SlideShare a Scribd company logo
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 87
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 87
I
ajah Alit tidak segera menjawab pertanyaan Mahesa Jenar.
Ditebarkannya pandangan matanya melingkari ruangan itu.
Baru kemudian ia berkata, “Biarlah Kakang Gajah Sora
bercerita. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku yang
mengatakannya.”
“Kau terlalu sering berdusta,” sahut Mahesa Jenar.
Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan,
sebab kemudian Gajah Sora berkata, “Apa yang dapat aku
ceritakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan lewat Adi
Gajah Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.”
“Tidak hanya itu,” sela Gajah Alit.
“Agaknya Adi Paningronlah yang paling tahu,” jawab Gajah
Sora.
Semua mata berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang tenang
dan pendiam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
“Baiklah,” katanya, “Kalau aku yang harus bercerita. Tetapi
aku tidak dapat bercerita seperti Adi Gajah Alit.”
“Ah....” desis Gajah Alit.
“Demikianlah yang sebenarnya,” Paningron meneruskan,
“Kebetulan aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah Baginda
menganggap bahwa Kakang Gajah Sora benar-benar tidak
bersalah, maka sebenarnya pada saat itu Kakang Gajah Sora
sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di Rawa Pening,
Baginda menjadi pasti bahwa Gajah Sora benar-benar tidak
bersalah. Aku dan Adi Gajah Alit telah meyakinkan Baginda.
Namun Baginda menghendaki, agar usaha mencari kedua pusaka
itu menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah
Kakang Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya berjuang mati-
matian, dengan harapan untuk dapat segera membebaskan
G
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 87
Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang ke arah yang tak
dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan jejak atas
perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat
kemudian kami ketahui bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan.
Mula-mula kami tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa
adanya ketegangan dalam pemerintahan rakyat Banyubiru
seakan-akan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat. Pada saat
yang demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora harus
kembali ketanahnya. Harus kembali kepada ayahnya yang sedang
berjuang mati-matian untuk menegakkan kembali apa yang
dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang hampir sepanjang
umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini.
Pada saat-saat yang demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-
orang dari golongan hitam telah memancing di air keruh. Dan inilah
bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam Banyubiru,
Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya Gajah Sora
akan diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
Yang mempercepat tindakan Baginda adalah berita terakhir
yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam perang
saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang telah
lama dinanti-nantikan oleh golongan hitam. Perang yang akan
menumpas seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit.
Perang yang akan memadamkan samasekali nyala api yang pernah
dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di atas tanah perdikan
Pangrantunan.”
Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam,
kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk seteguk air
jahe yang hangat.
“Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang
terjadi di Banyubiru” sela Mahesa Jenar.
“Tidak seluruhnya,” sahut Paningron, “Utusan dan bahkan
pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan
Pamingit.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 87
Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia sudah memaklumi
sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana orang-orang seperti
Paningron dan kawan-kawannya bekerja. Kadang-kadang mereka
dijumpainya seperti penjual daun, penjual kayu dan sayur-
sayuran. Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang
saudagar yang kaya raya, yang menjelajah kampung untuk
mencari dagangan.
Sejenak kemudian Paningron meneruskan, “Tetapi hubungan
antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita
kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat
berbuat sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini kami terlambat juga.
Untunglah bahwa pertempuran antara laskar Arya Salaka dan
laskar Pamingit itu di Banyubiru dapat dihindarkan.”
“Aku yakin akan hal itu,” potong Ki Ageng Gajah Sora, “Selama
Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar.”
“Aku hampir tak berdaya,” jawab Mahesa Jenar, “Pertempuran
itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka. Untunglah Ki Ageng
Sora Dipayana berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya
Tuhan telah mengambil keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit
akan diselamatkan dari bencana kemusnahan.”
“Kakang benar,” sahut Gajah Alit, “.”Kalau pertempuran itu tak
dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan Pamingit akan
menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari daerah yang
berserak-serak itu. Dari Gunung Tidar, Nusakambangan, Rawa
Pening, Mentaok dan Lembah Gunung Cerme
Demikianlah kemudian pembicaraan mereka berkisar dari satu
soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan Gajah Alit tidak
dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, katanya, “Tak seorang pun yang mampu
membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang
Kebo Kanigara dan Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 87
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Adakah Adi melihat
peristiwa itu?”
“Kami tidak,” jawab Gajah Alit, “Tetapi orang-orang kami
menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang
perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah
mampu bertempur seorang melawan seorang dengan Lawa Ijo.
Sungguh suatu kemajuan di luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya
yang mendorong Kakang Gajah Sora untuk menilai sendiri
kemampuan Arya Salaka itu.”
Mahesa Jenar tersenyum.
Gajah Sora pun kemudian bercerita, bagaimana mereka
bertiga bergegas untuk sampai ke Banyubiru, ketika mereka
mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah sedemikian gawat.
Namun mereka terlambat. Meskipun demikian mereka berlega
hati. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran justru antara
laskar Banyubiru bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan
laskar golongan hitam di Pamingit. Mereka jumpai Banyubiru telah
kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke Pamingit. Namun
pertempuran di Pamingit itupun telah selesai. Seorang petugas
yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena
Pasingsingan mendahului mereka.
“Nah, Adi Mahesa Jenar....” tanya Gajah Sora kemudian,
“Bagaimana dengan Pasingsingan?”
Kemudian Mahesa Jenar lah yang bercerita. Pasingsingan
terbunuh oleh Pasingsingan.
“Cerita tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,” kata
Mahesa Jenar kemudian, “Lain kali akan aku ceritakan
selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng Sora Dipayana,
Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang lain-lain.”
“Mereka juga belum mengetahui?” tanya Gajah Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 87
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Belum. Belum
seorang pun yang tahu.”
Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang
demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang dikenakan
oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas panjang.
Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun pernah
dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk
kuning keemasan dan ikat kepala biru. Kain panjang, sapit urang,
celana hitam berpelisir kuning. Sebilah keris berwarangka emas
terselip di pinggangnya. Sedang Paningron pun memakai pakaian
kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah Alit, tetapi ia tidak
berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan
permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron terselip
sebilah keris dengan warangka gayaman.
Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan,
berkatalah Gajah Sora, “Adi Mahesa Jenar, banyak yang ingin aku
ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan, tetapi baiklah lain
kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu menyampaikan sujud kepada
Ayah, Sora Dipayana.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku kira
demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama dengan kita.”
“Meskipun demikian....” Gajah Sora meneruskan, “Adi
Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali Adi
Mahesa Jenar mengetahuinya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya, “Apakah
itu?”
“Tidak begitu penting,” sahut Paningron.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu
persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah
tentang dirinya, atau yang lain?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 87
Paningron memandang kepada Gajah Alit. Belum lagi
mendengar sepatah kata pun, ia telah mengangguk-angguk.
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Tidak penting,
Kakang.”
Mahesa Jenar menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati.
Kemudian berkatalah Paningron, “Ada dua masalah yang akan
aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku berhadapan dengan
Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang Gajah Sora sendiri pun belum
mengetahuinya.”
“Apakah soalnya?” sela Mahesa Jenar.
“Yang pertama,” sahut Paningron, “Adalah Kakang Mahesa
Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah bentuknya
orang yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten.”
Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti siapakah
orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi sebelum
menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, “Telah aku katakan.
Orang itu berjubah abu-abu.”
“Adakah orang itu berhubungan dengan cerita Pasingsingan
yang terbunuh oleh Pasingsingan?” tanya Paningron pula.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab,
“Tidak. Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah
orang itu.”
Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia
memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya, “Soal itu perlu
juga aku sampaikan.”
“Silahkan Kakang” jawab Gajah Alit sambil tersenyum.
“Adakah orang lain di rumah ini?” tanya Paningron. Mahesa
Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan Endang Widuri tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 87
nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud Mahesa
Jenar, berkata, “Mereka sudah tidur sejak tadi.”
“Siapa?” sahut Paningron.
“Anakku,” jawab Kebo Kanigara.
“O, tak apalah.” Paningron meneruskan, “Aku akan berkata
tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.” Tetapi ia berhenti. Dengan
sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan.
“Berkatalah,” desak Mahesa Jenar, “Orang itu bisa kita
percaya.”
“Sebelum ceritaku sampai pada masalah yang kedua,” kata
Paningron, “Kami mengetahui sesuatu tentang pusaka-pusaka
itu.”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
“Ini juga salah satu sebab yang menentukan, bahwa Baginda
benar-benar yakin, bahwa Kakang Gajah Sora tidak menyimpan
pusaka-pusaka itu.” Paningron meneruskan, “Pada suatu saat,
Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka
itu.”
Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar.
“Siapakah orang itu?” tanya Gajah Sora.
“Seperti yang kau katakan,” jawab Paningron, “Berjubah abu-
abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata kepadanya,
apakah Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang
dibawanya. Ternyata benda-benda itu adalah Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten.”
“Hem....” Gajah Sora berdesis.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 87
“Tentu saja Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya,
darimana pusaka-pusaka itu didapatnya. Dan orang itu berkata
terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru,” Paningron
meneruskan. “Tetapi ketika kedua pusaka itu diminta oleh Kakang
Palindih, orang itu berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa
Kakang Palindih mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar
biasa. Kakang Palindih tak mampu melawannya. Dan kedua
pusaka itu lenyap kembali.”
Gajah Sora menggeram.
Namun Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara berpikir, “Pasti, tak
seorang pun mampu menang-
kapnya.”
“Tetapi...” kata Paningron,
“Bahwa Kakang Gajah Sora
terbukti tidak bersalah, Kakang
Palindih menjadi yakin kare-
nanya. Dan ini adalah salah
satu sebab pula yang meya-
kinkan Baginda.”
Paningron berhenti seje-
nak. Diteguknya wedang jahe
di mangkuknya. Kemudian ia
meneruskan, “Tetapi kemudian
orang itu muncul kembali.”
“Kapan?” bertanya Gajah Sora
“Dan inilah cerita yang kedua,” sahut Paningron, “Ketika
seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa orang mendapat
tugas untuk mengamat-amatinya sampai beberapa saat. Kalau-
kalau orang baru itu berbuat sesuatu.”
“Kenapa diusir?” tanya Mahesa Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 87
“Seorang anak muda yang perkasa,” jawab Paningron. “Tak
seorang pun seangkatannya yang dapat menyamai keper-
wiraannya. Ia diketemukan oleh Baginda di halaman masjid, ketika
Baginda hendak bersembahyang. Anak muda itu sedemikian
tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat mundur sambil
berjongkok melampaui sendang di halaman masjid itu.”
Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar cerita itu. Ia tahu
bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang dimiliki oleh
seseorang. Namun ia tidak bertanya.
“Karena kecakapannya....” Paningron melanjutkan, “Dalam
waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan kelompok
Wira Tamtama dengan anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang,
bahwa ia kemudian berbuat suatu kesalahan.”
“Apakah kesalahannya?” tanya Mahesa Jenar.
“Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung
Ngawuk” jawab Paningron.
“Membunuh orang?” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Apa
soalnya?”
“Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun
orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun marah dan
dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang” jawab
Paningron. Mendengar jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia
hampir tak dapat menahan suara tertawanya itu. Mula-mula yang
melihat Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran, namun akhirnya
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya,
“Membunuh dengan sadak kinang.”
Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tersenyum pula. Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak tahu
kenapa mereka tertawa karenanya.
Tetapi tiba-tiba Gajah Alit berhenti tertawa. Alisnya berkerut
dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Tanpa disengajanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 87
ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip. Paningron dan
Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang.
Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang yang
tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari mulutnya, “Oh!”
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tak apa-
apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan kambuh
kembali.”
Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya
Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo Kanigara bertanya,
“Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?”
Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut. Namun tanggapan
mereka berbeda-beda. Arya Salaka terkejut, karena sahabatnya
itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan akibatnya.
Sehingga ia terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar
terkejut karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk
dengan sadak kinang. Ia mengurai lebih jauh keterangan itu.
Sehingga Baginda mengusirnya dari istana.
Akhirnya Paningron berkata, “Maafkan kakang Kebo Kanigara,
aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga Jaka Tingkir
adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo
Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?”
“Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi berdua.
Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh anak itu” kata
Kebo Kanigara. “Siapakah Dadung Ngawuk itu?” ia bertanya.
Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab
perlahan-lahan, “Simpanan Baginda.”
“Hem....” Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka
menjadi semakin bingung. “Bukankah Dadung Ngawuk itu seorang
yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira Tamtama?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 87
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata
sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo
Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat
dingin.
“Tetapi,” Paningron meneruskan, “Bukan seluruhnya
kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancing-
mancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan
Baginda terlalu kasih dan percaya kepada Lurah Wira Tamtama
yang baru itu. Bahkan lebih daripada Nara Manggala seperti Adi
Gajah Alit itu.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya,
“Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui dari kami?”
“Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di
Banyubiru” jawab Paningron.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula
Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul di Banyubiru.
Namun mereka berdiam diri.
“Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya” kata Gajah Alit.
Sesaat suasana menjadi sepi. Masing-masing tenggelam
dalam angan-angan sendiri.
Kemudian terdengar Paningron meneruskan, “Keluarga
terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka
berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka
telah kehilangan harapan. Keluarga mereka yang ingin
menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang
dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu saat,
beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan
anak muda itu, maka mereka beramai-ramai mengeroyoknya.
Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak
seorangpun mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 87
berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita
berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa.”
Kembali mereka berdiam diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka sibuk
menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali
yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja. Sedang
Wulungan samasekali tak mengetahui ujung dan pangkal
pembicaraan itu.
Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak
terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa
angin pegunungan.
Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi
tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda
cerita mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat.
Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan
mereka masing-masing masih membumbung tinggi. Kebo
Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan
pelanggaran di halaman istana. “Ah,” pikirnya, “benar-benar anak
nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba.
Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak
bersalah seluruhnya”
Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya
disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia tidak
iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini
ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah.
Ia belum berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani
menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya.
Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat
pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata
ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di
hadapan orang-orang lain ini.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 87
Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu
melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk
melahirkannya.
Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar
adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang
berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan
merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu?
Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan
diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan apakah
kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan
menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang
biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan
Banyubiru.”
Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari,
namun mereka tetap berbaring diam.
Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri
dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di pojok desa, dan
ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya
diceritakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora
telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana.
Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh bintang
pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang
berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi.
Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama. Pagi-pagi benar,
sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka
telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka
bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera
mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk
mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan
kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron
dan Gajah Alit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 87
Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira ketika
mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan
selamat.
Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat
menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu
mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput
terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun
sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu
pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan
apa yang telah mencegahnya.
Gajah Sora yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-
olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran. Alangkah
lincah dan tangkasnya. “Ah, tidaklah aneh,” bisik hatinya,
“Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh
Nagapasa.” Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik
pada gadis itu. “Sayang,” hatinya berbisik terus, “Aku tak punya
anak gadis seperti itu.”
Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk
tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat
seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar,
kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis
lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya
sudah tak dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak
berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi
tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan mampu dibujur-
lintangkan apabila ada mara bahaya datang. Terhadap Mahesa
Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan
ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra?
Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu.
Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak
seorang pun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha
menahan perasaan masing-masing.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 87
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini
masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai
di sebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang
lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar, “Baiklah aku melihat
rumah Bahu Jatisari ini.”
“Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar, “Rumah itu masih tampak
sepi.”
Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman
rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu.
Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke
halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka,
dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu. Tidak
lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah
mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
“Apa yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan
telah berada di dalam rombongan itu kembali.
“Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan, “Rumah itu telah
hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah
merampoknya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata
apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora, “Kasihan
rakyat Pamingit.”
Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di
sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan
gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan
Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas
rakyat Pamingit yang mengungsi. Widuri yang berkuda paling
depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah
golek terkapar di tanah.
“Apa yang kau ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 87
“Golek,” jawab Widuri. “Anak yang mempunyai golek ini mesti
mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya
berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam
suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”
“Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.
“Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri, “Gadis
kecil yang manis.”
Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis Widuri pun perasa,
ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata.
Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira.
Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri
pun berpacu kembali.
Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan
sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari golongan
hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi-
sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir
seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan
demikian mereka tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan
keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten.
Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah
begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh
dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg.
Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu
yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya
mayat yang masih belum terurus. Dengan demikian mereka harus
berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana
seharusnya. Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi
lambat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 87
Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan cahaya
merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar-
debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di
hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah
Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian
cepat. Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar
bergumam, “Pamingit!”
Kebo Kanigara yang mendengar gumam itu menoleh kepada
Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian pandangan matanya
berkisar pada anaknya.
“Widuri.....” Ia memanggil.
Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah
sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya
berkata, “Widuri, itulah Pamingit.”
Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri.
Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat pedukuhan di
lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa tidak
berkepentingan samasekali. Ia datang kemari karena ayahnya
datang kemari pula. Berbeda dengan perasaan-perasaan orang
lain, apalagi Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya
semua orang yang diperlukan untuk menempatkan kembali batas
antara Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
Lembu Sora, dan Ki Ageng Gajah Sora. Adalah suatu kebetulan
bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu untuk mengirimkan
orang-orangnya yang akan dapat menjadi saksi pertemuan itu.
Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh angan-
angannya sendiri. Ia tidak tahu benar persoalan-persoalan apa
yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi firasatnya
mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Namun ia berdoa
di dalam hati, mudah-mudahan segera ia dapat menikmati
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 87
cerahnya matahari. Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis
menghitung-hitung umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang
sebaya dengan dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga
orang anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi berdebar-debar.
Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir angan-
angannya yang mengganggunya itu.
Mereka kini telah hampir memasuki pusat pemerintahan.
Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata daerah inilah yang paling
banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan rumah-rumah
penduduk dan banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu.
Namun meskipun demikian daerah ini telah banyak penghuninya.
Rumah-rumah yang masih tegak telah dipenuhi oleh para
pengungsi.
Sekarang Wulungan yang berkuda paling depan. Terdengar
giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya hendak
meledak ketika melihat daerahnya menjadi hancur. Tapi tak satu
pun yang dapat dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya
terbentang halaman bekas rumah kepala daerah perdikan
Pamingit, di samping alun-alun. Halaman itu kini telah rata. Tak
sebatang tiangpun yang masih tegak, yang dapat mengangkat
kemewahan rumah ini pada masa lampau.
Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam
membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang menyapu
pemandangan yang mengerikan itu.
Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar Pamingit
muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan bergegas-gegas
menemui mereka.
“Di manakah Ki Ageng?” tanya Wulungan.
“Di banjar desa sebelah,” jawab salah seorang dari kedua
orang itu. “Marilah ikut kami.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 87
Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas ke
arah yang ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh rombongan
mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan sempit dan langsung
memotong arah.
Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak
nyala api pelita, memancar dari lubang pintu.
“Itulah banjar desa yang masih separo tegak,” kata orang yang
menjemput rombongan itu. Sekali lagi terdengar Wulungan
menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan banjar
desa itu, dahulu. Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki
halaman banjar desa.
Ketika mereka yang ada di dalam banjar desa itu mengetahui
kedatangan rombongan itu, segera merekapun menyambutnya.
Yang pertama-tama melampaui telundak pintu, adalah seorang tua
yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika
di dalam gelap dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar.
Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu
berkata, “Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?“
“Sebuah oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng,” jawab
Wulungan.
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab segera Ki Ageng
Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan langsung meloncat
sujud di kaki ayahnya.
“Kau....” desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa
darahnya serasa mengalir semakin cepat.
“Gajah Sora, Ayah,” jawab Gajah Sora.
“Hem...” orang tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya
menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk matanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 87
“Kau telah diperkenankan pulang kembali?” tanya ayah yang
bahagia itu.
“Ya, Ayah,” jawab Gajah Sora.
Orang Tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan
ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan dua orang asing
dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang asing itu
agaknya dua orang yang datang dari Demak. Karena itu Ki Ageng
Sora Dipayana menyapanya dengan hormat, “Adakah Anakmas
berdua datang bersama-sama dengan anakku, Gajah Sora?”
Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah turun dari kudanya
seperti yang lain juga, membalas hormat bersama-sama.
Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, “Benar Ki Ageng. Kami
datang bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan alisnya. Timbullah
seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah anaknya Gajah
Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata pun
pertanyaan yang melontar dari mulutnya. Yang kemudian
dilakukan oleh orang tua itu adalah mempersilakan tamu-tamunya
masuk ke dalam banjar desa yang telah tidak utuh lagi itu.
II
Maka duduklah mereka berdesak-desakan di dalam ruangan
yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan beberapa orang
Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka.
Rara Wilis sejak kedatangannya, sebenarnya ingin melihat,
apakah kakeknya benar-benar berada di Pamingit, namun orang
tua itu belum dilihatnya berada di antara mereka.
Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng
Sora Dipayana, “Ruangan ini kami pergunakan untuk sementara.
Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan api. Karena itulah
maka kami terpaksa berpencaran. Kami menempati pondok-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 87
pondok yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada
sahabat-sahabat kami, bahwa Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas
Kebo Kanigara, bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain
telah datang. Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah
ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan
laskar Banyubiru telah kami panggil.”
Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu
ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa jurusan
suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang datang berturut-turut
dan berdesak-desakkan di muka pintu. Mereka adalah orang-orang
Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri,
Sendang Papat dan yang lain-lain. Mereka hampir tidak percaya
ketika seseorang mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-
sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah datang pula Ki
Ageng Gajah Sora.
Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada keadaan. Ia tidak
bisa mempersilakan mereka masuk karena ruangan yang sempit.
Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu.
Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya seperti sedang
bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora benar-
benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian mereka tersadar,
berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk
menyambut salam kepala daerah perdikan mereka yang mereka
kasihi. Mereka menyambut tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan
penuh gairah, seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan
anak buahnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara para pemimpin laskar
Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama berkicau,
berebut dahulu bertanya tentang seribu satu macam persoalan dan
pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki Ageng
Gajah Sora menjawab, “Ceritaku akan panjang sekali. Besok
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 87
sajalah aku ceritakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian
sekarang, bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di
hadapan kalian, tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang seperti
saat aku pergi.”
Beberapa orang Banyubiru itu belum puas mendengar jawaban
yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin mendengar uraian
Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang lagi. Tetapi
sekali lagi sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Kalau
kalian sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau
kalian lagi lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak.”
“Ah,” terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya mereka
pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan dapat bercerita
dalam keadaan yang sedemikian.
“Duduklah dahulu,” Ki Ageng Gajah Sora meneruskan. “Di
halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa
menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa saja.”
Kemudian orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan pintu
itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah pepohonan, di
akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah mereka dengan cerita
mereka masing-masing tentang Ki Ageng Gajah Sora. Mereka
mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang
sekiranya telah terjadi dengan kepala daerah Perdikan mereka.
Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di muka pintu. Ia
melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di dalam
ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng
Gajah Sora melemparkan pandangannya ke langit, awan yang tipis
mengalir dihembus angin yang lembut. Bintang-bintang menjadi
suram disaput oleh selapis mendung.
“Mudah-mudahan tidak turun hujan,” gumam Gajah Sora.
“Kalau terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi di pondok-
pondok yang kecil yang ditempati bersama lima enam keluarga
beserta anaknya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 87
Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika
dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi banjar itu.
Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang, hampir seperti
dirinya. Ia melihat bahwa orang yang mendatanginya itu agak
ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian
dilanjutkannya.
Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang
selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan yang baik,
namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya, peran apakah
yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora. Dan yang
datang dengan ragu-ragu itu adalah adiknya.
Adiknya, yang dengan sengaja pernah menjerumuskannya ke
dalam suatu keadaan yang sulit. Ia tahu betul bahwa adiknya itu
bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa
yang pernah dimiliki oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana.
Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang sekali ketika
langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa langkah
di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir
serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan
Banyubiru yang melihat peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka
tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa yang seharusnya mereka
lakukan.
Suara di dalam banjar desa yang tinggal separo itu masih riuh.
Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang mengalir, diselingi oleh
gelak tertawanya yang menonjol daripada suara orang-orang lain.
Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak anak-
anak, apabila ia menjadi seorang periang dan senang berkelakar
dalam keadaan apapun. Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara hanya kadang-kadang saja terdengar tertawanya
menyentak, sedang Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya
tersenyum-senyujum tertawa terkekeh-kekeh. Apalagi ketika
sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di
Demak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 87
Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu, tidak
begitu tertarik pada cerita Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja
tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar cerita Gajah
Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati
Demak yang bulat pendek itu tertawa.
Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh
ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan kakinya.
Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri, ia
melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora,
juga sepasang kaki yang renggang.
Cepat-cepat Widuri
mengamit tangan ayahnya
sambil berbisik, “Ayah, kenapa
dengan Paman Gajah Sora?”
Kebo Kanigara segera
memaklumi. Ia dapat melihat
lewat samping kaki Gajah
Sora. Di dalam gelap,
dilihatnya seseorang yang
sudah dikenalnya, Ki Ageng
Lembu Sora.
Pertemuan itu menjadi
terganggu. Semua melihat
perubahan wajah Widuri dan
Kebo Kanigara. Dengan cemas
Ki Ageng Sora Dipayana ber-
tanya, “Ada apa Anakmas?”
“Putra Ki Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo
Kanigara.
Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia
meloncat berdiri dan langsung melangkah ke luar pintu. Hampir
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 87
saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri
membelakangi pintu.
“Lembu Sora....” kata orang tua itu, “Inilah kakakmu yang
sudah lama kau tunggu.”
Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada
Lembu Sora. Sebenarnya iapun samasekali tak bermaksud apa-
apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam pondoknya,
berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan
ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak
terasa tubuhnya gemetar, dan dengan serta merta timbullah
keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang pernah
disengsarakannya itu untuk minta maaf. Lembu Sora segera
meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa,
ia mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil berteriak, “Cari
Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap
Kakang Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan.”
Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat
bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti sikap seekor
gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya
nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang
memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang
berada di muka pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-
raguannya itu, dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang
bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang
terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak dapat lagi
memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat
ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun menarik
kakinya merenggang.
Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu,
kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk minta
maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya
atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul
hancur kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 87
Karena itu sekali lagi ia memaksa diri, mengusir ketakutannya
untuk melihat kesalahan dirinya sendiri. Dengan langkah yang
gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak
berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan hanyalah
mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan
punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya
berdesir lambat, “Kakang Gajah Sora….”
Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut
pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit. Terasa sesuatu
bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya
untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya.
Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati anaknya
yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya selama ini.
Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi
pada saat terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan
kebenaran. Karena itu ia berkata, “Adikmu telah lama
menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia
telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya.”
Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan
kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong, disambutnya
tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak saja
menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan
dibasahinya tangan itu dengan air mata.
Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa
menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam
dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini
perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya.
Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak mengenal
takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi awan, yang
berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 87
subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini seperti
kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air
mata sambil menggenggam tangan kakaknya.
Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya
pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa mereka sering
bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah
Sora sedang asyik membuat mainan dari kayu atau dari bambu,
kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-
kadang Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun
menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali.
Tetapi Lembu Sora mempertahankan dengan tangisnya. Kalau
demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati Gajah Sora. Ia tidak
akan meminta permainan itu kembali.
Seperti saat ini. Pada saat-saat yang demikian itulah letak
kelemahan Gajah Sora. Kelemahan yang dimiliki sejak masa
kanak-kanaknya. Sejak ia harus bekerja keras membantu ayah
bundanya, membangun tanah perdikan Pangrantunan.
Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora
berkata, “Kakang, aku iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku
ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa
yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan memiliki daerah
bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya,” seandainya
demikian, maka Gajah Sora pasti akan hancur dengan sendiri.
Pastilah dengan gemetar ia berkata, “Terserahlah Lembu Sora.”
Tetapi, tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan
tangan bertolak pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil
berteriak, “Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku.”
Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya,
dan akan dijawabnya dengan lantang, “Marilah Lembu Sora,
lampaui mayatku dahulu.”
Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu Sora
tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu
Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 87
sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa
pahitnya daerah Pamingit yang dilanda oleh arus peperangan.
Betapa pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-
rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik tangis
perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang
hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang
bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret
ke jalan-jalan.
Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang
paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali,
mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah
yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah hidup
manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di
lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata:
perang, perang, perang!
Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang
paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu
dirindukan.
Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang
timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti
Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan
cerita-cerita yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan
pedagang asing di pantai Nusantara. Negara-negara Parangakik,
Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh,
selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami
dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam
kebiadaban api peperangan.
Dan peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di
bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di
Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa
pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya
Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 87
Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran
Majapahit.
Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah
kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat
melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang
demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang
membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang
menghujam ke dalam jantung kalbunya. Dan ia belum terlambat.
Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak
yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-
lahan. “Masuklah Lembu Sora.”
Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi
ia mengangguk dan melangkah ke pintu.
Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian
Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan
Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya
adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng
Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu.
Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap
sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya,
bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat
laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada
saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.
Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah
pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran
tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat
dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia
mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran
yang berjalan di atas firman-Nya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 87
Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu.
Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora
menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena
marah.
Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang
menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah
Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan
Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
“Perempuan,” bisik Sawung Sariti.
“Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.
“Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib?
Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?”
Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.
“Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari
Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. “Entahlah,” jawabnya,
“Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat
laskar Demak, dahulu.”
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba
menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya,
“Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”
“Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu
menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang
tinggi.
“Laskarnya,” sahut Galunggung, “Apakah kira-kira hanya dua
orang itu saja?”
“Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti, “Barangkali ia
mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok
keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 87
Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak,
kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit
dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”
“Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua
daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab
Galunggung.
Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan
dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan
dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan
demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.
“Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti.
“Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?”
tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Buat apa?”
Dan Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorang pun yang
mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan
keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun.
Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan
berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari
dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan.
Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai
berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan
tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu
tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena
peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan
yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan
hitam.
Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa
yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang
tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 87
berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,
“Siapakah yang berada di dalam?”
“Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, “Seseorang
memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah
datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya
dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?”
Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah
anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis. Dari
lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam.
Maka salah seorang menjawab, “Ya, Ki Ageng, salah seorang di
antaranya adalah Rara Wilis.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Aku sudah rindu kepadanya,”
katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar
Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Angger Rara Wilis
agaknya eyangmu telah datang.”
“Ya, Eyang,” jawabnya, “Aku sudah mendengar suaranya.”
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia
langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika
dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang
prajurit dalam pakaiannya.
“Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilakan.
“Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku kira hanya orang-
orang kita sendiri, tetapi agaknya….” suaranya terputus, lalu
sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil
berkata, “Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau
katakan, Ki Ageng?” Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun
tangannya teracung kepada Gajah Sora.
Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil
membungkuk hormat ia menjawab, “Terima kasih, Paman.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 87
Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa
cucunya Rara Wilis. “Kau bertambah kurus Wilis,” katanya.
Rara Wilis menundukkan wajahnya.
“Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin
kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri, “Tidak
Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset.
Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”
“Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
“Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu
bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi
sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan
pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama
terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam
suasana yang menyenangkan.
Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu.
Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu
mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok.
Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar
maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga.
Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari
Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang
lenyapnya laskar hitam dari Pamingit. Namun agaknya malam
telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing
dibawa ke pondok yang sudah disediakan, meskipun berpencar-
pencar.
Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng Gajah Sora tidak segera
dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru benar-benar
menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui
mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 87
pertanyaan mereka, yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari
mereka Gajah Sora juga mendengar bahwa anaknya, Arya Salaka,
benar-benar luar biasa. Jaladri pernah melihat Arya Salaka
bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam pertempuran
besar beberapa hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah
dilihatnya. Ia samasekali tidak menyangkal cerita itu. Bukan
sekadar cerita yang berlebih-lebihan, namun cerita itu benar-benar
terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda
yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya.
Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak
Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya Salaka telah
mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun
tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah
berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu
menunggu kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di
tempat itu bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah
adalah tempat untuk beristirahat kedua prajurit dari Demak,
Paningron dan Gajah Alit.
Ketika Arya Salaka sedang merenungi titik-titik yang jauh di
dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya seseorang lewat di muka
pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti perempuan. Orang
itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada Arya
Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri
mendekatinya. Sambil membungkuk hormat, ia bertanya, “Adakah
sesuatu, Eyang Titis Anganten?”
“Aku ingin mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi,
namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang gembira itu.
Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga
Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten.
Cepat hati Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah
yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya selamat. Dan
sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit yang
tercecer.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 87
“Ya,” sahut Arya, “Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat
lagi kepada ibu.”
“Ah. Jangan berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten,
“Eyangmu sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia
segan untuk dengan tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya.
Karena itu dibiarkannya saja sampai aku datang membawanya
kembali.”
Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur
menyangka eyangnya melupakan ibunya.
“Sekarang....” Titis Anganten meneruskan, “Aku ingin
mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang
tanpa disangka-sangka.”
“Terimakasih, Eyang,” jawab Arya, “Di manakah Ibu
sekarang?”
“Masih di pengungsiannya,” sahut Titis Anganten, “Aku kira
keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan,
jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.”
“Baik Eyang,” sahut Arya, “Tunjukkan aku tempatnya.”
“Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di
Sarapadan,” jawab Titis Anganten.
“Sarapadan,” ulang Arya.
“Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa
itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata memang demikian.
Orang-orang dari golongan hitam itu samasekali tak tertarik untuk
singgah. Dan hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang dapat
aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang
dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya
laskarmu datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang
mengaggumkan itu,” kata Titis Anganten.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 87
“Di mana letak dusun itu?” tanya Arya.
Titis Anganten memberinya sekadar petunjuk, namun
kemudian katanya tanpa berprasangka, “Ah, aku kira lebih baik
pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.”
Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam
hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang mengganggunya apabila
ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia tidak dapat
berkata sesuatu kepada Titis Anganten.
“Arya...” Orang tua itu meneruskan, “Aku kira Sawung Sariti
telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku kira ia pun
mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.”
Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak
memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata pula,
“Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti
ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.”
“Baiklah Eyang,” jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya
untuk mengajak orang tua itu. Dengan demikian ia akan menjadi
anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu tanpa pertolongan
orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia agak segan-
segan.
“Tetapi anak itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya
melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan gurunya.
“Paman,” katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya
masih belum tidur.
Mahesa Jenar mengangkat kepalanya, “Ada apa Arya?”
Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.
“Kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menganguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 87
“Kau tidak menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang
berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang
nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya. Bukankah
Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya
dahulu datang, kemudia baru ibunya pun, akan dapat
menggembirakan hati ayahnya itu.
Karena itu ia menjawab, “Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan
hati Ayah.”
“Dengan siapa kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Eyang Titis Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku
memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang menyuruhku mengajak
Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia
sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula perasaan seperti
perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam diri.
“Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten
mengantarku,” kata Arya Salaka.
“Apakah Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara.
“Tidak,” sahut Arya, “Menurut eyang Titis Anganten,
Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.”
“Pergilah,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Tetapi berhati-
hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa siapapun.
Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga
tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat
menunjukkan letak desa itu.”
“Baiklah Paman,” sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri
kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia bermaksud untuk
pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh. Jalur jalannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 87
pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia akan
dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya
kepada siapa saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda
atau penjaga gardu.
III
Maka segera Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin
dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala penjuru.
Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara
anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan
terdengar suara buruang hantu menggetarkan udara.
Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang
berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan. Namun segera Arya
mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya yang
setia, Galunggung.
“Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti.
“Ya, Adi,” jawab Arya.
“Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini?” tanya
Sawung Sariti pula.
Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya
maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta. Padahal,
meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan
bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia
tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab
dengan berterus terang. “Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.”
“Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung
Sariti.
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti
pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 87
“Ya,” jawab Arya pula.
“Dari mana Kakang tahu?” desak Sawung Sariti.
“Eyang Titis Anganten,” sahut Arya Salaka.
Sawung Sariti mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak.
Kemudia ia berkata, “Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.”
Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena
itu ia menjawab, “Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah
melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku
akan berterima kasih.”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya
ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian
terdengar ia berkata, “Kita ikut.”
“Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.
Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-
iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut
di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu.
Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu
hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia
menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru.
Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam
bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika
kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu” pikirnya. Dan kadang-
kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu.
Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang
dalam dingin malam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 87
Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia
dengan serta merta, “Adi apakah benar jalan ini jalan ke
Sarapadan?”
Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian
menjawab pertanyaan Arya dengan heran, “Ya inilah jalan itu.
Kenapa?”
Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di
wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang pohon siwalan.
Katanya, “bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon
siwalan itu?”
“Siapa bilang?” bertanya Sawung Sariti.
“Eyang Titis Anganten” jawab Arya Salaka.
“Eyang Titis Anganten keliru” sahut Sawung Sariti.
Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh
hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis
Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak
mungkin orang tua itu salah.
Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab, “Adi, eyang
Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan
dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang
Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak
saja?”
“Aku adalah anak Pamingit” jawab Sawung Sariti, “sejak bayi
aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal
Sarapadan?
Memang, sebenarnyalah demikian.
Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal
daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang
berbisik, “Pilihlah jalan sendiri.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 87
Karena itu Arya berkata, “Adi, barangkali ada jalan lain ke
Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis
Anganten pada saat itu.”
“Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua
itu daripada kepadaku?” bertanya Sawung Sariti.
Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri.
Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu. Meskipun
demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya, “Adi, baiklah
aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-
benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan
itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak
orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya,
bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat
mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat
menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang
Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat.”
Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus
pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan terdekat
ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan
itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk
menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata, “Baiklah kakang
Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal
baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan,
namun jalan yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh.”
“Tidak apalah adi” jawab Arya, “lalu bagaimana dengan adi
Sawung Sariti?”
“Aku akan mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti.
“Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling
menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa
pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 87
“Tidak perlu” jawab Sawung Sariti, “kita sudah berselisih jalan
di sini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput
ibuku, kau jemput ibumu.”
Arya menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku.
Namun Arya masih mencoba berkata, “Apakah kata ibu-ibu kita itu
nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang
bersama-sama.”
“Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti,
“Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung
Sariti.”
“Hem!” terdengar Arya mengeluh.
Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi
meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir
meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu
menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.
Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah
kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus
berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus
membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit.
Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau
menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali
di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil.
Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai
dimasukinya desa Sarapadan.
“Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya, “Jalan itu pun
akan sampai ke Sarapadan.”
Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu
berprasangka.
Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya
telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 87
Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti
telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng
yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu
sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar
jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal
yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah
membawanya lewat jalan lain.
Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat.
Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika
Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang
kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia
telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan
kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit,
memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka
terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun
mengetahuinya.
Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain.
Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun
telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa
Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam.
Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh.
Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan
dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka
telah lenyap pula.
“Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung
Sariti.
“Ya,” jawab Galunggung singkat.
“Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung
Sariti meneruskan.
“Belum pasti” jawab Galunggung, “anak itu lebih senang
berjalan di jalan, daripada menyusur pematang dan tanggul-
tanggul”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 87
Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah
dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam
kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak
sepupunya.
Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam
hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap
bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit
dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat
yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki.
Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang
diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan
berlipat-lipat pula.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah
Galunggung, “Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai
kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat
pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti, “Kita cegat
Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan
mana yang dilewati.”
“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung, “Kita cegat Angger
Arya di sebelah pohon nyamplung.”
Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil
mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin baik juga.”
“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan, “Kita harus
segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”
Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia
meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang,
menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun
meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya
tak dapat melihatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 87
Demikianlah, dengan bergegas-gegas kedua orang itu berjalan
memotong arah. Mereka berjalan di atas pematang-pematang,
tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena
Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat
memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan
yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat
diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah
mereka berjalan dengan sangat hati-hati, menyusur batang-
batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka
terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang
bersilang di atas anak sungai itu, mereka memotong jalan. Mereka
mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat
mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung.
Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan
oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin
malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut
bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan
cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis
Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun
jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah
cemas, bahwa ia akan tersesat.
Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia
membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit.
Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan
kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit.
Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik
di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah
keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil
memperhatikan airnya.
Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon
Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan.
Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus
sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 87
juga Galunggung, harus sudah siap. Meskipun kemampuan
bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya
Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-
sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa
mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua.
Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan
tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung
yang rimbun. Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di
atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan
kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik,
menyampaikan kabar yang mengerikan.
Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di
sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali.
Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan.
Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat
menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di
tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari
sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu,
pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit.
Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat.
Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan
mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka samasekali
tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya
di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-
main dengan percikan airnya.
Tetapi, akhirnya dari balik tikungan itupun muncul sebuah
bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan
malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan
kecil di muka pohon nyamplung itu.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah.
Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 87
berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus
melakukan tugas-tugas mereka yang berat.
Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia
melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-
ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti
mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang.
Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung
Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu
samasekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu
juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan,
bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.
Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat,
makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain.
Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang
itu bukanlah yang mereka tunggu.
Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan, “Bukan itu
orangnya, Angger.”
“Setan!” Sawung Sariti mengumpat, “Ada juga malam-malam
orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang samasekali
ini.”
“Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.
“Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya
untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut
Galunggung.
“Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.
“Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu
Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.
Galunggung pun kemudian berdiam diri. Orang itu sudah
semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 87
itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah
Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu
berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang
ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu
duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil
memeluk lututnya.
Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan. “Gila!” pikirnya,
“Apa kerjaannya orang itu?”
Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang
itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di
tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-
tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya?
Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba
menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah.
Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ,
maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa
orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka
akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka
segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan
garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu.
“Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya.
Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar,
jawabnya, “Aku, aku tidak apa-apa.”
“Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung
Sariti.
“Kenapa?” tanya orang itu.
“Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti “Tetapi pergi sekarang.”
Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah
darimana ia datang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 87
“Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang
itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan
memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
“Ke mana?” tanya orang itu.
“Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang
berlawanan.
“Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.
“Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi
semakin marah
“Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau
tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”
“Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,”
jawab orang itu, “Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini
harus berada di sini.”
“Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja
seperti patung.
Galunggung akhirnya tidak sabar samasekali melihat orang itu
masih berdiri di sana dengan mulut ternganga. Ia pun kemudian
melangkah maju sambil berkata, “Binasakan saja orang itu,
sebelum anak itu datang.”
“Jangan, jangan!” teriak orang itu.
“Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya
mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi
semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun
menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu,
akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus
disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi
membentaknya, “Pergi, cepat!”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 87
Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja
seperti orang yang kehilangan kesadaran. Karena itu maka
Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya
dengan paksa. Karena itu katanya, “Singkirkan dia, Galunggung.”
Galunggung yang sejak
tadi sudah kehilangan kesa-
baran segera menggeram
sambil meloncat. Pedangnya
tepat mengarah ke hulu hati
orang yang masih berdiri
kebingungan itu. Tetapi terja-
dilah suatu peristiwa yang tak
pernah dibayangkan. Dalam
mimpi pun tidak. Orang itu,
dengan tangkasnya memiring-
kan tubuhnya. Dengan demi-
kian, maka pedang Galung-
gung menyentuhpun tidak.
Sehingga Galunggung terseret
oleh kekuatan sendiri dan
terhuyung-huyung beberapa
langkah ke depan. Pada saat ia
berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah
genggaman mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan
yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu
menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting tertelungkup, masuk
persawahan yang basah.
Sawung Sariti melihat peristiwa itu dengan mata yang
terbelalak, yang dilihatnya adalah Galunggung itu terjerembab.
Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala. Pedangnya pun
cepat bergerak ke dada orang yang menyakitkan hati itu.
Tetapi sekali lagi Sawung Sariti terkejut, pedangnya pun
samasekali tak menyentuh orang itu. Dengan demikian Sawung
Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu bukanlah sekadar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 87
seorang yang berkeliaran di malam hari dalam keadaan yang
belum tenang benar. Dengan gerakan-gerakannya dan caranya
membebaskan diri, baik dari tikaman pedang Galunggung maupun
dari tusukan pedangnya sendiri, tahulah Sawung Sariti, bahwa
orang itu sebenarnya orang yang berilmu.
Dengan demikian, Sawung Sariti menjadi bertambah gelisah
dan marah. Usahanya untuk membinasakan Arya Salaka belum
berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak dapat diperingan.
Ternyatalah kemudian, ketika Sawung Sariti mengulangi
serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar dan
meloncat, namun terdengar mulutnya berkata, “Ki Sanak, aku
tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kenapa kalian
berusaha untuk membunuh aku.”
Sawung Sariti sudah benar-benar dibakar oleh nyala
kemarahannya, maka terdengar ia menjawab, “Kau telah
mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.”
“Aku tidak mengganggu Ki Sanak. Aku hanya sekadar
memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku harus datang di bawah
pohon nyamplung ini,” sahut orang itu.
“Omong kosong!” bentak Sawung Sariti, sementara itu
pedangnya berputar semakin cepat dalam ilmu keturunan
Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya. Apalagi
Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup, sehingga
pedangnya seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung-
gulung melanda lawannya.
Lawannya itu pun berusaha sekuat tenaga untuk
menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja, ia meloncat-loncat
dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya samasekali tak memiliki
berat. Ia meloncat dari sana kemari, berputar dan melingkar,
kemudian mirip dengan seorang yang sedang bermain-main
berputar di udara. Ia selalu menghindari saja setiap serangan yang
datang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 87
Dalam pada itu Galunggung pun telah bangun kembali.
Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang basah. Beberapa kali ia
mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah hilang
terlempar jauh.
“Setan!” geramnya. Tetapi ia pun terbelalak ketika ia melihat
orang yang akan dibunuhnya itu bertempur melawan Sawung
Sariti. Ia tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang itu
dapat menyelamatkan diri sampai beberapa lama. Sedangkan
agaknya Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membu-
nuhnya.
Karena itu, maka timbullah maksud Galunggung untuk
membantu momongannya. Dengan hati-hati mendekati pertem-
puran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti bergulung-gulung
seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat
lawannya itu seperti anak kijang yang menari-nari keriangan di
padang rumput yang hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan
sekali-kali orang itu berkata nyaring, “Katakanlah Ki Sanak. Apa
salahku?”
“Persetan!” teriak Sawung Sariti. Ia sudah lupa bahwa Arya
Salaka akan dapat mendengar teriakannya itu. Bahkan pedangnya
menjadi semakin cepat berputar.
Galunggung kemudian tak mau membiarkan pertempuran itu
berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa kedatangan mereka
di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu, sekuat-
kuatnya, ia ingin membantu Sawung Sariti. Sebab sebenarnya
Galunggung pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.
Dengan garangnya Galunggung meloncat sambil menggeram.
Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang
menghindari serangan Sawung Sariti. Namun malanglah nasibnya.
Tiba-tiba terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai
pelipisnya. Demikian dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan
bintang-bintang yang melekat di langit rontok bersama-sama
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

More Related Content

What's hot

14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 
Permata Yang Hilang - Intro
Permata Yang Hilang - IntroPermata Yang Hilang - Intro
Permata Yang Hilang - Intro
permatayanghilang
 
Permata Yang Hilang
Permata Yang HilangPermata Yang Hilang
Permata Yang Hilang
ebuku
 
Seks Permata Yang Hilang oleh Ibnu Yusof
Seks Permata Yang Hilang oleh Ibnu YusofSeks Permata Yang Hilang oleh Ibnu Yusof
Seks Permata Yang Hilang oleh Ibnu Yusof
ebuku
 

What's hot (20)

14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
 
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping HooPendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Pendekar Sakti (Bu Pun Su)_Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
 
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping HooKisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Putih_Kho Ping Hoo
 
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
 
Permata Yang Hilang - Intro
Permata Yang Hilang - IntroPermata Yang Hilang - Intro
Permata Yang Hilang - Intro
 
Permata Yang Hilang
Permata Yang HilangPermata Yang Hilang
Permata Yang Hilang
 
Seks Permata Yang Hilang oleh Ibnu Yusof
Seks Permata Yang Hilang oleh Ibnu YusofSeks Permata Yang Hilang oleh Ibnu Yusof
Seks Permata Yang Hilang oleh Ibnu Yusof
 

More from Sariyanti Palembang

26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH MintardjaSariyanti Palembang
 
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 

More from Sariyanti Palembang (7)

26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
13 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
01 nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 

Recently uploaded

TATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawai
TATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawaiTATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawai
TATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawai
trianandika
 
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
Popi99
 
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang MaxwinMelodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99
 
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99
 
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
MuhammadRafi159661
 
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
Tiaellyrosyita
 
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin TerfavoritNila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
Nila88
 
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.pptVIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
MuhammadAmin350497
 
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdfDAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
AGUSABDULROHIM
 
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling GacorPapilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99
 
askep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
askep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMaskep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
askep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
PUSKESMASPEKANHERAN1
 
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking PresentasiGames Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
RayAhmed5
 

Recently uploaded (12)

TATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawai
TATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawaiTATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawai
TATA CARA PENGISIAN PERILAKU KERJA pegawai
 
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
 
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang MaxwinMelodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
 
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
 
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
 
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
 
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin TerfavoritNila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
 
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.pptVIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
 
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdfDAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
 
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling GacorPapilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
 
askep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
askep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMaskep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
askep imunisasi.pdfNKOHIOPPKJHHG7IJLJMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
 
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking PresentasiGames Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
 

24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 87
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 87 I ajah Alit tidak segera menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Ditebarkannya pandangan matanya melingkari ruangan itu. Baru kemudian ia berkata, “Biarlah Kakang Gajah Sora bercerita. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku yang mengatakannya.” “Kau terlalu sering berdusta,” sahut Mahesa Jenar. Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan, sebab kemudian Gajah Sora berkata, “Apa yang dapat aku ceritakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan lewat Adi Gajah Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.” “Tidak hanya itu,” sela Gajah Alit. “Agaknya Adi Paningronlah yang paling tahu,” jawab Gajah Sora. Semua mata berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang tenang dan pendiam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya. “Baiklah,” katanya, “Kalau aku yang harus bercerita. Tetapi aku tidak dapat bercerita seperti Adi Gajah Alit.” “Ah....” desis Gajah Alit. “Demikianlah yang sebenarnya,” Paningron meneruskan, “Kebetulan aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah Baginda menganggap bahwa Kakang Gajah Sora benar-benar tidak bersalah, maka sebenarnya pada saat itu Kakang Gajah Sora sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di Rawa Pening, Baginda menjadi pasti bahwa Gajah Sora benar-benar tidak bersalah. Aku dan Adi Gajah Alit telah meyakinkan Baginda. Namun Baginda menghendaki, agar usaha mencari kedua pusaka itu menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah Kakang Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya berjuang mati- matian, dengan harapan untuk dapat segera membebaskan G
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 87 Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang ke arah yang tak dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan jejak atas perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat kemudian kami ketahui bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan. Mula-mula kami tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa adanya ketegangan dalam pemerintahan rakyat Banyubiru seakan-akan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat. Pada saat yang demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora harus kembali ketanahnya. Harus kembali kepada ayahnya yang sedang berjuang mati-matian untuk menegakkan kembali apa yang dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang hampir sepanjang umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini. Pada saat-saat yang demikian, kami ketahui pula, bahwa orang- orang dari golongan hitam telah memancing di air keruh. Dan inilah bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam Banyubiru, Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya Gajah Sora akan diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Yang mempercepat tindakan Baginda adalah berita terakhir yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam perang saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang telah lama dinanti-nantikan oleh golongan hitam. Perang yang akan menumpas seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit. Perang yang akan memadamkan samasekali nyala api yang pernah dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di atas tanah perdikan Pangrantunan.” Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk seteguk air jahe yang hangat. “Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang terjadi di Banyubiru” sela Mahesa Jenar. “Tidak seluruhnya,” sahut Paningron, “Utusan dan bahkan pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan Pamingit.”
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 87 Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia sudah memaklumi sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana orang-orang seperti Paningron dan kawan-kawannya bekerja. Kadang-kadang mereka dijumpainya seperti penjual daun, penjual kayu dan sayur- sayuran. Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang saudagar yang kaya raya, yang menjelajah kampung untuk mencari dagangan. Sejenak kemudian Paningron meneruskan, “Tetapi hubungan antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat berbuat sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini kami terlambat juga. Untunglah bahwa pertempuran antara laskar Arya Salaka dan laskar Pamingit itu di Banyubiru dapat dihindarkan.” “Aku yakin akan hal itu,” potong Ki Ageng Gajah Sora, “Selama Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar.” “Aku hampir tak berdaya,” jawab Mahesa Jenar, “Pertempuran itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka. Untunglah Ki Ageng Sora Dipayana berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya Tuhan telah mengambil keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit akan diselamatkan dari bencana kemusnahan.” “Kakang benar,” sahut Gajah Alit, “.”Kalau pertempuran itu tak dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan Pamingit akan menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari daerah yang berserak-serak itu. Dari Gunung Tidar, Nusakambangan, Rawa Pening, Mentaok dan Lembah Gunung Cerme Demikianlah kemudian pembicaraan mereka berkisar dari satu soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan Gajah Alit tidak dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, katanya, “Tak seorang pun yang mampu membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang Kebo Kanigara dan Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu.”
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 87 Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Adakah Adi melihat peristiwa itu?” “Kami tidak,” jawab Gajah Alit, “Tetapi orang-orang kami menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah mampu bertempur seorang melawan seorang dengan Lawa Ijo. Sungguh suatu kemajuan di luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya yang mendorong Kakang Gajah Sora untuk menilai sendiri kemampuan Arya Salaka itu.” Mahesa Jenar tersenyum. Gajah Sora pun kemudian bercerita, bagaimana mereka bertiga bergegas untuk sampai ke Banyubiru, ketika mereka mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah sedemikian gawat. Namun mereka terlambat. Meskipun demikian mereka berlega hati. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran justru antara laskar Banyubiru bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan laskar golongan hitam di Pamingit. Mereka jumpai Banyubiru telah kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke Pamingit. Namun pertempuran di Pamingit itupun telah selesai. Seorang petugas yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena Pasingsingan mendahului mereka. “Nah, Adi Mahesa Jenar....” tanya Gajah Sora kemudian, “Bagaimana dengan Pasingsingan?” Kemudian Mahesa Jenar lah yang bercerita. Pasingsingan terbunuh oleh Pasingsingan. “Cerita tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Lain kali akan aku ceritakan selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang lain-lain.” “Mereka juga belum mengetahui?” tanya Gajah Sora.
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 87 Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Belum. Belum seorang pun yang tahu.” Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang dikenakan oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas panjang. Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun pernah dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk kuning keemasan dan ikat kepala biru. Kain panjang, sapit urang, celana hitam berpelisir kuning. Sebilah keris berwarangka emas terselip di pinggangnya. Sedang Paningron pun memakai pakaian kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah Alit, tetapi ia tidak berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron terselip sebilah keris dengan warangka gayaman. Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan, berkatalah Gajah Sora, “Adi Mahesa Jenar, banyak yang ingin aku ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan, tetapi baiklah lain kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu menyampaikan sujud kepada Ayah, Sora Dipayana.” Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku kira demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama dengan kita.” “Meskipun demikian....” Gajah Sora meneruskan, “Adi Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali Adi Mahesa Jenar mengetahuinya.” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya, “Apakah itu?” “Tidak begitu penting,” sahut Paningron. Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah tentang dirinya, atau yang lain?
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 87 Paningron memandang kepada Gajah Alit. Belum lagi mendengar sepatah kata pun, ia telah mengangguk-angguk. Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Tidak penting, Kakang.” Mahesa Jenar menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati. Kemudian berkatalah Paningron, “Ada dua masalah yang akan aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku berhadapan dengan Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang Gajah Sora sendiri pun belum mengetahuinya.” “Apakah soalnya?” sela Mahesa Jenar. “Yang pertama,” sahut Paningron, “Adalah Kakang Mahesa Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah bentuknya orang yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.” Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti siapakah orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi sebelum menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, “Telah aku katakan. Orang itu berjubah abu-abu.” “Adakah orang itu berhubungan dengan cerita Pasingsingan yang terbunuh oleh Pasingsingan?” tanya Paningron pula. Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab, “Tidak. Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah orang itu.” Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya, “Soal itu perlu juga aku sampaikan.” “Silahkan Kakang” jawab Gajah Alit sambil tersenyum. “Adakah orang lain di rumah ini?” tanya Paningron. Mahesa Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan Endang Widuri tidak
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 87 nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud Mahesa Jenar, berkata, “Mereka sudah tidur sejak tadi.” “Siapa?” sahut Paningron. “Anakku,” jawab Kebo Kanigara. “O, tak apalah.” Paningron meneruskan, “Aku akan berkata tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.” Tetapi ia berhenti. Dengan sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan. “Berkatalah,” desak Mahesa Jenar, “Orang itu bisa kita percaya.” “Sebelum ceritaku sampai pada masalah yang kedua,” kata Paningron, “Kami mengetahui sesuatu tentang pusaka-pusaka itu.” Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “Ini juga salah satu sebab yang menentukan, bahwa Baginda benar-benar yakin, bahwa Kakang Gajah Sora tidak menyimpan pusaka-pusaka itu.” Paningron meneruskan, “Pada suatu saat, Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka itu.” Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar. “Siapakah orang itu?” tanya Gajah Sora. “Seperti yang kau katakan,” jawab Paningron, “Berjubah abu- abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata kepadanya, apakah Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang dibawanya. Ternyata benda-benda itu adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.” “Hem....” Gajah Sora berdesis.
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 87 “Tentu saja Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya, darimana pusaka-pusaka itu didapatnya. Dan orang itu berkata terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru,” Paningron meneruskan. “Tetapi ketika kedua pusaka itu diminta oleh Kakang Palindih, orang itu berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa Kakang Palindih mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar biasa. Kakang Palindih tak mampu melawannya. Dan kedua pusaka itu lenyap kembali.” Gajah Sora menggeram. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berpikir, “Pasti, tak seorang pun mampu menang- kapnya.” “Tetapi...” kata Paningron, “Bahwa Kakang Gajah Sora terbukti tidak bersalah, Kakang Palindih menjadi yakin kare- nanya. Dan ini adalah salah satu sebab pula yang meya- kinkan Baginda.” Paningron berhenti seje- nak. Diteguknya wedang jahe di mangkuknya. Kemudian ia meneruskan, “Tetapi kemudian orang itu muncul kembali.” “Kapan?” bertanya Gajah Sora “Dan inilah cerita yang kedua,” sahut Paningron, “Ketika seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amatinya sampai beberapa saat. Kalau- kalau orang baru itu berbuat sesuatu.” “Kenapa diusir?” tanya Mahesa Jenar.
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 87 “Seorang anak muda yang perkasa,” jawab Paningron. “Tak seorang pun seangkatannya yang dapat menyamai keper- wiraannya. Ia diketemukan oleh Baginda di halaman masjid, ketika Baginda hendak bersembahyang. Anak muda itu sedemikian tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat mundur sambil berjongkok melampaui sendang di halaman masjid itu.” Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar cerita itu. Ia tahu bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang dimiliki oleh seseorang. Namun ia tidak bertanya. “Karena kecakapannya....” Paningron melanjutkan, “Dalam waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan kelompok Wira Tamtama dengan anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang, bahwa ia kemudian berbuat suatu kesalahan.” “Apakah kesalahannya?” tanya Mahesa Jenar. “Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung Ngawuk” jawab Paningron. “Membunuh orang?” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Apa soalnya?” “Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun marah dan dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang” jawab Paningron. Mendengar jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia hampir tak dapat menahan suara tertawanya itu. Mula-mula yang melihat Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran, namun akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya, “Membunuh dengan sadak kinang.” Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum pula. Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak tahu kenapa mereka tertawa karenanya. Tetapi tiba-tiba Gajah Alit berhenti tertawa. Alisnya berkerut dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Tanpa disengajanya
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 87 ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip. Paningron dan Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang. Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang yang tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari mulutnya, “Oh!” Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tak apa- apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan kambuh kembali.” Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo Kanigara bertanya, “Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?” Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut. Namun tanggapan mereka berbeda-beda. Arya Salaka terkejut, karena sahabatnya itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan akibatnya. Sehingga ia terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar terkejut karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk dengan sadak kinang. Ia mengurai lebih jauh keterangan itu. Sehingga Baginda mengusirnya dari istana. Akhirnya Paningron berkata, “Maafkan kakang Kebo Kanigara, aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga Jaka Tingkir adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?” “Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi berdua. Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh anak itu” kata Kebo Kanigara. “Siapakah Dadung Ngawuk itu?” ia bertanya. Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab perlahan-lahan, “Simpanan Baginda.” “Hem....” Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka menjadi semakin bingung. “Bukankah Dadung Ngawuk itu seorang yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira Tamtama?”
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 87 Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat dingin. “Tetapi,” Paningron meneruskan, “Bukan seluruhnya kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancing- mancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan Baginda terlalu kasih dan percaya kepada Lurah Wira Tamtama yang baru itu. Bahkan lebih daripada Nara Manggala seperti Adi Gajah Alit itu.” Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya, “Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui dari kami?” “Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di Banyubiru” jawab Paningron. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul di Banyubiru. Namun mereka berdiam diri. “Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya” kata Gajah Alit. Sesaat suasana menjadi sepi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri. Kemudian terdengar Paningron meneruskan, “Keluarga terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka telah kehilangan harapan. Keluarga mereka yang ingin menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu saat, beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan anak muda itu, maka mereka beramai-ramai mengeroyoknya. Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak seorangpun mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 87 berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa.” Kembali mereka berdiam diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja. Sedang Wulungan samasekali tak mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu. Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa angin pegunungan. Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda cerita mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat. Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan mereka masing-masing masih membumbung tinggi. Kebo Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan pelanggaran di halaman istana. “Ah,” pikirnya, “benar-benar anak nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba. Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak bersalah seluruhnya” Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya. Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di hadapan orang-orang lain ini.
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 87 Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk melahirkannya. Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu? Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan apakah kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru.” Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari, namun mereka tetap berbaring diam. Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya diceritakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana. Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh bintang pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi. Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama. Pagi-pagi benar, sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit.
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 87 Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan selamat. Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan apa yang telah mencegahnya. Gajah Sora yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah- olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran. Alangkah lincah dan tangkasnya. “Ah, tidaklah aneh,” bisik hatinya, “Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh Nagapasa.” Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik pada gadis itu. “Sayang,” hatinya berbisik terus, “Aku tak punya anak gadis seperti itu.” Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar, kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya sudah tak dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan mampu dibujur- lintangkan apabila ada mara bahaya datang. Terhadap Mahesa Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra? Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu. Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak seorang pun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha menahan perasaan masing-masing.
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 87 Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai di sebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar, “Baiklah aku melihat rumah Bahu Jatisari ini.” “Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar, “Rumah itu masih tampak sepi.” Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu. Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka, dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu. Tidak lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan. “Apa yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan telah berada di dalam rombongan itu kembali. “Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan, “Rumah itu telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah merampoknya.” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora, “Kasihan rakyat Pamingit.” Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas rakyat Pamingit yang mengungsi. Widuri yang berkuda paling depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah. “Apa yang kau ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 87 “Golek,” jawab Widuri. “Anak yang mempunyai golek ini mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.” “Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya. “Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri, “Gadis kecil yang manis.” Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis Widuri pun perasa, ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata. Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira. Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali. Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi- sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg. Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih belum terurus. Dengan demikian mereka harus berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana seharusnya. Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi lambat.
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 87 Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar- debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian cepat. Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar bergumam, “Pamingit!” Kebo Kanigara yang mendengar gumam itu menoleh kepada Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian pandangan matanya berkisar pada anaknya. “Widuri.....” Ia memanggil. Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya berkata, “Widuri, itulah Pamingit.” Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri. Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat pedukuhan di lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa tidak berkepentingan samasekali. Ia datang kemari karena ayahnya datang kemari pula. Berbeda dengan perasaan-perasaan orang lain, apalagi Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya semua orang yang diperlukan untuk menempatkan kembali batas antara Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, dan Ki Ageng Gajah Sora. Adalah suatu kebetulan bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu untuk mengirimkan orang-orangnya yang akan dapat menjadi saksi pertemuan itu. Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh angan- angannya sendiri. Ia tidak tahu benar persoalan-persoalan apa yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi firasatnya mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Namun ia berdoa di dalam hati, mudah-mudahan segera ia dapat menikmati
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 87 cerahnya matahari. Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis menghitung-hitung umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang sebaya dengan dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga orang anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi berdebar-debar. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir angan- angannya yang mengganggunya itu. Mereka kini telah hampir memasuki pusat pemerintahan. Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata daerah inilah yang paling banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan rumah-rumah penduduk dan banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu. Namun meskipun demikian daerah ini telah banyak penghuninya. Rumah-rumah yang masih tegak telah dipenuhi oleh para pengungsi. Sekarang Wulungan yang berkuda paling depan. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya hendak meledak ketika melihat daerahnya menjadi hancur. Tapi tak satu pun yang dapat dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya terbentang halaman bekas rumah kepala daerah perdikan Pamingit, di samping alun-alun. Halaman itu kini telah rata. Tak sebatang tiangpun yang masih tegak, yang dapat mengangkat kemewahan rumah ini pada masa lampau. Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang menyapu pemandangan yang mengerikan itu. Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar Pamingit muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan bergegas-gegas menemui mereka. “Di manakah Ki Ageng?” tanya Wulungan. “Di banjar desa sebelah,” jawab salah seorang dari kedua orang itu. “Marilah ikut kami.”
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 87 Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas ke arah yang ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh rombongan mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan sempit dan langsung memotong arah. Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak nyala api pelita, memancar dari lubang pintu. “Itulah banjar desa yang masih separo tegak,” kata orang yang menjemput rombongan itu. Sekali lagi terdengar Wulungan menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan banjar desa itu, dahulu. Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki halaman banjar desa. Ketika mereka yang ada di dalam banjar desa itu mengetahui kedatangan rombongan itu, segera merekapun menyambutnya. Yang pertama-tama melampaui telundak pintu, adalah seorang tua yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika di dalam gelap dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar. Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu berkata, “Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?“ “Sebuah oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng,” jawab Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab segera Ki Ageng Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan langsung meloncat sujud di kaki ayahnya. “Kau....” desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa darahnya serasa mengalir semakin cepat. “Gajah Sora, Ayah,” jawab Gajah Sora. “Hem...” orang tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk matanya.
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 87 “Kau telah diperkenankan pulang kembali?” tanya ayah yang bahagia itu. “Ya, Ayah,” jawab Gajah Sora. Orang Tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan dua orang asing dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang asing itu agaknya dua orang yang datang dari Demak. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya dengan hormat, “Adakah Anakmas berdua datang bersama-sama dengan anakku, Gajah Sora?” Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah turun dari kudanya seperti yang lain juga, membalas hormat bersama-sama. Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, “Benar Ki Ageng. Kami datang bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora.” Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan alisnya. Timbullah seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah anaknya Gajah Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata pun pertanyaan yang melontar dari mulutnya. Yang kemudian dilakukan oleh orang tua itu adalah mempersilakan tamu-tamunya masuk ke dalam banjar desa yang telah tidak utuh lagi itu. II Maka duduklah mereka berdesak-desakan di dalam ruangan yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan beberapa orang Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka. Rara Wilis sejak kedatangannya, sebenarnya ingin melihat, apakah kakeknya benar-benar berada di Pamingit, namun orang tua itu belum dilihatnya berada di antara mereka. Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng Sora Dipayana, “Ruangan ini kami pergunakan untuk sementara. Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan api. Karena itulah maka kami terpaksa berpencaran. Kami menempati pondok-
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 87 pondok yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada sahabat-sahabat kami, bahwa Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas Kebo Kanigara, bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain telah datang. Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru telah kami panggil.” Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa jurusan suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang datang berturut-turut dan berdesak-desakkan di muka pintu. Mereka adalah orang-orang Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sendang Papat dan yang lain-lain. Mereka hampir tidak percaya ketika seseorang mengatakan kepada mereka, bahwa bersama- sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah datang pula Ki Ageng Gajah Sora. Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada keadaan. Ia tidak bisa mempersilakan mereka masuk karena ruangan yang sempit. Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu. Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya seperti sedang bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora benar- benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian mereka tersadar, berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk menyambut salam kepala daerah perdikan mereka yang mereka kasihi. Mereka menyambut tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan penuh gairah, seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi. Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan anak buahnya. Sesaat kemudian terdengarlah suara para pemimpin laskar Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama berkicau, berebut dahulu bertanya tentang seribu satu macam persoalan dan pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora menjawab, “Ceritaku akan panjang sekali. Besok
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 87 sajalah aku ceritakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian sekarang, bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di hadapan kalian, tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang seperti saat aku pergi.” Beberapa orang Banyubiru itu belum puas mendengar jawaban yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin mendengar uraian Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang lagi. Tetapi sekali lagi sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Kalau kalian sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau kalian lagi lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak.” “Ah,” terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya mereka pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan dapat bercerita dalam keadaan yang sedemikian. “Duduklah dahulu,” Ki Ageng Gajah Sora meneruskan. “Di halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa saja.” Kemudian orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan pintu itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah pepohonan, di akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah mereka dengan cerita mereka masing-masing tentang Ki Ageng Gajah Sora. Mereka mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang sekiranya telah terjadi dengan kepala daerah Perdikan mereka. Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di muka pintu. Ia melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di dalam ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng Gajah Sora melemparkan pandangannya ke langit, awan yang tipis mengalir dihembus angin yang lembut. Bintang-bintang menjadi suram disaput oleh selapis mendung. “Mudah-mudahan tidak turun hujan,” gumam Gajah Sora. “Kalau terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi di pondok- pondok yang kecil yang ditempati bersama lima enam keluarga beserta anaknya.”
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 87 Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi banjar itu. Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang, hampir seperti dirinya. Ia melihat bahwa orang yang mendatanginya itu agak ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian dilanjutkannya. Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan yang baik, namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya, peran apakah yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora. Dan yang datang dengan ragu-ragu itu adalah adiknya. Adiknya, yang dengan sengaja pernah menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang sulit. Ia tahu betul bahwa adiknya itu bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa yang pernah dimiliki oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana. Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang sekali ketika langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa langkah di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan Banyubiru yang melihat peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa yang seharusnya mereka lakukan. Suara di dalam banjar desa yang tinggal separo itu masih riuh. Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang mengalir, diselingi oleh gelak tertawanya yang menonjol daripada suara orang-orang lain. Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak anak- anak, apabila ia menjadi seorang periang dan senang berkelakar dalam keadaan apapun. Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya kadang-kadang saja terdengar tertawanya menyentak, sedang Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya tersenyum-senyujum tertawa terkekeh-kekeh. Apalagi ketika sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di Demak.
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 87 Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu, tidak begitu tertarik pada cerita Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar cerita Gajah Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati Demak yang bulat pendek itu tertawa. Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan kakinya. Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri, ia melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora, juga sepasang kaki yang renggang. Cepat-cepat Widuri mengamit tangan ayahnya sambil berbisik, “Ayah, kenapa dengan Paman Gajah Sora?” Kebo Kanigara segera memaklumi. Ia dapat melihat lewat samping kaki Gajah Sora. Di dalam gelap, dilihatnya seseorang yang sudah dikenalnya, Ki Ageng Lembu Sora. Pertemuan itu menjadi terganggu. Semua melihat perubahan wajah Widuri dan Kebo Kanigara. Dengan cemas Ki Ageng Sora Dipayana ber- tanya, “Ada apa Anakmas?” “Putra Ki Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo Kanigara. Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia meloncat berdiri dan langsung melangkah ke luar pintu. Hampir
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 87 saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri membelakangi pintu. “Lembu Sora....” kata orang tua itu, “Inilah kakakmu yang sudah lama kau tunggu.” Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada Lembu Sora. Sebenarnya iapun samasekali tak bermaksud apa- apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam pondoknya, berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak terasa tubuhnya gemetar, dan dengan serta merta timbullah keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang pernah disengsarakannya itu untuk minta maaf. Lembu Sora segera meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa, ia mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil berteriak, “Cari Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap Kakang Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan.” Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti sikap seekor gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang berada di muka pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu- raguannya itu, dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak dapat lagi memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun menarik kakinya merenggang. Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu, kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk minta maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul hancur kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya.
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 87 Karena itu sekali lagi ia memaksa diri, mengusir ketakutannya untuk melihat kesalahan dirinya sendiri. Dengan langkah yang gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan hanyalah mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya berdesir lambat, “Kakang Gajah Sora….” Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit. Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya. Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu. Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati anaknya yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya selama ini. Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi pada saat terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan kebenaran. Karena itu ia berkata, “Adikmu telah lama menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya.” Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong, disambutnya tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak saja menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan dibasahinya tangan itu dengan air mata. Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya. Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak mengenal takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi awan, yang berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 87 subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini seperti kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air mata sambil menggenggam tangan kakaknya. Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa mereka sering bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah Sora sedang asyik membuat mainan dari kayu atau dari bambu, kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang- kadang Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali. Tetapi Lembu Sora mempertahankan dengan tangisnya. Kalau demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati Gajah Sora. Ia tidak akan meminta permainan itu kembali. Seperti saat ini. Pada saat-saat yang demikian itulah letak kelemahan Gajah Sora. Kelemahan yang dimiliki sejak masa kanak-kanaknya. Sejak ia harus bekerja keras membantu ayah bundanya, membangun tanah perdikan Pangrantunan. Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora berkata, “Kakang, aku iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan memiliki daerah bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya,” seandainya demikian, maka Gajah Sora pasti akan hancur dengan sendiri. Pastilah dengan gemetar ia berkata, “Terserahlah Lembu Sora.” Tetapi, tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan tangan bertolak pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil berteriak, “Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku.” Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya, dan akan dijawabnya dengan lantang, “Marilah Lembu Sora, lampaui mayatku dahulu.” Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu Sora tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 87 sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa pahitnya daerah Pamingit yang dilanda oleh arus peperangan. Betapa pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah- rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik tangis perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret ke jalan-jalan. Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang, perang, perang! Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan. Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan cerita-cerita yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan pedagang asing di pantai Nusantara. Negara-negara Parangakik, Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban api peperangan. Dan peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 87 Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran Majapahit. Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya. Dan ia belum terlambat. Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan- lahan. “Masuklah Lembu Sora.” Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia mengangguk dan melangkah ke pintu. Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya. Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas firman-Nya.
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 87 Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena marah. Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri. “Perempuan,” bisik Sawung Sariti. “Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung. “Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?” Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya. “Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba. Sawung Sariti mengerutkan keningnya. “Entahlah,” jawabnya, “Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat laskar Demak, dahulu.” Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya, “Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.” “Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang tinggi. “Laskarnya,” sahut Galunggung, “Apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?” “Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti, “Barangkali ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 87 Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.” “Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab Galunggung. Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya. “Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti. “Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?” tanya Galunggung. Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Buat apa?” Dan Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorang pun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun. Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan. Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan hitam. Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 87 berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman, “Siapakah yang berada di dalam?” “Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang. Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, “Seseorang memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?” Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis. Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka salah seorang menjawab, “Ya, Ki Ageng, salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis.” Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Aku sudah rindu kepadanya,” katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah datang.” “Ya, Eyang,” jawabnya, “Aku sudah mendengar suaranya.” Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang prajurit dalam pakaiannya. “Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilakan. “Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku kira hanya orang- orang kita sendiri, tetapi agaknya….” suaranya terputus, lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata, “Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?” Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun tangannya teracung kepada Gajah Sora. Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab, “Terima kasih, Paman.”
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 87 Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis. “Kau bertambah kurus Wilis,” katanya. Rara Wilis menundukkan wajahnya. “Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya. Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri, “Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.” “Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu. “Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja. Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang menyenangkan. Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga. Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang lenyapnya laskar hitam dari Pamingit. Namun agaknya malam telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing dibawa ke pondok yang sudah disediakan, meskipun berpencar- pencar. Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng Gajah Sora tidak segera dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru benar-benar menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 87 pertanyaan mereka, yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari mereka Gajah Sora juga mendengar bahwa anaknya, Arya Salaka, benar-benar luar biasa. Jaladri pernah melihat Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam pertempuran besar beberapa hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah dilihatnya. Ia samasekali tidak menyangkal cerita itu. Bukan sekadar cerita yang berlebih-lebihan, namun cerita itu benar-benar terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya. Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya Salaka telah mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu menunggu kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di tempat itu bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah adalah tempat untuk beristirahat kedua prajurit dari Demak, Paningron dan Gajah Alit. Ketika Arya Salaka sedang merenungi titik-titik yang jauh di dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya seseorang lewat di muka pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti perempuan. Orang itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada Arya Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri mendekatinya. Sambil membungkuk hormat, ia bertanya, “Adakah sesuatu, Eyang Titis Anganten?” “Aku ingin mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi, namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang gembira itu. Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten. Cepat hati Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya selamat. Dan sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit yang tercecer.
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 87 “Ya,” sahut Arya, “Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat lagi kepada ibu.” “Ah. Jangan berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten, “Eyangmu sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia segan untuk dengan tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya. Karena itu dibiarkannya saja sampai aku datang membawanya kembali.” Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur menyangka eyangnya melupakan ibunya. “Sekarang....” Titis Anganten meneruskan, “Aku ingin mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang tanpa disangka-sangka.” “Terimakasih, Eyang,” jawab Arya, “Di manakah Ibu sekarang?” “Masih di pengungsiannya,” sahut Titis Anganten, “Aku kira keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan, jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.” “Baik Eyang,” sahut Arya, “Tunjukkan aku tempatnya.” “Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di Sarapadan,” jawab Titis Anganten. “Sarapadan,” ulang Arya. “Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata memang demikian. Orang-orang dari golongan hitam itu samasekali tak tertarik untuk singgah. Dan hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang dapat aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya laskarmu datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang mengaggumkan itu,” kata Titis Anganten.
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 87 “Di mana letak dusun itu?” tanya Arya. Titis Anganten memberinya sekadar petunjuk, namun kemudian katanya tanpa berprasangka, “Ah, aku kira lebih baik pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.” Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang mengganggunya apabila ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia tidak dapat berkata sesuatu kepada Titis Anganten. “Arya...” Orang tua itu meneruskan, “Aku kira Sawung Sariti telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku kira ia pun mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.” Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata pula, “Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.” “Baiklah Eyang,” jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya untuk mengajak orang tua itu. Dengan demikian ia akan menjadi anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu tanpa pertolongan orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia agak segan- segan. “Tetapi anak itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan gurunya. “Paman,” katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya masih belum tidur. Mahesa Jenar mengangkat kepalanya, “Ada apa Arya?” Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten. “Kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar. Arya Salaka menganguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 87 “Kau tidak menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar. Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya. Bukankah Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya dahulu datang, kemudia baru ibunya pun, akan dapat menggembirakan hati ayahnya itu. Karena itu ia menjawab, “Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan hati Ayah.” “Dengan siapa kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar. “Eyang Titis Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang menyuruhku mengajak Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka. Mahesa Jenar bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula perasaan seperti perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam diri. “Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten mengantarku,” kata Arya Salaka. “Apakah Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara. “Tidak,” sahut Arya, “Menurut eyang Titis Anganten, Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.” “Pergilah,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Tetapi berhati- hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa siapapun. Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat menunjukkan letak desa itu.” “Baiklah Paman,” sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia bermaksud untuk pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh. Jalur jalannya
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 87 pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia akan dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya kepada siapa saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda atau penjaga gardu. III Maka segera Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala penjuru. Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan terdengar suara buruang hantu menggetarkan udara. Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan. Namun segera Arya mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya yang setia, Galunggung. “Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti. “Ya, Adi,” jawab Arya. “Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini?” tanya Sawung Sariti pula. Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta. Padahal, meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab dengan berterus terang. “Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.” “Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung Sariti. “Ya,” jawab Arya singkat. “Kalau demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti pula.
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 87 “Ya,” jawab Arya pula. “Dari mana Kakang tahu?” desak Sawung Sariti. “Eyang Titis Anganten,” sahut Arya Salaka. Sawung Sariti mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak. Kemudia ia berkata, “Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.” Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab, “Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku akan berterima kasih.” Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian terdengar ia berkata, “Kita ikut.” “Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat. Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring- iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya. Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh. “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu” pikirnya. Dan kadang- kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu. Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang dalam dingin malam.
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 87 Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia dengan serta merta, “Adi apakah benar jalan ini jalan ke Sarapadan?” Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran, “Ya inilah jalan itu. Kenapa?” Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang pohon siwalan. Katanya, “bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu?” “Siapa bilang?” bertanya Sawung Sariti. “Eyang Titis Anganten” jawab Arya Salaka. “Eyang Titis Anganten keliru” sahut Sawung Sariti. Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak mungkin orang tua itu salah. Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab, “Adi, eyang Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak saja?” “Aku adalah anak Pamingit” jawab Sawung Sariti, “sejak bayi aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal Sarapadan? Memang, sebenarnyalah demikian. Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang berbisik, “Pilihlah jalan sendiri.”
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 87 Karena itu Arya berkata, “Adi, barangkali ada jalan lain ke Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis Anganten pada saat itu.” “Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku?” bertanya Sawung Sariti. Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya, “Adi, baiklah aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar- benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya, bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat.” Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata, “Baiklah kakang Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan, namun jalan yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh.” “Tidak apalah adi” jawab Arya, “lalu bagaimana dengan adi Sawung Sariti?” “Aku akan mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti. “Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 87 “Tidak perlu” jawab Sawung Sariti, “kita sudah berselisih jalan di sini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput ibuku, kau jemput ibumu.” Arya menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata, “Apakah kata ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang bersama-sama.” “Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti, “Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung Sariti.” “Hem!” terdengar Arya mengeluh. Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat. Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit. Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai dimasukinya desa Sarapadan. “Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya, “Jalan itu pun akan sampai ke Sarapadan.” Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu berprasangka. Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 87 Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah membawanya lewat jalan lain. Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun mengetahuinya. Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain. Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam. Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh. Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula. “Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung Sariti. “Ya,” jawab Galunggung singkat. “Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung Sariti meneruskan. “Belum pasti” jawab Galunggung, “anak itu lebih senang berjalan di jalan, daripada menyusur pematang dan tanggul- tanggul”
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 87 Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak sepupunya. Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula. Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung, “Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah. “Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti, “Kita cegat Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan mana yang dilewati.” “Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung, “Kita cegat Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.” Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin baik juga.” “Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan, “Kita harus segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.” Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya tak dapat melihatnya.
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 87 Demikianlah, dengan bergegas-gegas kedua orang itu berjalan memotong arah. Mereka berjalan di atas pematang-pematang, tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah mereka berjalan dengan sangat hati-hati, menyusur batang- batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang bersilang di atas anak sungai itu, mereka memotong jalan. Mereka mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung. Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah cemas, bahwa ia akan tersesat. Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit. Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil memperhatikan airnya. Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 87 juga Galunggung, harus sudah siap. Meskipun kemampuan bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama- sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua. Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung yang rimbun. Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan kabar yang mengerikan. Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan. Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu, pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit. Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka samasekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain- main dengan percikan airnya. Tetapi, akhirnya dari balik tikungan itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan kecil di muka pohon nyamplung itu. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 87 berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus melakukan tugas-tugas mereka yang berat. Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu- ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang. Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu samasekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda. Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain. Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang itu bukanlah yang mereka tunggu. Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan, “Bukan itu orangnya, Angger.” “Setan!” Sawung Sariti mengumpat, “Ada juga malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang samasekali ini.” “Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung. “Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut Galunggung. “Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula. “Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti. Galunggung pun kemudian berdiam diri. Orang itu sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang
  • 49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 87 itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah Arya Salaka. Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil memeluk lututnya. Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan. “Gila!” pikirnya, “Apa kerjaannya orang itu?” Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba- tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya? Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah. Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ, maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu. “Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya. Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya, “Aku, aku tidak apa-apa.” “Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung Sariti. “Kenapa?” tanya orang itu. “Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti “Tetapi pergi sekarang.” Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.
  • 50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 87 “Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya. “Ke mana?” tanya orang itu. “Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan. “Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu. “Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi semakin marah “Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.” “Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,” jawab orang itu, “Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini harus berada di sini.” “Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti. Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung. Galunggung akhirnya tidak sabar samasekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut ternganga. Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Binasakan saja orang itu, sebelum anak itu datang.” “Jangan, jangan!” teriak orang itu. “Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi membentaknya, “Pergi, cepat!”
  • 51. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 87 Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja seperti orang yang kehilangan kesadaran. Karena itu maka Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya dengan paksa. Karena itu katanya, “Singkirkan dia, Galunggung.” Galunggung yang sejak tadi sudah kehilangan kesa- baran segera menggeram sambil meloncat. Pedangnya tepat mengarah ke hulu hati orang yang masih berdiri kebingungan itu. Tetapi terja- dilah suatu peristiwa yang tak pernah dibayangkan. Dalam mimpi pun tidak. Orang itu, dengan tangkasnya memiring- kan tubuhnya. Dengan demi- kian, maka pedang Galung- gung menyentuhpun tidak. Sehingga Galunggung terseret oleh kekuatan sendiri dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan. Pada saat ia berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah genggaman mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting tertelungkup, masuk persawahan yang basah. Sawung Sariti melihat peristiwa itu dengan mata yang terbelalak, yang dilihatnya adalah Galunggung itu terjerembab. Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala. Pedangnya pun cepat bergerak ke dada orang yang menyakitkan hati itu. Tetapi sekali lagi Sawung Sariti terkejut, pedangnya pun samasekali tak menyentuh orang itu. Dengan demikian Sawung Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu bukanlah sekadar
  • 52. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 87 seorang yang berkeliaran di malam hari dalam keadaan yang belum tenang benar. Dengan gerakan-gerakannya dan caranya membebaskan diri, baik dari tikaman pedang Galunggung maupun dari tusukan pedangnya sendiri, tahulah Sawung Sariti, bahwa orang itu sebenarnya orang yang berilmu. Dengan demikian, Sawung Sariti menjadi bertambah gelisah dan marah. Usahanya untuk membinasakan Arya Salaka belum berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak dapat diperingan. Ternyatalah kemudian, ketika Sawung Sariti mengulangi serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar dan meloncat, namun terdengar mulutnya berkata, “Ki Sanak, aku tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kenapa kalian berusaha untuk membunuh aku.” Sawung Sariti sudah benar-benar dibakar oleh nyala kemarahannya, maka terdengar ia menjawab, “Kau telah mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.” “Aku tidak mengganggu Ki Sanak. Aku hanya sekadar memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku harus datang di bawah pohon nyamplung ini,” sahut orang itu. “Omong kosong!” bentak Sawung Sariti, sementara itu pedangnya berputar semakin cepat dalam ilmu keturunan Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya. Apalagi Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup, sehingga pedangnya seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung- gulung melanda lawannya. Lawannya itu pun berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja, ia meloncat-loncat dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya samasekali tak memiliki berat. Ia meloncat dari sana kemari, berputar dan melingkar, kemudian mirip dengan seorang yang sedang bermain-main berputar di udara. Ia selalu menghindari saja setiap serangan yang datang.
  • 53. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 87 Dalam pada itu Galunggung pun telah bangun kembali. Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang basah. Beberapa kali ia mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah hilang terlempar jauh. “Setan!” geramnya. Tetapi ia pun terbelalak ketika ia melihat orang yang akan dibunuhnya itu bertempur melawan Sawung Sariti. Ia tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang itu dapat menyelamatkan diri sampai beberapa lama. Sedangkan agaknya Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membu- nuhnya. Karena itu, maka timbullah maksud Galunggung untuk membantu momongannya. Dengan hati-hati mendekati pertem- puran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti bergulung-gulung seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat lawannya itu seperti anak kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput yang hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan sekali-kali orang itu berkata nyaring, “Katakanlah Ki Sanak. Apa salahku?” “Persetan!” teriak Sawung Sariti. Ia sudah lupa bahwa Arya Salaka akan dapat mendengar teriakannya itu. Bahkan pedangnya menjadi semakin cepat berputar. Galunggung kemudian tak mau membiarkan pertempuran itu berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa kedatangan mereka di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu, sekuat- kuatnya, ia ingin membantu Sawung Sariti. Sebab sebenarnya Galunggung pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan. Dengan garangnya Galunggung meloncat sambil menggeram. Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang menghindari serangan Sawung Sariti. Namun malanglah nasibnya. Tiba-tiba terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai pelipisnya. Demikian dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan bintang-bintang yang melekat di langit rontok bersama-sama