SlideShare a Scribd company logo
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91
I
emuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk
mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata
kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau
gila, secepat petir menyambar.
Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten
dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya
Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang
menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa.
Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada
mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam,
namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka
melihat apa yang terjadi kemudian.
Ternyata Kebo Kanigara samasekali tidak berusaha untuk
menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada diri, ia
membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di
lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan
melakukan suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan
dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti ia berputar satu
kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan
yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi
apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada
mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan
disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut.
Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat
dipercaya. Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar
pulau Nusakambangan, bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap
tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawan-
lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat sedikit
pun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus
terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua
S
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91
kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo
Kanigara, orang yang samasekali tak dikenal, baik oleh golongan
hitam, maupun oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit.
Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali
ia menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati.
Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan
peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan Sawung Sariti
tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya
kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng
runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja,
laskar Banyubiru berteriak-teriak, “Nagapasa mati, Nagapasa
mati...!” Kemudian disusul, “Sima Rodra mati, Sima Rodra mati....”
Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya.
Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua
dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu
mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih
mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke
segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita
itu sangat meragukan.
Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan
Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun,
meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama
lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka
dengan penuh kekaguman dan keheranan.
“Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana.
Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan
mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri,
serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama
Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar
pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun samasekali tak
diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan
Pengging yang gemilang. Bahkan sedemikian sempurnanya
sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa orang itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91
adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka.
Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata,
sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam
suatu benturan ilmu. Dengan demikian dapatlah ditarik suatu
kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra
Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang
perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada
di antara mereka dalam tatarannya, dan membenturkan diri
melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian bahwa
ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai
membunuh Nagapasa. Tetapi di samping itu, Mahesa Jenar pun
ternyata dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra
telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya. Seandainya
Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya
sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah
suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir pada saat
yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa.
“Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan
dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis Anganten.
Sedang Lembu Sora, setelah mendapat suatu kepastian
tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar.
Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa
punggungnya meremang. Hampir saja ia terlibat dalam
perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang
beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun
kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia
dapat berhadapan melawan Sima Rodra…? Sedang Mahesa Jenar
itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya
Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira
yang akan terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin
kepalanya akan terlontar dan pecah berserak-serakan. Diam-diam
Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar
tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa
Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91
selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu
sikap yang jarang ditemuinya.
Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar Banyubiru,
kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru
menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di
laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari antara
mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-benar
mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel
Kaliki dan Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya.
Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya
dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo
Kanigara atau Mahesa Jenar datang mendekat?
Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi gelisah.
Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang
sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini,
mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia
ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan
ini. Atas permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang
menampakkan diri, terpaksa menyeberangi selat Nusakambangan.
Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima
Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru
mereka masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka
memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi
gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah
tidak ada lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang
terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan
golongan hitam pun samasekali tak berarti baginya. Sebab
kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan
atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat
mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh
sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh. Tetapi
itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi
kemenangan. Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu,
Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk bertempur terus. Ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91
kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia
memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia
menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan medan hanya karena
keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau tuduhan-tuduhan
lain yang semakin menyulitkan kedudukannya.
Dalam pada itu, matahari
beredar terus. Ketika tokoh-
tokoh sakti dari keduabelah
pihak terlibat kembali dalam
pertempuran, warna-warna
yang kelam mewarnai lembah-
lembah yang cekung. Perla-
han-lahan warna itu merayapi
tebing semakin tinggi. Angin
pegunungan yang sejuk terasa
silirnya mengusap tubuh.
Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang telah kehi-
langan lawannya tidak segera
berbuat sesuatu. Mereka masih
diam dan tegak di tempat
masing-masing. Namun di
daerah sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-
orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah menyingkir dari
kedua orang yang luar biasa itu.
Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu menjadi
semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah kehilangan
pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah
sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora
Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan
Pamingit segera mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan
peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan-
kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang
dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91
itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian
mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka
tahu, bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya,
namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur dan
dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti.
Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga
mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan satu
sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang
baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah
rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk
tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka
meninggalkan medan. Satu-Dua orang mencoba menolong kawan-
kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan
dari mereka samasekali tidak ambil pusing kepada mereka yang
terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir
merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan
parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun samasekali
tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka,
laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan
untuk kepentingan rahasia mereka, samasekali mereka tidak
segan membunuh kawan sendiri.
Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera
mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Pemimpin-
pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar
mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk
gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang
mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan mereka yang
terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas
tanah mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada
kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak mendapat
pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.
Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi sepi.
Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas
mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91
kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus
mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Besok
mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan
mendesak maju. Mereka merasa bahwa keseimbangan
pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah
dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai,
segera pergi bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu,
tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat. Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Mereka pun
segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki
Ageng Pengging Sepuh itu. Namun segera terdengar Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, “Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan
Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah
kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar
dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger
telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya
karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain
yang dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa
Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami
orang-orang tua yang tak tahu diri.”
Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat
sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu.
Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab.
Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, “Ada
kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-
Nya pula. Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang
ditunjuknya.”
Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara
itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang yang taat
beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan
mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91
Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan
pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib.
Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka
yang terluka.
Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun mendahului
kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di
sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti
itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka
bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan
mereka dan laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu
kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui
kesaktian mereka sendiri.
Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana
mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan
mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang
mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap
gerak-gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka
lakukan, para pengawas itu harus memberikan laporan setiap saat
dengan tertib.
Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama
dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil
air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya
mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang.
Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora
Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya
bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu.
Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus
dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar?
Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, “Tuhan telah
menerangi hatinya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91
Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia,
“Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya, “Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih senang
mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada
Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa
samasekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah
menemukan jalannya. Tetapi....” kata-kata orang tua itu terputus
oleh tarikan nafasnya.
“Tetapi....” Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi
kata itu.
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar
dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit
hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng
Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya.
Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja
langkah orang tua itu sambil berdiam diri.
Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora
Dipayana bertanya, “Dari mana kau Arya?”
Arya berhenti, kemudian ia menjawab, “Sesuci Eyang.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?”
Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman
Lembu Sora.”
“Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa
petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta
orang tua itu.
“Baiklah Eyang,” jawab Arya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi
pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.
“Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa
Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin. Tanpa
keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,” gumam
Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar
mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan
nasib cucunya, Sawung Sariti.
Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut
masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti
pagi tadi.Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka
terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan
yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar
mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri.
Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan
beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar Sendang Papat
berceritera. Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat
laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat.
Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas
anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil
memeluk senjata masing-masing.
Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai
oleh mimpi yang segar.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan
dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati
mereka. Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang
kepada mereka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil
mempersilahkan, “Marilah Ki Ageng.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91
Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda
dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk pula
didekat perapian yang masih menyala-nyala itu.
“Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati....” Ki Ageng
Lembu Sora mulai, “Aku memerlukan datang kepada kalian berdua
untuk memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah aku
lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku
masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal
pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah
kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku
lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-
lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar
pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora
memandang kepada diri sendiri.
Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang
dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa
nyamannya.
Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan,
“Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami
sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat
pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.”
Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah
menyumbat kerongkongan. “Tetapi Kakang, apabila besok aku
terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang
menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora
kelak.”
“Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut
Mahesa Jenar. “Meskipun aku belum lama berkenalan, namun aku
tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra.
Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan
ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91
“Ya....” Lembu Sora menjawab, “Aku tahu itu. Aku sadar
betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa kanak-
kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas.
Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau
meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak
mengetahui samasekali persoalan di antara kami. Syukurlah
bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan
itu.”
“Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah
Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa
miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.”
“Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh…?”
Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang sedemikian
bodohnya.
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar, “Meskipun hidup dan mati
berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan
menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di
pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka
bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan
melimpahkan rahmat-Nya.”
Lembu Sora terdiam. Matanya yang muram, merenungi api
yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di
dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya betapa
kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan,
kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat
yang tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana
Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk
Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng
Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah
bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana
dan lain-lain. Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita-
citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91
diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk
lesu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa
penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa
ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh.
Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali.
Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi
semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini para pengawas
dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka
terletak tanggung jawab atas keselamatan perkemahan
Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu
menyerang mereka pada malam hari ketika mereka sedang
nyenyak tertidur.
Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka
matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama
dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera
bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat
di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan
tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya kepala anak muda itu
seperti masa anak-anak dahulu.
“Arya....” desisnya, “Maafkan pamanmu.”
Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata-
kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah
terkunci. Namun hatinya berkata, “Aku akan berusaha
melupakannya, Paman.”
Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi
panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat keluar.
Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki
Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam.
Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan
kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91
hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah
membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa.
Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap
dalam pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, “Arya, di
manakah adikmu?”
Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang
serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab, “Aku tidak tahu,
Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira
Adi bersama-sama dengan Paman.”
Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti
anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang samasekali tidak
mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan
manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada
diri sendiri. Kenapa selama ini hal itu dibiarkannya. Ia tidak pernah
membatasi perbuatan anaknya yang diandalkannya untuk dapat
mendampinginya dalam rencana-rencana jahatnya. Bahkan anak
itulah yang didorongnya di depan. Sekarang anak itu terlalu jauh
tersesat lebih jauh daripada dirinya sendiri.
“Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku
sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya
sendiri. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, adikmu
telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat
melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun
demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke
jalan yang benar?”
“Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu
sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya
itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha.
Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran
ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91
enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan
yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas?
Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka
Wulungan pun tidak segan- segan menanyakannya. Maka ia pun
kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya
kepada Mahesa Jenar, “Tuan, apakah Tuan telah mendengar
laporan para pengawas?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Belum Wulungan,”
jawabnya. “Laporan tentang apa?”
“Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora
Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana
pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya
Salaka,” sambung Wulungan.
“Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.
“Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. “Kalau
demikian....” ia melanjutkan, “Biarlah aku panggil orang itu.”
II
Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa.
Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya di dalam
hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang
pengawas dari Pamingit. Diajaknya orang itu duduk pula, dan
berkatalah ia, “Inilah orang yang menyampaikan laporan itu,
Tuan.”
Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama.
Kemudian berkatalah ia, “Katakanlah apa yang kau lihat?”
Orang itu pun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu
Sora ia berkata, “Aku adalah salah seorang yang mendapat tugas
untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91
melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan
Kakang Galunggung.”
Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik
nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar
atau Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu Sora mengerutkan
keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan
anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan,
penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara
berdesing ditelinganya. “Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu
memang kau didik demikian.”
“Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu
Sora menggeram.
“Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari
rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.
“Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak.
Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya, “He,
apa kerjanya di sana?”
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik
dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah
perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang
dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-
kotornya di Pangrantunan. Di rumahnya ada dua tiga orang gadis.
Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub
yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi
terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang
melanggar tata kesopanan dan kepribadian.
Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa
yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan
demikian ia tetap berdiam diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91
Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, “Bagus, jangan
kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak
itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku
sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati
dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah
laporan itu?”
“Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya
pengawas itu.
Lembu Sora menggelengkan kepalanya. “Belum.”
“Agak terlambat,” katanya. “Aku telah melihat beberapa waktu
yang lalu.”
“Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.
“Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda
meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,”
jawabnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak
maju sambil bertanya, “Siapakah mereka?”
“Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,”
jawabnya.
“He…!” Arya hampir berteriak. “Kau tahu benar?”
“Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya. “Karena itu aku
yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede,
mereka membelok ke timur.”
“Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.
“Aku pun pasti,” sahut pengawas itu, “Tetapi aku tidak dapat
mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti,
akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku.
Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula
meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91
aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu
penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku
itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu
kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”
“Gila,” desah Lembu Sora. “Sawung Sariti dan Galunggung
tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana
atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”
“Wulungan....” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, “panggil
mereka!”
Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera
bangkit. “Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di
dalam gelap.
“Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah
seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”
“Pasingsingan…?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba
meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata
apapun juga ia berlari kencang-kencang.
“Arya....” panggil Mahesa Jenar, “Apa yang akan kau lakukan?”
“Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya.
Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian
berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, “Adi,
tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami
mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati
melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau
di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura
Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka. Mahesa Jenar sendiri
mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun
ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91
bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata, “Mahesa Jenar,
aku pergi bersamamu.”
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar
akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan
muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.
Sementara itu, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat
telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, “Ada apa Tuan-
tuan?”
“Aku akan pergi sebentar,
Bantaran. Jagalah laskar baik-
baik. Tempatkan dirimu
langsung di bawah perintah Ki
Ageng Sora Dipayana apabila
besok pagi-pagi aku belum
kembali,” kata Mahesa Jenar
dengan tergesa-gesa. Ia tidak
sempat memberi banyak
penjelasan. “Aku titipkan
laskar Banyubiru kepadamu Ki
Ageng,” katanya kepada
Lembu Sora.
“Baik Adi,” jawab Lembu
Sora. “Tetapi tidakkah Adi
perlu membawa pasukan?”
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar, “Di Banyubiru masih ada separo
laskar Arya Salaka.”
Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat
berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan
tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi.
Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi
ke tempat kuda-kuda dipersiapkan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91
Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti
angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera
meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup
baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran.
Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, “Aku ambil
seekor.” Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka
melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-
masing kuda dengan tergesa-gesa.
“Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga.
“Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, “Kami sedang berlatih
berpacu kuda.”
Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun
demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya
berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang
mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut. Namun mereka
tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi.
Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-
senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi
di perkemahan itu.
Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat
peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung
Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah
membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang
Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya
dalam hati pula. Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa
yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan
laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah
yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak
tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada
Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91
Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan
yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora
Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di
sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil
menggeram, “Apa kerjamu Sawung Sariti?”
Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum
pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang
demikian kepadanya.
“Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” pikirnya.
Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti
hendak menelannya hidup-hidup.
“Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. “Sawung
Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”
Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan
matanya masih saja melekat kepada anaknya. “Terlambat,” geram
Lembu Sora.
“Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Kabar itu,” jawab Lembu Sora. “Mungkin sesuatu telah terjadi
sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”
“Sabarlah,” potong ayahnya, “Apakah yang sebenarnya
terjadi?”
“Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti
bertanya.
“Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan
perkemahan mereka,” jawab ayahnya.
“Ke mana?” desak Lembu Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91
“Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung. Agaknya Ki
Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak
mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika
Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, “Kemana? Tidakkah
kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu
hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi
semakin jelek?”
Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya
bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin
menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih
kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.
Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak
kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, “Aku belum selesai ayah.
Aku baru menyampaikan sebagian.”
“Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan
laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?”
bentak ayahnya.
“Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, “Biarlah
anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang
kepadaku.”
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya.
Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan
perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, “Jadi
kau belum lama menghadap eyangmu?”
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia
menjawab, “Ya ayah.”
“Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.
Sawung Sariti menjadi beragu. Ia tidak berani berkata kepada
ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91
tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya,
Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa
disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta
supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu.
Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia
menjawab, “Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”
“Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun menjadi beragu. Kenapa Ki Ageng Lembu
Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah
mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan. Tiba-
tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya
berteriak, “Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti
mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu.
Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-
benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan
yang belum pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba
berkata membela diri, “Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang
mengatakan?”
Mata Lembu Sora bertambah menyala, “Kau mau bohong
Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”
“Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat
melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora
meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung
sambil berteriak, “Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu
kotor untuk mengucapkannya.”
Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau
tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak
kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah
merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam
dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91
“Lembu Sora....” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya,
“Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk
pula di samping ayahnya. Sawung Sariti samasekali tidak berani
menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar
bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba
merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya
waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang
golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di
dalam hatinya, “Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya
dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”
Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap
darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya,
terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, “Sudahlah
Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba.
Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari
masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang
cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu,
bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka.
Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi
anak semuda cucuku Sawung Sariti.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar
pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-
mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. “Nah, Sawung
Sariti....” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, “Apakah yang kau
katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera
tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan
suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah
melaporkan keadaan, “Orang-orang dari golongan hitam itu pergi
ke Banyubiru, Eyang.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Ke Banyubiru?” ulangnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91
“Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan
yang didengarnya dari pengawas itu.
“Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?”
bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung
pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati,
“Mati kau pengawas gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada
Sawung Sariti ia berkata, “Panggillah kakakmu Arya Salaka.”
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, “Baiklah
Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama
dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka
keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan
tangan bersilang dada.
Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, “Kau
lihat Kakang Arya?”
Wulungan menggelengkan kepala. “Tidak Angger.”
Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-
gesa. Galunggung samasekali tidak mengucapkan sepatah
katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di
belakang mereka.
Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, “Tak akan
dijumpai Arya di sini.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil
menoleh kepada anaknya ia bertanya, “Kenapa?”
“Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu
Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91
“He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Sendiri?”
“Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang
Jati,” sahut Lembu Sora.
“Mengapa?” tanya ayahnya pula.
“Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya
perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, “Dari mana anak itu
mendengar?”
“Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora.
Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu,
serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana
Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan
tombaknya dalam genggaman.
“Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.
“Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke
Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar
dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka
segera menyusul.”
Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa
Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.
“Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam
Ki Ageng Sora Dipayana. “Mereka orang-orang yang memiliki
firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini.
Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya
di antara kita.”
“Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak
terlambat,” desah Lembu Sora. “Mudah-mudahan segala sesuatu
tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan
Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91
karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus
mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?”
“Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. “Mahesa
Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya
dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang
harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat
pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya
lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak
pula.”
“Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian
iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun
kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak.
Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar,
kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut.
Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan
merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar
mendong.
Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-
mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin
dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya
tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain.
Sawung Sariti dan Galunggung samasekali tidak menyesalkan
perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu.
Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar
batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur,
Sawung Sariti menggeram, “Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian
dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu
sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?”
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
“Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung
Sariti.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91
“Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu
kecemasan.
“Bohong!” sanggah Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. “Benar angger,” jawabnya. “Aku
telah bebas dari tugasku itu.”
“Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara
aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu.
Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti
agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata
sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng
Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata,
“Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan
apa yang aku lihat demi kewajibanku.”
“Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. “Kau bisa berkata
hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna
hijau.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus
dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung
melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya,
“Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki
Ageng Lembu Sora.”
Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang
kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak
seorangpun yang berani mencampurinya.
Tiba-tiba Galunggung itu berkata, “Ikuti aku.”
“Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.
“Ikuti aku!” bentak Galunggung.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di
belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti.
Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan
atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang
diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia
perlu mendapat hukuman.
Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka
menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa.
Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping
desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika
ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam,
tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.
Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung
mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,
“Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku
kubur hidup-hidup.”
“Apa salahku?” tanya orang itu gemetar. “Seandainya aku
berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati
dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan
pekerjaanku sebaik-baiknya.”
“Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain.” jawab Sawung
Sariti, “Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di
Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus
dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana,
tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.”
Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia
tidak mengerti kenapa kebenaran samasekali tidak menjadi
pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran
dari seginya sendiri.
Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri.
“Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk
menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91
diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka
beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil
membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.”
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di
dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang
sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat
mempengaruhi keadaannya? Namun ia menjawab, “Aku dapat
menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan
membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat
memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan
itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk
menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”
“Kau tak usah terlalu
banyak bicara,” potong
Galunggung. “Nikmatilah uda-
ra terakhir ini sebaik-baiknya.
Sesudah itu, kau tak akan
mengenalnya lagi.”
Pengawas itu menjadi
semakin gemetar. Namun ia
berkata, “Kalau ada akibat
yang kurang baik bagi kalian
berdua, bukankah itu bukan
salahku. Kalau kalian tidak
sengaja memperlambat berita
itu, maka segala sesuatu akan
menjadi baik.”
“Tutup mulutmu!” bentak
Galunggung. “Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.”
Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada
pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah
pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91
kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas
kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan
ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri. Dirasanya
sesuatu terselip di ikat pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri
di hadapan dua orang yang samasekali di atas kemampuannya
untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan
seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau
perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan
sedapat-dapatnya.
Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi
kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia melangkah maju
sambil menggeram, “Jangan melawan, sebab kalau kau melawan
berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang
terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”
Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia
meloncat mundur sambil menarik kerisnya.
Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa.
“Benar-benar kau sedang sekarat.” Kemudian sambil tertawa ia
melangkah maju.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang
samasekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh
pengaruh. Katanya, “Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat
kebenaran diinjak-injak.”
Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti
mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya
Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya
tergantung di lambung kirinya.
Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil
melangkah maju ia berkata, “Paman Wulungan, kau berani
mengganggu pekerjaanku?”
“Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91
“Tidak…?” sahut Sawung Sariti, “Lalu apa yang Paman
kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu
bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid
Sora Dipayana?”
“Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora
Dipayana,” jawab Wulungan.
“Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua
dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.
“Ya.”
“Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan
Pamingit dan Banyubiru sekaligus?”
“Ya.”
“Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung
Sariti sambil mengangkat dadanya.
“Tidak apa-apa.” jawab Wulungan, “Aku tidak akan melawan
Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya.
Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?”
“Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung
Sariti.
“Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku
yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan
Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk
mengulangi laporannya.”
“Hem....” geram Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua
sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh
sekalian?”
“Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan
masih setenang tadi. “Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak
Sawung Sariti.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91
“Tidak,” jawab Wulungan. “Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan
Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat
dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku,
maupun kini.”
“Gila!” umpat Sawung Sariti. “Kau bukan seorang jantan.”
“Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.
“Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib
menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran
ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat,
bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora
Dipayana…?”
“Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya.
Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk
menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu. “Ki Sanak,
baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung
melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa
pembicaraan lain.”
Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan
benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama
itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-
duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat
melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-
serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila
terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
“Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-
mukul dadanya.
Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak
ia berkata, “Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?”
Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di
dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun
demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91
perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan
menjawab, “Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu
Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger
memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”
“Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.
“Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa
pengendalian,” jawab Wulungan.
Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, “Kepalamu
memang harus dipenggal.”
Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-
katanya, “Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku
berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang
terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka
mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan
berkata, “Begitu kan…?”
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya
bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu.
Sekali lagi Galunggung menggeram, katanya, “Apa
jaminanmu?”
“Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.
“Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.
“Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan.
“Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan
diantara keluarga sendiri.”
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata,
“Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau
memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan
cara untuk membunuhmu.”
“Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia
melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya
dibelakang.
“Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu.
Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya
bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua
berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan
demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan
dilakukan seandainya orang itu akan mencoba
menyergapnya.Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan
terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah
merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau
Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian
Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya.
Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap
mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya
Salaka. “Persetan dengan anak itu,” geramnya. “Dan persetan
dengan Banyubiru.”
“Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang
Arya?” tanya Galunggung.
“Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak
dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung
pun segera pergi.
III
Malam berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam.
Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.
Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke
Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang
dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa
langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar, sedang rapat di
belakangnya adalah Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91
Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah
mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu
kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada
Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah
mencarinya untuk menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera
ditemuinya.
Semakin dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda yang
di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin gelisahlah hatinya.
Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin segara sampai.
Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda menyusulnya.
Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara.
Ia yakin bahwa kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi
keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di
antara orang-orang golongan hitam itu terdapat Pasingsingan.
Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya
Salaka tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau
kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan mencemaskan
nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi sangat cemas?
Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau
Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang
pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-
orang dari golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan
rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya
kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang
Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri.
Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian
ia tidak sempat menyadari bahwa sebenarnya yang mendorongnya
untuk memacu kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib
gadis nakal yang aneh itu.
Demikianlah di malam yang gelap itu Arya Salaka memacu
kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang
menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan
tebing-tebing yang curam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91
Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi Arya
Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan,
mereka mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan
Endang Widuri telah memaksa mereka untuk cemas dan gelisah.
Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari tebing-
tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang
karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang-
jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul raksasa yang
sedang bermalas-malas.
Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi semakin
gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang seolah-olah
berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan batu-
batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut
ke belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih
cepat dari kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di
serambi matanya seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya,
memanggilnya, “Arya, tolonglah aku….” Tetapi suara itu seperti
seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik, bersenjata rantai
perak dengan bandul Cakra yang bercahaya-cahaya. Tetapi
senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu-
abu, bertopeng kasar dan menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba-
tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa
Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang
sedang marah pun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu
berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung
jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru.
Tanpa disengaja, sekali lagi ia menoleh. Dan dengan serta merta
ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima Rodra dari
Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan
Nagapasa. Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?”
“Tetapi….” Hatinya membantah sendiri, “Kalau segala sesuatu
telah terjadi?” Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit
nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91
suara itu hanyalah pekik burung hantu yang sedang berkelahi.
Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali malam menjadi
bertambah sepi.
Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang merajai
permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit,
Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga
Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya
malam.
Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk mimpi.
Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari bencana.
Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib
suaminya, anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang
di Pamingit. Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya
malam.
Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih
tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan
malasnya dibelai angin malam.
Dua orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol
halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu dengan mata
yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa
bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap.
“Beristirahatlah Paman.” Terdengar suara Mantingan lemah.
“Malam terlalu dingin,” gumam orang tua itu.
“Ya,” sahut Mantingan.
“Tetapi hatiku gelisah.” Orang tua itu meneruskan.
Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya
terlempar ke halaman, menembus kelam.
Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91
“Adakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya
Wanamerta.
“Mungkin,” jawab Mantingan. “Baru saja aku selesai
berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca,
Pergiwa dan Pergiwati.”
Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar
kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa angin.
Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya
malam.
“Seruling Kakang Wirasaba,” desis Mantingan.
“Pantaslah ia bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta.
Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending-
gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam. Hening sepi,
namun penuh kemesraan hati manusia.
“Di manakah Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta.
“Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab
Mantingan.
Wanamerta mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di
hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah
hari bertambah tajam.
Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman
bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang.
Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang
dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.
“Aneh,” gumam Wanamerta.
“Apakah yang aneh?” tanya Mantingan.
“Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun
sawo di halaman itu,” jawab Wanamerta.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91
Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya
berdesir halus. “Sepi yang menggelisahkan,” sahutnya.
Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya
menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah.
Namun betapa merdunya suara seruling itu.
Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti. Mantingan
mengangkat wajahnya. “Berhenti,” desisnya.
“Ya,” sahut Wanamerta, “Agaknya Angger Wirasaba
kedinginan.”
Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di halaman.
Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah.
Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di
halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman,
pohon-pohon kelapa. Semuanya diam beku. Yang bergerak-gerak
hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol.
Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke
pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba berjalan dengan
malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang
Parapat yang telah hampir sembuh.
Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang. “Ah….”
gumam Wanamerta. “Kenapa aku berubah menjadi penakut?”
“Kenapa…?” tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka.
“Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar
langkah hantu,” jawab Wanamerta.
Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi
perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat pinggangnya,
sedang tangannya menggenggam kapaknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91
Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun sawo
yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya
menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu
tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena
itu ia menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun itu
bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di
tangan, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata
lantang, “Siapakah yang mencoba membuat permainan itu?”
Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut
ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih belum
tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka
mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun melihat
bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari
pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baik-baik. Para
penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan
terpaksa menghentikan langkahnya.
“Lawa Ijo,” gumamnya.
Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun
dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh tinggi
besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat
orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah melihatnya.
Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah
dibinasakan oleh Mahesa Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…?
Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba
menggeram, “Hem, kau Wadas Gunung.”
Mantingan menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang
perlahan, “Wadas Gunung. Siapakah dia?”
“Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.
“Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91
Wirasaba menggeleng. “Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini
pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-
sama dengan 20 orang kawannya.”
Sementara itu Wadas
Gunung telah berjalan bebe-
rapa langkah maju. Sambil
tertawa pendek ia berkata,
“Nah, kau orang berkapak
yang membantu Mahesa Jenar
di Pliridan dahulu? Kau masih
mengenal aku dengan baik.”
Wirasaba juga maju. “Kau
datang pula ke Gedong Songo
beberapa hari yang lalu,”
katanya. Dan kapaknya tiba-
tiba bergetar di tangannya.
Ketika ia hampir meloncat
menyerbu, terdengar Wana-
merta yang tua itu berbisik,
“Hati-hatilah Angger. Ia pasti
tidak datang sendiri.”
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara
kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut. “Kebakaran,” desis
Wanamerta.
Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, “Kebakaran.
Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera
menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika
ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa,
muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia
belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91
berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam
sebuah tongkat warna hitam.
“Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,
“Jangan risaukan siapa aku.”
Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat
banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa,
“Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”
Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi
sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat
memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-
tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat
terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa
suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar
halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera
bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut
pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan
tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu
dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun
kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah batu
telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap
penjuru Banyubiru.
Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun
dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah
mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir
yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu.
Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa
mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang
singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa
bahaya yang besar telah datang. Para pemimpin kelompok itupun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91
segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu
segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran.
Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya
ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah. Ia mengerutkan
keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, “Jangan
berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.”
Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik
pedangnya. Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang
itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di
belakangnya, “Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.”
Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera
menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu.
Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia
menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut
seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia
merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila
karena dirinya.
Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia
masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu
terbayang. Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum
yang aneh.
Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi
dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan
laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap-
luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya,
sebagai ganti kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu
dengan gadis ini.
Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan
pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh
bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa,
bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan
rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91
Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, “Jaka Soka,
apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah
selesai…?”
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang
dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan
gadis manis yang menyapanya, “Hem, agaknya kau mendapat
pekerjaan baru di sini Jaka Soka.”
Jaka Soka tersenyum, jawabnya, “Bukan, Wadas Gunung.
Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya
beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya ia pun tetap menanti.”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan
pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri
Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang
di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka
Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari
lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang.
Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat
diatasi. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari
dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian
disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama
semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya
bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya.
Lawa Ijo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka.
Sambil tertawa pendek ia berkata, “Jaka Soka. Apa kau masih
mengharapkan gadis itu?”
“Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka.
Lawa Ijo tertawa ketika ia melihat sekali lagi wajah Rara Wilis
menjadi merah. Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab
adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, “Benar Paman
Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda
kami menjadi kekurangan rumput.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang
berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram. Tetapi Lawa Ijo
tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Ha, dengar. Apa yang
dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya
kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.”
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada
saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah
mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis
itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang
samasekali, katanya, “He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi.
Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa,
sedang Lawa Ijo pun tertawa pula. Terdengar Lawa Ijo menyahut,
“Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata
sebenarnya.”
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia
memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun ia tidak bisa
meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau
saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak
perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara
Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung
di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh
istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di
tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia
tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar
dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di
lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main
dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di
ujungnya.
Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak
lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian benar-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91
benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta
pedang yang terselip di dalamnya.
Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh
dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika
penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya,
mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para
penjaga yang lain pun terkejut. Tetapi mereka terpaku di
tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu. Yang
seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh
tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan
dan Sura Sarunggi.
Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi
kemudian terdengar suaranya menggeram. “Lawa Ijo. Permainan
apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi
kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah
memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari
orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat
kebakaran. Waktu kita tidak banyak.”
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di
Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka
menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, “Baiklah Guru. Dan
apakah yang akan Guru lakukan sekarang?”
“Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka
masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku
akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-
benar masih ada di sini.”
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia
sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula,
bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk
memancing laskar Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91
Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-
apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan
seenaknya.
Ketika Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi
pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka
memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan
trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang
Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun
tangan Rara Wilis sudah melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak
berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia
telah pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu
bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu
ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri.
Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis
yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh kepada
Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan keadaan
sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi, Pasingsingan segera mema-
suki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan
itu.
Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu,
mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata,
“Jaka Soka, jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak
terlalu banyak.”
Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju,
dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada saat yang
bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar
bahwa Ular Laut itu pasti akan menyerangnya. Sekali lagi hatinya
meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambak-
baya. Tetapi sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan
senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk membunuh
lawannya itu.
Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya
meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang besar itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91
berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun
menerima serangan Wirasaba dengan penuh gairah. Di kedua
belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau belati panjang.
Sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Kedua-
duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa.
Keduanya memiliki kelincahan dan kecepatan bergerak. Wirasaba
kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-
benar pulih kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa
Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian
pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan
senjata mereka berdentang-dentang menyobek sepi malam.
Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api keudara,
memercik berhamburan.
Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah
berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu. Yang masih
berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat
dikalahkan, namun apapun yang terjadi adalah menjadi kewajiban
Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang
Lawa Ijo. Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di
tangannya telah berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan
tangkasnya ia menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka
sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu perkelahian
yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera
dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang garang itu meloncat
dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah
lincahnya. Karena ia sudah mengenal Lawa Ijo, maka dalam
pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang
dinamainya Pacar Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya
bergerak-gerak dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari
segala arah. Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di
Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu.
Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang
Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan sekarang
tak ada orang yang akan menyelamatkannya. Karena itu, maka
Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan berhasil.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91
Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah
mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang pernah
terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta.
Sehingga dengan demikian, sejak perkelahiannya di Pliridan, ia
pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga,
meskipun tidak sedemikian jelas, karena kesempatan yang sempit.
Sebab pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari
kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur melawan
orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus berjuang mati-
matian. Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling
Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai
seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke
tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah
memiliki pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya,
penjahat ulung yang bernama Wadas Gunung itu. Dengan
demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan. Masing-
masing memiliki kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas
Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan
ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang
melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu
seakan-akan dapat berubah menjadi dinding baja yang
membatasinya. Sehingga dengan demikian ujung pisau lawannya
samasekali tak berhasil menyentuh pakaiannya.
Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di samping
pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur dengan
dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-
matian. Ia melihat betapa lincahnya Dalang Mantingan itu, dan
bagaimana dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar. Namun
dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena
itu hatinyapun menjadi tegang.
Yang belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia
masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali ia
memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung
menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91
seksama pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang
Mantingan. Sebagai seorang yang cukup berilmu, segera Jaka
Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai pada puncak
perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk
melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia tersenyum.
Sebentar lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya.
Karena itu untuk menakut-nakuti lawannya ia berkata, “Wilis,
lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan
terpenggal lehernya, atau terbelah dadanya.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang
terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui pula, bahwa
ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa Ijo. Meskipun
demikian ia mencoba untuk tidak terpengaruh karenanya. Sebab
apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya
menangkapnya. Seandainya ia terbunuh dalam pertempuran itu,
ia tidak akan menyesal. Sebab dengan demikian ia telah
mengorbankan dirinya untuk ikut serta mempertahankan hak atas
Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak
begitu dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak
menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang
sedemikian telah diduganya sejak semula. Sejak ia menjatuhkan
pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia
sadar, bahwa Mahesa Jenar mempunyai masalah yang jauh lebih
banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau
Sarayuda seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk
merebut keadaannya kini, sehingga dengan demikian Sarayuda
tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka Mahesa Jenar masih
harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis melihat hakekat dari
perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk
menempatkan dirinya pada tempat yang sebaik-baiknya,
meskipun ia samasekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa
Jenar berjuang untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru
mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti
halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk
Inten, samasekali tidak ada hubungannya dengan kamukten yang
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

More Related Content

What's hot

14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 

What's hot (20)

14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
 

Recently uploaded

Pedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdf
Pedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdfPedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdf
Pedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdf
sigitpurwanto62
 
PPT Mekflu power point mekanika fluida .pptx
PPT Mekflu power point mekanika fluida .pptxPPT Mekflu power point mekanika fluida .pptx
PPT Mekflu power point mekanika fluida .pptx
riopriangga
 
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari Ini
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari IniWen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari Ini
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari Ini
Wen4D
 
Presentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhddddddddddddddd
Presentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhdddddddddddddddPresentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhddddddddddddddd
Presentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhddddddddddddddd
enzianamaharani
 
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Cod
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya CodWA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Cod
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Cod
ajongshopp
 
1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf
1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf
1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf
sonymoita41
 
Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4
Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4
Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4
renaldifebriansyahed
 

Recently uploaded (7)

Pedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdf
Pedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdfPedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdf
Pedoman BOS Kinerja Sekolah Prestasi Tahun 2024.pdf
 
PPT Mekflu power point mekanika fluida .pptx
PPT Mekflu power point mekanika fluida .pptxPPT Mekflu power point mekanika fluida .pptx
PPT Mekflu power point mekanika fluida .pptx
 
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari Ini
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari IniWen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari Ini
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari Ini
 
Presentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhddddddddddddddd
Presentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhdddddddddddddddPresentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhddddddddddddddd
Presentation1.pptxhdhdhdhhdhhdhhddddddddddddddd
 
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Cod
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya CodWA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Cod
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Cod
 
1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf
1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf
1.1.d.2. Refleksi - Framework dan Model-model Refleksi.pdf
 
Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4
Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4
Makalah Bahasa Arab. Inna waahwa Tuha .Kelompok 4
 

22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91 I emuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat. Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau gila, secepat petir menyambar. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa. Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam, namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka melihat apa yang terjadi kemudian. Ternyata Kebo Kanigara samasekali tidak berusaha untuk menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan melakukan suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti ia berputar satu kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut. Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat dipercaya. Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan, bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawan- lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat sedikit pun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua S
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91 kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo Kanigara, orang yang samasekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit. Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati. Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan Sawung Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru berteriak-teriak, “Nagapasa mati, Nagapasa mati...!” Kemudian disusul, “Sima Rodra mati, Sima Rodra mati....” Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya. Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita itu sangat meragukan. Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun, meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka dengan penuh kekaguman dan keheranan. “Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana. Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri, serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun samasekali tak diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan Pengging yang gemilang. Bahkan sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa orang itu
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91 adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka. Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata, sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam suatu benturan ilmu. Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada di antara mereka dalam tatarannya, dan membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai membunuh Nagapasa. Tetapi di samping itu, Mahesa Jenar pun ternyata dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya. Seandainya Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir pada saat yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa. “Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis Anganten. Sedang Lembu Sora, setelah mendapat suatu kepastian tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar. Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa punggungnya meremang. Hampir saja ia terlibat dalam perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia dapat berhadapan melawan Sima Rodra…? Sedang Mahesa Jenar itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira yang akan terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan pecah berserak-serakan. Diam-diam Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91 selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu sikap yang jarang ditemuinya. Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari antara mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-benar mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya. Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo Kanigara atau Mahesa Jenar datang mendekat? Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi gelisah. Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini, mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa menyeberangi selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru mereka masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan golongan hitam pun samasekali tak berarti baginya. Sebab kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh. Tetapi itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi kemenangan. Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk bertempur terus. Ia
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91 kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan medan hanya karena keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau tuduhan-tuduhan lain yang semakin menyulitkan kedudukannya. Dalam pada itu, matahari beredar terus. Ketika tokoh- tokoh sakti dari keduabelah pihak terlibat kembali dalam pertempuran, warna-warna yang kelam mewarnai lembah- lembah yang cekung. Perla- han-lahan warna itu merayapi tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk terasa silirnya mengusap tubuh. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah kehi- langan lawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih diam dan tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang- orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu. Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu menjadi semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan Pamingit segera mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan- kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91 itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu, bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya, namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur dan dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti. Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka meninggalkan medan. Satu-Dua orang mencoba menolong kawan- kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan dari mereka samasekali tidak ambil pusing kepada mereka yang terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun samasekali tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka, laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan untuk kepentingan rahasia mereka, samasekali mereka tidak segan membunuh kawan sendiri. Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Pemimpin- pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas tanah mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka. Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi sepi. Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91 kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Besok mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan mendesak maju. Mereka merasa bahwa keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Mereka pun segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh itu. Namun segera terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami orang-orang tua yang tak tahu diri.” Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, “Ada kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada- Nya pula. Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya.” Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang yang taat beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91 Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib. Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka. Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan mereka dan laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui kesaktian mereka sendiri. Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap gerak-gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu harus memberikan laporan setiap saat dengan tertib. Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang. Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu. Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar? Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, “Tuhan telah menerangi hatinya.”
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91 Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia, “Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?” Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa samasekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah menemukan jalannya. Tetapi....” kata-kata orang tua itu terputus oleh tarikan nafasnya. “Tetapi....” Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi kata itu. Ki Ageng Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya. Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil berdiam diri. Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, “Dari mana kau Arya?” Arya berhenti, kemudian ia menjawab, “Sesuci Eyang.” Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?” Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman Lembu Sora.” “Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta orang tua itu. “Baiklah Eyang,” jawab Arya.
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91 Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua. “Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin. Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya, Sawung Sariti. Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti pagi tadi.Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri. Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar Sendang Papat berceritera. Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat. Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil memeluk senjata masing-masing. Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai oleh mimpi yang segar. Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati mereka. Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang kepada mereka. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil mempersilahkan, “Marilah Ki Ageng.”
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91 Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk pula didekat perapian yang masih menyala-nyala itu. “Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati....” Ki Ageng Lembu Sora mulai, “Aku memerlukan datang kepada kalian berdua untuk memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih- lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.” Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora memandang kepada diri sendiri. Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa nyamannya. Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan, “Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.” Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. “Tetapi Kakang, apabila besok aku terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora kelak.” “Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut Mahesa Jenar. “Meskipun aku belum lama berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91 “Ya....” Lembu Sora menjawab, “Aku tahu itu. Aku sadar betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa kanak- kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas. Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak mengetahui samasekali persoalan di antara kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan itu.” “Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.” “Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh…?” Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang sedemikian bodohnya. “Tidak,” jawab Mahesa Jenar, “Meskipun hidup dan mati berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya.” Lembu Sora terdiam. Matanya yang muram, merenungi api yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya betapa kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan, kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana dan lain-lain. Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita- citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91 diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk lesu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh. Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali. Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka terletak tanggung jawab atas keselamatan perkemahan Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu menyerang mereka pada malam hari ketika mereka sedang nyenyak tertidur. Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya kepala anak muda itu seperti masa anak-anak dahulu. “Arya....” desisnya, “Maafkan pamanmu.” Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata- kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah terkunci. Namun hatinya berkata, “Aku akan berusaha melupakannya, Paman.” Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat keluar. Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam. Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91 hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa. Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, “Arya, di manakah adikmu?” Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab, “Aku tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira Adi bersama-sama dengan Paman.” Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang samasekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada diri sendiri. Kenapa selama ini hal itu dibiarkannya. Ia tidak pernah membatasi perbuatan anaknya yang diandalkannya untuk dapat mendampinginya dalam rencana-rencana jahatnya. Bahkan anak itulah yang didorongnya di depan. Sekarang anak itu terlalu jauh tersesat lebih jauh daripada dirinya sendiri. “Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, adikmu telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke jalan yang benar?” “Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha. Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91 enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas? Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka Wulungan pun tidak segan- segan menanyakannya. Maka ia pun kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya kepada Mahesa Jenar, “Tuan, apakah Tuan telah mendengar laporan para pengawas?” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Belum Wulungan,” jawabnya. “Laporan tentang apa?” “Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya Salaka,” sambung Wulungan. “Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya. “Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. “Kalau demikian....” ia melanjutkan, “Biarlah aku panggil orang itu.” II Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang pengawas dari Pamingit. Diajaknya orang itu duduk pula, dan berkatalah ia, “Inilah orang yang menyampaikan laporan itu, Tuan.” Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama. Kemudian berkatalah ia, “Katakanlah apa yang kau lihat?” Orang itu pun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu Sora ia berkata, “Aku adalah salah seorang yang mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91 melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.” Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar atau Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu Sora mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara berdesing ditelinganya. “Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.” “Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu Sora menggeram. “Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu. “Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya, “He, apa kerjanya di sana?” Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor- kotornya di Pangrantunan. Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan kepribadian. Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri.
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91 Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, “Bagus, jangan kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?” “Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu. Lembu Sora menggelengkan kepalanya. “Belum.” “Agak terlambat,” katanya. “Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.” “Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar. “Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya, “Siapakah mereka?” “Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya. “He…!” Arya hampir berteriak. “Kau tahu benar?” “Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya. “Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.” “Pasti ke Banyubiru,” desis Arya. “Aku pun pasti,” sahut pengawas itu, “Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91 aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.” “Gila,” desah Lembu Sora. “Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.” “Wulungan....” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, “panggil mereka!” Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit. “Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap. “Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka. “Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.” “Pasingsingan…?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang. “Arya....” panggil Mahesa Jenar, “Apa yang akan kau lakukan?” “Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, “Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.” Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka. Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91 bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata, “Mahesa Jenar, aku pergi bersamamu.” “Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya. Sementara itu, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, “Ada apa Tuan- tuan?” “Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik- baik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak sempat memberi banyak penjelasan. “Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada Lembu Sora. “Baik Adi,” jawab Lembu Sora. “Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?” “Tidak,” sahut Mahesa Jenar, “Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.” Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda dipersiapkan.
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91 Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran. Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, “Aku ambil seekor.” Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing- masing kuda dengan tergesa-gesa. “Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga. “Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, “Kami sedang berlatih berpacu kuda.” Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut. Namun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata- senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di perkemahan itu. Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula. Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91 Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan timbul. Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil menggeram, “Apa kerjamu Sawung Sariti?” Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang demikian kepadanya. “Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” pikirnya. Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-hidup. “Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. “Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.” Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya. “Terlambat,” geram Lembu Sora. “Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana. “Kabar itu,” jawab Lembu Sora. “Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.” “Sabarlah,” potong ayahnya, “Apakah yang sebenarnya terjadi?” “Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya. “Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya. “Ke mana?” desak Lembu Sora.
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91 “Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung. Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, “Kemana? Tidakkah kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?” Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain. Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, “Aku belum selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.” “Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya. “Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, “Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.” Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, “Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?” Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab, “Ya ayah.” “Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora. Sawung Sariti menjadi beragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91 tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia menjawab, “Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.” “Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus. Galunggung pun menjadi beragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan. Tiba- tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak, “Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?” Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar- benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri, “Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang mengatakan?” Mata Lembu Sora bertambah menyala, “Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?” “Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak, “Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.” Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91 “Lembu Sora....” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya, “Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.” Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti samasekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya, “Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.” Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, “Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti.” Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul- mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. “Nah, Sawung Sariti....” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, “Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?” Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan keadaan, “Orang-orang dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Ke Banyubiru?” ulangnya.
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91 “Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu. “Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana. “Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti. “Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati, “Mati kau pengawas gila.” Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata, “Panggillah kakakmu Arya Salaka.” Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, “Baiklah Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada. Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, “Kau lihat Kakang Arya?” Wulungan menggelengkan kepala. “Tidak Angger.” Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa- gesa. Galunggung samasekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang mereka. Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, “Tak akan dijumpai Arya di sini.” Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya, “Kenapa?” “Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91 “He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Sendiri?” “Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora. “Mengapa?” tanya ayahnya pula. “Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, “Dari mana anak itu mendengar?” “Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam genggaman. “Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya. “Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.” Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah. “Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. “Mereka orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di antara kita.” “Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora. “Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91 karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?” “Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. “Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.” “Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar mendong. Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar- mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan Galunggung samasekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram, “Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?” Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri. “Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti.
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91 “Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan. “Bohong!” sanggah Sawung Sariti. Orang itu menjadi bingung. “Benar angger,” jawabnya. “Aku telah bebas dari tugasku itu.” “Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti. Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata, “Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.” “Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. “Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.” Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya, “Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.” Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba Galunggung itu berkata, “Ikuti aku.” “Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan. “Ikuti aku!” bentak Galunggung.
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91 Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya. Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya, “Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.” “Apa salahku?” tanya orang itu gemetar. “Seandainya aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya.” “Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain.” jawab Sawung Sariti, “Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.” Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran samasekali tidak menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya sendiri. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri. “Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91 diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.” Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya? Namun ia menjawab, “Aku dapat menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.” “Kau tak usah terlalu banyak bicara,” potong Galunggung. “Nikmatilah uda- ra terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.” Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata, “Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi baik.” “Tutup mulutmu!” bentak Galunggung. “Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.” Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91 kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri. Dirasanya sesuatu terselip di ikat pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri di hadapan dua orang yang samasekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan sedapat-dapatnya. Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia melangkah maju sambil menggeram, “Jangan melawan, sebab kalau kau melawan berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.” Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya. Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa. “Benar-benar kau sedang sekarat.” Kemudian sambil tertawa ia melangkah maju. Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang samasekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh pengaruh. Katanya, “Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.” Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di lambung kirinya. Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata, “Paman Wulungan, kau berani mengganggu pekerjaanku?” “Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91 “Tidak…?” sahut Sawung Sariti, “Lalu apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?” “Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan. “Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti. “Ya.” “Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?” “Ya.” “Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya. “Tidak apa-apa.” jawab Wulungan, “Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?” “Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti. “Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk mengulangi laporannya.” “Hem....” geram Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?” “Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi. “Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91 “Tidak,” jawab Wulungan. “Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.” “Gila!” umpat Sawung Sariti. “Kau bukan seorang jantan.” “Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan. “Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana…?” “Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya. Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu. “Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.” Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua- duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak- serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit. “Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul- mukul dadanya. Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata, “Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?” Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91 perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab, “Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.” “Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat. “Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan. Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, “Kepalamu memang harus dipenggal.” Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata- katanya, “Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata, “Begitu kan…?” Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu. Sekali lagi Galunggung menggeram, katanya, “Apa jaminanmu?” “Tidak ada,” jawab Wulungan cepat. “Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung. “Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan. “Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan diantara keluarga sendiri.” Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata, “Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.” “Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91 Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya dibelakang. “Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu. Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya orang itu akan mencoba menyergapnya.Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya. Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya Salaka. “Persetan dengan anak itu,” geramnya. “Dan persetan dengan Banyubiru.” “Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya?” tanya Galunggung. “Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung pun segera pergi. III Malam berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya. Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar, sedang rapat di belakangnya adalah Kebo Kanigara.
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91 Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah mencarinya untuk menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera ditemuinya. Semakin dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda yang di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin gelisahlah hatinya. Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin segara sampai. Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda menyusulnya. Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara. Ia yakin bahwa kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di antara orang-orang golongan hitam itu terdapat Pasingsingan. Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan mencemaskan nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi sangat cemas? Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang- orang dari golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri. Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian ia tidak sempat menyadari bahwa sebenarnya yang mendorongnya untuk memacu kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib gadis nakal yang aneh itu. Demikianlah di malam yang gelap itu Arya Salaka memacu kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan tebing-tebing yang curam.
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91 Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi Arya Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan, mereka mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan Endang Widuri telah memaksa mereka untuk cemas dan gelisah. Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari tebing- tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang- jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul raksasa yang sedang bermalas-malas. Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi semakin gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang seolah-olah berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan batu- batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut ke belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih cepat dari kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di serambi matanya seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya, memanggilnya, “Arya, tolonglah aku….” Tetapi suara itu seperti seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik, bersenjata rantai perak dengan bandul Cakra yang bercahaya-cahaya. Tetapi senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu- abu, bertopeng kasar dan menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba- tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang sedang marah pun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru. Tanpa disengaja, sekali lagi ia menoleh. Dan dengan serta merta ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima Rodra dari Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan Nagapasa. Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?” “Tetapi….” Hatinya membantah sendiri, “Kalau segala sesuatu telah terjadi?” Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91 suara itu hanyalah pekik burung hantu yang sedang berkelahi. Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali malam menjadi bertambah sepi. Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang merajai permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit, Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya malam. Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk mimpi. Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari bencana. Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib suaminya, anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang di Pamingit. Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya malam. Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan malasnya dibelai angin malam. Dua orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap. “Beristirahatlah Paman.” Terdengar suara Mantingan lemah. “Malam terlalu dingin,” gumam orang tua itu. “Ya,” sahut Mantingan. “Tetapi hatiku gelisah.” Orang tua itu meneruskan. Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya terlempar ke halaman, menembus kelam. Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91 “Adakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya Wanamerta. “Mungkin,” jawab Mantingan. “Baru saja aku selesai berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca, Pergiwa dan Pergiwati.” Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa angin. Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya malam. “Seruling Kakang Wirasaba,” desis Mantingan. “Pantaslah ia bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta. Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending- gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam. Hening sepi, namun penuh kemesraan hati manusia. “Di manakah Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta. “Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab Mantingan. Wanamerta mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah hari bertambah tajam. Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang. Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak. “Aneh,” gumam Wanamerta. “Apakah yang aneh?” tanya Mantingan. “Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun sawo di halaman itu,” jawab Wanamerta.
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91 Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya berdesir halus. “Sepi yang menggelisahkan,” sahutnya. Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah. Namun betapa merdunya suara seruling itu. Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti. Mantingan mengangkat wajahnya. “Berhenti,” desisnya. “Ya,” sahut Wanamerta, “Agaknya Angger Wirasaba kedinginan.” Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di halaman. Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah. Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon kelapa. Semuanya diam beku. Yang bergerak-gerak hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol. Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba berjalan dengan malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang Parapat yang telah hampir sembuh. Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang. “Ah….” gumam Wanamerta. “Kenapa aku berubah menjadi penakut?” “Kenapa…?” tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka. “Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar langkah hantu,” jawab Wanamerta. Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat pinggangnya, sedang tangannya menggenggam kapaknya.
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91 Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun sawo yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena itu ia menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun itu bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di tangan, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, “Siapakah yang mencoba membuat permainan itu?” Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih belum tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun melihat bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang. Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baik-baik. Para penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan terpaksa menghentikan langkahnya. “Lawa Ijo,” gumamnya. Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah melihatnya. Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah dibinasakan oleh Mahesa Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…? Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba menggeram, “Hem, kau Wadas Gunung.” Mantingan menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan, “Wadas Gunung. Siapakah dia?” “Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba. “Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91 Wirasaba menggeleng. “Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama- sama dengan 20 orang kawannya.” Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan bebe- rapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata, “Nah, kau orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik.” Wirasaba juga maju. “Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu,” katanya. Dan kapaknya tiba- tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar Wana- merta yang tua itu berbisik, “Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri.” Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut. “Kebakaran,” desis Wanamerta. Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, “Kebakaran. Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.” Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan,
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91 berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam. “Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya. Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya, “Jangan risaukan siapa aku.” Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa, “Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.” Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba- tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru Banyubiru. Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu. Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa bahaya yang besar telah datang. Para pemimpin kelompok itupun
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91 segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran. Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah. Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, “Jangan berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.” Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik pedangnya. Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di belakangnya, “Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.” Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu. Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya. Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu terbayang. Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap- luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini. Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91 Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, “Jaka Soka, apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah selesai…?” Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan gadis manis yang menyapanya, “Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka.” Jaka Soka tersenyum, jawabnya, “Bukan, Wadas Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya ia pun tetap menanti.” Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya. Lawa Ijo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata, “Jaka Soka. Apa kau masih mengharapkan gadis itu?” “Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka. Lawa Ijo tertawa ketika ia melihat sekali lagi wajah Rara Wilis menjadi merah. Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, “Benar Paman Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput.”
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91 Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram. Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Ha, dengar. Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.” Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang samasekali, katanya, “He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar akan membunuhmu.” Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijo pun tertawa pula. Terdengar Lawa Ijo menyahut, “Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya.” Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya. Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya. Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian benar-
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91 benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip di dalamnya. Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut. Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu. Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian terdengar suaranya menggeram. “Lawa Ijo. Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita tidak banyak.” Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, “Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan sekarang?” “Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar- benar masih ada di sini.” Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk memancing laskar Banyubiru.
  • 49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91 Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa- apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya. Ketika Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia telah pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri. Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh kepada Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi, Pasingsingan segera mema- suki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan itu. Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu, mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata, “Jaka Soka, jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak terlalu banyak.” Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju, dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada saat yang bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar bahwa Ular Laut itu pasti akan menyerangnya. Sekali lagi hatinya meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambak- baya. Tetapi sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk membunuh lawannya itu. Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang besar itu
  • 50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91 berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun menerima serangan Wirasaba dengan penuh gairah. Di kedua belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau belati panjang. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Kedua- duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa. Keduanya memiliki kelincahan dan kecepatan bergerak. Wirasaba kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar- benar pulih kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan senjata mereka berdentang-dentang menyobek sepi malam. Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api keudara, memercik berhamburan. Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu. Yang masih berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat dikalahkan, namun apapun yang terjadi adalah menjadi kewajiban Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang Lawa Ijo. Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di tangannya telah berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan tangkasnya ia menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu perkelahian yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang garang itu meloncat dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah lincahnya. Karena ia sudah mengenal Lawa Ijo, maka dalam pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang dinamainya Pacar Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya bergerak-gerak dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari segala arah. Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu. Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan sekarang tak ada orang yang akan menyelamatkannya. Karena itu, maka Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan berhasil.
  • 51. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91 Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang pernah terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta. Sehingga dengan demikian, sejak perkelahiannya di Pliridan, ia pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga, meskipun tidak sedemikian jelas, karena kesempatan yang sempit. Sebab pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur melawan orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus berjuang mati- matian. Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah memiliki pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya, penjahat ulung yang bernama Wadas Gunung itu. Dengan demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan. Masing- masing memiliki kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu seakan-akan dapat berubah menjadi dinding baja yang membatasinya. Sehingga dengan demikian ujung pisau lawannya samasekali tak berhasil menyentuh pakaiannya. Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di samping pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur dengan dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati- matian. Ia melihat betapa lincahnya Dalang Mantingan itu, dan bagaimana dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar. Namun dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena itu hatinyapun menjadi tegang. Yang belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali ia memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya dengan
  • 52. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91 seksama pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang Mantingan. Sebagai seorang yang cukup berilmu, segera Jaka Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai pada puncak perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia tersenyum. Sebentar lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya. Karena itu untuk menakut-nakuti lawannya ia berkata, “Wilis, lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan terpenggal lehernya, atau terbelah dadanya.” Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui pula, bahwa ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa Ijo. Meskipun demikian ia mencoba untuk tidak terpengaruh karenanya. Sebab apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya menangkapnya. Seandainya ia terbunuh dalam pertempuran itu, ia tidak akan menyesal. Sebab dengan demikian ia telah mengorbankan dirinya untuk ikut serta mempertahankan hak atas Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak begitu dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang sedemikian telah diduganya sejak semula. Sejak ia menjatuhkan pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia sadar, bahwa Mahesa Jenar mempunyai masalah yang jauh lebih banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau Sarayuda seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk merebut keadaannya kini, sehingga dengan demikian Sarayuda tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka Mahesa Jenar masih harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis melihat hakekat dari perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk menempatkan dirinya pada tempat yang sebaik-baiknya, meskipun ia samasekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa Jenar berjuang untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, samasekali tidak ada hubungannya dengan kamukten yang