2. Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa
nelayan di pesisir Sumatra, hiduplah sebuah
keluarga miskin. Mereka terdiri dari seorang
ayah, ibu dan anak laki-laki. Begitu miskinnya
mereka, gubuk tempat tinggalnya yang terbuat
dari daun dan pelepah nipah, bergoyang-
goyang tertiup angin. Pakaian mereka
compang-camping. Badan mereka kurus kering
karena kurang makan.
3. Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa
nelayan di pesisir Sumatra, hiduplah sebuah
keluarga miskin. Mereka terdiri dari seorang
ayah, ibu dan anak laki-laki. Begitu miskinnya
mereka, gubuk tempat tinggalnya yang
terbuat dari daun dan pelepah nipah,
bergoyang-goyang tertiup angin. Pakaian
mereka compang-camping. Badan mereka
kurus kering karena kurang makan.
4. Menyadari akan kemiskinan mereka, ayah
Malin Kundang pergi merantau untuk
mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang
lebih layak. Akan tetapi berbilang hari, bulan,
dan tahun, ayah Malin Kundang tak pernah
kembali. Tinggal ibu dan anak yang malang.
Ibu Si Malin Kundang telah melupakan ayah
Malin Kundang. Ia bekerja membanting
tulang untuk mengisi perut mereka.
Pekerjaan apapun dilakukan asalkan halal.
Perempuan itu sangat menyayangi Malin
Kundang.
5. Dengan berat hati ibu Malin Kundang
melepaskan kepergian anaknya. Ia hanya
mengharapkan anaknya itu selalu ingat
padanya dan kampung halamannya jika telah
sukses merantau dalam pelayarannya.
Singkat cerita, ikutlah Malin Kundang berlayar
dalam kapal besar itu. Ia dengan cepat
menjadi orang kepercayaan dan kesayangan
nakhoda kaya. Semua suka padanya. Ia cepat
belajar dan bertumbuh menjadi lelaki dewasa
yang kuat.
6. Di kampung halamannya, berita tentang
keberhasilan Malin Kundang telah sering didengar
oleh ibunya yang kini telah menjadi tua dan renta.
Perempuan tua itu sangat merindukan anaknya. Ia
yakin suatu saat anaknya yang gagah dan kaya itu
akan menjemputnya. Setiap sore ia menantikan
Malin Kundang di dermaga. Ia berharap Malin
Kundang akan menjemputnya.
7. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan ibunya. Malin
Kundang merasa malu memiliki ibu yang tua renta
dengan baju yang buruk compang-camping. Di
hadapan istrinya, ia mengatakan bahwa ia
bukanlah anak dari perempuan tua itu.
Malin kundang mengusirnya dari kapal
8. khirnya, perempuan tua itu menyerah. Sambil
menangis Ia menadahkan tangan dan berdoa.
“Ya Allah, jadikanlah anak durhaka ini
sebagai kisah untuk pelajaran berharga di
masa datang. Jadikanlah ia batu karena telah
durhaka kepada ibu kandungnya sendiri.”