Film Garuda 19 menceritakan perjuangan pembentukan timnas sepakbola U-19 Indonesia yang tangguh untuk memberikan harapan meraih kemenangan, di mana pelatih, pemain dan masyarakat sama-sama bermimpi memiliki tim yang memotivasi dukungan berkelanjutan.
1. Edisi 9 | 2014 | Rp. 25.000
Review
Film - Seni & Edukasi
SEMANGAT
MEMBATU YANG KETU7UH
2014 l Edisi 9 l Kinescope l 1
ABBAS
KIAROSTAMI
KILAS BALIK
PERKEMBANGAN
FILM ANAK
DI INDONESIA
Beri Satu Lagu Diane Warren
The 1st Jogja Miniprint
Biennale (JMB) 2014
CAHAYA DARI TIMUR:
BETA MALUKU
NEGERI TANPA TELINGA
RINDU KAMI PADAMU
Opini
Garuda 19
Tokoh Dunia
Interview
ANDIBACHTIAR
YUSUF
Rilis Single Baru Sandhy Sondoro
4. COVER STORY
10
INTERVIEW
14
18
20
22
24
28
30
32
GARUDA 19:
SEMANGAT MEMBATU
ANDIBACHTIAR YUSUF:
Indonesia Tidak Punya
Pembinaan Sepakbola
REVIEW
CAHAYA DARI TIMUR:
BETA MALUKU
NEGERI TANPA TELINGA
RINDU KAMI PADAMU
YANG KETU7UH
RUROUNI KENSHIN:
KYOTO INFERNO
FESTIVAL
FESTIVAL EURASIA
Rutinitas Yang Tidak Biasa
4 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Daftar isi
14 BEHIND THE SCENE
TIPS
TIPS & TRIK
LOLOS CASTING
42 80
52
34
36
38
THE 1ST JOGJA MINIPRINT
BIENNALE (JMB) 2014
ARKIPEL 2014:
Electoral Risk
FESTIVAL FILM MEDAN
XXI SHORT FILM
FESTIVAL 2014
MERAYAKAN KEBISINGAN MUSIK ROCK 46
SANDHY
SONDORO
Abbas Kiarostami
BERSINAR
DI TENGAH
REVOLUSI*
44
48
LIPUTAN
NGOBROL BARENG
EKA & ROMAN
ACE CAFÉ LONDON
MARKAS BIKERS KLASIK
50
KOMUNITAS
RUFI COMMUNITY
ADA UNTUK SUMATERA
UTARA DAN INDONESIA
6. 6 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Salam Redaksi
GARUDA 19
Semangat
Membatu
Film Garuda 19 adalah
film tentang perjuangan
pembentukan timnas
U-19. Para pelatih,
pemain dan masyarakat
Indonesia sama-sama
bermimpi memiliki tim
sepakbola yang tangguh
yang memberikan
harapan untuk meraih
kemenangan.
PENASEHAT REDAKSI
Farid Gaban
Andi Bachtiar Yusuf
Wanda Hamidah
Swastika Nohara
Dandhy Laksono
PEMIMPIN UMUM
Hasreiza
PEMIMPIN REDAKSI
Reiza Patters
REDAKTUR
Abdi Kurniawan
Rian Samin
KONTRIBUTOR
Daniel Irawan
Shandy Gasella
Daniel Rudi Haryanto
Pejred Banderas
Rohman Sulistiono
Novita Rini
Thea Fathanah Arbar
Suluh Pamuji
ARTISTIK
al Fian adha
FOTOGRAFER
Kinescope Tim
DISTRIBUSI & SIRKULASI
Faisal Fadhly
DISTRIBUSI JOGJAKARTA
Athonk Sapto Raharjo
MARKETING & EVENT PROMO
Ollivia Selagusta
COMMUNITY DEVELOPMENT
Jusuf Alin Lubis
SUBSCRIPTIONS
PT. Kinescope Indonesia
Jakarta Level 3A, World Trade Centre 5
Jl. Jendral Sudirman Kav. 29-31
Jakarta 12920
Phone : +62 21 2598 5194
Fax : +62 21 2598 5001
www.kinescopeindonesia.com
info@kinescopeindonesia.com
iklan@kinescopeindonesia.com
redaksi@kinescopeindonesia.com
langganan@kinescopeindonesia.com
@KinescopeMagz
Tantangan dunia perfilman nasional
semakin besar, seiring dengan trend positif
terhadapnya, baik dari sisi produksi, konten
dan isi, serta apresiasi dari publiknya sendiri.
Ini memungkinkan seluruh stake holder perfilman
nasional untuk terus mengasah dan mengembangkan
kemampuan kreatif serta inovatifnya agar bisa bertahan
dan berkembang di tengah gempuran budaya dan
hantaman modal dari luar negeri sebagai akibat dari
semakin gencarnya globalisasi.
Inipun turut dirasakan oleh Kinescope, sebagai
sebuah wadah berkreasi, suara-suara kritis sekaligus
apresiatif terhadap kehidupan perfilman nasional.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang
dihadapi, kami terus berupaya untuk tetap sekedar hidup
dan mempertahankan keberadaan kami sebagai bagian
dari duia perfilman nasional, seni dan budaya bangsa ini.
Untuk itu, segala daya upaya terus kami curahkan
agar wadah ini bisa terus ada dan berupaya mengawal
kebangkitan budaya bangsa ini untuk mencapai
kegemilangannya di kancah internasional. Dengan
menitikberatkan perhatian pada dunia film, musik dan
seni lainnya, ini hanya setitik debu dari upaya besar
yang juga telah dilakukan oleh pihak-pihak yang lain,
yang mungkin sudah lebih mapan dan terorganisir rapi.
Namun begitu, sekecil apapun yang mampu kami
berikan pada negeri ini, merupakan kontribusi kami
untuk kemajuan dan kemaslahatan bangsa ini, yang kami
berikan dari dan dengan sepenuh hati. Tanpa keraguan
dan dengan terus menyalakan asa serta harapan,
kami persembahkan edisi ke 9 yang sempat tertunda
beberapa saat. Semoga bermanfaat.
Cover Story
8. PREVIEW
Yang Ketu7uh
Nita, 60 tahun, harus
menghidupi lima orang
anaknya, setelah sang suami
meninggal dunia pada tahun
2003. Sebagai buruh cuci
dan asisten rumah tangga di
Tangerang, Banten, Ada dua
prioritas dalam hidupnya:
memenuhi kebutuhan sembako
keluarga dan menyekolahkan
anak-anaknya. Untuk itu tak
jarang ia harus berutang demi
memenuhi kebutuhan.
Amin Jalalen, seorang petani
penggarap tanah milik negara
yang berdomisili di Indramayu,
8 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Jawa Barat. Sudah beberapa
tahun belakangan ini ia terpaksa
menggarap tanah milik negara
untuk menyambung hidup.
Tapi ia harus membayar sewa
tanah. Menurutnya sistem
sewa tanah tak sesuai dengan
Undang-undang Dasar yang
mengamanatkan kekayaan
alam harus sebesar-besarnya
diperuntukkan bagi kesejahteraan
rakyat.
Di Jakarta, Suparno dan Sutara
Bekerja serabutan sebagai buruh
bangunan dan tukang ojek.
Bersama keluarganya masing-
masing, mereka harus tinggal di
rumah yang jauh dari layak. Suparno
dan Sutara hanya mampu mendiami
rumah dengan ukuran 6,65 meter
persegi. Tak ada kamar mandi
atau WC di rumah mereka. Hanya
tersedia satu bangunan MCK umum
di sana. Situasi semakin pelik ketika
satu-satunya MCK umum di wilayah
itu terancam digusur.
Keempat tokoh ini akhirnya
bertemu di ajang pemilu legislatif
dan pemilu presiden. Mereka
dipertemukan melalui kesamaan
status sebagai pemilih yang
membawa harapan ke bilik suara.
Mereka mempercayakan masa
depan melalui hak pilih yang
mereka miliki, dengan harapan
anggota dewan dan presiden
yang ketujuh yang dipilihnya bisa
membawa perubahan.
Dikerjakan oleh 19 videografer,
film ini mengikuti keseharian para
tokoh jauh-jauh hari sebelum
gelaran Pemilu. Lantas siapa
presiden pilihan Nita, Amin Jalalen,
Suparno, dan Sutara? Apa harapan
dan pesan dari mereka untuk
Presiden Yang Ketujuh Indonesia?
FILM TAYANG 25 September 2014 SUTRADARA Adriyanto Dewo
PRODUSER Sheila Timothy CAST Dewi Irawan, Jimmy Kobogau, Yayu Unru,
Ozzol Ramdan
Hans (Jimmy Kobogau),
pemuda asal Serui, Papua,
bercita-cita menjadi pesepakbola
profesional. Namun nasib berkata
lain. Pada saat Hans hampir
kehilangan semangat hidupnya,
ia bertemu dengan Mak (Dewi
Irawan), seorang pemilik rumah
makan Minang sederhana. Di
tengah perbedaan mereka, Hans
dan Mak menemukan persamaan.
Mimpi dan semangat hidup
terbentuk kembali lewat makanan
dan masakan.
Hans juga mendapat
penolakan dari Parmanto (Yayu
Unru), juru masak dan Natsir
(Ozzol Ramdan), juru senduak
Tabula Rasa
(pelayan). Keadaan menjadi semakin
memburuk ketika mereka mendapat
saingan sebuah rumah makan
baru yang lebih besar persis di
depan lapau. Hans, Mak, Natsir dan
Parmanto harus menyelesaikan
perselisihan di antara mereka untuk
menyelamatkan lapau mereka.
9. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 9
Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck
Extended
FILM TAYANG 11 September 2014 GENRE Romance Historical Drama
SUTRADARA Sunil Soraya PRODUSER Ram Soraya, Sunil Soraya
CAST Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Randy Nidji
Gesya Shandy, Arzeti Bilbina, Kevin Andrean, Ninik L. Karim, Jajang C. Noer
FILM TAYANG 18 September 2014 GENRE Action Martial Art SUTRADARA Willy Dozan
PRODUSER Willy Dozan, Oswin Bonifanz
CAST Willy Dozan, Leon Dozan, Regina Wulandari, Chintya Ramlan, Fendy Pradana
Rio Desta Rengga, Rohim
Nusantara 1930. Dari tanah kelahirannya, Makasar,
Zainuddin berlayar menuju tanah kelahiran
ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Di sana ia
bertemu Hayati. Kedua muda-mudi itu jatuh cinta.
Tapi, adat menghalangi. Zainuddin hanya seorang
melarat tak berbangsa, sementara Hayati perempuan
Minang keturunan bangsawan.
Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati.
Hayati dipaksa menikah dengan Aziz (Reza Rahadian),
laki-laki kaya bangsawan yang ingin menyuntingnya.
Perkawinan harta dan kecantikan mematahkan cinta
suci anak manusia. Zainuddin pun memutuskan untuk
berjuang, pergi dari ranah minang dan merantau ke
tanah Jawa demi bangkit melawan keterpurukan
cintanya. Zainudin bekerja keras membuka lembaran
baru hidupnya. Sampai akhirnya ia menjadi penulis
terkenal dengan karya-karya mashyur dan diterima
masyarakat seluruh Nusantara.
Tetapi sebuah kenyataan kembali datang kepada
diri seorang Zainuddin, di tengah gelimang harta dan
kemashyurannya. Dalam sebuah pertunjukan opera,
Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama
Aziz, yang sudah menjadi suaminya.
Perkawinan harta dan kecantikan bertemu
dengan cinta suci yang tak lekang waktu. Pada
akhirnya kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui
ujian terberatnya, dalam sebuah tragedi pelayaran
kapal Van Der Wijck.
Duel: The Last
Choice
Igo mantan preman yang sudah meninggalkan masa
lalunya berjualan telor di pasar Cinere, Joe Bandit
Preman teman lama Igo datang membuat masalah
di pasar itu, sehingga membuat mereka bertarung
sengit sampai akhirnya kaki Joe Bandit dipatahkan
oleh Igo dan Joe Bandit ditangkap oleh Komandan
Herman.
Tiga Tahun kemudian....
Suasana pasar Cinere seperti sedia kala, Nampak
para preman Generasi baru menguasai wilayah
ini. Yang ternyata dikuasai oleh Rocky, Dimas, dan
Jack. Igo yang masih berjualan telor kini sikap dan
pribadinya telah berubah. Suatu ketika Salah satu
Preman bernama Jack menagih setoran dengan
kasar dilapak Igo. Igo hanya diam saja tidak
melawan, walaupun ia telah dianiaya oleh Jack.
Dimas yang juga preman anak buah Rocky mencoba
menghentikan aksi Jack.
Disitu nampak hubungan Dimas dan Igo ada
sesuatu yang tersembunyi. Igo yang dibela Dimas
tetapi juga dibenci Dimas. Ternyata masa lalu yang
membuat Dimas sangat membenci Igo, karena Dimas
merasa Igo telah lalai melindungi isterinya sendiri
yang merupakan Ibu kandung Dimas sehingga tewas
ditangan Joe Bandit yang ingin membalas dendam
kepada Igo.
Disisi lain Rocky Bos Dimas yang memiliki pacar
bernama Vina. Ternyata diam-diam Vina menaruh
hati kepada Dimas karena sikap Dimas yang
Simpatik tidak seperti teman-teman preman lainnya.
Hubungan gelap asmara antara Vina dan Dimas
menyulut kemarahan Rocky sehingga mereka yang
awalnya kawan kini menjadi lawan.
10. Garuda COVER STORY
Semangat Membatu
Sebuah Epos Kontemporer Inspiratif
REIZA PATTERS
10 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
11. Garuda 19
Film Garuda 19 adalah film tentang perjuangan pembentukan timnas
U-19. Para pelatih, pemain dan masyarakat Indonesia sama-sama
bermimpi memiliki tim sepakbola yang tangguh yang memberikan
harapan untuk meraih kemenangan.2014 l Edisi 9 l Kinescope l 11
12. COVER STORY
Oleh karenanya, Film ini
menjadi penyemangat
untuk terus mendukung
Timnas U-19. Cerita
ini dikembangkan dari dua buku
terbitan Bentang Pustaka, yaitu
“Semangat Membatu”, karya FX
Rudi Gunawan bersama Guntur
Cahyo Utomo, serta buku “Menolak
Menyerah” karya FX Rudi Gunawan.
Namun dalam pelaksanaan produksi
filmnya, dilakukan banyak sekali
pengembangan skenario sehingga
berbeda dari cerita dalam bukunya.
“Cerita Timnas U19 itu potensial
menjadi kisah yang menarik, bukan
karena ini cerita sepak bola tapi
karena ini cerita tentang orang-orang
biasa di pelosok Indonesia
yang tidak pernah dilihat oleh orang
pusat (Jakarta),” jelas Andibachtiar
Yusuf, sutradara film ini (sebelumnya
membuat film Hari Ini Pasti Menang,
The Conductors, Romeo Juliet dan
The Jak).
Ditambahkan Yusuf bahwa bukunya
lebih bercerita tentang Timnas
junior setelah mereka menjadi juara
AFF dan pasti lolos ke Piala Asia
U19. Tapi filmnya bercerita tentang
bagaimana tim ini terbentuk,
bagaimana Indra Sjafrie mencari
12 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
“Cerita Timnas U19 itu potensial menjadi kisah
yang menarik, bukan karena ini cerita sepak
bola tapi karena ini cerita tentang
orang-orang biasa di pelosok Indonesia
yang tidak pernah dilihat oleh orang pusat
(Jakarta).” - Andibachtiar Yusuf -
mereka, dan kisah nyata awal
perjuangan anak-anak itu. Kemudian
setelah menjadi tim, tentang
bagaimana mereka bekerja keras
untuk kemudian menjadi juara.
Film Garuda 19 menjadi sebuah
catatan harian tentang pembelajaran
hidup bagi siapapun. Karena
sesungguhnya sepabola banyak
mengajarkan nilai-nilai kehidupan.
Ada kegetiran, memang. Tapi lebih
banyak lagi perjuangan, karena
segetir apapun jika disikapi dengan
kesungguhan, menjadi sebuah
semangat yang membatu untuk
meraih kemenangan.
SINOPSIS
Film ini bercerita tentang gelaran
Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo.
Timnas U-19 berhasil menekuk
Vietnam lewat adu penalti (7-6) di
partai puncak dan berhak membawa
pulang piala resmi pertama yang
didapatkan timnas Indonesia sejak
22 tahun yang lalu.
Terbayang kembali jejak-jejak
para punggawa Timnas U-19 ketika
mulai direkrut Indra Sjafri dan
kawan kawan. Semuanya serba
apa adanya, dengan fasilitas dan
dana yang minim. Namun hal ini
tidak membuat gentar Indra Sjafri
dkk. Mereka yakin ada bibit hebat
pesepakbola tersebar di Nusantara.
Perjalanan ini pun dirasakan oleh
Yazid Randaula, seorang anak muda
dari sebuah kampung nelayan yang
miskin di Konawe Selatan, Sulawesi
Tenggara yang sempat bergabung
dalam pelatihan Timnas 19. Walau
perjalanan Yazid di lapangan
hijau pada akhirnya berkata lain,
tapi turut merasakan kebanggan
terhadap Timnas 19 ini.
Maka kemenangan AFF U-19
itu memberikan pelajaran penting
akan apa arti perjuangan itu.
Para pemain belumlah mencapai
separuh perjalanan dalam meraih
impian. Namun mereka merasakan
kebahagiaan, setelah hal yang tidak
mungkin menjadi mungkin. Misalnya
13. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 13
bagaimana Evan Dimas sudah
mulai bisa membantu kehidupan
orang tuanya, Sahrul yang tidak lagi
kesulitan membeli sepatu, dan Yabes
yang membanggakan warga Alor.
Mereka sudah harus bersiap lagi
untuk kualifikasi Piala Asia U-19.
Indonesia berada di grup G bersama
dengan Laos, Filipina, dan juara Piala
Asia 12 kali, Korea Selatan. Negara
terakhir inilah yang selalu disebut
dalam setiap pertanyaan wartawan
pada Coach Indra. Apakah timnas
U-19 mampu mengalahkan Korsel?
Di tengah persiapan itu,
berbagai tantangan tidak berhenti
menghampiri. Mulai soal tawaran
iklan kepada para pemain, status
klub Evan Dimas yang tidak diakui,
perpindahan stadion ke GBK dll.
Namun, melalui perjuangan ini
mental pemain ditantang kembali,
apakah mereka berhasil mengatasi
semuanya sebagai satu tim yang
solid. Lalu bagaimana coach
Indra Sjafri CS menaikan mental
dengan menyuntikkan semangat
membatu bagi seluruh tim. Termasuk
bagaimana situasi perang urat syaraf
ketika melawan Korea Selatan untuk
menentukan nasib mengikuti PIALA
ASIA Oktober 2014 di Myanmar.
TANTANGAN CASTING &
SHOOTING
Film ini didukung aktor kawakan
Mathias Muchus, Ibnu Jamil,
Mandala Shoji, Puadin Redi, Reza
Aditya, dan Verdi Solaiman. Selain
itu, Film Garuda 19 juga melibatkan
pemain muda berbakat seperti
Rendy Ahmad yang pernah berperan
sebagai Arai di film Sang Pemimpi
dan Laskar Pelangi sekuel 2 Edensor.
Gazza Zubizareta salah satu aktor
muda yang bermain di film Negeri 5
Menara dan Yusuf Mahardhika yang
dikenal dalam serial TV Tendangan
Si Madun, serta Agri Firdaus salah
satu pemain dalam Film Mestakung.
Film ini juga menjadi debut pertama
dari Amanda Ayunda, adik dari
Maudy Ayunda, serta pendatang
baru, Bilqis Utari dan Beta Freestyle.
Selain itu, Garuda 19 banyak
melibatkan pemain dari berbagai
daerah (sesuai lokasi shooting)
untuk mendukung film nuansa lokal
di setiap lokasi shooting film ini.
Lokasi shooting yang berpindah-pindah
di beberapa daerah,
seperti Konawe Selatan, Pulau
Alor, Jogjakarta, Solo dan Jakarta
tentunya, juga menjadi tantangan
tersendiri. Salah satu kejadian
menarik adalah saat tim produksi
seharusnya shooting di Pulau Buton,
karena alasan non-teknis mendadak
harus pindah ke Konawe Selatan di
Sulawesi Tenggara. Sutradara dan
seluruh kru sama sekali tidak tahu
seperti apa Konawe Selatan pada
waktu datang ke sana.
“Kejadian itu cukup membuat
pusing, karena skenario yang
ada sudah ditulis untuk shooting
di Buton, dengan setting yang
disesuaikan dengan kondisi alam
dan budaya Buton. Nah, berarti
perlu mengubah skenario on-the-spot
agar sesuai untuk shooting di
Konawe Selatan. Untung penulis
skenarionya, Swastika Nohara, ikut
shooting. Jadi begitu sampai di
Konawe Selatan dia bisa langsung
membuat beberapa penyesuaian
di skenarionya,” jelas Andibachtiar
Yusuf.
Menurut Yusuf sesungguhnya
film ini menyentuh berbagai aspek
dalam sepak bola Indonesia.
Misalnya bahwa Indonesia tidak
punya pembinaan sepak bola
untuk usia muda, dan dalam film
tergambarkan dari apa yang terjadi
di tahun 2012, waktu Timnas U19
akan dibentuk.
Film Garuda 19 merupakan
produksi film ke 14 Mizan
Productions. Andibachtiar Yusuf
dalam produksi film ini bertindak
sebagai Sutradarasekaligus penulis
skenario bersama dengan Swastika
Nohara. Kemampuan Yusuf dalam
menyutradarai film sepakbola tidak
lagi diragukan, sebut saja film Hari
Ini Pasti Menang, Romeo dan Juliet
dan lain-lain.
Film yang akan ditayangkan
Oktober 2014 ini, semoga bisa
mendapatkan apresiasi dan
sambutan luas dari para penonton
film di Indonesia dan penggemar
sepakbola Indonesia. Mari kita
tonton kisah inspiratif karya anak
negeri!
14. BEHIND THE SCENE
Catatan Shooting
Film GARUDA 19
Saat mendengar kata ‘GARUDA19
apa yang pertama kali terlintas di
benakmu?
Kami baru saja menyelesaikan
etape pertama shooting film
GARUDA19, sebuah sport-drama
yang mengisahkan
perjuangan anak-anak muda
dari berbagai penjuru Indonesia
untuk masuk Timnas U19, serta
blusukannya Indra Sjafrie yang
meyakini negeri ini terlalu luas untuk
tidak dijelajahi guna menemukan
bakat-bakat sepak bola tersembunyi.
Shooting tahap pertama berakhir
hari Minggu kemarin, ditutup dengan
adegan tarkam yang panas dan
ganas di lapangan Bangunjiwo,
Bantul, Jogjakarta. Tentu tak
ketinggalkan seorang komentator
sepak bola yang sering muncul di TV
menjadi cameo sebagai komentator
pertandingan ini. Lihatlah fotonya
yang pakai peci ini, dan tebak,
siapakah komentator yang saya
maksud?
Timans Indonesia U19 saat
ini memang tengah mencorong
14 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
pamornya. Beberapa judul buku
telah diterbitkan mengangkat kisah
Indra Sjafrie, salah satunya berjudul
Semangat Membatu karya FX Rudy
Gunawan dan Coach Jarot. Buku
inilah cikal bakal ide film GARUDA19
meski cerita film yang skenarionya
saya tulis bersama Andibachtiar
Yusuf ini sama sekali berbeda dari
bukunya. Selain Evan Dimas, coach
Indra Sjafri dan para pelatih lain,
film ini juga mengulik lebih dalam
sisi personal Yabes Roni Malaifani,
pemain U19 asal Pulau Alor, NTT.
Keputusan ini diambil karena
kisahnya unik, seperti yang pernah
saya tulis sebelumnya.
Selama dua belas hari shooting
di Jogja dan sekitarnya, semesta
telah mendukung. Cuaca cerah,
malah kadang panas sekali,
membuat shooting adegan outdoor
berjalan lancar. Aktor senior
yang memerankan Coach Indra
Sjafrie tidak hanya tampil optimal
SWASTIKA NOHARA
membawakan perannya, tapi juga
menularkan kinerja baiknya bagi
aktor-aktor muda yang berperan
sebagai pesepak bola Timnas
U19. Mereka antara lain Yusuf
Mahardika, Rendy Ahmad, Gazza
Zubizareta. Rendy (sebelumnya main
film di Sang Pemimpi, Mestakung
dll) mengaku tidak terlalu sulit
15. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 15
memerankan Syahrul Kurniawan,
karena seperti Syahrul, Rendy juga
tumbuh di kota kecil di Belitong,
jauh dari hingar-bingar ibu kota.
Namun, Rendy melakukan persiapan
khusus untuk melatih kekuatan
fisiknya dan footwork-nya demi
tampil prima dalam adegan bermain
sepak bola.
“Shootingnya seru, timnya asik!
Aktor-aktor yang udah pengalaman
ngangkat yang muda-muda dan
masih baru, kombinasinya mantep
lha!” kata sutradara Andibachtiar
Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, The
Conductors, Romeo Juliet) setelah
selesai mengambil adegan yang
paling mengharukan dalam film ini.
Menurut Yusuf tantangan
terbesar justru karena shooting
berbarengan dengan piala dunia.
Yusuf yang biasanya tak pernah
melewatkan satu partai pun selama
World Cup digelar, kalau hari sudah
sore berkali-kali memotivasi timnya
dengan kalimat, “Yuk yuk yuk… set-nya
udah belum? Australia-Belanda
nih!” Maksudnya, jangan sampai
shooting-nya ngaret dan mereka
ketinggalan nonton pertandingan
Australia lawan Belanda jam 23.00
wib. Untung tim artistik pimpinan
Rico bekerja cekatan, bersaing
ketat dengan camera department
dipimpin Gunung. Andu, sang
astrada, tak kenal lelah menggalang
koordinasi dengan departemen-departemen
lain agar shooting
berjalan efisien. Memang tak
gampang bekerja sama dengan 90-
an kru dengan kondisi berpindah
tempat berkali-kali sepanjang hari
sesuai keperluan adegan. Kadang,
sambil menunggu persiapan
pengambilan adegan, aktor dan kru
menggeletak di tempat seadanya
karena di lokasi di kampung
terpencil yang cuma ada pepohonan
dan tanah lapang.
Seperti yang sering kami
jumpai pada saat shooting, warga
berkerumun menonton kegiatan
kami, kadang minta foto bareng
para aktor di sela-sela pengambilan
adegan. Ada dua aktor yang paling
laris mendapat ajakan foto bareng.
Dengan melihat foto ini, kalian pasti
bisa langsung menebak, siapakah
aktor laris itu? Dan coba tebak,
siapa saja aktor yang memerankan
Coach Indra Sjafrie, Coach Guntur,
Coach Jarot, Coach Nur Saelan dan
Adit sang kit man timnas U19?
Kerja keras di Jogja dan Solo
kemarin baru langkah awal.
Berikutnya shooting dianjutkan di
Pulau Buton, Sulawesi Tenggara
dan Pulau Alor, NTT. Film di bawah
bendera Mizan Productions ini akan
tayang di bioskop bulan ini.
16. Andibachtiar Yusuf:
Indonesia
Tidak Punya
Pembinaan
Sepakbola
16 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
REIZA PATTERS
INTERVIEW
17. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 17
Apa latar belakang ide
pembuatan film ini?
Pada dasarnya saya merasa
perlu mendokumentasikan
berbagai kejadian penting di
Indonesia. Bangsa indonesia
itu punya masalah dengan
dokumentasi. Maksud saya, begitu
berita bahwa kisah Timnas U19
diangkat ke layar lebar banyak
orang berkomentar bahwa tim
ini belum layak difilmkan karena
prestasinya baru Asia Tenggara.
Tapi di Indonesia ini orang
mudah lupa, dan sangat kurang
dokumentasi. Ini masalah umum.
Misalnya nama-nama yang
pernah besar seperti Nanda
Telambanua, Nico Tomas, Ellyas
Pical bahkan Icuk Sugiarto, atau
Nur Fitriana dan Lilis Handayani
yang pernah menyabet mendali
perak Olimpiade, anak-anak
muda jaman sekarang mana ada
yang kenal dan tahu prestasi
mereka? Jadi harus ada orang
yang mendokumentasikan kisah
mereka dalam film, baik film fiksi
maupun dokumenter. Tujuannya
agar 50 tahun lagi orang Indonesia
ingat bahwa Timnas sepak bola
kita pernah menjadi juara Asia
Tenggara meskipung di level junior
dan ketika peristiwa itu terjadi,
sambutan masyarakat begitu luar
biasa.
Lalu suatu hari tim Mizan
menghubungi saya dan
menawarkan sebuah project.
Waktu itu saya kira Mizan
menawarkan membuat film
tentang Sudirman karena
saya dengar mereka sedang
menggarap kisah ini. Ternyata
saya diajak kerja sama membuat
film Garuda 19. Tetap saya
sambut dengan gembira.
Kisah Garuda 19 ini ide
dasarnya diangkat dari buku
Semangat Membatu, meskipun
untuk skenarionya kami melakukan
banyak sekali pengembangan
sehingga berbeda dari bukunya.
Cerita Timnas U19 itu potensial
menjadi kisah yang menarik, bukan
karena ini cerita sepak bola tapi
karena ini cerita tentang orang-orang
biasa di pelosok Indonesia
yang tidak pernah dilihat oleh
orang pusat (Jakarta).
Apakah ide ceritanya sama
dengan novel yang berjudul
sama? Kalau beda, di mana letak
bedanya?
Beda, bukunya lebih bercerita
tentang Timnas junior setelah
mereka menjadi juara AFF dan
pasti lolos ke Piala Asia U19.
Tapi di filmnya kita bercerita
tentang bagaimana tim ini
terbentuk, bagaimana Indra Sjafrie
mencari mereka, kisah nyata
awal perjuangan anak-anak itu
dan setelah menjadi tim tentang
bagaimana mereka bekerja keras
untuk kemudian menjadi juara.
Bagaimana proses castingnya?
Dan apa alasan akhirnya memilih
mereka sebagai pemeran-pemeran
di film ini?
Proses casting berjalan
sebagaimana biasa. Pemeran coach
Indra Sjafrie kami tentukan dengan
berdiskusi antara saya, tim Mizan
dan penulis skenario, sehingga
muncul nama Mathias Muchus.
Pemeran coach Jarot, Guntur, Nur
Saelan, Eko dan kitman Adit kami
casting beberapa nama yang kami
rasa sesuai.
Nah, tantangan muncul ketika
casting untuk empat tokoh utama
pemain muda di Timnas U19.
Sangat sulit menemukan aktor
muda Indonesia yang aktingnya
bagus dan jago main bola.
Setelah melalui proses panjang,
termasuk casting anak-anak SSB
(Sekolah Sepak Bola), akhirnya
kami menemukan nama-nama
yang sesuai. Hasilnya terbentuklah
ensembel pemain seperti yang
akan anda lihat dalam film Garuda
19 sekarang ini. Mereka memiliki
kemampuan acting dan skill
bermain sepak bola yang sesuai
dengan kebutuhan film ini.
Shootingnya di mana zaja? Ada
gak kejadian atau pengalaman
menarik selama shooting?
Kendala-kendalanya apa zaja?
Lokasi shooting di Konawe
Selatan, Pulau Alor, Jogjakarta,
Solo dan Jakarta tentunya. Salah
satu kejadian menarik adalah saat
kita seharusnya shooting di Pulau
Buton, mendadak harus pindah
ke Konawe Selatan di Sulawesi
Tenggara. Saya dan seluruh kru
sama sekali tigak tahu seperti
apa Konawe Selatan pada waktu
datang ke sana. Padahal skenario
sudah ditulis untuk shooting
di Buton, dengan setting yang
disesuaikan dengan kondisi
alam dan budaya Buton. Nah,
berarti perlu mengubah skenario
agar sesuai untuk shooting di
Konawe Selatan. Untung penulis
skenarionya, Swastika Nohara, ikut
shooting. Jadi begitu sampai di
Konawe Selatan dia bisa langsung
membuat beberapa penyesuaian di
skenarionya.
Secara teknis tidak ada
kendala berarti. Saya shooting
bersama tim yang solid dan kita
semua bekerja keras bersama.
Kendala yang paling terasa adalah
saat shooting bersamaan dengan
berlangsungnya Piala Dunia. Saya
perlu mengatur kerja sama tim dan
membuat 90-an orang kru bekerja
seefisien mungkin agar shooting
selesai tepat waktu sehingga
kami semua bisa menonton
pertandingan Piala Dunia 2014.
Bukan hanya saya, kru dan pemain
juga ingin nonton Piala Dunia!
Apa sih yang target dari
pembuatan film ini? Dari sisi
komersial maupun dari sisi
edukasi?
Saya ingin film Garuda 19
dibicarakan dan ditonton oleh
masyarakat Indonesia sebanyak-banyaknya,
dari berbagai sudut
pandang. Sesungguhnya film
ini menyentuh berbagai aspek
dalam sepak bola Indonesia.
Misalnya bahwa Indonesia tidak
punya pembinaan sepak bola
untuk usia muda, dan dalam film
tergambarkan dari apa yang terjadi
di tahun 2012, waktu Timnas U19
mau dibentuk.
18. CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU
Aspirasi Lokal,
Inspirasi Nasional
Setelah 4 tahun selepas merilis “Hari Untuk Amanda”
pada tahun 2010, sutradara Angga Dwimas Sasongko
kini kembali hadir dengan film terbarunya yang
berjudul “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku”. Ni Beta
Maluku merupakan film pertama dari rangkaian seri
Cahaya Dari Timur yang mengangkat kisah-kisah
inspiratif dari Indonesia Timur
Cahaya Dari Timur: Beta
Maluku mengangkat kisah
nyata dari kehidupan
Sani Tawainella (Chicco
Jericho) seorang mantan
pemain sepak bola asal Tulehu,
Ambon yang sempat mewakili
Indonesia pada Piala Pelajar Asia
tahun 2016 namun gagal dalam
seleksi PSSI Baretti. Kegagalan
menjadi pemain sepakbola
professional membuatnya pulang
kampung dan menjadi tukang ojek
untuk menghidupi keluarganya. Pada
saat konflik Maluku pecah awal tahun
18 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
ROHMAN SULISTIONO
REVIEW
2000-an, Sani mengumpulkan anak-anak
Tulehu untuk berlatih sepak bola
dengan tujuan menghindari anak-anak
tersebut dari konflik. Ditengah
segala kekurangan serta problematika
ekonomi dan keluarga yang dialami
Sani, Sani berhasil membangun tim
yang menjadi kebanggan Tulehu
dengan mampu mewakili Maluku
dalam kejuaran Nasional U-15 2006
di Jakarta.
Cahaya Dari Timur: Beta Maluku,
sepintas memang film bertemakan
sepakbola, namun ditelisik lebih
kedalam, film ini mengangkat isu
sosial dan budaya yang terjadi di
negeri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa
konflik Maluku yang secara tidak
langsung mempengaruhi psikologi
anak Tulehu yang menjadi Rasis
terhadap agama lain hingga akhirnya
dipersatukan dengan sepakbola. Film
ini melampirkan pesan perdamaian
antar umat beragama, tidak hanya
untuk di Tulehu, tapi untuk semua
manusia.
Cahaya Dari Timur: Beta Maluku
tidak terperangkap pada kebiasaan
film-film sejenis yang pemeran
utamanya datang bak pahlawan lalu
mengubah nasib beberapa orang
dan ditampilkan sempurna tanpa
cacat layaknya dewa. Dalam film ini
penonton akan disuguhkan sosok
Sani Tawainella yang seperti manusia
biasa yang sesekali mengalami
kegagalan. Penonton akan ikut
merasakan kegetiran Sani yang telah
sayang terhadap anak-anak didiknya
namun terus ditekan oleh himpitan
ekonomi dan keluarganya. Sosok
Sani tidak terjebak dalam heroisme
berlebihan. Penuturan tahap demi
tahap perjuangan Sani mengajarkan
penonton bahwa siapapun bisa
membawa perubahan baik bagi
lingkungannya.
Pengalaman adalah guru terbaik,
pepatah tersebut tepat disematkan
19. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 19
kepada M. Irfan Ramli, scriptwriter
dari Cahaya Dari Timur. Merasakan
sendiri masa-masa konflik Maluku
membuat naskah skenario yang
dibuat bersama Swastika Nohara
begitu dekat dengan kejadian nyata
serta setting tempatnya. Detail-detail
adegan seperti kebiasaan-kebiasaan
orang Tulehu serta logat
aslinya terasa sepanjang film. Yang
paling terasa adalah sepanjang film
hampir mayoritas menggunakan
bahasa Melayu Tulehu asli beserta
logat khasnya. Tentu saja hal ini
merupakan nilai plus untuk film ini.
Lebih baik menggunakan bahasa
asli dan menggunakan subtitle
agar terasa lebih natural dibanding
harus meninggalkan bahasa setting
tempatnya dengan menggunakan
bahasa Indonesia agar (niatnya)
menambah nilai komersial yang
malah menurunkan kualitas dari film
tersebut.
Penampilan seluruh pemain
dalam film ini patut diberikan
apresiasi baik. Baik artis ibukota
yang diboyong dari Jakarta sampai
“Rising Star” anak-anak asli Maluku
melakukan penampilan yang baik
sehingga terasa seperti orang Tulehu
sesungguhnya. Penampilan Chicco
Jericho sebagai Sani Tawainella
mampu menarik perhatian penonton.
Lupakan Chicco yang selalu terlihat
mulus dan selalu bersih dengan
pakaian necis wara-wiri di televisi,
melalui debut pertamanya didunia
film, Chicco mampu menunjukan
bahwa dia memang aktor yang layak
untuk bermain film. Penonton tidak
akan merasa melihat Chicco, namun
Sani. Chicco mampu memberikan
kenangan manis didebut nya didunia
film. Penampilan pemain lain seperti
Shafira Umn, Jajang C. Noer, Glenn
Fredly, Serta Ridho “Slank” semuanya
bermain baik sesuai dengan posisinya.
Terlebih Ridho “Slank” yang aktingnya
mampu diatas rata-rata, aktingnya
sama baiknya seperti saat sedang
bermain gitar di Slank, terasa hidup
dan menjiwai. Dan jangan lupakan
penampilan anak-anak asli Maluku
yang mampu mencuri perhatian
dalam debut mereka. Berpenampilan
baik sebagai anak-anak Tulehu
dengan tidak merasa minder dengan
actor-aktor senior yang beradu acting
dengan mereka.
Melalui Cahaya Dari Timur,
Angga Dwimas Sasongko sebagai
sutradara menjadikan sebagai
batu loncatan ke level baru dalam
pengalaman berkaryanya. Apabila
dalam “Hari Untuk Amanda” hanya
men-direct dengan cast yang
tak begitu banyak, dalam film ini
Angga harus menangani film yang
lebih besar dan tentu saja lebih
complex. Menangani film ini sebagai
sutradara dan produser tentu saja
membuat Angga harus menangani
film ini dari A sampai Z sehingga
film ini lebih emosional untuknya.
Hasilnya, sebuah sajian yang terasa
sepenuhnya dari hati untuk para
penonton. Sinematografi yang patut
diacungi jempol terutama moment-moment
penting saat pertandingan
sepak bola yang begitu menarik dan
begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk
meng-capture pemandangan indah
Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi”
mampu mempromosikan Belitong
dan “5cm” dengan Mahameru-nya,
Cahaya dari Timur mampu
menampilkan pesona Tulehu dengan
bauk. Terutama Pantai-nya yang
bersih dan begitu biru.
Secara keseluruhan, Cahaya Dari
Timur merupakan tontonan bergizi
bagi masyarakat Indonesia yang
selama ini “terpaksa” disuguhkan
oleh film dengan muatan “polusi”.
Memberikan kisah inspiratif yang
dengan membumi serta didukung
dengan sisi teknis seperti directing,
penampilan para cast, serta cerita
yang mumpuni membuat Cahay Dari
Timur seperti film dengan komposisi
yang hampir sempurna. Tidak
melebihkan, namun saat menonton
film ini banyak moment yang begitu
menggetarkan bahkan membuat
campur aduk perasaan. Tak percaya?
Rasakan moment-moment akhir
dalam film ini. Bisa saya katakan
bahwa moment terakhir dalam film
ini adalah salah satu moment terakhir
terbaik selama saya menonton film
dibioskop. Film yang begitu berkesan
dan inspiratif. Dengan harga tiket
bioskop yang dibeli penonton
mendapat tontonan menghibur
sekaligus inspiratif. Menandakan awal
dari seri Cahay Dari Timur, sangat
diharapkan agar seri selanjutnya
memiliki kualitas yang sama atau
bahkan lebih baik. Indonesia butuh
film seperti ini, yang memiliki muatan
Edukatif.
20. Komedi Satir Yang
Terantisipasi Namun
Sarat Nilai
Realitas kehidupan dunia politik sebuah bangsa memang penuh liku-liku. Dari
mulai hal-hal baik yang bermanfaat untuk banyak orang, hingga hal-hal pribadi
yang seringkali menghubungan antara politik, uang dan urusan ranjang. Ide ini
diangkat oleh Lola Amaria dalam film Negeri Tanpa Telinga.
REVIEW
Film ini menceritakan kisah
seorang bapak bernama
Naga (T. Rifnu Wikana) yang
berprofesi sebagai pemijat
refleksi panggilan. Kehebatannya
dalam menyembuhkan penyakit
dengan pijat refleksi membuatnya
banyak memiliki klien dari
berbagai kalangan. Mulai dari
artis, para petinggi partai politik,
pemerintahan hingga kelompok
jurnalis.
Sebagai tukang pijat ia
seringkali menjadi pendengar
semua perbincangan orang-orang
penting itu. Bahkan tidak
sedikit yang memang sengaja
mengajak Naga berdiskusi
sambil dipijat. Tanpa diminta, ia
mendengarkan bagaimana Partai
Martobat yang dipimpin oleh
20 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Piton Wangsalaba (Ray Sahetapy)
berusaha mengumpulkan dana
untuk konvensi. Caranya adalah
dengan menggolkan proyek
wisma Khayangan. Ia juga tahu
persis peran Mentri Joko Ringkik
(Rukman Rosardi), Marmood
(Tanta Ginting)sang bendahara
partai, dan Tikis Queenta (Kelly
Tandiono) anggota legislatif sang
pelobi ulung. Sejumlah kader
petinggi partai itu memang pasien
Pak Naga.
Sementara itu di sisi lain Partai
Amal Syurga yang dipimpin Ustad
Etawa (Lukman Sardi) sedang
mengatur tender Impor Daging
Domba. Naga mendengar dengan
jelas ketika memijat kader-kader
partai ini, bagaimana simbol-simbol
keagamaan digunakan
sebagai kedok memperkaya
diri sendiri. Tak hanya soal
uang, Naga pun jadi saksi
ketika transaksi urusan ranjang
dilakukan oleh para penguasa
tersebut. Ia bahkan memijat
Tikis Queenta yang kelelahan
setelah melakukan “lobi-lobi”
dengan sejumlah rekan anggota
dewannya.
Dengan plot tersebut, kita
dengan mudah menangkap
apa gerangan yang ingin
digambarkan dalam film tersebut.
Film yang skenarionya ditulis
oleh Indra Tranggono dan Lola
Amaria ini memang sengaja
memotret realitas kehidupan
politik kontemporer di Indonesia.
Mereka membawanya secara
satir untuk menyindir dan
21. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 21
memvisualisasikannya dalam
adegan-adegan film ini.
“Ide cerita ini saya dapatkan
karena selama 5 tahun ke
belakang media begitu gamblang
menceritakan soal skandal-skandal
korupsi dan politik di negeri ini.
Bahkan sidangnya pun disiarkan
secara langsung,” ujar Lola Amaria
yang juga berperan sebagai
sutradara.
Agak disayangkan bahwa film ini
digulirkan dalam plot genre komedi.
Dengan dengan tipenya yang satir,
sulit untuk bisa menjadikan film ini
menjadi sebuah tontonan komedia
yang bisa membuat kita tertawa dan
melupakan sejenak beban hidup
dan malah justru membuat dahi
berkerut walaupun mungkin masih
bisa tertawa kecil, di dalam hati atau
hanya sekedar tersenyum.
Aline Jusira yang menjadi editor
di film ini pun mengakui kesulitan
mempertahankan komedi ini. “Plot
aslinya peran Ustad Etawa sudah
selesai di 20 menit awal. Namun
jika plot dibiarkan seperti itu, film ini
akan menjadi membosankan. Karena
itu plot cerita kita bongkar ulang
untuk memperpanjang kehadiran
Etawa yang terbukti lucu,” papar
Aline.
Pembelokan premis yang tak
terantisipasi penonton adalah
hal penting untuk membangun
sebuah alur komedi. Semakin jauh
sebuah hasil akhir (punch line)
dengan premis akan makin tercipta
kelucuannya. Dan dalam film ini
memang sudah berusaha dibangun
punchline yang baik, seperti contoh
dialog seorang kader partai Amal
Surga pada pimpinan partainya,
“Saya sudah ikhtiar dan tawakal
Ustad, supaya korupsi kita tidak
ketahuan.”
Persoalannya, hal inipun sudah
terantisipasi oleh penonton, karena
film Negeri Tanpa Telinga memang
mengambil ide satir dari kasus-kasus
yang sudah sering kita simak
pemberitaannya di televisi. Meski
Lola Amaria dan Indra Tranggono
mengaku telah lepas dari fakta
dan mencoba membuat realitas
baru, tetap saja hal ini dengan
mudah dicerna oleh penonton dan
mengasosiasikannya dengan tokoh
yang ada di dunia nyata sehari-hari.
Ini mugkin sebab yang menjadikan
hanya sedikitnya terdapat kejutan
untuk membuat penonton tertawa
karena jalannya scene sudah
terantisipasi.
Namun begitu, patut diakui
bahwa film ini telah berusaha
dengan berani memotret kisah-kisah
buruk negeri ini secara gamblang.
Aksi-aksi pemerannya yang diatas
rata-rata juga bisa membuat nilai
tambah. Film yang menampilkan
Gery Iskak sebagai sosok paling
vokal dalam pemberantasan korupsi,
Lukman Sardi sebagai seorang ustad
dan Kelly Tandiono sebagai pelobi
ulung yang tidak kenal halal dan
haram. Hadir juga Ray Sahetapy,
Tanta Ginting, dan Jenny Zhang
yang punya peran tidak kalah
menarik.
Salah satu adegan yang layak
diperhatikan adalah antara Ray
Sahetapy dan Jenny Zhang yang
dilakukan dalam mobil. Adegan ini
terasa begitu natural dan menguras
emosi. Bahkan sebagai pemeran
Ray juga mengaku melatih adegan
ini berkali-kali. Kemudian jangan
lepaskan mata dari tokoh Tikis
Queenta sang pelobi ulung. Killer
body-nya Kelly Tandiono yang
memerankan tokoh ini dijamin bikin
meleleh. Di awal ia sudah tampil
dengan perut rata cenderung
sixpack-nya sambil olah raga lari.
Di beberapa adegan ia muncul
hanya mengenakan pakaian dalam
seksi two pieces warna merah. Dan
tercatat sekurangnya ia beradengan
cinta dengan tiga laki-laki berbeda
di film ini.
Sayang sekali, setelah film ini
rilis, terdengar kabar bahwa Lola
Amaria harus mendapatkan teror.
Penyebabnya tak lain adalah karena
alur cerita film ini yang mengangkat
banyak skandal di kehidupan politik
elit Republik Indonesia. Mulai dari
cerita seks, kisah para pelobi yang
menghalalkan banyak cara sampai
koruptor yang divisualisasikan lewat
akting di film ini. Semoga film ini
bisa terdokumentasikan dengan
baik dan bisa menjadi pelajaran
bagi generasi penerus tentang satu
masa gelap kehidupan politik elit di
negeri ini.
22. REVIEW
“Teman-teman, hari ini aku
ingin bercerita tentang tempat
tinggalku, sebuah pasar kecil
ditengah kota Jakarta.Aku mau
bercerita tentang sajadah dan telur
ayam sahabatku”. - Rindu
ROHMAN SULISTIONO
Potret Interaksi Sosial
Masih ingatkah dengan
sesosok gadis kecil
yang selalu menghalau
setiap orang untuk
mengisi sejadah kosong di samping
kanannya untuk memberi ruang
kepada ibunya yang entah kemana
bernama Asih (Putri Mulia)? Lalu
ada Bimo (Sakurta Ginting), adik
dari seorang penjual telur yang
“terobsesi” dengan wanita cantik
yang tinggal di dekat rumahnya.
Dan Rindu (Raisha Pramesi) gadis
kecil Tunarungu yang selalu
menggambar masjid tanpa kubah.
Melalui ketiga anak inilah, penonton
dibawa ke dalam karya ketujuh
dari sutradara Garin Nugroho,
22 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Rindu Kami Padamu. Karya yang
mempesona dan penuh inspirasi.
Rindu Kami Padamu
memvisualisasikan sebuah
interaksi sosial di pasar tradisional
secara apa adanya dan natural.
Mengangkat kisah hidup rakyat
kelas bawah yang “terkurung”
dalam sebuah tempat mencari
nafkah dengan treatment yang
sederhana dan terasa membumi.
Film ini mencoba menggambarkan
situasi serta kehidupan masyarakat
pasar tradisional di mana mereka
tinggal dan bekerja di dalamnya
dengan beberapa polemik yang
menyertai, yang digambarkan
dengan fokus persoalan yang
dialami oleh tiga tokoh anak di
dalamnya.
Penggambaran situasi pasar
oleh Garin Nugroho terlihat
begitu nyata dan penuh detail.
Penggunaan kamera statis namun
mampu menangkap kerumunan
serta kesibukan pasar tradisional
dapat tertangkap dengan baik dan
sederhana. Detil-detil kehidupan
para karakter di pasar juga mampu
disuguhkan dengan baik seperti
proses pengecapan telor, anak-anak
pengajian yang mengaji di
Musholla, permainan badminton
seadanya, serta anak-anak yang
bermain di tengah hiruk pikuk pasar.
Garin terlihat ingin menggambarkan
RINDU KAMI PADAMU:
23. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 23
suasana
pasar tradisional secara menyeluruh
dan mendalam sehingga tidak
hanya apa yang tampak di
permukaannya saja. Dan hasilnya
bisa dibilang Garin dengan piawai
mampu menggunakan setting utama
pada film ini dengan baik dan
memberi sudut pandang lain kepada
penonton terhadap pasar tradisional.
Penampilan tiga tokoh sentral
yang ketiganya merupakan anak
kecil, mampu menghasilkan karakter
yang cukup kuat dalam Rindu Kami
Padamu. Ketiganya (Asih, Bimo,
dan Rindu) mampu memainkan
karakternya masing-masing dengan
apik dan terlihat natural, polos, dan
jujur khas anak-anak. Namun yang
paling menonjol tentu penampilan
Sakurta Ginting sebagai Bimo.
Penampilan “Kipli” (peran populer
Sakurta Ginting dalam seri Kiamat
Sudah Dekat) sungguh menawan
dan mencuri perhatian sejak film
dimulai. Mampu menampilkan
karakter bocah yang haus kasih
sayang ibu serta “terobsesi” akan
gadis cantik yang tinggal dekat
rumahnya yang membuatnya
menjadi posesif. Penampilan
perdana Sakurta Ginting dalam film
ini merupakan awal yang sangat
baik dan membawanya cukup laris
mondar mandir di televisi, baik
sebagai bintang iklan atau aktor
serial televisi Indonesia.
Penampilan menawan juga
ditampilkan oleh dua aktor senior,
Didi Petet dan Jaja Miharja. Menjadi
duo “penghuni musholla”, mereka
menunjukkan kelasnya dalam
memerankan tokoh Bagja dan
Sabeni. Bagja, seorang ustad yang
menghabiskan kehidupannya untuk
memakmurkan musholla sederhana
tak berkubah di tengah pasar,
dengan mengajar mengaji anak-anak
yang tinggal di pasar. Karakter Bagja
tidak terjebak kedalam sosok Ustad
yang selalu benar dan sebagai solusi
setiap masalah dan digambarkan
secara manusiawi namun namun
tetap idealis.
Begitupun dengan Sabeni,
ayah dari Asih yang merupakan
“Soulmate” dari Bagja yang
dibawakan begitu natural dan
bersahabat oleh Jaja Miharja. Pola
tingkahnya menjadi “penyegar”
dalam film ini. Apabila Bimo
terobsesi dengan gadis cantik,
Sabeni juga terobsesi, namun
dengan mikrofon dan pengeras
suara musholla.
Setiap momen dalam Rindu
Kami Padamu diiringi ilustrasi musik
yang tak kalah menggugah dari
filmnya. Musisi Dwiki Dharmawan
mampu meracik nada demi
nada yang mendampingi setiap
adegan dalam film ini sehingga
Rindu Kami Padamu terasa begitu
syahdu namun tetap membumi
dan sederhana. Lagu Rindu Rasul
yang dibawakan Bimbo terasa
menggetarkan Hati. Beberapa Scene
yang diiringi lagu ini begitu
menggugah dan membuat
pesan yang ingin disampaikan
melalui Rindu Kami Padamu
semakin menguat. Wajar
apabila ilustrasi musik dalam
Rindu Kami Padamu mendapat
Musik Terpuji pada Festival Film
Bandung 2005.
Melalui film yang
mendapat penghargaan Best
Film Cinefan – Festival of
Asian and Arab Cinema pada
tahun 2005, Garin Nugroho
mampu memadukan kisah
kehidupan di pasar tradisional
yang terlihat natural dan apa
adanya dengan interaksi dan
pendekatan yang terasa intim
dibalut dengan ilustrasi musik
yang menawan dan penampilan
para karakter dalam film ini
yang memikat. Hasilnya, sebuah
tontonan yang menarik dengan
cerita yang mendalam. Bisa dibilang
Rindu Kami Padamu merupakan film
Garin Nugroho lebih mudah dicerna
penonton dibanding film beliau
yang lain. Sebuah persembahan
yang cukup megah yang ditawarkan
dengan berbagai kesederhanaan.
24. REVIEW
Yang Ketu7uh
Potret Kontradiksi Ironis Negeri
Film Dokumenter Yang Ketu7uh, karya WatchDoc, sebuah lembaga kreatif yang
mengkhususkan diri pada pembuatan film-film dokumenter, adalah sebuah film yang
berusaha memvisualisasikan eforia politik di Indonesia dalam pemilihan umum yang
digelar pada tahun 2014 ini. Film ini mendokumentasikan proses pemilihan umum dan
bentuk kontradiksinya dengan situasi dan kondisi rakyat Indonesia kebanyakan.
Film dimulai dengan
dokumentasi kedatangan
Soekarno dari Jogja
setelah penyerahan
kedaulatan 29 Desember
1949 di Jakarta, yang disambut
oleh ribuan rakyat yang terlihat
sangat mencintainya. Saat itu,
Soekarno sekaligus memindahkan
kembali Ibukota Negara ke
Jakarta dan untuk pertamakalinya
Presiden menggunakan Rijwick
sebagai Istana Negara. Potongan
dokumentasi ini terlihat seperti
ingin membandingkan Soekarno
24 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
dengan calon-calon pemimpin
yang sedang bertarung dalam
pemilihan umum pada potongan-potongan
dokumentasi yang terjahit
selanjutnya dalam film tersebut.
Kemudian film berlanjut dengan
penggambaran tentang proses
politik pemilihan umum dari tahun
2009, di mana saat itu, Prabowo
Subianto justru berpasangan
dengan Megawati, Calon Presiden
dari PDIP. Sedangkan pada tahun
2014 ini, kita tahu bahwa Prabowo
maju menjadi calon Presiden
berhadapan dengan Joko Widodo,
calon Presiden dari PDIP, partai
politik yang dipimpin oleh Megawati.
Penggambaran ini seolah ingin
mengingatkan pada publik bahwa
dalam politik, para pelakunya tidak
selamanya berada dalam satu
barisan yang sama.
Dokumentasi dari kedua kubu
calon Presiden yang bertarungjuga
tersaji dengan apik, seperti saat
Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK
mengambil nomor urut di KPU.
Kemudian dilanjutkan dengan
pidato capres nomor urut 1,
Prabowo Subianto yang disambut
REIZA PATTERS
25. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 25
dengan penuh semangat oleh
para pendukungnya. Kemudian,
mendokumentasikan konser ‘Salam
2 Jari ‘yang diikuti ribuan pendukung
Jokowi-JK di Gelora Bung Karno.
Momen pencoblosan pilpres yang
dilakukan pada 9 Juli 2014 hingga
pengumuman KPU pada 22 Juli
2014 juga tersaji apik di film
dokumenter Yang Ketujuh ini. Hingga
kemudian pidato kemenangan
presiden Joko Widodo (Jokowi) yang
didampingi Jusuf Kalla (JK) di atas
kapal pinisi, di pelabuhan Sunda
Kelapa.
Lalu gambar demi gambar
berjalan dengan tampilan
kontradiktif dan penuh ironis di
dalamnya. Bagaimana peggambaran
tentang gegap gempita, kemewahan
dalam kegiatan politik di tingkat
elit, dengan situasi, kondisi dan
keadaan yang lebih nyata di tingkat
rakyat bawah. Misalnya ada adegan
dokumentasi kampanye capres,
di mana menampilkan Rhoma
Irama dan Titik Soeharto yang
menyanyikan lagu “Yang kaya makin
kaya, yang miskin makin miskin”
ini seolah memberikan ironi bahwa
yang menyanyikan iu adalah orang
yang lebih dari separuh umur
hidupnya berada di tengah situasi
bergelimang harta dan pusaran
kekuasaan. Ini ironi yang sangat
nyata ditampilkan dalam film
tersebut.
Yang Ketu7uh bukan melulu
bercerita soal capres atau
relawannya, melainkan tentang
empat profil pemilih pada momen
Pemilu 2014 lalu. Seperti layaknya
konsep statistik, mereka menjadi
sampling dari tiga kelompok di
masyarakat, yakni urban, sub
urban dan rural. Pun dengan faktor
domisilinya, ada tukang ojek dan
kuli bangunan di ibukota, buruh cuci
di Tangerang Selatan, serta petani
penggarap di Indramayu. Bagaimana
pergulatan hidup mereka sehari-hari
dikupas lebih dalam. Di sini mereka
berkisah seputar isu-isu yang
fundamental di masyarakat.Tampilan
kontrakdisi ironis dalam keriuhan
dan kemewahan kampanye partai-partai
politik beserta elit-elitnya
versus kehidupan berat rakyat dan
kekumuhan, menjadikan film ini
menarik untuk diperbincangkan.
Namun, adegan demi adegan
yang terkesan berulang, karena tidak
ditampilkan secara utuh melainkan
ditampilkan secara bergantian,
sedikit menghilangkan sisi
emosional atas situasi kontradiktif
yang ada di dalam film tersebut dan
membuat kita tidak merasakan titik
klimaks dari film itu.
26. Ya mungkin karena itu film
dokumenter yang ber sekitar 1 jam
15 menit. Namun bagaimanapun,
sebuah film yang memiliki pesan
tertentu sebaiknya ditampilkan
dengan tetap memperhitungkan sisi
emosional penonton agar pesan
tersebut dpat terinternalisasikan
dengan baik di benak penontonnya.
Dan yang paling penting,
jangan terkecoh dengan judulnya
yang terkesan dramatis. Judul itu
hanya menguatkan isi film saja
bahwa pemilihan umum 2014 yang
bermuara pada pemilihan Presiden
itu adalah untuk memilih Presiden
Republik Indonesia yang ke 7.
Dan pesan bahwa siapapun yang
menjadi Presiden Yang Ketu7uh,
akan menghadapi tantangan dari
situasi dan kondisi kehidupan rakyat
yang cukup berat, yang memang
tergambarkan cukup baik dalam
dokumentasi 17 videografer yang
26 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
terlibat dalam pembuatan film
tersebut.
Dan yang bisa direnungkan
setelah menonton film ini adalah
dialog berbentuk diskusi di
sebuah gubuk di tengah sawah
yang dilakukan oleh 4 orang
petani. Dialog dan body language
dari orang-orang dalam adegan
tersebut seperti penyimpulan dari
keseluruhan film ini, yaitu tentang
perbedaan pemahaman dan
keberpihakan politik, kedewasaan
untuk menerima kemenangan dan
kekalahan politik, ketidakpedulian
rakyat bawah atas gegap gempita
pemilu yang dirasakan tidak
berpengaruh apa-apa pada
kehidupan mereka sehari-hari.
Ya, secara keseluruhan film ini
memberikan gambaran tentang
kompetisi perebutan kekuasaan,
situasi kehidupan rakyat yang
semakin hari semakin berat dan
harapan atas kualitas hidup yang
lebih baik. Jadi, tonton film versi
boskopnya yang akan rilis tanggal
18 September 2014 ini dan siap-siap
berkerut dahi dan banyak tersenyum
menyaksikan sedikit dari ironi
bangsa ini.
APA KATA MEREKA
Produser Yang Ketu7uh, Hellena
Yoranita Souisa, menerangkan
bahwa pandangan orang biasa
lebih penting dibanding pandangan
para anggota tim sukses yang
dijejalkan ke khalayak selama ini.
Pemilu terlihat berbeda dari sisi
orang-orang yang umumnya tinggal
di wilayah pinggiran. Misalnya,
pemilu itu ternyata tidak “rusuh”,
tidak “hiruk-pikuk”, seperti yang
dibayangkan orang selama ini.
Mereka yang tampil dalam Ketu7uh
dipilih secara acak dan tersebar di
berbagai wilayah, mulai Indramayu,
27. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 27
Tangerang, Jakarta, Ende, hingga
Samarinda. Karena tokoh-tokoh
utama dokumenter ini berasal dari
berbagai wilayah.
Menurut Dandhy Laksono,
Sutradara film ini, tokoh dalam
filmnya dipilih dengan basis riset
atas masalah (issue driven). “Kami
memilih 3 isu fundamental yang ada
di masyarakat: masalah domestik
(harga sembako), pekerjaan/
pengangguran, dan kepemilikan
tanah serta ketahanan pangan,” ujar
Dhandy.
Dandhy sendiri dikenal sebagai
sutradara film dokumenter yang
kerap mengambil tema sosial,
politik dan hak asasi manusia.
Salah satu film terakhirnya adalah
“Kiri Hijau Kanan Merah” yang
mengangkat soal sosok Munir serta
“Alkinemokiye” yang bercerita soal
kekerasan yang dilakukan oleh
aparat kepolisian kepada karyawan
Freeport pada 2012.
Andhy Panca Kurniawan, Direktur
Watchdoc menyebutkan bahwa
mereka memang ingin memotret
bagaimana antusiasme masyarakat
dalam menyikapi pemilu sebagai
salah satu aspek dalam mengubah
kehidupan mereka sehari-hari.
Pemilihan wajah-wajah rakyat kecil
yang mereka dokumentasikan, yang
kontras dengan segala gegap-gempita
dan kemeriahan pemilu
adalah sarana untuk menunjukkan
realitas ini dan sekaligus sebagai
pendidikan politik bagi masyarakat.
“Ini berawal dari gagasan kami
untuk menyederhanakan sesuatu
yang kelihatannya sangat susah,
sangat tinggi, dan mahal,” ujar pria
yang akrab dipanggil Panca ini. “Kita
ingin merekam anomali ini, rasa
sakit yang mendera masyarakat
setiap hari. Supaya masyarakat
tahu ini loh siklusnya. Film ini juga
sebagai booster, yang mendorong
dan mengingatkan pemerintah
supaya lebih fokus memperhatikan
rakyat. Yang mana itu adalah janji
dari kedua capres,” pungkas Panca.
Farid Gaban, wartawan senior
yang juga hadir dalam acara
pemutaran film “Yang Ketujuh” ini
juga sangat mengapresiasi film
tersebut.
“Film ini bagus pertama karena
merupakan karya dokumentasi
dari beberapa videografer. Ini
menunjukkan sudut pandang
yang lebih beragam. Yang
kedua, dari sisi konten
memperlihatkan dinamika
dari pemilu. Tak sekadar
fokus memotret soal
kampanye, tapi beberapa
juga men-shoot wajah
rakyat kebanyakan,” ujar
Farid.
Menurut Farid, film
yang tidak mainstream
namun bersentuhan langsung
dan menampakkan potret
masyarakat, justru merupakan
film yang paling dibutuhkan
masyarakat.
“Film seperti ini bagus
untuk pendidikan politik bagi
masyarakat. Titik pentingnya
di situ. Menurut saya ini
harus diperbanyak. Ini baru
eksperimen dari Katadata dan
Watchdoc. Apalagi sekarang banyak
orang yang bisa bikin video. Bikin
tema-tema lebih beragam tentang
pertanian, perburuhan, transportasi
dan layanan publik lain yang
sebenarnya sangat berhubungan
erat dengan politik tapi kurang
diliput oleh wartawan,” ujar Farid
Gaban.
Ade Wahyudi, Managing Director
Kata data pun mengakui film-film
dokumentasi publik yang memotret
kehidupan masyarakat kecil
merupakan hadiah untuk masyarakat
atas terselenggaranya pemilu yang
berlangsung damai.
“Film ini ingin menyampaikan
bahwa ada masyarakat yang jauh
dari sorotan media. Mereka bukan
aktivis atau tim sukses. Tapi mereka
antusias sekali ikut pemilu. Kita
coba melihat pemilu dari kacamata
mereka,” terang Ade yang berharap
agar pemerintahan mendatang tidak
mengkhianati
harapan
rakyat ini.
Farid Gaban
28. REVIEW
RUROUNI KENSHIN: KYOTO INFERNO
Upaya Mengembalikan
Masa Lalu
Melanjutkan cerita dari film live action pertamanya yaitu Rurouni Kenshin: Meiji Kenkaku
Roman Tan, di sekuel kedua ini bercerita tentang Pemerintahan Jepang yang meminta
bantuan dari sang pengembara (Rurouni) Kenshin yang sekarang menjadi penghuni tetap
dojo Kamiya.
VITAMORGANA & KARINA
Kenshin didekati oleh
pemerintah untuk
menghentikan kelompok
pemberontak yang ingin
merebut kendali negara. Kelompok
pemberontak tersebut dipimpin oleh
salah satu rekan sang pembantai
Batosai Himura bernama Shishio
Makoto. Batosai Himura adalah masa
lalu Kenshin sebelum ia memutuskan
untuk menjadi pengembara dan
28 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
tidak ingin membunuh lagi.
Shishio menaruh dendam
pada pemerintah Meiji
kerena dianggap pernah
mengkhianatinya dan
membakarnya hidup-hidup.
Kenshin diminta oleh
Menteri Okubo untuk
melawan Shishio. Untuk
itu, Kenshin diminta untuk
melakukan perjalanan
29. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 29
ke Kyoto yang merupakan inti
dari era Bakumatsu berdarah dan
menghentikan Shishio serta para
pengikutnya. Permintaan tersebut
bertentangan dengan keinginan
Kenshin untuk tidak membunuh
lagi secara langsung. Namun demi
menyelamatkan Negerinya serta
orang-orang tercintanya, akankah
Kenshin menghapuskan keinginan
tersebut dan bersedian melawan
Shishio yang merupakan musuh
yang memiliki ketangguhan sama
dengannya?
Sutradara Keishi Otomo dan
koreografer Kenji Tanigaki berusaha
memaksimalkan film ini dengan
adegan pertarungan yang apik,
diiringi pula dengan musik latar
yang terdengar pas dan tidak
berlebihan. Selain menampilkan
action yang memukau, kisah drama
percintaan juga mewarnai film
ini serta konflik-konflik menarik
yang terjadi sepanjang 139 menit.
Gimmick tersebut membuat film ini
tak terasa membosankan penonton
untuk mengikuti alur cerita film
ini. Penonton tak hanya dibuat
tegang dengan pertarungan, namun
juga bisa merasakan manisnya
romantisme bahkan sesekali
menertawakan tingkah polah lucu
para pemain di film yang diangkat
dari Anime Samurai X ini.
Didukung para pemain
berwajah tampan dan cantik yang
menampilkan akting yang memukau,
nenambah gereget dan menambah
gimmick tersendiri bagi para
penonton. Film ini tak hanya bisa
dinikmati oleh para pecinta anime
saja, karena film ini menyajikan kisah
menarik yang akan mengantarkan
rasa penasaran penonton untuk
menantikan kelanjutan kisah film ini.
30. FESTIVAL
Festival Eurasia terbesar di dunia
Tong Tong Fair kembali
digelar di Belanda
RIAN SAMIN Yang menarik pada tahun
30 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
ini, menginjak usianya
yang ke 56, festival yang
selalu dihelat di lapangan
Malieveld, Den Haag ini menggelar
diskusi dan pemutaran fragmen
film Indonesia di Tong Tong Teater.
Pemutaran tersebut dilaksanakan
pada 6, 8, dan 9 Juni 2014. Satu
di antara film yang diputar adalah
Soegija, pemeran utama wanita
film tersebut, Annisa Hertami hadir
sebagai perwakilan. Pada diskusi
dan tanya jawab setelah pemutaran
fragmen, Annisa mengungkapkan
bahwa betapapun pada masa lalu
hubungan Belanda dan Indonesia
31. Hingga 9 Juni 2014 kemarin, festival ini sudah
diselenggarakan sejak tahun 1959 di kota Den Haag.
Di sanalah berbagai pekerja seni, penulis, dosen
hingga juru masak baik dari Indonesia, Singapura,
Malaysia, Vietnam, Kamboja, Srilanka dan Amerika
berkumpul untuk berpartisipasi dalam acara ini.
Pengunjung dapat nenikmati pertunjukan musik,
tari, seni, workshop hingga aneka panganan khas
negara-negara partisipan.
2014 l Edisi 9 l Kinescope l 31
tidak baik, namun kita semua harus
belajar dari sejarah, entah itu baik
maupun buruk untuk menjadi lebih
baik lagi.
Annisa juga mengemukakan
bahwa keterlibatannya dalam film
ini juga sebagai perayaan terhadap
multikulturalisme yang ada di
Indonesia. Di sela sela diskusi,
pemeran Mariyem ini memberikan
kejutan dengan menyanyikan sebuah
lagu yang ada dalam film tersebut
yaitu ‘Ajoen Ajoen’, spontan para
penonton yang memiliki nostalgia
terhadap lagu tersebut ikut
bernyanyi bersamanya.
Pada 8 Juni 2014, film Laura
Marsha yang diwakili oleh produser
film Leni Lolang dan sutradara
film tersebut Dina Jasanti diputar
pada pukul 19.00. Film ini juga
mengambil salah satu lokasi di
Belanda, yaitu kota Amsterdam.
Yang terakhir, sekaligus bersamaan
dengan penutupan Tong Tong Fair
pada 9 Juni 2014, diputar fragmen
film Ainun Habibie dan dilanjutkan
dengan diskusi serta tanya jawab
oleh supporting talent film tersebut,
Vita Mariana Barazza.
Sebelumnya pada
penyelenggaraan ke 55 tahun 2013
lalu juga diputar satu film Indonesia
yang disutradarai Ifa Isfansyah. Pada
pemutaran Film Sang Penari ini
juga mendatangkan penulis novel
Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad
Tohari yang menjadi inspirasi film ini.
32. FESTIVAL
The 1st Jogja Miniprint
Biennale (JMB) 2014
Sebanyak 140 karya mini print dari 72 seniman yang berasal dari 23 negara dipamerkan di
Museum Bank Indonesia, Jl. Panembahan Senopati 2, Yogyakarta. Pameran The 1st Jogja
Miniprint Biennale (JMB) 2014 yang berlangsung 6 – 13 Juni ini dibuka dengan demo intaglio I
oleh pegrafis Yogyakarta.
Selain itu pada malam
pembukaan tersebut juga
diumumkan tiga karya
terbaik pemenang JMB
Award 2014, dan Special Perfor-mance
Ade Aryana Uli Pandjaitan.
Negara yang berpartisipasi dalam
pameran ini adalah Indonesia, Ar-gentina,
Australia, Belgia, Bulgaria,
Brazilia, Estonia, Finlandia, Hun-garia,
India, Italia, Inggris, Irlandia,
Jepang, Kanada, Montenegro,
Malaysia, Norwegia, Perancis, Po-landia,
32 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Serbia, Turki dan Ukraina.
Jogja Miniprint Biennale (JMB)
yang pertama ini digelar untuk
menyebarluaskan seni cetak grafis
ke tengah masyarakat, dan upaya
meningkatkan mutu sajiannya.
Menurut Syahrizal Pahlevi selaku
penggagas JMB, even adalah
bagian dari beberapa program
yang telah, dan sedang jalankan
selain workshop, program ‘mini
residensi’ yang baru dimulai awal
tahun ini, dan berbagai kegiatan
propaganda dan rencana pameran.
Sebelum even ini, pada 2013 lalu
telah digelar Jogja International
Mini Print Festival (JIMPF) yang
diikuti 167 peserta dan 460 karya.
Syahrizal menjelaskan bahwa
sudah sejak lama pihaknya
menyimpan hasrat agar Yogyakarta
memiliki sebuah even seni cetak
grafis berkala setiap 2 atau 3
tahun sekali. Even tersebut selain
berfungsi sebagai pertemuan
karya-karya bermutu, sekaligus
juga sebagai ajang pergaulan para
pegrafis dari berbagai belahan
dunia- tengah terbentang saat ini.
Minimnya infrastruktur, seretnya
dukungan di dalam negeri seba-gaimana
banyak dikeluhkan oleh
pegrafis. Hal ini menurut pengelo-la
Teras Print Studio, Yogyakarta
ini membuat even semacam JMB
menjadi sebuah keharusan untuk
diselenggarakan secara rutin agar
para pegrafis tumbuh rasa per-caya
dirinya dan tetap bergairah
berkarya.
Sebelumnya, peserta pameran
ini dijaring lewat pendaftaran
terbuka kepada seniman Indonesia
dan luar negeri yang dilakukan
sejak 1 Januari hingga 20 April
lalu. Awalnya tercatat ada 169
calon peserta dari 27 negara yang
mengikuti seleksi, namun dalam
perjalanannya ada peserta yang
mundur, tidak memberi kabar, dan
terlambat mengirim karya.
Karya-karya yang datang
RIAN SAMIN
33. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 33
tepat waktu kemudian diseleksi
ada 142 seniman dengan jumlah
sebanyak 465 karya. Pada tanggal
26 April 2014 bertempat di Kedai
Kebun Forum, Jalan Tirtodipuran 3
Yogyakarta, Indonesia, dewan juri
yang terdiri dari Hendro Wiyanto
(ketua), Devy Ferdianto (anggota)
dan Agung Kurniawan (anggota)
telah menyeleksi 140 karya dari
72 seniman berasal dari 23 negara
untuk mengikuti pameran JMB 2014.
Selain digelar di gedung Heritage
Museum Bank Indonesia, pameran
ini akan dilanjutkan di Mien Gallery,
Jl Cendana 13, Yogyakarta mulai 17
– 23 Juni mendatang. Rencananya
pameran ini masih akan dibawa ke
berbagai tempat, baik di Yogyakarta
maupun luar kota hingga Desember
2014.
Syahrizal menerangkan bahwa
dalam JMB yang pertama ini sengaja
dipasang tiga juri yang merupakan
kombinasi dari karakter yang ber-beda:
“pengusung tema”, “penjaga
teknik” dan “pengawal teknik &
tema”. “Dalam hemat kami seni
cetak grafis sebagaimana seni-seni
lainnya memerlukan unsur-unsur
tersebut untuk menjadi menarik,
mampu bersaing dan diminati
penonton,” jelasnya.
Melalui perhelatan JMB pertama
ini, pihak penyelenggara ingin mem-bangun
sebuah bienal yang profe-sional,
kuat, serta dapat bersanding
dengan bienal-bienal miniprint yang
telah lebih dahulu hadir di berbagai
belahan dunia. “Kami berharap apa
yang dilakukan ini dapat bermanfaat
baik bagi pelaku seni cetak grafis
itu sendiri maupun pelaku seni dari
disiplin yang berbeda, para pencinta
seni dan masyarakat pada umumn-ya,”
tandas Syahrizal.
34. Electoral Risk ARKIPEL 2014:
Hangatnya berbagai
peristiwa sosial-politik
yang memperlihatkan
kecenderungan ‘kekuatan
sipil’ yang terjadi akhir-akhir ini di
negara-negara Timur Tengah, Asia,
Eropa, dan Amerika Latin menjadi
tema festival Arkipel tahun ini.
Konsep negara demokrasi yang
diadopsi dari ‘Barat’, yang berarti,
kekuasaan berada di tangan rakyat
dalam menentukan segala hal yang
berhubungan dengan arah hidup
mereka, dalam prakteknya tidaklah
berjalan dengan baik. Di sisi lain,
perkembangan teknologi, terutama
teknologi media informasi—sinema
sebagai salah satu bagiannya,
telah memperlihatkan bagaimana
kekuatan sipil ‘mengkritisi’
kebijakan-kebijakan negara,
sebagaimana yang dilansir dari
arkipel.org
Pada tahun kedua
ini, ARKIPEL International
Documentary & Experimental
34 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Film Festival akan mengangkat
tema Electoral Risk, yang mencoba
melihat bagaimana sinema
membaca demokrasi, aktivisme,
politik, dan kekuatan sipil dewasa
ini, baik di Indonesia, Asia, dan
masyarakat global. Perubahan geo-ekonomi
dan geo-politik global
telah merubah begitu banyak
sudut pandang kita terhadap
kenyataan sehari-hari, yang
juga telah menggeser tatanan
kehidupan bermasyarakat.
Berbagai peristiwa sosial-politik
yang memperlihatkan
kecenderungan ‘kekuatan sipil’
yang terjadi akhir-akhir ini di
negara-negara Timur Tengah, Asia,
Eropa, dan Amerika Latin, telah
mempertanyakan kembali makna
dari demokrasi. Konsep negara
demokrasi yang diadopsi dari
‘Barat’, yang berarti, kekuasaan
berada di tangan rakyat dalam
menentukan segala hal yang
berhubungan dengan arah hidup
mereka, dalam prakteknya tidaklah
berjalan dengan baik. Di sisi lain,
perkembangan teknologi, terutama
teknologi media informasi—sinema
sebagai salah satu bagiannya,
telah memperlihatkan bagaimana
kekuatan sipil ‘mengkritisi’
kebijakan-kebijakan negara.
Tema Electoral Risk dipandang
sangat penting untuk merespon
situasi global saat ini. Tema ini
mencoba membaca bagaimana
sinema menerjemahkan,
memetakan, memaknai dan
membaca ulang demokrasi melalui
kemungkinan-kemungkinan
eksperimentasi visualnya yang
sangat terbuka lebar untuk
dieksplorasi, baik bentuk
(esterika, form), moda produksi,
distribusi, atau bahkan perannya
dalam menangkap ‘yang nyata’,
membeberkan persoalan,
mendekatkan ‘yang tak terlihat’
menjadi ‘terlihat’.
Setelah melakukan seleksi
FESTIVAL
35. Pada perhelatan pertama tahun lalu, festival filem
ARKIPEL menghadirkan film-film eksperimental
dan dokumenter dari seluruh dunia dengan berbagai
macam pendekatan estetika bahasa sinema, proses
pembuatan, ataupun isu-isu sosial yang diangkatnya.
29 FILM YANG LOLOS ARKIPEL 2014:
1. Gli Immacolati Ronny Trocker, France/Italy (2013, 14 min)
2. Post Scriptum Santiago Parres, Spain (2013, 8 min)
3. Genre Sub Genre Yosep Anggi Noen, Indonesia (2013, 12 min)
4. Une Histoire Seule Xurxo Chirro & Aguinaldo Fructuoso, Spain (2013,
2014 l Edisi 9 l Kinescope l 35
66 min)
5. Lembusura Wregas Bhanuteja, Indonesia (2014, 10 min)
6. Bois d’Arcy Mehdi Benallal, France (2013, 24 min)
7. Uyuni Andrés Denegri, Argentina/USA (2005, 8 min)
8. Sun Song Joel Wanek, USA (2013, 15 min)
9. Tabato Joāo Viana, Portugal/Guiné (2013, 16 min)
10. Au Monde AKA Into the World Christophe Bisson, France (2013, 41
min)
11. Gundah Gundala Wimar Herdanto, Indonesia (2013, 8 min)
12. 5 – 9 Ulf Lundi Sweden (2013, 8 min)
13. The Park Monica Proba, Turkey/Poland (2014, 34 min)
14. Historias de Balcones AKA Balcony Tales Helle Windeløv-Lidzéllius,
Denmark/Cuba (2013, 36 min)
15. Grito AKA Scream Andrés Denegri, Argentina (2008, 20 min)
16. Avō Cortiço AKA Grandfather Cortiço Ricardo Batalheiro, Portugal
(2012, 21 min)
17. The Shadow of Your Smile Alexei Dmitriev, Russia (2014, 3 min)
18. Playing with Fire Anneta Papathanassiou, Greece (2013, 58 min)
19. Asier ETA Biok AKA Asier AND I Amaia Merino, Spain/Ecuador (2013,
94 min)
20. Ioann & Marfa Nikolay Volkov, Russia (2013, 39 min)
21. Ocho Décadas Sin Luz AKA Eight Decades Without Light Gonzalo
Egurza, Argentina (2014, 8 min)
22. Diario de Pamplona AKA Diary of Pamplona Gonzalo Egurza,
Argentina (2011, 17 min)
23. Alles Was Irgendwie Nutzt AKA All What Is Somewhat Useful Pim
Zwier, Germany/Netherlands (2013, 8 min)
24. Emak Bakia Baita AKA The Search For Emak Bakia Oskar Alegria,
Spain (2012, 83 min)
25. Renai No Daikyouen AKA Banquet of Love Haruka Mitani & Michael
Lyons, Japan (2014, 7 min)
26. Lúa AKA Moon Miguel Mariño, Spain (2014, 10 min)
27. Today’s Walk – Concrete Aluminum - Paul Agusta, Indonesia (2013, 6
min)
28. Broken Tongue Mónica Savirón, USA (2013, 3 min)
29. Codes of… Senses Roser Teresa Gerona Ribas, Spain (2013, 5 min)
terhadap 320 film, tahun ini ARKIPEL
meloloskan 29 film dalam kompetisi
Internasional. Event internasional
ini akan dilangsungkan dalam dua
segmen, yakni segmen Festival pada
tanggal 11-18 September 2014
dan sekmen Eksibisi pada 14-21
September 2014. Arkipel 2014 akan
digelar di beberapa titik lokasi yaitu
di Kineforum, Goethehouse, Graha
Bhakti Budaya, Gedung Produksi
Film Negara (PFN) dan Cinema XX1
TIM.
Pembukaan Festival film ini akan
digelar pada 11 September 2014 di
GoetheHaus, Jl Dr Sam Ratulangi
No. 9 – 15 Gondangdia, Menteng,
Jakarta Pusat, DKI Jakarta.
ARKIPEL International
Documentary and Experimental
Film Festival digagas oleh Forum
Lenteng untuk membaca fenomena
global dalam konteks sosial, politik,
ekonomi dan budaya melalui sinema.
Melalu media film diharapkan dapat
melihat, bagaimana sinema berperan
dalam menangkap fenomena
masyarakat global, baik dalam
konteks estetika maupun konteks
sosial-politiknya melalui bahasa
dokumenter dan ekperimental.
Perhelatan festival filem ARKIPEL
kali kedua ini sebagai wadah
pembuat filem untuk menuangkan
pemikiran tema Electoral Risk.
Pendaftaran karya filem akan dibuka
selama tiga bulan untuk membuka
peluang interpretasi terhadap
tema yang terbuka luas, dari yang
lingkupnya domestik sampai yang
publik, karena eksperimentasi
terhadap konten dan estetika adalah
pilihan yang politis. Mari suarakan
karya anda.
36. FESTIVAL
FILM
MEDAN
FESTIVAL
Sebuah wadah apresiasi film Indonesia, yang lahir atas dasar pemikiran
tentang pentingnya karya sineas-sineas di Sumatera Utara untuk
diapresiasi dan untuk menambah gairah pertumbuhan sineas-sineas
dengan karya-karya yang spektakuler serta demi kemajuan industri
perfilman nasional secara umum dan Sumatera Utara secara khusus.
Festival ini digagas oleh
beberapa sineas muda
Medan yang bersatu
dalam wadah Medan Cinema
Foundation.
Untuk tahun pertama,
Festival Film Medan 2014
akan diselenggarakan dengan
mengusung tema Medan
Inspirasi dan baru mencakup
peserta dengan wilayah
Sumatera Utara, dengn
menaruh harapan bahwa pada
penyelenggaraan tahun-tahun
berikutnya sudah bisa menjadi
sebuah event apresiasi
film berskala Nasional.
Adapun materi karya yang
diperlombakan adalah karya
Film Pendek dan Panjang Fiksi
serta Film Dokumenter.
RANGKAIAN KEGIATAN
Kegiatan Festival Film Medan
2014 akan dimulai dengan
rangkaian roadshow ke
sekolah, kampus, serta tempat
berkumpulnya anak-anak
muda (kafe dan sebagainya) di
Medan dan sekitarnya, untuk
mensosialisasikan kegiatan
dan acara yang kontennya
berupa screening dan sharing
session. Kegiatan ini dimulai
dari 11 Mei 2014 hingga 31
September 2014 dilaksanakan
setiap akhir pekan.
36 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
37. BERIKUT BEBERAPA PERSYARATAN PADA AJANG FESTIVAL FILM MEDAN 2014:
1. Keikutsertaan Kompetisi tidak dipungut biaya (Gratis).
2. Tema Film Bebas.
3. Peserta Umum, boleh terdiri dari Individu atau kelompok film peserta
adalah Film Pendek dan Panjang Fiksi serta Film Dokumenter.
4. Peserta boleh mengirimkan maksimal 3 karya dengan catatan dikirim
dalam amplop terpisah dan masing-masing film melengkapi semua
persyaratan
5. Tahun produksi adalah tahun 2010 keatas.
6. Karya tidak mengandung unsur sara, pornografi, pornoaksi.
Pelanggaran dan gugatan atas hak cipta terhadap karya yang diikutkan
dalam kompetisi ada diluar tanggung jawab panitia.
7. Film tidak berupa profil lembaga/ perusahaan, iklan layanan
masyarakat dan trailer .
8. Wajib memahami dan menyepakati seluruh syarat lomba yang
tercantum.
KETENTUAN LAIN
1. Karya yang dikirim akan menjadi database panitia Festival Film Medan
2014
2. Hasil Karya dikumpulkan paling lambat 30 September 2014 cap pos.
3. Film yang tidak memenuhi persyaratan tidak akan dikompetisikan.
4. Proses seleksi dilakukan oleh beberapa kurator terpilih sebelum proses
penjurian berlangsung. Keputusan kurator bersifat mutlak dan tidak
dapat diganggu gugat.
5. Film peserta yang lulus seleksi akan diumumkan melalui website.
6. Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
7. Panitia memegang hak sepenuhnya atas penggunaan hasil karya
pemenang kompetisi.
8. Semua kelengkapan pendaftaran dikemas dalam 1 amplop dikirim ke:
Up. Agung Pratama Jl Wiroto No. 13 Kecamatan Medan Timur
20234
CP. 081265345691 (Ersad)
PADA FESTIVAL TAHUN INI, BEBERAPA KATEGORI JUARA SUDAH DISIAPKAN
ANTARA LAIN,
2014 l Edisi 9 l Kinescope l 37
1. Film Fiksi Termantap
2. Film Dokumenter Termantap
3. Aktor Termantap
4. Aktris Termantap
5. Aktor Pendukung Termantap
6. Aktris Pendukung Termantap
7. DOP/ Cameraman Termantap
8. Editor Termantap
9. Ide Cerita Termantap
10. Sutradara Termantap
11. Rumah Produksi Termantap
12. Video Klip Medan Termantap
13. Tokoh Film Lokal (Khusus)
14. Media Support (Khusus)
Selain kategori juara dengan penilaian juri, pada Festival Film Medan 2014
ini juga akan diperebutkan kategori juara dengan polling SMS dan Internet,
yaitu:
1. Film Fiksi Terfavorit
2. Film Dokumenter Terfavorit
3. Aktor Terfavorit
4. Aktris Terfavorit
5. Aktor Pendukung Terfavorit
6. Aktris Pendukung Terfavorit
Film-film yang sudah masuk dan terdaftar di meja panitia akan diverifikasi
sesuai dengan syarat dan ketentuan. Jika sudah dinyatakan lolos verifikasi
awal, selanjutnya tim kurator dari panitia akan menentukan film mana
saja yang layak masuk nominasi sesuai kategori yang diperlombakan.
Selanjutnya film-film yang sudah terpilih sebagai nominator akan diserahkan
kepada dewan juri yang terdiri dari berbgai komponen, yaitu pembuat film,
penikat film serta jurnalis.
Kemudian, pada tanggal 1
hingga 31 oktober 2014 adalah
masa penjurian oleh dewan
juri bagi film-film yang sudah
dinyatakan lolos sebagai
nominator. Ada juga beberapa
kategori khusus akan dibuka
polling via sms center dan line
internet.
1 bulan sebelum malam puncak
penganugerahan Festival Film
Medan 2014, akan dimumkan
film-film dan materi apa saja
yang dinyatakan lolos sebagai
nominator secara terbuka
kepada khalayak umum pada
sebuah acara khusus serta
mencantumkan informasinya
secara akurat di official
media social Festival Film
Medan 2014 yakni twitter @
MedanCinemaFo dan www.
medancinemafoundation.com
Kemudian sebelum malam
puncak penganugerahan
Festival Film Medan 2014, setiap
perwakilan dari film-film yang
terdaftar di festival ini akan
dihubungi untuk mengikuti
kegiatan workshop film yang
dilaksanakan panitia. Film-film
yang terpilih sebagai nominator
ataupun film pilihan panitia akan
di putar pada acara, tempat dan
waktu khusus dan terbuka untuk
umum.
Malam puncak penganugerahan
Festival Film Medan 2014, akan
dilaksanakan pada 1 November
2014 dengan urutan acara Red
Carpet serta Gala Dinner yang
diisi oleh tamu undangan, tokoh
film lokal, media, peserta serta
masyarakat umum secara gratis.
38. FESTIVAL
XXI Short Film
Festival 2014
Menayangkan film pendek hasil perlombaan atau festival kedalam medium layar lebar
dan didistribusikan secara luas dibioskop memang sesuatu yang bisa dianggap jarang
di Indonesia. Adapun film-film pendek yang disertakan dalam festival hanya ditayangkan
selama festival itu berlangsung atau di ajak keliling dari festival ke festival lain untuk
Sejak tahun lalu, XXI Short
Film Festival mencoba
untuk mempublikasikan
para pemenang festival ini
kekhalayak umum dengan diputar
dibioskop.
Pada tahun keduanya, XXI Short
Film Festival 2014 menayangkan
7 film pendek dari 3 kategori
yang berlangsung pada bulan
Maret lalu. Ketiga kategori
tersebut adalah Film pendek fiksi
naratif, film pendek dokumenter,
dan film pendek animasi. Pada
kategori film pendek fiksi naratif
ada Horison (Film pendek favorit),
Lembar Jawaban Kita (Film pendek
fiksi naratif pilihan IMPAS), dan
Sepatu Baru (Film pendek fiksi
38 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Naratif Terbaik dan Pilihan Media).
Pada kategori Film pendek animasi
ada Asiaraya (Special Mention
Official Jury untuk Film Pendek
Animasi), dan Kitik (Film pendek
animasi tebaik dan Pilihan Media).
Dan dalam kategori Film pendek
documenter ada Akar (Film Pendek
dokumenter terbaik dan special
mention pilihan media), dan
Selamat Tinggal Sekolahku (Film
pendek dokumenter pilihan media).
Kompilasi XXI Short Film
Festival 2014 dibuka dengan
film pendek beraroma thriller
yang terasa dingin serta dibalut
dengan kata-kata filosofis. Horison
berkisah mengenai Genda, gadis
yang sedang menghadapi suatu
masalah secara tidak sengaja
bertemu dengan pria misterius
bernama Handi. Merasa nyambung,
Genda perlahan menceritakan
masalahnya dan membuka diri
kepada Handi yang mendengarkan
seraya memberikan jawaban
menggunakan rangkaian kata-kata
kiasan. Hingga perlahan rahasia
demi rahasia mulai terungkap.
Dengan sinematografi baik
yang menampilkan landscape
indah serta didukung tone warna
agak pucat semakin menguatkan
atmosfer dalam Horison layaknya
suasana hati Genda, dingin dan
terasa galau. Samuel Ruby yang
merupakan peserta asal Singapura
mampu menuntun penonton ke
menemui penontonnya.
ROHMAN SULISTIONO
39. terdekatnya. Amelia berusaha
menceritakan lingkungan dimana dia
lahir dan besar, suasana keluarga
yang digambarkan senyata mungkin,
serta disisipi dampak dari segala
keputusan yang diambil Amelia
seperti keputusannya untuk kuliah
diluar negeri yang membuatnya
tidak bisa menemui neneknya saat
wafat. Dengan durasi 22menit
dan berputar dikehidupan Amelia,
jelas untuk beberapa penonton ini
terlalu membosankan dan agak
panjang, kecuali kalian keluarga
dari Amelia itu sendiri, mungkin
anda bisa sangat menikmatinya.
Film yang dimerupakan gabungan
dari potongan-potongan kejadian
ini seperti ingin menceritakan
banyak hal, namun terasa berlalu
begitu saja. Karya ini memang
sangat terasa personal, bila ditelisik
maksud awal dalam pembuatan
film ini tadinya untuk diputar dalam
pernikahan Amelia, jadi terlihat
wajar bila filmnya berbentuk seperti
ini.
Setelah disuguhkan film pendek
dokumenter Akar, film keempat
dalam kompilasi XXI Short Film
Festival 2014 juga bergaya
dokumenter. Kali ini menyorot
seorang anak laki-laki bernama
Lintang dalam film “Selamat Tinggal,
Sekolahku”. Lintang, anak berusia
11 tahun salah satu murid dari
Rawinala, sekolah untuk anak-anak
dengan beragam masalah
penglihatan di Jakarta. Setelah 7
tahun bersekolah disana, Lintang
dianggap sudah mandiri dan
harus pergi dari sekolah. Lintang
harus meninggalkan hal-hal yang
disukainya seperti teman-temannya,
Band Junior, dan Drum.
Sederhana namun mengena,
mungkin itu gambaran sederhana
dari dokumenter karya Ucu Agustin
ini. Dengan durasi yang hanya
13 menit, penonton sudah bisa
merasakan apa-apa saja yang
disukai oleh Lintang seperti hobi
dan moment bersama sahabatnya
dan penonton turut merasakan
kegundahan hati Lintang ketika
harus meninggalkan itu semua.
2014 l Edisi 9 l Kinescope l 39
akar permasalahan Genda dengan
perlahan dengan menghadirkan
twist di akhir film, walau tidak
dipungkiri twist seperti ini sudah
sering digunakan. Script dalam
Horison terlihat matang dimana
sepanjang durasi film selama 17
menit yang mayoritas diisi dialog
antara Genda dan Handi tidak terasa
membosankan, malah terkesan
misterius dan membuat penasaran,
terlebih diperkuat dengan kata-kata
kiasan yang penuh makna
mendalam yang dilontarkan Handi
untuk menjawab permasalahan
Genda.
Setelah Horison, penonton
disuguhkan dengan film animasi
yang agak berat berjudul Asiaraya.
Asiaraya berkisah mengenai seorang
tentara Jepang yang menuntunnya
menemukan arti nasionalisme
karena pertemanannya dengan
Yusuf, orang Indonesia yang
pernah bekerja untuknya. Sebagai
bentuk penebusan janji Negara
Jepang mengenai kemerdekaan
Indonesia, dia melakukan
pengorbanan bersama Yusuf untuk
mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dari gangguan bangsa
barat. Bisa dibilang, Asiaraya
karya Anka Atmawijaya Adinegara
merupakan film animasi realis
dimana mengangkat kisah yang
jarang terekspos dari perjuangan
Indonesia. Dengan durasi 10 menit,
Asiaraya mengangkat fenomena
beberapa tentara Jepang yang
ikut membantu Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan. Film
ini terasa datar dalam mengangkat
kisah seorang tentara Jepang dan
maksud film ini diperkuat dengan
teks yang berada di akhir film ini.
Namun animasi diawal film yang
mengilustrasikan mengenai salah
satu ramalan Jayabaya menarik
perhatian.
Film dokumenter pertama yang
muncul di Kompilasi ini, Akar karya
Amelia Hapsari yang sebelumnya
membuat “Jadi Jagoan Ala Ahok”
yang juga merupakan finalis XXI
Short Film Festival tahun lalu.
Berbeda dengan yang sebelumnya,
dimana Amelia berfokus kepada
salah satu tokoh yaitu Ahok dan
“membuntuti” beliau berkampanye
di Bangka Belitung, melalui Akar
Amelia mengangkat hal yang lebih
personal dan dekat dengannya
dengan mendokumentasikan dia dan
keluarganya sendiri. Seperti judulnya,
Akar mengangkat kisah pribadi
Amelia dan darimana dia berasal.
Mengekspos ayah, ibu dan neneknya
serta kehidupan sehari-hari mereka
mulai dari mencari nafkah melalui
took bangunan hingga hal-hal kecil
seperti senam di pelataran sebuah
pusat perbelanjaan dan makan
bersama.
Akar seperti dokumenter yang
berisi curhatan dari pembuatnya
yang melibatkan orang-orang
40. Beberapa dialog serta adegan yang
terlihat sangat lugu serta natural
dari Lintang dan teman-temannya
membuat film ini mengalir begitu
nyaman untuk penonton. Tentu
saja set tempat dalam film ini
mengingatkan pada film “What They
Don’t Talk About When They Talk
About Love” karya Mouly Surya. Ya
karena kedua-dua-nya sama-sama
syuting di Rawinala.
Lembar Jawaban Kita, karya
Sofyan Ali Bindiar menjadi film
kelima dalam kompilasi XXI Short
Film Festival 2014. Film pendek
fiksi naratif ini berkisah mengenai
Ali, seorang murid SD yang
mengikuti Ujian Nasional yang
harus menghadapi ujian lain ketika
sebuah kertas contekan diberikan
ke salah satu siswa yang kemudian
kertas itu digilir dari satu siswa
ke siswa lain. Menonton Lembar
Jawaban Kita terasa mendapatkan
pukulan kecil namun mengena dan
menohok. Menyindir salah satu
problematika bangsa ini perihal
kejujuran (lebih akrab disebut KKN)
dari skala yang kecil dan sederhana.
Lembar Jawaban Kita menyindir
bahwa tempat yang seharusnya
mendidik pribadi muda yang baik
malah menjadi ladang subur untuk
menanam sifat buruk ke anak-anak.
Sistem pendidikan yang buruk
namun sudah dianggap biasa oleh
beberapa pihak guru maupun
siswa. Film ini berhasil mengangkat
kejadian yang bahkan sudah
dianggap lumrah namun tentu saja
mencederai kejujuran sejak dini.
40 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
What They Don’t Talk About When They
Kitik, film animasi karya Ardhira
Anugerah Putra berkisah mengenai
seorang anak kecil dan segala
ketakutannya saat menghadapi
khitan (sunat) yang akhirnya menjadi
kejar-kejaran seru dengan sang
mantri sunat. Temanya sederhana
dan juga dekat dengan kebudayaan
bangsa Indonesia. Film dengan
durasi 6 menit ini memiliki latar
setting di suku Karo, Sumetera Utara.
Berbeda dengan AsiaRaya yang
terkesan realis dan gelap, Kitik lebih
berwarna dengan karakter yang
lucu. Mengingatkan kita dengan
gaya animasi “Keripik Sukun Mbok
Darmi” di kompilasi yang pertama.
Talk About Love
41. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 41
Film terakhir dalam kompilasi
XXI Short Film Festival 2014 adalah
film asal Makassar “Sepatu Baru”.
Sepatu Baru mengisahkan seorang
anak perempuan yang hidup
didaerah kumuh merasa gelisah
karena hujan yang tak kunjung reda
menghentikan hasratnya untuk
menggunakan sepatu baru. Ia-pun
menggunakan cara tradisional untuk
menghentikan hujan berkepanjangan
tersebut.
“Save the best for last”, mungkin
pepatah tersebut pantas disematkan
kepada Sepatu baru yang dipercaya
menjadi film pamungkas dan klimaks
dari kompilasi XXI Short Film Festival
2014. Sutradara muda asal Makassar,
Aditya Ahmad dengan piawai meramu tata sinematografi yang
cantik, script yang baik, serta akting
yang menawan didukung dengan
gesture penuh arti menjadi satu
kesatuan yang utuh membuat film
dengan durasi 14 menit ini begitu
ciamik. Usaha mengangkat sebuah
mitos tradisional dengan konflik
yang membumi dan sederhana
kedalam film patut diberi apresiasi .
Tentu saja perhelatan festival ini
merupakan ajang untuk menemukan
bibit-bibit baru dalam perfilman
Indonesia. Sebut saja Aditya Ahmad
yang merupakan sutradara “Sepatu
Baru” yang juga menggunakan
karyanya ini sebagai Tugas Akhir
perkuliahnya di jurusan perfilman
di sebuah Universitas di Makassar.
“Wajah lama”pun terdapat pada
kompilasi XXI Short Film Festival
2014, Amelia Hapsari yang
sebelumnya menyuguhkan lika liku
kampanye Ahok dalam “Jadi Jagoan
Ala Ahok” pada kompilasi yang
Selamat Tinggal Sekolahku
pertama, kali ini tetap menyuguhkan
film dokumenter pendek dengan
judul “Akar”. Adapula yang telah
mengikuti festival film lain sebelum
XXI Short Film Festival 2014,
“Selamat Tinggal Sekolahku” sempat
mampir di salah satu festival film
besar di Indonesia, JIFFEST 2013
yang masuk dalam program Pop Up
Cinema Short Doc is Doc.
Secara keseluruhan kompilasi
XXI Short Film Festival 2014 ini
merupakan tontonan alternatif
ditengah film bioskop didominasi
film-film panjang. Tema yang
beragam serta terasa tak jauuh dari
sekitar kita membuat penonton
merasakan beragam rasa dan
pengalaman sinematis saat keluar
dari studio bioskop. Kompilasi film
pendek pemenang XXI Short Film
Festival 2014 ini akan ditayangkan di
11 bioskop di 9 kota mulai tanggal
3 Juli 2014.
42. TIPS
Tips & Trik
Lolos Casting
Untuk terjun ke dunia entertainment atau hiburan, pada umumnya calon artis
harus melewati proses casting atau audisi, baik untuk iklan, sinetron, FTV, film
ataupun foto model dan presenter. Untuk orang yang baru memulai karier di
bidang ini, tentu membutuhkan tips-tips atau cara agar bisa lolos casting iklan,
sinetron dan film dengan sukses dan diterima oleh PH (production house) atau
yang mengadakan casting sesuai karakter kita.
Casting memiliki arti dan
definisi umum, yaitu keg-iatan
mencari pemeran
atau talent yang sesuai
dengan karakter seperti
yang diinginkan dalam sebuah ce-rita.
Contohnya saat ada info casting
42 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
iklan, maka karakter yang diminta
atau diperlukan tentu saja harus
bisa mewakili produk yang diiklan-kan.
Misalnya, casting iklan rokok
atau iklan provider telekomunikasi,
pasti yang akan dicari adalah karak-ter
wajah dan tubuh yang sesuai
dengan cerita dalam iklan tersebut.
Casting biasanya diawali dengan
undangan bagi talent-talent yang
dianggap sesuai kriteria yang di-inginkan
dalam sebuah proyek, baik
untuk iklan TV, photoshoot, fashion
show, sinetron atau film layar lebar.
43. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 43
Berikut ini adalah tips-tips umum
dan khusus agar bisa sukses dan
lolos casting iklan, film, sinetron, ftv
dan masuk TV.
SIAPKAN MENTAL
Sebisa mungkin gali informasi
sebanyak mungkin tentang casting
yang kamu lakukan agar menguasai
medan.
BISA KARENA BIASA
Mencari referensi untuk latihan
berjalan di atas catwalk, berpose,
berakting atau berbicara di depan
kamera penting dilakukan. Selain
membantu kamu lebih percaya diri
juga dapat membantu memberikan
penampilan yang terbaik pada saat
casting.
PILIH KOSTUM YANG TEPAT
Setelah mengetahui detail
casting yang akan dijalani, sesuaikan
kostum. Jangan pernah berdandan
atau bergaya berlebihan untuk
menarik perhatian, tapi bergayalah
sesuai karakter yang dibutuhkan
oleh user. Salah kostum pada saat
casting selain mengurangi rasa
percaya diri juga bikin tidak fokus
karena salah tingkah.
DATANG TEPAT WAKTU (ON TIME)
Kalo casting-nya sudah buat
perjanjian atau diundang, usahakan
untuk datang tepat waktu. Ini akan
menggambarkan profesionalisme
kamu.
SESUAIKAN SYARAT KARAKTER
CASTING: Ini sangat penting, yaitu
menyesuakan dengan karakter yang
di cari, misal muka kamu pas-pasan
maka jangan datangi casting yang
mencari model kelas A (super
tampan dan ganteng banget) sudah
pasti cuma bikin buang-buang
ongkos dan waktu saja.
ATTITUDE
Bersikaplah ramah dan rendah hati,
jangan sombong seolah-olah yang
mau mengcasting itu di bawah kamu
yang siap menerima hinaan dan
protes.
PENGALAMAN SYUTING
Karena banyak orang berbakat
namun tidak lolos hanya karena saat
ditanya pengalaman syuting, dia
bilang belum ada. Karena itu cobalah
syuting-syuting dulu minimal satu
kali syuting, setidaknya jadi figuran
ekstras juga tidak apa.
JANGAN MELAKUKAN HAL BODOH:
Hal ini memang sepele
namun banyak orang tidak lolos
casting karena melakukan hal-hal
bodoh, misal saat akting atau
memperkenalkan diri dia salah ucap
kemudian mengeluarkan lidah. Itu
tandanya tidak profesional.
HATI-HATI DAN TETAP WASPADA:
Mengingat kasus yang pernah
terjadi, kamu juga harus waspada
terhadap pihak-pihak nakal. Tidak
pernah ada produk atau program
yang memungut biaya untuk casting.
JADILAH DIRI SENDIRI
Walaupun harus menyesuaikan
tampilan dengan karakter yang
diminta bukan berarti kamu harus
menjadi orang lain. Tetap jadilah diri
sendiri, karena dengan berpura-pura
menjadi orang lain akan terlihat
berlebihan.
PERCAYA DIRI
Tanamkan rasa percaya diri,
sehingga kamu dapat menunjukkan
kemampuan semaksimal mungkin.
Rasa rendah diri atau malah
terlalu percaya diri tidak akan
berguna, karena keduanya justru
bisa menghambat kamu untuk
mengerahkan segala kemampuan.
BERIKAN YANG TERBAIK
Setelah semua doa dan usaha
udah dipersiapkan dan lakukan
sebaik mungkin, tinggal menunggu
dengan positif akan hasilnya. Kalo
setelah seminggu belum ada kabar
dan Kamu penasaran, tidak ada
salahnya menghubungi pihak klien
untuk menanyakan hasilnya. Dan
jangan lupa, kalau bukan kamu yang
terpilih, berusahalah untuk tetap
bersikap sportif dan introspeksi diri.
JANGAN MENYERAH
Gagal casting bukan alasan untuk
menyerah. Perasaan kesal pasti ada,
karena banyak juga yang pernah
merasa berkecil hati karena tidak
lolos casting. Kembalilah menjalani
casting lain yang ada.
Tetap ingat bahwa jumlah waktu
yang seringkali dianggap terbuang
percuma saat menjalani proses
kegagalan dalam casting, justru bisa
menjadi bekal berharga di kemudian
hari. Berbagai ilmu tentang
bagaimana berkompetisi di dunia
hiburan bisa didapat secara gratis.
Dan secara tak langsung mengasah
kemampuan kita.
Yang penting untuk diingat
adalah: tidak lolos casting tak selalu
berarti tidak berbakat. Bisa saja
karena karakternya belum cocok
dengan apa yang dicari klien. Tak
perlu berkecil hati, selalu jadikan
kegagalan sebagai kesuksesan yang
tertunda.
Itulah beberapa tips dan trik agar
sukses dan lolos casting yang bisa
kamu lakukan. Semoga kamu bisa
melewati casting dengan sukses,
dan yang terpenting dalam setiap
melakukan berbagai hal adalah, niat,
persiapan, sopan, percaya diri dan
jangan menyerah. Sukses ya!
44. LIPUTAN
44 l Kinescope l Edisi 9 l 2014
Pertemuan mereka berawal di
tahun 2009, saat itu sedang ada
persiapan teater karya Toni Boer
“Butoh Dance Theater”, dan
kebetulan mereka ikut bermain
di pertunjukannya. Di sela-sela
latihan Butoh itu, mereka pun
terlibat cinta lokasi, hingga
akhirnya menjalin hubungan
asmara.
RIAN SAMIN
EKA & ROMAN
Ngobrol Bareng
45. 2014 l Edisi 9 l Kinescope l 45
Pasangan Kedung Dharma
Romansa dan Eka Nusa
Pertiwi ini jadian tepat di
hari buruh sedunia 1 Mei
2009, dan menikah 7 Desember
2013, tepat Hari Pers Nasional, yang
melekat sekali dengan sosok Tirto
Adhi Soeryo alias Sang Pemula.
Mereka berdua mengaku tidak
merancang semua itu, tapi seolah
seperti ada yang merancangnya.
Pasangan ini tinggal di kawasan
selatan Yogyakarta, dan aktif di
berbagai kegiatan seni, baik film,
teater, hingga sastra.
Cukup banyak proyek seni yang
mereka kerjakan bersama, namun
uniknya mereka belum pernah di
casting menjadi sepasang suami
istri atau pacar, dalam proyek
teater maupun film. Saat bermain
“The Lover” naskah “Harold Pinter
mereka menjadi sepasang suami istri
yang sudah hidup 10 tahun, namun
belum punya anak. Untuk mengatasi
kejenuhan mereka mereka menjadi
orang lain saat bercinta di sore hari,
dan menganggap mereka adalah
sepasang muda-mudi yang sedang
berpacaran di taman saat sore hari,
padahal sebenarnya itu didalam
rumah mereka”. Eka berujar bahwa
setelah pentas tersebut banyak
penonton yang bilang, “kalian
pasangan Gila ya?” ada juga yang
berkata “keluarga kalian itu harus
di rukiah”.
Eka mengganggap cerita yang
ia perankan bersama sang suami
adalah sebagai sebuah refleksi.
“Kalau jadi partner di panggung,
kami bisa lebih detail menggali diri
kami masing-masing. Agar nasib
kami gak sama seperti tokoh-tokoh
yang kami perankan diatas
panggung. Heheehe,” kata Eka.
Di sisi lain, Roman mengaku
bahwa sejak pertama kali bertemu
dengan Eka, ia membaca gelagat
bahwa Eka adalah tipe perempuan
yang pantang menyerah, itu terlihat
ketika dia bersemangat latihan
teater Toni Broer. “Kedekatan kami
memang bisa dibilang berlangsung
cepat, sebab saya dapat membaca
masing-masing di antara kami saling
membuka, sehingga kita dapat saling
bertukar pikiran dan mengenal satu
sama lain,” ungkapnya.
Roman pernah menghadiahi
novel “Bumi Manusia” untuk kado
ulang tahun Eka, selain karena ia
suka dengan Pramoedya. Roman
berpikir bahwa Eka pasti suka, dan
hal itu benar sekali, karena sejak
itulah Eka semakin penasaran
dengan sosok Pram, dan dia
mulai membaca beberapa karya
Pram yang lainnya. Sejak mulai
dekat, keduanya sering berdiskusi
mengenai teater, sastra, dan
film. Tidak jarang diskusi mereka
berlangsung dengan pertengkaran,
“Tapi justru itulah romantisnya,
karena jujur saja saya bukan tipe
laki-laki romantic menurut persepsi
orang kebanyakan atau dalam
film-film romantic pada umumnya,”
ungkap Roman.
Romantisisme dalam kepalanya
bukanlah semata yang kebanyakan
orang bilang. Nah, di sinilah
hubungan mereka semakin lengket.
Bicara soal perfilman Indonesia,
Eka merindukan film seperti
Tjoet Nja Dien (1986), jika boleh
berharap ia ingin sekali bermain
di film tersebut. Karena tinggal
dan bekerja di Yogyakarta, malah
perkembangan film komunitas
sangat dekat dengan pasangan
ini. Eka berpendapat bahwa
komunitas film di Yogyakarta sangat
berkembang dengan pesatnya.
Hal-hal terkait dengan produksi
film, pemutaran, dan diskusi banyak
dilakukan oleh komunitas film di
kota ini. “Semangatnya sangat baik,
tapi aku pikir, kita masih kekurangan
penonton. Contoh Ketika ada
pemutaran film dari beberapa
komunitas, penontonnya ya temen-teman
mereka aja,” keluhnya.
Hal inilah yang kemudian
selalu menjadi pertanyaan
apakah film tersebut
tidak cocok di tonton
oleh masyarakat umum?
Jika cocok, bagaimana
masyarakat umum bisa
menikmatinya? Jika tidak
cocok, apa penyebabnya?
Di sisi lain, Roman kini
merasa bersyukur bahwa
film hantu yang dibumbui
dengan sex itu kini sudah
lumayan berkurang.
Setidaknya ini akan
mengurangi selera pasar
dengan film semacam
itu. Ia menegaskan
bahwa bicara film
Indonesia, maka kita akan
bicara tentang (pasar)
Indonesia. Sampai
sekarang ia masih
meyakini kalau yang
menentukan pasar itu
bukan penonton, tapi masyarakat
film yang tahu bagaimana
penonton ini hendak diarahkan.
“Tapi saya tahu ini tidak mudah,
soalnya ini berhubungan dengan
‘pemesan’ selaku yang punya kocek
untuk membiayai film yang akan
diproduksinya,” ucapnya.
Roman berpendapat bahwa aktor
dan aktris kita sangat potensial,
tinggal bagaimana sutradara
mampu mengarahkan. Tinggal
bagaimana cara kita berpikir yang
tidak biasa. Tidak umum. Sebab film,
menurutnya adalah karya sastra
yang divisualkan. Karya sastra itu
sesuatu yang tidak umum, tidak
lumrah, tidak stereotype. Jadi ketika
dilihat ada kesegaran, ada sesuatu
yang baru.
Di film komunitas, Roman melihat
bahwa saat ini film-film yang
bermunculan masih mempunyai
kelemahan dari segi teks. Entah
itu eksperimental, realis, realism
magis, atau apapun, menurutnya
teks naskah itu penting. Namun
beberapakali ia menyaksikan film
komunitas, ia melihat banyak yang
sangat potensial dan bagus, bahkan
mampu bersaing dengan karya-karya
dari luar negeri. “Saya kira
ini mempunyai peningkatan yang
signifikan. Dan mestinya, tema-tema
yang diusung harus beragam, tidak
seragam. Bicara tentang pasar, jelas
film komunitas mempunyai pasar
sendiri. Kita tahu itu,” tutupnya.
46. LIPUTAN
Bagi pemerhati ranah
musik cutting edge di era
awal 2000an nama Seek Six
Sick (SSS) bukanlah sesuatu
yang asing. Kini, di tengah
maraknya percaturan musik
lokal, band asal Yogyakarta ini masih
menunjukan raungannya. Jimmy
Mahardhika berujar bahwa setiap
masa punya musiknya sendiri, dan
saat ini adalah sama saja dengan
yang dulu namun dengan bentuk yang
berbeda, “Hanya sekarang lebih
mudah memperkenalkan dan
mencari musik yang kita senangi
karena perkembangan teknologi
informasi,” tandas gitaris Seek Six
Sick ini.
Merayakan
Kebisingan
RIAN SAMIN MUSIK ROCK
46 l Kinescope l Edisi 9 l 2014