Cerita ini menceritakan tentang pertempuran antara Mahesa Jenar dengan Pasingsingan, hantu berjubah abu-abu. Pasingsingan menyebarkan sirep yang membuat semua orang tertidur, termasuk penjaga perkemahan. Mahesa Jenar mengejar Pasingsingan tetapi gagal menangkapnya. Kebo Kanigara beserta rombongan tiba di perkemahan. Mereka membangunkan semua orang yang tertidur akibat pengaruh sirep Pas
Dokumen ini menceritakan tentang rombongan Lawa Ijo yang berencana menyerang perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka berencana membunuh para pemimpin perkemahan tersebut kecuali menangkap hidup beberapa orang termasuk Wilis, Widuri, dan Arya Salaka. Rombongan Lawa Ijo kemudian memutuskan untuk memasuki terlebih dahulu kemah yang dijaga ketat karena diduga menyimpan sesuatu yang penting.
Mahesa Jenar merasa harus pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari Endang Widuri yang hilang. Hal ini membuat Rara Wilis sedih karena harapannya untuk memulai kehidupan baru bersama Mahesa Jenar akan tertunda. Meskipun berat hati, Rara Wilis mengizinkan Mahesa Jenar pergi karena mengerti tanggung jawabnya untuk membantu muridnya, Arya Salaka.
Dokumen tersebut menceritakan perkelahian antara Karebet melawan Sembada dan Sambirata. Mereka hampir saling membunuh satu sama lain ketika tiba-tiba muncul seorang pria bertopeng yang mencoba melerai perkelahian itu. Pria bertopeng tersebut berusaha membujuk mereka untuk pulang tanpa saling membunuh, namun Sembada dan Sambirata bersikeras ingin membunuh Karebet.
Teks ini menceritakan tentang pertemuan antara Sultan Trenggana dengan Karebet dan Putri Sultan. Mereka berdua terlibat dalam pertarungan ilmu setelah Karebet ketahuan berada di taman istana pada malam hari bersama Putri. Sultan Trenggana kemudian menunjukkan identitasnya dan kekuatan ilmunya yang dahsyat, membuat Karebet dan Putri Sultan terkejut dan menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Sultan sendiri.
1. Paningron memberitahu bahwa ia ingin membahas soal orang yang mengambil pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. 2. Ia juga ingin membahas soal Pasingsingan yang dibunuh oleh Pasingsingan. 3. Paningron memastikan tidak ada orang lain selain mereka di ruangan itu sebelum melanjutkan pembicaraan.
Dokumen tersebut merupakan bagian awal dari cerita Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menguping pembicaraan beberapa anggota gerombolan penjahat di dekat perkemahan mereka. Mereka mengetahui bahwa gerombolan tersebut adalah anak buah Sima Rodra yang ingin menangkap seseorang. Mahesa Jenar ingin menyerang mereka sekaligus, namun Panembahan Ismaya menolaknya dengan alasan tidak ing
Dokumen ini menceritakan tentang latihan bela diri antara Arya Salaka dengan Endang Widuri, yang mengejutkan para penonton karena kemampuan bela diri Widuri yang luar biasa untuk usianya. Cerita berlanjut dengan kedatangan seseorang yang mencari Mahesa Jenar, meskipun identitasnya belum diketahui.
Dokumen ini menceritakan tentang rombongan Lawa Ijo yang berencana menyerang perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka berencana membunuh para pemimpin perkemahan tersebut kecuali menangkap hidup beberapa orang termasuk Wilis, Widuri, dan Arya Salaka. Rombongan Lawa Ijo kemudian memutuskan untuk memasuki terlebih dahulu kemah yang dijaga ketat karena diduga menyimpan sesuatu yang penting.
Mahesa Jenar merasa harus pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari Endang Widuri yang hilang. Hal ini membuat Rara Wilis sedih karena harapannya untuk memulai kehidupan baru bersama Mahesa Jenar akan tertunda. Meskipun berat hati, Rara Wilis mengizinkan Mahesa Jenar pergi karena mengerti tanggung jawabnya untuk membantu muridnya, Arya Salaka.
Dokumen tersebut menceritakan perkelahian antara Karebet melawan Sembada dan Sambirata. Mereka hampir saling membunuh satu sama lain ketika tiba-tiba muncul seorang pria bertopeng yang mencoba melerai perkelahian itu. Pria bertopeng tersebut berusaha membujuk mereka untuk pulang tanpa saling membunuh, namun Sembada dan Sambirata bersikeras ingin membunuh Karebet.
Teks ini menceritakan tentang pertemuan antara Sultan Trenggana dengan Karebet dan Putri Sultan. Mereka berdua terlibat dalam pertarungan ilmu setelah Karebet ketahuan berada di taman istana pada malam hari bersama Putri. Sultan Trenggana kemudian menunjukkan identitasnya dan kekuatan ilmunya yang dahsyat, membuat Karebet dan Putri Sultan terkejut dan menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Sultan sendiri.
1. Paningron memberitahu bahwa ia ingin membahas soal orang yang mengambil pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. 2. Ia juga ingin membahas soal Pasingsingan yang dibunuh oleh Pasingsingan. 3. Paningron memastikan tidak ada orang lain selain mereka di ruangan itu sebelum melanjutkan pembicaraan.
Dokumen tersebut merupakan bagian awal dari cerita Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menguping pembicaraan beberapa anggota gerombolan penjahat di dekat perkemahan mereka. Mereka mengetahui bahwa gerombolan tersebut adalah anak buah Sima Rodra yang ingin menangkap seseorang. Mahesa Jenar ingin menyerang mereka sekaligus, namun Panembahan Ismaya menolaknya dengan alasan tidak ing
Dokumen ini menceritakan tentang latihan bela diri antara Arya Salaka dengan Endang Widuri, yang mengejutkan para penonton karena kemampuan bela diri Widuri yang luar biasa untuk usianya. Cerita berlanjut dengan kedatangan seseorang yang mencari Mahesa Jenar, meskipun identitasnya belum diketahui.
Tiga kalimat:
Dokumen ini menceritakan pertemuan antara Radite, Anggara dan guru mereka Pasingsingan Sepuh. Pasingsingan Sepuh datang untuk menanyakan keberadaan dua pusaka, Nagasasra dan Sabuk Inten, setelah sebelumnya dituduh oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di tempat Radite. Radite menjelaskan bahwa ia tidak memiliki kedua pusaka tersebut.
Dokumen ini menceritakan pertarungan antara Mahesa Jenar dengan lawan yang kuat. Pertarungan itu berlangsung sengit dan kedua belah pihak saling menyerang dengan kekuatan penuh. Pertarungan itu berakhir dengan serangan terakhir Mahesa Jenar yang menggunakan ilmu Sasra Birawa. Kedua belah pihak akhirnya pingsan akibat kekuatan serangan tersebut.
This resume is for Monica H. Harbin, who has 19 years of experience in medical practice and insurance billing management. She has held several roles managing billing staff, implementing projects, and ensuring compliance. Her most recent role was as Central Business Office Director where she oversaw day to day operations and billing functions. She also has experience as an Institutional Billing Coordinator, Quality Assurance Coordinator, and Team Leader.
Este documento lista diferentes fenómenos meteorológicos como mareas altas y bajas, lluvia, viento, nieve, huracanes y tormentas eléctricas. También incluye otros temas como arcoíris, tornados, sequía, heladas, tifones y varios tipos de instrumentos musicales de viento, cuerda y percusión.
This document summarizes mobile device and browser trends from a June 2015 report by Sevenval. The top three mobile devices were the iPhone 6, iPhone 5, and iPhone 4(S). The iPhone 6 saw significantly higher traffic than the Samsung Galaxy S6 since its 2014 release. Apple's Safari and Google's Android Chrome were the most used mobile browsers. The majority of mobile traffic was from Android and Apple operating systems. There were over 7,000 unique device models and nearly 100,000 combinations of devices, browsers and operating systems that web content needs to support.
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)Anthony Chew
This document outlines the requirements for Project 2 of an architecture design studio course. Students must analyze a specific site to understand its "genius loci" or unique character. In groups, students will produce site analyses documenting physical conditions like sunlight, climate and vegetation. Individually, students will interpret the site's history and character through sketches. They will then develop a design concept for a visitor center based on their analysis, presenting drawings, a model and verbal presentation. The project aims to foster strong relationships between architectural designs and their sites.
This document provides an overview of resume formats and samples for customer sales positions, along with additional interview resources. It outlines 8 common resume types - chronological, functional, curriculum vitae, combination, targeted, professional, new graduate, and executive. For each type, it provides a brief description of what it is and who should use it. It also includes links to specific resume samples and additional interview preparation materials for customer sales roles.
This document summarizes a student laboratory experiment to measure the density of unknown materials using two methods - volume displacement in water and caliper measurements. Five cylinders and one implant of unknown composition were examined. Mass was measured with a scale and volume via either calipers or water displacement in a graduated cylinder. Densities were calculated and compared to literature values to identify the materials. Results found the cylinders were made of glass, PMMA, UHMWPE, brass, and stainless steel while the implant was titanium. The caliper method yielded more accurate densities than displacement. The goal of identifying unknown materials and comparing measurement techniques was achieved.
This document outlines a mentorship program with AED where each member will be matched with an E-Board member who will act as their liaison for AED events, activities, and other premed opportunities. The program aims to facilitate team learning and allow members to use each other as resources through team meetings, fundraising competitions, trivia, games, and earning points by tracking activities like shadowing hours and volunteer hours.
Nervous or unsure about your presentations skills? Need some solid advice on pitch structure, slides and even body language? Communication Coach and body language expert Ric Phillips shares his secrets to help entrepreneurs and professionals get to the next level of pitching and presenting in business, in this installment of Toronto Net Tuesday.
Marketing vs. IT - Let the Battle BeginConnect2AMC
Marketing and IT teams at associations often have tensions that arise from differing priorities, languages, and work processes. However, both groups are charged with being creative problem-solvers who are driving revenue and operations. To reconcile tensions:
1) Facilitate dialogue by bringing both groups in early, using visuals to brainstorm, and speaking in each other's languages.
2) Communicate strategy by prioritizing projects based on strategic goals and reviewing priorities together.
3) Solve problems collaboratively by learning each other's roles, challenging each other respectfully, and brainstorming solutions together.
Tiga kalimat:
Dokumen ini menceritakan pertemuan antara Radite, Anggara dan guru mereka Pasingsingan Sepuh. Pasingsingan Sepuh datang untuk menanyakan keberadaan dua pusaka, Nagasasra dan Sabuk Inten, setelah sebelumnya dituduh oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di tempat Radite. Radite menjelaskan bahwa ia tidak memiliki kedua pusaka tersebut.
Dokumen ini menceritakan pertarungan antara Mahesa Jenar dengan lawan yang kuat. Pertarungan itu berlangsung sengit dan kedua belah pihak saling menyerang dengan kekuatan penuh. Pertarungan itu berakhir dengan serangan terakhir Mahesa Jenar yang menggunakan ilmu Sasra Birawa. Kedua belah pihak akhirnya pingsan akibat kekuatan serangan tersebut.
This resume is for Monica H. Harbin, who has 19 years of experience in medical practice and insurance billing management. She has held several roles managing billing staff, implementing projects, and ensuring compliance. Her most recent role was as Central Business Office Director where she oversaw day to day operations and billing functions. She also has experience as an Institutional Billing Coordinator, Quality Assurance Coordinator, and Team Leader.
Este documento lista diferentes fenómenos meteorológicos como mareas altas y bajas, lluvia, viento, nieve, huracanes y tormentas eléctricas. También incluye otros temas como arcoíris, tornados, sequía, heladas, tifones y varios tipos de instrumentos musicales de viento, cuerda y percusión.
This document summarizes mobile device and browser trends from a June 2015 report by Sevenval. The top three mobile devices were the iPhone 6, iPhone 5, and iPhone 4(S). The iPhone 6 saw significantly higher traffic than the Samsung Galaxy S6 since its 2014 release. Apple's Safari and Google's Android Chrome were the most used mobile browsers. The majority of mobile traffic was from Android and Apple operating systems. There were over 7,000 unique device models and nearly 100,000 combinations of devices, browsers and operating systems that web content needs to support.
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)Anthony Chew
This document outlines the requirements for Project 2 of an architecture design studio course. Students must analyze a specific site to understand its "genius loci" or unique character. In groups, students will produce site analyses documenting physical conditions like sunlight, climate and vegetation. Individually, students will interpret the site's history and character through sketches. They will then develop a design concept for a visitor center based on their analysis, presenting drawings, a model and verbal presentation. The project aims to foster strong relationships between architectural designs and their sites.
This document provides an overview of resume formats and samples for customer sales positions, along with additional interview resources. It outlines 8 common resume types - chronological, functional, curriculum vitae, combination, targeted, professional, new graduate, and executive. For each type, it provides a brief description of what it is and who should use it. It also includes links to specific resume samples and additional interview preparation materials for customer sales roles.
This document summarizes a student laboratory experiment to measure the density of unknown materials using two methods - volume displacement in water and caliper measurements. Five cylinders and one implant of unknown composition were examined. Mass was measured with a scale and volume via either calipers or water displacement in a graduated cylinder. Densities were calculated and compared to literature values to identify the materials. Results found the cylinders were made of glass, PMMA, UHMWPE, brass, and stainless steel while the implant was titanium. The caliper method yielded more accurate densities than displacement. The goal of identifying unknown materials and comparing measurement techniques was achieved.
This document outlines a mentorship program with AED where each member will be matched with an E-Board member who will act as their liaison for AED events, activities, and other premed opportunities. The program aims to facilitate team learning and allow members to use each other as resources through team meetings, fundraising competitions, trivia, games, and earning points by tracking activities like shadowing hours and volunteer hours.
Nervous or unsure about your presentations skills? Need some solid advice on pitch structure, slides and even body language? Communication Coach and body language expert Ric Phillips shares his secrets to help entrepreneurs and professionals get to the next level of pitching and presenting in business, in this installment of Toronto Net Tuesday.
Marketing vs. IT - Let the Battle BeginConnect2AMC
Marketing and IT teams at associations often have tensions that arise from differing priorities, languages, and work processes. However, both groups are charged with being creative problem-solvers who are driving revenue and operations. To reconcile tensions:
1) Facilitate dialogue by bringing both groups in early, using visuals to brainstorm, and speaking in each other's languages.
2) Communicate strategy by prioritizing projects based on strategic goals and reviewing priorities together.
3) Solve problems collaboratively by learning each other's roles, challenging each other respectfully, and brainstorming solutions together.
Cerita ini menceritakan tentang pertempuran sengit antara laskar Pamingit melawan orang-orang golongan hitam. Pertempuran terjadi di dua tempat, yaitu di Kepandak dan Sumber Panas. Di Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki secara individu. Sementara itu di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti harus melawan kelompok besar musuh secara bersamaan. Kedatangan seorang
Dokumen ini menceritakan tentang pertemuan Arya Salaka dengan Sawung Sariti setelah kedatangannya ke Banyubiru. Sawung Sariti melarang keras kedatangan Arya Salaka dan menghinanya. Hal ini membuat Arya Salaka sangat marah dan nyaris terjadi perkelahian di antara mereka berdua jika tidak dicegah oleh Mahesa Jenar.
Teks ini menceritakan pertempuran antara Mahesa Jenar dan gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Wadas Gunung. Pertempuran berlangsung sengit, namun akhirnya Mahesa Jenar dan seorang pria misterius bersenjatakan kapak berhasil mengalahkan lawan. Wadas Gunung terluka parah dan terpaksa menyelamatkan diri bersama anak buahnya. Setelah lawan pergi, pria berkapak itu mengungkapkan identitasnya dan men
Teks ini menceritakan tentang Mahesa Jenar yang mengintip muridnya, Arya Salaka, berlatih bersama Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar terkejut melihat kemampuan bertarung Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal yang sangat hebat, melebihi bayangannya. Dari gerakan bertarung Putut Karang Tunggal, Mahesa Jenar merasa pernah melihat gaya bertarung serupa di masa mudanya.
Dokumen ini menceritakan tentang pertempuran antara Wanamerta dan Sendang Papat melawan orang-orang Pamingit. Mereka sempat terkepung namun berhasil lolos berkat bantuan dari lima anak muda yang tiba-tiba muncul. Salah seorang anak muda itu ternyata sangat ahli berkelahi dan mampu mengalihkan perhatian lawan, sehingga meringankan beban Wanamerta dan Sendang Papat.
Dokumen tersebut menceritakan pertempuran antara laskar Banyubiru dan Pamingit melawan golongan hitam. Dalam pertempuran itu, dua tokoh sakti dari golongan hitam, Nagapasa dan Sima Rodra, dibunuh oleh Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar dengan teknik Sasra Birawa. Kejadian ini mengubah momentum pertempuran dan membuat moral laskar golongan hitam menurun.
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Codajongshopp
WA 081–388–333–722 JUAL VAGINA SENTER ELEKTRIK ALAT BANTU SEKS PRIA DI SURABAYA COD
SIAP ANTAR / COD : SURABAYA, SIDOARJO, MOJOKERTO
KUNJUNGI TOKO KAMI DI : TOKO AJONG VITALITASS JL. RAYA KLETEK NO.112 TAMAN SIDOARJO ( sebrang BRI kletek / sebelah jualan bambu )
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari IniWen4D
Wen4D adalah pilihan situs judi slot terbaik di Indonesia dan terpercaya yang menghadirkan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi para pemain yang bergabung. Sistem game yang kami sajikan 100% fairplay di mana artinya memang tidak ada campur tangan pihak manapun yang menentukan kemenangan.
Link Alternatif : https://heylink.me/WEN4D.com/
1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94
2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 94
I
asingsingan melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu.
Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang
berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui,
kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu.
Telinganya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa derap
kuda itu tidak akan lebih dari lima atau enam. Dengan demikian ia
dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu. Tetapi karena otak
Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang
mencemaskan hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua,
Radite, dan Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya
kepada salah seorang dari mereka. Apakah didalam rombongan itu
akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah kedua-
duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak
orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan
yang dapat diperoleh untuk memenangkan pertempuran ini. Sebab
ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak akan tinggal diam.
Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang lain
di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi
Pasingsingan. Apalagi kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu
adalah seekor burung rajawali yang perkasa, yang bahkan
melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang
mencemaskan hatinya itu.
Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan
terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor
serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci.
Maka ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya
mendekati perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram
keras sekali. Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati
Pasingsingan yang berwarna kuning kemilau.
Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu
berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan
P
3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 94
dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur
seperti dihembus badai. Mahesa Jenar untuk beberapa saat
tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk
mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan
kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat
mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-
semak, berselimut kehitaman malam.
Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan
tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang
penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang
masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung
kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman perkemahan itu,
dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya,
sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki
belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka,
sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.
Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia
meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, “Ayah, sayang ayah
terlambat.”
Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo
Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit ragu
mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah pertanyaannya,
“Apa yang terlambat?”
Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung
ayahnya sambil menjawab, “Baru saja kami menonton pertunjukan
yang luar biasa.”
“Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar.
“Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir
berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.
Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik
nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, “Pasingsingan…?”
4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 94
Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah
menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di
perkemahan.
“Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara.
“Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri.
Sementara itu yang lain pun telah berdiri mengitarinya.
Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala.
“Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada
mereka.
“Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi
Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan.
Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan
pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis yang
hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itu
pun masih kelihatan pucat.
“Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula.
Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah
Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, “Setan itu bisa
menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa
ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak
melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama
sekali tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya
menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh
sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat
menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya.”
Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau
harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa
ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, “Kenapa ayah
tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”
5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 94
“Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu
sekali?” bantah ayahnya.
“Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan
ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika bibi mencoba menolong
Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting karena serangan
Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara panas
yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.
Sekali lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya.
Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang
menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera
gadis kecil itu. “Aku berkata benar, Ayah....”
Widuri meneruskan sambil merengut. “Paman Mahesa Jenar
itu pun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun
kembali.”
“Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.
“Sebab bibi Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak,
barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak berbaring,
menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh
Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri.
“Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya.
“Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu. “Aku berkata
sebenarnya.”
Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam
benaknya perkataan anaknya itu, “Paman Mahesa Jenar itu pun
dapat dijatuhkannya.”
Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, “Adakah Mahesa
Jenar selamat?”
6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 94
“Bagi kami” jawab Mantingan, “agak sulit untuk dapat
mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu berada
jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia
masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang
dikejarnya,”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika
tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak.
Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang
berjalan perlahan-lahan ke arahnya.
“Mahesa Jenar....” sapa Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya,
Kakang.”
“Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.
Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, “Aku tak berhasil
menangkapnya.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, “Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan
bencana?”
“Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Baiklah....” kata Kebo Kanigara seterusnya, “Sekarang
cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin
pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah
pergi pula.”
Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu
diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk membangunkan
orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya dipengaruhi
sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo.
7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 94
Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di kejauhan
sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit
telah diwarnai oleh cahaya perak pagi.
Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah
mereka menghilang dari wajah langit yang biru bersih. Angin pagi
yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun
pepohonan rimba.
“Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, “Bukankah
kaliah lelah?”
“Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, “Karena itu aku akan
tidur sehari penuh.”
“Aku tidak percaya,” jawab ayahnya.
“Kenapa?” tanya Widuri.
“Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun
dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya.
Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok yang
disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke tempat
masing-masing. Mantingan berjalan dengan langkah gontai,
sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya
dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah
tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan
suatu peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya.
Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul Endang
Widuri untuk beristirahat.
Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah
tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo. Meskipun masih ada
diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang
diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika
tubuh mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin
mereka. Beberapa orang malahan menjadi bingung, sedang
8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 94
beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para
petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika
mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan
untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk
pada siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar
Banyubiru itu pun telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba-
tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat
fajar hampir pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam
dada mereka sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab
sendiri, “Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang
belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah terjadi
didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi
tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-
saat penjagaan.”
Tetapi, mereka menjadi agak terhibur ketika mereka
mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa
meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu
bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh
sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk
melepaskan darinya.
Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan
petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk
mendapat pengawasan, mereka pun berpesan wanti-wanti kepada
para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada.
Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila
ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan.
Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu
duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya.
Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan
Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang
apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah
dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri
sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat
melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia
9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 94
melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar
belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar
seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang.
Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di
keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat
digetarkan.
Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya
Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia
sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya
Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa
Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok
itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu
dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan,
namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka.
Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan
seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu
Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu
Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat
sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk,
bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula,
Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun
ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia
masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo
Kanigara.
“Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil
mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Semula aku tidak tahu
bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan
berdasarkan ajinya Alas Kobar.”
“Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar
itu?” tanya Kanigara pula.
10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 94
“Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada
saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat
seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku
getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra
Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku
kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku
mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh
Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena
aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu,
sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-
getaran itu terganggu.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar,
meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada
penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu
Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan
pertahanan. Kemudian ia bertanya pula, “Tidakkah iblis itu kau
lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai
cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan
demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab, “Kakang,
semula aku pun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar
bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap
tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran
itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi
telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas
Kobar itu.”
Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa.
Katanya, “Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil
menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna,
tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan
yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal
sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai
kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang
11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 94
pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau
dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-
kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah
kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu.
Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau
benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila
pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti
mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya
mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.”
Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati
Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga.
Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa
yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak
akan kering di segala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat
mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.
Sebagai manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki
senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia
menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit
yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia
menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa? Meskipun ia tidak
menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip
dengan ilmu kekebalan.
Tetapi, sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-
saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari
kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh
kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup
untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya
yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada
saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan
bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam
relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri,
mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam
12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 94
ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan
pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa
cinta kasih.
Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan
seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat
dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-
macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat
yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam
sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi
sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas
tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang
akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo
Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir
karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang
dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan
mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak
menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia
mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk
menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa
Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya.
Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada
kebenaran dan keadilan.
Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, “Aku
bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada
Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-
kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah-
mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini
sebaik-baiknya.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab,
tetapi hatinya berkata, “Berbahagialah kau Mahesa Jenar.
Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas
keluhuran hatimu.”
13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 94
Namun yang terucapkan adalah, “Meskipun demikian Mahesa
Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum
ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah
kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai
pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau
pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat
mempertanggung-jawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama
manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak
kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan
mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala
pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak
dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima
dari Yang Maha Tinggi.”
Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti
apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa
Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang
dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo
Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang
dilakukannya pun sesuai benar dengan kata-katanya itu.
Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk
keperluan yang tepat pula.
Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu
berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya
dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya
kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan
dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya
sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama
dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya,
dan orang-orang lain yang setingkat dengan mereka itu. Namun
disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara
kepada gurunya.
Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula
harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan
mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun
14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 94
demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya
sendiri bahwa ia pun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa
yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara. Karena angan-angannya
itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar
karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-
kesulitan yang masih harus di atasi.
Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit
dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan
membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih
tetap berangan-angan.
Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan
itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar
matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan
cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula
kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada
masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada
ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya,
namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya
menghadapi masa kemudian. Arya Salaka ingat benar betapa
ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang
pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah
seorang yang hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun
juga. Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya
dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin dewasa
tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan.
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba
memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan
masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa
mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk
mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia
berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu.
Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari
yang masih sangat condong menembus dinding-dinding
15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 94
pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di
kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan.
Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian
terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati
indahnya pagi ini.
Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok
ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir
lemah.
Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-
mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit
timba serta debur air orang mandi.
Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja
mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula
dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal,
namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam
dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di
dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya
yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.
“Ah....” desah Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba
melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik
nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam
angan-angannya.
Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya.
Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas
tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan
Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu
dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun
membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-
anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar
berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang
menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka
melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan
16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 94
kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan
kesetiaannya kepada tumpah darah.
Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya
mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah
tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap.
Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia
berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan
diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula.
Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah
memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar
maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah
meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang
dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan
Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru
sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk
pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah
di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan
kekuasaan Demak.
Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula-
mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai
macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam
seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam
perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak
itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan
hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam
himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian
wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah
pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam penelahan
Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi
ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari
perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya
17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 94
sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka
yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja.
Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih
tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia
merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir
lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila
keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota
gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk
mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di
istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian
Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya. Tetapi
rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan
baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak
termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya
mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa
hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan
tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar
terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk
diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin
kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri.
Sehingga, dengan demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa
meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang
senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam
sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha
dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-
masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka
tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan,
namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka,
berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan,
perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-
hal yang akan terjadi.
Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika
kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului
18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 94
perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama
Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang
menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi
Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan
yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat
menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan
hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang-
orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar
Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu
Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.
Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang
tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi
adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.
Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru,
serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini,
memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar
cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal
terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia
tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak
langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia
membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap
hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang
buruan dan sayur-sayuran.
“Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan
pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan
lahapnya.
Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya
telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah
19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 94
Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri, “Itulah yang aku
cemaskan, Kakang.”
Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya
telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara.
Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang
berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, “Kita dihadapkan pada
kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”
Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip.
Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia
tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan
itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-
sungguh.
Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan
masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang
menyenangkan.
Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun
rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh
dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung.
Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang
tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting
bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja
keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan
bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Kakang, aku
kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai
tugas kita kepada Arya Salaka.”
Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya, “Berilah
ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan
terjadi.”
Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira.
Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-
20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 94
kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta
Kebo Kanigara.
“Arya....” kata Mahesa Jenar, “Aku akan menceritakan
perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan
mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang
benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada
di sana.”
Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan
penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa
yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata
diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia
sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang
menyenangkan itu.
Meskipun Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah terjadi,
namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan, apalagi
ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan
sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar,
betapa halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang
sejak belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang
ayah bundanya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut
mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak
bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri.
Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan
untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari
tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan
baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya.
Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda
itu adalah, “Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia
berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan
menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti
21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 94
yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-
kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan
berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Karena itulah maka ia
tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang
mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika
ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru
ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak
kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Arya, aku minta maaf
kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali
untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga
dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah
Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak
mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itu pun tidak mengalami
sesuatu.”
Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya.
Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya,
sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat
itu juga.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan
anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah
menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat
kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh
kasih sayang.
Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati
untuk menentramkan hati anak itu, “Arya, tenangkanlah hatimu.
Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan
pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung
tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan
terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu
menegakkan kebenaran dan keadilan.”
22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 94
Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata
gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba
untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.
Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun
ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan
rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya
ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya
kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada
tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka
kemudian ia mengangkat wajahnya. Dengan penuh tekad ia
berkata, “Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada
bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
bangga. Katanya, “Demikianlah putra Ki Ageng Gajah
Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di
depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah
anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama
dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.”
Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia
akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah
ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya
dengan darah.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka
meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-
mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan
mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.
“Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang
Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.
“Ya,” jawab Arya Salaka.
“Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau
ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,”
23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 94
sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat. “Bukankah
begitu?”
“Ya,” jawab Arya Salaka singkat.
“Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening
yang berkilau…?” Widuri meluruskan.
“Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka
rumahku.” Arya Salaka membetulkan.
“Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu
mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.
“Hem....” Widuri meneruskan, “Kalau begitu kau adalah anak
seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana
Demak pun ada alun-alun.”
“Tidak selalu,” potong Arya, “Ayahku bukanlah orang yang
kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah
perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di
Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun.
Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di
Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”
“Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya
seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.
Arya Salaka menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.
“Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang
pula.
“Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.”
Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.
Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah
perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama
ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian
menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di
24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 94
dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah,
“Kakang Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi
ia tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin
melihat kehidupan bukit
Telamaya dan kecerahan
wajah Rawa Pening di pagi
yang bening.”
Rara Wilis tersenyum.
Sebenarnya di dalam hatinya
sendiri pun tersimpan pula
harapan, agar segala sesua-
tunya menjadi lekas
terselesai-kan. Sebagai
seorang gadis ia lebih mudah
tersentuh oleh perasaan rindu
kepada keluar-ga. Kepada
hidup kekeluarga-an yang
lumrah. Meskipun di dalam
tubuhnya mengalir juga darah
pengembara dari kakeknya,
Pandan Alas, namun baginya
lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang
bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau
dengan tetangga.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut
duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap-
cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada
masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya,
bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya
dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam
pergolakan masa kini.
Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu
lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah
ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di
25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 94
gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri
pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran,
Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa
orang lagi.
Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala
sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri
Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke
Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka
bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa
apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itu pun memiliki
kekuatan yang tak dapat diabaikan.
Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan
keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar
Mahesa Jenar berkata, “Laskar Banyubiru yang setia, kalian harus
ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali ke
Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke
Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk
kepentingan kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan
perasaan keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi
kemanusiaan.”
Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-
kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap
orang yang mendengarkan. Kemudian terdengarlah ia
melanjutkan, “Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan.
Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik
kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk
setiap saat berangkat ke Banyubiru.”
Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan
Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah
Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau
menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena
itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke
26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 94
Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal
yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian
menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar
mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada
sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki
Ageng Sora Dipajana. Sebagai seorang yang patuh kepada
agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan
pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan
kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak
tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan,
cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan
menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah
darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan
Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada
kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan
pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin.
Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar
dalam pengamalan dan perbuatan.
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam
pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak
masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya
sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia
tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang
kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi
dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah
artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan
sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah
lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya
janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri
yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan
perbuatan…? Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan
lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah
dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-
mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang
27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 94
tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang
dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah.
Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya.
Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas
kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-
an.
Itulah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru
yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar pemerintahan itu.
Dengan demikian, ketika matahari mulai menjengukkan
wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru
mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka,
mempertajam pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata-
senjata itu bukan mutlak harus dipergunakan, namun terhadap
orang yang bernama Lembu Sora dan Sawung Sariti, hal yang
demikian itu tak dapat dikesampingkan.
Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sendiri memerlukan
menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan tanpa
mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung
memberikan nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan
beberapa orang yang cukup kuat, langsung mendapat latihan-
latihan khusus dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping
usaha-usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan,
Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri.
II
Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar menganggap bahwa
waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru itu. Dan
pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari
setiap pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak-
anakBanyubiru itu, menjalarlah sebuah iringan yang seperti ular
menelusuri jalan-jalan perbukitan. Di ujung barisan itu berjalanlah
Mahesa Jenar di samping Arya Salaka. Kemudian di belakangnya
berjalan seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya.
28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 94
Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan yang
penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan lembah yang
berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara batu-batu padas yang
merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan
itu. Sinar matahari pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu
menari dengan lincahnya mempermainkan titik-titik embun yang
masih tersangkut di ujung-ujung daun.
Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil, tiba-
tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti. Mahesa
Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah yang bergolak di
dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar menariknya ke tepi dan
memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus. Ketika
Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia
menoleh kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya
sesuatu, sebab kemudian kembali ia tertarik pada dataran yang
berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang sudah cukup
tinggi.
“Ai....” teriak gadis kecil itu, “Apakah itu?”
Ayahnya tertawa, dijawabnya, “Seharusnya aku mengajak kau
merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat
matahari terbit.”
Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan kata-kata
ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali, “Rawa
Pening? Bukankah itu Rawa Pening?”
“Ada apa dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya.
“Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah
kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang Arya Salaka?” tanya
Widuri pula.
Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo Kanigara. Tetapi
sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang sedang menjelang
mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian terdengar
29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 94
jawabannya, “Widuri, Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan
berkelok-kelok seperti ular yang sedang berenang. Meskipun
demikian kau sudah dapat melihat arahnya dari tempat ini. Itulah
Bukit Telamaya.”
Endang Widuri tidak tahu pengaruh apakah yang menjalar di
hatinya, namun ketika ia mendengar nama itu, ia menjadi
berdebar-debar.
Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri, merupakan
daerah yang sejuk, tenteram dan damai. Tiba-tiba angan-
angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah
melihat daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi
sedemikian besar keinginan untuk pergi ke daerah itu, sebagai
daerah yang menyenangkan.
Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh ke arah Arya
Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di samping
Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit Telamaya
yang membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan
nyenyaknya. Di balik bukit itu membayanglah warna biru
kehijauan disaput oleh awan yang tipis, Gunung Merbabu.
Kemudian Endang Widuri meneruskan perjalanannya dengan
penuh angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang
pada keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di
hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan dinding-
dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh jalur-jalur
putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang
yang mencari kayu di hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu
hilang terputus ditelah oleh hutan-hutan yang berserakan di
lembah itu. Agak jauh di sebelah Rawa Pening, terbentanglah
sawah yang luas. Setingkat demi setingkat pematang-pematang
sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah itu
masih jauh.
Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar merasa
betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya itu.
30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 94
Seperti seorang akan menjelang kekasih yang telah bertahun-
tahun tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman rumahnya
dengan pohon jambu yang lebat berbuah. Semuanya itu seperti
hilir mudik di depan matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit
Telamaya itulah tinggal seorang yang paling dicintai, serta
dirindukannya, yaitu ibunya.
Mahesa Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu
mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari
mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan dapat
menambah gelora perasaan rindu itu.
Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di samping
mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di pundak merekalah
terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah
bukit itu menggantungkan nasibnya.
Tiba-Tiba Arya Salaka menjadi semakin terharu ketika ia
melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di hadapannya
terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit Telamaya,
sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa
kemudian tergambar di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan
seekor naga raksasa yang sedang berjuang untuk merebut kembali
sebutir telur raksasanya yang teronggok di hadapannya. Arya
menarik nafas. Bukit Telamaya itu seolah-olah sebuah permata
yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan
ke segenap penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi.
Kemudian teringatlah anak muda itu akan sebuah kisah
terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada ayahnya.
Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu
sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa
panjang tubuhnya tidak memungkinkan, meskipun hanya kurang
sejengkal. Karena itu ular raksasa itu tidak menyenangkan
ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular raksasa itu segera
dipotongnya. Maka matilah ular itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian
berubah menjadi seorang kerdil yang menancapkan lidi di lembah
31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 94
bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat
menarik lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah
yang menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air
yang semakin lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah
di lembah itu sebuah Rawa. Rawa Pening.
Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas yang
seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit Telamaya.
Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus mampu melilit
bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang tubuh itu tidak
memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan
lidahnya. Tidak dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan
menyambung kekurangan itu dengan darahnya. Dengan
nyawanya.
Arya Salaka terkejut ketika terasa setetes air menyentuh
tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang mengaca.
Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun agak terpaku
juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang
demikianlah tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan
kebesaran alam, setiap kali ia menyebut nama Yang Maha Besar.
Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian agungnya, betapa Agung Yang
Menciptakannya.
Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya, Arya Salaka
mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh gelora
hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna
merah yang menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak
melihatnya dan malah ia bertanya kepada anak muda itu dengan
pertanyaan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan
Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya. “Arya, udara cerah.
Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita. Mudah-
mudahan kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.”
Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”
32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 94
“Kita perlu istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita
meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam sebelum
esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya itu.”
“Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya
Arya Salaka sekenanya.
“Tidak perlu,” jawab Mahesa Jenar, “Sebab menurut
pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua
tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila
terpaksa terjadi perselisihan, maka kita dapat mengetahui
siapakah yang berada di pihak kita, dan siapakah yang berbeda
pendapat dengan kita. Dengan demikian kita akan mendapat
gambaran yang tegas, apakah yang perlu kita lakukan.”
Arya Salaka yang telah dapat menguasai perasaanya, sekali
lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata pertimbangan
gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu tindakan yang
berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab,
“Agaknya demikianlah yang seharusnya, Paman.”
Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke Bukit
Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah, ngarai serta
jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia memandang cahaya
matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening.
Maka kemudian katanya, “Marilah Arya, ujung pasukanmu
telah berjalan agak jauh mendahului kita.”
Arya tersadar dari perasaan rindu, haru serta gambaran-
gambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya
laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan sempit itu telah
hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu dilihatnya
Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan
Penjawi.
Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah
sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan tersenyum.
33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 94
Kemudian setelah sampai di hadapan anak muda itu ia berkata,
“Adakah yang kurang dalam barisan ini?”
Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab, “Tidak,
Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita
menjadi semakin lengkap. Apabila kita besok mulai memasuki
Banyubiru, aku harap bahwa di samping Sang Saka Gula Kelapa,
berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti, sebagai lambang kebesaran
tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan
kesatuan Demak.”
Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya,
apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga terdengarlah Penjawi
menjawab, “Hebat. Kita pasang pula umbul-umbul dan tanda-
tanda kebesaran lainnya. Bukankah dengan demikian pasukan kita
akan bertambah megah?”
“Demikianlah hendaknya,” jawab Arya Salaka, “Asal hati kita
bertambah megah dan besar.”
Mahesa Jenar kagum akan kecepatan berpikir Arya. Dengan
demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya berjalan dahulu
untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah kesan keharuan dari
wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu pada
orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala
daerah perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya.
Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu berjalan dalam
keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata,
namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai
macam persoalan yang hilir-mudik, serta kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi silih berganti. Wajah-wajah
mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya matahari,
kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka
hadapi. Bahwa mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk
kembali kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa,
seolah-olah mereka adalah orang buruan yang dikejar-kejar dan
34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 94
terasing karena mereka adalah perampok-perampok dan
penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan dengan
orang-orang yang tak tahu diri dan membuat kadang-kadang
diluar perikemanusiaan, hanya karena ia berkata, “Aku tetap setia
kepada Banyubiru.” Apakah salah mereka dengan kesetiaannya
itu? Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran, bahwa dalam
keadaan yang sedemikian ini, hanya pemerintahan yang
berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat
menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan
yang wajar antara Banyubiru dan Pamingit, diantara segala
sesuatu dapat dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya.
Sebab menurut keyakinan mereka, hanya dengan cara-cara yang
demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas perkenaan Yang
Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan batin. Akan bergemalah
kembali kesibukan serta keriuhan para penjual dan pembali di
pasar-pasar. Serta akan berkembanglah kembali usaha-usaha
pendidikan, sebagai taburan benih buat masa depan. Hanya dari
benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat
tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi
apabila pada bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk
yang baik, bahkan kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah
pohon-pohon yang akan menjadi tempat bernaung di masa depan,
serta akan muncul pulalah buah yang dihasilkan.
Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena tekad yang memang
sudah membaja, matahari telah berada di atas kepala. Sesaat
kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu yang tak
begitu lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan
rimba, terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa
pasukan itu harus berhenti beristirahat. Dalam kesempatan itu
Mahesa Jenar, Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta
beberapa orang penting lainnya mengadakan pembicaraan-
pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk mendahului
laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di pundak merekalah
diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar
mereka kepada rakyat Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan
35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 94
mereka ke dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka
diletakkan tanggungjawab untuk memberikan warna kepada
rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran laskar mereka.
Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan berarti
bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh
berita-berita yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan yang sama.
Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat
Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha untuk
memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru dan Pamingit,
antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri. Bahkan
kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah
laskar Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk
mengadakan pengacauan dan bahkan kadang-kadang
perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri. Namun kadang-kadang
mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang
Pamingit atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan
Lembu Sora untuk mengadakan penganiayaan atas orang
Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung halaman.
Dengan demikian mereka telah menggali lubang yang semakin
dalam antara dua keluarga sedarah itu.
Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh kedudukan
serta harta benda pun menjadi mata gelap. Mereka pun melakukan
perbuatan yang serupa, yang tidak mereka sengaja telah
membantu memperdalam jurang antara keluarga sendiri. Dari
mulut mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap
laskar Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan
penjahat yang sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-
penjahat yang lain.
Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Karena itu dipilihlah
diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang dianggap akan
dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan itu jatuh kepada
kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh
beberapa orang. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih agak
36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 94
kurang tenang dengan anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia
minta kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk
mengawasi pelaksanaan tugas itu.
Dengan senang hati mereka menerima kehormatan itu.
Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan sebaik-
baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.
“Sendang Papat dan Sendang Parapat....” pesan Mahesa Jenar,
“Kalian datang ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan,
bukan untuk menakut-nakuti dan bukan untuk mengancam. Kalian
datang ke Banyubiru untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang
sewajarnya. Karena itu jangan menuruti darah muda kalian. Kita
memilih kalian, karena kalian dalam wawasan kami dapat
mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman
Wanamerta ada di antara kalian. Jagalah keselamatannya.
Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada kami
dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan.”
Maka setelah beristirahat beberapa saat, rombongan kecil itu
pun berangkat mendahului. Mereka mengharap bahwa menjelang
malam, mereka sudah akan memasuki kota.
Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun
rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng Sora
Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas ini tak dapat
dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama
Kebo Kanigara.
Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan
laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar masih
saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan mereka tidak
akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar, bahwa mereka
masih harus menunggu dan menunggu. Perjalanan dari Candi
Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka
menjadi gelisah karena dengan rombongan-rombongan itu mereka
masih harus bersabar. Mereka harus menanti rombongan pertama
37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 94
itu kembali, seterusnya mereka pun harus menunggu Mahesa
Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal itu
tidak akan banyak berarti?
Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia berkata
dengan sareh, “Para pemimpin laskar Banyubiru… aku masih
mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang
penting bagi kita bukanlah menghantam Banyubiru dengan
kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan kembali segala
sesuatunya pada tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki
Ageng Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan
mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan darah
yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana
dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa
setetes darah pun yang mengalir dari tubuh kita. Kita mengharap
bahwa apabila Arya Salaka telah benar-benar berada di hadapan
Lembu Sora, akan berubahlah pendirian pamannya itu. Sebab
bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.”
Tiba-tiba dari antara para pimpinan laskar Banyubiru itu
terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa kesal
hati mereka “Tuan, kalau begitu apakah artinya kita berarak-arak
kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora sampai ke anak
cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta segenap
pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut
dibuatnya.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti
sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah bersiap
untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur melawan
golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh,
“Kedatangan kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian
terhadap Banyubiru. Sebagai suatu kenyataan yang harus
diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu Sora dalam keputusannya.
Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang
terakhir kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini
gagal, maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk
38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 94
menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di barisan
yang paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya
Salaka-lah yang berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru,
mengemban kewajiban memegang pimpinan. Kecuali ia adalah
putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan yang tak dapat
disangkal, bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak Kyai
Bancak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.”
Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan
mereka, namun para pimpinan laskar Banyubiru itu mencoba
untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk beberapa
saat mereka akan melampaui masa-masa yang menjemukan.
Menunggu dan menunggu. Sedangkan menunggu bagi seorang
prajurit yang sudah bersiap untuk bertempur, adalah pekerjaan
yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka adalah laskar
yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan
dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk
menunggu itu pun akan mereka laksanakan pula.
Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar
Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap
untuk sampai ke perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap
untuk sampai perbatasan menjelang senja. Di sanalah mereka
akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka dengan
sebal dan gelisah.
Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar demikian
cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di langit sebelah
barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru itu telah
sampai ke tujuannya. Mereka segera menempatkan diri sebaik-
baiknya. Meskipun mereka tidak dalam gelar perang, namun
mereka harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora
mendahului menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itu pun
segera beristirahat, sebab besok mereka harus membangun
perkemahan untuk beberapa hari lamanya.
39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 94
Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang
Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk menjaga
keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang sepi.
Satu-dua mereka bertemu juga dengan penduduk yang
memandang mereka dengan curiga. Namun karena malam telah
gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya.
Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat
mencapai pusat kota dengan selamat.
Di sepanjang jalan mereka sempat membicarakan apakah
yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak akan
mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orang-seorang,
memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu mereka
mencoba untuk bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam
jumlah yang besar sekaligus.
Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orang-orang
Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang menyedihkan.
Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan di ujung kota. Maka
ketika Wanamerta teringat pada ceritera Bantaran itu, ia berkata,
“Sendang berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang
itu?”
Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat,
“Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?”
Wanamerta tersenyum. Jawabnya, “Aku kira tidak, Sendang
Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang banyak
daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita
dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya
menjadi lebih besar. Nah, biarlah kita mencoba mengail ikan yang
besar sekaligus, meskipun umpannya pun harus besar.”
“Baiklah Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan
demikian mereka harus bersiap menghadapi bahaya.
40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 94
Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak jauh di
belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil keputusan, maka
segera Sendang Parapat menemui mereka, dan memberi mereka
pesan-pesan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka ketika mereka mendengar suara gamelan
tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai dibunyikan,
berkatalah Wanamerta, “Nah, itulah, mereka segera akan mulai
dengan acara gila-gilaan itu.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka
hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Marilah kita mulai dengan permainan kita,” sambung
Wanamerta, “Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya
kedatangan kita tidak menarik perhatian.”
Maka Wanamerta pun kemudian berjalan sendiri, Sendang
Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang yang lainpun
kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah lapang
yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu.
Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat jalan-jalan berbeda
dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan gelap, segera
mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu. Mereka melihat
beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak-
gerak yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat
adalah penari yang baik pula. Tetapi mereka belum pernah
mempelajari bentuk-bentuk tarian seperti yang ditarikan oleh
tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal
siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka
sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang
Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa berjanji, di tempat
masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka. Gadis-
gadis itu ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis
yang baik, bahkan mereka adalah penari-penari yang baik pula.
Tetapi tiba-tiba mereka sekarang menari dengan gaya yang tak
41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 94
pernah mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut penilaian
mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi mereka
benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu
jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gila-gilaan pula.
Diantara nada-nada yang berirama panas itu terdengar suara
pesinden yang tidak kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri.
Pesinden yang telah kehilangan patokan-patokan seni suara.
Maka di lapangan itu terdapatlah suatu perpaduan antara tari-
tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat membakar hangus
dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu sayang,
bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah yang
kini mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa
pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang itu,
bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah benar-
benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali telah
kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang hanya
memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi harus
dipanaskan dengan suasana yang benar-benar telah berubah
seperti panasnya api neraka, telah menelan seluruh tanah lapang
itu ke dalam suasana yang mengerikan.
Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya masih saja
berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka dalam waktu
yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua kali perkelahian
diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk
tuak, dibelai oleh suara tertawa beberapa orang perempuan
dengan gembira sekali menyaksikan perkelahian itu. Namun di
samping itu, Wanamerta dan kawan-kawannya, masih juga melhat
beberapa orang laki-laki yang hanya berjongkok-jongkok saja
menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah mereka,
Wanamerta menangkap beberapa kesan yang berbeda-beda. Ada
diantara mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada yang
kecewa karena mereka menyaksikan tingkah laku yang seolah-
olah kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-
42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 94
akhir ini mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk
kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu.
Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi bertambah ribut
dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orang-orang Banyubiru
itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah bayang-bayang yang
gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara orang-orang
yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya
bergolaklah berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya
berdebar-debar. Tiba-tiba Wanamerta merasa seperti seorang
bekel Bayangkari pada masa pemerintahan Baginda Jayanegara
yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan
Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti,
kemudian ia kembali ke Maja-
pahit mengabarkan kepada
rakyatnya bahwa Baginda telah
wafat. Ketika ia mengetahui
bahwa rakyat Majapahit dan
para pembesar berduka cita
atas berita itu, tahulah ia
bahwa rakyat masih cinta
kepada Baginda Jayanegara.
Demikianlah kali ini, ia harus
berhadapan dengan rakyat
Banyubiru, membawa kabar
tentang laskar mereka.
Mula-mula tak seorangpun
memperhatikan kehadirannya.
Tetapi beberapa saat kemudian
seorang demi seorang meman-
dangnya dengan penuh perhatian. Mula-mula mereka ragu,
apakah benar yang berdiri di antara mereka dengan sikap acuh tak
acuh itu Kiai Wanamerta.
Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak merasakan perhatian
orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin maju, melihat
43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 94
pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi semakin gila
dan panas.
Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para
penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan yang
berdiri di sebelahnya, “He Kakang, bukankah itu Kiai Wanamerta?”
Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab,
“Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta”
Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena keinginan mereka
untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka berjalan
perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang
itu sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai
Wanamerta. Dengan demikian para penonton di tanah lapang itu
pun berdesakan maju. Kali ini bukan karena tledeknya yang
semakin membuat tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka
ingin memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai
Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi.
Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi sedikit
ia telah dapat menarik perhatian. Tinggal kemudian apakah ia
dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia menarik nafas
untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar
jantungnya.
Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan
bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke samping
pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya.
Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan beriring-
iring di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin banyak.
Orang-orang yang semula tenggelam dalam lagu dan tarian yang
sudah semakin bubrah itu, kemudian satu demi satu meninggalkan
gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai
Wanamerta adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang
demikian itu.
44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 94
Para tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda dengan
hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini merasa seolah-
oleh tidak mendapat perhatian dari para pengunjungnya. Malahan
satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para
tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya.
Mula-mula mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak
yang semakin gairah. Tetapi ketika para penonton masih saja satu
demi satu melangkah pergi, tledek-tledek itu benar-benar
kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari semakin liar, dan
bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka adalah manusia
yang memiliki ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak lama
dilanggarnya, namun tidaklah sehebat kali ini, dimana mereka
menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa
tak menentu, meskipun hatinya menangis, sebab apabila para
penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada makan di
esok hari.
III
Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di tengah-tengah
lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap
kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua
yang sejuk itu memandang mereka yang berderet-deret di
hadapannya, maka tiba-tiba terasalah suatu tusukan yang tajam
ke dalam setiap dada orang-orang Banyubiru itu. Meskipun
Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun cahaya
matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam
dada penduduk Banyubiru itu pun ikut serta berkata-kata. Ikut
serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab,
“Kenapa hal-hal semacam ini bisa terjadi…?”
Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan berselang. Ketika
di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan perkelahian yang
sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu, mereka seolah-
oleh telah berjanji untuk tidak akan mengulangi kelakuan-
kelakuan mereka yang gila ini. Namun karena pengaruh keadaan,
45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 94
sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh dengan kemaksiatan
ini menariknya kembali. Dan sekarang yang berdiri di hadapannya
bukan sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi
kepercayaan Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama.
Tetua tanah perdikan Banyubiru, Kiai Wanamerta.
Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka
menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha bersembunyi
di punggung kawan-kawannya, supaya mukanya tidak terlihat oleh
Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu. Tetapi disamping
perasaan yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada
pula yang merasa betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh
kehadiran Wanamerta itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau
di tanah lapang itu, maka Wanamerta pun akan melakukan hal
yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang berpendirian
demikian segera menjadi gelap dan tegang. Mereka memandang
Wanamerta dengan perasaan benci.
Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran Wanamerta itu
berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan kata-
kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya
mengetahui pula, apa sebabnya para penontonnya meninggalkan
arena. Bahkan beberapa orang diantaranya segera meninggalkan
pekerjaan mereka, dan ikut pula berderet-deret melihat tetua
tanah perdikan mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara
mereka.
Karena itu, maka untuk beberapa lama tanah lapang itu
tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama
yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera
lenyap dalam keheningan yang tegang.
Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-
lahan, namun merata ke segenap telinga, “Kenapa kalian berhenti
bersuka ria?”
46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 94
Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya.
Namun tak seorang pun dapat menjawab.
“Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur.
Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria,
bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering
kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian
menuai padi musim basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-
batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian
buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang
diperkenankan oleh agama kita.”
Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian
gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa
kerasnya.
Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta
meneruskan, “Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah,
teruskanlah.”
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka
yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta,
menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu.
Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru
itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, “Kenapa kalian
memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak
mengenal aku lagi?”
Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
“He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung
Wanamerta.
Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak
tahu apa yang mesti dilakukan.
47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 94
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang
berat dan parau, “Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan
di sini?”
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara
yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis
pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan
bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh
burung.
“Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.
“Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu. Matanya
memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran
Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah
pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk
mengamankan daerahnya.
“Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta,
“Kau sekarang nampak begitu gagah.”
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya
mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena
itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan
mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta,
ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajaran. “Kiai,
aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu
jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.”
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota
Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang
saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan
keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta
menjawab, “Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi
lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”
48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 94
“Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya, “Orang tua
yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di
rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab.
Maka terdengarlah kembali suara Sontani, “Nah Kiai… aku
ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”
Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, “Sudah aku
katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”
“Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya
kemudian, “Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-
tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak
rusak karenanya. Maka iapun menjawab, “Sontani, pertama,
memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang
demikian hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada
kampung halaman. Aku telah memutuskan untuk pulang dan hidup
diantara kalian seperti sediakala.”
“Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,”
bantah Sontani.
“Kenapa?” sahut Wanamerta.
“Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama.
Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya
kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu
Sora,” ancam Sontani.
“O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan
kepalanya. “Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku
rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali
pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti
49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 94
Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga
dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda
Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”
Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah gumam yang merata di
seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang
berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang
kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri,
kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya, “Apakah berita itu
benar…?”
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-
katanya, “Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah
kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah
pengalaman?”
Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu,
tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari
berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam, “Mudah-
mudahan berita itu benar.”
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di lapangan
itu, terdengarlah suara Sontani lantang, “Bohong…!”
Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul
dengan suara Sontani melanjutkan, “Apakah keuntungan kita
dengan kedatangan anak itu?”
“Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.
“Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan.
Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana.
Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa
pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya
bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah
tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih
menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”
50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 94
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan
menjawab, Sontani sudah berteriak pula, “Ia masih merasa berhak
pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa
kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa
peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan
kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia
menyesal!”
Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang,
lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta
itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak,
“Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek.
Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.”
Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi
menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk
memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-
puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang,
maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri
tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itu pun
dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak
menghendaki kehadirannya. Maka terdengarlah bersautan, “He,
Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah
kelahiranmu ini.” Disusul oleh yang lain, “Kami tidak perlukan anak
itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”
Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita
tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula.
Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya
akan menambah keributan. Satu demi satu merekapun
terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan
akhirnya seorang berteriak, “Pergilah kau Wanamerta, keledai tua
yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….” Disaut oleh suara gemuruh,
“Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang
indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar
Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.” Terdengarlah kemudian
suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu.