SlideShare a Scribd company logo
SOP UGD
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR …..……………………………………………………............................ i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….. ii
BAB–I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………. 1
1. Umum ………………………………………………………………………………… 1
2. Maksud dan Tujuan ………………………………………………………………… 1
3. Tata Urut ……………………………………………………………………………. 1
BAB–I STANDARD OPERATING PROCEDURE UNIT GAWAT DARURAT ….………. 2
Prinsip Penatalaksanaan Kedaruratan Medik..……………………………………… 2
Sikap Penolong …………………………………………………………………………. 2
1. Kedaruratan Sistem Pernapasan …………………………………………………………. 3
a. Epistaksis ………………………………………………………………………………... 3
b. Obstruksi Jalan Napas …………………………………………………………………. 4
c. Hemoptisis Masif ………………………………………………………………………… 7
d. Status Asmatikus ……………………………………………………………………….. 8
e. Trauma Wet Lung ………………………………………………………………………. 9
f. Pneumomediastinum …………………………………………………………………… 10
g. Tamponade dan Luka Jantung ………………………………………………………... 10
2. Kedaruratan Sistem jantung dan Pembuluh Darah ………………………………………. 10
Syok ………………………………………………………………………………………….. 10
3. Trauma Sumsum Tulang Belakang dan Tulang Belakang……..………………………… 12
a. Kommosio Sumsum Tulang Belakang ……………………………………………….. 12
b. Kontusio Sumsum Tulang Belakang …………………………………………………. 12
4. Fraktur dan Dislokasi Tulang Belakang ……………………………………………………. 13
a. Daerah Servikal ………………………………………………………………………… 13
b. Daerah Torakal ………………………………………………………………………… 13
c. Daerah Lumbosakral …………………………………………………………………… 13
5. Kedaruratan Sistim Saluran Cerna …………………………………………………………. 14
a. Hematemesis dan Melena …………………………………………………………….. 14
b. Gastroenteritis Dehidrasi ………………………………………………………………. 17
c. Akut Abdemen ………………………………………………………………………….. 24
d. Apendisitis ………………………………………………………………………………. 25
e. Kolestitis Akut …………………………………………………………………………… 27
f. Pankreatitis Akut ……………………………………………………………………….. 28
g. Divertikulitis …………………………………………………………………………….. 29
h. Perforasi Ulkus Peptikum ……………………………………………………………… 30
i. Perforasi pada Tifus Abdominalis …………………………………………………….. 30
j. Ileus Obstruktif (Obstruksi Mekanis) ………………………………………………….. 31
k. Trauma Perut ……………………………………………………………………………. 32
6. Kedaruratan Sistem Saluran Kemih ………………………………………………………… 34
a. Payah Ginjal Akut ……………………………………………………………………… 34
b. Retensi Urin …………………………………………………………………………….. 35
c. Trauma Saluran Kemih ………………………………………………………………… 37
7. Kedaruratan Akibat Agens Fisik ……………………………………………………………. 41
a. Luka Bakar ……………………………………………………………………………… 41
b. Heat Cramps …………………………………………………………………………… 44
c. Heat Exhaustion ………………………………………………………………………. 44
d. Heat Hyperpyrexia ……………………………………………………………………. 45
e. Acciddental Hypothermia ……………………………………………………………. 46
f. Syok Listrik …………………………………………………………………………….. 46
g. Tenggelam …………………………………………………………………………….. 47
8. Keracunan ………………………………………………………………………………….. 48
9. Gigitan dan Sengatan ……………………………………………………………………… 51
a. Gigitan Ular …………………………………………………………………………….. 51
b. Gigitan Binatang Laut …………………………………………………………………. 52
10. Resusitasi …………………………………………………………………………………… 52
BAB–III PENUTUP ……………………………………………………………………………. 57
BAB 1
Prinsip Penatalaksanaan Kedaruratan Medik
Kedaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang pada seti
ap saat dan dimana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak,
kecelakaan, atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang
dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mant
ap di rumah sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa menceg
ah dan membatasi cacat serta meringankan penderitaan dari penderita.
Keadaan ini selain membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang baik dari penol
ong dan sarana yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna.
PERAWATAN KEDOKTERAN KRITIS
Critical Care Medicine merupakan salah satu bentuk kegiatan kedokteran dari temp
at kejadian dalam sistem penatalaksanaan keadaan darurat mulai dari tempat kejad
ian sampai di rumah sakit. Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-ora
ng sekitar korban; di antaranya akan menghubungi pertugas kesehatan atau dokter
terdekat. Tidak jarang bahwa anggota Hansip, Polisi dan Pemadan Kebakaran terlib
at dalam hal ini. Pertolongan ini hasus diberikan secara tepat sebab penangan ya
ng salah justru dapat berakibat kematian atau cacat tubuh. Sudah menjadi suatu k
ewajaran bila terhadap anggota Hansip, Polisi dan Pemadam Kebakaran diberi pendi
dikan dan latihan mengenai hal tersebut. Setelah pertolongan pertama diberikan,
selanjutnya penderita diangkut ke puskesmas atau rumah sakit setempat, sedapat m
ungkin dengan angkutan khusus, misalnya mobil ambulan yang dilengkapi dengan per
alatan dan petugas kesehatan. Selama perjalanan menuju ke Puskesmas atau Rumah S
akit, penderita tetap mendapat pertolongan dan pengawasan yang ketat.Di Puskesma
s atau di rumah sakit penderita mendapat pertolongan yang mantap oleh dokter dan
petugas kesehatan lainnya. Dalam hal ini puskesmas harus gesit dan cakap dalam
menangani penderita. Dalam keadaan di mana sarana di puskesmas tidak banyak memb
antu maka disalurkan ke rumah sakit. Rumah Sakit dengan Unit Penanganan Insetifn
ya (Intensive Care Unit) merupakan rantai akhir dari penanggunalangan penderita
dalam Criticl Care Medicine.
SIKAP PENOLONG
Karena yang ditanggulangi adalah orang yang sakit berat dalam keadaan kritis mak
a dokter harus berlomba dengan waktu dalam menyelamatkan jiwa penderita. Dalam k
eadaan ini jangan bertindak panik namun bersikap tenang dan cekatan.Hal-hal pent
ing yang harus diperhatikan terhadap korban:
1. Pernafasan dan denyut jantung.
Bila pernafasan penderita berhenti, segera kerjakan pernafasan buatan se
cara efektif lakukan pernafasan ‘mulut ke mulut’ dan bersamaan dengan ini ditel
iti apakah ada penghentian denyut jantung. Jika jantung berhenti berdenyut, laku
kan external cardiac massage. Usaha-usaha mengembalikan fungsi pernafasan dan si
rkulasi ini dijelaskan dalam bab resusitasi.
2. Perdarahan.
Lakukan usaha-uasha menghentikan pendarahan, terutama pendarahan dari pe
mbuluh darah yang besar.
3. Syok.
Perhatikan tanda-tanda syok serta penanggunalangan (lihat bab tentang sy
ok).
4. Cegah aspirasi terhadap muntahan penderita dengan posisi penderita mirin
g pada salah satu sisi tubuh atau ditelungkupkan.
5. Jangan terburu-buru memindahkan korban dari tempatnya sebelum dipastikan
sarana angkutan yang memadai.
Terhadap penderita fraktur, terlebih dahulu dilakukan pembidaian. Penatalaksanaa
n selanjutnya secara terperinci akan diuraikan pada masing-masing bab.
OBAT DAN PERALATAN
Beberapa peralatan dan obat-obatan yang minimal dibutuhkan sebagai pertolongan p
ertama dalam penatalaksanaan kedaruratan medik ialah:
Peralatan.
1. Pembalut biasa.
2. Kasa steril.
3. Pembalut segitiga.
4. Plester.
5. Kapas.
6. Tourniquet.
7. Alat Suntik.
8. Alat-alat bedah sederhana.
9. Alat infus & transfusi.
Obat-obatan.
1. Obat-obat antiseptik.
Obat-obat suntikan.
adrenaline, 1 mg/ml
aminophylline, 250 mg/ 10 ml
ampicilin, 250 mg/ dan 500mg
atropine sulphate, 0,6mg/ml
chlorpheniramine maleate, 10 mg/ml
chorpromazine, 50mg/2ml
dextrose 50 %, 20ml
diazepam, 10mg/2ml
digoxin, 0,5mg/2ml
ergometrine, 0,5mg/ml
ethyinoradrenaline, 2mg/ml
furosemide, 20mg/2ml
hydrocortisone sodium succinate, 100mg
hyoscine N-butylbromide 20mg/ml
morphine sulfate, 15mg/ml
penicillin G, 1mega U (600mg)
pentazocine 45 mg/1,5 ml dan 60 mg/2ml
pethidine HCI, 100 mg/2ml
phenobarbitone sodium, 200mg/ml
phytomenadione 10mg/ml
salbutamol 0,5 mg/ml
trifulpromazine, 20mg/,ml
aquadestilata
2. Obat-obat oral
ampicillin, 250mg dan 500mg
chlorpheniramine maleate, 4mg
metronidazole, 200mg
pencillin-VK, 250mg
pentazocine, 50 mg
pethidine, 50mg
terbutaline 0,5 mg/ml
tiemonium bromide, 50 mg.
3. Obat-obat per infus
Ringer lactate
Glucosa 5%
NaC1
Peralatan lainnya yang minimal harus ada pada ruangan kedaruratan medik berupa:
tangki oksigen dengan flow-meter-nya dan “regulator”nya serta alat penghisap sed
erhana yang bisa dijalankan dengan baterai. Untuk fasilitas perlengkapan ruangan
kedaruratan medik yang lebih sempurna memang harus disediakan beberapa macam ob
at-obatan dan fasilitas tambahan sebagai berikut:
Obat-obatan
AgNO3 20-30%
Asam trikloro asetat
aminofilin
isuprel
sedilanid
klonidin
manitol 20%
ureum 30%
gliserin dalam air 30%
asetasolamid
asam cuka 2%
ATS 1500 U
Tule, savlon
Sulfadiazin
antidotum umum
antivenom polivalen
heparin
eter
hidroklorotiasid
serpasil
adona AC 17
ergometrin
sintosinon
sulfas magnesikus
pentotal
ketalar
difenhidramin
Obat-obatan untuk infus
cairan plasma ekspander
cairan 2 A
tutofuchsin
gliserin
dekstrosa 5%
Alat-alat
Water seal drainage
DC shock
Intubator endotrakeal
busi Nelaton
kateter Fowley alat EMO
alat bedah kebidanan
matras vakum
resusitator bayi
Electra Convulsive Therapy
Drain
Tandu
Bidai
BAB 2
Kedaruratan Sistim Pernapasan
Epistaksis
Obstruksi Jalan Napas
Hemoptisis masif
Status asmatikus
Trauma toraks
EPISTAKSIS
Epistaksis atau pendarahan dari rongga hidung hingga sering dijumpai dan sebagia
n besar akan spontan atau oleh tindakan sederhana seperti penekanan hidung. Mesk
ipun demikian ada pula kasus-kasus berat yang memerlukan pertolongan segera agar
tidak berakibat fatal.
Menurut sumbernya, epistaksis dibagi atas:
1. Epistaksis anterior:
Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a. etmoidalis anterior. Terutama ditemui p
ada anak-anak, biasanya ringan dan mudah diatasi
2. Epistaksis posterior:
Berasal dari a. sfenopalatina dan/atau a.etmoidalis posterior. Sering terdapat p
ada usia lanjut akibat hipertensi atau arteriosklerosis. Biasanya hebat dan jara
ng berhenti spontan.
Penatalaksanaan
Mempunyai prinpsip:
1. menghentikan pendarahan.
2. mencegah komplokasi.
3. mncegah berulang dengan mencari penyabab.
1. Tentukan asal pendarahan dengan memasang tampon yang dibasahi dengan adr
enalin 1/1000 dan pontokain 2%, dibantu dengan alat penghisap. Sedapat mungkin p
enderita dalam posisi duduk.
Bila ternyata pendarahan berasal berasal dari anterior:
2. pasang kembali tampon yang dibasahi adrenalin 1/1000 dan pontokin 2% sel
ama 5-10 menit, dan ala nasi ditekan ke arah septum.
3. setelah tampon diangkat, asal pendarahan di kaustik dengan larutan AgNO3
20-30% atau asam trikloroasetat 2-6% atau dengan elektrokauter.
4. Bila masih berdarah, pasang tampon anterior yang teridiri dari kapas ata
u kasa yang diberi boorzalf atau bismuth iodine paraffin paste (BIPP). Tampon in
i dipertahankan selama 1-2 hari (bila manggunakan boorzalf) atau 3-4 hari (bila
menggunakan BIPP).
Bila ternyata pendarahan berasal dari posterior:
5. Coba atasi dengan kasutik dan tampon anterior (lihat di atas).
6. Bila gagal, pasang tampon posterior (Bellocq); caranya:
- tampon ini terdiri dari gulungan kasa yang mempunyai dua benang disatu u
jung dan satu benang di ujung lain.
- masukkan kateter karet dari nares anterior ke dalam sampai tampak di oro
farings dan ditarik keluar melalui mulut.
- pada ujung kateter diikatkan salah satu dari dua benang yang ada pada sa
tu ujung dan kateter ditarik kembali melalu hidung. Dengan cara yang sama benang
yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung yang lain.
- kemudian kedua benang yang telah keluar melalui lubang hidung itu ditari
k, sedang telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah nasofaring
s, sampai tepat menutup koana.
- lalu kedua benang itu diikat pada tampon lain yang terletak dekat sekat
rongga hidung.
Benang dari ujung lain dikeluarkan melalui mulut dan dilekatkan secara longgar d
i pipi; benang ini berguna untuk menarik keluar tampon bila akan dilepas.
- bila perlu dapat dipasang pula tampon anterior.
- penderita harus dirawat dan tampon diangkat setelah 1-2 hari. Berikan an
tibiotik. Misalnya PS 8: 1.
Bila pendarahan menetap walaupun telah dilakukan tindakan di atas, perimbangkan
operasi ligasi arteri:
7. Untuk pendarahan anterior dilakukan ligasi a. etmoidalis anterior dengan
membuat sayatan dari bagian medial alis mata ke bawah kantus internus; setelah
jaringan dipisahkan akan tampak a. etmoidalis anterior.
8. Untun perdarahan posterior dilakukan ligasi a. maksilaris interna dengan
membuat sayatan dilipatan gingivobukal seperti pada operasi Caldwell Luc; setel
ah memasuki sinus diangkat sehingga tampak a. maksilais interna dan cabang-caban
gnyadi fosapterigomaksilaris.
KOMPLIKASI:
Dari perdarahan:
- anemi.
- syok.
Dari pemasangan tampon:
- sinusitis, otitis media, septikami.
- hemotimpanum.
- Laserasi palatum molle.
OBSTRUKSI JALAN NAPAS
Merupakan keadaan darurat yang dapat ditimbulkan oleh berbgai sebab, antara lain
:
1. Edema jalan napas: dapat disebabkan infeksi (difteri), reaksi alergi ata
u akibat insrumentasi pemasangan pipa endoktrakeal, bronkoskopi) dan trauma tump
ul.
2. Benda asing
3. Tumor: kista larings, papiloma larings, karsinoma larings; biasa sumbata
n terjadi perlahan-lahan.
4. Trauma daerah larings.
5. Spasme otot larings: tetanus, reaksi emosi.
6. Kelumpuhan otot abduktor pita suara (abductor paralysis): terutama bila
bilateral.
7. Kelainan kongenital: laryngeal web, fistula trakeoesofagus yang menimbul
kan laringotrakeomalasia.
PENATALAKSANAAN:
Bila disebabkan oleh benda asing (misalnya tersedak makanan) usahakan dikeluarka
n segera dengan Heimlich manuever:
A. penderita dalam posisi duduk/berdiri:
1. – penolong duduk/berdiri di belakang penderita
– lingkarkan kedua tangan, mengelilingi pinggang penderita.
– buat kepalan dengan satu tangan, tangan lain mencekap kepalan tersebut
dengan ibu jari menghadap perut dan diletakkan di epigastrium.
– lakukan pendorongan dengan kuat dan cepat ke arah atas.
– tindakan ini dapat diulang beberapa kali.
2. Bila tidak berhasil, coba kait benda asing tersebut dengan jari yang dim
asukkan ke dalam larings.
3. Bila sulit atau benda asing terletak dalam, penderita dibungkukkan dan d
ilakukan penepukkan kuat di punggung di antara kedua skapula.
B. penderita dalam posisi terlentang:
1. – penolong berlutut di atas penderita dengan kedua lutut di samping k
iri dan kanan tubuh penderita.
– satu telapak tangan diletakkan di epigastrium penderita, telapak tangan
yang lain di atasnya.
– lakukan penekanan dengan pangkal tlapak tangan dengan kuat dan cepat ke
arah atas.
– tindakan ini dapat diulang beberapa kali.
2. Bila penderita muntah, miringkan tubuhnya dan bersihkan mulutnya.
Bila cara-cara diatas gagal atau bila tidak disebabkan oleh benda asing, siapkan
segera bronkoskopi atau trakeotomi.
Terhadap penderita obstruksi jalan napas stadium I dan II dilakukan tindaka
n konservatif dengan oksigen, obat bronkodilator (aminofilin, Bisiolvon®)) dan a
nti edema (Papasee®); dan pengawasan ketat terhadap gejala yang timbul.
Obstruksi jalan napas stadium III dan IV memerlukan tindakan intubasi atau
trakeotomi segera.
Intubasi
Merupakan tindakan memasang pipa endoktrakeal (biasanya mempunyai cuff) atau bro
nkoskop.
Sulit atau tidak dapat dilakukan pada ederma larings, trauma larings berat, tumo
r yang menutup glotis atau parlisis n.rekurens bilateral. Cara ini relatif mudah
dan cepat dilakukan, tetapi:
- menyebabkan trauma larings sehingga dapat timbul jaringan parut yang men
yulitkan ektubasi
- tidak boleh dipasang lebih dari 2 x 24 jam
- sering terlepas sendiri sehingga dapat membahayakan penderita
- menghalangi intake peroral.
Trakeotomi
Merupakan tindakan membuat jalan napas baru dengan membuat lubang (stoma) pada t
rakea.
Menurut urgensinya dibagi atas:
- Emergency tracheostomy
Dilakukan pada keadaan darurat, biasanya di daerah glotis (trakeostomi tinggi);
sebaiknya segera diganti dengan trakeostomi rendah.
- Orderly tracheostomy
Merupakan tindakan berencana, dilakukan pada cincin trakea III atau di bawahnya
(trakeostomi rendah).
Teknik
- premedikasi dengan atropin sulfat 1 mg i.m.
- penderita dalam posisi hiperekstensi pada leher, bila perlu tengkuk diga
njal dengan bantal/kantong pasir.
- setelah a & antisepsis daerah tindakan, diberikan anestasi lokal (infilt
rasi) dengan prokain 1% mulai dari kartilago tiroid sampai daerah fosa supraster
nal, dapat juga dilakukan anestasi umum, tetapi sebelumnya trakea harus ditandai
dengan pipa endotrakeal atau bronkoskop.
- insisi dibuat mulai dari bagian bawah kartilago krikoid sampai fosa supr
asternal, tepat digaris tengah; cara ini lebih aman daripada insisi horisontal m
eskipun kosmetik lebihb buruk.
- jaringan subkutis disishkan, sedapat mungkin jangan memotong pembuluh da
rah; fasia otot dipotong digaris tengah.
- setelah cincin trakea tampak, ismus tiroid disisihkan, (bila perlu dipis
ahkan) sampai cincin trakea I-V terbuka; perdarahan dirawat.
- dapat disuntikkan beberapa tetes kokain 5% melalui interkartilago I untu
k mencegah iritasi pada pemasangan kanul.
- trakea dibuka di garis tengah, sebaiknya di bawah cincin trakea III, lal
u dibuat lubang atau flap yang sesuai dengan kanul yang akan dipasang.
- bila ada, benda asing dapat dicari dan dikeluarkan melalui stoma dengan
bantuan spekulum hidung dan pinset; bila ternyata benda asing itu terletak dista
l stoma dan tak dapat diambil, dorong ke salah satu satu bronkus agar jalan napa
s dapat terbuka sebagian dan segera kirim ke tempat yang mempunyai fasilitas bro
nkoskopi.
- pasca tindakan tidak perlu dijahit; bila perlu dapat dibuat jahitan long
gar di kedua ujung insisi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan:
- insisi yang terlampau pendek mempersulit pencarian trakea dan memudahkan
terjadinya emfisema subkutis.
- kanul sedapat mungkin sesuai dengan diameter lumen trakea:
- bila terlalu kecil akan mudah bergerak sehingga menimbulkan rangsangan.
- bila terlalu besar akan menekan dinding trakea, akibatnya mudah terjadi
nekrosis.
- bila terlalu pendek, mudah lepas dan masuk ke subkutis.
- Bila terlalu panjang ujungnya akan menggeser dinding trakea sehingga mer
angsang timbulnya jaringan granulasi dan stenosis.
Perawatan pasca trakeotomi
- sekret sering dibersihkan dengan penghisap, setiap 15 menit.
- kanul dalam dibersihkan sedikitnya sekali sehari; sedang kanul luar dapa
t 2-3 hari sekali.
- kain alas kanul harus diganti bila basah agar tidak terjadi dermatitis.
- dekanulasi dilakukan bertahap, mula-mula ditutup
 
bagian, bila tak ada
keluhan tutup ½ bagian, seterusnya ¾ bagian dan akhirnya ditutp seluruhnya, sete
lah itu baru kanul dilepas.
-
Komplikasi trakeotomi:
- pendarahan, terutama dari a. tiroidea yang terpotong.
- infeksi – perikondritis rawan titoid, pneumoni.
- jaringan granulasi.
- stenosis trakea atau larings.
- fistula trakeoesofagus.
- emfisema subkutis dan mediastinum.
- pneumotoraks.
HEMOPTISIS MASIF
Ialah batuk yang disertai dengan perdarahan lebih dari 600 ml dalam waktu 24 jam
(Cook).
Klasifikasi perdarahan (Pursel) :
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis darah
dalam spuktum.
+ + : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml.
+ + + : batuk dengan perdarahan 30 –150 ml.
+ + + + : batuk dengan perdarahan > 150 ml.
Penting dibedakan antara hemoptisis dengan aspirasi perdarahan dari saluran cern
a (hematemesis) yang dibatukkan:
Biasanya disebabkan oleh tbc paru, bronkiektasis, abses paru atau neoplasma yang
secara kasar dapat diduga dari sifat perdarahan:
- bila terdapat garis-garis perdarahan pada spuktum, biasanya disebabkan b
ronkitis akut atau pneumoni.
- bila terdapat perdarahan ringan terus-menerus biasanya disebabkan neopla
sma endobronkial.
- bila perdarahan terjadi dalam jumlah besar biasanya disebabkan infark pa
ru, kavitas atau bronkiektasis.
Penderita dapat meninggal karena:
- asfikasi akibat sumbatan jalan napas oleh bekuan darah.
- syok akibat perdarahan hebat.
PENATALAKSANAAN
A. Konservatif.
1. Istirahat baring dengan kepala lebih rendah dan miring ke sisi sakit.
2. Membersihkan jalan napas dari bekuan darah; bila perlu berikan oksigen i
ntermiten.
3. Pasang infus cairan; bila perlu lakukan transfusi darah.
4. Hindarkan batuk keras dengan memberikan:
- sedatif: - fenobarbital dengan dosis maksimum 250 mg/pemberian, im; ata
u
- diazepam 10 – 20 mg iv/im.
Antitusif: - kodein 10 – 20 mg peroral.
5. Obat-obatan koagulan
- vitamin K 10 mg iv.
- Adona AC - 17® 50 – 100 mg/3-4 jam iv.
6. Kantong es pada dada.
Tindakan selanjutnya, bila mungkin:
7. Menentukan asal perdarahan dengan foto Rontgen dan brokoskopi.
8. Menentukan penyebab dan mengobatinya.
B. Pembedahan.
Pembedahan darurat dipikirkan bila ada indikasi sebagai berikut (Busroh)
1. penderita batuk darah > 600 ml 24 jam dan dalam pengamatan tidak berhent
i.
2. penderita batuk darah antara 250-600 ml/24 darah masih berlangsung terus
.
3. penderita batuk darah antara 250-600 ml.24 jam dengan, kadar Hb > 10 g%
tetapi selama 48 jam perawatan konservatif, batuk darah tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakuakan, sedapat mungkin diperiksa faal paru da dipas
tikan asae perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, l
obektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
STATUS ASMATIKUS
PENDAHULUAN
Status asmatikus adalah suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam b
eberapa jam sampai beberapa hari, yang tidak memberi perbaikan pada pengobatan y
ang lazim.
Status asmatikus merupakan kedaruratan medik yang dapat beeakibat kematian,
oleh karena itu:
- Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan diutamaka
n terhadap usaha menanggulangi sumbatan salurna napas.
- Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperharikan faktor-faktor yang m
erangsang timbulnya serangan (debu, serbuk, makanan tertentu, infeksi saluran na
fas, stres emosi, obat-obatan tertentu seperti aspirin, dan lain-lain).
Gejala dan Tanda
1. Penderita dalam keadaan sesak nafas yang berat dengan ekspirasi disertai
wheezing (mengi); dapat disertai batuk dengan spuktum kental, sukar dikeluarkan
.
Pada pemeriksaan pemderia tampak gelisah, bernafas denganmenggunakan otot-otot t
ambahan, dengan tanda-tanda sianosis sentral, takikardi, pulsus paradoksus dan f
ase ekspirium memanjang yang disertai wheezing.
2. Pemeriksaan laboratorium sputum dan darah terdapat eosinofili, khususnya
pada asma alergik.
PENATALAKSANAAN
1. Bronkodilator.
Tidak digunakan obat-obat bronkodilator secara oral, tetapi dipakai obat-oba
t bronkodilator secara inhalasi atau per enteral.
Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya
diberikan aminofilin secara par enteral sebab mekanisme kerja yang berlainan; d
emikian sebaiknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan teofilin secara
oral maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau
parenteral. Obat-obat bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terh
adap adrenoreseptor-B2 (orsiprenalin, salbutamol, terbutalin, isoetarin, fenoter
ol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping y
ang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk non-selektif (adrenalin, efedrin, iso
prenalin).
- Obat-obat bronkodilator secara aerosol bekerja lebih cepat dan efek samp
ing sistemik lebih kecil. Baik untuk digunakan pada anak-anak ataupun pada dewas
a dengan sesak napas yang berat. Mula-mula diberikan dua sedotan dari suatu mete
red aerosol devise (Alupent®) metered aerosol). Jika pada penilaian sampai 10-15
menit tidak menunjukkan perbaikan, dapat diulang tiap 2 jam. Jika pada penilaian
sampai 10-15 menit tidak menunjukkan perbaikan, berikan aminofilin intravena.
- Obat-obat bronkodilator simpatomitetik memberik efek samping takikardi.
Penggunaan secara parenteral harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi
, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada orang dewasa dicoba dengan 0,3 ml lar
utan epinefrin 1: 1000 secara subkutan sedangkan pada anak-anak diberikan dengan
dosis 0,01 mg/kg BB secara subkutan (1 mg per ml) yang dapat diulangi tiap 30 m
enit untuk 2-3 kali tergantung kebutuhan.
- Pemberian aminofilin secara intravena dengan dosis awal 5,6 mg/kg BB, pa
da dewasa maupun anak-anak yang disuntikkan secara perlahan-lahan dalam 5-10 men
it. Selanjutnya sebagai dosis penunjang adalah 0,9 mg/kg BB/jam yang diberikan s
ecara infus. Efek samping yang dapat timbul ialah darah tekanan darah turun, ter
utama bila pemberian tidak perlahan-lahan.
2. Kortikosteroid.
Jika pemberian obat-obat bronkoditator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjut
kan dengan kortikosteroid.
- 200mg hidrokortison (Solu Cortef®) atau dengan dosis 3-4 mg/kg BB, diber
ikan secara intreavena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang tiap 2-4 jam se
cara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30-60
mg prednison atau dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi
, kemudian dosis dikurangi secara bertahap.
3. Pemberian oksigen dapat melalui kanula hidung dengan kecepatan aliran O2
2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberi kelembaban.
Botol yang paling sederhana ialah botol I yang dapat dibuat dari bekas botol
infus. Sebaiknya diisi cairan antiseptik (sublimat atau KmnO4 dan tutupnya dite
mbus oleh dua pipa; pipa yang panjang berhubungan dengan rongga pleura dan ujung
nya harus terletak 3-5 cm dibawah permukaan cairan, ini penting diperhatikan bil
a dari rongga pleura mengalir cairan (darah) yang akan meninggikan permukaan cai
ran dalam botol; sedang pipa pendek dibiarkan berhubungan dengan udara luar. Tut
up botol tak perlu kedap udara.
Bila ternyata dengan botol I tekanan rongga pleura tak dapat menjadi negatif, mi
salya karena robekan pleura terlalu besar, harus dilakukan penghisapan terus men
erus (continuous suction), untuk itu harus digunakan botol II atau rangkaian bot
ol III.
Bitol II mempunyai tiga pipa dan tutupnya harus kedap udara; pipa pertama dihubu
ngkan kerongga pleura, sedang pipa ketiga kealat penghisap; pipa kedua berhubung
an dengan udara luar, ujungnya berada kira-kira 10-15 cm dibawah permukaan caira
n, gunanya agar penghisapan tak dapat melebihi -15 cm H2O.
Rangkaian II lebih baik terutama bila rongga pleura masih mengeluarkan cairan se
hingga jumlah pedarahan dapat lebih tepat diukur dan tak perlu setiap kali mengu
kur kedalaman pipa kedua. Bila penghisapan akan dihentikan, pipa yang menuju kea
la penghisap harus diklem.
3 Bila tekanan rongga pleura telah negatif tetapi paru-paru tetap tidak me
ngembang, artinya terdapat sumbatan jalan nafas – berikan mukolitik, agar pender
ita serig batuk
TRAUMATIC WET LUNG
Gejala & Tanda:
- terutama terjadi setelah trauma tumpul
- penderita mengeluh batuk-batuk, kadang-kadang disertai darah, nyeri dada
, sesak nafas, tak ada demam
- pada auskultasi ronki basah yang merata
- penting untuk dibedakan dari bronkpneumoni karena gambaran klinik dan r
adiologik yang mirip.
Penatalaksanaan:
- istirahat baring
- bebaskan jalan nafas dengan:
- menganjurkan penderita sering-sering batuk
- nyeri dihilangkan dengan anestesi blok saraf interkosal; sedatif ttidak
dianjurkan karena menekan refleks batuk
- isap lendir, bila perlu sampai ketrakea; penghisapan tetap dilakukan sek
alipun penderita batuk-batuk karena justru pada saat itu lendir akan terdorong k
e proksimal
- bila perlu lakukan trakeostomi
- obat-obatan: mukolotik dan bronkodilato, misal:
- OBH 3 x 15-20 ml/hari atau
- Bisolvon 3 x -2 tablet/hari
PNEUMOMEDIASTINUM
Curigai pneumomediastinum bila timbul efisema subkutis yang dimulai didaerah leh
er, apalagi bila disertai sesak nafas hebat dan syok. Radiologik tampak bayangan
radiolusen dimediastinum dan sekitar jantung, atau retrosternal pada proyeksi l
ateral.
Penatalaksanaan:
- mediastinotomi:
- sayatan sesuai dengan trrakeostomi, lalu dilanjutkan kedaerah mediastinu
m secara tumpul dengan jari menyusuri cincin trakea lalu dilakukan trakeostomi.
- Bila disertai robekan esofagus dan/atau bronkus akan timbul pneumomedias
tinum yang progresif, dalam hal ini harus dilakukan toakotomi.
TAMPONADE & LUKA JANTUNG
Ditandai oleh keadaan umum yang cepat memburuk disertai tekanan vena jagular men
ingkat, pekak jantung meluas, bunyi jantung terdengar jauh dan pulsus paradoksus
.
Bila perikardium ikut terobek, akan terjadi juga hemotoraks.
Penatalaksanaan:
- atasi syok
- prikardiosentesis
- posisi penderita setengah duduk (menyudut 35-400 dengan verrtikal)
- jarum fungsi ditusukan didaerah paraxifoid kiri kearah bahu kiri
- tindakan ini hanya bersifat sementara, harus disusul dengan torakotomi
- torakotomi untuk memperbaiki robekan perikardium dan/atau dinding jantun
g.
KEDARURATAN SISTIM JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Syok Dengue shock syndrome Payah jantung akut Krisis hipertensi Infark jantung a
kut
SYOK
Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi da
rah kejaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Dalam keadaan b
erat terjadi kerusakan sel yang tak adapat dipulihkan lagi (syok ireversibel); o
leh karena itu penting untuk mengenali keadaan yang dapat disertai syok, gejala
dini dan penanggulangannya.
Secara klinik, syok dibagi atas dua golongan besar;
A. Syok hipovolemik – syok dengan volume plasma berkurang.
1. kehilangan plasama keluar tubuh - perdarahan gasnotroenteritis, renal (
diabetes melitus, diabetes insipidus), kulit (luka bakar, keringat berlebihan).
2. kehilangan cairan didalam ruang tubuh – patah tulang panggul atau iga, a
sites, ileus obstruktif, hemotoraaks, hemoperitoneum.
B. Syok norvolemik – syok dengan volume plasma normal
1. Kardiogenik (koroner/non koroner) – infark jantung, payah jantung artimi
.
2. Obstruksi aliran darah-emboli paru, tension pneumotorax, tamponade jantu
ng, aneurisma aorta dissecans, intrakardiak (milksoma ball-valve thrombus)
3. Neorogonik – trauma/nyeri heba (dislokasi sendi panggul, diatasi serviks
uteri yang terlampau cepat, tarikan pada funikulus spermatikus, kandung empedu
atau kardia lambung), obat-obatan (anistetik barbiturat, fenotiazin), hipotensi
ortostatik, lesi sumsum tulang
4. lain-lain – infeksi/spesis (syok septik), anafilaktik, kegagalan endokri
n (miksedema, Addison), Anokasi.
GEJALA & TANDA
Secara umum didapatkan gambaran kegagalan perfusi jaringan yang terjadi melalui
salah satu mekanisme dibawah ini:
1. Berkurangnya volume sirkulasi (syok hipovolemik).
2. kegagalan daya pompa jantung (syok kardiogenik)
3. Perubahan resistensi pembuluh darah perifer.
- penurunan tonus vasomotor (syok anfilaktik, neurogenik dan kegagalan end
okrin) atau peninggalan resistensi (syok septik, obstruksi aliran darah)
1. sistem jantung dan pembuluh darah:
- hipotensi, sitolik < 90 mm Hg atau turun ≥ 30 mHg dari semula.
- Tatikardi, denyut nadi > 100/menit, kecil, lemah/tak teraba
- Penurunan aliran darah koroner
- Penurunan aliran darah kulit, sianotik, dingin dan basah; pengisian kapi
ler yang lambat.
2. sistim saluran nafas:
- hiperventilasi akibat anoksi jaringan, penurunan venous serta peninggian
physiological dead space dalam paru
3. Sistim saraaaaf pusat:
- akibat hipoksi terjadi peninggian permeabilitas kapiler yang menyebabkan
edema serebri dengan gejala penurunan kesadaran
4. Sistim sauran kemih:
- oliguri (diuresis <30 ml/jam), dapat berlanjut mejadi anuri, uremi akiba
t payah ginjal akut.
5. perubahan biokimiawi; terutama pada syok yang lama dan berat:
- Asidosisi metabolik akibat anoksi jaringan dan gangguan fungsi ginjal
- Hiponatremi dan hiperkalemi
- Hiperglikemi
Menurut beratnya gejala, dapat dibedakan empat stadium syok; pembagian ini terut
ama berlaku untuk syok hipovelemik dan berhubungan dengan jumlah plasma yang hil
ang;
PENATALKSANAAN
Syok Hipovelemik
1. Bila disebabkan perdarahan, hentikan dengan tourniket balut tekan atau j
ahitan
2. Meletakan penderita dalam posisi syok:
- kepala setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pada dada.
- Tubuh horisontal atau dada sedikit lebih rendah
- Kedua tungkai lurus, diangkat 200
3. Perhatikan keadaan umum dan tanda-tanda vital; pelihara jalan nafas. Bil
a perlu lakukan resusitasi
4. Pemberian cairan:
- cairan diberikan sebanyak mungkin dalam waktu singkat (dengan pengawasan
tanda vital).
- Sebelum darah tersedia atau pada syok yang bukan disebabkan oleh perdara
han, dapat diberikan cairan:
- Plasma: Plasmanate
- Plasma ekspander: Plasmafusin (maksimum 20 ml/kgBB), Dextran 70. (maksim
um 15 ml/kgBB), Periston, Subtosan, Hemacell plasma expander dalam jumlah besar
dapat mengganggu mekanisme pembentukan darah
- Cairan lain: Ringer laktat, NaCl 0,9 %. Harus dikombinasi dengan cairan
lain kaena cepat keluar keruang ekstravakuler
- Untuk memperoleh hasil yang optimal, letakkan botol infus setinggi mungk
in dan gunakan jarum yang besar; bila perlu gunakan beberapa vena seksi.
- Pengawasan yang perlu
II. TRAUMA SUMSUM TULANG BELAKANG DAN TULANG BELAKANG
1. KOMOSIO SUMSUM TULANG BELAKANG
Keadaan ini jaranga terjadi.
Gejala yang timbul ialah kelumpuhan sementara dari angota gerak.
2. KONTUSIO SUMSUM TULANG BELAKANG
Keadaan ini biasanya menyertai fraktur tulang belakang.
Gejala-gejala yang timbul biasanya merupakan gangguan motorik, sensibilitas, mik
si dan defekasi.
Harus diingat segi perawatan khusus terhadap penderita paraplegi atau tetraplegi
.
3. FRAKTUR DAN DISLOKASI TULANG BELAKANG
A. DAERAH SERVIKAL
Trauma di daerah servikal biasanya merupakan trauma ekstensi-fleksi yaitu ke
adaan dimana kepala tiba-tiba bergerak ke belakang, kemudian fleksi ke depan ata
upun sebaliknya (whiplash injury)
GEJALA & TANDA
Timbul rasa nyeri di daerah tengkuk. Dapat disertai tetraplegi, yaitu kelump
uhan keempat anggota gerak.
Foto Ro daerah servikal dibuat antero-posterior dan lateral, foto lateral un
tuk melihat adanya kompresi korvus vrtebra.
PENATALAKSANAAN
- Pada saat mengangkat atau memindahkan penderita, diusahakan agar tidak b
anyak dilakukan gerakan, sebab dapat memperberat trauma pada sumsum tulang belak
ang. Usahakan supaya kepala tidak berputar dan dipertahankan dalam posisi lurus
terhadap tulang belakang atau lebih baik penderita dibaringkan telungkup di usun
gan. Penderita dibaringkan pada alas yang datardan keras. Hal serupa dilakukan p
ula saat dibuat foto Ro.
- Terhadap fraktur yang tidak memerlukan reposisi, dipasang gipskraag atau
kapur tahu untuk fiksasi.
Terhadap fraktur yang perlu reposisi, dilakukan traksi pada kepala mulai dengan
beban 5 kg bila lesi pada atas, dan selanjutnya untuk tiap lesi di korpus verteb
ra di bawahnya diberi tambahan beban 2 kg.
- Pengobatan untuk mengurangi edem dengan menggunakan kortikosteroid.
B. DAERAH TORAKAL
Fraktur di daerah torakal biasanya terjadi dalam sikap penderita membungkuk
ke depan sehingga bagian ventral korvus vertebra remuk akibat tergencet oleh kor
vus vertebra di atas dan di bawahnya.
GEJALA & TANDA
Dapat timbul paraplegia, yaitu kelumpuhan kedua tungkai.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dengan istirahat di tempat tidur dalam sikap hiperektensi se
lama ¡ 8 minggu.
C. DAERAH LUMBOSAKRAL
Fraktur didaerah lumbosakral biasanya terjadai akibat jatuh dari tempat ya
ng tinggi.
GEJALA & TANDA
Pada kerusakan cauda equina dijumpai gejala-gejala kerusakan saraf spinal
segmen lumbal I ke bawah. Gangguan motorik berupa kelumpuhan perifer satu atau k
edua tungkai. Gangguan sensorik berupa daerah hipestesi atau anestesi sesuai den
gan distribusi saraf yang terganggu. Gejala-gejala pada tungkai biasanya tidak s
etangkup. Pada kerusakan konus medularis dijumpai gejala-gejala kerusakan segmen
sakral ke bawah. Timbul vesica urinaria otonom (autonomic bladder) yaitu keadaa
n dimana urin menetes keluar tetapi tidak dapat keluar secara keseluruhan. Juga
terdapat anestesi di daerah sekitar anus dan paha bagian dalam, mungkin pula ter
dapat gangguan ereksi penis.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dengan berbaring lurus di tempat tidur yang datar. Jika terd
apat fraktur di daerah lumbal dipasang korset gips.
BAB 5
Kedaruratan Sistim Saluran Cerna
Hematemesis dan melena.
Gastroenteritis dehidrasi.
Akut Abdomen.
Trauma perut.
HEMATEMESIS DAN MELENA
Hemetemesis dan melena disebabkan oleh pendarahan saluran cerna yang dapat bersi
fat nyata atau tersembunyi (occult) yang berlangsung lambat dalam waktu yang lam
a.
Perdarahan nyata umumnya terjadi mendadak dan dapat menimbulkan keadaan yang gaw
at.
GEJALA DAN TANDA
Gambaran kliniknya berbeda-beda, tergantung pada:
- letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus.
- kecepatan dan jumlah perdarahan.
- penyakit penyebab perdarahan.
- keadaan penderita sebelum perdarahan.
Hematemesis ialah dimuntahkannya darah dari mulut; darah dapat berasal dari salu
ran cerna bagian atas atau darah dari luar yang tertelan (epistaksis, hemoptisis
, ekstraksi gigi, tonsilektomi). Tergantung pada lamanya kontak dengan asam lamb
ung, darah dapat berwarna merah, coklat atau hitam. Biasanya tercampur sisa maka
nan dan bereaksi asam.
Melena ialah feses berwarna hitam seperti er karena bercampur darah; umumnya ter
jadai akibat perdarahan saluran cerna bagian atas yang lebih dari 50-100 ml dan
biasnaya disertai hematemesis.
Melena tanpa hematemesis terjadi pada perdarahan jejunum/ileum asalkan perjalana
nya dalam usus lambat.
Biasanya melena berlangsung 1-3 hari, lalu berangsur normal meskipun darah
samar mungkin menetap sampai 3-8 hari (perdarahan < 50 ml, diketahui dengan tes
benzidin).
Hematokezia ialah keluarnya darah segar dari anus, umumnya terjadi akibat perdar
ahan saluran cerna bagian bawah. Dapat juga disebabkan perdarahan saluran cerna
bagian atas yang besar dan cepat disalurkan melalui usus.
Gejala lain:
- tergantung banyaknya perdarahan dan usia penderita, dapat timbul gejala
presyok/syok (lihak bab syok hipovolemik).
- dengan ringan antara 38-390 C.
- mungkin ada rasa nyeri; pada ulkus peptikum rasa nyeri yang ada bahkan m
enghilang karena darah dalam lambung/usus menetralkan asam lambung.
- hiperperistaltik akibat rangsangan darah dalam usus.
- gejala lain sesuai dengan penyebab.
- laboratorik:
- penurunan Hb dan Ht tampak setelah beberapa jam.
- lekositosis dan tombositosis pada 2-5 jam setelah perdarahan.
- peninggian kadar ureum darah setelah 24-48 jam akibat pemecahan protein
darah oleh bakteri usus; pada sirosis hepatis, yang meningkat ialah kadar amonia
k darah dan dapat mencetuskan koma hepatik.
Catatan: feses berwarna hitam dapat disebabkan oleh preparat besi, bismut,
charcoal(Norit®), sedang warna merah/ungu oleh bit atau preparat bromsulftalein
intravena. Untuk membedakannya, lakukan tes benzidin.
PENATALAKSANAAN:
Perhatikan beberapa hal penting di bawah ini:
- keadaan umum penderita, kesadaran dan tanda-tanda vital.
- apakah masih ada perdarahan, dan banyaknya.
- perkiraan jumlah darah yang keluar dengan melihat keadaan klinik penderi
ta dan anamnesis tentang lama, sifat, jumlah dan frekuensi perdarahan.
- singkirkan kemungkinan sumber perdarahan dari luar saluran cerna (epista
ksis, hemoptisis, ekstraksi gigi, tonsilektomi dan lain-lain).
- Lakukan rectal toucher secaa rutin.
Pengobatan konservatif:
1. Pemasangan sonde karet lunak ke dalam lambung untuk aspirasi darah dan b
ilas lambung dengan air es; juga untuk pemberian obat-obatan per oral.
2. Pemasangan CVP (Central Venous Preassure)
3. Tindakan mengatasi perdarahan dan mencegah perdarahan ulang:
a. koagulan lokal – diberikan topikal/oral: Thrombase 500® bubuk/dilarutkan 3 –
6 kali/hari, atau
Topostasin® 3 – 6 bungkus/hari (dilarukan).
b. Koagulan parenteral; salah satu dari preparat di bawah ini:
Adona AC-17® 3 – 4 x 100 mg/hari iv.
Anaroxy1® 2 x 5 – 10 mg/hari im/iv.
Coagulen ® 3 – 4 x 10 – 20 ml/hari im iv.
Coagumin ® 3 - 4 x 20 ml/hari im/iv.
Hesna® 3 x 2 ml/hari sk/im/iv.
Thrombase 100® 3 x 100 U/hari im/iv perlahan-lahan.
c. Vitamin K 10 – 20 mg/hari im/iv.
d. Vitamin B kompleks dengan asam folat.
e. Jika perdarahan masih berlangsung, berikan infus pitresin 20 U dalam 200 m
l glukosa 5 % selama 20 menit agar terjadi vasokonstriksi daerah splanknik. Dapa
t diulang tiap 4 jam meskipun efeknya akan makin berkurang. Tidak dapat diberika
n pada penderita insufisiensi koroner.
f. Pada perdarahan akibat pecahnya varises esofagus dapat dicoba pemasangan balo
n modisikasi (kondom) dalam esofagus, lalu ditiup agar menekan dinding esofagus.
g. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas dapat ditambahkan:
- menelan potongan es dan meletakkan balok es di atas perut.
- Selama ada perdarahan sedang/banyak, hentikan makanan peroral, bila tela
h berkurang dapat diberikan makanan cair tidak merangsang.
4. Transfusi daraha:
Diberikan bila Hb < 10 g% dan Ht < 30%; sedapat mungkin dalam bentuk
darah segar yang masih mengandung faktor pembekuan. Jika perdarahan telah berhen
ti > 24 jam diberikan packed cell.
Jumlah darah yang diberikan ialah 1
 
kali jumlah taksiran perdarahan,
kecuali pada kasus hipertensi portal (cukup 2/3 kalinya) karena peninggian teka
nan darah di daerah portal dapat menimbulkan perdarahan ulang.
5. Perhatian khusus terhadap:
a. Ensefalopati; cegah dengan:
- mempertahanka keseimbangan cairan dan elektrolit.
- pemberian glukosa.
- pemberian neomisin 2 – 4 x 15 ml/hari per oral.
- pemberian Duphalac® 3 x 15 ml/hari pe oral.
- diet rendah protein.
- klisma tiap hari selama ada perdarahan.
b. Infeksi sekunder; atasi dengan antibiotik spektrum luas
c. Asites; cegah dengan:
- diuretik, misalnya furosemid (Lasix® ) 1 – 3 x 40 mg/hari.
- suplementasi kalium, misalnya KCI 1 – 3 x 500 mg/hari.
- diet rendah garam.
II. Pembedahan
Pembedahan darurat dipikirkan bila pengobatan konservatif dianggap gagal; yaitu
bila:
1. Dalam 8 jam pertama, untuk memperbaiki dan mempertahankan tekanan darah/
sirkulasi diperlukan transfusi darah lebih dari 2 liter.
2. Dalam 24 jam berikutnya untuk mempertahankan sirkulasi diperlukan tranfu
si darah lebih dari 2 liter.
3. Perdarahan belum juga berhenti setelah 3 x 24 jam sejak dirawat, walaupu
n hanya sedikit-sedikit.
Indikasi pertama ialah yang paling mutlak, pembedahan tetap dijalankan meskipun
penderita dalam keadaan koma.
Pada perdarahan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh pecahnya varises
esofagus, sementara menunggu persiapan pembedahan/transportasi, dapat dicoba pem
asangan balon modifikasi atau (bila ada) pipa Sengstaken-Blakemore.
Pipa ini dimasukkan melalui hidung ke dalam lambung; sebelumnya penderita d
apat diberi petidin 15 – 20 mg im/iv. Setelah mencapai lambung, dipompokan udara
melalui dua lumen yang masing-masing berhubungan dengan balon retensi dalam lam
bung dan sebuah balon silindrik yang berfungsi menekan dinding esofagus. Lumen k
etiga berfungsi untuk aspirasi isi lambung atau memasukkan obat-obatan.
Komplikasi tindakan ini antara lain perdarahan ulang, erosi esofagus, sumba
tan jalan napas dan aspirasi.
Pembedahan darurat yang dapat dilakukan:
1. Transksi esofagus atau reseksi lambung dengan/tanpa alat anastomosis Boe
rema.
2. Shunt porto-kaval atau spleno-renal.
GASTROENTERITIS DEHIDRASI
Kasus gastroenteritis yang pada umumnya memberi gejala diare dan muntah dapat be
rakibat lanjut akibat pengeluaran cairan dan elektrolit dalam jumlah banyak, yai
tu:
1. Syok hipovolemik.
2. Kekurangan elektrolit.
3. Kegagalan ginjal mendadak (tipe prerenal).
4. Asidosis metabolik, karena:
a. Pengeluaran ion bikarbonat dalam jumlah besar.
b. Akibat kegagalan gunjal mendadak.
c. Pembakaran energi secara anerobik pada saat terjadi syok.
Untuk diagnosa dan penatalaksanaannya, dibedakan atas kasus anak dan dewasa.
I. GASTROEIN PADA DEWASA
GEJALA DAN TANDA:
Secara klinis dibedakan dalam dua bentuk:
1. Gastroenteritis Chleriform
Penyebabnya antara lain ialah Vibrio Parachemolitica, Vibrio Eltor, E.Coli
, Clostridia, keracunan makanan.
Bentuk ini tersering mengakibatkan dehidrasi. Gejala utama ialah diare dan
muntah. Diare yang terjadi tanpa mules tanpa tunesmus dan tidak mual. Bentuk ti
nja seperti ‘air cucian beras’ (rice mater stool).
2. Gastroenteritis disentriform.
Penyebabnya antara lain ialah Entamoeba Histolytica, Shigella, Salmonella.
Bentuk ini jarang mengakibatkan dehidrasi. Gejala yang timbul ialah kolik, diar
e, tenesmus, kotoran mengandung darah dan lendir, yang semuanya disebut sindrom
disentri.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan ialah:
a. Mengganti cairan yang hilang dan mengatasi syok.
b. Mengganti elektrolit yang hilang.
c. Mengenal dan mengatasi komplikasi yang terjadi.
d. Memberantas penyebabnya.
Urutan tindakan adalah:
1. Menentukan ‘nilai’ untuk menghitung jumlah cairan yang dibutuhkan.
2. Pemberian cairan dan elektrolit.
Cairan diberikan sebanyak:
nilai x berat badan x 0,1 x 1 liter
15
yang diberikan dalam waktu 2 jam. 2 jam berikutnya diberikan cairan sebanyak pen
geluaran cairan 2 jam pertama (dihitung dengan menggunakan cholera pot); demikia
n selanjutnya tiap 2 jam dihitung cairan yang keluar. Pemberian cairan harus leb
ih berhati-hati pada malnutrisi, penderita gemuk, anemia dan kelainan jantung.
Cara pemberian cairan ialah:
a. Per oral
Diberikan bila ‘nilai’ kurang dari 3. Untuk menghindari muntah, maka kadar kaliu
m harus rendah, misalnya dengan menggunakan cairan C. O. S. (Cholera Oral Soluti
on)
b. Per infus (I. V. F. D.).
Dapat diberikan bersama-sama dengan cairan per oral sehingga mengurangi kebutuha
n cairan per infus. Bila terjadi syok atau penurunan kesadaran, cairan per oral
tidak diberikan. Cairan per infus yang digunakan ialah Ringers Lactate atau laru
tan NaC1 0,9%: Na-bikar-bonat 1,5% = 2 : 1, ditambah dengan pulvus KCI 3 x 1 gra
m secara oral. Bila terjadi oligru atau anuri, pemberian kalium harus hati-hati.
3. Mengatasi komplikasi bila ada (lihat bab penatalaksanaan kegagalan ginjal a
kut).
4. Terapi kausal
Pada gastroenteritis choleriform, diberi tetrasik-lin-HC1 4 x 500 mg/hari selama
3 hari.
Pada gastroenteritis disentriform, dibedakan:
a. Yang disebabkan Entamoeba hystolitica
1. Metronidazole (Flagy1®)), 3 x 500 mg/hari selama 5 hari, atau
2. Tinidazole (Flasigyn®), 2g/hari, diminum sekaligus, selama 3 hari, atau
3. Emetine Bismuth lodide (E.B.I), 2 gram dalam 10 hari. Dimulai dengan dos
is kecil yaitu 0,05 gram sehari selama 2 hari, kemudian 0,1 gram sehari selama 2
hari, kemudian 0,2 gram sehari.
4. Tetrasiklin, 4 x 250 mg/hari selama 10 hari. Sering residif, sehingga pe
rlu dikombinasi dengan obat-obat lain.
b. Yang disebabkan Shigella, Salmonella diberikan ampisilin 100 mg/kg BB/ha
ri, terbagi dalam 4 dosis, selama 5 – 7 hari.
II. GASTRONTERITIS PADA ANAK
GEJALA & TANDA
Gejala utama ialah timbulnya diare, sedangkan gejala muntah dapat terjadi sebelu
m atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrol
it maka gejala dehidrasi mulai tampak. Dehidrasi ini dibagi menurut banyaknya ca
iran yang hilang, menjadi:
1. Dehidrasi ringan, jika kehilangan cairan 0 – 5% atau rata-rata 25 ml/kgB
B.
2. Dehidrasi sedang, jika kehilangan cairan 5 – 10% atau rata-rata 75 ml/kg
BB.
3. Dehidrasi berat, jika kehilangan cairan 10 – 15% atau rata-rata 125 ml/k
gBB.
PENATALAKSANAAN
1. Mengatasi dehidrasi.
A. Dehidrasi ringan atau sedang.
Diberi garam oralit 2 – 5 gelas/hari selama 2 – 3 hari. ASI tetap diberikan. Seb
aiknya pemberian oralit dengan sendok, tidak dengan botol, sebab dot pada botol
dapat merangsang tenggorok sehingga menimbulkan muntah. Adanya muntah tidak meru
pakan kontra indikasi bagi pemberian oralit; dalam keadaan ini, pemberian sediki
t-sedikit tapi sering dan bila muntah tidak dapat diatasi diberikan obat anti mu
ntah. Secara sederhana dan praktis, garam oralit dapat dibuat dengan cara: kedal
am 1 liter air steril dicampurkan ½ sendok teh peres NaC1,
 
sendok teh peres KC
1, ½ sendok teh peres Natrium-bikarbonat dan 2 sendok makan peres glukosa.
B. Dehidrasi berat.
1. Neonatus:
Cairan yang diberikan ialah cairan 4 : 1 (cairan glukosa 5 – 10%: natrium bi
karbonat = 4 : 1).
Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam adalah 250 x BB (dalam cc), misalnya sa
ma dengan x cc 4 jam pertama diberikan
 
bagian dengan jumlah tetesan X/48 tetes
/menit. 20 jam berikutnya sisa cairan dibagi rata, dengan jumlah tetesan X/80 te
tes/menit.
2. Bayi (bukan neonatus)
4 jam pertama diberikan cairan 3A dengan jumlah tetesan 6 x BB tetes/menit.
4 jam kedua diberikan cairan 3A dengan jumlah tetesan 3 x BB tetes/menit. 16 ja
m berikutnya diberikan cairan DG (Darrow-Glucose) dengan jumlah tetesan 3 x BB t
etes/menit. Jumlah cairan sehari maksimal 1500 cc, jadi tetesan maksimal pada 4
jam pertama adalah 40 tetes/menit selanjutnya 16 tetes/menit.
3. Neonatus BBLR (berat badan lahir rendah).
Cairan yang diberikan ialah cairan 4 : 1
Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam ialah 250 x BB (dalam cc), misalnya
sama dengan Y cc dengan jumlah tetesan Y/72 tetes/menit.
4. P.C.M
Cairan yang diberikan ialah cairan halfstrength DG (DG 1 : 1). Jumlah ca
iran yang diberikan ialah ¾ dari yang diperhitungkan. Misalnya berat badan 4 kg
maka jumlah tetesan pada 4 jam pertama ialah ¾ x (6 x 4) tetes/menit dan 20 jam
berikutnya ialah ¾ x (3 x 4) tetes/menit.
Pada dehidrasi berulang yaitu bila anak sudah refeeding jatuh dalam dehidrasi ke
mbali, maka pada dehidrasi ringan dan sedang diusahakan memperbanyak intake deng
an G.O.S. sedangkan pada dehidrasi berat maka mulai lagi seperti prinsip di atas
.
Pada dugaan terhadap Cholera (dengan gejala buang air besar seperti ‘air cucian
beras’ presyok atau syok) dilakukan cara/sistem ROSE, yaitu pemberian cairan Rin
ger’s Lactate pada 1 jam pertama jumlah tetesan adalah 10 x BB tetes/menit dan 7
jam berikutnya adalah 3 x BB tetes/menit. Bila setelah 1 jam sudah teratasi, te
ruskan sampai 1 jam; bila setelah 1 jam belum teratasi, teruskan sampai teratasi
.
Berikan oksitetrasiklin 30 – 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis. Tidak perlu
refeeding.
2. Antibiotika
Bila penyebab panas belum dibuktikan/ditemukan, maka pemberian antibiotika
adalah sebagai berikut:
a. Diatas umur neonatus:
Suhu sampai 38,50 C : tidak diberikan antibiotika.
38,50 C - 39,50 C prokain-penisilin 50.000 U/kg BB/hari
39,50 C - 400 C prokain-penisilin dan kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 dosis.
lebih dari 400 C ampisilin 100mg/kg BB/hari, dibagi dalam 4 dosis dan
gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2
dosis.
b. Neonatus/BBLR pemberian antibiotika harus agresif, diberi ampi
silin dan
gentamisin.
3. Koreksi asidosis metaboliks.
Koreksi asidosis dilakukan bila terdapat gejala pernafasan Kusmaull atau sec
ara pasti ditentukan dengan Astrup yaitu kadar HCO3 – kurang dari 18 m Eq/liter.
Pemberian Na-bikarbonat adalah 0,3 x BB x base excess mEq/liter yang diberik
an separuh dahulu sedangkan sisanya diberikan kemudian bila masih diperlukan.
Perhitungan pemberian larutan Na-bikarbonat:
Misalnya larutan Na-bikarbonat yang digunakan adalah 7% (Meylon®), maka pemb
erian adalah
8,4
0,3 x BB x BE x 7 ml
2
Untuk larutan Na-bikarbonat 8,4%, 1 ml = 1 mEq.
4. Koreksi elektrolit
Biasanya sudah teratasi dengan pemberian cairan 3 A dan Darrow Glucose. Namu
n demikian bila terjadi hipokalemi (dengan gejala kembung) dapat diberikan 2 – 4
mEq/kg BB/24 jam atau diberi KC1 per oral 75 mg/kg BB/hari. Bila timbul kembung
, anamnesa harus teliti sebab kembung yang terjadi sebelum diare dicurigai adany
a gejala-gejala ileus paralitik, ileus obstruksi atau anvaginasi.
5. Refeeding
Setelah dehidrasi (tak perlu menunggu 24 jam) dapat dimulai refeeding; umumn
ya ialah:
hari pertama : LLM 1/3 + GOS 2/3
Jumlah cairan = BB x 200cc/hari (maksimal 150
0cc) diberikan
6 – 7 kali
hari kedua : LLM 2/3 + GOS 1/3 jumlah cairan dan pemberian sepert
i pada
hari pertama.
6. Penyulit-penyulit yang mungkin terjadai: kejang, sepsis, bronkopneumonia, ens
efalitis.
AKUT ABDOMEN
Adalah keadaan dalam rongga abdomen yang memerlukan tindakan segera.
ETIOLOGI
1. Proses peradangan dalam rongga perut, yang dibedakan atas:
a. peradangan non perforatif, biasanya dapat ditunggu.
Mis: - Pankreatitis akuta
- Enteritis regional
- Peritonitas primer
- Infark ginjal akut.
b. Peradangan perforatif, biasa segera dilakukan eksplorasi.
Mis: - Apendisitas akuta
- Kholesistitis akuta
- Tifus abdominalis dengan perforasi
- Strangulasi dan nekrosis usus
- Peradangan yang disebabkan benda asing
2. Obstruksi Traktus Gastro Intestinalis yang dibedakan atas:
a. Obstruksi mekanis, oleh karena:
- Penyempitan lumen, mis. Pada atresia duodeni
- Obstruksi usus yang disebabkan perlekatan-perlekatan/lilitan yang menjerat.
- Hernia (interna/eksterna).
- Volvulus.
- Instususepsi (invaginasi)
- dan lain-ain.
b. Obstruksi karena gangguan persyarafan:
- ileus paralitika
- iles spastika
b. Obstruksi karena gangguan peredaran darah, misalnya trombosis atau embol
i.
3. Perdarahan di dalam rongga perut.
Mis: - Kehamilan ektopik perut.
- Ruptura aneurisma aorta.
- Ruptura lima.
- Perdarahan Traktus Gastro Intestinalis.
4. Trauma, yang dibedakan atas:
a. Trauma tajam
b. Trauma tumpul.
Hal-hal yang diperhatikan
1. Usia:
Anak-anak dan penderita usia lanjut lebih memerlukan perhatian oleh karena d
aya tahan, anatomis dan vaskularisasi yang kurang baik dibandingkan dengan pende
rita dewasa.
2. Waktu:
Tidak semua penderita memerlukan tindakan pembedahan segera. Bahkan ada pul
a yang tidak memerlukan tindakan operatif, bila keadaan akutnya dapat diatasi (s
etelah observasi, biasanya selama 6 jam).
3. Pemberian obat sebelumnya.
Terutama obat-obat analgetik-antipiretik, antibiotik dan kortikosteroid oleh
karena obat-obat ini dapat menghilangkan gejala akut abdomen sehingga diagnosis
sudah ditegakkan.
GEJALA & TANDA
a. Anamnesa:
1. Nyeri abdomen. Perhatikan onset: sifat progesivitas dan lokalisasi nyeri
. Bila timbul tiba-tiba, sedangkan sebelumnya penderita tenang, biasanya disebab
kan perdarahan.
Bila timbulnya nyeri cepat kemudian memberat secara menetap, pikirkan pankreatit
is akuta, trombosis mesenterika dan strangulasi usus. Nyeri yang timbul perlahan
-lahan karakteristik untuk proses peradangan, mis. Apendisitis dan divertikuliti
s. Sedangkan nyeri yang hilang timbul, intermiten dan seperti diremas-remas bias
anya akibat obstruksi mekanis.
2. Anoreksia, nausea dan vomitus
3. Diare/konstipasi:
Diare biasa menyertai apendisitis
Konstipasi dan keluhan tak dapat flatus biasa pada obstruksi
4. Demam.
b. Pemeriksaan fisik:
1. Inspeksi: kesadaran penderita, kegelisahan, kesakitan, posisi terbaring.
2. Palpasi: cari nyeri tekan, nyeri lepas, defansmuskuler, nyeri kontralate
ral. Juga perhatikan daerah inguinal dan femoral.
3. Perkusi: nyeri ketok, dan usahakan mencari cairan/udara bebas, pekak hat
i yang meninggi atau letak organ-organ yang tidak pada tempatnya.
4. Auskultasi: perhatikan perubahan suara bising usus.
c. Rectal toucher, vaginal toucher.
d. Laboratorium:
darah: hemoglobin, lekosit hitung jenis lekosit hematokrit
urin: anuria, hematuria (mikroskopik/makroskopik), lekosit, dan sedimen.
e. Radiologis.
A. APENDESITIS
Adalah peradangan dari Apendiks vermikularis saeki.
Gejala & Tanda:
a. Anamnesa:
- nyeri perut yang dimulai di epigastrium dan sekitar umbilikus, kemudian
berpindah dan menetap di kwadran kanan bawah.
- anoreksia, nausea dan vomitus
- demam yang tidak begitu tinggi
- diare atau obstipasi (tak spesifik)
b. Pmeriksaan fisik:
- sikap jalan agak terbongkok, fleksi sendi panggul kanan dan agak terting
gal pada pernafasan.
- nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri ketok dan defans muskuler pada daerah Mc
Burney, yang bertambah dengan peninggian tekanan intraabdominal (batuk, dsb).
- bising usus sedikit meninggi di daerah Mc Burney.
Pada anak-anak:
* pemeriksaan dimulai dari bagian yang tidak sakit.
* test nyeri lepas tidak perlu dilakukan.
* cari fokus infeksi di tampat lain (tonsil, gigi, dll).
c. rectal toucher:
nyeri tekan sekitar 11.
Cari kemungkinan cairan di cavum Douglasi Suhu rektal yang bedanya lebih 10
C dengan suhu aksila akan memperkuat diagnosis.
d. Laboratorium:
darah: lekositosis dengan pergeseran ke kiri urin: mungkin terdapat sedimen
lekosit
e. Radiologis: tidak khas, mungkin ada perkapuran atau udara bebas bila sudah te
rjadi perforasi.
Perjalanan peyakit:
1. Pada orang dewasa
perforasi
abses
akut infitrat
ekstraserbasi akut
sembuh
kronik/sembuh
2. Pada anak-anak:
karena omentum masih pendek, infiltrat jarang terjadi (infiltrat apendiks ia
lah tonjolan mesapendiks, usus dan omentum yang membungkus apendiks yang meradan
g).
Jaringan apendiks masih halus dan bila terjadi trombus – gangren – perforasi yan
g tak terbungkus – menyebar – abses yang mudah pecah – peritonitas difusa.
Penatalaksanaan:
1. Fase akut: apendektomi (operasi a chaud)
2. Perforasi : apendektomi
3. Infiltrat: konservatif:
- istirahat baring dalam Posisi Fowler
- antibiotik, terutama untuk bakteri Gram (-) mis kloramfenikol.
- observasi:
* fungsi vital, terutama suhu
* ukuran/luas infiltrat
* fluktuasi, perluasan peritonitis
* laju endap darah (2 x seminggu)
* hitung lekosit
Proses dianggap reda bila pada pemeriksaan 3 x berturut-turut LED dan hitung
lekosit tak meninggi, infiltrat tak teraba.
- apendektomi dilakukan 2 – 3 bulan kemudian (operasi afroid)
Pada anak-anak, pengawasan lebih teliti. Bila ragu-ragu, lakukan observasi
selama 6 jam dan bila masih ragu-ragu, lakukan operasi a chaud.
Pada anak-anak di bawah 7 tahun, fase infiltrat juga langsung apendektomi, karen
a pembungkusnya belum kuat.
4. Abses:
kecurigaan abses, bilamana:
- suhu naik-turun/berfluktuasi pada kurvanya.
- laju endap datah tetap tinggi.
- tanda-tanda fluktuasi lokal atau peritonitas
Sikap: drainase
Operasi dilakukan setelah proses tenang
5. Eksaserbasi akut: apendektomi
6. Kronis: operasi afroid (2 – 3 bulan kemudian).
Teknik apendektomi:
- Penderita terlentang dalam narkose
- Tindakan a dan antisepsis di daerah operasi dan sekitarnya.
- Insisi di daerah Mc Burney sepanjang 3 – 5 cm, dengan sayatan tegak lurus pad
a garis yang menghubungkan SIAS – umbilikus. Pada wanita muda/child bearing peri
od, insisi dapat sejajar lig. Inguinale atau paramedian/pararektal (2 – 3 jari d
i kanan garis tengah sepanjang 3 – 5 cm).
- Kulit dan subkutis/lapisan lemak diregang dengan hak tajam atau dibuka secara
tajam, perdarahan dirawat.
- Fasia otot Obligus Abdominalis Eksternus dicari secara tumpul kemudian dibuka
secara tajam sesuai arah serat-serat otot (kraniolateral ke mediokaudal)
- Otot Obligus Abdominalis Internus dibuka secara tumpul dengan gunting repair
sesuai arah serabut otot (laterokaudal ke kraniomdial), pasang hak tumpul.
- Otot Transversus Abdominalis dibuka secara tumpul
- Peritoneum diangkat dan dijepit memakai pinset supaya terangkat dari usus, ke
mudian digunting dan diperlebar.
- Saekum dicari (petunjuk taenia), diluksir dan dipegang dengan kasa yang sudah
dibasahi dengan NaCi fisiologis fisiologis hangat, apendiks dicari.
- Apendektomi:
Masapendiks dibebaskan, diklem. Kemudian dipotong dan dijahit (jahitan ontick
ing, memakai benang seyde), Pasang jahitan (jahitan onsticking, memakai benang s
eyde sekitar pangka apendiks. Klem diungkit ke atas, lalu dibuka. Diikat dengan
benang seyde halus, eratkan. Apendiks dipotong dengan pisau.
- Puntung apendiks diberi larutan jodium/betadin, jangan sekali-kali menyentuh
jaringan sekitar. Kemudian dibenamkan dalam tabac sac memakai pinset. Diperkuat
dengan Z suture.
- Perdarahan dirawat, alat-alat yang sudah terinfeksi segera diamankan.
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis:
* peritoneum: chromic cat gut
* otot-otot: cat gut
* fasia dan kulit: seyde
- Bila tak ada komplikas, jahitan diangkat pada hari ke 6 – 7
- Pada penderita dengan perforasi, pasang drain:
a. intraperitoneal: dengan tube
b. subfasial: drain sarung tangan
Rongga peritoneum dicuci lebih dulu dengan larutan NaCi fisiologis hangat.
- apendiks retrosaekal/bila ada perlengketan Apendekstomi secara retrograd (jah
itan tabac sac, kemudian dipotong dari basis).
- Pada waktu eksplorasi:
* perikssa kelenjar-kelenjar mesenterium
* bila ada divertikulum Mekeli: langsung diangkat pada wanita, periksa dindin
g pelvis lateral, tuba dan ovarium.
B. KOLESISTITIS AKUTA.
Adalah peradangan kantung empedu, kadang-kadang omentum dan usus melekat pad
a kantong empedu yang meradang.
Predisposisi:
4 F (female, forty, fatty, flabby)
Gejala dan Tanda
a. Anamnesis
- nyeri epigastrium/kwadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau skap
ula.
- anoreksia, nausea (teutama bila makan berlemak), vomitus.
- demam berulang
- kolik bilier
- riwayat pernah sakit kuning, sakit kantong empedu.
b. Pemeriksaan fisik: nyeri tekan kwadran kanan atas, yang dapat disertai hi
pertensi, spasme, defans muskuler dan nyeri bertambah waktu inspirasi dalam.
- Nyeri tekan kwadran kanan atas, yang dapat disertaihipertensi, spasme, d
efans muskuler dan nyeri bertambah waktu inspirasi dalam.
- Tanda Murphy (+) (waktu inspirasi pemeriksan menekan pinggir kosta dan t
erasa sangat nyeri pada dada bagian bawah).
- Kantong empedu jarang teraba, kecuali pada kasus-kasus dengan hidrops at
au empiema kantong empedu.
c. Laboratorium:
- lekositosis (12.000 – 15.000).
- masa protrombin memanjang
- kadar amilase serum meninggi
d. Pemeriksaan tambahan:
- Foto polos abdomen: cari batu kantong empedu.
- Kolesistografi
Diagnosa diferensial:
1. ulkus peptikum akuta
2. apendisitis akuta
3. gastroenteritis akuta
4. hepatitis.
Penatalaksanaan:
a. Koservatif:
- istirahat baring dalam posisi fowler
- beri cairan parenteral bila muntah-muntah banyak
- pengawasan nadi, suhu badan dan tekanan darah
- palpasi untuk observasi pembesaran kantong empedu
- antibiotik, mis. Tetrasiklin 1 – 2 gr/hr.
- spasmolitik atau petidin 50 mg. bila terdapat sakit hebat
b. Operasi: kolesistektomi
bila trdapat batu atau perforasi.
Perforasi sering pada usia lanjut atau penderita diabetes melitus.
PANKREATITIS AKUTA
Ialah kelainan pada pankreas yang dapat berupa edem, eksudat, perdarahan, supura
si atas nekrosis.
Gejala & Tanda
a. Anamnesa:
- nyeri abdomen hebat yang tiba-tiba dan merata di seluruh epigastrium, me
nyebar ke punggung.
- bersendawa, nausea dan vomitus yang hebat, kadang-kadang sampai muntah f
ekulen.
- kadang-kadang didapat peningkatan suhu badan.
b. Pemeriksaan fisik:
- tanda-tanda peritonitis abdomen atas: nyeri spontan/tekan, defans muskul
er, ileus.
- kadang-kadang terdapat ikterus.
- setelah penyakit berjalan beberapa hari pada sebagian penderita dapat di
raba suatu tumor.
- syok dan dehidrasi bila penyakit berat.
c. Laboratorium:
- amilase serum meningkat dan kemudian menetap dalam 24 – 48 jam, dapat me
ncapai 3.000 – 4.000 Somogyi unit/100 cc.
- lipase serum meningkat dan menetap beberapa hari
- kalsium serum menurun
- hematokrit meningkat
d. Pemeriksaan tambahan:
- foto polos abdomen, untuk menyingkirkan kemungkinan perforasi ulkus vent
rikuli.
Diagnosis diferensial:
1. kolesistitis akuta
2. perforasi ulkus ventrikuli
3. trombosis koroner
4. trombosis mesenterium
Komplikasi
a. Acute tubular necrosis, bila syok lama.
b. Komplikasi paru-paru; atelektasis ringan sampai kegagalan pernafasan, pleural
effusion terutama hemitoraks kiri
Penatalaksanaan:
Konservatif:
- istirahat baring, bila perlu diberi petidin 50 mg.
- pengisapan isi lambung secara intermiten
- perawatan terhadap syok dan dehidrasi
- antibiotik untuk mencegah/mengobati infeksi
- obat-obat antikolinergik, mis. Sulfas atropin 0.25 – 0.50 mg 3 x sehari atau a
nterenil 3 x 1 tablet sehari.
Tindakan operatif dilakukan pada:
- keadaan umum memburuk disertai obstruksi bilier
- terjadi pseudokista dengan/tanpa infeksi (tanda prograsivitas).
D. DIVERTIKULITIS.
Dapat dibedakan atas:
1. DIVERTIKULITIS MECKELL:
Mudah terjadi peradangan karena terdapat mukosa gaster ekropik yang memproduksi
HC1 sehingga mudah mengiritasi.
Gejala & Tanda:
- sukar dibedakan dengan apendisitis akuta
- sering terdapat riwayat intussusepsi
- nyeri kwadran kanan bawah, tanda-tanda peritonitis lokal.
lebih mudah terjadi perforasi dibandingkan apendisitis, dan kemungkinan menjad
i tumor karsinoid.
Penatalaksanaan:
Reseksi, lokalisasi lebih kurang 60 cm. proksimal dari Vulvula ileosaekal.
2. DIVERTIKULITIS KOLON:
Merupakan peradangan paling sering pada usus besar, biasanya pada kolon sini
stra atau sigmoid dan sering berbentuk mikroabses yang dapat menjadi ganas.
Gejala & Tanda:
a. Anamnesa:
- nyeri abdomen kwadran kiri bawah.
- kontsipasi karena pelekatan-perlekatan
- diare akibat obstruksi parsial, iritasi lokal dan hipermotilitas.
- melena.
b. Pemeriksaan fisik:
- deman
- nyeri tekan kwadran kiri bawah
- kadang-kadang teraba tumor (juga pada rectal toucher)
c. Laboratorium: lekositosis
e. Pemeriksaan tambahan: barium enema dan sigmoidoskopi.
Penatalaksanaan:
- Reseksi, primer dan anastomosis
- Bila besar, lakukan kolostomi pada kolon transversum
- Beri antibiotika, mis. Neomisin 4 x 500 mg/hari.
E. PERFORASI ULKUS PEPTIKUM:
Ialah perforasi dari lambung atau duodenum pada tempat di mana terjadi ulkus
.
Gejala dan Tanda:
- riwayat penyakit ulkus peptikum.
- nyeri abdomen tiba-tiba seperti disayat di daerah episgastrium yang dapa
t menjalar ke bahu kanan.
- defans muskuler.
- pekak hati menhilang
- perut kembung (meteorismus)
- basis usus menghilang
- foto polos abdomen: udara bebas di bawah diafragma
Penatalaksanaan:
- pasang sonde lambung
- pasang infus cairan
- antibiotik parenteral
- operasi: laparotomi.
PERFORASI PADA TIFUS ABDOMINALIS
Ialah perforasi usus (biasanya ileum) pada plaque peyeri pada penderita demam ti
foid.
Gejala dan tanda:
- diketahui/diduga menderita penyakit tifus abdominalis.
- muntah-muntah
- nyeri abdomen, terutama kwadran kanan kebawah (fossa iliaka).
- defans muskuler (+)
- meteorisme
- pekak hati menghilang
- bising usus menghilang
- facies abdominalis
- suhu badan turun
- nadi cepat, kecil
- foto polos abdomen: udara bebas di bawah diafragma
Penatalaksanaan:
- pasang infus cairan (mis. NaC1 fifiologis dan dekstran)
- antibiotik diberikan dalam dosis tinggi parenteral, mis. Kloramfenikol 4 x 1 g
r/hari atau Ampislin 4 x 1 g/hari.
- operasi: laparotomi eksplorasi.
G. ILEUS OBSTRUKTIF (OBTRUKSI MEKANIS)
Ialah jalan isi usus akibat obstruksi. Paling sering disebabkan oleh hernia
. Juga intussusepsi, yaitu masuknya sebagian usus kedalam bagian usus yang lebih
distal.
Intususepsi yang paling sering dijumpai adalah ileo-saekal, yang banyak did
apat pada bayi dan anak-anak. Pada orang dewasa intususepsi biasanya disertai ke
lainan patologis usus, misalnya polip, lipoma submukosa, hematoma submukosa, kar
sinoma atau inverted divertikulum Meckeli.
Hal-hal yang penting:
1. Obstruksi dapat menyebabkan proses katabolik karena intake tidak adekuat
.
2. Obstruksi menyebabkan keluarnya cairan dan elektrolit ke dalam lumen usu
s dan rongga peritoneum sehingga timbul vomitus, ketidakseimbangan elektrolit da
n gangguan metabolisme.
3. Obstruksi menyebabkan suplai darah ke arah distal tidak adekuat sehingga
terjadi perforasi.
Gejala dan Tanda:
a. Anamnesa:
- sakit perut hebat yang sifatnya hilang timbul.
- Anoreksia, nausea dan vomitus. Pada ileus obstruksi tinggi, muntah lebih
sering terjadi.
- Tidak flatus dan tidak defekasi sejak beberapa hari.
b. Pemeriksaan fisik.
- Penderita kesakitan/gelisah, bahkan sampai dehidrasi atau syok.
- Tampak contour usus dan gerak peristaltik usus (drum contour dan drum st
eifung).
Pada anak-anak, palpasi abdomen bimanual akan teraba tumor berbentuk sosis yang
terletak di perut kanan. Tumor mengeras pada periode kesakitan.
- Rectal toucher: pada sarung tangan terdapat perdarahan beserta lendir, t
erutama pada anak-anak.
- Bising usus meninggi terdengar sampai metallic sound
c. Pemeriksaan radiologis:
- foto polos abdomen, dalam posisi supine dan left lateral decubitus terli
hat gambaran usus step lateral decubitus terlihat gambaran usus step ledder patt
ern dan air fluid level
Penatalaksanaan
- Perbaiki keadaan umum dalam waktu singkat, disertai pemberian antibiotik
a dalam dosis tinggi.
- Operasi: laparotomi eksplorasi.
- Pada kasus intususepsi, dapat dicoba dahulu tindakan sebagai berikut:
Masukkan Barium enema dan dikontrol dengan fluoroskopi sampai tampak pengisian k
embali ileum dan pada palpasi sudah tak diraba lagi suatu benjolan. Bila gagal,
segera lakukan laparotomi eksplorasi.
TEKNIK LAPAROTOMI EKSPLORASI:
- Pasien telentang dalam narkose.
- Tindakan a dan antisepsis daerah abdemen dan sekitarnya.
- Insisi vertikal dimulai dari bawah Prosesus Sifoideus – teruskan melingk
ari umbilikus.
- Teruskan ke bawah sampai di atas simfisis tulang pubis.
- Pada trauma tajam abdomen, insisi sering dibuat agak lain dengan pertim
bangan-pertimbangan tertentu. Pada trauma tajam, eksisi luka dilakukan trakhir,
kecuali pada luka dimana insisi dimulai.
- Perdarahan segera dirawat, terutama yang berasal dari rongga abdomen ata
u organ yang terluka.
- Usus halus diangkat, diteliti dan dibawa ke kanan sehingga tampak rongga
pelvis yang kemudian dibersihkan.
- Pemeriksaan diteruskan pada kolon.
- Pemeriksaan lien, diafragma kiri dan fleksura lienalis.
- Pemeriksaan hepar, diafragma kanan fleksura hepatika, duodenum dan gaste
r. Kantong di bawah gester dibuka untuk memeriksa pankreas.
- Organ-organ yang terluka segera diatasi. Pencucian rongga abdomen dengan
larutan NaC1 fisiologis hangat (sesuai dengan suhu tubuh).
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
TEKNIK KOLOSTOMI
Kolostomi selalu dibuat proksimal dari obstruksi/lesi.
Kolon transversum (terletak intraperitoneal) dikenal dengan adanya omentum.
- insisi median atau paramedian.
- bebaskan perlekatan-perlekatan yang ada.
- kolon ditarik keluar, pasang katete di bawahnya.
- kolon dibuka
- lakukan penjahitan kolon dengan dinding perut, hati-hati supaya jangan k
ena mesenterium jahitan kemudian dilakukan seromuskuler, dan diikat.
- setelah 24 jam, kateter diangkat,
- selanjutnya diberi salep asam borat untuk melindungi kulit dan cairan ya
ng keluar tiap hari dibersihkan (spoel)
Lubang distal harus dibiarkan terbuka, sebab bila tertutup akan merupakan tabung
tertutup (blind loop) yang tetap bersekresi dan dapat pecah.
TRAUMA PERUT
Menurut penyebabnya, trauma perut dibagi atas:
1. Trauma tembus, yaitu dengan penetrasi ke dalam rongga perut; dapat diseb
abkan oleh luka tusuk atau luka tembak.
2. Trauma tumpul, yaitu tanpa penetrasi ke dalam rongga perut; dapat diseba
bkan oleh ledakan, benturan atau pukulan. Kematian akibat trauma perut dapat dik
urangi dengan diagnosis dan tindakan segera; biasanya disebabkan oleh perdarahan
atau peradangan dalam rongga perut.
GEJALA & TANDA
- Anamnesa yang selengkap mungkin, terutama mengenai cara terjadinya kecel
akaan, arah tusukan atau tembakan.
- Pada pemeriksaan fisik:
1. Mungkin ditemukan syok dan penurunan kesadaran.
2. Jejas di daerah perut; pada luka tusuk tembak dapat ditemukan pula prolaps is
i perut.
3. Adanya darah, cairan atau udara bebas dalam rongga perut penting dicari, teru
tama pada trauma tumpul:
a. tanda rangsang peritoneum: nyeri tekan, nyeri lepas, kekakuan dinding pe
rut, tanda Kehr (referred pain di daerah bahu, terutama kiri).
b. shifting dullness, pekak hati menghilang.
c. Bising usus melemah/menghilang.
Tanda rangsang peritoneum sering sukar dicari bila ada trauma pnyerta, terutama
pada kepala; dalam hal ini dianjurkan melakukan levase peritoneal.
- Pemeriksaan lain:
1. Rectal toucher – adanya darah menunjukkan kelainan usus besar.
2. Kuldosentesis – mencari adanya darah, cairan atau udara dalam rongga per
ut.
3. Sonde lambung – mencari adanya darah dalam lambung, sekaligus mencegah a
spirasi bila muntah.
4. Kateterisasi – mencari lesi saluran kemih.
- Pemeriksaan pembantu:
1. Darah – Hb, Ht dan lekosit; pada perdarahan Hb dan Ht akan terus menurun
, sedang jumlah lekosit terus meningkat; oleh karena itu pada kasus meragukan se
baiknya dilakukan pemeriksaan berkala.
2. Urin – penting untuk mengetahui adanya lesi saluran kemih.
3. Radiologik – tak perlu dilakukan bila indikasi laparotomi sudah jelas.
Biasanya dilakukan foto polos perut dalam posisi tegak dan miring ke kiri untuk
melihat:
- keadaan tulang belakang dan panggul.
- adanya benda asing (pada luka tembak).
- bayangan otot psoas.
- udara bebas (intra-/ekstraperitoneal).
4. Parasentesis perut – dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan m
enimbulkan kelainan dalam rongga perut.
TEKNIK:
- buli-buli terlebih dahulu dikosongkan.
- parasentesis dilakukan dengan jarum pungsi no. 18/20, ditusukkan di kuad
ran bawah atau di garis tengah di bawah pusat.
- bila pada aspirasi ditemukan darah, empedu, cairan usus atau udara, bera
rti ada lesi dalam rongga perut.
5. Lavase peritoneal – dilakukan melalui kanula yang dimasukkan lewat insis
i kecil di garis tengah di bawah pusat; bila pada aspirasi tidak keluar apa-apa,
dimasukkan kira-kira 1000 ml laruta NaC1 0,9% lalu dikeluarkan lagi.
Hasilnya positif bila ditemukan salah satu hal berikut:
- cairan yang keluar kemerahan.
- terdapat empedu.
- ditemukan bakteri atau eritrosit > 100.000/mm3.
- ditemukan lekosit > 500/ mm3.
- ditemukan amilase > 100 U/100 ml cairan.
PENATALAKSANAAN
1. Mengawasi dan mengatasi gangguan fungsi vital seperti syok atau gangguan
jalan napas:
- infus cairan/transfusi darah.
- memelihara jalan napas.
- memasang sonde lambung.
2. Laparotomi dilakukan bia terdapat:
a. Luka tusuk dengan:
- syok.
- tanda rangsang peritoneal.
- bising usus menghilang.
- prolaps isi perut.
- darah dalam lambung, buli-buli atau rektum.
- udara bebas intraperitoneal.
- parasentesis perut/lavase peritoneal positif.
- pada eksplorasi luka menembus peritoneum.
b. Luka tembak.
c. Trauma tumpul dengan:
- syok.
- tanda rangsang peritoneal.
- darah dalam lambung, buli-buli atau rektum.
- cairan/udara bebas intraperitoneal.
- Parsentesis perut/lavase peritoneal positif.
Selain kasus-kasus diatas, penderita diobservasi selama 24 – 48 jam. Laparo
tomi disini bertujuan mencari kerusakan organ melalui eksplorasi yang sistematik
.
Pertama-tama harus diatasi terlebih dahulu perdarahan yang ada, baru kemudi
an memperbaiki kerusakan organ yang ditemukan:
- kerusakan omentum direseksi
- kerusakan lima diatasi dengan splenektomi.
- kerusakan hati dijahit atau direksesi sebagian.
- kerusakan organ berongga (lambung, usus) ditutup secara sederhana (simpl
e closure) atau direksesi sebagian.
- kerusakan mesenterium dijahit.
- kerusakan pankreas juga dijahhit.
- kerusakan organ saluran kemih (lihat bab trauma saluran kemih).
BAB 6
Kedaruratan Sistim Saluran Kemih
Payah ginjal akut.
Retensi urin.
Trauma saluran kemih.
PAYAH GINJAL AKUT
Ialah keadaan penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak. Merupak
an keadaan darurat yang harus segera ditangani karena dapat menimbulkan kematian
, yang diakibatkan oleh
1. edema pulmonum
2. uremia
3. hiperkalemia
4. infeksi sekunder
Teori sekarang mengatakan kegagalan ginjal akut disebabkan aliran darah dari kor
teks ginjal mengurangi sehingga terjadi iskemia korteks. Akibatnya fungsi fungsi
ginjal menuru dan terjadi penimbunan air, sisa-sisa metabolisme protein dan ele
ktrolit di dalam darah.
GEJALA DAN TANDA:
1. oliguria, volume urine 20 – 200 ml/hari.
2. anoreksia, muntah-muntah, malaise, kesadaran menurun dan kelainan mental
.
3. ureum, kailum, kreatinin dan fosfat dalam darah meningkat.
4. natrium, kalsium dalam darah menurun.
5. proteinuria, hematuria dan isostenuria.
6. bila berat dan berlangsung lama, dapat terjadi hipertensi, hepatomegali,
dekompensasi kordis, edema pulmonum, anemia, asidosis dan koma uremikum.
Pada umumnya kegagalan gunjal akut dapat dibagi dalam tiga fase
1. fase oliguria
2. fase poliuria
3. fase penyembuhan
PENATALAKSANAAN:
1. cari etiologi dan atasi penyebab
2. diet:
- protein terbatas (protein terendah 20 gram/24 jam), tetapi usahakan prot
ein nilai biologik tinggi, jika perlu boleh diberi infus asam amino esensiel (mi
s.:Aminofuchsin®)
- karbohidrat minimal 100 – 150 gram/hari.
- atasi jumlah natrium dan kalium.
3. Keseimbangan cairan:
- fase oliguria: intake = output
- fase poliuria: intake = 2/3 output
4. ukur jumlah urine
5. pemberian manitol atau diuretik:
- Manitol 20% diberikan dengan dosis 100 ml. Perlahan-lahan selama 10 – 20
menit, dapat diulang tiap 2 jam sampai 3 kali.
- Furosemid:
Dosis lazim 500 mg/hari, maksimal 2 gram/hari untuk mencegah tinitus dan ketulia
n sementara sebaiknya jangan melebihi 250 mg/jam.
Furosemid jangan diberi bersamaan dengan sefaloridin.
- Ethacrymic acial:
Dosis: 1 mg/kg. Berat badan/hari
Kombinasi Manitol 20% 100 ml. Furosemid 500 mg dan Ethacrynic acid 70 mg. d
apat dipergunakan.
6. dialisa:
dilakukan bilaman tindakan konservatif tidak berhasil.
Indikasi dialisa:
- oliguria > 5 hari
- ureum darah > 200 mg%
- kalium darah > 5mEq/L
- pH darah < 7.10
Jenis dialisa yang dapat digunakan:
- dialisa peritoneal: pemasangan mudah, monitoring sukar
- hemodialisa: pemasangan sukar, monitoring mudah.
7. mengatasi komplikasi yang terjadi:
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
- hindari antibiotik yang menambah beban ginjal (Gentamisin, streptomisin,
dll, yang dikskresi oleh ginjal).
- Tansfusi darah diutamakan packed cell.
- Pada keadaan komaaaa, jika intake dan output sukar dinilai dapat dipasan
g central venous pressure dan perawatan penderita seperti merawat penderita yang
koma yang lain.
TEKNIK DIALISA PERITONEAL
- Penderita berbaring telentang
- Kendung kencing dikosongkan
- Kulit abdomen bagian bawah dicukur dan dibersihkan secara aseptik dengan
jodium dan alkohol
- Anestesi lokal digaris tengah, sekitar 3 cm. Dibawah pusat
- Insisi sekitar 0,5 cm. Sampai menembus subkutis
- Melalui insisi, dilakukan penembusan dinding perut dengan kateter perito
neal yang mempunyai logam berujung tajam didalamnya.
- Logam ditarik, kateter didorong kearah pelvis
- Masukan cairan dialisa kedalam rongga abdomen antara 1 sampai 2 liter da
n dibiarkan antara seperempat sampai satu jam.
Catatan:
1. bila timbul rasa sakit dirongga abdomen, dapat diberikan anestesi lokal
(Xylocain 2 %) sebanyak 1- 2 cc kedalam cairan
2. pemansan cairan sampai 37 – 40 0 C akan mengurangi rasa sakit/ mules
RETENSI URIN
Retensi urin merupakan kedaruratan yang harus mendapatkan pertolongan/tindakan s
egera, karena retensi urin total yang berlangusng beberapa hari dapat mengakibat
kan urosepsis yang dapat berakhir dengan kematian. Dalam hal seseorang tidak dap
at kencing, harus dibedakan antara retensi urin dan anuri. Retensi urin ialah ta
k dapat/ sukarnya urin keluar dari buli-buli, sedang anuri ialah terhentinya pr
oduksi urin akibat gangguan dibagian proksimal buli-buli.
GEJALA DAN TANDA
1. Kencing tak lampias, sukar, nyeri, pancaran kecil dan lemah, menetas sam
pai tak bisa kencing
2. Riwayat trauma infeksi saluran kemih
3. Nyeri spontan/tekan/ketok daerah suprasimfisis
4. mungkin disertai pula dengan tanda penyebab:
- pembesaran prostat
- teraba benda keras sepanjang uretra
- fimosis
5. Pemeriksaan pembantu untuk memastikan diagnosis:
- kateterisasi
- fungsi buli-buli
PENATALAKSANAAN
Prisipnya ialah:
1. Mengeluarkan urin secepatnya.
2. Memperbaiki keadaan umum – ingat kemungkinan infeksi, urosepsis, ganggua
n keseimbangan cairan
3. Pengobatan kausal
Urin dikeluarkan secepatnya dengan jalan:
1. Kateterisasi – biasanya dicoba dari no 18 – 20 F untuk dewasa; bila tak
dapat masuk, gunakan ukuran yang lebih kecil.
Bila pada saat memasukkan kateter, kateter terhenti ada beberapa kemungkinan:
- salah jalan (false route) – biasanya akan keluar darah; sering terjadi p
ada penggunaan Kateter yang terlalu kecil
- spasme m, sphincter urethreae internus – dapat diatasi dengan tekanan se
dang dan kontinyu
- batu uretra – biasanya dapat diraba dari luar; bila batu terletak proksi
mal dapat didorong kebuli-buli, bila distal, coba keluarkan dengan pinset.
- Struktur
Bila kateter 6F tak dapat masuk, keadaan ini disebut retensi urin total.
2. Bila katetrisasi gagal, gunakan busi filiform (2F – 6F).
- masukkan 4 – 6 busi ke dalam uretra, lalu manipulasi satu demi satu samp
ai salah satu busi masuk ke buli-buli; setelah itu busi yang lain dikeluarkan.
- hubungan busi yang tinggal dengan bougie follower ukuran terkecil (6F) d
an masukkan ke dalam uretra; demikian berangsur-angsur diganti dengan follower y
ang lebih besar.
- bila follower 18F sudah dapat masuk, tinggalkan dalam uretra selama 30 m
enit, lalu ganti dengan kateter Nelaton 14F/16F, tinggalkan selama 2 hari.
- kemudian ganti dengan kateter yang lebih besar berturut-turut setiap dua
hari, sampai kateter 20F/22F dapat masuk; biasanya setelah itu penderita dapat
kencing sendiri.
3. Bila busi filiform tak tersedia atau gagal, lakukan pungsi buli-buli atau sis
tostomi.
Pada pungsi buli-buli, cukup tusukkan jarum yang cukup besar sedekat mungkin
pada pinggir atas simfisis oubis miring ke atas. Berikan pula antibiotik, misal
nya PS 8: 1 atau ampisilin 4 x 250 – 500mg/hari.
Setelah keadaan umum membaik, dapat dicoba kembali kateterisasi.
4. Pengobatan kausal beberapa penyebab retensi urin:
1. Fimosis : sirkumsisi.
2. Infeksi : antibiotik yang sesuai.
3. Trauma : Lihat hal. 149
4. Striktur
- konservatif: businasi teratur setiap minggu, kemudian dua minggu sekali,
sebulan sekali dan seterusnya sampai setahun sekali seumur hidup. Hanya berhasi
l pada striktur yang pendek dan kecil.
- Operatif:
- reseksi bagian striktur, lalu dilakukan anastomosis end-to-end cara ini
tak dapat dilakukan bila daerah striktur > 1 cm.
- cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaring
an fibrotik.
stadium I – daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jari
ngan sehat diproksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa ur
etra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5 – 7 hari. Setelah
kateter diangkat, urin akan keluar melalui hipospadi buatan tersebut.
stadium II – beberapa bulan kemudian bila daerah striktur melunak, dilakukan pem
buatan uretra baru.
- Urethral plasty – dilakukan pada striktur di daerah prostat.
5. Batu saluran kemih: operatif.
6. Neurologik: coba fisioterapi.
7. Tumor prostat:
- hipertrifi prostat: pada rectal toucher teraba prostat yang membesar den
gan indurasi pada satu/beberapa tempat, keras, tak nyeri.
pengobatan merupakan kombinasi dari:
- prostateknomi.
- estrogen – misalnya dietilstilbestrol 3 x 100 mg untuk 10 hari pertama, lalu d
iturunkan sampai dosis terkecil yang dapat mempertahankan kadar fosfatase asam d
arah dalam batas normal.
- orkidektomi subkapsular.
TRAUMA SALURAN KEMIH
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena pe
rhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas yang ada di tubuh dan anggota g
erak saja; kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdar
ahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma salura
n kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada.
Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga
sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. J
uga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu diperbai
ki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik.
TRAUMA GINJAL
Dapat disebabkan oleh trauma langsung-baik tajam atau tumpul-di daerah perut bag
ian depan samping maupun daerah lumbal; dapat pula diakibatkan trauma tidak lang
sung sepeti jatuh terduduk, jatuh berdiri dan kontraksi perut yang berlebihan pa
da hidronefrosis.
GEJALA DAN TANDA
1. Jejas/luka daerah ginjal, kadang-kadang disertai terbentuknya tumor daer
ah pinggang.
2. Hematuri.
Biasanya tidak terjadi segera karena mula-mula terbentuk bekuan darah yang menyu
mbat kaliks atau ureter, hematuri baru timbul 24 – 48 jam kemudian setelah sumba
tan tersebut hilang. Bekuan darah tersebut dapat menyebabkan clot colic. Derajat
hematuri tak sejajar dengan beratnya trauma, bahkan pada avulsi ginjal tak dite
mukan hematuri.
3. Rangsang peritoneum. Timbul akibat darah dalam rongga perut, mungkin dis
ertai ileus paralitik.
4. Laboratorik.
Hb dan Ht (hematokrit) menurun. Pengamatan nilai Ht secara berkala dapat digunak
an untuk memperkirakan beratnya perdarahan.
Urin terdapat hematuri makroskopik/mikroskopik.
Pada Ro foto polos perut terdapat:
- Skoliosis ringan dengan bagian cekung menghadap ginjal yang terkena trauma.
- Gambaran psoas kabur.
- Contour gunjal hilang.
- Perhatikan juga keadaan tulang-tulang iga dan tulang belakang sekitarnya.
Pielogram intravena perlu dilakukan secepatnya tanpa menunggu hematuri berhenti.
Bertujuan menilai kedua fungsi ginjal-baik yang terkena trauma maupun yang seha
t-ini penting bila nantinya dipikirkan tindakan nefrektomi. Gambaran yang tak je
las dapat pula disebabkan oleh gangguan ekskresi akibat syok.
PENATALAKSANAAN
1. Istirahat baring, sekurang-kurangnya sampai seminggu setelah hematuri be
rhenti; mobilisasi dilakukan bertahap, bila kemudian hematuri timbul lagi, pende
rita diistirahatkan lagi.
2. Perhatikan tanda vital dengan ketat. Amati pembesaran tumor di daerah pi
nggang dan nilai Ht untuk menduga perdarahan. Hematom di pinggang dapat mencapai
1 – 2 liter.
3. Awasi hematuri dengan menampung urin tiap 3 jam dan dideretkan pada rak,
bila perdarahan berhenti maka tabung-tabung akhir berwarna makin coklat; bila t
etap/makin merah, perdarahan tetap berlangsung.
4. Antibiotika spektrum luas selama 2 minggu, karena bekuan darah sekitar g
injal dapat merupakan tempat berkembangnya bakteri.
5. Bila telah diyakini dapat ditangani secara konservatif, penderita dapat
diberi minum banyak untuk meningkatkan diuresis sehingga bekuan darah dalam ginj
al cepat keluar.
6. Bila perdarahan terus berlangsung dan keadaan umum memburuk, pikirkan ti
ndakan bedah. Tergantung pada kelainan yang dijumpai dapat dilakukan penjahitan,
nefrektomi parsiil atau total.
TRAUMA URETER
Jarang terjadi, terutama akibat kesalahan waktu pembedahan.
Gejala yang timbul tidak khas, setelah beberapa saat mungkin timbul gejala
rangsang peritoneum akibat ekstravasasi urin. Untuk memastikannya dapat dilakuka
n pielografi retrograd.
Pengobatan satu-satunya ialah pembedahan mungkin dilakukan reanastomosis, a
nastomosis ureteroereter atau dibuat ureterostomi.
TRAUMA BULI-BULI
Dapat berbentuk:
- Kontusio buli-buli: terdapat memar jaringan dan mukosa buli-buli
- Ruptura buli-buli ekstraperitoneal: biasanya terjadi akibat trauma yang
terjadi pada saat buli-buli kosong atau akibat patah tulang pelvis.
- Ruptura buli-buli intraperitoneal: terjadi akibat trauma pada saat buli-
buli penuh.
KONTUSIO BULI-BULI
Penderita mengeluh nyeri, terutama bila ditekan daerah suprapubik dan hematuri t
anpa tanda rangsang peritoneum. Sulit dibedakan dengan laserasi buli-buli atau r
uptura uretra intrapelvis.
PENATALAKSANAAN
- istirahat baring samapai hematuri makroskopik hilang.
- minum banyak untuk meningkatkan diuresis. Bila penderita dapat miksi den
gan lancar berarti tidak ada ruptura buli-buli ataupun uretra.
- bila hematuri berat dan menetap sampai 5 – 6 hari pasca trauma, buat sis
togram untuk mencari penyebab lain.
- obat-obatan.
Antibiotika: Ampisilin 4 x 250-500 mg/hari per oral.
Hemastotik: Adona AC-17®per oral.
RUPTURA BULI-BULI
Pada jenis ekstraperitoneal akan timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perku
si di daerah suprapubik akibat masuknya urin ke kavum Retzii. Benjolan ini sukar
dibedakan dari hematom akibat patah tulang pelvis yang sering menyertai. Patah
tulang pelvis dapat diketahui bila terasa nyeri waktu diadakan penekanan pada ke
dua krista iliaka.
Bila dalam 24 jam nyeri di daerah suprapublik mungkin meningkat disamping a
danya anuri, diagnosa ruptura buli-buli ekstraperitoneal dapat dibuat. Pada jeni
s intraperitoneal, urin masuk ke rongga perut sehingga perut makin kembung dan t
imbul tanda rangsang peritoneum. Mungkin juga tedpat nyeri suprapubik, tetapi ta
k terdapat benjolan dan perkusi pekak.
Pemeriksaan pembantu:
1. Tes buli-buli.
- Buli-buli dikosongkan dengan kateter, lalu di masukkan 300 ml larutan ga
ram faal yang sedikit melebihi kapasitas buli-buli.
- Kateter di klem sebentar, lalu dibuka kembali, cairan yang keluar diukur
kembali. Bila selisihnya cukup besar mungkin terdapat ruptura buli-buli.
Kekurangan dari tes ini ialah:
- hasil negatif palsi bila daerah ruptura tertutup bekuan darah, usus atau
omentum.
- Hasil positif palsu bila muara kateter terlalu tinggi atau kateter tersu
mbat bekuan darah sehingga selisih cairan tak bisa keluar.
- Sukar membedakan jenis ekstraperitoneal dengan intraperitoneal.
- Bahaya infeksi dan peritonitis bila ada ruptura jenis intraperitoneal.
2. Radiologik.
Uretrosistogram: mencari adanya eksravasasi urin dan lokalisasi kelainannya
serta membedakan jenis ekstraperitoneal dan intraperitoneal.
PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan setelah keadaan umum membaik, untuk ini dapat ditunda sampai
24 jam.
2. Perhatikan pula kemungkinan patah tulang pelvis.
3. Teknik operasi:
- Untuk anestesi lihat bab yang berhubungan
- Insisi mediana dari pusat sampai 1 jari di atas simfisis.
- Aponeurosis dipotong dan m. rectus abdominis dipisahkan secara tumpul.
- Bila ada ruptura buli-buli ekstrapeitoneal maka segera terlihat darah da
n urin.
- Setelah dibersihkan akan tampak bagian anteroposterior buli-buli dan per
lekatannya dengan peritoneum
- Dibuat insisi kecil di peritoneum pada puncak buli-buli untuk memeriksa
adanya darah dan urin dalam rongga perut.
Bila tak ada, segera tutup lagi dan perbaiki ruptura ekstraperitoneal yang ada.
Bila ada, menandakan adanya ruptura intraperitoneal, insisi peritoneum segera di
perlebar dan darah serta urin dibersihkan.
- Ruptura intraperitoneum diperbaiki lebih dahulu dengan:
Setlah membersihkan rongga perut, usus dan lemak prevesikal disisihkan ke atas;
bila perlu posisi penderita dibuat Trendelenburg ringan. Buli-buli dapat ditanda
i dengan bentuk otot dan pembuluh vena yang besar-besar di dindingnya. Dibuat in
sisi menembus buli-buli di daerah suprapublik, lalu dengan telunjuk yang dimasuk
kan dilakukan eksplorasi seluruh buli-buli. Telunjuk tersebut dapat sekaligus be
rfungsi sebagai retraktor untuk menampilkan daerah ruptura ke lapangan operasi.
Bagian yang ruptur dijahit dengan catgut No. 1 dengan menembus seluruh lapisan o
tot buli-buli, tak perlu lapis demi lapis. Perhatikan agar jangan sampai jarum m
enembus mukosa.
Kemudian dipasang kateter Foley melalui insisi suprapublik tadi. Sekitarnya dija
hit sedemikian sehingga kateter terfikasi dengan baik dan bila nantinya dicabut
sisa luka pada buli-buli dapat menutup sendiri. (bila hanya ada ruptura ekstrape
itoneal, pemasangan kateter tetap harus melalui insisi yang dibuat baru dan daer
ah ruptur di jahit).
- Setelah itu baru ruptura ekstraperitoneal dicari dan dijahit dengan cara
yang sama biasanya ruptura terjadi di bagian anterior dekat prostat.
- Bila perlu dapat dipasang drain prevesikal.
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
Pasca bedah:
- Pada ruptura buli-buli intravesikal, segera setelah syok teratasi berang
sur-angsur ubah posisi penderita menjadi Fowler.
- Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
- Antibiotika dosis tinggi.
- Perhatikan patah tulang pelvis.
TRAUMA URETRA
Umumnya disebabkan trauma langsung di daerah perineum dan pelvis.
GEJALA DAN TANDA:
- Perdarahan dari uretra.
- Hematom perineal; mungkin hanya disebabkan trauma bulbus kavernosus.
- Retensi urin.
Jika hanya terjadi memar mukosa uretra, penderita masih dapat kencing meskipun n
yeri, tetapi jika ruptura, terjadi spasme m, spinshter urethrae externum sehingg
a timbul retensi urin.
- Bila buli-buli terlalu penuh, terjadi ekstravasasi sehingga timbul nyeri
hebat dan keadaan umum penderita memburuk.
- Pemeriksaan pembantu:
1. Rectal toucher.
Bila ruptura terjadi di pars membranacea, maka prostat tak akan teraba; seba
liknya akan teraba hematom berupa massa lunak dna kenyal.
2. Uretrogram.
Untuk menentukan lokasi ruptura.
PENATALAKSANAAN
- Jika penderita dapat kencing dengan mudah, cukup observasi saja.
- Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan m
emasukka kateter Foley sampai buli-buli; hati-hati akan terjadinya kekeliruan ya
itu kateter tergulung saja diantara buli-buli dan diafragma urogenital. Setelah
kateter berhasil masuk buli-buli, tinggalkan selama 14 – 20 hari.
- Jika kateter gagal dipasang, lakukan pembedahan. Dalam keadaan darurat c
ukup dibuat sitostomi untuk menjamin aliran urin, caranya:
Setelah dilakukan anestesi (lokal/umum) dan a atau antisepsis daerah operasi, la
kukan sayatan vertikal secukupnya (3 – 4 cm) di daerah suprapubik. Setelah otot-
otot dipisahkan akan tampak dinding buli-buli. Dinding buli-buli ditembus sedist
al mungkin. Dimasukkan kateter Foley, balonnyadi kembangkan. Lalu dinding buli-b
uli dijahit sedemikian sehingga kateter terjepit erat. Luka operasi ditutup lapi
s demi lapis.
Pasca bedah:
Buli-buli dibilas dengan larutan antiseptik (KmnO4 encer) setiap hari. B
erikan antibiotika dosis tinggi (PP 1,5 juta U/hari).
- Setelah keadaan umum membaik, dapat dipikirkan operasi untuk menyambung
kembali uretra.
- Setiap penderita dengan trauma uretra harus diperiksa atau diawasi secar
a teratur selama sekurang-kurangnya 3 – 4 tahun untuk diagnosa dini striktura ur
etra. Hal ini dapat dilakukan ulangan pemeriksaan untuk tahun pertama tiap bulan
ke 1, 2, 3, 6, 9 dan 12 sedangkan untuk tahun berikutnya setiap 6 bulan.
BAB 12
Kedaruaratan Akibat Agens Fisik
Luka bakar
Heat Cramps
Heat Exhaustion
Heathyperpyrexia
Accidental hypothermia
Syok listrik
Tenggelam
LUKA BAKAR
Luka bakar ialah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-
benda yang menghasilkan panas (api, air panas, listrik) atau zat-zat yang bersif
at membakar (asam kuat, basa kuat).
Untuk menyelamatkan jiwa penderita, tindakan yang terpenting ialah:
1. Mencegah atau mengatasi syok.
2. Mencegah danmengobati infksi.
3. Untuk luka bakar daerah wajah dan leher atau bila terjadi inhalasi asap, perh
atikan bahaya edema larings.
DIAGNOSIS
Derajat luka bakar:
I. Hanya mengenai lapisan liar epidermis; kulit merah, sedikit edema dan ny
eri. Tanpa terapi sembuh dalam 2 – 7 hari.
II. Mengenai epidermis dan sebagian dermis; terbentuk bullae, edema nyeri he
bat. Bila bullae pecah tampak daerah merah yang mengandung banyak eksudat. Sembu
h dalam 3 – 4 minggu.
III. Mengenai seluruh lapisan kulit dan kadang-kadang menapai jaringan di baw
ahnya. Tampak leci pucat kecoklatan dengan permukaan lebih rendah daripada bagia
n yang tak terbakar. Bila akibat kontak langsung dengan nyala api, terbentuk les
i yang kering dengan gambaran koagulasi seperti lilin dipermukaan kulit. Tak ada
rasa nyeri (dibuktikan dengan tes pin-prick. Akan sembuh dalam 3 – 5 bulan deng
an sikatriks.
Luas luka-bakar:
A. Anak-anak – dihitung menurut rumus Lund dan Browder:
B. Dewasa-dihitung menurut rumus rule of nine.
Derajat luka bakar:
A. Ringan: - luka bakar derajat I.
- luka bakar derajat II seluas <15
- luka bakar derajat III seluas 2%
luka bakar ringan tanpa komplikasi dapat berobat jalan.
B. Sedang: - luka bakar derajat II seluas 10-15%
- luka bakar derajat III seluas 5 – 10%
luka bakar derajat sedang sebaiknya dirawat untuk observasi.
C. Berat: - luka bakar derajat II > 20%
- luka bakar derajat II yang mengenai wajah, tangan, kaki, ala
t kelamin
atau persendian sekitar ketiak.
- luka bakar derajat III seluas > 10%
- luka bakar akibat listrik dengan tegangan > 1000 volt.
- luka bakar dengan komplikasi patah tulang, kerusakan luas ja
ringan lunak atau gangguang jalan napas.
PENATALAKSANAAN
A. Pertolongan pertama dan transportasi:
1. Matikan api dengan memutuskan hubungan (suplai) dengan oksigen dengan me
nutup tubuh penderita dengan selimut, handuk, sprei dan lain-lain.
2. Perhatikan keadaan umum penderita.
3. Pendinginan:
- membuka pakaian penderita.
- merendam dalam air (20 - 300C) atau air mengalir selama 20 – 30 menit; u
ntuk daerah wajah cukup dikompres dengan air.
- bila disebabkan oleh zat kimia, selain air dapat digunakan NaC1 fisiolog
ik (untuk zat korosif) atau gliserin (untuk fenol).
- pendinginan ini tak berguna lagi untuk luka bakar > 1 jam.
4. Mencegah infeksi:
- luka ditutup dengan perban atau kain bersih kering dan tak dapat melekat
pada luka.
- penderita dikerudungi kain bersih.
- Luka jangan diberi zat yang tak larut dalam air seperti mentega, minyak,
kecap.
5. Pemberian sedatif – morfin 10 mg i.m (dewasa) atau 1 mg/tahun usia i.m (
anak-anak), diberikan dalam 24 – 48 jam pertama.
6. Bila luka bakar luas, penderita dipuasakan; kecuali bila cairan pararent
al tak dapat diberikan dalam 30 menit dan bising usus baik, dapat diberikan laru
tan garam peroral saja.
7. Transportasi ke fasilitas yang lebih lengkap sebaiknya dilakukan dalam 1
jam; bila tak mungkin, masih dapat dilakukan dalam 24 – 48 jam, pertama dengan
pengawasan ketat selama perjalanan. Lebih dari 48 jam sebaiknya ditunda sampai h
ari keempat-kelima keadaan umum stabil.
8. Khusus untuk luka bakar daerah wajah. Posisi kepala harus lebih tinggi d
ari tubuh; perhatikan kemungkinan edema larings. Bila perlu lakukan trakeotomi.
Pada mata diberikan salep mata antibiotik dan atropin sulfat 1% tetes mata untuk
mencegah infeksi.
B. Terapi cairan:
Diberikan pada luka bakar derajat II/lebih seluas > 20% pada anak-anak, ata
u > 30%, pada dewasa.
Jumlahnya berdasarkan luas luka bakar (%1b) dan berat badan (bb).
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd
28435295 sop-ugd

More Related Content

Similar to 28435295 sop-ugd

1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat
Andry Sartika, S.Kep.,Ners.,M.Kep
 
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docxPENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
udayaniuda
 
bhd.pdf
bhd.pdfbhd.pdf
bhd.pdf
AfuRuslan
 
RWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdf
RWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdfRWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdf
RWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdf
edipurwanto81
 
Occupational First Aid BM ver
Occupational First Aid BM verOccupational First Aid BM ver
Occupational First Aid BM verAfif Akmal
 
Makalah farmakologi- digoksin- analistiana farmasi -2014
Makalah farmakologi-  digoksin- analistiana farmasi -2014Makalah farmakologi-  digoksin- analistiana farmasi -2014
Makalah farmakologi- digoksin- analistiana farmasi -2014
Anna Lisstya
 
Modul 3 pedoman praktek
Modul 3   pedoman praktekModul 3   pedoman praktek
Modul 3 pedoman praktek
pjj_kemenkes
 
PEDOMAN TRIASE.docx
PEDOMAN TRIASE.docxPEDOMAN TRIASE.docx
PEDOMAN TRIASE.docx
nurulfauziyah34
 
Keperawatan kegawat daruratan ii
Keperawatan kegawat daruratan iiKeperawatan kegawat daruratan ii
Keperawatan kegawat daruratan ii
pjj_kemenkes
 
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
 Asuhan Keperawatan Hipertiroid Asuhan Keperawatan Hipertiroid
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
pjj_kemenkes
 
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
 Asuhan Keperawatan Hipertiroid Asuhan Keperawatan Hipertiroid
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
pjj_kemenkes
 
Lkpd 04 ulfiyah copy
Lkpd 04 ulfiyah   copyLkpd 04 ulfiyah   copy
Lkpd 04 ulfiyah copy
Ulfiyah1
 
Telaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugd
Telaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugdTelaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugd
Telaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugd
dr.Ade Adra
 
bagaimana melaporkan kejadian di rumah sakit
bagaimana melaporkan kejadian di rumah sakitbagaimana melaporkan kejadian di rumah sakit
bagaimana melaporkan kejadian di rumah sakit
AisyahPutri801
 
Syok hipovolemik
Syok hipovolemikSyok hipovolemik
Syok hipovolemik
gustians
 
Konsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat daruratKonsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat daruratdedy ari
 
BANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulut
BANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulutBANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulut
BANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulut
fajar367315
 
372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses
372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses
372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses
ambariyanto02
 
PPT GAWAT DARURAT.pptx
PPT GAWAT DARURAT.pptxPPT GAWAT DARURAT.pptx
PPT GAWAT DARURAT.pptx
ririiqlil
 
FISRT AID PRINT.pptx
FISRT AID PRINT.pptxFISRT AID PRINT.pptx
FISRT AID PRINT.pptx
Nuranto4
 

Similar to 28435295 sop-ugd (20)

1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat
 
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docxPENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
PENGAYAAN PRAKTIKUM.docx
 
bhd.pdf
bhd.pdfbhd.pdf
bhd.pdf
 
RWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdf
RWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdfRWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdf
RWAT3311_PRAKTEK-KLINIK-KEPERAWATAN-GAWAT-DARURAT_BAB-1-5_FINAL.pdf
 
Occupational First Aid BM ver
Occupational First Aid BM verOccupational First Aid BM ver
Occupational First Aid BM ver
 
Makalah farmakologi- digoksin- analistiana farmasi -2014
Makalah farmakologi-  digoksin- analistiana farmasi -2014Makalah farmakologi-  digoksin- analistiana farmasi -2014
Makalah farmakologi- digoksin- analistiana farmasi -2014
 
Modul 3 pedoman praktek
Modul 3   pedoman praktekModul 3   pedoman praktek
Modul 3 pedoman praktek
 
PEDOMAN TRIASE.docx
PEDOMAN TRIASE.docxPEDOMAN TRIASE.docx
PEDOMAN TRIASE.docx
 
Keperawatan kegawat daruratan ii
Keperawatan kegawat daruratan iiKeperawatan kegawat daruratan ii
Keperawatan kegawat daruratan ii
 
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
 Asuhan Keperawatan Hipertiroid Asuhan Keperawatan Hipertiroid
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
 
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
 Asuhan Keperawatan Hipertiroid Asuhan Keperawatan Hipertiroid
Asuhan Keperawatan Hipertiroid
 
Lkpd 04 ulfiyah copy
Lkpd 04 ulfiyah   copyLkpd 04 ulfiyah   copy
Lkpd 04 ulfiyah copy
 
Telaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugd
Telaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugdTelaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugd
Telaahan tentang ketersediaan obat emergensi di ugd
 
bagaimana melaporkan kejadian di rumah sakit
bagaimana melaporkan kejadian di rumah sakitbagaimana melaporkan kejadian di rumah sakit
bagaimana melaporkan kejadian di rumah sakit
 
Syok hipovolemik
Syok hipovolemikSyok hipovolemik
Syok hipovolemik
 
Konsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat daruratKonsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat darurat
 
BANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulut
BANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulutBANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulut
BANTUAN HIDUP DASAR pada terapis gigi dan mulut
 
372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses
372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses
372012721 pedoman-internal-pelayanan-igd-sukses
 
PPT GAWAT DARURAT.pptx
PPT GAWAT DARURAT.pptxPPT GAWAT DARURAT.pptx
PPT GAWAT DARURAT.pptx
 
FISRT AID PRINT.pptx
FISRT AID PRINT.pptxFISRT AID PRINT.pptx
FISRT AID PRINT.pptx
 

28435295 sop-ugd

  • 1. SOP UGD DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR …..……………………………………………………............................ i DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….. ii BAB–I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………. 1 1. Umum ………………………………………………………………………………… 1 2. Maksud dan Tujuan ………………………………………………………………… 1 3. Tata Urut ……………………………………………………………………………. 1 BAB–I STANDARD OPERATING PROCEDURE UNIT GAWAT DARURAT ….………. 2 Prinsip Penatalaksanaan Kedaruratan Medik..……………………………………… 2 Sikap Penolong …………………………………………………………………………. 2 1. Kedaruratan Sistem Pernapasan …………………………………………………………. 3 a. Epistaksis ………………………………………………………………………………... 3 b. Obstruksi Jalan Napas …………………………………………………………………. 4 c. Hemoptisis Masif ………………………………………………………………………… 7 d. Status Asmatikus ……………………………………………………………………….. 8 e. Trauma Wet Lung ………………………………………………………………………. 9 f. Pneumomediastinum …………………………………………………………………… 10 g. Tamponade dan Luka Jantung ………………………………………………………... 10 2. Kedaruratan Sistem jantung dan Pembuluh Darah ………………………………………. 10 Syok ………………………………………………………………………………………….. 10 3. Trauma Sumsum Tulang Belakang dan Tulang Belakang……..………………………… 12 a. Kommosio Sumsum Tulang Belakang ……………………………………………….. 12 b. Kontusio Sumsum Tulang Belakang …………………………………………………. 12 4. Fraktur dan Dislokasi Tulang Belakang ……………………………………………………. 13 a. Daerah Servikal ………………………………………………………………………… 13 b. Daerah Torakal ………………………………………………………………………… 13 c. Daerah Lumbosakral …………………………………………………………………… 13 5. Kedaruratan Sistim Saluran Cerna …………………………………………………………. 14 a. Hematemesis dan Melena …………………………………………………………….. 14 b. Gastroenteritis Dehidrasi ………………………………………………………………. 17 c. Akut Abdemen ………………………………………………………………………….. 24 d. Apendisitis ………………………………………………………………………………. 25 e. Kolestitis Akut …………………………………………………………………………… 27 f. Pankreatitis Akut ……………………………………………………………………….. 28 g. Divertikulitis …………………………………………………………………………….. 29 h. Perforasi Ulkus Peptikum ……………………………………………………………… 30 i. Perforasi pada Tifus Abdominalis …………………………………………………….. 30 j. Ileus Obstruktif (Obstruksi Mekanis) ………………………………………………….. 31 k. Trauma Perut ……………………………………………………………………………. 32 6. Kedaruratan Sistem Saluran Kemih ………………………………………………………… 34 a. Payah Ginjal Akut ……………………………………………………………………… 34 b. Retensi Urin …………………………………………………………………………….. 35 c. Trauma Saluran Kemih ………………………………………………………………… 37 7. Kedaruratan Akibat Agens Fisik ……………………………………………………………. 41 a. Luka Bakar ……………………………………………………………………………… 41
  • 2. b. Heat Cramps …………………………………………………………………………… 44 c. Heat Exhaustion ………………………………………………………………………. 44 d. Heat Hyperpyrexia ……………………………………………………………………. 45 e. Acciddental Hypothermia ……………………………………………………………. 46 f. Syok Listrik …………………………………………………………………………….. 46 g. Tenggelam …………………………………………………………………………….. 47 8. Keracunan ………………………………………………………………………………….. 48 9. Gigitan dan Sengatan ……………………………………………………………………… 51 a. Gigitan Ular …………………………………………………………………………….. 51 b. Gigitan Binatang Laut …………………………………………………………………. 52 10. Resusitasi …………………………………………………………………………………… 52 BAB–III PENUTUP ……………………………………………………………………………. 57 BAB 1 Prinsip Penatalaksanaan Kedaruratan Medik Kedaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang pada seti ap saat dan dimana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak, kecelakaan, atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mant ap di rumah sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa menceg ah dan membatasi cacat serta meringankan penderitaan dari penderita. Keadaan ini selain membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang baik dari penol ong dan sarana yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna. PERAWATAN KEDOKTERAN KRITIS Critical Care Medicine merupakan salah satu bentuk kegiatan kedokteran dari temp at kejadian dalam sistem penatalaksanaan keadaan darurat mulai dari tempat kejad ian sampai di rumah sakit. Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-ora ng sekitar korban; di antaranya akan menghubungi pertugas kesehatan atau dokter terdekat. Tidak jarang bahwa anggota Hansip, Polisi dan Pemadan Kebakaran terlib at dalam hal ini. Pertolongan ini hasus diberikan secara tepat sebab penangan ya ng salah justru dapat berakibat kematian atau cacat tubuh. Sudah menjadi suatu k ewajaran bila terhadap anggota Hansip, Polisi dan Pemadam Kebakaran diberi pendi dikan dan latihan mengenai hal tersebut. Setelah pertolongan pertama diberikan, selanjutnya penderita diangkut ke puskesmas atau rumah sakit setempat, sedapat m ungkin dengan angkutan khusus, misalnya mobil ambulan yang dilengkapi dengan per alatan dan petugas kesehatan. Selama perjalanan menuju ke Puskesmas atau Rumah S akit, penderita tetap mendapat pertolongan dan pengawasan yang ketat.Di Puskesma s atau di rumah sakit penderita mendapat pertolongan yang mantap oleh dokter dan petugas kesehatan lainnya. Dalam hal ini puskesmas harus gesit dan cakap dalam menangani penderita. Dalam keadaan di mana sarana di puskesmas tidak banyak memb antu maka disalurkan ke rumah sakit. Rumah Sakit dengan Unit Penanganan Insetifn ya (Intensive Care Unit) merupakan rantai akhir dari penanggunalangan penderita dalam Criticl Care Medicine. SIKAP PENOLONG Karena yang ditanggulangi adalah orang yang sakit berat dalam keadaan kritis mak a dokter harus berlomba dengan waktu dalam menyelamatkan jiwa penderita. Dalam k eadaan ini jangan bertindak panik namun bersikap tenang dan cekatan.Hal-hal pent ing yang harus diperhatikan terhadap korban: 1. Pernafasan dan denyut jantung.
  • 3. Bila pernafasan penderita berhenti, segera kerjakan pernafasan buatan se cara efektif lakukan pernafasan ‘mulut ke mulut’ dan bersamaan dengan ini ditel iti apakah ada penghentian denyut jantung. Jika jantung berhenti berdenyut, laku kan external cardiac massage. Usaha-usaha mengembalikan fungsi pernafasan dan si rkulasi ini dijelaskan dalam bab resusitasi. 2. Perdarahan. Lakukan usaha-uasha menghentikan pendarahan, terutama pendarahan dari pe mbuluh darah yang besar. 3. Syok. Perhatikan tanda-tanda syok serta penanggunalangan (lihat bab tentang sy ok). 4. Cegah aspirasi terhadap muntahan penderita dengan posisi penderita mirin g pada salah satu sisi tubuh atau ditelungkupkan. 5. Jangan terburu-buru memindahkan korban dari tempatnya sebelum dipastikan sarana angkutan yang memadai. Terhadap penderita fraktur, terlebih dahulu dilakukan pembidaian. Penatalaksanaa n selanjutnya secara terperinci akan diuraikan pada masing-masing bab. OBAT DAN PERALATAN Beberapa peralatan dan obat-obatan yang minimal dibutuhkan sebagai pertolongan p ertama dalam penatalaksanaan kedaruratan medik ialah: Peralatan. 1. Pembalut biasa. 2. Kasa steril. 3. Pembalut segitiga. 4. Plester. 5. Kapas. 6. Tourniquet. 7. Alat Suntik. 8. Alat-alat bedah sederhana. 9. Alat infus & transfusi. Obat-obatan. 1. Obat-obat antiseptik. Obat-obat suntikan. adrenaline, 1 mg/ml aminophylline, 250 mg/ 10 ml ampicilin, 250 mg/ dan 500mg atropine sulphate, 0,6mg/ml chlorpheniramine maleate, 10 mg/ml chorpromazine, 50mg/2ml dextrose 50 %, 20ml diazepam, 10mg/2ml digoxin, 0,5mg/2ml ergometrine, 0,5mg/ml ethyinoradrenaline, 2mg/ml furosemide, 20mg/2ml hydrocortisone sodium succinate, 100mg hyoscine N-butylbromide 20mg/ml morphine sulfate, 15mg/ml penicillin G, 1mega U (600mg) pentazocine 45 mg/1,5 ml dan 60 mg/2ml pethidine HCI, 100 mg/2ml phenobarbitone sodium, 200mg/ml phytomenadione 10mg/ml salbutamol 0,5 mg/ml trifulpromazine, 20mg/,ml aquadestilata
  • 4. 2. Obat-obat oral ampicillin, 250mg dan 500mg chlorpheniramine maleate, 4mg metronidazole, 200mg pencillin-VK, 250mg pentazocine, 50 mg pethidine, 50mg terbutaline 0,5 mg/ml tiemonium bromide, 50 mg. 3. Obat-obat per infus Ringer lactate Glucosa 5% NaC1 Peralatan lainnya yang minimal harus ada pada ruangan kedaruratan medik berupa: tangki oksigen dengan flow-meter-nya dan “regulator”nya serta alat penghisap sed erhana yang bisa dijalankan dengan baterai. Untuk fasilitas perlengkapan ruangan kedaruratan medik yang lebih sempurna memang harus disediakan beberapa macam ob at-obatan dan fasilitas tambahan sebagai berikut: Obat-obatan AgNO3 20-30% Asam trikloro asetat aminofilin isuprel sedilanid klonidin manitol 20% ureum 30% gliserin dalam air 30% asetasolamid asam cuka 2% ATS 1500 U Tule, savlon Sulfadiazin antidotum umum antivenom polivalen heparin eter hidroklorotiasid serpasil adona AC 17 ergometrin sintosinon sulfas magnesikus pentotal ketalar difenhidramin Obat-obatan untuk infus cairan plasma ekspander cairan 2 A tutofuchsin gliserin dekstrosa 5% Alat-alat
  • 5. Water seal drainage DC shock Intubator endotrakeal busi Nelaton kateter Fowley alat EMO alat bedah kebidanan matras vakum resusitator bayi Electra Convulsive Therapy Drain Tandu Bidai BAB 2 Kedaruratan Sistim Pernapasan Epistaksis Obstruksi Jalan Napas Hemoptisis masif Status asmatikus Trauma toraks EPISTAKSIS Epistaksis atau pendarahan dari rongga hidung hingga sering dijumpai dan sebagia n besar akan spontan atau oleh tindakan sederhana seperti penekanan hidung. Mesk ipun demikian ada pula kasus-kasus berat yang memerlukan pertolongan segera agar tidak berakibat fatal. Menurut sumbernya, epistaksis dibagi atas: 1. Epistaksis anterior: Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a. etmoidalis anterior. Terutama ditemui p ada anak-anak, biasanya ringan dan mudah diatasi 2. Epistaksis posterior: Berasal dari a. sfenopalatina dan/atau a.etmoidalis posterior. Sering terdapat p ada usia lanjut akibat hipertensi atau arteriosklerosis. Biasanya hebat dan jara ng berhenti spontan. Penatalaksanaan Mempunyai prinpsip:
  • 6. 1. menghentikan pendarahan. 2. mencegah komplokasi. 3. mncegah berulang dengan mencari penyabab. 1. Tentukan asal pendarahan dengan memasang tampon yang dibasahi dengan adr enalin 1/1000 dan pontokain 2%, dibantu dengan alat penghisap. Sedapat mungkin p enderita dalam posisi duduk. Bila ternyata pendarahan berasal berasal dari anterior: 2. pasang kembali tampon yang dibasahi adrenalin 1/1000 dan pontokin 2% sel ama 5-10 menit, dan ala nasi ditekan ke arah septum. 3. setelah tampon diangkat, asal pendarahan di kaustik dengan larutan AgNO3 20-30% atau asam trikloroasetat 2-6% atau dengan elektrokauter. 4. Bila masih berdarah, pasang tampon anterior yang teridiri dari kapas ata u kasa yang diberi boorzalf atau bismuth iodine paraffin paste (BIPP). Tampon in i dipertahankan selama 1-2 hari (bila manggunakan boorzalf) atau 3-4 hari (bila menggunakan BIPP). Bila ternyata pendarahan berasal dari posterior: 5. Coba atasi dengan kasutik dan tampon anterior (lihat di atas). 6. Bila gagal, pasang tampon posterior (Bellocq); caranya: - tampon ini terdiri dari gulungan kasa yang mempunyai dua benang disatu u jung dan satu benang di ujung lain. - masukkan kateter karet dari nares anterior ke dalam sampai tampak di oro farings dan ditarik keluar melalui mulut. - pada ujung kateter diikatkan salah satu dari dua benang yang ada pada sa tu ujung dan kateter ditarik kembali melalu hidung. Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung yang lain. - kemudian kedua benang yang telah keluar melalui lubang hidung itu ditari k, sedang telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah nasofaring s, sampai tepat menutup koana. - lalu kedua benang itu diikat pada tampon lain yang terletak dekat sekat rongga hidung. Benang dari ujung lain dikeluarkan melalui mulut dan dilekatkan secara longgar d i pipi; benang ini berguna untuk menarik keluar tampon bila akan dilepas. - bila perlu dapat dipasang pula tampon anterior. - penderita harus dirawat dan tampon diangkat setelah 1-2 hari. Berikan an tibiotik. Misalnya PS 8: 1. Bila pendarahan menetap walaupun telah dilakukan tindakan di atas, perimbangkan operasi ligasi arteri: 7. Untuk pendarahan anterior dilakukan ligasi a. etmoidalis anterior dengan membuat sayatan dari bagian medial alis mata ke bawah kantus internus; setelah jaringan dipisahkan akan tampak a. etmoidalis anterior. 8. Untun perdarahan posterior dilakukan ligasi a. maksilaris interna dengan membuat sayatan dilipatan gingivobukal seperti pada operasi Caldwell Luc; setel ah memasuki sinus diangkat sehingga tampak a. maksilais interna dan cabang-caban gnyadi fosapterigomaksilaris. KOMPLIKASI: Dari perdarahan: - anemi. - syok. Dari pemasangan tampon: - sinusitis, otitis media, septikami. - hemotimpanum. - Laserasi palatum molle. OBSTRUKSI JALAN NAPAS
  • 7. Merupakan keadaan darurat yang dapat ditimbulkan oleh berbgai sebab, antara lain : 1. Edema jalan napas: dapat disebabkan infeksi (difteri), reaksi alergi ata u akibat insrumentasi pemasangan pipa endoktrakeal, bronkoskopi) dan trauma tump ul. 2. Benda asing 3. Tumor: kista larings, papiloma larings, karsinoma larings; biasa sumbata n terjadi perlahan-lahan. 4. Trauma daerah larings. 5. Spasme otot larings: tetanus, reaksi emosi. 6. Kelumpuhan otot abduktor pita suara (abductor paralysis): terutama bila bilateral. 7. Kelainan kongenital: laryngeal web, fistula trakeoesofagus yang menimbul kan laringotrakeomalasia. PENATALAKSANAAN: Bila disebabkan oleh benda asing (misalnya tersedak makanan) usahakan dikeluarka n segera dengan Heimlich manuever: A. penderita dalam posisi duduk/berdiri: 1. – penolong duduk/berdiri di belakang penderita – lingkarkan kedua tangan, mengelilingi pinggang penderita. – buat kepalan dengan satu tangan, tangan lain mencekap kepalan tersebut dengan ibu jari menghadap perut dan diletakkan di epigastrium. – lakukan pendorongan dengan kuat dan cepat ke arah atas. – tindakan ini dapat diulang beberapa kali. 2. Bila tidak berhasil, coba kait benda asing tersebut dengan jari yang dim asukkan ke dalam larings. 3. Bila sulit atau benda asing terletak dalam, penderita dibungkukkan dan d ilakukan penepukkan kuat di punggung di antara kedua skapula. B. penderita dalam posisi terlentang: 1. – penolong berlutut di atas penderita dengan kedua lutut di samping k iri dan kanan tubuh penderita. – satu telapak tangan diletakkan di epigastrium penderita, telapak tangan yang lain di atasnya. – lakukan penekanan dengan pangkal tlapak tangan dengan kuat dan cepat ke arah atas. – tindakan ini dapat diulang beberapa kali. 2. Bila penderita muntah, miringkan tubuhnya dan bersihkan mulutnya. Bila cara-cara diatas gagal atau bila tidak disebabkan oleh benda asing, siapkan segera bronkoskopi atau trakeotomi. Terhadap penderita obstruksi jalan napas stadium I dan II dilakukan tindaka n konservatif dengan oksigen, obat bronkodilator (aminofilin, Bisiolvon®)) dan a nti edema (Papasee®); dan pengawasan ketat terhadap gejala yang timbul. Obstruksi jalan napas stadium III dan IV memerlukan tindakan intubasi atau trakeotomi segera. Intubasi Merupakan tindakan memasang pipa endoktrakeal (biasanya mempunyai cuff) atau bro nkoskop. Sulit atau tidak dapat dilakukan pada ederma larings, trauma larings berat, tumo r yang menutup glotis atau parlisis n.rekurens bilateral. Cara ini relatif mudah dan cepat dilakukan, tetapi:
  • 8. - menyebabkan trauma larings sehingga dapat timbul jaringan parut yang men yulitkan ektubasi - tidak boleh dipasang lebih dari 2 x 24 jam - sering terlepas sendiri sehingga dapat membahayakan penderita - menghalangi intake peroral. Trakeotomi Merupakan tindakan membuat jalan napas baru dengan membuat lubang (stoma) pada t rakea. Menurut urgensinya dibagi atas: - Emergency tracheostomy Dilakukan pada keadaan darurat, biasanya di daerah glotis (trakeostomi tinggi); sebaiknya segera diganti dengan trakeostomi rendah. - Orderly tracheostomy Merupakan tindakan berencana, dilakukan pada cincin trakea III atau di bawahnya (trakeostomi rendah). Teknik - premedikasi dengan atropin sulfat 1 mg i.m. - penderita dalam posisi hiperekstensi pada leher, bila perlu tengkuk diga njal dengan bantal/kantong pasir. - setelah a & antisepsis daerah tindakan, diberikan anestasi lokal (infilt rasi) dengan prokain 1% mulai dari kartilago tiroid sampai daerah fosa supraster nal, dapat juga dilakukan anestasi umum, tetapi sebelumnya trakea harus ditandai dengan pipa endotrakeal atau bronkoskop. - insisi dibuat mulai dari bagian bawah kartilago krikoid sampai fosa supr asternal, tepat digaris tengah; cara ini lebih aman daripada insisi horisontal m eskipun kosmetik lebihb buruk. - jaringan subkutis disishkan, sedapat mungkin jangan memotong pembuluh da rah; fasia otot dipotong digaris tengah. - setelah cincin trakea tampak, ismus tiroid disisihkan, (bila perlu dipis ahkan) sampai cincin trakea I-V terbuka; perdarahan dirawat. - dapat disuntikkan beberapa tetes kokain 5% melalui interkartilago I untu k mencegah iritasi pada pemasangan kanul. - trakea dibuka di garis tengah, sebaiknya di bawah cincin trakea III, lal u dibuat lubang atau flap yang sesuai dengan kanul yang akan dipasang. - bila ada, benda asing dapat dicari dan dikeluarkan melalui stoma dengan bantuan spekulum hidung dan pinset; bila ternyata benda asing itu terletak dista l stoma dan tak dapat diambil, dorong ke salah satu satu bronkus agar jalan napa s dapat terbuka sebagian dan segera kirim ke tempat yang mempunyai fasilitas bro nkoskopi. - pasca tindakan tidak perlu dijahit; bila perlu dapat dibuat jahitan long gar di kedua ujung insisi. Beberapa hal yang harus diperhatikan: - insisi yang terlampau pendek mempersulit pencarian trakea dan memudahkan terjadinya emfisema subkutis. - kanul sedapat mungkin sesuai dengan diameter lumen trakea: - bila terlalu kecil akan mudah bergerak sehingga menimbulkan rangsangan. - bila terlalu besar akan menekan dinding trakea, akibatnya mudah terjadi nekrosis. - bila terlalu pendek, mudah lepas dan masuk ke subkutis. - Bila terlalu panjang ujungnya akan menggeser dinding trakea sehingga mer angsang timbulnya jaringan granulasi dan stenosis.
  • 9. Perawatan pasca trakeotomi - sekret sering dibersihkan dengan penghisap, setiap 15 menit. - kanul dalam dibersihkan sedikitnya sekali sehari; sedang kanul luar dapa t 2-3 hari sekali. - kain alas kanul harus diganti bila basah agar tidak terjadi dermatitis. - dekanulasi dilakukan bertahap, mula-mula ditutup   bagian, bila tak ada keluhan tutup ½ bagian, seterusnya ¾ bagian dan akhirnya ditutp seluruhnya, sete lah itu baru kanul dilepas. - Komplikasi trakeotomi: - pendarahan, terutama dari a. tiroidea yang terpotong. - infeksi – perikondritis rawan titoid, pneumoni. - jaringan granulasi. - stenosis trakea atau larings. - fistula trakeoesofagus. - emfisema subkutis dan mediastinum. - pneumotoraks. HEMOPTISIS MASIF Ialah batuk yang disertai dengan perdarahan lebih dari 600 ml dalam waktu 24 jam (Cook). Klasifikasi perdarahan (Pursel) : + : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis darah dalam spuktum. + + : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml. + + + : batuk dengan perdarahan 30 –150 ml. + + + + : batuk dengan perdarahan > 150 ml. Penting dibedakan antara hemoptisis dengan aspirasi perdarahan dari saluran cern a (hematemesis) yang dibatukkan: Biasanya disebabkan oleh tbc paru, bronkiektasis, abses paru atau neoplasma yang secara kasar dapat diduga dari sifat perdarahan: - bila terdapat garis-garis perdarahan pada spuktum, biasanya disebabkan b ronkitis akut atau pneumoni. - bila terdapat perdarahan ringan terus-menerus biasanya disebabkan neopla sma endobronkial. - bila perdarahan terjadi dalam jumlah besar biasanya disebabkan infark pa ru, kavitas atau bronkiektasis. Penderita dapat meninggal karena: - asfikasi akibat sumbatan jalan napas oleh bekuan darah. - syok akibat perdarahan hebat. PENATALAKSANAAN A. Konservatif. 1. Istirahat baring dengan kepala lebih rendah dan miring ke sisi sakit. 2. Membersihkan jalan napas dari bekuan darah; bila perlu berikan oksigen i ntermiten. 3. Pasang infus cairan; bila perlu lakukan transfusi darah. 4. Hindarkan batuk keras dengan memberikan: - sedatif: - fenobarbital dengan dosis maksimum 250 mg/pemberian, im; ata u - diazepam 10 – 20 mg iv/im.
  • 10. Antitusif: - kodein 10 – 20 mg peroral. 5. Obat-obatan koagulan - vitamin K 10 mg iv. - Adona AC - 17® 50 – 100 mg/3-4 jam iv. 6. Kantong es pada dada. Tindakan selanjutnya, bila mungkin: 7. Menentukan asal perdarahan dengan foto Rontgen dan brokoskopi. 8. Menentukan penyebab dan mengobatinya. B. Pembedahan. Pembedahan darurat dipikirkan bila ada indikasi sebagai berikut (Busroh) 1. penderita batuk darah > 600 ml 24 jam dan dalam pengamatan tidak berhent i. 2. penderita batuk darah antara 250-600 ml/24 darah masih berlangsung terus . 3. penderita batuk darah antara 250-600 ml.24 jam dengan, kadar Hb > 10 g% tetapi selama 48 jam perawatan konservatif, batuk darah tidak berhenti. Sebelum pembedahan dilakuakan, sedapat mungkin diperiksa faal paru da dipas tikan asae perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, l obektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti. STATUS ASMATIKUS PENDAHULUAN Status asmatikus adalah suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam b eberapa jam sampai beberapa hari, yang tidak memberi perbaikan pada pengobatan y ang lazim. Status asmatikus merupakan kedaruratan medik yang dapat beeakibat kematian, oleh karena itu: - Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan diutamaka n terhadap usaha menanggulangi sumbatan salurna napas. - Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperharikan faktor-faktor yang m erangsang timbulnya serangan (debu, serbuk, makanan tertentu, infeksi saluran na fas, stres emosi, obat-obatan tertentu seperti aspirin, dan lain-lain). Gejala dan Tanda 1. Penderita dalam keadaan sesak nafas yang berat dengan ekspirasi disertai wheezing (mengi); dapat disertai batuk dengan spuktum kental, sukar dikeluarkan . Pada pemeriksaan pemderia tampak gelisah, bernafas denganmenggunakan otot-otot t ambahan, dengan tanda-tanda sianosis sentral, takikardi, pulsus paradoksus dan f ase ekspirium memanjang yang disertai wheezing. 2. Pemeriksaan laboratorium sputum dan darah terdapat eosinofili, khususnya pada asma alergik. PENATALAKSANAAN 1. Bronkodilator. Tidak digunakan obat-obat bronkodilator secara oral, tetapi dipakai obat-oba t bronkodilator secara inhalasi atau per enteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan aminofilin secara par enteral sebab mekanisme kerja yang berlainan; d
  • 11. emikian sebaiknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan teofilin secara oral maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral. Obat-obat bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terh adap adrenoreseptor-B2 (orsiprenalin, salbutamol, terbutalin, isoetarin, fenoter ol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping y ang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk non-selektif (adrenalin, efedrin, iso prenalin). - Obat-obat bronkodilator secara aerosol bekerja lebih cepat dan efek samp ing sistemik lebih kecil. Baik untuk digunakan pada anak-anak ataupun pada dewas a dengan sesak napas yang berat. Mula-mula diberikan dua sedotan dari suatu mete red aerosol devise (Alupent®) metered aerosol). Jika pada penilaian sampai 10-15 menit tidak menunjukkan perbaikan, dapat diulang tiap 2 jam. Jika pada penilaian sampai 10-15 menit tidak menunjukkan perbaikan, berikan aminofilin intravena. - Obat-obat bronkodilator simpatomitetik memberik efek samping takikardi. Penggunaan secara parenteral harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi , kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada orang dewasa dicoba dengan 0,3 ml lar utan epinefrin 1: 1000 secara subkutan sedangkan pada anak-anak diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg BB secara subkutan (1 mg per ml) yang dapat diulangi tiap 30 m enit untuk 2-3 kali tergantung kebutuhan. - Pemberian aminofilin secara intravena dengan dosis awal 5,6 mg/kg BB, pa da dewasa maupun anak-anak yang disuntikkan secara perlahan-lahan dalam 5-10 men it. Selanjutnya sebagai dosis penunjang adalah 0,9 mg/kg BB/jam yang diberikan s ecara infus. Efek samping yang dapat timbul ialah darah tekanan darah turun, ter utama bila pemberian tidak perlahan-lahan. 2. Kortikosteroid. Jika pemberian obat-obat bronkoditator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjut kan dengan kortikosteroid. - 200mg hidrokortison (Solu Cortef®) atau dengan dosis 3-4 mg/kg BB, diber ikan secara intreavena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang tiap 2-4 jam se cara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi , kemudian dosis dikurangi secara bertahap. 3. Pemberian oksigen dapat melalui kanula hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberi kelembaban. Botol yang paling sederhana ialah botol I yang dapat dibuat dari bekas botol infus. Sebaiknya diisi cairan antiseptik (sublimat atau KmnO4 dan tutupnya dite mbus oleh dua pipa; pipa yang panjang berhubungan dengan rongga pleura dan ujung nya harus terletak 3-5 cm dibawah permukaan cairan, ini penting diperhatikan bil a dari rongga pleura mengalir cairan (darah) yang akan meninggikan permukaan cai ran dalam botol; sedang pipa pendek dibiarkan berhubungan dengan udara luar. Tut up botol tak perlu kedap udara. Bila ternyata dengan botol I tekanan rongga pleura tak dapat menjadi negatif, mi salya karena robekan pleura terlalu besar, harus dilakukan penghisapan terus men erus (continuous suction), untuk itu harus digunakan botol II atau rangkaian bot ol III. Bitol II mempunyai tiga pipa dan tutupnya harus kedap udara; pipa pertama dihubu ngkan kerongga pleura, sedang pipa ketiga kealat penghisap; pipa kedua berhubung an dengan udara luar, ujungnya berada kira-kira 10-15 cm dibawah permukaan caira n, gunanya agar penghisapan tak dapat melebihi -15 cm H2O. Rangkaian II lebih baik terutama bila rongga pleura masih mengeluarkan cairan se hingga jumlah pedarahan dapat lebih tepat diukur dan tak perlu setiap kali mengu kur kedalaman pipa kedua. Bila penghisapan akan dihentikan, pipa yang menuju kea la penghisap harus diklem. 3 Bila tekanan rongga pleura telah negatif tetapi paru-paru tetap tidak me ngembang, artinya terdapat sumbatan jalan nafas – berikan mukolitik, agar pender ita serig batuk
  • 12. TRAUMATIC WET LUNG Gejala & Tanda: - terutama terjadi setelah trauma tumpul - penderita mengeluh batuk-batuk, kadang-kadang disertai darah, nyeri dada , sesak nafas, tak ada demam - pada auskultasi ronki basah yang merata - penting untuk dibedakan dari bronkpneumoni karena gambaran klinik dan r adiologik yang mirip. Penatalaksanaan: - istirahat baring - bebaskan jalan nafas dengan: - menganjurkan penderita sering-sering batuk - nyeri dihilangkan dengan anestesi blok saraf interkosal; sedatif ttidak dianjurkan karena menekan refleks batuk - isap lendir, bila perlu sampai ketrakea; penghisapan tetap dilakukan sek alipun penderita batuk-batuk karena justru pada saat itu lendir akan terdorong k e proksimal - bila perlu lakukan trakeostomi - obat-obatan: mukolotik dan bronkodilato, misal: - OBH 3 x 15-20 ml/hari atau - Bisolvon 3 x -2 tablet/hari PNEUMOMEDIASTINUM Curigai pneumomediastinum bila timbul efisema subkutis yang dimulai didaerah leh er, apalagi bila disertai sesak nafas hebat dan syok. Radiologik tampak bayangan radiolusen dimediastinum dan sekitar jantung, atau retrosternal pada proyeksi l ateral. Penatalaksanaan: - mediastinotomi: - sayatan sesuai dengan trrakeostomi, lalu dilanjutkan kedaerah mediastinu m secara tumpul dengan jari menyusuri cincin trakea lalu dilakukan trakeostomi. - Bila disertai robekan esofagus dan/atau bronkus akan timbul pneumomedias tinum yang progresif, dalam hal ini harus dilakukan toakotomi. TAMPONADE & LUKA JANTUNG Ditandai oleh keadaan umum yang cepat memburuk disertai tekanan vena jagular men ingkat, pekak jantung meluas, bunyi jantung terdengar jauh dan pulsus paradoksus . Bila perikardium ikut terobek, akan terjadi juga hemotoraks. Penatalaksanaan: - atasi syok - prikardiosentesis - posisi penderita setengah duduk (menyudut 35-400 dengan verrtikal) - jarum fungsi ditusukan didaerah paraxifoid kiri kearah bahu kiri - tindakan ini hanya bersifat sementara, harus disusul dengan torakotomi - torakotomi untuk memperbaiki robekan perikardium dan/atau dinding jantun g. KEDARURATAN SISTIM JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH Syok Dengue shock syndrome Payah jantung akut Krisis hipertensi Infark jantung a kut SYOK Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi da rah kejaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Dalam keadaan b erat terjadi kerusakan sel yang tak adapat dipulihkan lagi (syok ireversibel); o leh karena itu penting untuk mengenali keadaan yang dapat disertai syok, gejala dini dan penanggulangannya. Secara klinik, syok dibagi atas dua golongan besar; A. Syok hipovolemik – syok dengan volume plasma berkurang.
  • 13. 1. kehilangan plasama keluar tubuh - perdarahan gasnotroenteritis, renal ( diabetes melitus, diabetes insipidus), kulit (luka bakar, keringat berlebihan). 2. kehilangan cairan didalam ruang tubuh – patah tulang panggul atau iga, a sites, ileus obstruktif, hemotoraaks, hemoperitoneum. B. Syok norvolemik – syok dengan volume plasma normal 1. Kardiogenik (koroner/non koroner) – infark jantung, payah jantung artimi . 2. Obstruksi aliran darah-emboli paru, tension pneumotorax, tamponade jantu ng, aneurisma aorta dissecans, intrakardiak (milksoma ball-valve thrombus) 3. Neorogonik – trauma/nyeri heba (dislokasi sendi panggul, diatasi serviks uteri yang terlampau cepat, tarikan pada funikulus spermatikus, kandung empedu atau kardia lambung), obat-obatan (anistetik barbiturat, fenotiazin), hipotensi ortostatik, lesi sumsum tulang 4. lain-lain – infeksi/spesis (syok septik), anafilaktik, kegagalan endokri n (miksedema, Addison), Anokasi. GEJALA & TANDA Secara umum didapatkan gambaran kegagalan perfusi jaringan yang terjadi melalui salah satu mekanisme dibawah ini: 1. Berkurangnya volume sirkulasi (syok hipovolemik). 2. kegagalan daya pompa jantung (syok kardiogenik) 3. Perubahan resistensi pembuluh darah perifer. - penurunan tonus vasomotor (syok anfilaktik, neurogenik dan kegagalan end okrin) atau peninggalan resistensi (syok septik, obstruksi aliran darah) 1. sistem jantung dan pembuluh darah: - hipotensi, sitolik < 90 mm Hg atau turun ≥ 30 mHg dari semula. - Tatikardi, denyut nadi > 100/menit, kecil, lemah/tak teraba - Penurunan aliran darah koroner - Penurunan aliran darah kulit, sianotik, dingin dan basah; pengisian kapi ler yang lambat. 2. sistim saluran nafas: - hiperventilasi akibat anoksi jaringan, penurunan venous serta peninggian physiological dead space dalam paru 3. Sistim saraaaaf pusat: - akibat hipoksi terjadi peninggian permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema serebri dengan gejala penurunan kesadaran 4. Sistim sauran kemih: - oliguri (diuresis <30 ml/jam), dapat berlanjut mejadi anuri, uremi akiba t payah ginjal akut. 5. perubahan biokimiawi; terutama pada syok yang lama dan berat: - Asidosisi metabolik akibat anoksi jaringan dan gangguan fungsi ginjal - Hiponatremi dan hiperkalemi - Hiperglikemi Menurut beratnya gejala, dapat dibedakan empat stadium syok; pembagian ini terut ama berlaku untuk syok hipovelemik dan berhubungan dengan jumlah plasma yang hil ang; PENATALKSANAAN Syok Hipovelemik 1. Bila disebabkan perdarahan, hentikan dengan tourniket balut tekan atau j ahitan 2. Meletakan penderita dalam posisi syok: - kepala setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pada dada. - Tubuh horisontal atau dada sedikit lebih rendah - Kedua tungkai lurus, diangkat 200 3. Perhatikan keadaan umum dan tanda-tanda vital; pelihara jalan nafas. Bil a perlu lakukan resusitasi 4. Pemberian cairan: - cairan diberikan sebanyak mungkin dalam waktu singkat (dengan pengawasan tanda vital).
  • 14. - Sebelum darah tersedia atau pada syok yang bukan disebabkan oleh perdara han, dapat diberikan cairan: - Plasma: Plasmanate - Plasma ekspander: Plasmafusin (maksimum 20 ml/kgBB), Dextran 70. (maksim um 15 ml/kgBB), Periston, Subtosan, Hemacell plasma expander dalam jumlah besar dapat mengganggu mekanisme pembentukan darah - Cairan lain: Ringer laktat, NaCl 0,9 %. Harus dikombinasi dengan cairan lain kaena cepat keluar keruang ekstravakuler - Untuk memperoleh hasil yang optimal, letakkan botol infus setinggi mungk in dan gunakan jarum yang besar; bila perlu gunakan beberapa vena seksi. - Pengawasan yang perlu II. TRAUMA SUMSUM TULANG BELAKANG DAN TULANG BELAKANG 1. KOMOSIO SUMSUM TULANG BELAKANG Keadaan ini jaranga terjadi. Gejala yang timbul ialah kelumpuhan sementara dari angota gerak. 2. KONTUSIO SUMSUM TULANG BELAKANG Keadaan ini biasanya menyertai fraktur tulang belakang. Gejala-gejala yang timbul biasanya merupakan gangguan motorik, sensibilitas, mik si dan defekasi. Harus diingat segi perawatan khusus terhadap penderita paraplegi atau tetraplegi . 3. FRAKTUR DAN DISLOKASI TULANG BELAKANG A. DAERAH SERVIKAL Trauma di daerah servikal biasanya merupakan trauma ekstensi-fleksi yaitu ke adaan dimana kepala tiba-tiba bergerak ke belakang, kemudian fleksi ke depan ata upun sebaliknya (whiplash injury) GEJALA & TANDA Timbul rasa nyeri di daerah tengkuk. Dapat disertai tetraplegi, yaitu kelump uhan keempat anggota gerak. Foto Ro daerah servikal dibuat antero-posterior dan lateral, foto lateral un tuk melihat adanya kompresi korvus vrtebra. PENATALAKSANAAN - Pada saat mengangkat atau memindahkan penderita, diusahakan agar tidak b anyak dilakukan gerakan, sebab dapat memperberat trauma pada sumsum tulang belak ang. Usahakan supaya kepala tidak berputar dan dipertahankan dalam posisi lurus terhadap tulang belakang atau lebih baik penderita dibaringkan telungkup di usun gan. Penderita dibaringkan pada alas yang datardan keras. Hal serupa dilakukan p ula saat dibuat foto Ro. - Terhadap fraktur yang tidak memerlukan reposisi, dipasang gipskraag atau kapur tahu untuk fiksasi. Terhadap fraktur yang perlu reposisi, dilakukan traksi pada kepala mulai dengan beban 5 kg bila lesi pada atas, dan selanjutnya untuk tiap lesi di korpus verteb ra di bawahnya diberi tambahan beban 2 kg. - Pengobatan untuk mengurangi edem dengan menggunakan kortikosteroid. B. DAERAH TORAKAL Fraktur di daerah torakal biasanya terjadi dalam sikap penderita membungkuk ke depan sehingga bagian ventral korvus vertebra remuk akibat tergencet oleh kor vus vertebra di atas dan di bawahnya.
  • 15. GEJALA & TANDA Dapat timbul paraplegia, yaitu kelumpuhan kedua tungkai. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan dengan istirahat di tempat tidur dalam sikap hiperektensi se lama ¡ 8 minggu. C. DAERAH LUMBOSAKRAL Fraktur didaerah lumbosakral biasanya terjadai akibat jatuh dari tempat ya ng tinggi. GEJALA & TANDA Pada kerusakan cauda equina dijumpai gejala-gejala kerusakan saraf spinal segmen lumbal I ke bawah. Gangguan motorik berupa kelumpuhan perifer satu atau k edua tungkai. Gangguan sensorik berupa daerah hipestesi atau anestesi sesuai den gan distribusi saraf yang terganggu. Gejala-gejala pada tungkai biasanya tidak s etangkup. Pada kerusakan konus medularis dijumpai gejala-gejala kerusakan segmen sakral ke bawah. Timbul vesica urinaria otonom (autonomic bladder) yaitu keadaa n dimana urin menetes keluar tetapi tidak dapat keluar secara keseluruhan. Juga terdapat anestesi di daerah sekitar anus dan paha bagian dalam, mungkin pula ter dapat gangguan ereksi penis. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan dengan berbaring lurus di tempat tidur yang datar. Jika terd apat fraktur di daerah lumbal dipasang korset gips. BAB 5 Kedaruratan Sistim Saluran Cerna Hematemesis dan melena. Gastroenteritis dehidrasi. Akut Abdomen. Trauma perut. HEMATEMESIS DAN MELENA Hemetemesis dan melena disebabkan oleh pendarahan saluran cerna yang dapat bersi fat nyata atau tersembunyi (occult) yang berlangsung lambat dalam waktu yang lam a. Perdarahan nyata umumnya terjadi mendadak dan dapat menimbulkan keadaan yang gaw at. GEJALA DAN TANDA Gambaran kliniknya berbeda-beda, tergantung pada: - letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus. - kecepatan dan jumlah perdarahan. - penyakit penyebab perdarahan.
  • 16. - keadaan penderita sebelum perdarahan. Hematemesis ialah dimuntahkannya darah dari mulut; darah dapat berasal dari salu ran cerna bagian atas atau darah dari luar yang tertelan (epistaksis, hemoptisis , ekstraksi gigi, tonsilektomi). Tergantung pada lamanya kontak dengan asam lamb ung, darah dapat berwarna merah, coklat atau hitam. Biasanya tercampur sisa maka nan dan bereaksi asam. Melena ialah feses berwarna hitam seperti er karena bercampur darah; umumnya ter jadai akibat perdarahan saluran cerna bagian atas yang lebih dari 50-100 ml dan biasnaya disertai hematemesis. Melena tanpa hematemesis terjadi pada perdarahan jejunum/ileum asalkan perjalana nya dalam usus lambat. Biasanya melena berlangsung 1-3 hari, lalu berangsur normal meskipun darah samar mungkin menetap sampai 3-8 hari (perdarahan < 50 ml, diketahui dengan tes benzidin). Hematokezia ialah keluarnya darah segar dari anus, umumnya terjadi akibat perdar ahan saluran cerna bagian bawah. Dapat juga disebabkan perdarahan saluran cerna bagian atas yang besar dan cepat disalurkan melalui usus. Gejala lain: - tergantung banyaknya perdarahan dan usia penderita, dapat timbul gejala presyok/syok (lihak bab syok hipovolemik). - dengan ringan antara 38-390 C. - mungkin ada rasa nyeri; pada ulkus peptikum rasa nyeri yang ada bahkan m enghilang karena darah dalam lambung/usus menetralkan asam lambung. - hiperperistaltik akibat rangsangan darah dalam usus. - gejala lain sesuai dengan penyebab. - laboratorik: - penurunan Hb dan Ht tampak setelah beberapa jam. - lekositosis dan tombositosis pada 2-5 jam setelah perdarahan. - peninggian kadar ureum darah setelah 24-48 jam akibat pemecahan protein darah oleh bakteri usus; pada sirosis hepatis, yang meningkat ialah kadar amonia k darah dan dapat mencetuskan koma hepatik. Catatan: feses berwarna hitam dapat disebabkan oleh preparat besi, bismut, charcoal(Norit®), sedang warna merah/ungu oleh bit atau preparat bromsulftalein intravena. Untuk membedakannya, lakukan tes benzidin. PENATALAKSANAAN: Perhatikan beberapa hal penting di bawah ini: - keadaan umum penderita, kesadaran dan tanda-tanda vital. - apakah masih ada perdarahan, dan banyaknya. - perkiraan jumlah darah yang keluar dengan melihat keadaan klinik penderi ta dan anamnesis tentang lama, sifat, jumlah dan frekuensi perdarahan. - singkirkan kemungkinan sumber perdarahan dari luar saluran cerna (epista ksis, hemoptisis, ekstraksi gigi, tonsilektomi dan lain-lain). - Lakukan rectal toucher secaa rutin. Pengobatan konservatif: 1. Pemasangan sonde karet lunak ke dalam lambung untuk aspirasi darah dan b ilas lambung dengan air es; juga untuk pemberian obat-obatan per oral. 2. Pemasangan CVP (Central Venous Preassure) 3. Tindakan mengatasi perdarahan dan mencegah perdarahan ulang: a. koagulan lokal – diberikan topikal/oral: Thrombase 500® bubuk/dilarutkan 3 – 6 kali/hari, atau Topostasin® 3 – 6 bungkus/hari (dilarukan).
  • 17. b. Koagulan parenteral; salah satu dari preparat di bawah ini: Adona AC-17® 3 – 4 x 100 mg/hari iv. Anaroxy1® 2 x 5 – 10 mg/hari im/iv. Coagulen ® 3 – 4 x 10 – 20 ml/hari im iv. Coagumin ® 3 - 4 x 20 ml/hari im/iv. Hesna® 3 x 2 ml/hari sk/im/iv. Thrombase 100® 3 x 100 U/hari im/iv perlahan-lahan. c. Vitamin K 10 – 20 mg/hari im/iv. d. Vitamin B kompleks dengan asam folat. e. Jika perdarahan masih berlangsung, berikan infus pitresin 20 U dalam 200 m l glukosa 5 % selama 20 menit agar terjadi vasokonstriksi daerah splanknik. Dapa t diulang tiap 4 jam meskipun efeknya akan makin berkurang. Tidak dapat diberika n pada penderita insufisiensi koroner. f. Pada perdarahan akibat pecahnya varises esofagus dapat dicoba pemasangan balo n modisikasi (kondom) dalam esofagus, lalu ditiup agar menekan dinding esofagus. g. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas dapat ditambahkan: - menelan potongan es dan meletakkan balok es di atas perut. - Selama ada perdarahan sedang/banyak, hentikan makanan peroral, bila tela h berkurang dapat diberikan makanan cair tidak merangsang. 4. Transfusi daraha: Diberikan bila Hb < 10 g% dan Ht < 30%; sedapat mungkin dalam bentuk darah segar yang masih mengandung faktor pembekuan. Jika perdarahan telah berhen ti > 24 jam diberikan packed cell. Jumlah darah yang diberikan ialah 1   kali jumlah taksiran perdarahan, kecuali pada kasus hipertensi portal (cukup 2/3 kalinya) karena peninggian teka nan darah di daerah portal dapat menimbulkan perdarahan ulang. 5. Perhatian khusus terhadap: a. Ensefalopati; cegah dengan: - mempertahanka keseimbangan cairan dan elektrolit. - pemberian glukosa. - pemberian neomisin 2 – 4 x 15 ml/hari per oral. - pemberian Duphalac® 3 x 15 ml/hari pe oral. - diet rendah protein. - klisma tiap hari selama ada perdarahan. b. Infeksi sekunder; atasi dengan antibiotik spektrum luas c. Asites; cegah dengan: - diuretik, misalnya furosemid (Lasix® ) 1 – 3 x 40 mg/hari. - suplementasi kalium, misalnya KCI 1 – 3 x 500 mg/hari. - diet rendah garam. II. Pembedahan Pembedahan darurat dipikirkan bila pengobatan konservatif dianggap gagal; yaitu bila: 1. Dalam 8 jam pertama, untuk memperbaiki dan mempertahankan tekanan darah/ sirkulasi diperlukan transfusi darah lebih dari 2 liter. 2. Dalam 24 jam berikutnya untuk mempertahankan sirkulasi diperlukan tranfu si darah lebih dari 2 liter. 3. Perdarahan belum juga berhenti setelah 3 x 24 jam sejak dirawat, walaupu n hanya sedikit-sedikit. Indikasi pertama ialah yang paling mutlak, pembedahan tetap dijalankan meskipun penderita dalam keadaan koma. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, sementara menunggu persiapan pembedahan/transportasi, dapat dicoba pem asangan balon modifikasi atau (bila ada) pipa Sengstaken-Blakemore. Pipa ini dimasukkan melalui hidung ke dalam lambung; sebelumnya penderita d apat diberi petidin 15 – 20 mg im/iv. Setelah mencapai lambung, dipompokan udara
  • 18. melalui dua lumen yang masing-masing berhubungan dengan balon retensi dalam lam bung dan sebuah balon silindrik yang berfungsi menekan dinding esofagus. Lumen k etiga berfungsi untuk aspirasi isi lambung atau memasukkan obat-obatan. Komplikasi tindakan ini antara lain perdarahan ulang, erosi esofagus, sumba tan jalan napas dan aspirasi. Pembedahan darurat yang dapat dilakukan: 1. Transksi esofagus atau reseksi lambung dengan/tanpa alat anastomosis Boe rema. 2. Shunt porto-kaval atau spleno-renal. GASTROENTERITIS DEHIDRASI Kasus gastroenteritis yang pada umumnya memberi gejala diare dan muntah dapat be rakibat lanjut akibat pengeluaran cairan dan elektrolit dalam jumlah banyak, yai tu: 1. Syok hipovolemik. 2. Kekurangan elektrolit. 3. Kegagalan ginjal mendadak (tipe prerenal). 4. Asidosis metabolik, karena: a. Pengeluaran ion bikarbonat dalam jumlah besar. b. Akibat kegagalan gunjal mendadak. c. Pembakaran energi secara anerobik pada saat terjadi syok. Untuk diagnosa dan penatalaksanaannya, dibedakan atas kasus anak dan dewasa. I. GASTROEIN PADA DEWASA GEJALA DAN TANDA: Secara klinis dibedakan dalam dua bentuk: 1. Gastroenteritis Chleriform Penyebabnya antara lain ialah Vibrio Parachemolitica, Vibrio Eltor, E.Coli , Clostridia, keracunan makanan. Bentuk ini tersering mengakibatkan dehidrasi. Gejala utama ialah diare dan muntah. Diare yang terjadi tanpa mules tanpa tunesmus dan tidak mual. Bentuk ti nja seperti ‘air cucian beras’ (rice mater stool). 2. Gastroenteritis disentriform. Penyebabnya antara lain ialah Entamoeba Histolytica, Shigella, Salmonella. Bentuk ini jarang mengakibatkan dehidrasi. Gejala yang timbul ialah kolik, diar e, tenesmus, kotoran mengandung darah dan lendir, yang semuanya disebut sindrom disentri. PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksanaan ialah: a. Mengganti cairan yang hilang dan mengatasi syok. b. Mengganti elektrolit yang hilang. c. Mengenal dan mengatasi komplikasi yang terjadi. d. Memberantas penyebabnya. Urutan tindakan adalah: 1. Menentukan ‘nilai’ untuk menghitung jumlah cairan yang dibutuhkan. 2. Pemberian cairan dan elektrolit. Cairan diberikan sebanyak: nilai x berat badan x 0,1 x 1 liter
  • 19. 15 yang diberikan dalam waktu 2 jam. 2 jam berikutnya diberikan cairan sebanyak pen geluaran cairan 2 jam pertama (dihitung dengan menggunakan cholera pot); demikia n selanjutnya tiap 2 jam dihitung cairan yang keluar. Pemberian cairan harus leb ih berhati-hati pada malnutrisi, penderita gemuk, anemia dan kelainan jantung. Cara pemberian cairan ialah: a. Per oral Diberikan bila ‘nilai’ kurang dari 3. Untuk menghindari muntah, maka kadar kaliu m harus rendah, misalnya dengan menggunakan cairan C. O. S. (Cholera Oral Soluti on) b. Per infus (I. V. F. D.). Dapat diberikan bersama-sama dengan cairan per oral sehingga mengurangi kebutuha n cairan per infus. Bila terjadi syok atau penurunan kesadaran, cairan per oral tidak diberikan. Cairan per infus yang digunakan ialah Ringers Lactate atau laru tan NaC1 0,9%: Na-bikar-bonat 1,5% = 2 : 1, ditambah dengan pulvus KCI 3 x 1 gra m secara oral. Bila terjadi oligru atau anuri, pemberian kalium harus hati-hati. 3. Mengatasi komplikasi bila ada (lihat bab penatalaksanaan kegagalan ginjal a kut). 4. Terapi kausal Pada gastroenteritis choleriform, diberi tetrasik-lin-HC1 4 x 500 mg/hari selama 3 hari. Pada gastroenteritis disentriform, dibedakan: a. Yang disebabkan Entamoeba hystolitica 1. Metronidazole (Flagy1®)), 3 x 500 mg/hari selama 5 hari, atau 2. Tinidazole (Flasigyn®), 2g/hari, diminum sekaligus, selama 3 hari, atau 3. Emetine Bismuth lodide (E.B.I), 2 gram dalam 10 hari. Dimulai dengan dos is kecil yaitu 0,05 gram sehari selama 2 hari, kemudian 0,1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 0,2 gram sehari. 4. Tetrasiklin, 4 x 250 mg/hari selama 10 hari. Sering residif, sehingga pe rlu dikombinasi dengan obat-obat lain. b. Yang disebabkan Shigella, Salmonella diberikan ampisilin 100 mg/kg BB/ha ri, terbagi dalam 4 dosis, selama 5 – 7 hari. II. GASTRONTERITIS PADA ANAK GEJALA & TANDA Gejala utama ialah timbulnya diare, sedangkan gejala muntah dapat terjadi sebelu m atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrol it maka gejala dehidrasi mulai tampak. Dehidrasi ini dibagi menurut banyaknya ca iran yang hilang, menjadi: 1. Dehidrasi ringan, jika kehilangan cairan 0 – 5% atau rata-rata 25 ml/kgB B. 2. Dehidrasi sedang, jika kehilangan cairan 5 – 10% atau rata-rata 75 ml/kg BB. 3. Dehidrasi berat, jika kehilangan cairan 10 – 15% atau rata-rata 125 ml/k gBB. PENATALAKSANAAN 1. Mengatasi dehidrasi. A. Dehidrasi ringan atau sedang. Diberi garam oralit 2 – 5 gelas/hari selama 2 – 3 hari. ASI tetap diberikan. Seb aiknya pemberian oralit dengan sendok, tidak dengan botol, sebab dot pada botol dapat merangsang tenggorok sehingga menimbulkan muntah. Adanya muntah tidak meru pakan kontra indikasi bagi pemberian oralit; dalam keadaan ini, pemberian sediki t-sedikit tapi sering dan bila muntah tidak dapat diatasi diberikan obat anti mu ntah. Secara sederhana dan praktis, garam oralit dapat dibuat dengan cara: kedal
  • 20. am 1 liter air steril dicampurkan ½ sendok teh peres NaC1,   sendok teh peres KC 1, ½ sendok teh peres Natrium-bikarbonat dan 2 sendok makan peres glukosa. B. Dehidrasi berat. 1. Neonatus: Cairan yang diberikan ialah cairan 4 : 1 (cairan glukosa 5 – 10%: natrium bi karbonat = 4 : 1). Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam adalah 250 x BB (dalam cc), misalnya sa ma dengan x cc 4 jam pertama diberikan   bagian dengan jumlah tetesan X/48 tetes /menit. 20 jam berikutnya sisa cairan dibagi rata, dengan jumlah tetesan X/80 te tes/menit. 2. Bayi (bukan neonatus) 4 jam pertama diberikan cairan 3A dengan jumlah tetesan 6 x BB tetes/menit. 4 jam kedua diberikan cairan 3A dengan jumlah tetesan 3 x BB tetes/menit. 16 ja m berikutnya diberikan cairan DG (Darrow-Glucose) dengan jumlah tetesan 3 x BB t etes/menit. Jumlah cairan sehari maksimal 1500 cc, jadi tetesan maksimal pada 4 jam pertama adalah 40 tetes/menit selanjutnya 16 tetes/menit. 3. Neonatus BBLR (berat badan lahir rendah). Cairan yang diberikan ialah cairan 4 : 1 Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam ialah 250 x BB (dalam cc), misalnya sama dengan Y cc dengan jumlah tetesan Y/72 tetes/menit. 4. P.C.M Cairan yang diberikan ialah cairan halfstrength DG (DG 1 : 1). Jumlah ca iran yang diberikan ialah ¾ dari yang diperhitungkan. Misalnya berat badan 4 kg maka jumlah tetesan pada 4 jam pertama ialah ¾ x (6 x 4) tetes/menit dan 20 jam berikutnya ialah ¾ x (3 x 4) tetes/menit. Pada dehidrasi berulang yaitu bila anak sudah refeeding jatuh dalam dehidrasi ke mbali, maka pada dehidrasi ringan dan sedang diusahakan memperbanyak intake deng an G.O.S. sedangkan pada dehidrasi berat maka mulai lagi seperti prinsip di atas . Pada dugaan terhadap Cholera (dengan gejala buang air besar seperti ‘air cucian beras’ presyok atau syok) dilakukan cara/sistem ROSE, yaitu pemberian cairan Rin ger’s Lactate pada 1 jam pertama jumlah tetesan adalah 10 x BB tetes/menit dan 7 jam berikutnya adalah 3 x BB tetes/menit. Bila setelah 1 jam sudah teratasi, te ruskan sampai 1 jam; bila setelah 1 jam belum teratasi, teruskan sampai teratasi . Berikan oksitetrasiklin 30 – 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis. Tidak perlu refeeding. 2. Antibiotika Bila penyebab panas belum dibuktikan/ditemukan, maka pemberian antibiotika adalah sebagai berikut: a. Diatas umur neonatus: Suhu sampai 38,50 C : tidak diberikan antibiotika. 38,50 C - 39,50 C prokain-penisilin 50.000 U/kg BB/hari 39,50 C - 400 C prokain-penisilin dan kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis. lebih dari 400 C ampisilin 100mg/kg BB/hari, dibagi dalam 4 dosis dan gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 dosis. b. Neonatus/BBLR pemberian antibiotika harus agresif, diberi ampi silin dan gentamisin. 3. Koreksi asidosis metaboliks. Koreksi asidosis dilakukan bila terdapat gejala pernafasan Kusmaull atau sec ara pasti ditentukan dengan Astrup yaitu kadar HCO3 – kurang dari 18 m Eq/liter. Pemberian Na-bikarbonat adalah 0,3 x BB x base excess mEq/liter yang diberik an separuh dahulu sedangkan sisanya diberikan kemudian bila masih diperlukan. Perhitungan pemberian larutan Na-bikarbonat:
  • 21. Misalnya larutan Na-bikarbonat yang digunakan adalah 7% (Meylon®), maka pemb erian adalah 8,4 0,3 x BB x BE x 7 ml 2 Untuk larutan Na-bikarbonat 8,4%, 1 ml = 1 mEq. 4. Koreksi elektrolit Biasanya sudah teratasi dengan pemberian cairan 3 A dan Darrow Glucose. Namu n demikian bila terjadi hipokalemi (dengan gejala kembung) dapat diberikan 2 – 4 mEq/kg BB/24 jam atau diberi KC1 per oral 75 mg/kg BB/hari. Bila timbul kembung , anamnesa harus teliti sebab kembung yang terjadi sebelum diare dicurigai adany a gejala-gejala ileus paralitik, ileus obstruksi atau anvaginasi. 5. Refeeding Setelah dehidrasi (tak perlu menunggu 24 jam) dapat dimulai refeeding; umumn ya ialah: hari pertama : LLM 1/3 + GOS 2/3 Jumlah cairan = BB x 200cc/hari (maksimal 150 0cc) diberikan 6 – 7 kali hari kedua : LLM 2/3 + GOS 1/3 jumlah cairan dan pemberian sepert i pada hari pertama. 6. Penyulit-penyulit yang mungkin terjadai: kejang, sepsis, bronkopneumonia, ens efalitis. AKUT ABDOMEN Adalah keadaan dalam rongga abdomen yang memerlukan tindakan segera. ETIOLOGI 1. Proses peradangan dalam rongga perut, yang dibedakan atas: a. peradangan non perforatif, biasanya dapat ditunggu. Mis: - Pankreatitis akuta - Enteritis regional - Peritonitas primer - Infark ginjal akut. b. Peradangan perforatif, biasa segera dilakukan eksplorasi. Mis: - Apendisitas akuta - Kholesistitis akuta - Tifus abdominalis dengan perforasi - Strangulasi dan nekrosis usus - Peradangan yang disebabkan benda asing 2. Obstruksi Traktus Gastro Intestinalis yang dibedakan atas: a. Obstruksi mekanis, oleh karena: - Penyempitan lumen, mis. Pada atresia duodeni - Obstruksi usus yang disebabkan perlekatan-perlekatan/lilitan yang menjerat. - Hernia (interna/eksterna). - Volvulus. - Instususepsi (invaginasi) - dan lain-ain. b. Obstruksi karena gangguan persyarafan: - ileus paralitika - iles spastika b. Obstruksi karena gangguan peredaran darah, misalnya trombosis atau embol
  • 22. i. 3. Perdarahan di dalam rongga perut. Mis: - Kehamilan ektopik perut. - Ruptura aneurisma aorta. - Ruptura lima. - Perdarahan Traktus Gastro Intestinalis. 4. Trauma, yang dibedakan atas: a. Trauma tajam b. Trauma tumpul. Hal-hal yang diperhatikan 1. Usia: Anak-anak dan penderita usia lanjut lebih memerlukan perhatian oleh karena d aya tahan, anatomis dan vaskularisasi yang kurang baik dibandingkan dengan pende rita dewasa. 2. Waktu: Tidak semua penderita memerlukan tindakan pembedahan segera. Bahkan ada pul a yang tidak memerlukan tindakan operatif, bila keadaan akutnya dapat diatasi (s etelah observasi, biasanya selama 6 jam). 3. Pemberian obat sebelumnya. Terutama obat-obat analgetik-antipiretik, antibiotik dan kortikosteroid oleh karena obat-obat ini dapat menghilangkan gejala akut abdomen sehingga diagnosis sudah ditegakkan. GEJALA & TANDA a. Anamnesa: 1. Nyeri abdomen. Perhatikan onset: sifat progesivitas dan lokalisasi nyeri . Bila timbul tiba-tiba, sedangkan sebelumnya penderita tenang, biasanya disebab kan perdarahan. Bila timbulnya nyeri cepat kemudian memberat secara menetap, pikirkan pankreatit is akuta, trombosis mesenterika dan strangulasi usus. Nyeri yang timbul perlahan -lahan karakteristik untuk proses peradangan, mis. Apendisitis dan divertikuliti s. Sedangkan nyeri yang hilang timbul, intermiten dan seperti diremas-remas bias anya akibat obstruksi mekanis. 2. Anoreksia, nausea dan vomitus 3. Diare/konstipasi: Diare biasa menyertai apendisitis Konstipasi dan keluhan tak dapat flatus biasa pada obstruksi 4. Demam. b. Pemeriksaan fisik: 1. Inspeksi: kesadaran penderita, kegelisahan, kesakitan, posisi terbaring. 2. Palpasi: cari nyeri tekan, nyeri lepas, defansmuskuler, nyeri kontralate ral. Juga perhatikan daerah inguinal dan femoral. 3. Perkusi: nyeri ketok, dan usahakan mencari cairan/udara bebas, pekak hat i yang meninggi atau letak organ-organ yang tidak pada tempatnya. 4. Auskultasi: perhatikan perubahan suara bising usus. c. Rectal toucher, vaginal toucher. d. Laboratorium: darah: hemoglobin, lekosit hitung jenis lekosit hematokrit urin: anuria, hematuria (mikroskopik/makroskopik), lekosit, dan sedimen. e. Radiologis. A. APENDESITIS Adalah peradangan dari Apendiks vermikularis saeki. Gejala & Tanda: a. Anamnesa: - nyeri perut yang dimulai di epigastrium dan sekitar umbilikus, kemudian
  • 23. berpindah dan menetap di kwadran kanan bawah. - anoreksia, nausea dan vomitus - demam yang tidak begitu tinggi - diare atau obstipasi (tak spesifik) b. Pmeriksaan fisik: - sikap jalan agak terbongkok, fleksi sendi panggul kanan dan agak terting gal pada pernafasan. - nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri ketok dan defans muskuler pada daerah Mc Burney, yang bertambah dengan peninggian tekanan intraabdominal (batuk, dsb). - bising usus sedikit meninggi di daerah Mc Burney. Pada anak-anak: * pemeriksaan dimulai dari bagian yang tidak sakit. * test nyeri lepas tidak perlu dilakukan. * cari fokus infeksi di tampat lain (tonsil, gigi, dll). c. rectal toucher: nyeri tekan sekitar 11. Cari kemungkinan cairan di cavum Douglasi Suhu rektal yang bedanya lebih 10 C dengan suhu aksila akan memperkuat diagnosis. d. Laboratorium: darah: lekositosis dengan pergeseran ke kiri urin: mungkin terdapat sedimen lekosit e. Radiologis: tidak khas, mungkin ada perkapuran atau udara bebas bila sudah te rjadi perforasi. Perjalanan peyakit: 1. Pada orang dewasa perforasi abses akut infitrat ekstraserbasi akut sembuh kronik/sembuh 2. Pada anak-anak: karena omentum masih pendek, infiltrat jarang terjadi (infiltrat apendiks ia lah tonjolan mesapendiks, usus dan omentum yang membungkus apendiks yang meradan g). Jaringan apendiks masih halus dan bila terjadi trombus – gangren – perforasi yan g tak terbungkus – menyebar – abses yang mudah pecah – peritonitas difusa. Penatalaksanaan: 1. Fase akut: apendektomi (operasi a chaud) 2. Perforasi : apendektomi 3. Infiltrat: konservatif: - istirahat baring dalam Posisi Fowler - antibiotik, terutama untuk bakteri Gram (-) mis kloramfenikol. - observasi: * fungsi vital, terutama suhu * ukuran/luas infiltrat * fluktuasi, perluasan peritonitis * laju endap darah (2 x seminggu)
  • 24. * hitung lekosit Proses dianggap reda bila pada pemeriksaan 3 x berturut-turut LED dan hitung lekosit tak meninggi, infiltrat tak teraba. - apendektomi dilakukan 2 – 3 bulan kemudian (operasi afroid) Pada anak-anak, pengawasan lebih teliti. Bila ragu-ragu, lakukan observasi selama 6 jam dan bila masih ragu-ragu, lakukan operasi a chaud. Pada anak-anak di bawah 7 tahun, fase infiltrat juga langsung apendektomi, karen a pembungkusnya belum kuat. 4. Abses: kecurigaan abses, bilamana: - suhu naik-turun/berfluktuasi pada kurvanya. - laju endap datah tetap tinggi. - tanda-tanda fluktuasi lokal atau peritonitas Sikap: drainase Operasi dilakukan setelah proses tenang 5. Eksaserbasi akut: apendektomi 6. Kronis: operasi afroid (2 – 3 bulan kemudian). Teknik apendektomi: - Penderita terlentang dalam narkose - Tindakan a dan antisepsis di daerah operasi dan sekitarnya. - Insisi di daerah Mc Burney sepanjang 3 – 5 cm, dengan sayatan tegak lurus pad a garis yang menghubungkan SIAS – umbilikus. Pada wanita muda/child bearing peri od, insisi dapat sejajar lig. Inguinale atau paramedian/pararektal (2 – 3 jari d i kanan garis tengah sepanjang 3 – 5 cm). - Kulit dan subkutis/lapisan lemak diregang dengan hak tajam atau dibuka secara tajam, perdarahan dirawat. - Fasia otot Obligus Abdominalis Eksternus dicari secara tumpul kemudian dibuka secara tajam sesuai arah serat-serat otot (kraniolateral ke mediokaudal) - Otot Obligus Abdominalis Internus dibuka secara tumpul dengan gunting repair sesuai arah serabut otot (laterokaudal ke kraniomdial), pasang hak tumpul. - Otot Transversus Abdominalis dibuka secara tumpul - Peritoneum diangkat dan dijepit memakai pinset supaya terangkat dari usus, ke mudian digunting dan diperlebar. - Saekum dicari (petunjuk taenia), diluksir dan dipegang dengan kasa yang sudah dibasahi dengan NaCi fisiologis fisiologis hangat, apendiks dicari. - Apendektomi: Masapendiks dibebaskan, diklem. Kemudian dipotong dan dijahit (jahitan ontick ing, memakai benang seyde), Pasang jahitan (jahitan onsticking, memakai benang s eyde sekitar pangka apendiks. Klem diungkit ke atas, lalu dibuka. Diikat dengan benang seyde halus, eratkan. Apendiks dipotong dengan pisau. - Puntung apendiks diberi larutan jodium/betadin, jangan sekali-kali menyentuh jaringan sekitar. Kemudian dibenamkan dalam tabac sac memakai pinset. Diperkuat dengan Z suture. - Perdarahan dirawat, alat-alat yang sudah terinfeksi segera diamankan. - Luka operasi ditutup lapis demi lapis: * peritoneum: chromic cat gut * otot-otot: cat gut * fasia dan kulit: seyde - Bila tak ada komplikas, jahitan diangkat pada hari ke 6 – 7 - Pada penderita dengan perforasi, pasang drain: a. intraperitoneal: dengan tube b. subfasial: drain sarung tangan Rongga peritoneum dicuci lebih dulu dengan larutan NaCi fisiologis hangat. - apendiks retrosaekal/bila ada perlengketan Apendekstomi secara retrograd (jah itan tabac sac, kemudian dipotong dari basis). - Pada waktu eksplorasi: * perikssa kelenjar-kelenjar mesenterium
  • 25. * bila ada divertikulum Mekeli: langsung diangkat pada wanita, periksa dindin g pelvis lateral, tuba dan ovarium. B. KOLESISTITIS AKUTA. Adalah peradangan kantung empedu, kadang-kadang omentum dan usus melekat pad a kantong empedu yang meradang. Predisposisi: 4 F (female, forty, fatty, flabby) Gejala dan Tanda a. Anamnesis - nyeri epigastrium/kwadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau skap ula. - anoreksia, nausea (teutama bila makan berlemak), vomitus. - demam berulang - kolik bilier - riwayat pernah sakit kuning, sakit kantong empedu. b. Pemeriksaan fisik: nyeri tekan kwadran kanan atas, yang dapat disertai hi pertensi, spasme, defans muskuler dan nyeri bertambah waktu inspirasi dalam. - Nyeri tekan kwadran kanan atas, yang dapat disertaihipertensi, spasme, d efans muskuler dan nyeri bertambah waktu inspirasi dalam. - Tanda Murphy (+) (waktu inspirasi pemeriksan menekan pinggir kosta dan t erasa sangat nyeri pada dada bagian bawah). - Kantong empedu jarang teraba, kecuali pada kasus-kasus dengan hidrops at au empiema kantong empedu. c. Laboratorium: - lekositosis (12.000 – 15.000). - masa protrombin memanjang - kadar amilase serum meninggi d. Pemeriksaan tambahan: - Foto polos abdomen: cari batu kantong empedu. - Kolesistografi Diagnosa diferensial: 1. ulkus peptikum akuta 2. apendisitis akuta 3. gastroenteritis akuta 4. hepatitis. Penatalaksanaan: a. Koservatif: - istirahat baring dalam posisi fowler - beri cairan parenteral bila muntah-muntah banyak - pengawasan nadi, suhu badan dan tekanan darah - palpasi untuk observasi pembesaran kantong empedu - antibiotik, mis. Tetrasiklin 1 – 2 gr/hr. - spasmolitik atau petidin 50 mg. bila terdapat sakit hebat b. Operasi: kolesistektomi bila trdapat batu atau perforasi. Perforasi sering pada usia lanjut atau penderita diabetes melitus. PANKREATITIS AKUTA Ialah kelainan pada pankreas yang dapat berupa edem, eksudat, perdarahan, supura si atas nekrosis.
  • 26. Gejala & Tanda a. Anamnesa: - nyeri abdomen hebat yang tiba-tiba dan merata di seluruh epigastrium, me nyebar ke punggung. - bersendawa, nausea dan vomitus yang hebat, kadang-kadang sampai muntah f ekulen. - kadang-kadang didapat peningkatan suhu badan. b. Pemeriksaan fisik: - tanda-tanda peritonitis abdomen atas: nyeri spontan/tekan, defans muskul er, ileus. - kadang-kadang terdapat ikterus. - setelah penyakit berjalan beberapa hari pada sebagian penderita dapat di raba suatu tumor. - syok dan dehidrasi bila penyakit berat. c. Laboratorium: - amilase serum meningkat dan kemudian menetap dalam 24 – 48 jam, dapat me ncapai 3.000 – 4.000 Somogyi unit/100 cc. - lipase serum meningkat dan menetap beberapa hari - kalsium serum menurun - hematokrit meningkat d. Pemeriksaan tambahan: - foto polos abdomen, untuk menyingkirkan kemungkinan perforasi ulkus vent rikuli. Diagnosis diferensial: 1. kolesistitis akuta 2. perforasi ulkus ventrikuli 3. trombosis koroner 4. trombosis mesenterium Komplikasi a. Acute tubular necrosis, bila syok lama. b. Komplikasi paru-paru; atelektasis ringan sampai kegagalan pernafasan, pleural effusion terutama hemitoraks kiri Penatalaksanaan: Konservatif: - istirahat baring, bila perlu diberi petidin 50 mg. - pengisapan isi lambung secara intermiten - perawatan terhadap syok dan dehidrasi - antibiotik untuk mencegah/mengobati infeksi - obat-obat antikolinergik, mis. Sulfas atropin 0.25 – 0.50 mg 3 x sehari atau a nterenil 3 x 1 tablet sehari. Tindakan operatif dilakukan pada: - keadaan umum memburuk disertai obstruksi bilier - terjadi pseudokista dengan/tanpa infeksi (tanda prograsivitas). D. DIVERTIKULITIS. Dapat dibedakan atas: 1. DIVERTIKULITIS MECKELL:
  • 27. Mudah terjadi peradangan karena terdapat mukosa gaster ekropik yang memproduksi HC1 sehingga mudah mengiritasi. Gejala & Tanda: - sukar dibedakan dengan apendisitis akuta - sering terdapat riwayat intussusepsi - nyeri kwadran kanan bawah, tanda-tanda peritonitis lokal. lebih mudah terjadi perforasi dibandingkan apendisitis, dan kemungkinan menjad i tumor karsinoid. Penatalaksanaan: Reseksi, lokalisasi lebih kurang 60 cm. proksimal dari Vulvula ileosaekal. 2. DIVERTIKULITIS KOLON: Merupakan peradangan paling sering pada usus besar, biasanya pada kolon sini stra atau sigmoid dan sering berbentuk mikroabses yang dapat menjadi ganas. Gejala & Tanda: a. Anamnesa: - nyeri abdomen kwadran kiri bawah. - kontsipasi karena pelekatan-perlekatan - diare akibat obstruksi parsial, iritasi lokal dan hipermotilitas. - melena. b. Pemeriksaan fisik: - deman - nyeri tekan kwadran kiri bawah - kadang-kadang teraba tumor (juga pada rectal toucher) c. Laboratorium: lekositosis e. Pemeriksaan tambahan: barium enema dan sigmoidoskopi. Penatalaksanaan: - Reseksi, primer dan anastomosis - Bila besar, lakukan kolostomi pada kolon transversum - Beri antibiotika, mis. Neomisin 4 x 500 mg/hari. E. PERFORASI ULKUS PEPTIKUM: Ialah perforasi dari lambung atau duodenum pada tempat di mana terjadi ulkus . Gejala dan Tanda: - riwayat penyakit ulkus peptikum. - nyeri abdomen tiba-tiba seperti disayat di daerah episgastrium yang dapa t menjalar ke bahu kanan. - defans muskuler. - pekak hati menhilang - perut kembung (meteorismus) - basis usus menghilang - foto polos abdomen: udara bebas di bawah diafragma Penatalaksanaan: - pasang sonde lambung - pasang infus cairan - antibiotik parenteral - operasi: laparotomi. PERFORASI PADA TIFUS ABDOMINALIS Ialah perforasi usus (biasanya ileum) pada plaque peyeri pada penderita demam ti foid.
  • 28. Gejala dan tanda: - diketahui/diduga menderita penyakit tifus abdominalis. - muntah-muntah - nyeri abdomen, terutama kwadran kanan kebawah (fossa iliaka). - defans muskuler (+) - meteorisme - pekak hati menghilang - bising usus menghilang - facies abdominalis - suhu badan turun - nadi cepat, kecil - foto polos abdomen: udara bebas di bawah diafragma Penatalaksanaan: - pasang infus cairan (mis. NaC1 fifiologis dan dekstran) - antibiotik diberikan dalam dosis tinggi parenteral, mis. Kloramfenikol 4 x 1 g r/hari atau Ampislin 4 x 1 g/hari. - operasi: laparotomi eksplorasi. G. ILEUS OBSTRUKTIF (OBTRUKSI MEKANIS) Ialah jalan isi usus akibat obstruksi. Paling sering disebabkan oleh hernia . Juga intussusepsi, yaitu masuknya sebagian usus kedalam bagian usus yang lebih distal. Intususepsi yang paling sering dijumpai adalah ileo-saekal, yang banyak did apat pada bayi dan anak-anak. Pada orang dewasa intususepsi biasanya disertai ke lainan patologis usus, misalnya polip, lipoma submukosa, hematoma submukosa, kar sinoma atau inverted divertikulum Meckeli. Hal-hal yang penting: 1. Obstruksi dapat menyebabkan proses katabolik karena intake tidak adekuat . 2. Obstruksi menyebabkan keluarnya cairan dan elektrolit ke dalam lumen usu s dan rongga peritoneum sehingga timbul vomitus, ketidakseimbangan elektrolit da n gangguan metabolisme. 3. Obstruksi menyebabkan suplai darah ke arah distal tidak adekuat sehingga terjadi perforasi. Gejala dan Tanda: a. Anamnesa: - sakit perut hebat yang sifatnya hilang timbul. - Anoreksia, nausea dan vomitus. Pada ileus obstruksi tinggi, muntah lebih sering terjadi. - Tidak flatus dan tidak defekasi sejak beberapa hari. b. Pemeriksaan fisik. - Penderita kesakitan/gelisah, bahkan sampai dehidrasi atau syok. - Tampak contour usus dan gerak peristaltik usus (drum contour dan drum st eifung). Pada anak-anak, palpasi abdomen bimanual akan teraba tumor berbentuk sosis yang terletak di perut kanan. Tumor mengeras pada periode kesakitan. - Rectal toucher: pada sarung tangan terdapat perdarahan beserta lendir, t erutama pada anak-anak. - Bising usus meninggi terdengar sampai metallic sound c. Pemeriksaan radiologis: - foto polos abdomen, dalam posisi supine dan left lateral decubitus terli hat gambaran usus step lateral decubitus terlihat gambaran usus step ledder patt ern dan air fluid level
  • 29. Penatalaksanaan - Perbaiki keadaan umum dalam waktu singkat, disertai pemberian antibiotik a dalam dosis tinggi. - Operasi: laparotomi eksplorasi. - Pada kasus intususepsi, dapat dicoba dahulu tindakan sebagai berikut: Masukkan Barium enema dan dikontrol dengan fluoroskopi sampai tampak pengisian k embali ileum dan pada palpasi sudah tak diraba lagi suatu benjolan. Bila gagal, segera lakukan laparotomi eksplorasi. TEKNIK LAPAROTOMI EKSPLORASI: - Pasien telentang dalam narkose. - Tindakan a dan antisepsis daerah abdemen dan sekitarnya. - Insisi vertikal dimulai dari bawah Prosesus Sifoideus – teruskan melingk ari umbilikus. - Teruskan ke bawah sampai di atas simfisis tulang pubis. - Pada trauma tajam abdomen, insisi sering dibuat agak lain dengan pertim bangan-pertimbangan tertentu. Pada trauma tajam, eksisi luka dilakukan trakhir, kecuali pada luka dimana insisi dimulai. - Perdarahan segera dirawat, terutama yang berasal dari rongga abdomen ata u organ yang terluka. - Usus halus diangkat, diteliti dan dibawa ke kanan sehingga tampak rongga pelvis yang kemudian dibersihkan. - Pemeriksaan diteruskan pada kolon. - Pemeriksaan lien, diafragma kiri dan fleksura lienalis. - Pemeriksaan hepar, diafragma kanan fleksura hepatika, duodenum dan gaste r. Kantong di bawah gester dibuka untuk memeriksa pankreas. - Organ-organ yang terluka segera diatasi. Pencucian rongga abdomen dengan larutan NaC1 fisiologis hangat (sesuai dengan suhu tubuh). - Luka operasi ditutup lapis demi lapis. TEKNIK KOLOSTOMI Kolostomi selalu dibuat proksimal dari obstruksi/lesi. Kolon transversum (terletak intraperitoneal) dikenal dengan adanya omentum. - insisi median atau paramedian. - bebaskan perlekatan-perlekatan yang ada. - kolon ditarik keluar, pasang katete di bawahnya. - kolon dibuka - lakukan penjahitan kolon dengan dinding perut, hati-hati supaya jangan k ena mesenterium jahitan kemudian dilakukan seromuskuler, dan diikat. - setelah 24 jam, kateter diangkat, - selanjutnya diberi salep asam borat untuk melindungi kulit dan cairan ya ng keluar tiap hari dibersihkan (spoel) Lubang distal harus dibiarkan terbuka, sebab bila tertutup akan merupakan tabung tertutup (blind loop) yang tetap bersekresi dan dapat pecah. TRAUMA PERUT Menurut penyebabnya, trauma perut dibagi atas: 1. Trauma tembus, yaitu dengan penetrasi ke dalam rongga perut; dapat diseb abkan oleh luka tusuk atau luka tembak. 2. Trauma tumpul, yaitu tanpa penetrasi ke dalam rongga perut; dapat diseba bkan oleh ledakan, benturan atau pukulan. Kematian akibat trauma perut dapat dik urangi dengan diagnosis dan tindakan segera; biasanya disebabkan oleh perdarahan atau peradangan dalam rongga perut. GEJALA & TANDA
  • 30. - Anamnesa yang selengkap mungkin, terutama mengenai cara terjadinya kecel akaan, arah tusukan atau tembakan. - Pada pemeriksaan fisik: 1. Mungkin ditemukan syok dan penurunan kesadaran. 2. Jejas di daerah perut; pada luka tusuk tembak dapat ditemukan pula prolaps is i perut. 3. Adanya darah, cairan atau udara bebas dalam rongga perut penting dicari, teru tama pada trauma tumpul: a. tanda rangsang peritoneum: nyeri tekan, nyeri lepas, kekakuan dinding pe rut, tanda Kehr (referred pain di daerah bahu, terutama kiri). b. shifting dullness, pekak hati menghilang. c. Bising usus melemah/menghilang. Tanda rangsang peritoneum sering sukar dicari bila ada trauma pnyerta, terutama pada kepala; dalam hal ini dianjurkan melakukan levase peritoneal. - Pemeriksaan lain: 1. Rectal toucher – adanya darah menunjukkan kelainan usus besar. 2. Kuldosentesis – mencari adanya darah, cairan atau udara dalam rongga per ut. 3. Sonde lambung – mencari adanya darah dalam lambung, sekaligus mencegah a spirasi bila muntah. 4. Kateterisasi – mencari lesi saluran kemih. - Pemeriksaan pembantu: 1. Darah – Hb, Ht dan lekosit; pada perdarahan Hb dan Ht akan terus menurun , sedang jumlah lekosit terus meningkat; oleh karena itu pada kasus meragukan se baiknya dilakukan pemeriksaan berkala. 2. Urin – penting untuk mengetahui adanya lesi saluran kemih. 3. Radiologik – tak perlu dilakukan bila indikasi laparotomi sudah jelas. Biasanya dilakukan foto polos perut dalam posisi tegak dan miring ke kiri untuk melihat: - keadaan tulang belakang dan panggul. - adanya benda asing (pada luka tembak). - bayangan otot psoas. - udara bebas (intra-/ekstraperitoneal). 4. Parasentesis perut – dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan m enimbulkan kelainan dalam rongga perut. TEKNIK: - buli-buli terlebih dahulu dikosongkan. - parasentesis dilakukan dengan jarum pungsi no. 18/20, ditusukkan di kuad ran bawah atau di garis tengah di bawah pusat. - bila pada aspirasi ditemukan darah, empedu, cairan usus atau udara, bera rti ada lesi dalam rongga perut. 5. Lavase peritoneal – dilakukan melalui kanula yang dimasukkan lewat insis i kecil di garis tengah di bawah pusat; bila pada aspirasi tidak keluar apa-apa, dimasukkan kira-kira 1000 ml laruta NaC1 0,9% lalu dikeluarkan lagi. Hasilnya positif bila ditemukan salah satu hal berikut: - cairan yang keluar kemerahan. - terdapat empedu. - ditemukan bakteri atau eritrosit > 100.000/mm3. - ditemukan lekosit > 500/ mm3. - ditemukan amilase > 100 U/100 ml cairan. PENATALAKSANAAN 1. Mengawasi dan mengatasi gangguan fungsi vital seperti syok atau gangguan jalan napas: - infus cairan/transfusi darah. - memelihara jalan napas. - memasang sonde lambung. 2. Laparotomi dilakukan bia terdapat: a. Luka tusuk dengan:
  • 31. - syok. - tanda rangsang peritoneal. - bising usus menghilang. - prolaps isi perut. - darah dalam lambung, buli-buli atau rektum. - udara bebas intraperitoneal. - parasentesis perut/lavase peritoneal positif. - pada eksplorasi luka menembus peritoneum. b. Luka tembak. c. Trauma tumpul dengan: - syok. - tanda rangsang peritoneal. - darah dalam lambung, buli-buli atau rektum. - cairan/udara bebas intraperitoneal. - Parsentesis perut/lavase peritoneal positif. Selain kasus-kasus diatas, penderita diobservasi selama 24 – 48 jam. Laparo tomi disini bertujuan mencari kerusakan organ melalui eksplorasi yang sistematik . Pertama-tama harus diatasi terlebih dahulu perdarahan yang ada, baru kemudi an memperbaiki kerusakan organ yang ditemukan: - kerusakan omentum direseksi - kerusakan lima diatasi dengan splenektomi. - kerusakan hati dijahit atau direksesi sebagian. - kerusakan organ berongga (lambung, usus) ditutup secara sederhana (simpl e closure) atau direksesi sebagian. - kerusakan mesenterium dijahit. - kerusakan pankreas juga dijahhit. - kerusakan organ saluran kemih (lihat bab trauma saluran kemih). BAB 6 Kedaruratan Sistim Saluran Kemih Payah ginjal akut. Retensi urin. Trauma saluran kemih. PAYAH GINJAL AKUT Ialah keadaan penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak. Merupak an keadaan darurat yang harus segera ditangani karena dapat menimbulkan kematian , yang diakibatkan oleh 1. edema pulmonum 2. uremia 3. hiperkalemia
  • 32. 4. infeksi sekunder Teori sekarang mengatakan kegagalan ginjal akut disebabkan aliran darah dari kor teks ginjal mengurangi sehingga terjadi iskemia korteks. Akibatnya fungsi fungsi ginjal menuru dan terjadi penimbunan air, sisa-sisa metabolisme protein dan ele ktrolit di dalam darah. GEJALA DAN TANDA: 1. oliguria, volume urine 20 – 200 ml/hari. 2. anoreksia, muntah-muntah, malaise, kesadaran menurun dan kelainan mental . 3. ureum, kailum, kreatinin dan fosfat dalam darah meningkat. 4. natrium, kalsium dalam darah menurun. 5. proteinuria, hematuria dan isostenuria. 6. bila berat dan berlangsung lama, dapat terjadi hipertensi, hepatomegali, dekompensasi kordis, edema pulmonum, anemia, asidosis dan koma uremikum. Pada umumnya kegagalan gunjal akut dapat dibagi dalam tiga fase 1. fase oliguria 2. fase poliuria 3. fase penyembuhan PENATALAKSANAAN: 1. cari etiologi dan atasi penyebab 2. diet: - protein terbatas (protein terendah 20 gram/24 jam), tetapi usahakan prot ein nilai biologik tinggi, jika perlu boleh diberi infus asam amino esensiel (mi s.:Aminofuchsin®) - karbohidrat minimal 100 – 150 gram/hari. - atasi jumlah natrium dan kalium. 3. Keseimbangan cairan: - fase oliguria: intake = output - fase poliuria: intake = 2/3 output 4. ukur jumlah urine 5. pemberian manitol atau diuretik: - Manitol 20% diberikan dengan dosis 100 ml. Perlahan-lahan selama 10 – 20 menit, dapat diulang tiap 2 jam sampai 3 kali. - Furosemid: Dosis lazim 500 mg/hari, maksimal 2 gram/hari untuk mencegah tinitus dan ketulia n sementara sebaiknya jangan melebihi 250 mg/jam. Furosemid jangan diberi bersamaan dengan sefaloridin. - Ethacrymic acial: Dosis: 1 mg/kg. Berat badan/hari Kombinasi Manitol 20% 100 ml. Furosemid 500 mg dan Ethacrynic acid 70 mg. d apat dipergunakan. 6. dialisa: dilakukan bilaman tindakan konservatif tidak berhasil. Indikasi dialisa: - oliguria > 5 hari - ureum darah > 200 mg% - kalium darah > 5mEq/L - pH darah < 7.10 Jenis dialisa yang dapat digunakan: - dialisa peritoneal: pemasangan mudah, monitoring sukar - hemodialisa: pemasangan sukar, monitoring mudah. 7. mengatasi komplikasi yang terjadi: Hal-hal yang perlu diperhatikan: - hindari antibiotik yang menambah beban ginjal (Gentamisin, streptomisin,
  • 33. dll, yang dikskresi oleh ginjal). - Tansfusi darah diutamakan packed cell. - Pada keadaan komaaaa, jika intake dan output sukar dinilai dapat dipasan g central venous pressure dan perawatan penderita seperti merawat penderita yang koma yang lain. TEKNIK DIALISA PERITONEAL - Penderita berbaring telentang - Kendung kencing dikosongkan - Kulit abdomen bagian bawah dicukur dan dibersihkan secara aseptik dengan jodium dan alkohol - Anestesi lokal digaris tengah, sekitar 3 cm. Dibawah pusat - Insisi sekitar 0,5 cm. Sampai menembus subkutis - Melalui insisi, dilakukan penembusan dinding perut dengan kateter perito neal yang mempunyai logam berujung tajam didalamnya. - Logam ditarik, kateter didorong kearah pelvis - Masukan cairan dialisa kedalam rongga abdomen antara 1 sampai 2 liter da n dibiarkan antara seperempat sampai satu jam. Catatan: 1. bila timbul rasa sakit dirongga abdomen, dapat diberikan anestesi lokal (Xylocain 2 %) sebanyak 1- 2 cc kedalam cairan 2. pemansan cairan sampai 37 – 40 0 C akan mengurangi rasa sakit/ mules RETENSI URIN Retensi urin merupakan kedaruratan yang harus mendapatkan pertolongan/tindakan s egera, karena retensi urin total yang berlangusng beberapa hari dapat mengakibat kan urosepsis yang dapat berakhir dengan kematian. Dalam hal seseorang tidak dap at kencing, harus dibedakan antara retensi urin dan anuri. Retensi urin ialah ta k dapat/ sukarnya urin keluar dari buli-buli, sedang anuri ialah terhentinya pr oduksi urin akibat gangguan dibagian proksimal buli-buli. GEJALA DAN TANDA 1. Kencing tak lampias, sukar, nyeri, pancaran kecil dan lemah, menetas sam pai tak bisa kencing 2. Riwayat trauma infeksi saluran kemih 3. Nyeri spontan/tekan/ketok daerah suprasimfisis 4. mungkin disertai pula dengan tanda penyebab: - pembesaran prostat - teraba benda keras sepanjang uretra - fimosis 5. Pemeriksaan pembantu untuk memastikan diagnosis: - kateterisasi - fungsi buli-buli PENATALAKSANAAN Prisipnya ialah: 1. Mengeluarkan urin secepatnya. 2. Memperbaiki keadaan umum – ingat kemungkinan infeksi, urosepsis, ganggua n keseimbangan cairan 3. Pengobatan kausal Urin dikeluarkan secepatnya dengan jalan: 1. Kateterisasi – biasanya dicoba dari no 18 – 20 F untuk dewasa; bila tak dapat masuk, gunakan ukuran yang lebih kecil. Bila pada saat memasukkan kateter, kateter terhenti ada beberapa kemungkinan: - salah jalan (false route) – biasanya akan keluar darah; sering terjadi p ada penggunaan Kateter yang terlalu kecil - spasme m, sphincter urethreae internus – dapat diatasi dengan tekanan se dang dan kontinyu - batu uretra – biasanya dapat diraba dari luar; bila batu terletak proksi
  • 34. mal dapat didorong kebuli-buli, bila distal, coba keluarkan dengan pinset. - Struktur Bila kateter 6F tak dapat masuk, keadaan ini disebut retensi urin total. 2. Bila katetrisasi gagal, gunakan busi filiform (2F – 6F). - masukkan 4 – 6 busi ke dalam uretra, lalu manipulasi satu demi satu samp ai salah satu busi masuk ke buli-buli; setelah itu busi yang lain dikeluarkan. - hubungan busi yang tinggal dengan bougie follower ukuran terkecil (6F) d an masukkan ke dalam uretra; demikian berangsur-angsur diganti dengan follower y ang lebih besar. - bila follower 18F sudah dapat masuk, tinggalkan dalam uretra selama 30 m enit, lalu ganti dengan kateter Nelaton 14F/16F, tinggalkan selama 2 hari. - kemudian ganti dengan kateter yang lebih besar berturut-turut setiap dua hari, sampai kateter 20F/22F dapat masuk; biasanya setelah itu penderita dapat kencing sendiri. 3. Bila busi filiform tak tersedia atau gagal, lakukan pungsi buli-buli atau sis tostomi. Pada pungsi buli-buli, cukup tusukkan jarum yang cukup besar sedekat mungkin pada pinggir atas simfisis oubis miring ke atas. Berikan pula antibiotik, misal nya PS 8: 1 atau ampisilin 4 x 250 – 500mg/hari. Setelah keadaan umum membaik, dapat dicoba kembali kateterisasi. 4. Pengobatan kausal beberapa penyebab retensi urin: 1. Fimosis : sirkumsisi. 2. Infeksi : antibiotik yang sesuai. 3. Trauma : Lihat hal. 149 4. Striktur - konservatif: businasi teratur setiap minggu, kemudian dua minggu sekali, sebulan sekali dan seterusnya sampai setahun sekali seumur hidup. Hanya berhasi l pada striktur yang pendek dan kecil. - Operatif: - reseksi bagian striktur, lalu dilakukan anastomosis end-to-end cara ini tak dapat dilakukan bila daerah striktur > 1 cm. - cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaring an fibrotik. stadium I – daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jari ngan sehat diproksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa ur etra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5 – 7 hari. Setelah kateter diangkat, urin akan keluar melalui hipospadi buatan tersebut. stadium II – beberapa bulan kemudian bila daerah striktur melunak, dilakukan pem buatan uretra baru. - Urethral plasty – dilakukan pada striktur di daerah prostat. 5. Batu saluran kemih: operatif. 6. Neurologik: coba fisioterapi. 7. Tumor prostat: - hipertrifi prostat: pada rectal toucher teraba prostat yang membesar den gan indurasi pada satu/beberapa tempat, keras, tak nyeri. pengobatan merupakan kombinasi dari: - prostateknomi. - estrogen – misalnya dietilstilbestrol 3 x 100 mg untuk 10 hari pertama, lalu d iturunkan sampai dosis terkecil yang dapat mempertahankan kadar fosfatase asam d arah dalam batas normal. - orkidektomi subkapsular. TRAUMA SALURAN KEMIH Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena pe
  • 35. rhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas yang ada di tubuh dan anggota g erak saja; kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdar ahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma salura n kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada. Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. J uga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu diperbai ki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik. TRAUMA GINJAL Dapat disebabkan oleh trauma langsung-baik tajam atau tumpul-di daerah perut bag ian depan samping maupun daerah lumbal; dapat pula diakibatkan trauma tidak lang sung sepeti jatuh terduduk, jatuh berdiri dan kontraksi perut yang berlebihan pa da hidronefrosis. GEJALA DAN TANDA 1. Jejas/luka daerah ginjal, kadang-kadang disertai terbentuknya tumor daer ah pinggang. 2. Hematuri. Biasanya tidak terjadi segera karena mula-mula terbentuk bekuan darah yang menyu mbat kaliks atau ureter, hematuri baru timbul 24 – 48 jam kemudian setelah sumba tan tersebut hilang. Bekuan darah tersebut dapat menyebabkan clot colic. Derajat hematuri tak sejajar dengan beratnya trauma, bahkan pada avulsi ginjal tak dite mukan hematuri. 3. Rangsang peritoneum. Timbul akibat darah dalam rongga perut, mungkin dis ertai ileus paralitik. 4. Laboratorik. Hb dan Ht (hematokrit) menurun. Pengamatan nilai Ht secara berkala dapat digunak an untuk memperkirakan beratnya perdarahan. Urin terdapat hematuri makroskopik/mikroskopik. Pada Ro foto polos perut terdapat: - Skoliosis ringan dengan bagian cekung menghadap ginjal yang terkena trauma. - Gambaran psoas kabur. - Contour gunjal hilang. - Perhatikan juga keadaan tulang-tulang iga dan tulang belakang sekitarnya. Pielogram intravena perlu dilakukan secepatnya tanpa menunggu hematuri berhenti. Bertujuan menilai kedua fungsi ginjal-baik yang terkena trauma maupun yang seha t-ini penting bila nantinya dipikirkan tindakan nefrektomi. Gambaran yang tak je las dapat pula disebabkan oleh gangguan ekskresi akibat syok. PENATALAKSANAAN 1. Istirahat baring, sekurang-kurangnya sampai seminggu setelah hematuri be rhenti; mobilisasi dilakukan bertahap, bila kemudian hematuri timbul lagi, pende rita diistirahatkan lagi. 2. Perhatikan tanda vital dengan ketat. Amati pembesaran tumor di daerah pi nggang dan nilai Ht untuk menduga perdarahan. Hematom di pinggang dapat mencapai 1 – 2 liter. 3. Awasi hematuri dengan menampung urin tiap 3 jam dan dideretkan pada rak, bila perdarahan berhenti maka tabung-tabung akhir berwarna makin coklat; bila t etap/makin merah, perdarahan tetap berlangsung. 4. Antibiotika spektrum luas selama 2 minggu, karena bekuan darah sekitar g injal dapat merupakan tempat berkembangnya bakteri. 5. Bila telah diyakini dapat ditangani secara konservatif, penderita dapat diberi minum banyak untuk meningkatkan diuresis sehingga bekuan darah dalam ginj al cepat keluar. 6. Bila perdarahan terus berlangsung dan keadaan umum memburuk, pikirkan ti
  • 36. ndakan bedah. Tergantung pada kelainan yang dijumpai dapat dilakukan penjahitan, nefrektomi parsiil atau total. TRAUMA URETER Jarang terjadi, terutama akibat kesalahan waktu pembedahan. Gejala yang timbul tidak khas, setelah beberapa saat mungkin timbul gejala rangsang peritoneum akibat ekstravasasi urin. Untuk memastikannya dapat dilakuka n pielografi retrograd. Pengobatan satu-satunya ialah pembedahan mungkin dilakukan reanastomosis, a nastomosis ureteroereter atau dibuat ureterostomi. TRAUMA BULI-BULI Dapat berbentuk: - Kontusio buli-buli: terdapat memar jaringan dan mukosa buli-buli - Ruptura buli-buli ekstraperitoneal: biasanya terjadi akibat trauma yang terjadi pada saat buli-buli kosong atau akibat patah tulang pelvis. - Ruptura buli-buli intraperitoneal: terjadi akibat trauma pada saat buli- buli penuh. KONTUSIO BULI-BULI Penderita mengeluh nyeri, terutama bila ditekan daerah suprapubik dan hematuri t anpa tanda rangsang peritoneum. Sulit dibedakan dengan laserasi buli-buli atau r uptura uretra intrapelvis. PENATALAKSANAAN - istirahat baring samapai hematuri makroskopik hilang. - minum banyak untuk meningkatkan diuresis. Bila penderita dapat miksi den gan lancar berarti tidak ada ruptura buli-buli ataupun uretra. - bila hematuri berat dan menetap sampai 5 – 6 hari pasca trauma, buat sis togram untuk mencari penyebab lain. - obat-obatan. Antibiotika: Ampisilin 4 x 250-500 mg/hari per oral. Hemastotik: Adona AC-17®per oral. RUPTURA BULI-BULI Pada jenis ekstraperitoneal akan timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perku si di daerah suprapubik akibat masuknya urin ke kavum Retzii. Benjolan ini sukar dibedakan dari hematom akibat patah tulang pelvis yang sering menyertai. Patah tulang pelvis dapat diketahui bila terasa nyeri waktu diadakan penekanan pada ke dua krista iliaka. Bila dalam 24 jam nyeri di daerah suprapublik mungkin meningkat disamping a danya anuri, diagnosa ruptura buli-buli ekstraperitoneal dapat dibuat. Pada jeni s intraperitoneal, urin masuk ke rongga perut sehingga perut makin kembung dan t imbul tanda rangsang peritoneum. Mungkin juga tedpat nyeri suprapubik, tetapi ta k terdapat benjolan dan perkusi pekak. Pemeriksaan pembantu: 1. Tes buli-buli. - Buli-buli dikosongkan dengan kateter, lalu di masukkan 300 ml larutan ga ram faal yang sedikit melebihi kapasitas buli-buli. - Kateter di klem sebentar, lalu dibuka kembali, cairan yang keluar diukur kembali. Bila selisihnya cukup besar mungkin terdapat ruptura buli-buli. Kekurangan dari tes ini ialah: - hasil negatif palsi bila daerah ruptura tertutup bekuan darah, usus atau omentum.
  • 37. - Hasil positif palsu bila muara kateter terlalu tinggi atau kateter tersu mbat bekuan darah sehingga selisih cairan tak bisa keluar. - Sukar membedakan jenis ekstraperitoneal dengan intraperitoneal. - Bahaya infeksi dan peritonitis bila ada ruptura jenis intraperitoneal. 2. Radiologik. Uretrosistogram: mencari adanya eksravasasi urin dan lokalisasi kelainannya serta membedakan jenis ekstraperitoneal dan intraperitoneal. PENATALAKSANAAN 1. Pembedahan setelah keadaan umum membaik, untuk ini dapat ditunda sampai 24 jam. 2. Perhatikan pula kemungkinan patah tulang pelvis. 3. Teknik operasi: - Untuk anestesi lihat bab yang berhubungan - Insisi mediana dari pusat sampai 1 jari di atas simfisis. - Aponeurosis dipotong dan m. rectus abdominis dipisahkan secara tumpul. - Bila ada ruptura buli-buli ekstrapeitoneal maka segera terlihat darah da n urin. - Setelah dibersihkan akan tampak bagian anteroposterior buli-buli dan per lekatannya dengan peritoneum - Dibuat insisi kecil di peritoneum pada puncak buli-buli untuk memeriksa adanya darah dan urin dalam rongga perut. Bila tak ada, segera tutup lagi dan perbaiki ruptura ekstraperitoneal yang ada. Bila ada, menandakan adanya ruptura intraperitoneal, insisi peritoneum segera di perlebar dan darah serta urin dibersihkan. - Ruptura intraperitoneum diperbaiki lebih dahulu dengan: Setlah membersihkan rongga perut, usus dan lemak prevesikal disisihkan ke atas; bila perlu posisi penderita dibuat Trendelenburg ringan. Buli-buli dapat ditanda i dengan bentuk otot dan pembuluh vena yang besar-besar di dindingnya. Dibuat in sisi menembus buli-buli di daerah suprapublik, lalu dengan telunjuk yang dimasuk kan dilakukan eksplorasi seluruh buli-buli. Telunjuk tersebut dapat sekaligus be rfungsi sebagai retraktor untuk menampilkan daerah ruptura ke lapangan operasi. Bagian yang ruptur dijahit dengan catgut No. 1 dengan menembus seluruh lapisan o tot buli-buli, tak perlu lapis demi lapis. Perhatikan agar jangan sampai jarum m enembus mukosa. Kemudian dipasang kateter Foley melalui insisi suprapublik tadi. Sekitarnya dija hit sedemikian sehingga kateter terfikasi dengan baik dan bila nantinya dicabut sisa luka pada buli-buli dapat menutup sendiri. (bila hanya ada ruptura ekstrape itoneal, pemasangan kateter tetap harus melalui insisi yang dibuat baru dan daer ah ruptur di jahit). - Setelah itu baru ruptura ekstraperitoneal dicari dan dijahit dengan cara yang sama biasanya ruptura terjadi di bagian anterior dekat prostat. - Bila perlu dapat dipasang drain prevesikal. - Luka operasi ditutup lapis demi lapis. Pasca bedah: - Pada ruptura buli-buli intravesikal, segera setelah syok teratasi berang sur-angsur ubah posisi penderita menjadi Fowler. - Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. - Antibiotika dosis tinggi. - Perhatikan patah tulang pelvis. TRAUMA URETRA Umumnya disebabkan trauma langsung di daerah perineum dan pelvis.
  • 38. GEJALA DAN TANDA: - Perdarahan dari uretra. - Hematom perineal; mungkin hanya disebabkan trauma bulbus kavernosus. - Retensi urin. Jika hanya terjadi memar mukosa uretra, penderita masih dapat kencing meskipun n yeri, tetapi jika ruptura, terjadi spasme m, spinshter urethrae externum sehingg a timbul retensi urin. - Bila buli-buli terlalu penuh, terjadi ekstravasasi sehingga timbul nyeri hebat dan keadaan umum penderita memburuk. - Pemeriksaan pembantu: 1. Rectal toucher. Bila ruptura terjadi di pars membranacea, maka prostat tak akan teraba; seba liknya akan teraba hematom berupa massa lunak dna kenyal. 2. Uretrogram. Untuk menentukan lokasi ruptura. PENATALAKSANAAN - Jika penderita dapat kencing dengan mudah, cukup observasi saja. - Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan m emasukka kateter Foley sampai buli-buli; hati-hati akan terjadinya kekeliruan ya itu kateter tergulung saja diantara buli-buli dan diafragma urogenital. Setelah kateter berhasil masuk buli-buli, tinggalkan selama 14 – 20 hari. - Jika kateter gagal dipasang, lakukan pembedahan. Dalam keadaan darurat c ukup dibuat sitostomi untuk menjamin aliran urin, caranya: Setelah dilakukan anestesi (lokal/umum) dan a atau antisepsis daerah operasi, la kukan sayatan vertikal secukupnya (3 – 4 cm) di daerah suprapubik. Setelah otot- otot dipisahkan akan tampak dinding buli-buli. Dinding buli-buli ditembus sedist al mungkin. Dimasukkan kateter Foley, balonnyadi kembangkan. Lalu dinding buli-b uli dijahit sedemikian sehingga kateter terjepit erat. Luka operasi ditutup lapi s demi lapis. Pasca bedah: Buli-buli dibilas dengan larutan antiseptik (KmnO4 encer) setiap hari. B erikan antibiotika dosis tinggi (PP 1,5 juta U/hari). - Setelah keadaan umum membaik, dapat dipikirkan operasi untuk menyambung kembali uretra. - Setiap penderita dengan trauma uretra harus diperiksa atau diawasi secar a teratur selama sekurang-kurangnya 3 – 4 tahun untuk diagnosa dini striktura ur etra. Hal ini dapat dilakukan ulangan pemeriksaan untuk tahun pertama tiap bulan ke 1, 2, 3, 6, 9 dan 12 sedangkan untuk tahun berikutnya setiap 6 bulan.
  • 39. BAB 12 Kedaruaratan Akibat Agens Fisik Luka bakar Heat Cramps Heat Exhaustion Heathyperpyrexia Accidental hypothermia Syok listrik Tenggelam LUKA BAKAR Luka bakar ialah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda- benda yang menghasilkan panas (api, air panas, listrik) atau zat-zat yang bersif at membakar (asam kuat, basa kuat). Untuk menyelamatkan jiwa penderita, tindakan yang terpenting ialah: 1. Mencegah atau mengatasi syok. 2. Mencegah danmengobati infksi. 3. Untuk luka bakar daerah wajah dan leher atau bila terjadi inhalasi asap, perh atikan bahaya edema larings. DIAGNOSIS Derajat luka bakar: I. Hanya mengenai lapisan liar epidermis; kulit merah, sedikit edema dan ny eri. Tanpa terapi sembuh dalam 2 – 7 hari. II. Mengenai epidermis dan sebagian dermis; terbentuk bullae, edema nyeri he bat. Bila bullae pecah tampak daerah merah yang mengandung banyak eksudat. Sembu h dalam 3 – 4 minggu. III. Mengenai seluruh lapisan kulit dan kadang-kadang menapai jaringan di baw ahnya. Tampak leci pucat kecoklatan dengan permukaan lebih rendah daripada bagia n yang tak terbakar. Bila akibat kontak langsung dengan nyala api, terbentuk les i yang kering dengan gambaran koagulasi seperti lilin dipermukaan kulit. Tak ada rasa nyeri (dibuktikan dengan tes pin-prick. Akan sembuh dalam 3 – 5 bulan deng an sikatriks. Luas luka-bakar: A. Anak-anak – dihitung menurut rumus Lund dan Browder:
  • 40. B. Dewasa-dihitung menurut rumus rule of nine. Derajat luka bakar: A. Ringan: - luka bakar derajat I. - luka bakar derajat II seluas <15 - luka bakar derajat III seluas 2% luka bakar ringan tanpa komplikasi dapat berobat jalan. B. Sedang: - luka bakar derajat II seluas 10-15% - luka bakar derajat III seluas 5 – 10% luka bakar derajat sedang sebaiknya dirawat untuk observasi. C. Berat: - luka bakar derajat II > 20% - luka bakar derajat II yang mengenai wajah, tangan, kaki, ala t kelamin atau persendian sekitar ketiak. - luka bakar derajat III seluas > 10% - luka bakar akibat listrik dengan tegangan > 1000 volt. - luka bakar dengan komplikasi patah tulang, kerusakan luas ja ringan lunak atau gangguang jalan napas. PENATALAKSANAAN A. Pertolongan pertama dan transportasi: 1. Matikan api dengan memutuskan hubungan (suplai) dengan oksigen dengan me nutup tubuh penderita dengan selimut, handuk, sprei dan lain-lain. 2. Perhatikan keadaan umum penderita. 3. Pendinginan: - membuka pakaian penderita. - merendam dalam air (20 - 300C) atau air mengalir selama 20 – 30 menit; u ntuk daerah wajah cukup dikompres dengan air. - bila disebabkan oleh zat kimia, selain air dapat digunakan NaC1 fisiolog ik (untuk zat korosif) atau gliserin (untuk fenol). - pendinginan ini tak berguna lagi untuk luka bakar > 1 jam. 4. Mencegah infeksi: - luka ditutup dengan perban atau kain bersih kering dan tak dapat melekat pada luka. - penderita dikerudungi kain bersih. - Luka jangan diberi zat yang tak larut dalam air seperti mentega, minyak, kecap. 5. Pemberian sedatif – morfin 10 mg i.m (dewasa) atau 1 mg/tahun usia i.m ( anak-anak), diberikan dalam 24 – 48 jam pertama. 6. Bila luka bakar luas, penderita dipuasakan; kecuali bila cairan pararent al tak dapat diberikan dalam 30 menit dan bising usus baik, dapat diberikan laru tan garam peroral saja. 7. Transportasi ke fasilitas yang lebih lengkap sebaiknya dilakukan dalam 1 jam; bila tak mungkin, masih dapat dilakukan dalam 24 – 48 jam, pertama dengan pengawasan ketat selama perjalanan. Lebih dari 48 jam sebaiknya ditunda sampai h ari keempat-kelima keadaan umum stabil. 8. Khusus untuk luka bakar daerah wajah. Posisi kepala harus lebih tinggi d ari tubuh; perhatikan kemungkinan edema larings. Bila perlu lakukan trakeotomi. Pada mata diberikan salep mata antibiotik dan atropin sulfat 1% tetes mata untuk mencegah infeksi. B. Terapi cairan: Diberikan pada luka bakar derajat II/lebih seluas > 20% pada anak-anak, ata u > 30%, pada dewasa. Jumlahnya berdasarkan luas luka bakar (%1b) dan berat badan (bb).