioskop yang
nyaris sebagai pebisnis
tunggal itu, yang
akhirnya terjadi,
rata-rata film
kita seakan hanya diberi waktu
tayang terbatas 1-2 minggu
(kalau laku bisa bertambah,
kalau tidak malah mentok di
hitungan hari), and that’s it. Tak
bisa lagi kemana-mana selain
ke televisi atau homevideo.
Lalu, apa sudah tepat
menganggapnya benar-benar
bangkit?
PRODUKSIFILM,JUMLAH
PENONTONDANBIOSKOP
SEBAGAIEKSHIBITOR
Nanti dulu soal Korea, yang
katanya jumlah penontonnya
bisa mencapai 1/6 keseluruhan
jumlah penduduknya. Tak
ada patokan ideal terhadap
persentase ini. Tapi jelas, raihan
tertinggi 5 jutaan penonton
yang masih dipegang oleh
‘Laskar Pelangi’ dibandingkan
dengan 240 juta jiwa, itu
sangat jauh dari seimbang.
Dibandingkan negara tetangga
terdekat, seperti Thailand atau
Malaysia saja, mungkin kita
masih ketinggalan. Bahkan
dari Singapura, yang notabene
tak punya jumlah produksi
sebanyak kita.
Dalam banyak pola-pola
produksi yang masih sebanding,
mungkin masih lebih baik
mengejar Malaysia atau
Thailand, yang meskipun masih
diwarnai kerugian-kerugian
dari keseluruhan namun
punya pengaturan insentif
berbeda dari pemerintah yang
sangat mendukung perfilman
negaranya.
Harapan yang sempat
meningkat di akhir 2012 atas
keberhasilan ‘Habibie & Ainun’
dan ‘5 cm’, sayangnya kembali
menurun tahun lalu, walaupun
’99 Cahaya di Langit Eropa’ dan
‘Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck’ tergolong sangat sukses.
Lagi-lagi, ketidakseimbangan
jumlah produksi, jumlah
penonton dan pihak
bioskop sebagai
eskhibitornya
(dalam hal ini
kita hanya punya
pemasaran
yang belum
sepenuhnya
terbuka
untuk menjangkau semua
penduduknya), kebanyakan
hanya berpusat di kota-kota
besar, menjadi concern yang
sangat besar.
Sekaligus menjadi
permasalahan sangat serius
yaitu keberadaan jaringan
bioskop sebagai ekshibitor,
yang nyaris jadi pemain
tunggal ini, memang sangat
mengkhawatirkan. Saat ini
kita hanya punya dua jaringan
dengan rentang jumlah bioskop
dan kebijaksanaan yang cukup
jauh. Bukan hanya sistem
distribusi yang masih kacau-
balau dan serba terbatas,
sistem yang ada sekarang
juga cenderung menekan
sebagian besar pelaku industri
lewat ketidakterbukaan data
penonton, hingga aturan-aturan
tak tertulis untuk dukungan dan
perlakuan-perlakuan khusus.
Sementara peredaran
homevideo untuk saat ini juga
masih sama mengkhawatirkan.
Ketidakmampuan menggerus
industri bajakan atau teknologi
free-access, masih jadi
tantangan terbesar selain minat
serta kesadaran masyarakat
yang masih dibatasi harga
penjualan produk original yang
cukup tinggi dibandingkan
bajakan.
Hadirnya satu lagi jaringan
besar tahun ini, bisa jadi akan
mengubah peta pendistribusian
film. Tapi kita mungkin masih
harus menunggu hasilnya
nanti. Yang lebih dibutuhkan
sebenarnya justru bioskop-
bioskop rakyat, yang bisa terus
memberikan kesempatan
sebuah film untuk bisa beredar
cukup lama agar mampu
menjangkau lapisan penonton
yang lebih luas.
PENGENALANKE
DUNIALUARLEWAT
FESTIVAL-FESTIVAL
INTERNASIONAL
Di luar kekhawatiran
terhadap jumlah penonton
yang juga tak dibarengi
peningkatan jumlah bioskop
ini, benar juga adanya, bahwa
perfilman kita sudah semakin
dikenal di dunia internasional
Habibie &
Ainun
kinescope edisi 7.indd 11 16/04/2014 21:17:30
12. 12 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
COVERSTORY
lewat kiprah beberapa sineas
serta stakeholder-nya yang
membawa usaha penayangan
bahkan bersaing ke berbagai
festival berkelas dunia. Lebih
dari sekedar usaha menjual hak
distribusi dari beberapa rumah
produksi yang ada, prestasi
selalu terbukti lebih bisa bicara.
Nama-nama seperti Garin
Nugroho, Christine Hakim,
Riri Riza, Joko Anwar, Edwin,
Mouly Surya hingga Gareth
Evans sudah mengharumkan
perfilman kita untuk lebih
luas dikenal sampai ke luar.
Senang sekali rasanya tiap kali
mendengar sineas atau jurnalis
luar mengenal sangat baik
nama-nama ini berikut film-film
mereka, sekaligus kenyataan
bahwa industri kita secara
kualitas dinilai banyak pihak
lebih baik dari negara tetangga
seperti Malaysia, yang bahkan
sudah lebih banyak punya
film dengan kualitas produksi
internasional.
Sayangnya, hal ini tak
dibarengi oleh usaha dari
dalam negeri sendiri untuk
membuat festival-festival
berkelas internasional yang ada
di negeri sendiri lebih dikenal ke
dunia luar. Kita punya JIFFest,
JAFF (Jogja-Netpac Asian
Film Festival) atau Balinale
diantaranya, yang sayangnya tak
juga menghasilkan gaung terlalu
besar ke dunia internasional.
Rata-rata bervisi terbatas hanya
untuk memajukan perfilman
dalam negeri. Mungkin, lagi-lagi
alasannya adalah kurangnya
dukungan pemerintah bersama
penyelenggara untuk paling
tidak, mengundang lebih
banyak media atau sineas-
sineas luar untuk eksposur
yang lebih luas.
Belum lagi soal
ketimpangan jenis
film yang rata-rata
bisa mendapat
pengenalan lebih
itu. Kita tentu
tetap perlu
eksistensi film
sebagai sebuah
karya seni yang
murni. Tapi di
saat yang sama
dan tanpa bisa
ditolak, keberadaannya sebagai
produk hiburan juga sama
pentingnya. Rata-rata berupa
film arthouse (yang tak sejalan
dengan selera banyak penonton
awam), kesuksesan ke festival
atau dunia internasional itu
hampir selalu tak sejalan dengan
demand penonton Indonesia
dan kepentingan industri untuk
bisa terus hidup dengan sehat
sebagai produk bisnis.
Untuk sekarang, demi
mempertahankan industri
perfilman nasional, kita butuh
keseimbangan lebih diantara
keduanya. Begitupun, paling
tidak dari sisi ini, kebangkitan
film nasional pasca tahun
2000 itu sudah menciptakan
pengenalan cukup besar dari
dunia luar, walaupun jumlah film
yang ada di kategori ini masih
terbatas.
GENREDANTRENDFILM
INDONESIA
Kembali ke pertanyaan
paling klasik di sinema kita,
tentang pola selera penonton
yang larinya entah kemana,
lagi-lagi kita harus kembali
mempermasalahkan stagnansi
tema. Nanti dulu soal distribusi
dari keterbatasan jumlah
jaringan ekshibitor yang
akhirnya menyenggol-nyenggol
soal monopoli atau aturan baku
yang sulit untuk didobrak di
balik banyak kepentingan bisnis,
tapi kenyataannya, film kita
miskin sekali mengeksplor genre
film-filmnya.
Di saat negara-negara
maju bahkan Asia sekalipun,
sudah bisa memperkirakan
selera penontonnya, kita masih
dalam posisi meraba-raba.
Bukan menciptakan film yang
mengundang antusiasme
penonton dalam sisi
berbeda, kita masih
sekedar menciptakan
tontonan semata-
mata untuk
kepentingan
komersial dan
kebutuhan rumah
produksi untuk
tambal sulam biaya,
serta sekedar mengikuti
trend yang ada. Dan
kecenderungan ini semakin
parah, bahkan saat bukti pasar
sudah menunjukkan hanya satu
dua pendobraknya yang bisa
berhasil besar di pasaran.
Lagi, (di tengah hanya
segelintir dari film kita yang
mengundang antusiasme publik
untuk ikut membicarakannya)
siapa sineas atau aktor yang
selayaknya pas mengarahkan
sebuah produk yang sudah
lebih dulu dikenal luas, dan
sebagainya. Kebanyakan
produksi yang ada malah
dipegang oleh sineas yang
sekedar membuat film tanpa
punya pengetahuan lebih
tentang genre yang tengah
dibesutnya. Kebanyakan
hanya bekerja tanpa benar-
benar menganggap filmnya
sebagai sebuah passion dalam
penciptaan karya.
Di luar soal-soal keterbatasan
bujet, misalnya, mengapa
tak banyak produksi yang
mampu mengikuti gebrakan
Gareth Evans dalam ‘The Raid’,
sehingga bisa begitu berhasil
hingga mendunia? Sementara
horor, drama-drama cengeng,
serta film-film inspirasional
termasuk biopik, begitu
menjamur. Padahal dapat
ditebak batas keberhasilannya,
setelah kesuksesan satu dua
yang booming pertama kali?
Jawabannya bisa sangat
relatif, namun rasanya karena
kebanyakan sineas kita juga
tak didasari passion dan
pengetahuan yang cukup
untuk bisa benar-benar terjun
menggeluti genre yang mereka
pahami. Lagi-lagi, kebanyakan
hanya sekedar bekerja, bukan
sungguh-sungguh menciptakan
karya.
Akibatnya adalah stagnansi
tema serta genre. Di saat penulis
sebagai cikal bakal sebuah
produksi film akhirnya juga
punya etos kerja yang sama,
rata-rata yang kita dapatkan
adalah hasil-hasil medioker
yang sekedar sambil lewat saja.
Bakat-bakat besar aktor yang
kita punya juga ikut tergelincir ke
ranah yang sama atas etos kerja
orang-orang di sekelilingnya.
Mencoba tampil lebih di fondasi
Garin Nugroho
kinescope edisi 7.indd 12 16/04/2014 21:17:30
13. 132014 l Edisi 7 l Kinescope l 132014 l Edisi 6 l Kinescope l
yang serba lemah, hanya
segelintir yang akhirnya berhasil
lebih luas dilirik penonton kita,
yang rata-rata masih sangat
memuja kecantikan tampilan
di balik niat lebih dalam hal
bujet produksi, ketimbang isi
sebuah produk. Dan ini juga
ikut memberi cerminan kualitas
rata-rata film kita, baik ke dalam
maupun ke luar. Pelan-pelan,
film kita semakin kehilangan
kepercayaan dari penontonnya.
FILMKITA=WAJAHKITA?
Film Kita adalah Wajah Kita.
Ada sebagian bentuk idealisme
yang akan jadi sangat pro dan
kontra terhadap anggapan-
anggapan seperti ini. Benar
bahwa perfilman suatu bangsa
selayaknya membawa bentuk-
bentuk kearifan budaya lokal
atau apalah sebutannya, lewat
pesan-pesan dan konten yang
disampaikan dalam sebuah
film. Tapi apa harus semuanya
seperti itu? Mau dibilang
temanya mengangkat konflik-
konflik mendasar yang ada
dalam kehidupan bangsa sehari-
hari, kebanyakan juga masih
sekedar superfisial.
Lagi-lagi kita akan
berhadapan pada satu
pertanyaan klise yang bisa
beragam sekali interpretasinya.
Di saat mempertahankan ciri
khas yang sampai sekarang
masih tak tentu kemana
arahnya atas permasalahan
demi permasalahan tadi, dalam
konteksnya sebagai produk
jualan, salahkah bila film kita
meniru cara bertutur atau
standar teknis penggarapan
film-film luar, apakah itu
Bollywood, Eropa atau Asia
lainnya hingga Hollywood?
Lantas, apakah ada yang
bisa menyimpulkan ciri khas
perfilman nasional kita dalam
lintas era perkembangannya?
Apakah film yang penuh
protes sosial dan memotret
kaum marjinal dengan segala
permasalahannya? Legenda
silat lokal dalam berbagai
bentuk yang ada? Hanya
terbatas pada film-film yang
berlatar belakang pengenalan
kawasan serta budayanya?
Arthouse atau mainstream?
Atau justru horor-horor
berbalut komedi seks yang
berlindung di balik mitos-mitos
budaya atau urban legend
yang tengah menjadi trend di
masyarakat kita? Atau elemen-
elemen klise yang wajib ada, dari
mulai perselingkuhan, perkosaan,
karakter PSK atau konflik-konflik
hamil di luar nikah, yang belum
bisa sepenuhnya lepas dari rata-
rata bangunan skrip yang ada?
Inikah yang menunjukkan wajah
bangsa kita? Banggakah kita
dengan potret yang ada sekarang?
Jawabannya terpulang
pada masing-masing anggapan
yang juga akan jadi sangat
beragam. Tapi rasanya, yang
paling dibutuhkan adalah
keseimbangan di antara film-film
yang ada dan bakal diproduksi
nanti. Ragam-ragam dalam cara
bertutur, pendekatan maupun
tema keseluruhan tanpa
batasan, mungkin akan bisa
dengan sendirinya pelan-pelan
membangun ciri yang sudah lama
hilang dari perfilman kita.
Kita perlu produk-produk
arthouse sebagai bentuk karya seni,
perlu juga film pop dalam batasan
kualitas yang baik, film dengan
profil-profil lebih tinggi yang bisa
bersaing dengan film luar, bahkan
kalau bisa semakin diwarnai dengan
banyak pendekatan baru dalam
genre-genre animasi, dokumenter
dan sebagainya.
Iko Uwais dan
Gareth Evans
dalam film The
Raid 2
kinescope edisi 7.indd 13 16/04/2014 21:17:33
14. 14 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
COVERSTORY
Event-event
penganugerahan piala,
baik yang digagas oleh
pemerintah hingga organisasi
independen, dari FFI, Apresiasi
Film Indonesia (walaupun
didistraksi oleh ketidakjelasan
kementrian yang menaungi
film oleh Kemendikbud yang
belakangan sudah diperjelas
oleh Kemenparekraf),
Akademi Film Indonesia,
dan Piala Maya, juga sudah
menunjukkan standar-standar
penilaian berbeda terhadap
keanekaragamannya. Hal ini
paling tidak, bisa memicu
para pelaku perfilman untuk
lebih lagi mengeksplorasi
tema yang ada. Untuk saat ini,
meski belum lagi menciptakan
ciri khas secara keseluruhan,
beberapa sudah mencoba
dengan hasil yang sangat
baik, dan mudah-mudahan ke
depannya akan semakin baik
lagi.
LAHIRNYAORGANISASI
DANASOSIASIINDUSTRI
Menggantikan PARFI yang
peranannya sudah sangat
mengecil sekarang ini, juga
BPPN (Badan Pertimbangan
Perfilman Nasional) yang
sudah dibubarkan, kita punya
sejumlah organisasi dan
asosiasi baru dengan tujuan
dan sasaran masing-masing
untuk semakin memajukan
perfilman nasional dan
membuatnya kembali jadi tuan
rumah di negeri sendiri.
Dengan dukungan dari
Kemenparekraf, pembentukan
BFI (Badan Film Nasional)
yang bertujuan untuk
mengelola dana dan fasilitas
untuk berbagai macam
film diharapkan semakin
memicu lahirnya film-film
Indonesia berkualitas,
walaupun ini masih berada
dalam keberadaan film
sebagai sarana pendukung
industri pariwisata yang tak
bisa sepenuhnya lepas dari
kepentingan pemerintah,
tapi paling tidak diharapkan
bisa memperbaiki masalah
distribusi sebagai masalah
rumit dalam industri film kita.
Selain itu 9 asosiasi profesi
yang dibentuk oleh para pekerja
film Indonesia, bernaung dalam
satu atap bernama Indonesian
Motion Picture Associations
(IMPAS) juga cukup memberikan
harapan. Bukan hanya sebagai
organisasi yang melindungi dan
menunjang profesi masing-
masing, dari sutradara (IFDC),
aktor (RAI), penata suara
dan ilustrasi musik (IMPACT),
penulis (PILAR), produser (APSI),
sinematografer (SI), editor
(INAFED), desain produksi (IPD)
dan casting (ACI), mereka juga
punya visi untuk menetapkan
standar untuk kemajuan film
Indonesia.
GELIATFILMDANSINEAS-
SINEASINDEPENDEN
Ada juga yang mengatakan
bahwa perkembangan terbesar
sinema kita tampak dari
kiprah-kiprah film independen
yang memang berjalan cukup
pesat belakangan ini. Bahwa
itu sebenarnya wajah asli film
Indonesia, walau bentuknya masih
sangat beragam, mungkin saja ada
benarnya. Tapi lagi, toh bakat-bakat
baru yang hadir dengan visi-visi
tak biasa ini belum lagi mendapat
kesempatan seluas film sebagai
tontonan layar lebar.
Lahir bahkan dari daerah
yang jauh dari pengaruh industri
film nasional, bakat-bakat
muda ini kadang bisa sangat
mencengangkan. Mereka bisa
berjaya di berbagai festival,
dari lokal bahkan internasional.
Sayangnya, ini juga masih belum
cukup, karena kebanyakan apresiasi
yang ada, tak peduli seberapa
tinggi, masih sangat terbatas pada
sejumlah kalangan.
Ada banyak pertanyaan-
pertanyaan yang lantas akan
muncul. Dari mulai, sejauh mana
mereka bisa membangun industri
baru perfilman kita di generasi-
generasi mendatang? Apakah
idealisme itu bisa dipertahankan
ketika harus berhadapan dengan
industri? Atau, sejauh mana
industri yang ada sekarang akan
memberi jalan pada mereka,
apakah cukup sekedar lewat
festival yang film-filmnya juga
ditayangkan secara terbatas?
Sementara ketika ditayangkan
luaspun, tak juga mampu menarik
perhatian penonton awam yang
persentasenya jauh lebih dibanding
penikmat film sesungguhnya.
Satu yang pasti, usaha-usaha
mereka sangat memberikan
harapan terhadap perkembangan
film kita ke depannya. Sisi ini
justru jadi catatan terpenting
dalam refleksi perkembangan usia
perfilman nasional yang sudah
mencapai usia sejauh ini. Harapan
yang ada adalah bahwa pelaku-
pelaku industri yang ada sekarang,
harus lebih memberikan jalan
pada mereka. Menyediakan ruang
lewat event-event yang harusnya
bisa menjangkau sasaran pemirsa
lebih luas, atau dengan kolaborasi-
kolaborasi yang didasari dengan
akal sehat, agar passion itu tak
lantas jatuh ke arah etos kerja yang
salah nantinya.
Jadi sebenarnya sudah sejauh
mana perkembangan perfilman
nasional di usianya yang ke-64 ini?
Di tengah banyaknya prestasi dan
pencapaian-pencapaian yang harus
diakui sudah membawa perfilman
kita ke arah yang lebih baik, dengan
banyaknya carut-marut yang belum
lagi bisa diselesaikan, mungkin
sedikit miris untuk menyimpulkan
bahwa perfilman kita belum lagi
bisa menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Kita masih terus berada
di wilayah industri yang tengah
berkembang tanpa bisa mencapai
puncaknya kembali dalam waktu
dekat.
Tapi bukan lantas berarti kita
harus pesimis terhadap kemajuan
perfilman nasional. Dalam cakupan
yang sangat luas, dari sekedar
penyuka, penonton, pengamat
hingga pelaku dan ekshibitor
sebagai para stakeholder-nya, mari
terus bekerjasama melakukan
usaha-usaha untuk semakin
memajukan perfilman nasional.
Sekedar rajin-rajin datang ke
bioskop untuk film Indonesia
berkualitas atau memberikan
interaksi positif di social media,
mengajak kalangan lebih luas
lagi untuk berbuat yang sama
pun sudah merupakan bentuk
dukungan yang sama sekali tak
boleh ditinggalkan. Sebuah proses
untuk maju mungkin perlu waktu,
tapi mari tak berhenti untuk
itu. Dukung terus film Indonesia
berkualitas, dan Selamat Hari Film
Nasional ke-64!
kinescope edisi 7.indd 14 16/04/2014 21:17:33
15. 152014 l Edisi 7 l Kinescope l
kinescope edisi 7.indd 15 16/04/2014 21:17:34
16. 16 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
PREVIEWFOTO:http://www.traxonsky.com/jalanan-movie-a-music-documentary
“DanielZivberhasil
mengantarkanironi
kedalamruang
eksibisi.”
J
alanan ini adalah film
dokumenter rasa komersial yang
mengisahkan tentang kehidupan
nyata 3 pengamen jalanan di
Jakarta, Boni, Ho, dan Titi; serta
memenangkan ‘Best Documentary’ di
Busan Film Festival 2013. Sutradaranya,
Daniel Ziv, menghabiskan nyaris lima
tahun pengambilan hanya untuk bisa
merekam fakta penting (dan juga yang
tak penting), pula nihil paksaan atau
rekayasa, di keseharian trio pemusik
jalanan tersebut. Film ini bakal tayang
perdana untuk umum pada 10 April
2014 di XXI Plasa Senayan dan XXI Blok
M Square, juga di Blitz Megaplex Grand
Indonesia.
Jika dirangkum dalam sepucuk
kalimat ringkas-padat, JALANAN adalah
sebuah film dokumenter yang
menggunakan musik sebagai
penghantar cerita, diangkat dari kisah
nyata, dengan cengkok hiburan yang
kuat serta alur cerita yang memikat,
dipenuhi drama juga humor
cerdas, kocak, terkadang nyerempet
jorok, sehingga nyaris tak terasa
bahwa ini adalah film dokumenter
biasa (yang umumnya berat dan
cenderung membosankan).
Tayang pertama kali
pada Oktober 2013 di
festival film terbesar di Asia,
Busan International Film Festival
DokumenterRasa
Komersil
JALANAN:
kinescope edisi 7.indd 16 16/04/2014 21:17:34
17. 172014 l Edisi 7 l Kinescope l
di Korea, dan memenangkan ‘Best
Documentary’, film ini bertitik pusat
pada lika-liku hidup tiga pengamen
jalanan Jakarta, Boni, Ho dan Titi.
Rasa kesepian, duka kematian,
dorongan seksual, meriah perkawinan,
kisruh perceraian, nelangsa masuk
bui, gemuruh reformasi, gempuran
globalisasi; serbaneka pahit-manis-
asin-getir-garing keseharian mereka
diungkap polos layaknya potret kaum
tersisih, fenomena amat khas bernama
Indonesia, disuguhkan gamblang
telanjang.
Mulai 10 April 2014 film bakal
tayang serentak
di Cineplex
21 Jakarta, tepatnya XXI
Plasa Senayan dan XXI
Blok M Square, juga Blitz
Megaplex Grand
Indonesia. Sementara itu
dalam skala
internasional, JALANAN sedang
dikompetisikan di festival-festival film
kelas wahid di Asia, Eropa, Amerika
serta Timur Tengah. Film dokumenter
bisa masuk bioskop umum?
Barangkali JALANAN bukan yang
paling pertama, namun pantas ditaburi
gempita konfeti karena jarang sekali
dalam sejarah persinemaan Nusantara
sebuah karya dokumenter mampu
menembus layar komersial.
Selain itu proses pengambilan
gambar JALANAN oleh sang
sutradara, Daniel Ziv, menghabiskan
waktu hampir 5 tahun (!)
lamanya. Bujangan cukup ganteng
asal Kanada ini bersikeras terjun ke
gorong-gorong bawah jembatan,
berlama-lama menongkrongi para
tokoh utama, menyusup hingga
ke pedesaan Jawa, tanah asal mereka;
semata agar dapat menangkap
rupa-rupa momen penting (dan gak
penting) di kehidupan Boni, Ho dan Titi.
Demi menghindari rekayasa peristiwa
sebagaimana sering tercuat dari reality
show. Agar nihil akrobat wajah dangkal
dan gestur duh-gusti lebay khas sinetron.
Cengkok hiburan yang kuat serta alur
cerita yang memikat, seperti disebut
di awal, terpancar dari padu padan
keunikan masing-masing karakter
di film, disertai soundtrack musik
nan asyik lagi orisinil baik
karya Boni, Ho dan Titi pribadi dan
disenandungkan sendiri, juga oleh
musisi-musisi muda berbakat Indonesia
yang sengaja dihadirkan lagu-lagunya di
film ini sebagai penguat penyampaian
pesan. Dengan iringan musik menarik di
hampir sepanjang film digambarkanlah
seberapa ogah mereka tunduk
pada kenestapaan, senantiasa
pasrah sekaligus gigih bercampur
lentur menyiasati kezoliman nasib.
Gaya nrimo namun di saat yang sama
menolak menyerah itu rupanya jitu
menghipnotis penonton untuk justru
tidak mengasihani mereka tapi malah
bersimpati menyemangati—dan bisa jadi
tanpa disadari turut termotivasi.
Keterikatan juga penghormatan
kepada Boni, Ho dan Titi, oleh audiens,
seperti disebut di atas, terekam jelas
saat JALANAN diputar di acara Ubud
Writers and Readers Festival, salah
satu writers festival terbaik di dunia,
selang beberapa hari setelah Busan.
Di detik film berakhir, tanpa ada
yang mengomando, sekitar seribuan
penonton serempak memberi standing
ovation lalu bertepuk tangan amat
lama dan sangat panjang (“Boni,
Ho dan Titi, …Kami cinta kamu!!!”).
Histeria sedemikian rupa
seolah mengamini bahwa sosok-sosok
termarjinalkan tersebut memang pantas
untuk disorot cahaya kamera yang lebih
terang dan layak kisah hidupnya diangkat
ke layar lebar plus disuguhi produksi film
begitu wah bak film kolosal.
Boni yang walau tak bisa membaca
dan menulis adalah figur pejuang
jujur sekaligus artistik. Ho memang
masih kalah secara ekonomi namun
sudah menang secara pengalaman
dan intelektual dalam menyiasati
ibukota. Titi, bukan cuma senyum
lugunya membikin pingsan,
ia merupakan wanita Indonesia
pemberani,di tengah situasi bahwa
bisa dihitung dengan jari jumlah
perempuan yang nekat menjadi
pengamen. Boni, Ho dan Titi,
lewat JALANAN, lewat kisah nyata
hidup mereka yang menawan dan
pekat merepresentasikan Indonesia,
adalah tiga bintang film baru Nusantara.
Nah, seberapa
layak JALANAN untuk ditonton?
Biar fakta yang berbicara, di festival
film terbesar di Asia sudah menang
film dokumentari terbaik, di salah
satu writers festival paling adiluhung
sejagat telah menghipnotis
ribuan penonton. Belum lagi di 15 test
screening dan 3 pre-screening beberapa
bulan silam, di penghujung film banyak
penonton bersungut antara heran
dan kagum, “Ini kisah nyata apa film
drama sih?”
Saat Screening film ini, selalu saja
ada tertawaan terbahak-bahak pada
saat melihat adegan-adegan yang
menggambarkan keluguan-keluguan
yang muncul dari setiap karakter dalam
film ini, yang muncul tanpa rekayasa
dan apa adanya. Khas orang-orang yang
terpinggirkan karena situasi, keadaaan
dan status sosial ekonomi. Para
penonton yang tertawa terbahak-bahak
itu kebanyakan adalah orang-orang yang
justru berada pada situasi dan kondisi
yang jauh lebih baik dari para karakter
dalam film ini, dan Daniel Ziv berhasil
mengantarkan ironi tersebut ke dalam
ruang eksibisi. Proficiat untuk film
JALANAN.
kinescope edisi 7.indd 17 16/04/2014 21:17:35
18. 18 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
REVIEW
Menyatukan8orangComic(sebutan
untukpelakustandupcomedian)dalam
satufilmActioncomedy?Bisadibilang
sebuahsuguhansegardikalapenonton
Indonesiaterus-terusandisuguhkanoleh
genreyangitu-itusaja.Ya,Comic8hadir
sebagaiwarnalaindalamperfilman
Indonesia.
Comic8
T
ak lain adalah Anggy Umbara,
sosok dibalik film Mama Cake
serta film yang cukup laris
tahun lalu, Coboy Junior The
Movie yang membawa 8 “pelawak
panggung” ini bersanding bersama
di dalam satu film. Anggy tahu
betul, kini Stand Up Comedy sedang
berada di masa jayanya dan Anggy
pun tahu bagaimana memanfaatkan
hal tersebut. Dengan situasi “aji
mumpung” ini, Anggy menelurkan
karya Comic 8, sebuah film bergenre
action comedy, yang sedang sepi dan
jarang di perfilman kita.
Premis cerita Comic 8 cukup unik.
Delapan orang perampok yang dibagi
dalam tiga komplotan rampok dengan
kepentingan berbeda, secara tidak
sengaja “bersinggungan” diwaktu yang
sama ketika mereka berniat merampok
Bank INI. Ada Bintang, Fico, dan Babe,
rampok amartir yang merampok demi
merubah nasib harus bertemu dengan
komplotan bertopeng joker (Anggy
seperti ingin memparodikan adegan
merampok bank yang dilakukan oleh
Joker di The Dark Knight) yang terlihat
lebih professional yang terdiri dari
Ernest, Kemal, dan Arie serta duo
perampok “ajaib”, Mongol dan Mudy.
Selebihnya penonton akan disuguhkan
dengan kisah perampokan bank yang
aneh dan kacau, lengkap dengan
hingar bingar suara senapan serta
tentu saja kekonyolan-kekonyolan para
rampok yang memancing gelak tawa
penonton.
Comic 8 tentu merupakan bukti
semakin berkembangnya Anggy
Umbara dalam mengemas sebuah
film. Dalam Comic 8 masih akan
disuguhkan hal-hal yang menjadi ciri
khas dari Anggy seperti gaya-gaya
komikalnya dan ditambah dengan
ilustrasi-ilustrasi yang menarik serta
penggunaan kolase beberapa frame
dalam satu layar. Namun penggunaan
beberapa efek visual dalam Comic 8
ini, lebih tepat penggunaannya dan
lebih enak dinikmati, dibandingkan
saat Anggy menerapkannya pada
Mama Cake, yang terlihat ingin
menuangkan beberapa efek dan filter
sebanyak-banyaknya. Penggunaan
efek slow-motion pada adegan action,
seperti saat baku tembak, patut
diacungi jempol. Efek Slow-motion
ini membuat membuat adegan
action terlihat lebih detail. Namun
penggunaan efek slow-motion yang
terlalu banyak diulang-ulang, justru
membuat kesan “lebay” pada adegan
tertentu. Penggunaan warna pada
Comic 8 untuk beberapa adegan,
ROHMANSULISTIONO
kinescope edisi 7.indd 18 16/04/2014 21:17:36
19. 192014 l Edisi 7 l Kinescope l
terlihat tidak tepat. Terlalu seringnya
menggunakan warna yang agak
kontras, bisa membuat gangguan pada
mata penonton atau membuat mata
menjadi agak lelah.
Apresiasi baik harus disematkan
kepada Fajar Umbara selaku penulis
skenario. Dengan bijaknya, Fajar
mampu membagi porsi yang pas
kepada 8 sosok sentral dalam film ini.
Kedelapan “perampok” ini dibekali
karakter yang kuat serta mereka punya
“bekal” untuk unjuk gigi dan dikenang
penonton tanpa ada yang tampil lebih
dominan. Fajar mampu membagi
beberapa lelucon andalan para
comic ini masing-masing, dan terlihat
sama rata mendapat “tertawa” dari
penonton. Walau beberapa lelucon
agak terasa sudah kadaluwarsa,
diulang-ulang serta terasa segmented
yang hanya lucu untuk beberapa orang
saja (mungkin sangat lucu bagi yang
mengikuti lawakan kedelapan comic
ini), namun masih banyak “amunisi”
lelucon yang siap menggempur
penonton, sehingga setidaknya
penonton tidak pulang tanpa mulut
merasakan tertawa apalagi tak
terhibur.
Fajar Umbara mampu
menambahkan greget pada film
ini dengan menambahkan twist-
twist berlapis. Penonton akan
disuguhkan twist-twist yang akan
menunjukkan apa yang sebenarnya
melatarbelakangi cerita perampokan
Bank yang dilakukan oleh kedelapan
perampok ini. Walau sulit dipungkiri,
twist dalam film ini terasa agak
dipaksakan serta karena gaya
penuturan twist-nya yang kurang
begitu terasa dan terlihat aman.
Namun dengan keberanian Fajar
memberikan twist yang cukup
berbeda serta sejauh mungkin dari
praduga penonton, patut diacungi
jempol dan sangat unik dibandingkan
dengan kebanyakan film-film
Indonesia yang muncul dengan
“aman” atau hanya menggunakan
single twist pada bagian akhir cerita.
Selebihnya, Comic 8 mampu
memberikan penyegaran pada film
Indonesia dengan memberikan warna
berbeda, yang akhir-akhir ini dikuasai
oleh horror atau drama percintaan.
Anggy Umbara juga mampu membawa
kedelapan comic yang biasanya tampil
sendiri di atas panggung, kini naik level
ke layar lebar dengan penampilan
yang cukup baik untuk pemula, karena
dasarnya mereka bukanlah seorang
aktor. Dan lagi-lagi, Anggy mampu
menggunakan momentum yang tepat
dengan mengangkat comic yang
sedang trendy dan laris di televisi
ke layar lebar. Sama seperti saat
menggarap boyband dengan ribuan
penggemar seperti Coboy Junior pada
tahun lalu.
Bagiaman hasilnya? Dengan
mudah Comic 8 mencapai lebih dari
1,5 juta penonton. Raihan penonton
yang cukup fenomenal di awal tahun
2014. Tentu ini adalah prestasi
membanggakan untuk Anggy Umbara
dan kedelapan comic yang bermain
dalam film ini. Terakhir, performance
para comic saat credit title bergulir,
adalah lelucon mereka terbaik
sepanjang film (setidaknya untuk saya).
FOTO : http://www.indonesianfilmcenter.com/
kinescope edisi 7.indd 19 16/04/2014 21:17:36
20. 20 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
REVIEW
SatulagiFilmIndonesiayangfenomenaldirilisbulanMaret
lalu.Ya,TheRaid2:Berandalhadirmengisikekeringanfilm-film
IndonesiagenreAction.Filminibisadianggapkomplitsebagai
sebuahfilmaksiberkelasdenganmenayangkaneksplorasiaksi
beladirikhasIndonesiayangdisajikanbrutaldanseolahtak
pernahkehilangantenaga.
TheRaid2:BerandalHASREIZA
FOTO:sinekdoks.wordpress.com
kinescope edisi 7.indd 20 16/04/2014 21:17:37
21. 212014 l Edisi 7 l Kinescope l
A
kting aktor-aktris
yang prima dan
dipenuhi dialog-dialog
emosional, teknik-teknik
pengambilan gambar
yang apik serta dukungan cerita yang
disusun nyaris sempurna, menjadikan
film ini sebagai sebuah hiburan yang
menyenangkan.
The Raid 2 Berandal, sebagai
terusan dari kisah sukses sekuel
sebelumnya, menceritakan
kisah yang lebih luas dan
seru. Bagaimana kemenangan
Rama (Iko Uwais, karakter
utama dalam film ini)
dalam film sebelumnya,
tidak menjadikan cerita
berhenti dengan akhir
yang melegakan. Justru
cerita dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga
kemenangan Rama pada sekuel
pertama film ini, ternyata justru
menarik tokoh kriminal yang sangat
ganas, tak kenal mati dan punya taktik
pintar.
Walaupun porsi
drama
agak sedikit lebih banyak diangkat
dalam sekuel kedua ini daripada yang
pertama, tapi itu tak berlangsung
lama dan berpengaruh. Inti cerita
yang berisikan aksi tarung yang luar
biasa mengangkat adrenalin, akan
menjadikan porsi drama tersebut
tertutupi dan justru menjadi
pelengkap yang nyaris sempurna.
Cerita yang menyambungkan dari
sekuel pertama ini, dimulai dengan
cerita dari awal saat di dalam penjara.
Banyak musuh baru hadir disini
seolah ini film super hero. Di sinilah
serunya. Rama, harus berhadapan dan
berkelahi dengn lebih dari 50 orang.
Bahkan, aksi kebut-kebutan di jalan
menjadi porsi tambahan yang menarik
untuk sebuah film laga Indonesia.
Kemunculan karakter baru,
Uco yang dimainkan oleh Arifin
Putra menjadi penarik perhatian
tersendiri. Karakter yang dimainkan
sebagai Uco ini, adalah karakter
yang kombinasinya kontradiktif dan
sempurna sebagai Villain. Wajah yang
tampan namun memiliki karakter yang
keji dan penuh emosi, dan Arifin Putra
memainkannya dengan sangat baik.
Julie Estelle yang berperan sebagai
Alicia alias Hammer Girl dan adik dari
Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman)
juga berhasil mencuri perhatian.
Selain mereka, juga masih ada Alex
Abbad, Oka Antara, Tio Pakusadewo,
Yayan Ruhian, Cecep Arif Rahman,
Cok Simbara dan pemain pendukung
lain yang memainkan masing-masing
karakter dengan sangat baik dan total.
Gareth Evans dan seluruh kru
film ini patut mendapatkan acungan
jempol dan kredit. Hampir di setiap
bagian, terlihat rapi. Mulai dari angle
kamera yang memiliki teknik pintar
di setiap adegan. Perekaman adegan
aksi pukulan-pukulan dalam film ini
terlihat nyata dan cepat dengan detail
yang terlihat, sehingga penonton
seperti menyaksikan aksi bela diri
yang terasa nyata. Skrip yang lebih
luas dari sekuel pertamanya, yang
memiliki cakupan yang disajikan
sangat intens, tak memberikan
ruang untuk adegan-adegan
absurd dan tak penting. Dari
sisi dialog yang dibangun,
dengan emosionalitas
yang pas dan pintar,
juga memberikan
“asupan bergizi” tersendiri
dalam film ini. Lalu Scoring
kinescope edisi 7.indd 21 16/04/2014 21:17:37
22. 22 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
REVIEW
musik yang terdengar dan terasa
menyatu dengan setiap adegan,
cinematography yang sangat apik dan
terkesan gelap serta menyebar aura
keras dan jahat di sepanjang film, juga
menambah kenyaris-sempurnaan
film ini.
Gareth Evans, yang menulis
sendiri film ini, memang memberikan
cerita dan fighting scenes yang sangat
baik. Set piece yang dia buatpun
mengalami peningkatan luar biasa
dari sekuel pertamanya. Dari proses
visual sinematografi yang lebar
dan artsy, membuat setiap momen
adegan-adegannya terasa nyata.
Ditambah lagi dengan editing yang
mumpuni terkait dengan adegan-
adegan cepat, dilakukan dengan
sangat taktis tanpa harus kehilangan
pesona dari setiap shot-nya. Belum
lagi scoring musik keroyokan Fajar
Yuskemal, Aria Prayogi dan Joseph
Trapanese, pun sama suksesnya
ketika mengiringi setiap momen aksi
berdarah dan brutal.
Matt Flannery dan Dimas Imam
Subhono, sebagai sinematografer,
juga patut diberi perhatian. Mereka
membuat tahapan-tahapan dan
sudut-sudut pengambilan gambar
yang sangat baik. Dan seolah tanpa
beban, mereka bermain-main dengan
ragam metode pengambilan gambar,
dari yang panjang tanpa putus,
pandangan mata burung hingga gaya
tak beraturan ala kamera genggam.
Pola ini memberikan kesan ekspansif
dan variasi lebih pada film, ditambah
dengan lokasi-lokasi syuting yang
atraktif dan sangat mendukung
adegan-adegan dalam film.
Film laga dengan
durasi 148 menit ini
terlihat dibangun secara
perlahan dan rapi. Bagi
pecinta film-film dengan
adegan baku hantam
dan hujan peluru,
memang harus sedikit
bersabar mengikuti
alur cerita.
Walaupun jalan
cerita sedikit
non-linier dan
ada beberapa
adegan yang
muncul
seolah tanpa
logika sebab-akibat yang bersambung
dengan adegan lain, namun tidak
krusial dan tidak menggangu
keutuhan film. Melalui film ini, Gareth
Evans seolah sudah tidak perlu lagi
berjibaku terlalu banyak untuk bisa
sukses, karena ia sudah menjadi salah
satu sutradara yang berada di posisi
teratas dalam dunia film Indonesia
maupun internasional.
Hal yang menarik adalah usaha
distribusi film ini yang dilakukan
sebagai upaya untuk menembus
industri film internasional. Mengutip
Muvila.com, bersamaan dengan
penayangannya di Indonesia, The
Raid 2 Berandal juga tayang terbatas
di kota Los Angeles dan New
York mulai 28 Maret. Dalam tiga
hari pertamanya, film yang di AS
berjudul The Raid 2 ini berhasil
memperoleh pemasukan 165
ribu dolar AS, dan sempat
menempatkannya di posisi 23 box
office akhir Maret lalu. Akan tetapi,
bila dihitung bahwa film ini hanya
tayang di tujuh layar, The Raid 2
memperoleh pendapatan rata-
rata 23 ribu dolar AS per layar, yang
adalah angka rata-rata terbesar di box
office pekan bersangkutan. Angka
ini bahkan melebihisang juara box
office, Noah, yang memperoleh rata-
rata 12 ribu dolar AS per layar. Jika
menghitung dengan harga rata-rata
tiket bioskop di AS saat ini, The Raid
2 sudah menjual lebih dari 19 ribu
lembar tiket.
Yang cukup menggembirakan,
The Raid 2 Berandal bersama Killers
(Mo Brothers), tembus ke Sundance
Film Festival 2014, yang diadakan
di Park City, Salt Lake City, Ogden
dan Sundance, Utah, Amerika
Serikat. Khusus untuk The Raid
2 Berandal, penayangannya
di festival ini akan menjadi
penayangan perdana film ini
untuk publik.
Namun begitu, pro-
kontra film ini juga muncul
di tanah air. Film ini juga
menuai kritik dari insan
perfilman tanah air sendiri.
Adalah Firman Bintang,
Ketua Persatuan Produser
Film Indonesia yang
memprotes film ini. Menurut
Firman, film ini sarat dengan
adegan kekerasan, sehingga bisa
menimbulka persepsi yang salah
tentang Indonesia.
“Film itu (The Raid 2 : Berandal)
kan bisa mencoreng budaya Indonesia
yang tadinya dikenal sebagai bangsa
yang ramah tiba-tiba berubah
menjadi penuh dengan kekerasan,”
ucap Firman dalam dialog ‘Hari Film
Nasional (HFN) 2014′ di Gedung
Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail
(PPHUI), Kuningan, Jakarta Selatan, 1
April lalu. Dia mengaku tak habis pikir,
mengapa film yang banyak adegan
kekerasan malah mendapat apresiasi
dari pemerintah. Hal ini seolah
menjadi permakluman tersendiri
bahwa film-film bertema kekerasan
pasti mendapat apresiasi.
Firman melanjutkan, ia
menganggap dukungan terhadap
film besutan sutradara Gareth Evans
bertolak belakang dengan himbauan
yang didengungkan pemerintah
terhadap para insan film. Bahwa
kinescope edisi 7.indd 22 16/04/2014 21:17:38
23. 232014 l Edisi 7 l Kinescope l
insan film Indonesia dihimbau untuk
memproduksi film yang mengusung
semangat kultural edukatif. Seperti
film Sang Kyai, Tenggelamnya Kapal
Van der Wijk, Soekarno, dan 99
Cahaya di Langit Eropa misalnya.
Film-film itu saja dalam gala premiere-
nya tidak dihadiri pemutarannya
oleh perwakilan pemerintah, apalagi
mendapatkan apresiasi sepatutnya
seperti yang diperlihatkan dalam film
The Raid 2 Berandal.
Namun mungkin Firman lupa,
bahwa film ini memang diperuntukkan
bagi penonton umur 17 tahun ke
atas, bukan untuk anak-anak, di mana
dengan tingkat umur remaja hingga
dewasa, mereka sudah mengerti
tentang apa yang baik dan buruk
serta tidak langsung melakukan
internalisasi terhadap situasi yang
digambarkan dalam film sebagai
realitas kehidupan nyata. Lalu, bahwa
kekerasan juga sebetulnya banyak
tercatat dalam sejarah Indonesia,
yang malah jauh lebih sadis, kejam
dan brutal dibandingkan film The Raid
2 Berandal, namun ditutup-tutupi,
seolah tidak pernah terjadi.
Dikaitkan dengan cerita dalam
film ini, Firman Bintang terlalu
menyederhanakan persoalan dengan
menggeneralisir bahwa film tersebut
menggambarkan Indonesia dan
budayanya. Dalam film tersebut
sebetulnya tidak serta merta
memberikan gambaran bahwa itu
Indonesia, apalagi jika dia melihat
bahwa ada efek salju yang turun
dalam salah satu adegan, itu jelas
“bukan” Indonesia. Terkait dengan
budaya Indonesia, pencak silat dan
senjatar khas silat Harimau Minang,
Karambit, sebetulnya menjadi ciri
ke-Indonesiaan. Sepertinya kritik
dilontarkan tanpa menonton filmnya.
Namun begitu, dalam
penayangannya di Indonesia,
terlihat masih banyak orang tua
yang membawa anak-anak untuk
menyaksikan film ini yang sebetulnya
sama sekali bukan konsumsi anak-
anak. Hal ini harus jadi perhatian
bersama para produser dan pihak
pengelola distribusi dan eksibisi
film, karena film yang memang
mengandung nilai kekerasan tidak
sepatutnya ditonton oleh anak-anak
yang belum mampu merasionalisasi
pesan dalam film secara logis layaknya
orang dewasa.
Tetap saja, pro-kontra, pujian dan
kritik atas film-film nasional, haruslah
dijadikan sebuah diskursus untuk
terus berupaya melakukan introspeksi
dan evaluasi terus menerus untuk
memajukan perfilman Indonesia.
Dengan atau tanpa dukungan
Pemerintah, perjuangan sineas-
sineas Indonesia maupun luar negeri
yang berikan kontribusi positif bagi
perfilman Indonesia, wajib diapresiasi.
Untuk itu, ayo terus nonton film-film
Indonesia.
kinescope edisi 7.indd 23 16/04/2014 21:17:38
24. 24 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
REVIEW
SHANDY GASELLA
ooNinaBobo
Alkisah, di satu rumah keren bergaya modern (persis
seperti rumah-rumah seharga tiga milyar yang mentereng
di komplek elit Alam Sutera, BSD), tinggallah sebuah
“keluarga berencana” yang malang. Setiap malam mereka
diganggu oleh keberadaan makhluk lain. Ryan (Firman
Ferdiansyah), si anak sulung, tahu bahwa nyanyian nina
bobo yang dilantunkan oleh ibunya sebagai pengantar
tidur dirinya dan si adik tak disukai oleh si makhluk lain
tersebut.
M
asalah paling
mendasar sekaligus
biang keladi yang
kerapkali dituduhkan
oleh para penikmat
film akan buruknya citra film horor di
tanah air kita, tak melulu soal genre
film ini yang kelewat sering memuat
kisah si pocong dan juga pada saat
yang bersamaan jualan adegan hot
semata di dalamnya. Masih ada hal
yang jauh lebih krusial ketimbang itu
yang mana dapat kita temui secara
gamblang dalam film ‘oo Nina Bobo’
garapan Jose Poernomo (‘308’, ‘KM
97’) ini; tak ada pocong, tak ada satu
adegan hot pun terselip di sepanjang
film berdurasi 88 menit ini. Lantas apa
persoalan krusial itu? Mari kita tilik
cerita film ini terlebih dahulu.
Pada satu malam ketika si ibu
kembali melantunkan nina bobo, si
makhluk lain ini sangat murka hingga
ia menghabisi kedua orang tua dan
adik Ryan satu-satunya itu. Lalu rumah
itu pun ditelantarkan.
Lima tahun berlalu, Karina (Revalina
S. Temat, ‘Pocong 2’, ‘Perempuan
Berkalung Sorban’), seorang psikiater,
mengajak Ryan yang kini beranjak
ABG untuk kembali ke rumahnya dan
menghadapi trauma yang dideritanya.
Sisa ceritanya adalah pengulangan
dari kisah yang terjadi lima tahun lalu
dalam durasi yang lebih panjang, serta
sedikit diberi bumbu konyol lewat
kehadiran Bams (Daniel Topan, ‘Street
Society), sahabat Karina beretnis
India yang seolah-olah sedang cuti
panjang dari rutinitasnya berjualan
pakaian di Tanah Abang. Bams selalu
setia menemani Karina kapanpun
kinescope edisi 7.indd 24 16/04/2014 21:17:39
25. 252014 l Edisi 7 l Kinescope l 252014 l Edisi 6 l Kinescope l
dibutuhkan. Namun sayangnya, ia
tak membantu apa-apa, dalam arti
harfiah.
Naskah cerita adalah masalah
yang paling krusial itu, dan Jose
Poernomo gagal menulisnya menjadi
satu kisah yang memikat. Hampir tak
bisa dipercaya bahwa dalam durasi
film sepanjang 88 menit ini, plot cerita
hampir tak bergerak kemana-mana,
dan terasa amat pas bila naskah
film ini dibuat menjadi sebuah film
pendek berdurasi lima menit saja. Dan
saya bahkan belum membicarakan
karakterisasi para tokohnya.
Berbekal plot setipis itu dengan
dialog-dialog yang menggelikan,
Revalina, Firman, di luar kemampuan
akting mereka, tak bisa berbuat banyak
untuk menghidupkan karakter mereka
masing-masing. Dan, Daniel Topan
adalah pengecualian, tak seperti
Revalina yang terlihat berusaha keras
untuk tampil maksimal, ia jadi satu-
satunya pemain yang tampil paling
mengganggu, menyaksikan aktingnya
adalah sebuah horor tersendiri.
Hampir keseluruhan film ini
ditangani oleh Jose Poernomo
sendirian, ia adalah sutradara, produser
eksekutif, penulis naskah, penata
kamera, sekaligus juga penata gambar.
Dan Jose memang sudah sering
mengerjakan film-filmnya lewat cara
kerja “multi-rangkap-jabatan” ini, entah
untuk alasan apa.
Mengerjakan film horor jelas butuh
penanganan yang tak main-main;
desain produksi, tata rias khusus,
kostum, kru lighting yang mumpuni,
penata suara, dan lain sebagainya.
Film ‘The Conjuring’ menuai sukses
bukan karena campur tangan James
Wan sang sutradara seorang, ia dibantu
oleh kru yang hebat. Dugaan saya,
mencermati bahwa Jose Poernomo
begitu mengabaikan desain produksi,
dan hal teknis pendukung lainnya
adalah karena Jose begitu percaya diri
bahwa “makhluk gaib” yang ia ciptakan
lewat visual efek arahannya mampu
menakuti penonton, atau setidaknya
dapat membuat penonton terkesima.
Berbekal pameran efek spesial saja,
tanpa capaian sinematis apa-apa,
film ini jelas akan sulit membuat
penontonnya terkesima, kecuali bila
film ini beredar di tahun 80an.
Film horor bersettingkan sebuah
rumah angker adalah bukan hal baru
dalam genre ini, malah “haunted
house” adalah sub genre horor paling
klasik yang sudah ribuan kali diutak-
atik oleh para sineas
di dunia. Ramuan
mereka biasanya
sederhana sekali;
penampakan rumah
angker yang memberi
kesan rasa terisolasi,
dan claustrophobia --
perasaan terperangkap
di dalamnya. Karena
inilah hal penting
yang paling utama,
satu hal yang dapat
menyetir ketegangan di
sepanjang film bahwa kita diyakinkan
tak ada jalan keluar bagi tokoh protagis
kita untuk selamat di ujung film. Jose
gagal menampilkan ini dalam ‘oo
Nina Bobo’. Sulit rasanya merasakan
takut atau ngeri melihat rumah yang
ditampilkan di film ini, pun arahannya
ketika mengeksplorasi setiap sudut
rumah, kengerian itu tak nampak sama
sekali. Tak ada atmosfer seram yang
tercipta, bahkan rasa-rasanya setting
rumah ini dengan segala sentuhan
“artistik” dari Jose akan sangat pas bila
dijadikan setting sebuah film komedi
romantis saja.
Selain penampakan si makhluk
yang mirip Dementor dari cerita seri
Harry Potter ini, ‘oo Nina Bobo’ juga
terlalu bertumpu pada musik latarnya
untuk mengagetkan penonton.
Sayangnya, alih-alih menjadi cue
yang asik untuk menciptakan suasana
tegang, musik yang dibuat oleh David
Poernomo (‘308’, ‘KM 97’) ini malah
amat mengganggu, secara harfiah.
Volumenya begitu keras memekakan
telinga, dan lebih sering terdengar
seperti musik latar dalam adegan
pertempuran antar robot di film
‘Transformers’, hanya saja versi David
jauh lebih berisik dan terkesan jauh
lebih “murah.”
Bukan salah si pocong atau salah si
adegan hot yang membuat film horor
kita jadi yang paling cupu sedunia. Di
tangan orang yang tepat ditulis dan
diarahkan oleh orang yang tepat, film
pocong bisa saja jadi tontonan horor
yang keren, bisa juga disisipi adegan
hot tanpa membuatnya terlihat
murahan. Tak ada yang salah dengan
itu. Dan apa yang terjadi dengan
‘oo Nina Bobo’ jelas tak perlu saya
sebutkan salah siapa, kesalahan saya
ketika menontonnya adalah bahwa
saya hanya belum siap menyaksikan
makhluk yang mirip Dementor itu
terlihat begitu cupu dalam sebuah film
horor yang, maafkan bila saya harus
(lagi-lagi) mengulangi kata ini; cupu.
FOTO : officialfilmindonesia.com
kinescope edisi 7.indd 25 16/04/2014 21:17:39
26. 26 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
REVIEW
ThankYouCinta
Bertemakan kisah drama keluarga yang ironis, Thank You Cinta mengisahkan tentang
seorang remaja yang memiliki ibu seorang PSK. Cerita yang disajikan dalam film garapan
sutradara Nayato Fio Nuala tersebut, menghadirkan perjuangan seorang remaja yang
broken home untuk tetap eksis dan bagaimana perjuangan seorang Ibu yang rela menjadi
PSK, untuk membiaya sekolah anak dan keluarganya.
M
y Dream Pictures, seba-
gai Production House
yang memproduksi film
ini mengatakan bahwa
untuk menyampaikan pesan moral
lewat sebuah tontonan, memang
mereka memilih untuk menyajikannya
di film-film remaja.
Menurut Sagar Mahtani, produser
My Dream Pictures pula, meskipun
Thank You Cinta adalah film remaja,
tetapi tetap ada pesan moral di
dalamnya, yakni semua masalah pasti
memiliki jalan keluarnya. Menying-
gung soal pemain yang terlibat, Sagar
memilih mereka yang sering tampil di
FTV ketimbang bekerjasama dengan
yang sudah ternama. “Ini sebagai
angin segar saja. Kan enak melihat
wajah-wajah yang fresh,” tuturnya
lagi.
Namun, film ini tetap terasa klise
walau memiliki pesan yang kuat.
Akting para pemainnya yang terkesan
“bersih” dan “aman”, membuat jalan
penceritaan yang sebetulnya memiliki
pesan moral yang kuat, menjadi terasa
kurang realistis. Kerupawanan pemain
dan keartisan mereka di dunia FTV,
tidak mampu mendongkrak kualitas
akting dan motivasi penonton untuk
hadir ke bioskop dan menonton film
ini. Faktor inilah yang sepertinya
membuat film ini tidak mampu meny-
ampaikan pesan kepada penonton, di
samping promosi yang sangat kurang.
Di Semarang, film yang tayang 13
Maret 2014, setelah hanya berta-
han tiga hari, film ini diturunkan.
Penyebab utamanya seperti biasa,
antusias penonton yang kurang.
Bahkan pertama tayang, film ini tidak
mendapatkan penonton di dua jam
penanyangannya. Seharusnya, dengan
naiknya popularitas film Indonesia
akhir tahun kemarin, sineas film bisa
lebih cermat memilih genre maupun
jalan cerita yang lebih bagus dari FTV.
Pesan Yang Kuat Tanpa Dukungan Kualitas dan Promosi
ALFIANADHA
FOTO:www.indopos.co.id
kinescope edisi 7.indd 26 16/04/2014 21:17:39
27. 272014 l Edisi 7 l Kinescope l
kinescope edisi 7.indd 27 16/04/2014 21:17:40
28. 28 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
REVIEW
L
askar Pelangi sekuel
2: Edensor merupakan
kelanjutan kisah Ikal (Lukman
Sardi) dan Arai (Abimana
Aryastya) yang melanjutkan
kuliah di Sorbonne, Paris, berkat
beasiswa yang mereka dapatkan.
Sepanjang film, penonton akan
disuguhkan kisah Ikal dan Arai yang
berusaha bertahan hidup di negeri
orang, sambil mewujudkan mimpi
mereka. Selain belajar, mereka juga
bekerja apa saja, mulai dari pelayan
restoran hingga mengamen, demi
mencukupkan kebutuhan hidup
serta mengirim uang ke orang tua
di Belitong. Kisah Cinta Ikal dan
Katya (Astrid Roos), pelajar asal
Jerman, serta bayang-bayang cinta
pertama Ikal, Aling (Shalvynne
Chang), turut menghiasi usaha dua
anak Belitong ini mengejar cita-cita.
Dalam Edensor, Ikal terjebak dalam
dinamika kehidupannya, antara cinta,
keluarga di Belitong, mimpi serta
persahabatannya dengan Arai.
Benni Setiawan punya tanggung
jawab besar dalam menghidupkan
kisah yang dua film pendahulunya
menjadi fenomenal. Proyek Edensor
ini sempat mengalami bongkar
pasang sutradara dan cast dalam
pembuatannya. Mundurnya duet
maut kesuksesan Laskar Pelangi dan
LaskarPelangi:
EDENSORSetelah Penantian dan “perjuangan” yang cukup lama, kelanjutan kisah anak-anak
Belitong dalam meraih mimpinya, kembali hadir. Mengusung judul Laskar Pelangi
Sekuel 2: Edensor, film adaptasi seri ketiga dari tetralogi novel karya Andrea Hirata,
siap melanjutkan kisah Ikal dan Arai, dua anak Belitong yang menggapai mimpi di Eropa.
Kali ini, Riri Riza tidak lagi menyutradarai seri ketiga Laskar Pelangi. Tongkat estafet
penyutradaraan dilanjutkan oleh sutradara peraih piala citra melalui 3 Hati 2 Dunia 1
Cinta, Benni Setiawan.
ROHMANSULISTIONO
28 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
kinescope edisi 7.indd 28 16/04/2014 21:17:40
29. 292014 l Edisi 7 l Kinescope l
Sang Pemimpi, Riri Riza dan Mira
Lesmana serta penulis skenarionya
Salman Aristo membuat Benni
Setiawan yang juga menulis skenario
Edensor punya pekerjaan rumah
lebih, di mana harus berupaya
menyajikan suatu hal yang setidaknya
sama dengan dua film sebelumnya.
Ditambah sang penulis novel, Andrea
Hirata tidak turut campur dalam
penulisan skenario dengan alasan
ingin melihat pandangan baru
terhadap novelnya.
Kisah anak Belitong kehilangan
keajaibannya. Bagi penggemar
seri Laskar Pelangi, jelas Edensor
mengalami penurunan kualitas
dibanding dua film sebelumnya.
Skenario yang ditulis oleh Benni
Setiawan tidak sekuat skenario dua
film sebelumnya. Alhasil, cerita Ikal
dan Arai yang telah dibangun dengan
baik di Sang Pemimpi hanya terlihat
seperti dua orang pelajar yang kuliah
di Paris dan dinamika kehidupannya
yang biasa aja. Tak terasa mimpi besar
yang sangat menggugah perasaan
di seri sebelumnya. Ikal dan Arai
memang selalu membicarakan mimpi
mereka, namun atmosfir akan mimpi
mereka tak begitu terasa dalam film
ini. Masih teringat jelas bagaimana
Arai dalam Sang Pemimpi yang
begitu “ajaib” dan keras terhadap
mimpi-mimpinya. Dalam Edensor,
karakter Arai kehilangan perilaku
ajaibnya, kecuali di bagian Arai remaja
menggendong Ikal. Ya, hanya itu saja
yang tersisa.
Begitu datar emosi yang
disampaikan melalui film ini. Benni
Setiawan kurang mengeksplorasi
konflik-konflik yang ada dalam film
ini. Ya, hanya seperti mendadak
datang dan berlalu begitu saja, tanpa
meninggalkan kesan lebih terhadap
penonton. Sosok Katya misalnya,
tak begitu terasa memberikan
pengaruh emosi terhadap penonton,
padahal dial ah orang yang berhasil
“membelokkan” cinta Ikal terhadap
Aling. Romansa Ikal dan Aling pun
terasa datar. Tak terasa cinta dari
mereka, walaupun Ikal terlihat
bahagia di sana dan ketika Katya pergi,
terasa begitu saja.
Sosok Aling pun, yang
kedatangannya sebentar dalam film
ini, tak memberikan kesan lebih. Tak
seperti kehadiran Aling di Laskar
Pelangi. Adegan itu masih membekas
dan memorable. Walau sebentar, Aling
dalam Laskar Pelangi, meninggalkan
kesan baik dan akan tetap diingat
ditambah iringan lagu seroja yang
membuat Aling dalam Laskar pelangi
mampu bertahan lama di memori
penggemar filmnya.
Seperti pendahulu-pendahulunya,
alunan musik yang mengiringi alur
cerita Edensor, cukup memanjakan
telinga dan menghidupkan suasana
di Film. Beberapa adegan sedikit
terselamatkan oleh alunan musik
yang mengiringi film ini. Dan seri
Laskar Pelangi, memang terkenal
dengan original soundtrack yang
enak didengar dan menjadi hits.
Sebut saja Laskar Pelangi-Nidji dan
Tak perlu keliling Dunia-Dewi Gutawa
di Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi
Gigi serta Cinta Gila-Ungu di Sang
Pemimpi. Khusus di Edensor, yang
paling menonjol adalah lagu Negeri
Laskar Pelangi yang dinyanyikan
dalam dua versi, yaitu melayu dan
akustik. Keduanya sama baiknya
dengan aransemen yang sederhana
namun nikmat didengar. Lagu ini
membuktikan selain pandai menulis
novel, Andrea Hirata juga piawai
menulis lagu. Selain itu sebagai untuk
jagoan di list soundtrack dalam
Edensor ini, ada Pelangi dan Mimpi
yang dibawakan oleh Coboy Junior.
Dipilihnya Coboy Junior sebagai
pengisi Soundtrack, juga menambah
nilai komersil dari film ini.
Pengambilan judul Laskar Pelangi
sekuel 2: Edensor juga cukup menarik
untuk ditelisik. Kenapa judulnya tidak
Edensor saja? Kenapa pakai embel-
embel Laskar Pelangi sekuel 2? Toh
pada Sang Pemimpi tak menggunakan
embel-embel Laskar Pelangi sekuel
1: Sang Pemimpi. Jelas, untuk
penentuan judul, sepenuhnya adalah
hak Production House yang memiliki
hak untuk mengangkat novel Edensor
ke dalam film. Mizan Production,
sebagai pemilik hak adaptasi 3 novel
Laskar Pelangi kali ini, memang tak
bekerjasama dengan Miles Film lagi,
namun dengan Falcon Pictures.
Jadi, apa alasan menggunakan
Embel-embel Laskar Pelangi sekuel 2?
Setidaknya ada dua faktor, pertama
mungkin sebagai pengingat bahwa
Edensor adalah lanjutan dari seri
Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
Seolah tidak ingin kehilangan momen
dari kesuksesan Laskar Pelangi. Yang
kedua, mungkin Laskar Pelangi Sekuel
2 digunakan, karena pihak Production
House kurang percaya diri dengan
hanya mengusung judul Edensor
dan diharapkan bisa mempengaruhi
minat penonton serta mempengaruhi
jumlah penonton.
Memang tugas yang berat
meneruskan seri besar yang punya
cerita yang kuat serta meninggalkan
ciri khas sutradara sebelumnya.
Laskar Pelangi sekuel 2: Edensor
mampu tampil dengan gaya berbeda
yang tetap layak untuk ditonton.
Setidaknya, Edensor memberikan
suguhan yang cukup untuk para
penggemar seri ini serta meneruskan
kisah inspiratif anak Belitong yang
meraih mimpi mereka. Semoga seri
terakhir dari Laskar Pelangi, yaitu
Maryamah Kapov, dapat digarap
secara lebih matang dan menjadi
penutup yang indah kelak. Jadi kita
tunggu saja Maryamah Karpov
atau mungkin Laskar Pelangi sekuel
3: Maryamah karpov nanti dan
bagaimana filmnya membawa kita
pada penceritaan tentang akhir dari
rangkaian serial film ini.
kinescope edisi 7.indd 29 16/04/2014 21:17:41
30. 30 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
T
idak dipungkiri, The Wind
Rises, yang juga produksi
dari Studio Ghibli yang
terkenal melahirkan film-
film animasi berkualitas,
ini mendapat sambutan yang
hangat. Pertama, duet maut Studio
Ghibli dan Hayao Miyazaki, selalu
melahirkan karya-karya yang
menawan serta belum pernah
mengecewakan. Sebagai contoh,
Spirited Away yang memenangkan
Best Animated Feature pada
Academy Awards 2002. Kedua,
raihan jumlah penonton di Jepang
yang membuat The Wind Rises
duduk manis di puncak Box Office
Jepang serta tanggapan positif dari
beberapa kritikus dunia. Ketiga,
tentu saja nominasi Best Animated
Feature Academy Awards 2014,
yang merupakan prestasi tersendiri
bagi film ini, namun sayang harus
kalah dengan film animasi Disney,
Frozen.
The Wind Rises berkisah
mengenai Jiro Hirokoshi, seorang
aviator atau perancang pesawat
tempur ternama di Jepang.
Sepanjang film penonton akan
disuguhkan biografi sang ahli
aeronutika ini dalam menggapai
mimpinya menjadi perancang
pesawat seperti idolanya, Caproni.
Paruh awal film penonton akan
disuguhkan perjalanan Jiro
Hirokoshi meraih mimpi-mimpinya
dan di babak kedua film akan
dibumbui kisah romansa antara Jiro
dan wanita cantik berambut biru,
THEWIND
RISES
ROHMANSULISTIONO
Setelah Hayao Miyazaki,
salah satu master anime
ternama di Jepang
memutuskan untuk kembali
pensiun dari dunia animasi,
sontak The Wind Rises, yang
merupakan film terakhirnya,
mendapat perhatian lebih
dari pencinta animasi bahkan
pencinta film internasional.
The Wind Rises adalah film
terbaru Hayao Miyazaki
setelah sebelumnya dia
menggarap Ponyo on the Cliff
By The Sea pada tahun 2008.
REVIEW
kinescope edisi 7.indd 30 16/04/2014 21:17:41
31. 312014 l Edisi 7 l Kinescope l
Naoko Satomi.
Film yang memiliki judul dalam
bahasa Jepang Kaze Tachinu ini,
merupakan adaptasi dari cerita
pendek karya Tatsuo Hori, seorang
penyair, penulis, dan penerjemah
dari zaman Showa yang ditulis
sekitar tahun 1936-1937. Sebelum
mengangkatnya dalam animasi
panjang, Hayao Miyazaki pernah
mengangkatnya ke dalam manga yang
dibuat bersambung di majalah Model
Graphix pada tahun 2009.
The Wind Rises memang berbeda.
Penonton tidak akan menemukan
monster-monster apik namun lucu,
penyihir, jagoan wanita atau segala
hal yang dekat dengan film-film
Hayao Miyazaki. Walau temanya
yang dekat dengan pesawat, namun
jangan berharap akan ada pilot babi
ala Porco Roso mampir dalam film
ini. Hayao Miyazaki membawa The
Wind Rises jauh lebih dewasa dan
realistis dengan membuang segala
fantasi liar tak ada habisnya, yang
biasa dia angkat dalam film. Memang
dengan pendekatan realis, film ini
meruntuhkan beberapa ekspetasi
penonton yang ingin bersenang-
senang seperti biasanya menonton
karya Hayao Miyazaki. Namun Hayao
pasti memiliki alasan menggarap
The Wind Rises seperti ini. Salah
satunya agar sosok Jiro Hirokoshi
yang ditampilkan dalam film ini dapat
sedekat mungkin dengan aslinya.
Bisa jadi film ini nantinya menjadi
film edukatif dalam pelajaran sejarah
di sekolah-sekolah di Jepang atau
bahkan di negara lain.
Kelewat serius mungkin akan
membayangi beberapa benak
penonton. Ya memang jarang sekali
film animasi dibuat serius, karena
biasanya animasi merupakan
alternatif menonton yang menghibur
dan memancing tawa. Namun karena
sisi realisnya itu, seolah seperti tak
ada tempat untuk komedi atau
bermain-main dengan fantasi.
Kalaupun ada sisi fantasinya, terdapat
pada adegan pertemuan mimpi
antara Jiro dan Caproni. Adapun sisi
romansa dalam film ini antara Jiro
dan Naoko, terasa datar dan kurang
mengeksplor emosi penonton.
Namun di dalam kedataran The
Wind Rises, ada kedalaman cerita
dan karakter yang digali dengan baik
oleh Hayao Miyazaki. Dan jangan
lupakan visualisasi The Wind Rises
yang detil, cantik dengan warna-
warna yang indah dan sejuk, yang
membuat semua momen dalam film
ini, begitu berkesan. Suatu bentuk
kesetiaan yang mengagumkan
dari Hayao Miyazaki yang tetap
mengusung animasi 2D melalui
goresan tangannya sendiri, di tengah
gempuran animasi 3D yag populer
saat ini.
Dengan durasi 126 menit dan
ceritanya yang agak datar, tak
dipungkiri dapat menyebabkan
penonton menguap sekali dua kali,
apalagi buat mereka yang bukan
penggemar Hayao Miyazaki dan seluk
beluk pesawat. Namun, The Wind
Rises merupakan suatu pencapaian
lain dari Hayao Miyazaki dengan
membuat animasi yang realis dan
serius di luar kebiasaannya. Film
terakhirnya ini tetap akan mengisi hati
para penggemarnya serta pencinta
film animasi dunia. Dan tentu saja,
perlu juga diberi perhatian lebih
kepada Joe Hisaishi, music composer
langganan Hayao Miyazaki, yang
membuat scoring mengagumkan
dalam film ini, apalagi di beberapa
adegan, terdapat efek suara yang
dibuat dengan mulutnya sendiri,
seperti suara baling-baling pesawat
terbang yang hendak terbang.
FOTO:http://3.bp.blogspot.com/
kinescope edisi 7.indd 31 16/04/2014 21:17:42
32. 32 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
FESTIVAL
TahuniniYogyakartamenjadituanrumah
pertamadalampemutaranfilm-film
kontroversialdariparasineasdalammaupun
luarnegeri.PenutupanFestivalLiketheUnlike
digelardiJogjaVillageInn,(18/3)lalu.
Like
TheUnlike
FestivalRIANSAMIN
32 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
kinescope edisi 7.indd 32 16/04/2014 21:17:43
33. 332014 l Edisi 7 l Kinescope l
P
ada malam itu “Working Girls”
film karya Nia Dinata menjadi
Film Terbaik Pilihan Penonton.
Film tersebut bercerita
tentang beragam pekerjaan wanita
Indonesia.
Selain dihadiri sineas dan artis
Indonesia, hadir pula sineas dari
manca negara. Satu di antaranya
adalah Tamara Erde, sineas asal
Prancis yang sebelumnya berprofesi
sebagi militer, kemudian banting stir
menjadi pembuat film. Tamara resah
melihat kejahatan yang dilakukan
oleh militer Israel yang membom
Palestina. Ia menjadi pembicara
setelah film produksinya ‘Disney
Ramallah’ dan ‘Very Heavy Stone’
diputar.
‘Disney Ramallah’ bercerita
tentang seorang anak Palestina yang
menginginkan mainan di rumahnya
ketika terjadi konflik Israel-Palestina.
Dengan alasan anti Amerika, si
ayah tidak menyetujuinya. Namun
pada akhirnya hati si ayah luluh.
Tapi sayang, ketika si ayah ingin
menyelamatkan mainan anaknya
di dalam rumah ketika terjadi
pemboman, si ayah tak kembali.
Sedangkan “Very Heavy Stone”
menceritakan tentang kerja keras
seorang penari butoh yang tidak
memiliki kaki sempurna. Kedua film
ini diputar dua kali di dua ruang
sinema Jogja Village Inn.
Pada malam penutupan, Didik Nini
Thowok tampil sebagai narasumber
dalam film ‘Waria Zone’. Didi berhasil
membuat penonton tertawa dengan
guyonan tari topengnya. Penonton
juga dibuat terkesima oleh tarian
mahasiswa Institut Seni Indonesia
pimpinan Ari Irsandi yang tiba-tiba
keluar dari arah penonton.
Muhammad Anta Kusuma selaku
UNLIKE Indonesia Festival Co-
Operational Manager, menjelaskan
bahwa festival ini tidak hanya ingin
menyajikan film-film berkualitas,
namun juga ingin memberi ruang
bagi karya yang kontroversial.
Festival ini, lanjutnya, juga
memberi ruang bagi para penulis.
Muhammad sempat membacakan
“SEXislamLOVE” secara teatrikal,
dan Vivian Idris berhasil membuka
banyak pertanyaan tentang bukunya
yang akan terbit “BUNG...”Son of the
Dawn. Muhammad berharap semoga
UNLIKE Indonesia bisa menginspirasi
semua orang untuk menghargai arti
keragaman.
kinescope edisi 7.indd 33 16/04/2014 21:17:43
34. 34 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
FESTIVAL
FestivalBasmala2014merupakaneventlomba
danseminaryangdiselenggarakanolehUKMa
(UnisKegiatanMahasiswa)Basmala,Universitas
Bakrie,Jakarta.
AjangApresiasiSeni
&Silaturahmi
Adapun detil dari rangkaian kegiatan
Festival Basmala adalah sebagai
berikut:
ISLAMICARTSEMINAR:
Narasumber Ahmad Fuadi (Penulis
Novel Trilogi “5 Menara”), Didin
Sirojuddin AR (Pelukis Kaligrafi,
Pendiri Lembaga Kaligrafi Al-Quran
dan Pesantren Kaligrafi Al-Quran
Lemka)
Waktu dan Tempat: Sabtu, 10 Mei
2014 pukul 14.00-18.00 di Ruang 1-2
Universitas Bakrie
MUSLIMAHDAYSEMINAR:
Talkshow bersama Oki Setiana Dewi
Waktu dan Tempat: Sabtu, 10 Mei
2014 pukul 08.00-13.00 di Ruang 1-2
Universitas Bakrie
LOMBAHANDMADE
KEMUSLIMAHAN:
Tanggal Pendaftaran: 14 Maret-11
April 2014
Format Pendaftaran: SMS dengan
format (HANDMADE_NAMA_Instansi
(SMA/Universitas) ke 087876230667.
Biaya Pendaftaran: Rp 20.000,- /karya
LOMBACERPENKEMUSLIMAHAN:
Tanggal Pendaftaran: 7 Maret-18 April
2014
Format Pendaftaran: SMS format
(CERPEN_NAMA_Instansi (SMA/
Universitas)
ke 085766059899
D
engan mengangkat
Tema “Explore Islam
Through Wonderful
Art”, festival Basmala
ingin berperan sebagai wadah
untuk menyalurkan hobi serta
bakat seni yang ada dalam diri
generasi muda saat ini dan
juga sebagai media menjalin
silaturahim dengan rohis yang
ada di Sekolah Menegah Atas
(SMA) dan Universitas se-
Jabodetabek.
Acara ini akan diadakan
pada tanggal 09 – 10 Mei
2014 di Kampus Universitas
Bakrie yang terdiri dari
Seminar Islamic Art dengan
narasumber Ahmad Fuadi
(Penulis novel Trilogi 5
Menara) dan Didin Sirojuddin
AR (Pelukis kaligrafi sekaligus
pendiri lembaga dan
pesantren kaligrafi), serta
Seminar Muslimah Day berupa
Talkshow dengan narasumber
Oki Setiana Dewi.
Event Festival Basmala
juga mengadakan berbagai
perlombaan diantaranya
Lomba Nasyid, Lomba Tahfidz,
Lomba Film Pendek, Lomba
Komik Strip, Lomba Handmade
Kemuslimahan dan Lomba
Cerpen Kemuslimahan tingkat
SMA dan Universitas se-
Jabodetabek.
LOMBANASYID:
Biaya Pendaftaran: Rp100.000,-/tim
Tanggal Pendaftaran: 1 Februari-25
April 2014
LOMBATAHFIDZ:
Biaya Pendaftaran: Rp50.000,-
/orang
Tanggal Pendaftaran: 1 Februari-25
April 2014
LOMBAFILMPENDEK:
Biaya Pendaftaran: Gratis
Tanggal Pendaftaran: 1 Februari-18
April 2014
LOMBAKOMIKSTRIP:
Biaya Pendaftaran: Gratis
Tanggal Pendaftaran: 1 Februari-18
April 2014
Untuk informasi selanjutnya, bisa
menghubungi panitia Festival
Basmala di bawah ini:
Daeng - 085735835724
Abi – 08567735088.
Twitter: @festivalbasmala atau @
basmalaUB
Email: festival.basmala@gmail.com
Website: festivalbasmala.weebly.
com
FestivalBasmala2014UniversitasBakrie:
kinescope edisi 7.indd 34 16/04/2014 21:17:44
35. 352014 l Edisi 7 l Kinescope l
kinescope edisi 7.indd 35 16/04/2014 21:17:44
36. 36 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
FESTIVAL
EuropeonScreenadalahsebuahfestivalfilmyangmemperkenalkan
film-filmproduksiberbagainegaraEropadiIndonesia.Takhanya
menghibur,film-filmyangdipilihmerupakanfilmEropayangtelah
menerimapenghargaandisejumlahfestivalfilmlintasbenua—mulai
dariCannesdiPerancis,BerlinalediJerman,hinggaAcademyAwardsdi
AmerikaSerikat.
FestivalFilmEropa
diIndonesia
EUROPEONSCREEN
T
ahun ini, Europe on Screen
akan diselenggarakan pada
tanggal 2-11 Mei 2014. Sekitar
70 film Eropa akan diputar
dalam rangkaian Europe on Screen
2014. Selain di Jakarta, pemutaran
film juga akan diadakan di delapan
kota lainnya, seperti Aceh, Bandung,
Denpasar, Makassar, Medan, Padang,
Surabaya, dan Yogyakarta.
Rangkaian festival di Jakarta juga
akan diwarnai oleh acara diskusi film,
seminar/workshop, serta pemutaran
film di ruang terbuka. Seperti tahun-
tahun sebelumnya, seluruh rangkaian
acara Europe on Screen 2014, terbuka
untuk umum tanpa pungutan biaya
apapun, alias GRATIS.
kinescope edisi 7.indd 36 16/04/2014 21:17:44
37. 372014 l Edisi 7 l Kinescope l
Beberapa film unggulan yang akan diputar tahun ini seperti:
LEHAVRE
2011|FINLAND|93MIN|COMEDY,
DRAMA
Director: Aki Kaurismaki
Di sebuah sudut kota pelabuhan,
takdir mempertemukan imigran gelap
Afrika Idrissa dengan Marcell Marx,
seorang penyemir sepatu jalanan. LE
HAVRE merupakan sebuah dongeng
politis yang menuturkan kisah realitas
Perancis kontemporer dengan gaya
sinema klasik Jean-Pierre Melville.
Pemenang FIPRESCI Prize di 2011
Cannes Film Festival.
THEGILDEDCAGE|LACAGEDORÉE
2013|PORTUGAL|90MIN|COMEDY
Director: Ruben Alves
Jose dan Maria adalah pasangan
imigran Portugal yang pindah ke Paris
dan membesarkan putra-putrinya den-
gan gaya hidup Perancis. Konflik buda-
ya antara orangtua dan anak menjadi
lebih nyata ketika Jose menerima wari-
san sebuah ladang anggur di Portugal.
Film ini menyentuh perbedaan budaya
Perancis dan Portugis dengan cara
yang jenaka. THE GILDED CAGE meraih
Audience Award di ajang penghargaan
“European Film Awards” tahun lalu.
NICOSTRATOSTHEPELICAN|
NICOSTRATOSLEPÉLICAN
2011|FRANCE|92MIN|COMEDY,
DRAMA
Director: Olivier Horlait
Yannis (14 tahun) tinggal bersama
ayahnya di sebuah pulau kecil Yu-
nani. Suatu hari, seekor bayi burung
pelikan, Nicostratos, hadir di antara
mereka. Tak hanya memberikan warna
pada kehidupan orang-orang di pulau,
Nicostratos mempunyai peran khusus
dalam memecah ketegangan antara
sang ayah dan anak. Dibintangi oleh
seniman multi-talenta dari Serbia, Emir
Kusturica, NICOSTRATOS akan menyen-
tuh hati setiap penonton.
kinescope edisi 7.indd 37 16/04/2014 21:17:45
38. 38 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
JOURDEFETE|JOURDEFÊTE
1949|FRANCE|70MIN|COMEDY
Francois adalah seorang tukang pos di
sebuah pedesaan Perancis. Suatu hari, ia
terinspirasi oleh metode pengantaran pos
Amerika yang sangat efisien. Francois ke-
mudian meniru cara Amerika untuk men-
gantar surat di pedalaman Perancis, tapi
usahanya malah membawa kekacauan.
Komedi ini menerima penghargaan Best
Screenplay di Venice Film Festival 2014.
MR.HULOT’SHOLIDAY|LESVACANCES
DEMONSIEURHULOT
1953|FRANCE|114MIN|COMEDY
Monsieur Hulot berlibur di pantai Brit-
tany. Meski niatnya baik, tingkah laku-
nya selalu membuat keributan. Melalui
film ini, karakter ikonik Monsieur Hulot
menjadi terkenal di dunia. Profilnya yang
tinggi, bertopi, menghisap pipa dan den-
gan tindak-tanduk yang canggung, men-
jadi ciri khas penggambaran film-film Tati.
FESTIVAL
GRABBERS
2012|IRELAND|94MIN|COMEDY,
HORROR,SCI-FI
Director: Jon Wright
Sebuah pulau terpencil di Irlandia
diteror oleh monster laut alien. Lisa, sang
polisi ambisius, dan Ciarán O’Shea, se-
niornya, menemukan bahwa satu-satunya
cara untuk meloloskan diri adalah mabuk,
semabuk-mabuknya. Sepasang polisi ini
kemudian bersatu menyelamatkan pen-
duduk pulau. Film komedi karya sutradara
Jon Wright dan penulis Kevin Lehane ini
berhasil memenangkan Audience Award
di Strasbourg International Film Festival
2012.
Tidak hanya memutar film-film kon-
temporer, Europe on Screen juga menye-
diakan program khusus film klasik. Tahun
ini, program Retrospective Jacques Tati
menawarkan 4 film masterpiece, dari
sutradara dan komedian multi-talenta dari
Perancis, Jacques Tati.
Tati identik dengan gerak tubuh yang
canggung dalam film-film yang ia bintangi
sendiri itu. Sebagai seorang aktor dan ko-
median, Jacques sering disandingkan den-
gan Charlie Chaplin dan Buster Keaton.
Sebagai pembuat film, Jacques terkenal
akan eksperimennya terhadap penggu-
naan suara dalam film. Efek percakapan
samar-samar dan suara berulang-ulang
menjadi ciri khas film Jacques.
MYUNCLE|MONONCLE
1958|FRANCE|117MIN|COMEDY
Film pemenang Oscar ini kem-
bali menghadirkan Monsieur Hu-
lot – karakter yang diciptakan dan
diperankan oleh Jacques Tati. Ke-
tika Monsieur Hulot mengunjungi
keluarga saudara perempuannya,
ia harus beradaptasi dunia penuh
teknologi mutakhir.Lewat MY UN-
CLE, Tati menyampaikan kritiknya
terhadap dunia modern dengan
gaya yang segar dan jenaka.
PLAYTIME
1967|FRANCE|115MIN|COMEDY
PLAYTIME adalah film Perancis
dengan biaya produksi termahal
pada masanya. Monsieur Hulot
mengikuti rombongan turis Ameri-
ka dari airport ke pusat kota dan
kembali kewalahan menghadapi
arsitektur modern dan lautan per-
angkat teknologi mutakhir. Dalam
PLAYTIME, Tati menciptakan lebih
banyak karakter-karakter unik un-
tuk menggerakkan ceritanya.
Untuk terus mengikuti perkembangan persiapan dan penyeleng-
garaan Europe on Screen2014 bisa melalui situs resmi http://eu-
ropeonscreen.org, Akun Facebook http://facebook.com/europeon-
screen, akun Twitter http://twitter.com/europeonscreen dan akun
Instagram http://instagram.com/europeonscreen.
kinescope edisi 7.indd 38 16/04/2014 21:17:49
39. 392014 l Edisi 7 l Kinescope l
kinescope edisi 7.indd 39 16/04/2014 21:17:49
40. 40 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
Lanskapfilmdikawasaninisemakin padatdenganproyek-proyekyanglebihkreatif
yangmembawasuara-suarayangtidak dapatdiabaikan.Itulahapamenjadi tujuan
festivalinimenurutKatrinSohns,KepalaProgramBudaya Goethe-InstitutdiAsia
Tenggara,Australia danSelandia Baru.“Kamiinginmenyediakanwadahuntuk
semuabakat-bakatyangadadiluarsana danmembuatfilm-filmdokumenterdari
AsiaTenggara bisadiakseslebihbanyakpemirsadiseluruhdunia,”kata Sohns
dalamsebuahpernyataannya.
KesempatanMenjadiBagian
DuniaInternasional
ChopShotsDocumentaryFilmFestival2014:
F
ilm-film yang akan diputar
di ChopShots Documentary
Film Festival 2014 Asia
Tenggara dibagi menjadi
dua kategori utama, Kompetisi
dan Non-Kompetisi. Kategori
Kompetisiterdiri dari dua kelompok
yaitu International Competition,
yaitu kompetisi untuk film
dokumenter berdurasi panjang
internasional dan Best SEA Shorts,
y a i t u kompetisi untuk film
dokumenter berdurasi pendek dan
menengah dari Asia Tenggara.
MarcEberle, direktur artistik
ChopShots Documentary Film
Festival Southeast Asia mengatakan
bahwa memilih film terbaik dari
begitu banyak film-film yang
mengispirasi adalah sebuah
tantangan tersendiri.
“Kami sangat puas dengan 12
film dokumenter panjang yang
terseleksi tahun ini untuk kategori
International Competition. Kami
ditantang untuk memilih yang
terbaik dari begitu banyak film
yang menginspirasi. Juga 18 film
berdurasi pendek di kategori Best
SEA Shorts adalah film-film yang
cerdas,” ujarnya.
Film-film terbaik dari kategori
Kompetisi akan ditentukan
oleh dua kelompok juri yang
terdiri dari pembuat film dan
akademisi dari Belanda, Filipina,
Indonesia, Jerman, Malaysia,
Thailand, dan Vietnam. Sementara
itu, kategori Non-Kompetisi
terbagi menjadi empat program
yaitu Docs Animated!, ChopShots
Specials, Why Poverty? dan
International Shorts. Seluruh film
yang terpilih mengangkat isu-
isu aktual kawasan Asia Tenggara
seperti lapisan-lapisanpolitik
yang beragam yang saat ini diisi
oleh entitas-entitas baru yang
memiliki beragam kepentingan
pula, perjuangan masyarakat
adat untuk memperoleh hak
mengelola sumber daya alam dan
betapa pentingnya untuk selalu
meletakkan visi masa depan dalam
kesadaran sejarah.
Selain pemutaran film, akan
diadakan pula DocNet Campus
selama penyelenggaraan ChopShots
Documentary Festival Film Asia
Tenggara. Ini adalah program
pelatihan khusus bagi para
pembuat film Asia Tenggara yang
proposalnya telah dipilih oleh
panel internal ChopShots. Selain
mengajar para peserta DocNet
Campus, praktisi film profesional
yang diundang juga akan berbicara
dan berbagi pengalaman mereka
dalam beberapa kelas master
yang terbuka untuk masyarakat
umum. Acara pendamping lain yang
tak kalah menarik dari festival ini
adalah sebuah pameran berjudul
Early Images of Southeast Asia yang
akan berlangsung di GoetheHaus
pada 16-27 April 2014.
Dua direktur pelaksana
ChopShots Documentary Film
Festival Southeast Asia, Lulu Ratna
dan Amelia Hapsari, keduanya
adalah nama yang akrab bagi
kalangan perfilman fiksi maupun
dokumenter di Indonesia,
menjawab pertanyaan tentang
apa yang mereka harapkan untuk
festival ini dan penonton Jakarta
dengan semangat positif yang
sama.
“Apa yang ChopShots bawa
kepada publik di Jakarta adalah
kesempatan untuk menjadi
bagian dari keluargabesar Asia
Tenggara dan menjadi bagian dari
masyarakat dunia,” kata Lulu.
“Film-film ini adalah karya
dokumenter yang terbaik dan
teranyar dari Asia Tenggara,
terutama dari Indonesia. Mereka
akan meninggalkan dampak yang
mendalam pada penontonnya.
Anda bisa tertawa, menangis,
bersorak, dan merenungkan
bagaimana kita hidup di planet
ini,” tambah Amelia yang juga akan
bertanggung jawab untuk semua
program DocNet Campus.
ChopShots Documentary
Film Festival Southeast Asia
akan menampilkan 58 film
dokumenter yang telah diakui
secara internasional di empat
tempat berbeda di Jakarta yaitu
GoetheHaus, Kineforum, XXI Taman
Ismail Marzuki dan Salihara pada 22-
27 April 2014. Jalanan, sebuah film
yang mengangkat kehidupan tiga
pengamen Jakarta dan subkultur
belantara Ibu Kota yang disutradarai
oleh Daniel Ziv,akan membuka
festival ini pada Selasa, 22 April 2014
di GoetheHaus Jakarta.
Lebih dari 247 film dari 49
negara diterima oleh tim ChopShots
Documentary Film Festival Southeast
Asia tahun ini. Hal ini menunjukkan
betapa minat dan keterampilan
pembuatan film dokumenter di Asia
Tenggara telah terbangun lebih kuat.
ChopShots Documentary Film Festival
Southeast Asia diselenggarakan
oleh DocNet Southeast Asia, suatu
proyek pembangunan jejaring
praktisi film dokumenter yang
diprakarsai oleh Goethe-Institut dan
didanai oleh Uni Eropa.
FESTIVAL
kinescope edisi 7.indd 40 16/04/2014 21:17:50
41. 412014 l Edisi 7 l Kinescope l
kinescope edisi 7.indd 41 16/04/2014 21:17:51
42. 42 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
BeberapafilmdocumenteryangakandiputarsepanjangperhelatanChopShots
DocumentaryFilmFestivalSoutheastAsia,adalahsebagaiberikut:
ChopShotsDocumentaryFilm
JALANAN-DANIELZIV(2013)
Film Jalanan menceritakan kisah Boni, Ho dan Titi, tiga
orang musisi jalanan karismatik di Jakarta dalam kurun
waktu lima tahun kehidupan mereka dan kehidupan bangsa
Indonesia yang hiruk-pikuk. Film ini mengikuti perjalanan
para musisi pinggiran dan sub-kultur mereka yang selama
ini belum pernah terlihat, sekaligus memaparkan potret
mencolok, intim dan menohok dari ibu kota Indonesia yang
sesak ini. Dengan menggunakan lagu gubahan asli yang kuat
dari para musisi tersebut untuk menggerakkan film, film
ini menelusuri pencarian mereka akan identitas dan cinta
dalam kehidupan sehari-hari di kota yang dilanda dampak
globalisasi dan korupsi.
PROFIL: Daniel Ziv bekerja selama lebih dari sepuluh
tahun di Jakarta sebagai penulis, fotografer dan penyunting
majalah. Ia mendirikan majalah bulanan Djakarta! City Life
Magazine dan menulis buku budaya pop urban Jakarta Inside
Out. Ia memegang gelar MA Kajian Asia dan fasih berbahasa
Indonesia. Jalanan adalah film panjang pertamanya
berdurasi 107 menit yang berhasil meraih penghargaan ‘Best
Documentary’ award, Busan International Film Festival,
2013.
LAYUSEBELUMBERKEMBANG–ARIANIDJALAL(2014)
Layu Sebelum Berkembang adalah sebuah film
dokumenter observasional tentang berakhirnya masa kanak-
kanak. Bercerita bagaimana gadis-gadis muslimah tumbuh
MASKEDMONKEY:THEEVOLUTIONOFDARWIN’S
THEORY-ISMAILFAHMILUBIS(2013)
Pendapat umum yang biasa kita dengar tentang
teori evolusi Darwin adalah bahwa manusia berasal dari
kera. Masked Monkey - The Evolution of Darwin’s Theory
menjajaki kemungkinan bahwa dua spesies ini beranjak
dari asal yang sama dan menemukan kesamaan antar
mereka. Sang pembuat film mengambil pendekatan yang
tak lazim dengan cara mengamati pertunjukan topeng
monyet di Jakarta. Para dalang melatih monyet-monyet
mereka untuk bersikap seperti manusia. Sama halnya
dengan manusia, yang sebenarnya dilatih oleh lingkungan
dan masyarakat untuk bersikap sesuai dengan aturan
serta nilai tertentu. Jika para monyet dikendalikan oleh
dalangnya, maka sang dalang juga dikendalikan oleh bos
mereka.
PROFIL:Ismail Fahmi Lubis adalah seorang sutradara
dan sinematografer lulusan Institut Kesenian Jakarta.
Sejak 1998 ia memutuskan untuk berfokus pada
pembuatan film dokumenter. Ismail pernah bekerja
sebagai sinematografer untuk sutradara ternama, Leonard
Retel Helmrich, di mana film-film kerja sama mereka
memenangi banyak penghargaan internasional.
di kalangan kelas menengah saat ini. Film ini memotret
kehidupan dua keluarga di Yogyakarta, pada masa-masa
yang menentukan dalam kehidupan pendidikan anak
gadis mereka. Sementara itu, sistem pendidikan umum
di Indonesia tengah mengalami perubahan karena
ditekan oleh partai-partai politik islami. Institusi yang
semula sekuler kini condong membentuk berjuta-juta
anak menjalani masa muda yang submisif dengan cara
memasukkan lebih banyak lagi kegiatan keagamaan
dalam kehidupan sekolah mereka.
PROFIL: Ariani Djalal kuliah filsafat di Universitas Gadjah
Mada, Indonesia. Ia bekerja sebagai jurnalis lepas
selain menjadi produser, penulis dan sutradara film-film
dokumenter serta fitur berita untuk televisi. Karyanya
antara lain Born in Aceh (2004), Women and Syariah Law
(2007), Struggling for Living (2008) dan Friday Lunch
(2009).
kinescope edisi 7.indd 42 16/04/2014 21:17:51
43. 432014 l Edisi 7 l Kinescope l
yFilmFestivalSoutheastAsia
FLANEURS#3–ARYODANUSIRI(2013)
Film ini mendokumentasikan tentang kerumunan
pendukung yang berkumpul di depan sebuah panggung.
Pidato telah usai. Mereka semua terpesona. Inilah
Indonesia ‘baru’.
PROFIL: Aryo Danusiri, seorang seniman video dan
antropolog, menjelajahi etnografi artistik sebagai bentuk
keterlibatan antar-disipliner. Bidang risetnya antara lain
adalah ranah politik dan sosial di pasca pemerintah
otoriter Indonesia. Film dokumenter panjang pertamanya
memenangi penghargaan di JIFFEST 2007 dan Brussels
Independent IFF. Film ini berhasil mendapatkan
penghargaan The Best Short Documentary dalam ajang
Festival Film Dokumenter Indonesia tahun 2013 lalu.
ANOTHERCOLOURTV-YOVISTAAHTAJIDA&DYANTINI
ADELINE(2013)
Another Colour TV adalah film dokumenter yang
menunjukkan interaksi sebuah keluarga yang terjadi
di depan pesawat televisi mereka dan menunjukkan
bagaimana televisi menjadi alat untuk melarikan diri
dari kenyataan yang mereka hadapi. Film ini menangkap
situasi kondisi ekonomi dan budaya sesungguhnya di
sebuah keluarga pinggiran kota di Indonesia, dengan
ibu sebagai tokoh pusatnya. Ironisnya, sang ibu ditinggal
sendirian dengan televisi sebagai teman satu-satunya di
rumah. Kemudian sang ibu mencoba mentransfer opini
serta nilai-nilai yang ia lihat di televisi ke keluarganya.
PROFIL:The Youngrrr terdiri dari Yovista Ahtajida dan
Dyantini Adeline, mahasiswi Komunikasi di Universitas
Indonesia. Mereka bekerja sebagai pembuat video untuk
dunia musik independen di Jakarta dan mendirikan
sebuah video webzine berjudul RecAGogo. Di tahun 2014,
Another Colour TV terpilih di Berlinale Forum Expanded
dan Best Film Campus Category di Erasmusindocs, Jakarta.
SELAMATTINGGALSEKOLAHKU–UCUAGUSTIN(2013)
Tinggal beberapa hari lagi Lintang (11 tahun) harus
meninggalkan teman-temannya di sekolah luar biasa. Ia
adalah seorang penabuh drum yang penuh semangat,
bakat dan percaya diri. Ia senang sekali belajar di sekolah
itu, tapi ayahnya yakin sudah waktunya ia memulai hidup
mandiri.
PROFIL:Ucu Agustin (1976) belajar Kajian Islam di
Jakarta. Setelah bekerja sebagai jurnalis untuk koran dan
majalah, ia belajar membuat film dokumenter secara
otodidak. Karyanya, Death in Jakarta memenangi hibah
pengembangan naskah di Jakarta International Film
Festival pada tahun 2005. Karyanya Ragat’e Anak, tayang
perdana di Berlinale 2009.
KUBUTERAKHIR–BENNYSUMARNA(2012)
Padek, Bungo, Habibah dan anak-anak lainnya di suku
Kubu hidup jauh di pelosok hutan tropis Banai, Sumatra
Barat. Mereka memiliki minat besar untuk belajar
membaca dan menulis Bahasa Indonesia, juga belajar
matematika, walaupun sebenarnya mereka tak terlalu
paham mengapa mereka harus mempelajari semua
itu. Apakah demi kehidupan yang lebih baik atau hanya
sebagai selingan di antara waktu berburu dan berenang
bersama di sungai? Mereka masih tak mengetahui
perubahan seperti apa yang akan terjadi pada mereka dan
suku mereka esok hari.
PROFIL:Benny Sumarna mencintai laut dan pada suatu
hari ingin tinggal dan membangun rumah di planet Mars.
Kubu Terakhir adalah film pertamanya, yang ia buat saat
mengkuti lokakarya film dokumenter dengan In-Docs di
tahun 2012.
kinescope edisi 7.indd 43 16/04/2014 21:17:52
44. 44 l Kinescope l Edisi 7 l 2014
AWORLDNOTOURS-MAHDIFLEIFEL(2012)
Bagi sebagian besar dari kita, identitas kita sudah
kita terima begitu saja - siapa kita, asal kita dan apa
pekerjaan kita, jarang dipertanyakan. Tapi tidak bagi
bangsa Palestina yang senantiasa harus menunjukkan
bukti identitas, sementara keberadaan mereka sebagai
penghuni asli tanah yang tak lagi berwujud, terus-
menerus dibantah atau ditantang. A World Not Ours
adalah potret intim dan kadang menggelikan dari tiga
generasi pelarian dalam kamp pengungsi di Ein el-
Helweh, sebelah selatan Lebanon. Berdasarkan catatan
pribadi, arsip keluarga dan rekaman historis selama lebih
dari 20 tahun, film ini adalah upaya untuk mencatat apa
yang telah dilupakan, dan untuk menandai apa yang
seharusnya tidak kita hapus dari ingatan kolektif.
Film ini menyabet beberapa penghargaan
internasional, seperti (selected) Peace Film Award
Berlinale 2013; Robert and Frances Flaherty Prize
Yamagata Documentary Film Festival 2013 dan Best
International Feature Film Edinburg International Film
Festival 2013.
PROFIL: Mahdi Fleifel adalah seorang sineas kebangsaan
Palestina dan seniman visual yang tinggal di London.
Ia dilahirkan di Dubai, dibesarkan di kamp pengungsi
Ein el-Helweh Lebanon dan kemudian di pinggiran
kota Elsinore, Denmark. Film-film pendeknya telah
ditayangkan di lebih dari seratus festival seluruh dunia
dan telah banyak memenangi penghargaan film. A World
Not Ours adalah film panjang pertamanya.
DIGDAYAINGBEBAYA-BWPURBANEGARA(2014)
Tumbuhan baru Pegagan (Cantella asiatica) tumbuh
sangat subur setelah letusan gunung Merapi pada
2010. Tanaman ini kebanyakan dipanen dan dikonsumsi
oleh para tetua desa sebagai ramuan tradisional.
Tanaman ini juga bisa dikeringkan dan dijual di luar
kawasan tersebut. Film ini mengikuti perjalanan tiga
orang tetua desa Kalitengah Lor selama satu hari, saat
mereka memetik daun pegagan. Sambil menghabiskan
waktu bersama di perjalanan, mereka menceritakan
pengalaman masa lalu tentang letusan Merapi dan
alasan mengapa mereka menolak program relokasi dari
pemerintah.
PROFIL: Dilahirkan di Sleman, Yogyakarta, Indonesia,
BW Purba Negara adalah lulusan Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada. Otodidak murni, ia turut
mendirikan rumah produksi Limaenam Films dan telah
membuat beberapa film dokumenter dan film pendek
di bawah bendera Limaenam Films.
BEYONDALLBOUNDARIES-SUSHRUTJAIN(2013)
Saat India, yang menjadi tuan rumah Piala Dunia
Cricket 2011, memulai kampanye untuk memenangi
kejuaraan tersebut setelah didera musim kering
selama 28 tahun, tersebutlah kisah tiga orang rakyat
jelata, - seorang penggemar berat yang mengayuh
sepeda mengarungi India untuk menjadi suporter
timnya, seorang pemain cricket berbakat berusia 12
tahun, dan seorang pemain cricket wanita dari daerah
kumuh di Mumbai. Mereka mencari penyelamat dan
solusi dari kehidupan mereka yang sulit lewat cinta
membara untuk cricket. Film ini menyabet beberapa
penghargaan, di antaranya Best Documentary Feature,
Audience Award, Indian Film festival of Los Angeles;
Best Documentary Feature, Jury Award, Indian Film
festival of Los Angeles.
PROFIL:Sushrut Jain lahir dan besar di Mumbai. Ia
adalah sarjana lulusan Matematika dan Ekonomi dari
Stanford University. Setelah bekerja di bidang ekonomi,
ia mengejar gelar MFA Film di UCLA. Pada tahun 2008,
ia membuat sebuah film pendek berjudul Andheri - sebuah
drama realis dari jalanan Mumbai, yang masuk 40 festival
film, termasuk Clermont-Ferrand di Perancis.
kinescope edisi 7.indd 44 16/04/2014 21:17:53
45. 452014 l Edisi 7 l Kinescope l
FestivalFilmPendek
DokumenterSineasMuda
Bogor2014
F
estival film pendek
dokumenter
SINEAS MUDA 2014
diselenggarakan atas
kerjasama antara Dinas
Kebudayaan & Pariwisata Kota
Bogor, Saung Film, dan Inilah
Bogor. Festival film khusus pelajar
& mahasiswa yang berdomisili di
kota Bogor ini mengusung tema
“KEARIFAN LOKAL, SENI & BUDAYA
BOGOR“.
Festival Film ini dilaksanakan
dengan ketentuan film dengan
durasi maksimal 15 menit.
Sedangkan untuk jadwal
pendaftaran, dibuka mulai 17
sampai 31 maret 2014 dan
pengumpulan karya dimulai 14
sampai dengan 21 april 2014.
Untuk pengumuman pemenang
akan diadakan pada tanggal 26
april 2014.
Tahap penilaian dalam festival
ini akan melalui 2 tahap. Tahap
pertama akan meloloskan 5
besar film yang akan diseleksi
kembali menjadi juara 1, 2, dan
3, serta 2 penghargaan khusus
dari Saung Film dan Inilah Bogor.
Sebagai hadiah penghargaannya,
masing-masing juara, yaitu juara
1, 2, dan 3 akan mendapatkan
trophy penghargaan, dan uang
pembinaan dari Dinas Kebudayaan
& Pariwisata Kota Bogor.
Sedangkan untuk juara harapan 1
dan 2, akan mendapatkan piagam
Info lebih lanjut, dapat menghubungi:
Indra 08197891003
Chairul 081280699854
Wahyu 085713341048
dan Trophy dari Saung Film dan Inilah
Bogor. Selain kategori film-film juara
tersebut, Festival ini juga memberikan
penghargaan untuk Ide cerita &
Sutradara terbaik.
Sejak tangal 17 Maret, formulir
pendaftaran sudah dapat di ambil di
kantor Dinas Kebudayaan & Pariwisata
Kota Bogor (Jl Pandu Raya No.45, Kota
Bogor) juga di Sekretariat Saung Film
(Jl Arjuna Raya No.6, Bumi Indraprasta
1 Kota Bogor). Untuk diketahui bahwa
pendaftaran untuk festival ini tidak
dipungut biaya alias Gratis.
kinescope edisi 7.indd 45 16/04/2014 21:17:53